Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN POST VP SHUNT


HIDROSEFALUS + RESPIRATORI DISORDER + CAP + HIPERTENSI +
AKUT KIDNEY INJURY STAGE I DIRUANGAN INSTALASI RAWAT
INTENSIf (ICU) GREEN RSUP DR M. JAMIL PADANG

Di Susun Oleh:

Nolla Okta Dinasti S.Kep

2314901051

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(Ns. Revi Neini Ikbal, S.Kep, M.Kep) ( Ns. Hendra, S.Kep )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI


ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG

TAHUN 2023/2024
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar Vp Shunt Hidrosefalus

1. Pengertian Vp Shunt

Ventriculoperitoneal shunt (VP shunt) adalah alat kesehatan yang


dipasang untuk melepaskan tekanan dalam otak. VP shunt
direkomendasi bagi pasien yang menderita hidrosefalus. Kondisi ini
disebabkan oleh cairan serebrospinal (CSF) berlebih yang membuat
perluasan ruang dalam otak (ventrikel) menjadi sangat cepat, sehingga
memicu tekanan yang tak semestinya. Jika tidak segera ditangani,
kondisi ini dapat berujung pada kerusakan otak

2. Pengertian Hidrosefalus

Hidrosefalus adalah terjadinya pengumpulan cairan otak secara


berlebihan didalam sistem ventrikel (ruangan cairan otak) yang normal
sehingga menyebabkan pelebaran sistem ventrikel dan terjadi
peninggian tekanan intrakranial (Riefmanto2011). Hidrosefalus adalah
kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan
serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang
meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Darsono, 2008).
Hydrocephalus merupakan penumpukan cairan serebrosepinal secara
aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak, walapun pada
kasus hydrocephalus ekternal biasanya akan berkumulasi didalam
rongga araknoid (Satyanegara, 2010).

Hidrosefalus adalah berbagai kondisi yang ditandai dengan


kelebihan cairan didalam rongga kranial, ruang subaraknoid atau
keduanya (Wiliams, 2011). Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan
serebrospinal secara aktif yang menyebabkan dilatasi sistem ventrikel
otak: walaupun pada kasus hidrosefalus eksternal pada anak-anak cairan
akan berakumulasi di dalam rongga araknoid (Wiliams, 2011)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hydrocephalus
merupakan gangguan absort atau produksi cairan serebrospinal yang
berlebihan, sehingga pengingkatan tekanan intrakranial yang berdampak
merusak saraf

3. Etiologi

Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran CSS pada


salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel
dan tempat absorbsi dalam ruang subarackhnoid. Akibat penyumbatan,
terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya. Penyumbatan aliran CSS yang
sering terjadi pada bayi dan anak disebabkan oleh :

1. Kongenital disebabkan gangguan perkembangan janin dalam


rahim,atau infeksi intrauterine meliputi :

a. Stenosis aquaductus sylvi

b. Spina bifida dan kranium bifida

c. Syndrom Dandy-Walker

d. Kista arakhnoid dan anomali pembuluh darah

2. Didapat disebabkan oleh infeksi, neoplasma, atau perdarahan

a. Infeksi

Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen. Secara patologis


terlihat penebalan jaringan piameter dan arakhnoid sekitar sisterna
basalis dan daerah lain. Penyebab lain infeksi adalah
toksoplasmosis.

b. Neoplasma

Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik dapat terjadi di setiap tempat


aliran CSS. Pada anak, penyeban terbanyak penyumbatan ventrikel
IV / akuaduktus sylvii bagian terakhir biasanya suatu glioma yang
berasal dari cerebelumpenyumbatan bagian depan ventrikel III
disebabkan kraniofaringioman
c. Perdarahan

Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat


menyebabkan fibrosis leptomeningfen terutama pada daerah basal
otak, selain penyumbatan yang terjakdi akibat organisasi dari darah
itu sendiri.

4. Patofisiologi

Riefmanto (2011), hidrosefalus terjadi akibat adanya gangguan


dari sirkulasi cairan otak (adanya sumbatan aliran normalgangguan
penyerapan) ataupun produksi cairan otak yang berlebihan. Hidrosefalus
dapat terjadi secara akut maupun kronis, dapat muncul sebagai kondisi
tunggal ataupun berhubungan dengan berbagai penyakit saraf lain serta
dapat menimpa baik janin didalam kandungan, bayi, anak-anak maupun
dewasa. Hidrosefalus dibagi atas beberapa kelompok yang berbeda.
Komunikan dan non komunikan adalah salah satu pengelompokan yang
sering digunakanPengelompokan lain adalah kongenital-didapat, internal-
eksternal, hidrosefalus tekanan normal- hidrosefalus ex vacuo.

Hidrosefalus komunikan terjadi saat vili arahnoid tidak dapat


menyerap cairan otak secara memadai. Ganggaun penyerapan ini dapat
disebabkan terjadinya perdarahan diruang ventrikel subarahnoid (selaput
otak) atau setelah terjadinya infeksi otak seperti meningitis. Penyebab
lain dari hidrosefalus komunikan adalah produksi cairan otak yang
berlebihan akibat adanya tumor pleksus koroid. Pada hidrosefalus non
komunikan sistem ventrikel tidak berhubungan dengan vili arahnoid
disebabkan adanya hambatan sirkulasi cairan otak

Penyebab hambatan aliran cairan otak dapat berupa


tumorabnormalitas konginetal, kistaperadangan akibat infeksi maupun
segala kondisi yang dapat mengganggu sirkulasi cairan otak.
Hidrosefalus konginetal disebabkan setiap kondisi yang terjadi sebelum
proses kelahiran. Hidrosefalus dapat terlihat ataupun belum muncul saat
bayi dilahirkan. Contoh kondisi tersebut seperti tertutupnya akuaduktis
sylfius, malformasi Dandy-Walker, X-linkes hydrosefalus (gangguan
terpaut genetik). Hidrosefalus disebabkan oleh kondisi-kondisi sebelunya
tidak terdapat pada pasien. Kondisi tersebut dapat menyebabkan
sumbatan sirkulasi, produksi yang berlebihan ataupun hambatan
penyerapan cairan otak. Hidrosefalus internal adalah pelebaran ventrikel
disebebkan oleh patofisisologi terkait. Istilah hidrosefalus umunya
ditujukan hidrosefalus internal.

Hidrosefalus eksternal adalah menumpuknya cairan otak baik


diruang subarahnoid ataupun subdural. Jika penumpukan cairan tersebut
menyebabkan pendesakan pada jaringan parenkim otak dan bergejala
menyebabkan penambahan lingkar kepala maka kondisi ini perlu
ditatalaksana secara pembedahan. Hidrosefalus ex vacuo adalah kondisi
dimana terjadi penyusutan volume jaringan otak.

Ventrikel tampak melebar dengan tidak terlihatnya jaringan otak.


Kondisi ini dapat disertai peningkatan TIK ataupun tidak. Hidrosefalus
tekanan normal adalah suatu kondisi yang terjadi tanpa disertainya
peningkatan TIK. Terdapat pelebaran ventrikel yang menyebabkan
penekanan jaringan otak akan tetapi tekanan dalam ventrikel normal

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari hidrosefalus menurut Darsono (2008), yaitu:

a. Sakit kepala

b. Pembesaran kepala

c. Kelainan neurologi (mata selalu mengarah ke bawah, gangguan


perkembangan motorik, gangguan penglihatan)

d. Vena kulit kepala sering terlihat menonjol

e. Penurunan kesadaran

f. Penurunan atau gangguan kemampuan aktivitas


6. Pemeriksaan Penunjang

Pada hidrosefalus, penatalaksanaan medis menurut Riefmanto (2011),


dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Medikamentosa

Tidak dapat terapi medis yang dapat mengobati hidrosefalus


secara efektif. Adakalanya digunakan obat-obatan diuretik sebagai
pengobatan sementara sebelum dilakukan tindakan
shuntAsetazolamid dapat mengurangi produksi cairan otak. Dosisnya
dapat mencapai 100 mg/kg dan untuk mencapai efektifitas penurunan
cairan serebro spinal bermakna dibutuhkan penghambtan terhadap
99% enzim karbonik anhidrase. Furosemid dengan dosis 1 mg/kg/hari
juga dapat digunakan.

2. Pembedahan shunting

Ventriculoperitoneal (VP) shunt adalah alat kesehatan yang


dipasang untuk melepaskan tekanan dalam otak. VP shunt
direkomendasi bagi pasien yang menderita hidrosefalus. Kondisi ini
disebabkan oleh cairan serebrospinal (CSF) berlebih yang membuat
perluasan ruang dalam otak (ventrikel) menjadi sangat cepat,
sehingga memicu tekanan yang tak semestinya. Jika tidak segera
ditangani, kondisi ini dapat berujung pada kerusakan otakTujuan
tindakan ini untuk mengalirkan cairan yang diproduksi di dalam otak
ke dalam rongga perut untuk kemudian diserap ke dalam pembuluh
darah dan disekresi melalui urine dan feses (Milleret al, 2008)

7. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan menurut Brunner & Suddarth (2022)
penyakit
hipokalemia yang paling baik adalah pencegahan. Berikut adalah contoh-
contoh penatalaksanaannya :
1. Pemberian kalium sebanyak 40-80 mEq/L.
2. Diet yang mengandung cukup kalium pada orang dewasa rata-rata 50-
100 mEq/hari (contoh makanan yang tinggi kalium termasuk kismis,
pisang, aprikot, jeruk, advokat, kacang-kacangan, dan kentang).
3. Pemberian kalium dapat melalui oral maupun bolus intravena dalam
botol infus.
4. Pada situasi kritis, larutan yang lebih pekat (seperti 20 mEq/L) dapat
diberikan melalui jalur sentral bahkan pada hipokalemia yang sangat
berat, dianjurkan bahwa pemberian kalium tidak lebih dari 20-40
mEq/jam (diencerkan secukupnya) : pada situasi semacam ini pasien
harus dipantau melalui elektrokardigram (EKG) dan diobservasi
dengan ketat seperti perubahan pada kekuatan otot

.
8. Pathway
.
B. Konsep Dasar Respiratori Disorder

1. Pengertian
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) atau sindrom
gangguan pernapasan akut sebelumnya memiliki banyak nama lain seperti
wet lung, shock lung, leaky-capillary pulmonary edema dan adult
respiratory distress syndrome.

ARDS sebagai salah satu penyakit paru akut yang memerlukan


perawatan Intensive Care Unit (ICU) serta memiliki angka kematian yang
tinggi yaitu mencapai 60%, oleh karena itu ARDS merupakan penyakit
peradangan paru-paru yang dapat mengancam jiwa. Pasien dengan ARDS
biasanya dirawat dengan dukungan ventilasi. Sindrom gangguan
pernapasan akut dapat didefinisikan sebagai bentuk kegagalan pernapasan
hipoksemik berat yang ditandai dengan cedera inflamasi pada penghalang
kapiler alveolar dengan ekstravasasi cairan edema kaya protein ke dalam
paru (Han dan Mallampalli, 2015).

2. Etiologi

Penyebab mekanis ARDS adalah kebocoran cairan dari pembuluh


darah terkecil di paru-paru ke dalam kantung udara kecil tempat darah
teroksigenasi. Penyebab ARDS dapat dibedakan menjadi dua yaitu
kerusakan paru tidak langsung dan kerusakan paru langsung. Penyebab
kerusakan paru secara langsung diantaranya disebabkan oleh pneumonia,
trauma inhalasi, aspirasi cairan lambung, near drowning, serta kontusio
paru.

Sedangkan, kerusakan paru tidak langsung dapat disebabkan karena


adanya pasca bypass kardiopulmonal, sepsis, transfusi, trauma (luka
bakar, flail chest, trauma kepala, multiple fracture), overdosis obat,
pankreatitis (Rumende, 2018). Penyebab utama ARDS meliputi sepsis,
pneumonia berat, menghirup zat berbahaya, episode hampir tenggelam.
Kasus pneumonia yang parah biasanya menyerang kelima lobus paru-
paru, kecelakaan (seperti jatuh atau tabrakan mobil, bisa langsung
merusak paru-paru atau bagian otak yang mengontrol pernapasan),
Corona virus Disease 2019 (COVID-19), pankreatitis (radang pankreas),
transfusi darah masif dan luka bakar (Staff, 2020).

Ada beberapa faktor risiko terjadinya ARDS. Sebanyak 20% klien


ARDS tidak mempunyai faktor risiko yang teridentifikasi. Beberapa
faktor risiko ARDS meliputi usia lanjut, jenis kelamin wanita, merokok,
penggunaan alkohol, operasi vaskular aorta, operasi kardiovaskular,
cedera otak traumatis (Diamond dkk., 2020). Faktor risiko utama yang
terkait dengan perkembangan ARDS diantaranya yaitu bakteremia,
sepsis, trauma dengan memar atau tanpa memar paru, farktur (terutama
fraktur multipel dan fraktur tulang panjang), luka bakar, transfusi masif,
radang paru-paru, aspirasi, overdosis obat, hampir tenggelam, cedera
perfusi setelah bypass kardiopulmoner, pankreatitis, dan emboli lemak
(Harman, 2020).

3. Patofisiologi

Terdapat empat tahapan dalam pengembangan ARDS (Rajakumari,


2017; Thompson dan Liu, 2017). Tahap pertama dikenal sebagai tahap
inflamasiItu terjadi dalam 12 jam pertama setelah cedera. Setiap setelah
terjadinya cedera, baik langsung atau tidak langsung pada paru-paru
merangsang sistem kekebalan untuk menghasilkan neutrofil, makrofag,
dan trombosit. Sel-sel tersebut menumpuk di lokasi cedera di paru-paru.
Selanjutnya, mediator seluler ini memulai mediator Substance P.
Interleukin -10, Interleukin -1 Beta, Cytokines, Interleukin-6, Platelet
Activating Factor (PAF), Granulocyte Macrophage-colony Stimulating
Factor, Intercellular Adhesion Molecule-1, Chemokines, Reactive
Oxygen Species And Reactive Nitrogen Species, Vasular Endothelial
Growth Factor, menyebabkan kerusakan pada membran kapiler alveolar

Tahap kedua disebut tahap eksudatifItu terjadi dalam 24 jam. Pada


fase eksudatif, makrofag alveolar residen diaktifkan, yang mengarah pada
pelepasan mediator proinflamasi yang kuat dan kemokin yang mendorong
akumulasi neutrofil dan monosit. Neutrofil yang teraktivasi selanjutnya
berkontribusi pada cedera dengan melepaskan mediator beracun. Cedera
pada endotel mikro-vaskular dan sel alveoli tipe I menyebabkan
permeabilitas kapiler mengalami peningkatan dan cairan kaya protein
masuk ke dalam alveolar yang selanjutnya menyebabkan edema
interstisial dan alveolar. Tumor necrosis factor (TNF) ekspresi faktor
jaringan yang dimediasi mendorong agregasi platelet dan pembentukan
mikrotrombus, serta koagulasi intraalveolar dan pembentukan membran
hialin. Cedera pada sel alveoli tipe II menyebabkan produksi surfaktan
menurun. Surfaktan berperan besar dalam menjaga kestabilan dinding
alveolus dengan mengurangi tekanan pada permukaan paru agar tidak
terjadi kolaps (Satriyo, 2017). Oleh karena itu, penurunan produksi
surfaktan dapat menyebabkan penurunan komplians paru yang
menyebabkan kolaps alveolar. Hal tersebut dapat memperburuk
hipoksemia dan menyebabkan ventilasi-perfusi tidak efektif.

Tahap ketiga disebut tahap fibro-proliferatif. Tahap dimulai dari 2-


10 hari cidera. Proses penyembuhan berlangsung pada tahap ini.
Granulasi seluler dan deposisi kolagen terjadi di paru-paru. Alveloli
menjadi besar dan bentuknya tidak teratur dan kapiler paru mengalami
luka dan lenyap. Tahap terakhir disebut tahap remodeling/resolusiCairan
intra-alveolar diangkut keluar dari alveolus ke interstitium dan sel
alvelolar Tipe II berkembang biak dan kembali menghasilkan surfaktan.

4. Manifestasi Klinis

Kriteria ARDS di Berlin ditandai dengan adanya tanda dan gejala. Onset
atau waktu permulaan munculnya suatu penyakit selama 1 minggu atau
kurang setelah kejadian klinis. Berikut merupakan tanda dan gejala yang
teridentifikasi, diantaranya (Amin dkk., 2016)

a. gejala pemapasan de novo atau memburuknya gejala pemapasan


sebelumnya;

b. kekeruhan bilateral terdeteksi pada rontgen dada atau CT, yang


mungkin tidak sepenuhnya dijelaskan oleh efusi pleura;
c. kegagalan napas, yang tidak boleh dijelaskan karena adanya
kelebihan cairan ataupun gagal jantung.

Sedangkan menurut Staff (2020) tanda dan gejala ARDS dapat


bervariasi dalam intensitas, tergantung pada penyebab dan tingkat
keparahannya, serta keberadaan penyakit jantung atau paru-paru yang
mendasari. Berikut merupakan tanda dan gejala ARDS:

a. Sesak napas yang parah

b. Sesak napas dan napas cepat yang tidak biasa

c. Tekanan darah rendah

d. Kebingungan dan kelelahan ekstrim

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada pasien ARDS yang dapat


dilakukan(Harman, 2020), diantaranya:

a. Tes laboratorium

 Analisa gas darah untuk mengetahui tekanan parsial oksigen


dalam darah arteri pasien (PaO2) dibagi dengan fraksi oksigen di
udara inspirasi (FiO2), hasilnya adalah 300 atau kurang. Untuk
pasien yang menghirup oksigen 100%, ini berarti PaO2 kurang
dari 300

 Gas darah arteri pada awalnya sering menunjukkan alkalosis


pernapasan. Namun, pada ARDS yang terjadi dalam konteks
sepsisasidosis metabolik dengan atau tanpa kompensasi
pernapasan dapat terjadi.

 Untuk mengetahui edema paru kardiogenik, dilakukan


pemeriksaan untuk nilai plasma B-type natriuretic peptide
(BNP) dan ekokardiogramTingkat BNP kurang dari 100 pg/mL
pada pasien dengan infiltrat bilateral dan hipoksemia
mendukung diagnosis ARDS daripada edema paru kardiogenik.
Ekokardiogram memberikan informasi tentang fraksi ejeksi
ventrikel kiri, fungsi ventrikel kanan, gerakan dinding, dan
kelainan katup.

 Kelainan lain yang diamati pada ARDS bergantung pada


penyebab yang mendasari atau komplikasi terkait dan mungkin
termasuk yang berikut:

1. Hematologi Pada pasien sepsis, leukopenia atau leukositosis


dapat ditemukan. Trombositopenia dapat diamati pada
pasien sepsis dengan adanya koagulasi intravaskular
diseminata (DIC)Faktor Von Willebrand (VWF) dapat
meningkat pada pasien dengan risiko ARDS dan mungkin
merupakan penanda cedera endotel.

2. Ginjal Nekrosis tubular akut (ATN) sering terjadi selama


ARDS, mungkin dari iskemia ke ginjal. Fungsi ginjal harus
dipantau secara ketat.

3. Hati Kelainan fungsi hati dapat ditemukan baik dalam pola


cedera hepatoseluler atau kolestasis.

4. Sitokin Beberapa sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6,


dan IL-8, meningkat dalam serum pasien yang berisiko
ARDS.

b. Radiografi

Dengan melakukan rradiologi ARDS dapatditentukan oleh adanya


infiltrat paru bilateral. Infiltrat mungkin menyebar dan simetris atau
asimetris, terutama jika ditumpangkan pada penyakit paru-paru yang
sudah ada sebelumnya atau jika penyebab ARDS adalah proses paru,
seperti aspirasi atau memar paru. Infiltrat paru biasanya berkembang
pesat, dengan tingkat keparahan maksimal dalam 3 hari pertama. Infiltrat
dapat ditemukan pada radiografi dada segera setelah timbulnya kelainan
pertukaran gas. Mungkin interstisial, ditandai dengan pengisian alveolar,
atau keduanya.

c. CT-Scan

Secara umum, evaluasi klinis dan radiografi dada rutin sudah cukup
pada pasien ARDS. Namun, CT-Scan mungkin diindikasikan dalam
beberapa situasiCT scan lebih sensitif daripada foto polos dada dalam
mendeteksi emfisema interstisial paru, pneumotoraks dan
pneumomediastinum, efusi pleura, kavitasi, dan limfadenopati
mediastinum. Heterogenitas keterlibatan alveolar sering terlihat pada CT
scan bahkan dengan adanya infiltrat homogen yang menyebar pada foto
toraks rutin.

d. Broncho-Alveolar Lavage (BAL)

Analisis jenis sel yang ada dalam cairan BAL dapat membantu
dalam diagnosis banding pasien ARDS. Sehingga keberadaan organisme
intraseluler dan penggunaan kultur kuantitatif penting untuk menentukan
infeksi. Misalnya, ditemukannya persentase yang tinggi dari eosinofil (>
25%) dalam cairan BAL konsisten dengan diagnosis pneumonia
eosinofilik akut.

e. Echo Cardiography

Echo-cardiography umumnya normal. Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri


normal. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa pasien tidak memiliki
penyebab jantung. Sebagai bagian dari pemeriksaan, pasien ARDS harus
menjalani

6. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ARDS yaitu komplikasi


Ventilator Associated Pneumonia (VAP) sebanyak 30 hingga 65% yang
terjadi lebih dari 5 hingga 7 hari sejak penggunaan ventilasi mekanik.
Komplikasi tersebut terjadi dimulai dengan adanya kolonisasi patogen seperti
enterobacteriaceae, Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), dan
batang gram negatif pada saluran nafas bawah. Komplikasi lain yang dapat
terjadi pada kasus ARDS akibat dari ventilasi tekanan positif pada paru yang
komplians menurun yaitu barotrauma (emfisema subkutan,
pneumomediastinum, pneumothorax). Kasus barotrauma ini terjadi pada
ARDS kurang dari 10% (Bakhtiar dan Maranatha, 2018). Komplikasi lain
yang dapat terjadi diantaranya trombo emboli vena, anemia, perdarahan
saluran cerna, multisystem organ failure, komplikasi saluran napas seperti
edema laring dan stenosis subglotis, sepsis karena gagal ginjal, miopati terkait
blokade neuro muskular (Rumende, 2018).
6. Pathway
C. Konsep Community Acquired Pneumonia (CAP)

1. Pengertian

Pneumonia adalah inflamasi paru yang ditandai dengan konsulidasi


karena eksudat yang mengisi alveoli dan bronkiolus (Sharon, 2020).
Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan bawah akut
dengan gejala batuk dan disertai dengan sesak nafas yang disebabkan agen
infeksius seperti virus, bakteri,mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi
benda asing, berupa radang paru-paru paru-paru yang disertai disertai
eksudasi eksudasi dan konsulidasi konsulidasi.

Pneumonia CAP (Community-Acquired Pneumonia) merupakan salah )


merupakan salah satu penyakit penyakit infeksius infeksius yang sering di
sebabkan sebabkan oleh bakteri bakteri yaitu Streptococcus Streptococcus
pneumonia. pneumonia. Bakteri Bakteri ini terletak terletak di saluran saluran
napas atas pada hingga 70% orang dewasa. Bakteri ini dapat menyebar secara
langsung dari kontak o dapat menyebar secara langsung dari kontak orang ke
rang ke orang melalui droplet (LeMone A, 2020).

Community-Acquired Pneumonia (CAP) adalah salah satu penyakit menular


yang paling umum dan merupakan penyebab penting mortalitas dan
morbiditas di seluruh dunia. Bakteri patogen khas yang menyebabkan CAP
termasuk Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella
catarrhalis (lihat gambar di bawah). Namun, dengan munculnya teknologi
diagnostik baru, patogen pernapasan virus semakin diidentifikasi sebagai
etiologi CAP yang sering. Patogen virus yang paling umum pulih dari pasien
rawat inap yang dirawat dengan CAP termasuk rhinovirus manusia dan
influenza (Sethi Sanjay, 2020)

2. Etiologi

Menurut (LeMone A, 2020) pneumonia didapatkan oleh 2 penyebab antara


lain : infeksius dan noninfeksius. Penyebab infeksius yaitu bakteri, virus,
jamur, protozoa dan mikroba. Sedangkan penyebab noninfeksius anatara lain
adalah aspirasi isi lambung dan inhalasi gas beraun atau gas yang mengiritasi.

Pneumonia infeksius sering kali diklasifikasikan sebagai infeksi yang didapat


komunitas, infeksi nosokpomial (didapat dirumah sakit), atau oportunistik
(Imun menurun). 16 Berikut tabel umum penyebab pneumonia pada orang
dewasa (LeMone A, 2020).

Penyebaran infeksi terjadi melalui droplet dan sering disebabkan oleh


streptoccus pneumonia, melalui slang infuse oleh staphylococcus aureus
sedangkan pada pemakaian ventilatol oleh paeruginosa dan enterobacter. Dan
masa kini terjadi karena perubahan keadaan pasien seperti kekebalan tubuh
penyakit kronis, polusi lingkungan, penggunaan antibiotik yang tidak tepat
(Nurarif, 2021). Pneumonia yang didapat dari komunitas adalah jenis
pneumonia yang paling umum. Itu terjadi diluar rumah sakit atau fasilitas
perawatan kesehatan lainnya. Ini mungkin disebabkan oleh (Mayo Foundation
for Medical Education and Research, 2020) :

a. Bakteri

Penyebab paling umum pneumonia bakteri di AS adalah Streptococcus


pneumoniae. Pneumonia jenis ini dapat terjadi dengan sendirinya atau
setelah Anda pilek atau flu. Ini dapat mempengaruhi satu bagian (lobus)
paru-paru, suatu kondisi yang disebut pneumonia lobar

b. Organisme mirip bakteri

Mycoplasma pneumoniae juga dapat menyebabkan pneumonia. Ini


biasanya menghasilkan gejala yang lebih ringan daripada jenis pneumonia
lainnya. Pneumonia berjalan adalah nama informal yang diberikan untuk
jenis pneumonia ini, yang biasanya tidak cukup parah untuk memerlukan
istirahat di tempat tidur.

c. Jamur

Jenis pneumonia ini paling sering terjadi pada orang dengan masalah
kesehatan kronis atau sistem kekebalan yang lemah, dan pada orang yang
menghirup organisme dalam dosis besar. Jamur yang
menyebabkannyadapat ditemukan ditanah atau kotoran burung dan
bervariasi tergantung pada lokasi geografis.

3. Komplikasi

Komplikasi dari Community Acquired Pneumonia bila tidak ditangani secara


adekuat adalah sebagai berikut:

a. Efusi pleura

b. Empiema

c. Pneumotoraks

d. Piopneumotoraks

e. Pneumatosel

f. Abses Paru

g. Sepsis

h. Gagal natas

i. Neus paralitik fungsional

4. Penatalaksanaan

Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan


klinisnva. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati
di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan
yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen
yang spesifik misalnya S. pneumoniae yang resisten penisilin. Menurut ATS
(2021), yang termasuk dalam faktor modifikasis adalah:

a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin

1) Umur lebih dari 65 tahun

2) Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir

3) Pecandu alkohol

4) Penyakit gangguan kekebalan


5) Penyakit penyerta yang multipel

b. Bakteri enterik Gram negatif

1) Penghuni rumah jompo

2) Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru

3) Mempunyai kelainan penyakit yang multipel

4) Riwayat pengobatan antibiotik

c. Pseudomonas aeruginosa

1) Bronkiektasis

2) Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari

3) Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir

4) Gizi kurang

Secara umum, penatalaksanaan CAP dibagi menjadi beberapa hal,


diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Penderita rawat jalan

Pengobatan suportif / simptomatik

1) Istirahat di tempat tidur

2) Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi

3) Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas

4) Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran

5) Pemberian antiblotik harus diberikan kurang dari 8 jam

b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa

Pengobatan suportif / simptomatik

1) Pemberian terapi oksigen

2) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit


3) Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

4) Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam

c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif

Pengobatan suportif / simptomatik

1) Pemberian terapi oksigen.

2) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit

3) Pemberian bat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik.

Pengobatan antibiotik kurang dari 8 jam.

Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik.

5. Pemeriksaan Penunjang (Diagnostik)

a.Gambaran Radiologis

Foto thorax (PA/Lateral) yang merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk


menegakkan diagnosis

b. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,


biasanya lebih dari 10.000/ul kadang sampai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
pemeriksaan diagnosis etiologi dibutuhkan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25 persen penderita yang tidak
diobati. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium
lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik (PDPI, 2019).
A. Konsep Dasar Akute kidney injury

1. Pengertian

Acute Kidney Injury adalah penurunan fungsi ginjal mendadak


dengan akibat hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan
homeostatis tubuh. Acute Kidney Injury juga merupakan suatu sindrom
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal mendadak dengan akibat
terjadinya penimbunan hasil metabolik persenyawaan nitrogen seperti
ureum dan kreatinin. Diagnosa Acute Kidney Injury (Gagal Ginjal Akut)
yaitu terjadinya peningkatan kadar kreatinin darah secara progresif 0.5
mg/dl per hari. Peningkatan kadar ureum darah adalah sekitar 10 sampai
20 mg/dl per hari kecuali bila terjadi hiperkatabolisme dapat mencapai
100 mg/dl per hari (Mariana, 2020).

Acute Kidney Injury atau Acute Renal Failure (ARF) adalah fungsi
ginjal yang menurun secara tiba-tiba (penurunan GFR [Glomerular
Filtration Rate]) dan terjadi hampir dalam hitungan jam atau hari. Acute
Kidney Injury biasanya secara mendadak tanpa didahului dengan gejala
penurunan fungsi ginjal. Kasus yang banyak terjadi adalah ketika pasien
bekerja berat, berolah raga, stress, dan sebagainya, tiba-tiba muncul
gejala Acute Kidney Injury ini. Gejala biasanya baru teridentifikasi di
rumah sakit yang berupa oliguria (output urin dalam 24 jam kurang dari
400 cc [Cubic centimeter]), azotemia progresif dan disertai kenaikan
ureum dan kreatinin (Mariana, 2020).

Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut


(AKI) harus mencakup:

1. sebuah assessment penyebab yang berkontribusi dalam cedera


ginjal,

2. penilaian terhadap perjalanan klinis termasuk komorbiditas,

3. penilaian yang cermat pada status volume,

4. langkah-langkah terapi yang tepat yang dirancang untuk mengatasi


atau mencegah memburuknya fungsional atau struktural abnormali
ginjal. Penilaian awal pasien dengan AKI klasik termasuk
perbedaan antara prerenal, renal, dan penyebab pasca-renal
(Mariana, 2020).

Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak


fungsi ginjal yang terjadi dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis
AKI saat ini dibuat atas dasar adanya kreatinin serum yang meningkat
dan blood urea nitrogen (BUN) dan urine output yang menurun,
meskipun terdapat keterbatasan. Perlu dicatat bahwa perubahan BUN dan
serum kreatinin dapat mewakili tidak hanya cedera ginjal, tetapi juga
respon normal dari ginjal ke deplesi volume ekstraseluler atau penurunan
aliran darah ginjal.

Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut
terpenuhi :

➢ Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26µmol /L dalam


waktu 48 jam atau

➢ Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang
diketahui atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau

➢ Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut

2. Etiologi

Menurut Sinto. R, Nainggolan. G (2010) etiologi acute kidney


injury dibagi menjadi 3 kelompokutama berdasarkan patogenesisnya,
yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa
menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal, 55%); (2)
penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim
ginjal (AKI renal/intrinsik, 40%); (3) penyakit yang terkait dengan
obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal, 5%). Angka kejadian penyebab
AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah satu cara
klasifikasi etiologi AKI dapat dibagi sebagai berikut :
AKI Prarena

1. Hipovolemia

 Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular


Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi
usus

 Kehilangan darah

 Kehilangan cairan ke luar tubuh Melalui saluran cerna (muntah,


diare, drainase), melalui saluran kemih (diuretik, hipoadrenal,
diuresis osmotik), melalui kulit (luka bakar)

2. Penurunan curah jantung

 Penyebab miokard: infark, kardiomiopati

 Penyebab perikard: tamponade

 Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal

 Aritmia

 Penyebab katup jantung

3. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik

 Penurunan resistensi vaskular perifer Sepsis, sindrom


hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh: barbiturat),
vasodilator (nitrat, antihipertensi) - Vasokonstriksi ginjal
Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus,
amphotericin B

 Hipoperfusi ginjal lokal Stenosis a.renalis, hipertensi maligna

4. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal

 Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen Perubahan


struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik, PGK
(penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna), penurunan
prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibi tor),
vasokonstriksi arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia,

sindrom hepatorenal, siklosporin, takrolimus, radiokontras)

 Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen - Penggunaan


penyekat ACE, ARB

 Stenosis a. Renalis

5. Sindrom hiperviskositas

 Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia. AKI


Renal/intrinsik

c. Obstruksi renovaskular

 Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi


aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis, kompresi)

d. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal

 Glomerulonefritis, vaskulitis

e. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)

 Iskemia (serupa AKI prarenal)

 Toksin

 Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, pelarut


organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis, asam
urat, oksalat, mieloma)

f. Nefritis interstitial

 Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi


(bakteri, viral, jamur),infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis),
idiopatik

g. Obstruksi dan deposisi intratubular

h. Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,


sulfonamida

i. Rejeksi alograf ginjal

3. Manifestasi Klinis

Menurut Cleνeland Clinic (2019) manifestasi klinis acute kidney


injury bisa muncul dalam hitungan hari atau bahkan jam setelah gangguan
pada ginjal terjadi, berikut :

1. Jumlah dan frekuensi urine berkurang

2. Pembengkakan pada tungkai akibat penumpukan cairan

3. Tubuh mudah lelah

4. Sesak nafas

5. Gangguan irama jantung

6. Nyeri atau sensasi tertekan di dada

7. Nafas berbau tidak sedap

8. Muncul ruam atau rasa gatal di kulit

9. Nafsu makan menurun

10. Mual dan muntah

11. Demam

12. Sakit di perut dan punggung

13. Nyeri atau pembengkakakan pada sendi

14. Tremor di tangan

15. Kejang

16. Koma.

4. Komplikasi

Odema paru terjadi karena gagal jantung kongestif. Keadaan ini terjadi
akibat ginjal tidak dapat mensekresi urin, garam dalam jumlah yang cukup.
Posisi pasien setengah duduk agar cairan dalam paru dapat di distribusi ke
vaskular sistemik, di pasang oksigen, dan di berikan diuretik kuat
(furosemide injeksi). Aritmia terjadi karena efek dari hiperkalemia yang
mempengaruhi kelistrikan jantung. Gangguan elektrolit (hiperkalemia,
hiponatremia dan asidosis). Penurunan kesadaran terjadi karena perubahan
perfusi dan penurunan aliran darah ke otak. Infeksi terjadi karena retensi sisa
metabolisme tubuh dalam peredaran darah (BUN, 20 kreatinin). Anemia,
terjadi akibat penurunan produksi eritropoietin sehingga eritrosit yang
dihasilkan juga akan berkurang ( Mariana, 2021).

Komplikasi terkait AKI tergantung dari keberatan AKI dan kondisi


terkait AKI yang ringan dan sedang mungkin secara keseluruhan asimtomatik
khususnya saat awal. Pada tabel berikut dijelaskan komplikasi yang sering
terjadi dan penangannya untuk AKI.

5. Patofisiologi

Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus
relatif konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi.
Dua mekanisme yang berperan dalam autoregulasi ini adalah:

a. Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen

b. Timbal balik tubuloglomerular

Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat
mempengaruhi autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama
disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi akan terjadi
penurunan tekanan darah, yang akan mengaktivasi baroreseptor
kardiovaskular yang selanjutnya mengaktifasi sistim saraf simpatis, sistim
rennin-angiotensin serta merangsang pelepasan vasopressin dan endothelin-I
(ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan
darah dan curah jantung serta perfusi serebral.

Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan


aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi
arteriol afferent yang dipengaruhi oleh reflek miogenik, prostaglandin dan
nitric oxide (NO), serta vasokonstriksi arteriol afferent yang terutama
dipengaruhi oleh angiotensin-II dan ET- Ada tiga patofisiologi utama dari
penyebab acute kidney injury (AKI):

a. Penurunan perfusi ginjal (pre-renal)

b. Penyakit intrinsik ginjal (renal)

c. Obstruksi renal akut (post renal)

d. Bladder outlet obstruction (post renal)

Batu, trombus atau tumor di uretra Diuraikan sebagai berikut :

1. Gagal Ginjal Akut Pre Renal (Azotemia Pre Renal)Pada hipoperfusi


ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) serta berlangsung
dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan
terganggu dimana arteriol afferent mengalami vasokonstriksi, terjadi
kontraksi mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan
ini disebut prerenal atau gagal ginjal akut fungsional dimana belum
terjadi kerusakan struktural dari ginjal.

Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki


homeostasis intrarenal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa
dipengaruhi oleh berbagai macam obat seperti ACEI, NSAID terutama
pada pasien ‐ pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum
kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat terjadi GGA pre-renal. Proses ini
lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotensi, penggunaan
diuretic, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu diingat bahwa pada pasien
usia

lanjut dapat timbul keadaan ‐ keadaan yang merupakan resiko GGA


pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit
renovaskuler), penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal.
Sebuah penelitian terhadap tikus yaitu gagal ginjal ginjal akut prerenal
akan terjadi 24 jam setelah ditutupnya arteri renalis.
2. Gagal Ginjal Akut Intra Renal (Interinsik Renal)

Gagal ginjal akut intra renal merupakan komplikasi dari beberapa


penyakit parenkim ginjal. Berdasarkan lokasi primer kerusakan tubulus
penyebab gagal ginjal akut inta renal, yaitu :

a. Pembuluh darah besar ginjal

b. Glomerulus ginjal

c. Tubulus ginjal : nekrosi tubular akut

d. Interstitial ginjal

Gagal ginjal akut intra renal yang sering terjadi adalah nekrosi
tubular akut disebabkan oleh keadaan iskemia dan nefrotoksin. Pada
gagal ginjal renal terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan
nekrosis tubular akut. Dimana pada NTA terjadi kelainan vascular dan
tubular. Pada kelainan vaskuler terjadi:

 Peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang


menyebabkan sensitifitas terhadap substansi-substansi
vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.

 Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan


sel endotel vaskular ginjal, yang mengakibatkan peningkatan A-II
dan ET-1 serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan nitric
oxide yang berasal dari endotelial NO-sintase.

 Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan


interleukin-18, yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari
intraseluler adhesion molecule-1 dan P-selectin dari sel endotel,
sehingga peningkatan perlekatan sel radang terutama sel netrofil.
Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.
Kesuluruhan proses di atas secara bersama-sama menyebabkan
vasokonstriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan GFR.

Salah satu Penyebab tersering AKI intrinsik lainnya adalah sepsis,


iskemik dan nefrotoksik baik endogenous dan eksogenous dengan dasar
patofisiologinya yaitu peradangan, apoptosis dan perubahan perfusi
regional yang dapat menyebabkan nekrosis tubular akut (NTA).
Penyebab lain yang lebih jarang ditemui dan bisa dikonsep secara
anatomi tergantung bagian major dari 10 kerusakan parenkim renal :
glomerulus, tubulointerstitium, dan pembuluh darah.

Sepsis-associated AKI merupakan penyebab AKI yang penting


terutama di Negara berkembang. Penurunan LFG pada sepsis dapat
terjadi pada keadaan tidak terjadi hipotensi, walaupun kebanyakan
kasus sepsis yang berat terjadi kolaps hemodinamik yang memerlukan
vasopressor. Sementara itu, diketahui tubular injury berhubungan secara
jelas dengan AKI pada sepsis dengan manifestasi adanya debris tubular
dan cest pada urin.

Efek hemodinamik pada sepsis dapat menurunkan LFG karena


terjadi vasodilatasi arterial yang tergeneralisir akibat peningkatan
regulasi sitokin yang memicu sintesis NO pada pembuluh darah. Jadi
terjadi vasodilatasi arteriol eferen yang banyak pada sepsis awal atau
vasokontriksi renal pada sepsis yang berlanjut akibat aktivasi sistem
nervus simpatis, sistem renin-angiotensus-

2. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan


mencegah komplikasi yang meliputi hal-hal sebagai berikut dialisis,
koreksi hiperkalemi, terapi cairan dan diet rendah protein tinggi
karbohidrat serta koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan
dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi Acute
Kidney Injury yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan
kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan
cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas,
menghilangkan kecenderungan perdarahan dan membantu
penyembuhan luka. Koreksi hiperkalemi ialah peningkatan kadar
kalium dapat dikurangi dengan pemberian enema. Natrium polistriren
sulfonat bekerja dengan mengubah ion kalium menjadi natrium di
saluran interstinal ( Marianis,2020).

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Tanda-tanda untuk penyebab


AKI, indikasi beratnya gangguan metabolic, perkiraan status
volume (hidrasi).

2. Mikroskopik urin Petanda inflamasi glomerulus atau tubulus,


infeksi saluran kemih atau uropati, Kristal.

3. Pemeriksaan biokima darah Mengukur pengurangan LFG dan


gangguan metabolic yang diakibatkannya.

4. Pemeriksaan biokimia urin Membedakan gagal ginjal pre-renal dan


renal

5. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap Menentukan ada tidaknya


anemia, leukositosis dan kekurangan trombosit.

6. USG Ginjal Menentukan ukuran ginjal, ada tidaknya obstruksi,


tekstur parenkim ginjal yang abnormal.

7. CT Scan abdomen Mengetahui struktur abnormal dari ginjal dan


traktus urinarius

8. Pemindaian Radionuklir Mengetahui perfusi ginjal yang abnormal

9. Pielogram Evaluasi perbaikan dari obstruksi traktus


urinarius

10. Biopsi Ginjal Menentukan berdasarkan pemeriksaan patologi


penyakit ginjal

11. Terapi Nutrisi Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung


dari penyakit dasarnya dan kondisi komorbid yang di ju
A. Asuhan Keperawatan Teoritis
Berdasarkan pendapat dari para ahli tentang tahapan dalam proses keperawata
n, tahap dimulai dengan: tahap pengkajian, tahap diagnosa keperawatan, tahap pere
ncanaan, tahap pelaksanaan serta tahap evaluasi. (Budiono, 2016).
1. Pengkajian Primary Survey
Pengkajian yang perlu dilakukan yakni pengkajian primer yang meliputi air
way, breathing, circulation, disability, dan exposure. Pengkajian primer yang di
lakukan pada pasien dengan cedera kepala menurut Fitriana (2018) sebagaiman
a dijelaskan sebagai berikut.:
a. Airway
1) Mengkaji bagaimana kondisi jalan nafas pasien dimana dilakukan deng
an memeriksa apakah adanya obstruksi jalan nafas akibat dari adanya b
enda asing, oedema, darah, muntahan, lidah, cairan. Jika pasien saat di
berikan pertolongan tidak responsif, stabilkan kepala dan leher dan gun
akan manuver dorong rahang untuk memastikan jalan napas terbuka. Ji
ka tidak dicurigai adanya cedera tulang belakang, gunakan head tilt, ch
in lift manuver.
2) Mengkaji bagaimana suara nafas pasien dan amati apakah terdapat snor
ing, gurgling, maupun crowning.
b. Breathing
1) Mengkaji apakah pasien dapat bernafas dengan spontan atau tidak
2) Memperhatikan gerakan dada pasien apakah simetris atau tidak
3) Mengkaji irama nafas apakah cepat, dangkal atau normal
4) Mengkaji keteraturan pola nafas
5) Mendengarkan, mengamati, serta mengkaji suara paru apakah terdapat
wheezing, vesikuler, maupun ronchi
6) Mengkaji apakah pasien mengalami sesak nafas
7) Mengkaji respiratory rate pasien
c. Circulation
1) Mengkaji nadi pasien apakah teraba atau tidak, jika teraba hitung berap
a denyut nadi permenit
2) Mengkaji tekanan darah pasien
3) Mengamati apakah pasien pucat atau tidak
4) Menghitung CRT pasien perdetik
5) Menghitung suhu tubuh pasien dan rasakan akral pasien apakah teraba
dingin atau hangat
6) Mengamati apakah terdapat perdarahan pada pasien, dan kaji lokasinya
serta jumlah perdarahan
7) Mengkaji turgor pasien
8) Mengkaji adanya diaphoresis
9) Mengkaji riwayat kehilangan cairan berlebihan
d. Disability
1) Mengkaji tingkat kesadaran pasien
2) Mengkaji nilai GCS pasien yang meliputi mata, verbal, dan motoriknya
3) Mengkaji pupil pasien apakah isokor, unisokor, pinpoint, atau medriasi
s
4) Mengkaji adanya reflek cahaya
e. Esposure
Memonitor EKG
2. Pengkajian Secondary
Penting bagi perawat untuk mengetahui bahwa setiap adanya riwayat traum
a pada servikal merupakan hal yang penting diwaspadai.
a. Identitas pasien , meliputi nama lengkap, usia, jenis kelamin, agama, pendi
dikan terakhir, pekerjaan saat ini, asal suku bangsa, tempat tinggal, diagno
se medis pasien, tanggal pengkajian, tanggal waktu masuk.
b. Identitas penanggung jawab, meliputi nama lengkap penanggung jawab, us
ia, jenis kelamin, agama, asal suku bangsa, pendidikan terakhir, pekerjaan
saat ini, tempat tingal, hubungan dengan pasien.
c. Keluhan utama, meliputi keluhan utama yang dirasakan pasien saat dilaku
kan pengkajian, alasan dirawat inap, lamanya keluhan yang dirasakan, wak
tu timbulnya keluhan (bertahap atau tibatiba), kemudian upaya apa yang di
lakukan untuk mengatasi keluhan yang dirasakan, faktor yang memperbera
t keluhan tersebut apa saja.
d. Riwayat Kesehatan lalu, pengkajian ini berupa kemungkinan penyebab terj
adinya CKD dan petunjuk berapa lama CKD terjadi. Apakah sebelumnya p
ernah dirawat di rumah sakit.
e. Riwayat Kesehatan keluarga, pengkajian ini dilakukan untuk mendeteksi k
emungkinan adanya Riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan
proses kanker ovarium.
f. Riwayat Kesehatan lingkungan, meliputi kebersihan rumah, lingkungan ser
ta kemungkinan terjadinya bahaya disekitar lingkungan rumah.
c. Pengkajian 11 pola fungsional Gordon
1) Pola Persepsi-Manajer Kesehatan
Merupakan persepsi pasien tentang status kesehatan umum.
Mengambarkan persepsi keluarga terhadap kesehatan dan upaya
preventif kesehatan lingkungan.
2) Pola Nutrisi
Pada pola ini, masukan nutrisi, keseimbangan cairan dan
elektrolit,Asupan makanan (kebiasaan makan,jenis dan banyaknya,
kesukaan dan pantangan, kemamouan mengunyah,menelan, makan
sendiri gigi,membran mukosa nafsu makan, pola makan, diet,
perubahan Bb dalam 6 bulan terakhir, kesulitan diambil, mual /
muntah, Kebutuhan jumlah zat gizi, masalah / manfaat kulit,
makanan kesukaan. Asupan cairan (banyaknya perhari, mual dan
muntah)
3) Pola Eliminasi
Pada penderita biasanya tidak terjadi perubahan pola
pembuangan dan persepsi klien. BAB ( kaji pola defiksi, jumlah,
karakteristik, frekuensi/hari ,warna,bau dan faktor yang
mempengaruhi BAB). BAK ( kaji pola miksi,jumlah jumlah,
karakteristik, frekuensi/hari ,warna,,bau dan faktor yang
mempengaruhi pola eliminasi seperti diit,obat,tindakan.
4) Pola Latihan-Aktivitas

Pola latihan,aktifitas, bersenang-senang, dan rekreasi dan


krgiatan sehari-hari, mobilisasi (kaji massa/tonus
otot,tremor,rentang gerak,kekuatan, deformitas). Faktor yang
mempengaruhi gerakan dan latihan sakit,pembatasan, tindakan dan
pengaturan posisi.
5) Pola Kognitif Perseptual
Keadekuatan alat sensori, persepsi nyeri, fungsional kognitif
dan observasi tingkat nyeri lokasi, intensitas, frekuensi kualitas dan
durasi (PQRST)
6) Pola Istirahat - Tidur
Pola tidur, periode istirahat-relaksasi selama 24 jam serta
kualitas dan kuantitas dan persepasi tentang energi. Jumlah jam
tidur pada siang dan malam, masalah selama tidur, insomnia atau
mimpi buruk, penggunaan obat, mengeluh letih. post operasi
biasanya sulit untuk tidur dan beristirahat karena merasa tidak
nyaman.
7) Pola Konsep Diri-persepsi Diri
Pola ini menggambarkan sikap tentang diri sendiri
danpersepsi terhadap kemampuan. Kemampuan konsep diri antara
lain gambaran diri, harga diri, peran, identitas dan ide diri sendiri.
Pada umumnya memecahkan gangguan konsep diri, merasa cemas
dan takut jika ditinggal pasangan.Merasa tidak berdaya dan berguna
lagi .
8) Pola Peran dan Hubungan
Pola ini menggambarkan dan mengetahui hubungan dan
peran terbadap anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal
pekerjaan, tempat tinggal, tidak punya rumah, tingkah laku yang
pasif / agresif teradap orang lain, masalah keuangan dll.
9) Pola Reproduksi / Seksual

Pada pola ini menggambarkan kepuasan dan ketidak puasan


yang dirasakan dgn seksualtas atau masalah yang aktual atau
dirasakan dengan seksualitas, dampak sakit berpikir terhadap
seksualitas, riwayat haid, pemeriksaan mamae riwayat penyakit
hub seks, pemeriksaan genital.
10) Pola Pertahanan Diri (Coping-Toleransi Stres)
Menggambarkan kemampuan untuk menanngani stres dan
penggunaan system pendukung. Penggunaan obat untuk menangani
stres, Interaksi dengan orang terdekat, menangis, kontak mata,
metode koping yang biasa digunakan, efek penyakit terhadap
tingkat stres.
11) Pola Keyakinan Dan Nilai
Menggambarkan dan jelaskan pola nilai, keyakinan
termasuk spiritual, menerangkan sikup dan keyakinan dalam
melakuanakan agama yang dipeluk dan konsekuensinya. Agama,
kegiatan keagamaan dan budaya, berbagi dengan orang lain,
membuktikan nilai dan kepercayaan, mencari bantuan spiritual dan
pantangan dalam agama selama sakit.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Bagaimana bentuk, rambut: warna rambut, kebersihan kepala, adak
ah rontok pada rambut kepala, ketombe, dll.
2) Mata
Kemampuan dalam melihat, ukuran pupil, bagaimana reaksi mata s
aat diberikan cahaya, konjungtiva anemis/tidak, memakai kaca mata at
au alat lain untuk melihat, ada secret atau tidak.
3) Hidung
Kebersihan hidung, adanya secret, adanya nafas cuping hidung, me
makai alat bantu pernafasan.
4) Telinga
Bagaimana bentuk kedua telinga, kemampuan untuk mendengar, ap
akah memerlukan bantuan untuk mendengar, apa ada kotoran ditelinga,
terjadi infeksi atau tidak.
5) Mulut dan tenggorokan
Apakah mengalami gangguan untuk berbicara, warna gigi, bau mul
ut, nyeri saat menelan atau mengunyah, kesulitan mengunyah/menelan,
adakah benjolan di leher.
6) Dada
Jantung : inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi
Paru-paru : inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi
7) Abdomen : inspeksi, auskultasi, perkusi, palpasi
8) Genetalia
Kebersihan, adanya luka, tanda dan gejala infeksi pada genetalia, ter
pasang kateter atau tidak.
9) Ektremitas atas dan bawah
a) Bagaimana kukunya, kulit (warna, kebersihan, turgor, edema, keut
uhan)
b) Capillary refill time
c) Kemampuan berfungsi (mobilitas dan keamanan)
d) Terpasang infus (tanda-tanda infeksi)
e. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
2) Pemeriksaan radiologi (Laili Fauzia, 2020)
3. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
b. Pola nafas tidak efektif
c. Resiko perfusi serebral tidak efektif
d. Gangguan pertukaran gas
4. Intervensi Keperawatan
SDKI SIKI SLKI
Bersihan jalan Setelah dilakukan tinda Manajemen Jalan Napas
nafas tidak efe kan keperawatan 3 x 24 Observasi
ktif jam, maka diharapkan 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, u
kebersihan jalan napas saha napas)
meningkat dengan krite 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurglin
ria hasil : g, mengi, wheezing, ronkhi kering)
1. Produksi sputu 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
m menurun Terapeutik
2. Whwzing menu 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan h
run ead tilt dan chin lift (jaw thrust) jika curiga tr
3. Frekuensi napas auma servikal
membaik 2. Posisikan semi fowler atau fowler
4. Pola napas mem 3. Berikan minum hangat
baik 4. Lakukan penghisapan lender kurang dari 15
detik
5. Berikan oksigen
Edukasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspekt
oran, mukolitik
Pola nafas tid Pola Napas Terapi Oksigen
ak efektif Setelah dilakukan tinda Observasi:
kan keperawatan 3x24 j 1. Monitor kecepatan aliran oksigen
am diharapakan pola na 2. Monitor posisi alat terapi oksigen
pas membaik dengan 3. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
Kriteria Hasil: 4. Monitor integritas mukosa hidung akibat pem
1. Dipsnea menuru asangan oksigen
n Terapeutik
2. Penggunaan oto 1. Bersihkan secret pada mulut, hidung dan trak
t bantu napas m ea, jika perlu
enurun 2. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Frekuensi napas 3. Siapkan dan atur peralatan pemberian oksige
membaik n
4. Kedalaman nap 4. Berikan oksigen tambahan, jika perlu
as membaik Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
2. Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivita
s dan atau tidur
Resiko perfusi Setelah dilakukan inter Manajemen peningkatan tekanan intrakranial
serebral tidak vensi keperawatan sela Observasi:
efektif ma 3x24 jam maka dih a. monitor tanda/gejala peningkatan TIK ( teka
arapkan perfusi serebra nan darah dan nadi, kesadaran)
l meningkat dengan krit b. monitor intake output cairan
eria hasil: Terapeutik:
1. tingkat kesadaran me a. berikan posisi semifowler
ningkat b. pertahankan suhu tubuh normal
2. demam menurun
3. gelisah menurun
Gangguan per Setelah dilakukan inter Observasi
tukaran gas vensi keperawatan sela 1. Monitor kecepatan aliran oksigen
ma 3 x 24 jam, maka pe 2. Monitor posisi alat terapi oksigen
rtukaran gas meningka 3. Monitor aliran oksigen secara periodik dan p
t, dengan kriteria hasil: astikan fraksi yang diberikan cukup
1. Sesak napas me 4. Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. Oksi
nurun metri, Analisa gas darah), jika perlu
2. Wheezing menu 5. Monitor kemampuan melepaskan oksigen sa
run at makan
3. Takikardia men 6. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
urun 7. Monitor monitor tanda dan gejala toksikasi o
4. PCO2 membaik ksigen dan atelektasis
5. PO2 membaik 8. Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksi
6. pH arteri memb gen
aik. Terapeutik
1. Bersihkan sekret pada mulut, hidung, dan tra
kea, jika perlu
2. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Siapkan dan atur peralatan pemberian oksige
n
4. Berikan oksigen tambahan, jika perlu
5. Tetap berikan oksigen saat pasien di transpor
tasi
6. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai den
gan tingkat mobilitas pasien
Edukasi
1. Ajarkan pasien dan keluarga cara mengguna
kan oksigen dirumah
Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
2. Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivita
s dan/atau tidur

5. Implementasi
Implementasi merupakan langkah keempat dalam proses asuhan ke
perawatan dengan melaksanakan berbagai strategi kesehatan (tindakan
keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan kepera
watan yang di prioritaskan. Proses pelaksanaan imolementasi harus ber
pusat kepada kebutuhan pasien, faktor- keperawatan dan kegiatan kom
unikasi (Kozier et al., 2018)
6. Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu proses yang berkelanjutan untuk menilai
efek dari tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi dilakukan terus-
menerus terhadap respon pasien pada tindakan keperawatan yang telah
dilakukan. Evaluasi proses atau promotif dilakukan setiap selesai tinda
kan. Evaluasi dapat dilakukan menggunakan SOAP sebagai pola pikir
nya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdjul, R. L., & Herlina, S. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dewasa Dengan
Pneumonia : Study Kasus Indonesian Jurnal of Health Development. Indonesian Jurnalof
HealthDevelopment,2(2),102–107 https://ijhd.upnvj.ac.id/index.php/ijhd/article/view/40

Beatrik Yeni Sampang. (2019). Pelaksanaan Perencanaan Terstruktur Melalui Implementasi Kep
erawatan. Hubungan Berfikir Kritis Dengan Perilaku Caring Dalam Pendidikan Keperawatan
Untuk Menjalankan Asuhan Keperawatan, 1–7.

Fatihah, W. M. (2020). Penerapan Evaluasi Keperawatan Terhadap Asuhan Keperawatan di Ru


mah Sakit. JIP: Jurnal Ilmiah PGMI, 2(3), 28–31.

Kemenkes RI. (2019). Profil Kesehatan Indonesia 2018 [Indonesia Health Profile
2018].http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-ind
onesia/Datadan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-2018.pdf

Muttaqin, Arif (2015). Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Pernap

asan. Jakarta:Salemba Medika.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction

Patrisia, I., Juhdeliena, J., Kartika, L., Pakpahan, M., Siregar, D., Biantoro, B., Hutapea, A. D.,
Khusniyah, Z., & Sihombing, R. M. (2020). Asuhan Keperawatan Dasar Pada
Kebutuhan Manusia (Edisi 1). Yayasan Kita Menulis.

Rohmah, N., & Walid, S. (2019). Proses Keperawatan Berbasis KKNI (Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia) (Edisi I). AR-RUZZ Media.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.Jakarta Selatan

Anda mungkin juga menyukai