Anda di halaman 1dari 7

PERINTAH KE-9:

“Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. “ (Keluaran 20:16)

Jangan mengucapkan saksi dusta atas sesamamu. Terjemahan lain yang lebih tepat
adalah jangan berbohong, merugikan, melukai, dan mencelakakan orang lain.
Artinya, manusia harus menghargai sesamanya yang juga dicipta menurut peta dan
teladan Allah. Kita tidak boleh memiliki niat jahat atasnya. Kalimat ini juga muncul di
dalam semua agama besar. Ini disebut golden rule (hukum emas).

Hillel, seorang rabi besar sebelum Kristus, mengajarkan, “Hormatilah orang supaya
engkau juga dihormati orang.” Konfusius mengajarkan, “Apa yang engkau tidak
inginkan, jangan lakukan itu kepada orang lain.” Jika engkau tidak ingin diejek,
jangan engkau mengejek orang lain. Kalau engkau tidak ingin difitnah, jangan
memfitnah orang lain.

Manusia harus menghargai sesamanya, selalu mengingat bahwa orang lain juga
memiliki perasaan seperti engkau. Memang banyak orang yang tidak menyadari hal
ini sampai mereka dilukai orang, baru mulai mengerti perasaan orang lain. Jadi,
hanya orang yang peka dan peduli akan perasaan orang yang mampu menciptakan
damai dan keharmonisan di dalam masyarakat. Itu sebabnya, Allah memberikan
hukum kesembilan.

Hukum ini secara khusus berbicara tentang etika berkata-kata.

Yakobus 3:4-5 mengatakan, “Orang yang sempurna adalah orang yang sanggup
mengekang lidahnya.” Lidah bagaikan kemudi yang meskipun kecil namun sangat
berpengaruh karena menentukan arah kapal yang besar. Seperti setir mobil, selain
mengarahkan mobil juga menyangkut mati hidup penumpangnya. Begitu juga orang
yang sanggup mengontrol lidahnya akan aman seumur hidupnya.

Manusia adalah makhluk yang sejak lahir sudah bisa bersuara dan mendengar suara
orang-orang di sekitarnya. Mereka mulai menggabungkan suara dengan makna dan
keluarlah kata-kata dari mulutnya yang mencetuskan isi hatinya. Itulah yang
dilukiskan dalam peribahasa Tionghoa ‘Kata-kata adalah ekspresi jiwa’. Apa yang
ada di dalam hatinya akan terlontar dari mulutnya.

Maka orang agung akan mengucapkan kalimat yang agung dan orang yang
pikirannya dalam akan mengucapkan kalimat yang sangat bermakna. Orang egois
akan mengungkapkan egoismenya. Orang rendah akan mengucapkan kata-kata
yang kasar. Jadi, dari kata-kata kita dapat mengerti apa yang tersimpan di dalam hati
seseorang. Tepatlah perkataan Tuhan Yesus, “Tetapi apa yang keluar dari mulut
berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.”
Orang Perancis berkata, “Saat engkau membuka mulut, engkau memperkenalkan
dirimu sendiri.” Bagi orang Tionghoa, “Saat bergaul, jangan banyak bicara. Semakin
banyak bicara, semakin banyak salah.” Tetapi bukan berarti orang yang tidak banyak
bicara hidupnya pasti beres, karena beres tidaknya seseorang ditentukan oleh
pikirannya. Jika pikirannya penuh dengan kejahatan, kenajisan, egoisme, tidak
mungkin tidak bocor dari mulutnya. Itulah sebabnya Yakobus mengatakan,
“Barangsiapa dapat menguasai lidahnya, dia adalah orang yang sempurna.” Kita
harus mampu mengontrol mulut, tahu rahasia etika berbicara.

Hukum kesembilan: Jangan mengucapkan saksi dusta. Saksi yang tidak benar, yang
tidak sesuai dengan fakta, akan merugikan, melukai, dan mencelakai orang lain.

Banyak orang dari pagi hingga malam, dari awal tahun hingga akhir tahun, hanya
mengeluarkan kata-kata sampah. Hanya mencaci-maki orang, mengkritik orang,
tidak puas ini dan itu. Berbeda dengan orang yang dipenuhi oleh Roh Kudus, kata-
katanya selalu menjadi pedoman, arahan yang mengandung benih hikmat, dan
memberikan inspirasi dan manfaat dari kebenaran. Suara mengandung bahasa,
bahasa mengandung makna, makna mengandung firman, dan firman mengandung
kehendak Allah.

Lingkungan ikut membentuk seluruh pola pikir dan karakter seseorang. Sampai suatu
hari terang Injil menembus limitasi itu, barulah seseorang bisa menerima yang baru.
Jadi memang sulit sekali, kata-kata yang sudah terbiasa kita ucapkan dapat mengikat
kita.

Tuhan mencipta manusia dengan begitu luar biasa. Tuhan memberi kita dua mata,
dua telinga, dua lubang hidung, tetapi hanya satu mulut. Padahal tugas mulut begitu
banyak. Seorang filsuf Gerika kuno, Xenophanes, mengatakan, “Alam memberi kita
dua telinga dan dua mata, tetapi hanya satu mulut, agar kita lebih banyak melihat
dan mendengar ketimbang berkata-kata.” Sungguh kalimat yang bijaksana. Orang
yang bawel, banyak bicara akan dibenci orang. Orang yang banyak mendengar, tidak
banyak bicara, namun sekali berbicara – apalagi jika kata-katanya begitu bermakna –
orang akan memperhatikan. Semakin sedikit engkau berbicara maka setiap kata-kata
yang bermakna akan berpengaruh besar.

Saya mengubah ulang kalimat Xenophanes menjadi, “Allah menciptakan kita dengan
dua mata dan dua telinga, tetapi hanya dengan satu mulut, untuk melihat hal yang
baik dan jahat, mendengar apa yang benar dan salah, tetapi hanya mengatakan
kesaksian kebenaran.” Inilah kesimpulan: Hendaklah kita bersaksi bagi kebenaran.
Wang Ming Dao dalam bukunya “Pepatah bagi Etika Orang Kristen” menuliskan,
“Jangan mengatakan kata-kata yang tidak membangun, jangan menyebarkan apa
yang kita dengar tetapi tidak ada buktinya, karena akibatnya akan seperti yang
digambarkan dalam peribahasa Tiongkok kuno, ‘Meski menggunakan tenaga empat
ekor kuda sekalipun, tetap tidak sangggup kita tarik kembali.’” Kalimat yang sudah
keluar dari mulut kita bisa menjadi malapetaka besar bagi orang lain.

Jadi, betapa berat risiko yang harus kita tanggung karena satu kalimat yang salah,
yang telah menjatuhkan atau merugikan orang lain.

Kemampuanmu mengontrol lidahmu adalah kunci dari kesuksesanmu. Orang yang


tidak mampu memilah pernyataan mana yang boleh atau tidak boleh ia ucapkan
akan selalu mengundang malapetaka.

Yesus berkata, “Jika ya, katakan ya; jika tidak, katakan tidak; selebihnya
berasal dari si jahat.” Yesus berkata, “Katakan sejujurnya, ya untuk ya, dan tidak
untuk tidak.” Inilah kemurnian hati. Suatu kesederhanaan (simplicity) dari sebuah
mentalitas hati kita untuk mau menjadi saksi yang benar.

Mulut kita hanya untuk mengatakan kebenaran; sehingga kita boleh mendengar atau
melihat apa saja dari dua sisi, tetapi hanya mengatakan apa yang benar saja.

Ketika senang jangan berjanji, diam ketika marah, dan jangan buat keputusan ketika
sedih.

Hukum kesembilan adalah satu-satunya hukum yang memiliki hubungan dengan


bagaimana kita berbicara. Jangan berbicara hal yang salah, jangan memberikan
kesaksian palsu, apalagi itu terhadap orang lain. Jadi, penekanan di dalam hukum
kesembilan bukan sekadar masalah berbohong atau tidak, melainkan apakah mulut
kita sudah mengatakan hal yang benar atau tidak. Apakah ketika kita mengatakan
sesuatu, karena perkataan itu tidak benar, akhirnya berakibat mencelakakan orang
lain? Kita harus menyadari bahwa “takut akan Tuhan” dan “cinta terhadap sesama”
adalah dua dasar utama dari Sepuluh Hukum. Kita harus bersaksi hanya untuk
kebenaran, tidak untuk yang lain. Mulut kita haruslah menjadi alat kebenaran, karena
kita dicipta menurut peta teladan Allah. Dengan demikian, mulut kita tidak menjadi
batu sandungan atau pisau yang tidak nampak, yang menusuk dan mencelakakan
orang.

PERINTAH KE-10
SEPULUH HUKUM TAURAT: “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan
mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan,
atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai
sesamamu." (Keluaran 20:17)

Melalui hukum kesembilan, kita telah belajar bagaimana kita mengontrol mulut kita.
Kita harus berbicara dengan kata-kata yang benar, yang tidak mencelakakan atau
merugikan orang lain. Kini kita masuk ke dalam satu tahap lagi, yang begitu panjang
seolah merupakan rangkuman dari seluruh hukum yang kelima hingga kesembilan.
Inti pembahasan di dalam hukum kesepuluh adalah tentang niat manusia.

Manusia yang Tuhan ciptakan memiliki kapasitas yang menjadikan dia tidak pernah
puas dengan apa yang telah ia miliki. Hal ini membedakan manusia dari semua
binatang. Binatang hanya memiliki dua keinginan dasar, yang disebut sebagai naluri
(instinct): keinginan makan (untuk mempertahankan hidup) dan keinginan seks
(untuk mempertahankan jenis).

Dua ribu tiga ratus delapan puluh tahun silam, Mensius, seorang filsuf terkenal
Tiongkok, pernah mengatakan akan kedua kebutuhan paling dasar dari setiap
makhluk hidup ini. Hidup binatang hanya melayani kedua kebutuhan tersebut. Tetapi
manusia memiliki kebutuhan lebih dari sekadar makanan dan seks. Manusia masih
memiliki kebutuhan akan pakaian, rumah, bahkan sampai ke berbagai hal dengan
lingkup yang sangat luas.

“Keinginan” dalam Ajaran Plato

Plato membagi manusia ke dalam 3 kategori.

1. Kategori yang paling bawah disebut orang rendah, yaitu orang yang
hidupnya dikontrol oleh kemauannya.

Hidup orang seperti ini bagai kereta yang ditarik oleh kuda yang kuat, suatu
kemauan yang tidak sanggup dihentikannya. Menurut Plato, orang seperti ini adalah
budak dari volition (kemauan kuat), yang mengakibatkan hidupnya merasa tidak
berarti, tidak puas, dan tidak pernah bersukacita.

Kuda memiliki kekuatan yang besar, bagaikan orang liar yang tidak dapat
dikendalikan. Itu sebabnya manusia perlu mengendalikan kemauannya dengan rasio.
Saat pelacur bersetubuh dengan pria, ia menunjukkan seolah-olah begitu mencintai
pria itu, padahal semua itu hanya pura-pura untuk mendapatkan uang. Jadi, pria
yang tidur dengan pelacur merasa seperti ia mendapatkan cinta dan kepuasan
seksual, padahal ia hanya menggunakan uangnya untuk membeli cinta yang palsu.

Plato mengatakan bahwa orang yang dikuasai oleh nafsu adalah orang rendahan.

2. Kategori orang yang lebih tinggi moralnya, yang dikendalikan oleh


perasaannya.

Orang Yunani mengatakan bahwa alam telah membuat hati manusia di atas alat
kelaminnya, maka seharusnya manusia mengontrol nafsu seks dengan cinta yang
murni, tidak boleh sebaliknya, yang membuat ia bagaikan binatang. Maka nafsu
manusia harus dikuasai oleh emosi yang murni.

3. Kategori tingkat ketiga, orang yang paling tinggi moralnya dalam ajaran
Plato adalah orang yang meletakkan emosinya di bawah kontrol akal
sehat.

Jadi, orang yang dapat menggunakan rasionya untuk mengontrol emosinya, dan
menggunakan emosinya untuk mengontrol kemauannya, adalah orang yang paling
agung. Ini adalah sesuai dengan aturan alam, di mana otak terletak di paling atas,
jantung (heart) di tengah, dan alat kelamin di bawah. Itu sebabnya, filsafat (philo +
sophia = cinta kebijaksanaan) ingin agar kita menggunakan otak untuk menguasai
emosi dan emosi untuk menguasai keinginan. Dengan demikian keinginan kita tidak
menguasai hidup kita.

Tuhan memerintahkan kita untuk mengontrol keinginan dan nafsu kita. Tetapi
bagaimana mengontrolnya? Elemen buah Roh Kudus yang terakhir adalah
penguasaan diri. Pikiran manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa selalu dikontrol
oleh kemauannya.

Dalam ajaran Buddha, manusia yang ingin meniadakan keinginannya,


karena ingin masuk ke nirwana, tetap akan memiliki keinginan. Di sini keinginan tidak
mungkin bisa ditiadakan. Tidak bisa dibayangkan jika manusia tidak memiliki
keinginan. Keinginan adalah elemen dasar pembentuk suatu pribadi. Seseorang
boleh dan harus memiliki keinginan. Ia boleh memiliki keinginan untuk maju,
keinginan untuk menjadi pemimpin, keinginan untuk melayani Tuhan. Allah yang
meletakkan keinginan di dalam hati manusia, sehingga itu tidak boleh ditiadakan.
Tuhan Yesus mengajarkan, “Jika engkau ingin menjadi besar, jadilah hamba semua
orang.” Tuhan bukan meniadakan keinginan, tetapi mengarahkan keinginan ke
jalur yang benar.

Orang yang ingin menerima mahkota sorgawi, dia harus memikul salib dahulu; orang
yang ingin dibangkitkan, harus mau mati dahulu, karena tidak ada kebangkitan tanpa
melalui kematian. Prinsip-prinsip Alkitab menegaskan bahwa orang boleh saja
memiliki keinginan. Itu tidak salah. Ajaran ini berbeda dari ajaran agama lain yang
mengharuskan manusia meniadakan keinginan. Maka, intinya, kita harus memiliki
keinginan yang dikuduskan.

Hukum kesepuluh menekankan masalah keinginan manusia. Bagaimana kita


menggunakan keinginan kita? Adakah yang membatasi keinginan tersebut? Ya,
batasan itu adalah relasi antara pribadi dengan pribadi lainnya. Caranya adalah kita
tidak boleh menginginkan milik orang lain. Hukum ini selain membahas batasan
keinginan kita, juga membahas hak milik orang lain.

Hukum kesepuluh berbicara tentang hak kepemilikan harta pribadi, tetapi juga
bagaimana mengelola harta tersebut.

Di negara yang diwarnai oleh kekristenan, ada dermawan-dermawan besar, seperti


Bill Gates dan Warren Buffet, yang rela menyerahkan uang puluhan miliar dollar
untuk orang miskin. Ketika terjadi tsunami di Aceh, orang-orang kaya di sana tidak
memberikan bantuan. Pada saat itu Raja Arab sedang berlibur dengan keluarganya di
laut Mediterania, menghabiskan puluhan juta dolar, dan hanya memberi sumbangan
tiga juta dolar. Sebaliknya, dukungan sumbangan besar datang justru dari orang
Kristen, orang Buddha, dan bukan dari orang Islam, ini karena iman Kristen
menghasilkan orang-orang yang bisa lebih memerhatikan keadilan sosial secara
meluas.

Bersyukurlah untuk harta yang engkau miliki, dan jangan menggunakannya untuk
kepentingan sendiri. Ingatlah ada orang lain yang membutuhkan. Dalam kitab Amsal
dikatakan, “Jika engkau diberi kelebihan, ingatlah orang lain yang seharusnya layak
untuk diberi.” Tetapi siapakah yang layak diberi? Bukan orang yang tidak mau
bekerja dan terus merasa diri perlu dibantu. Orang yang harus dibantu justru adalah
orang-orang yang sudah bekerja keras, tetapi masih belum sanggup untuk
mencukupi kebutuhan dasar hidupnya, dan bahkan tidak pernah minta dibantu. Di
dunia ini ada orang-orang yang meskipun hidupnya tidak cukup, tetap berusaha
mengenakan pakaian bersih dan rapi; tetapi ada juga orang yang sudah kaya, tetapi
mendandani diri seperti orang miskin, berpakaian compang-camping dan minta
sedekah, supaya orang berbelas kasihan. Rektor saya mengatakan, “Jangan
berpakaian lusuh sehingga memberi kesan miskin dan membutuhkan bantuan.”
Bantulah orang yang sudah bekerja keras, tetapi masih berkekurangan, dan tidak
pernah mau membuka mulut untuk meminta sedekah. Kita harus hemat, tetapi
berani memberi. Saya tidak pernah beli tiket pesawat kelas bisnis, tidak pernah
masuk restoran mahal dengan inisiatif sendiri, kecuali diundang orang, hanya
beberapa kali setahun. Kalau pergi saya pilih makanan di tempat sederhana. Kalau
ada uang lebih saya pakai untuk mengerjakan pekerjaan Tuhan.

Kita boleh memiliki harta, tetapi tidak boleh mengingini harta orang lain. Itulah
hukum kesepuluh. Antara milikmu dan milik orang lain ada garis pemisah yang
tidak boleh dilanggar. Hukum kesepuluh mengajarkan kepada kita untuk
mensyukuri apa yang Tuhan berikan, merasa puas atas milik kita.

Ada orang mengatakan, “Ketika miskin bertanya, ‘Adakah yang akan kita makan?’
Setelah lebih kaya bertanya, ‘Kita makan apa hari ini?’ Lalu ketika semakin kaya, ‘Kita
makan dimana?’ Dan ketika kaya raya bertanya, ‘Siapa yang akan kita makan?’”
Orang suka memangsa perusahaan orang lain, juga menggaet pegawai orang
dengan iming-iming honor yang berlipat ganda. Ini pelanggaran hukum ke sepuluh.
Mungkin engkau berkata, “Kalau tidak pakai cara seperti itu mana mungkin bisa
maju?” Saya tegaskan kepada Saudara bahwa saya bersih. Saya tidak pernah menarik
pendeta gereja lain atau dosen theologi lain untuk bergabung dalam gerakan ini
dengan iming-iming honor besar. Perjuangan Gerakan Reformed Injili memang tidak
mudah. Setiap langkahdikerjakan dengan bersama-sama berlutut, berdoa, dan
berjuang. Orang yang merebut milik orang lain dengan cara yang licik,
melanggar hukum kesepuluh. Tuhan pasti akan menuntut balas keadilan-Nya
kepada orang-orang demikian.

Sepuluh Hukum melestarikan masyarakat, memberikan rasa aman dan sejahtera


kepada umat manusia. Sepuluh Hukum dimulai dengan garis vertikal, baru kemudian
garis horizontal; mulai dari takut akan Tuhan terlebih dahulu, baru mengasihi sesama.
Dengan demikian, barulah kita bisa menjadi anak Tuhan yang baik, sampai Kristus
datang kembali.

Anda mungkin juga menyukai