Anda di halaman 1dari 6

Pendekatan Teoritis untuk Pekerjaan dan Jabatan: Memahami Pembagian

Kerja dan Konsekuensinya

2.1 Divisi Tenaga Kerja- Perspektif Teoritis


Divisi kerja adalah pembagian tugas dan tanggung jawab yang dilakukan oleh
anggota dalam suatu tim atau organisasi. Tujuan dari divisi kerja adalah untuk meningkatkan
efisiensi dan produktivitas dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
Beberapa perspektif teoritis yang relevan dalam memahami divisi tenaga kerja meliputi:
1. Perspektif Klasik (Adam Smith): Adam Smith adalah salah satu tokoh utama
dalam memperkenalkan konsep divisi tenaga kerja. Smith berargumen bahwa
dengan membagi pekerjaan menjadi tugas-tugas yang lebih kecil dan terpisah,
produktivitas dapat ditingkatkan secara signifikan. Ia mengemukakan bahwa
dengan spesialisasi dalam tugas tertentu, pekerja dapat mengembangkan keahlian
yang lebih baik, menghemat waktu, dan meningkatkan efisiensi produksi.
2. Perspektif Marxian (Karl Marx): Karl Marx menawarkan kritik terhadap divisi
tenaga kerja dalam pandangan yang lebih kritis. Menurut Marx, divisi tenaga kerja
menyebabkan pengasingan (alienation) pekerja dari hasil kerja mereka. Pekerja
kehilangan rasa kepemilikan atas produk yang mereka hasilkan dan kehilangan
kontrol terhadap proses produksi. Marx juga mengkritik kesenjangan kelas yang
dihasilkan oleh divisi tenaga kerja, di mana pemilik modal mendapatkan
keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pekerja.
3. Perspektif Weberian (Max Weber): Max Weber menyumbangkan perspektif
teoritis yang berfokus pada rasionalisasi dan birokrasi dalam divisi tenaga kerja.
Weber berpendapat bahwa divisi tenaga kerja menciptakan sistem birokratik yang
efisien, tetapi juga dapat menghasilkan dehumanisasi dan alienasi. Pekerjaan
menjadi terfragmentasi dan diatur oleh aturan dan prosedur yang kaku,
mengurangi otonomi dan kemandirian individu.
4. Perspektif Fungsionalis (Emile Durkheim): Perspektif fungsionalis melihat
divisi tenaga kerja sebagai faktor penting dalam integrasi sosial. Menurut
Durkheim, divisi tenaga kerja memungkinkan masyarakat bergerak maju dan
beradaptasi dengan lebih efisien. Setiap individu memiliki peran khusus dalam
proses produksi, dan ketergantungan antara individu dan kelompok menciptakan
solidaritas sosial.
5. Perspektif Kontemporer (contemporary perspective): Perspektif kontemporer
dalam divisi tenaga kerja menyoroti isu-isu seperti pekerjaan yang bermakna,
keseimbangan kerja-hidup, otonomi, dan partisipasi pekerja. Dalam pandangan
ini, penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang memenuhi kebutuhan
psikologis dan emosional pekerja, serta memberikan kesempatan untuk
pengembangan keterampilan dan pertumbuhan profesional.
2.2 Pengasingan
Pengasingan adalah konsep yang sering kali dikaitkan dengan divisi tenaga kerja. Hal ini
mengacu pada perasaan kehilangan kontrol, kejenuhan, dan kurangnya keterlibatan
emosional dalam pekerjaan. Pengasingan dalam divisi tenaga kerja dapat memiliki
dampak negatif pada kesejahteraan psikologis dan motivasi pekerja. Rasa kurang terlibat
dan kehilangan kontrol dapat menyebabkan penurunan kepuasan kerja, stres, kelelahan,
dan bahkan masalah kesehatan mental. Oleh karena itu, penting untuk
mempertimbangkan pendekatan yang mendorong keterlibatan, otonomi, dan
pengembangan keterampilan pekerja sebagai upaya untuk mengatasi pengasingan dalam
divisi tenaga kerja.
Beberapa elemen pengasingan dalam konteks divisi tenaga kerja meliputi:
1. Kehilangan kontrol: Ketika pekerjaan dibagi menjadi tugas-tugas yang lebih kecil dan
terpisah, pekerja sering kali kehilangan kontrol atas keseluruhan proses kerja. Mereka
tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan tentang cara kerja yang
paling efektif atau mengatur jadwal kerja mereka sendiri. Pekerja mungkin merasa
diatur oleh aturan dan prosedur yang ketat, mengurangi rasa kemandirian dan
kebebasan.
2. Kejenuhan: Ketika pekerjaan terbagi menjadi tugas-tugas yang monoton dan
berulang, pekerja sering kali mengalami kejenuhan. Mereka melakukan tugas yang
sama berulang-ulang tanpa adanya variasi atau tantangan yang cukup. Hal ini dapat
mengakibatkan ketidakpuasan, kebosanan, dan hilangnya motivasi untuk melakukan
pekerjaan dengan semangat.
3. Kurangnya keterlibatan emosional: Divisi tenaga kerja dapat mengurangi keterlibatan
emosional pekerja dengan pekerjaan mereka. Ketika pekerja hanya bertanggung
jawab untuk satu tugas kecil, mereka mungkin kehilangan ikatan emosional dengan
hasil akhir yang dihasilkan. Mereka tidak lagi merasakan rasa kepemilikan atau
kepuasan pribadi atas pekerjaan yang mereka lakukan.

2.3 Deskilling
Deskilling adalah konsep yang sering kali dikaitkan dengan divisi tenaga kerja. Ini
mengacu pada proses di mana pekerjaan yang sebelumnya membutuhkan keterampilan
khusus dikurangi menjadi tugas-tugas yang lebih sederhana dan terbatas, yang dapat
dilakukan dengan sedikit atau tanpa pelatihan khusus.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan deskilling dalam divisi tenaga kerja meliputi:
1. Spesialisasi dan fragmentasi: Dalam divisi tenaga kerja yang kuat, pekerjaan sering
kali dibagi menjadi tugas-tugas yang sangat terfragmentasi dan terpisah. Setiap
pekerja bertanggung jawab hanya untuk satu atau beberapa tugas spesifik. Dalam
proses ini, elemen pekerjaan yang lebih kompleks dan beragam sering kali dihapus,
sehingga mengurangi kebutuhan akan keterampilan yang lebih luas.
2. Peningkatan teknologi: Kemajuan teknologi sering kali menghasilkan otomatisasi dan
mekanisasi dalam produksi. Proses-proses yang sebelumnya membutuhkan
keterampilan manusia dapat digantikan oleh mesin atau perangkat otomatis. Hal ini
mengurangi kebutuhan akan keterampilan manusia yang kompleks dan memperkuat
deskilling.
3. Standarisasi: Dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi produksi, pekerjaan sering
kali disederhanakan dan diatur dengan standar yang ketat. Prosedur kerja yang
terstandarisasi memungkinkan pekerja yang kurang terampil untuk mengikuti
instruksi yang jelas, tanpa membutuhkan pemahaman mendalam tentang proses secara
keseluruhan.
Dampak dari deskilling dapat bervariasi. Beberapa dampak negatif meliputi:
 Menurunnya nilai pekerjaan: Keterampilan yang dikurangi dalam pekerjaan dapat
mengurangi nilai dan pengakuan pekerja tersebut di mata masyarakat dan dalam pasar
tenaga kerja.
 Penurunan kepuasan kerja: Ketika pekerjaan menjadi rutin, sederhana, dan kurang
menantang, pekerja dapat merasa bosan, kurang termotivasi, dan kurang puas dengan
pekerjaan mereka.
 Potensi hilangnya keterampilan: Kurangnya kebutuhan akan keterampilan khusus
dapat mengarah pada hilangnya keterampilan tersebut dalam jangka panjang, yang
dapat mengurangi fleksibilitas dan peluang kerja di masa depan.
 Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua pekerjaan mengalami deskilling.
Dalam beberapa kasus, perkembangan teknologi dan perubahan struktur pekerjaan
dapat memerlukan adanya peningkatan keterampilan yang lebih kompleks. Jadi,
perubahan dalam divisi tenaga kerja dapat melibatkan deskilling dalam beberapa
pekerjaan, sementara pekerjaan lainnya mungkin mengalami peningkatan
keterampilan.
2.4 Dehumanisasi
Dehumanisasi adalah konsep yang terkait dengan divisi tenaga kerja. Ini merujuk
pada penurunan martabat dan perasaan manusiawi dalam pekerjaan akibat pengaruh divisi
tenaga kerja. Dampak dari dehumanisasi dalam divisi tenaga kerja dapat meliputi penurunan
kepuasan kerja, stres, kelelahan, dan bahkan masalah kesehatan mental. Untuk mengatasi
dehumanisasi, penting untuk mencari cara-cara untuk meningkatkan keterlibatan pekerja,
membangun lingkungan kerja yang mendukung, dan menghargai aspek-aspek manusiawi
dalam pekerjaan
Beberapa faktor yang menyebabkan dehumanisasi dalam konteks divisi tenaga kerja
meliputi:
1. Perlakuan sebagai objek: Ketika pekerjaan terbagi menjadi tugas-tugas yang terpisah
dan terfragmentasi, individu sering kali dianggap sebagai objek atau bagian dari
mesin produksi. Pekerja hanya diperlakukan sebagai alat yang digunakan untuk
mencapai hasil produksi, dan aspek-aspek kemanusiaan mereka diabaikan atau tidak
dihargai.
2. Hilangnya interaksi sosial: Dalam divisi tenaga kerja yang kuat, pekerja sering kali
bekerja secara terisolasi, terutama dalam pekerjaan yang sangat terfragmentasi. Ini
dapat mengakibatkan hilangnya interaksi sosial yang lebih dalam antara sesama
pekerja dan antara pekerja dengan manajemen. Pekerja mungkin merasa terputus dari
komunitas kerja dan kurangnya dukungan sosial.
3. Ketidakpuasan emosional: Divisi tenaga kerja yang ekstrem dapat mengurangi
kemampuan pekerja untuk mengekspresikan emosi mereka dan merasa terhubung
secara emosional dengan pekerjaan mereka. Ketika tugas-tugas pekerjaan sangat
terbatas dan rutin, pekerja mungkin kehilangan rasa kepuasan dan pencapaian pribadi
yang sering kali terkait dengan pekerjaan yang lebih kompleks dan bermakna.
4. Pengabaian kebutuhan individu: Divisi tenaga kerja yang berlebihan sering kali
mengabaikan kebutuhan individu dalam hal pengembangan keterampilan,
keberagaman tugas, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Pekerja mungkin
merasa direduksi menjadi bagian kecil dari rantai produksi, tanpa perhatian terhadap
kebutuhan pribadi, keinginan, atau aspirasi mereka.
2.5 Pekerjaan dan Identitas
Perspektif mengenai hubungan antara pekerjaan dan identitas individu menekankan
pentingnya peran pekerjaan dalam membentuk dan mencerminkan identitas seseorang.
Pekerjaan dapat menjadi bagian integral dari identitas individu dan mempengaruhi bagaimana
seseorang melihat diri mereka sendiri dan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain.

Beberapa aspek yang menunjukkan hubungan antara pekerjaan dan identitas individu
adalah sebagai berikut:
 Pengaruh terhadap status sosial: Pekerjaan sering kali memiliki kaitan erat dengan
status sosial seseorang dalam masyarakat. Pekerjaan yang dianggap bergengsi atau
memiliki keahlian khusus dapat memberikan rasa prestise dan pengakuan dalam
komunitas. Identitas individu terkait dengan pekerjaan mereka dapat tercermin dalam
cara orang lain memandang mereka dan memperlakukan mereka.
 Penyediaan peran sosial: Pekerjaan dapat memberikan peran sosial yang jelas dalam
kehidupan individu. Identitas pekerjaan seseorang dapat mencerminkan peran mereka
sebagai karyawan, profesional, atau ahli di bidang tertentu. Peran ini tidak hanya
mempengaruhi bagaimana individu melihat diri mereka sendiri, tetapi juga bagaimana
orang lain melihat dan berinteraksi dengan mereka.
 Pencapaian dan kepuasan: Pekerjaan yang memenuhi kebutuhan individu,
memberikan tantangan, dan memberikan kesempatan untuk mengembangkan
keterampilan dapat memberikan rasa pencapaian dan kepuasan yang mendalam.
Identitas individu dapat terhubung dengan pencapaian yang mereka raih melalui
pekerjaan mereka, baik dalam hal pengakuan profesional, pertumbuhan karir, atau
kontribusi positif yang mereka berikan melalui pekerjaan mereka.
 Nilai-nilai dan kepercayaan: Pekerjaan dapat mencerminkan nilai-nilai dan
kepercayaan individu. Seseorang mungkin memilih pekerjaan yang sejalan dengan
keyakinan dan nilai-nilai pribadi mereka, dan identitas mereka terkait dengan
pekerjaan ini dapat mencerminkan komitmen mereka terhadap nilai-nilai tersebut.
Perspektif ini menggaris bawahi betapa pentingnya pekerjaan dalam membentuk identitas
individu. Pilihan pekerjaan, pengalaman kerja, dan peran yang dimainkan dalam konteks
profesional dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap bagaimana seseorang
mengartikan dan menyusun identitas mereka.

2.6 Perspektif Kontemporer


Perspektif kontemporer dalam divisi tenaga kerja mengakui manfaat efisiensi
produksi yang dihasilkan melalui pembagian kerja, tetapi juga menekankan pentingnya
menjaga keseimbangan antara efisiensi dan kualitas kehidupan pekerja. Perspektif ini muncul
sebagai respons terhadap potensi dampak negatif dari divisi tenaga kerja yang berlebihan,
seperti pengasingan, deskilling, dan dehumanisasi.
Perspektif kontemporer dalam divisi tenaga kerja mencoba untuk mengintegrasikan efisiensi
produksi dengan kualitas kehidupan pekerja. Pendekatan ini mengakui bahwa pekerjaan yang
memberikan kepuasan dan keterlibatan pekerja memiliki manfaat jangka panjang bagi
organisasi, pekerja, dan masyarakat secara keseluruhan.
2.7 Studi Kasus dan Contoh
Studi kasus:
Sebuah pabrik manufaktur yang memproduksi pakaian telah menerapkan pembagian
kerja yang kuat di seluruh lini produksi. Setiap pekerja bertanggung jawab hanya untuk satu
tugas yang sangat terfragmentasi, seperti menjahit bagian-bagian kecil atau memotong kain.
Semua tugas ini dilakukan secara berulang-ulang dengan tingkat keahlian yang sangat
spesifik.
Pendekatan teoritis:
Teori Pembagian Kerja: Studi kasus ini mencerminkan teori pembagian kerja yang
dikemukakan oleh Adam Smith. Menurut teori ini, membagi pekerjaan menjadi tugas-tugas
kecil dan terpisah akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas, karena pekerja dapat
mengkhususkan diri dalam satu tugas dan mengurangi waktu yang dihabiskan untuk
perpindahan antar tugas.
Teori Alienasi: Pembagian kerja yang ekstrem dalam studi kasus ini juga
menggambarkan konsep alienasi yang dikemukakan oleh Karl Marx. Pekerja merasa terasing
dan kehilangan kontrol atas proses produksi. Mereka hanya bertanggung jawab atas tugas-
tugas kecil dan tidak merasakan keterlibatan emosional atau kepemilikan atas produk akhir.
Konsekuensi:
1. Deskilling: Pekerjaan dalam pabrik manufaktur ini dikurangi menjadi tugas-tugas
yang sangat sederhana dan spesifik. Hal ini dapat mengarah pada deskilling, di mana
pekerja kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan yang lebih luas
dan bervariasi.
2. Pengasingan: Pekerja mungkin mengalami pengasingan karena kehilangan
keterlibatan emosional dan kejenuhan dengan tugas yang monoton dan repetitif. Ini
dapat berdampak negatif pada kepuasan kerja dan kesejahteraan psikologis mereka.
3. Rendahnya fleksibilitas dan kreativitas: Pembagian kerja yang sangat kuat dapat
mengurangi kemampuan pekerja untuk beradaptasi dengan perubahan atau
memberikan kontribusi kreatif dalam proses produksi. Mereka terkunci dalam tugas-
tugas yang sangat spesifik dan memiliki sedikit kesempatan untuk berkontribusi
secara holistik.
Contoh:
Sebagai contoh, seorang pekerja di pabrik manufaktur tersebut mungkin hanya bertanggung
jawab untuk menjahit satu bagian kecil pakaian berulang kali sepanjang hari. Meskipun ia
mungkin sangat terampil dalam menjahit bagian itu, pekerjaannya sangat terbatas dan kurang
bervariasi. Ia mungkin merasa kehilangan keterlibatan emosional dengan produk akhir dan
tidak memiliki ruang untuk berkreasi atau memberikan kontribusi ide-ide inovatif dalam
proses produksi.

Studi kasus ini menggambarkan bagaimana pendekatan teoritis terkait pembagian kerja dapat
berdampak pada pekerjaan dan jabatan.

Anda mungkin juga menyukai