Anda di halaman 1dari 50

PROPOSAL PENELITIAN

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHTAN PIRING PERAGA


MP-ASI LOKAL TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN
IBU BATUTA DALAM PEMCEGAHAN STUNTING
DI DESA TAMAN INDAH

OLEH:
MUHAMMAD GILANG SURYA WARDANI
1420120022

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS QOMARUL HUDA BADARUDDIN
TAHUN 2024
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Balita adalah anak yang berusia -59 bulan, pada masa ini ditandai dengan
proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan disertai dengan
perubahan yang memerlukan zat-zat gizi yang jumlahnya lebih banyak dengan
kualitas yang tinggi (Ariani, 2017). Kesehatan seorang balita sangat dipengaruhi
oleh gizi yang dalam tubuh, kurangnya gizi yang diserap oleh tubuh
mengakibatkan mudah terserang penyakit karena gizi memberi pengaruh yang
besar terhadap kekebalan tubuh saat ini masalah kesehatan balita menjadi masalah
utama bidang kesehatan yang terjadi di Indonesia permasalahan yang terjadi yaitu
gizi kurang atau malnutrisi. Salah satu manifestasi yang disebabkan oleh
malnutrisi adalah stunting atau tumbuh pendek (Kemenkes RI, 2018).
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak akibat dari
kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kondisi ini
diukur berdasarkan indeks dimana standar antropentri hasil pengukurannya
berada pada ambang batas atau Z-score <-3 SD (sangat pendek), 3SD-<-2 SD
(pendek), dan >-2 SD (normal) (Kementrian Kesehatan RI, 2018). Faktor
penyebab stunting yaitu dapat disebabkan oleh faktor langsung dan faktor tidak
langsung. penyebab langsung dari kejadian stunting yaitu asupan makanan dan
adanya penyakit infeksi, sedangkan penyebab tidak langsunya yaitu pengetahuan
ibu yang kurang, pola asuh yang salah, sanitasi dan kebersihan yang buruk dan
rendahnya pelayanan kesehatan (Lynawati, 2020).
Beberapa masalah yang diakibatkan oleh stunting yaitu terjadinya
gangguan pertumbuhan fisik, gangguan metabolisme yang terjadi di dalam tubuh,
terhambatnya perkembangan otak yang berpengaruh pada kecerdasan,
menurunnya kemampuan kognitif, prestasi belajar, menurunnya sistem imun, dan
terjadinya risiko tinggi erkena penyakit degeneratif (Alya Marchanda Sangadji,
2021).
Hasil publikasi terbaru World Health Organization (WHO) tahun 2016
menyebutkan bahwa Berdasarkan jumlah stunting secara global telah mencapai
22,9% atau 154,8 juta balita (Kemenkes RI,2018a) data riset kesehatan dasar
tahun 2018 prevalensi stunting di Indonesia mencapai 30,8% (Kementrian
Kesehatan, 2018). Angka tersebut sudah turun dari prevalensi stunting tahun 2013
yaitu sebesar 37,2%, tetapi angka ini masih dikategorikan masalah kesehatan bagi
Indonesia karena WHO menetapkan batas minimum angka stunting di sebuah
negara dibawah 20%. Pada tahun 2021k urang lebih 167 ribu balita di NTB masih
mengalami stunting yakni kondisi gagal tumbuh kembang anak yang
menyababkan anak kurang cerdas dan mudah sakit. Jumlah ini masih tergolong
tinggi karena masih mencakup 33,49% dari total balita yang ada di NTB. Di
Lombok Tengah kasus stunting sampai pada 39,1% berada pada urutan kedua
setelah kabuparen Sumbawa Kasus stunting atau balita kurang gizi kronis di
wilayah kerja Puskesmas Janapria, Kecamatan Janapria mencapai ribuan kasus.
Dari catatan puskesmas Janapria berdasarkan data sampai Februari 2021 angka
kasus stunting di enam desa sasaran ada sebanyak 1.442 kasus. Dari jumlah itu
terdiri dari tinggi badan anak sangat pendek 481 orang dan pendek sebanyak 961
balita. Desa pendem termasuk dalam enam desa sasaran kasus stunting yang
memiliki 112 kasus, terdiri dari sangat pendek 27 balita dan pendek sebanyak
95 balita. Tingginya prevelensi stunting di Kecamatan Janapria terutama Desa
Pendem, diduga karena beberapa faktor penyebab salah satunya adalah perilaku
hidup bersih dan sehat oleh orang tua anak balita stunting.
WHO (2017), menyatakan bahwa hanya 40% bayi di dunia yang
mendapatkan ASI eksklusif sedangkan 60% bayi lainnya ternyata telah
mendapatkan makanan pendamping ASI pada usia kurang dari 6 bulan.
Pemberian MP-ASI sebelum bayi cukup usia di Indonesia masih tinggi. Data hasil
survei demografi dan kesehatan Indonesia 2017 menunjukkan bahwa pemberian
minuman tambahan dini tertinggi pada usia 2-3 bulan sebesar 24,7% dari 506
anak sampel dan pemberian makanan padat atau semi padat tertinggi pada usia 4-
5 bulan sebesar 32,7% dari 488 anak sampel (BPS, 2018).Selain itu Riset
Kesehatan Dasar (2018), menyatakan bahwa bayi yang mendapatkan ASI
eksklusif berjumlah 30,2% sedangkan bayi yang telah diberikan MP-ASI adalah
69,8% dari seluruh total bayi di Indonesia. Hal ini menunjukkan masih banyaknya
ibu yang sudah memberikan MP-ASI kepada bayinya sebelum waktu yang tepat.
Upaya peningkatan status kesehatan dan gizi bayi atau anak melalui perbaikan
pengetahuan dan perilaku masyarakat dalam pemberian MP-ASI merupakan
bagian integral dari upaya perbaikan gizi secara menyeluruh, namu ada
kenyataanya masih banyak ibu yang sudah memberikan makanan secara dini dan
tidak tepat waktu, maka dibutuhkan pengetahuan yang sangat baik mengenai cara
pemberian MP-ASI agar dalam pemberiannya berjalan dengan baik. Semakin baik
pengetahuan dan keterampilan seorang ibu dalam pemberian MP-ASI maka
semakin baik status gizi anak. Upaya peningkatan pengetahuan tersebut bisa
diberikan melalui penyuluhan dan pendidikan kesehatan. Edukasi mengenai
pemberian MP-ASI kepada ibu dapat meningkatkan pengetahuan ibu (Aprillia et
al., 2019).
Dengan topik Efektivitas Kelas Edukasi Makanan Pendamping Asi (MP-
ASI) Dalam Peningkatan Pengetahuan Ibu Bayi, hasil yang didapatkan ada
peningkatan pengetahuan sebelum dan setelah diberikan edukasi. Kegiatan
peningkatan pengetahuan dilakukan agar ibu dan keluarga dapat memberikan MP-
ASI secara baik dan lebih memahami bahaya, dampak dan risiko pemberian MP-
ASI yang tidak tepat pada bayi. Pendidikan kesehatan merupakan salah satu
strategi bentuk kegiatan yang merupakan pembangunan kesehatan untuk merubah
beberapa aspek perilaku salah satunya adalah pengetahuan dalam mencegah
masalah kesehatan dan meningkatkan derajat kesehatan. Tingkat pengetahuan
yang baik, dapat merubah perilaku seseorang dalam melakukan suatu tindakan
perawatan yang sebelumnya dipengaruhi suatu stimulus pemberian informasi
yang berkesinambungan. Pemberian pendidikan kesehatan tentang manajemen
nutrisi balita stunting pada keluarga bertujuan untuk memperkuat sistem keluarga.
Sehingga keluarga mampu melakukan pemenuhan nutrisi balita stuntingdengan
adekuat dan pertumbuhan balita stunting menjadi lebih optimal. Berdasarkan latar
belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mereview terkait pendidikan
kesehatan terhadap tingkat pengetahuan ibu dalam manajemen nutrisi sebagai
upaya pencegahan stunting: literature review
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa kader aktif posyandu dan
ibu dari balita stunting yang telah dilakukan oleh peneliti di desa Taman Indah
Kebanyakan Ibu-ibu kurang pengetahuan tentang stunting sehingga peneliti
tertarik untuk meneliti Efektifitas Pendidikan Kesehatan Alat Peraga MPASI
Lokal Terhadap Tingkat Pengetahuan Ibu Batuta Dalam Pencegahan Stanting DI
Desa Taman Indah.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
rumusan masalahnya adalah apakah ada efektifitas pendidikan kesehatan alat
peraga mpasi lokal terhadap tingkat pengetahuan ibu batuta dalam pencegahan
stanting di Desa Taman Indah.

1.3 Tujuan Penelitian


1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektifitas pendidikan kesehatan alat peraga MP-ASI lokal
terhadap tingkat pengetahuan ibu batuta dalam pencegahan stunting di Desa
Taman Indah.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan ibu batuta tentang pencegahan
stunting sebelum diberikan pendidikan kesehatan alat peraga MP-ASI di
Desa Taman Indah
b. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan ibu batuta tentang pencegahan
stunting sesudah diberikan pendidikan kesehatan alat peraga MP-ASI di
Desa Taman Indah
c. Menganalisis efektifitas pendidikan kesehatan alat peraga MP-ASI lokal
terhadap tingkat pengetahuan ibu batuta dalam pencegahan stunting di
Desa Taman Indah.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah refrensi atau pustaka untuk
dijadikan sebagai acuan pada penelitian selanjutnya.
b. Bagi Peneliti selanjutnya
Diharapkan bagi peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitiannya
dengan menambah faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian
stunting.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Institusi Pelayanan
Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai masukan guna
meningkatkan mutu pelayanan sehingga para petugas kesehatan bisa
memberikan informasi tentang stunting dan pendidikan kesehatan alat
peraga MPASI.
b. Bagi Masyarakat
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan
kepada masyarakat mengenai efektifitas pendidikan kesehatan alat peraga
mpasi lokal terhadap tingkat pengetahuan ibu batuta dalam pencegahan
stanting di Desa Taman Indah Keaslian Penelitian.

1.5 Keaslian Penelitian


Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No Penulis & Judul Metode Hasil
tahun
1. Febi Putri Efektivitas edukasi Metode Hasil penelitian
Indrasari, Arfah gizi terhadap penelitian ini menunjukan
Husna (2023) peningkatan menggunakan bahwa ada pengaruh
pengetahuan metode quasy efektivitas edukasi
pencegahan stunting experimental gizi terhadap
pada ibu yang with one group pengetahuan
memiliki balita pre and post pencegahan stunting
beresiko pada ibu yang
stunting memiliki anak
beresiko stunting
No Penulis & Judul Metode Hasil
tahun
dengan p value =
0,05.
2 Anaimah Efektivitas penelitian ini Hasil penelitian
(2023) pemberian video menggunakan dianalisis secara
edukasi stunting metode bivariat
terhadap quasi menggunakan uji
pengetahuan ibu eksperimental wilcoxon.
hamil dengan desain hasil menunjukkan
dalam pencegahan pretest bahwa kelompok
stunting -posttest eksperimen
yang menerima video
edukasi memiliki
p-value
sebesar 0.000 (< α),
sedangkan
kelompok kontrol
memiliki
p-value
sebesar 0.001 (< α).

3 AA syalsadilla Efektivitas kie Metode yang Data yang diperoleh


(2023) tentang gizi digunakan akan diuji
seimbang terhadap dalam penelitian menggunakan uji
pengetahuan pola ini adalah cross wilcoxon dan di
asuh ibu dengan sectional dengan tampilkan dalam
balita stunting di rancangan one bentuk tabel
Wilayah Kerja group pre-test distribusi. Hasil
UPTD Puskesmas post-test. temuan peneliti
Gondang diperoleh terjadi
peningkatan
pengetahuan ibu
tentang pola asuh
gizi seimbang
sebelum dan sesudah
diberikan KIE
dengan p-value
<0,00001, yang
artinya KIE tentang
gizi seimbang efektif
meningkatkan
pengetahuan pola
asuh ibu dengan
balita stunting di
wilayah kerja UPTD
Puskesmas Gondang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Balita


2.1.1 Definisi Balita
Balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan, pada masa ini ditandai
dengan proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan
disertai dengan perubahan yang memerlukan zat-zat gizi yang jumlahnya
lebih banyak dengan kualitas yang tinggi. Akan tetapi, balita termasuk
kelompok yang rawan gizi serta mudah menderita kelainan gizi karena
kekurangan makanan yang dibutuhkan. Konsumsi makanan memegang
peranan penting dalam pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak sehingga
konsumsi makanan berpengaruh besar terhadap status gizi anak untuk
mencapai pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak (Ariani, 2017).
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal
setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi
berusia 2 tahun. Sementara masa balita merupakan periode penting dalam
proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan anak
pada priode ini menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan
perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang
berlangsung sangat cepat dan tidak pernah terulang, karena sering disebut
golden age atau masa kemasan (Septiari, 2012).
2.1.2 Karakteristik Balita
1. Batita (1-3 tahun)
Batita merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima
makanan apa saja yang disediakan ibunya sehingga anak balita
sebaiknya diperkenalkan dengan berbagai macam makanan. Laju
Pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia prasekolah sehingga
diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Pola makan yang
diberikan sebaiknya dalam porsi kecil dengan frekuensi sering karena
perut balita lebih kecil sehingga mampu menerima jumlah makanan
dalam sekali makan (Marmi & Rahardjo, 2012). Nutrisi untuk bayi 0-6
bulan adalah ASI (Air Susu Ibu) Ekslusif yaitu pemberian ASI saja
tanpa tambahan makanan seperti susu formula, air putih, air jeruk, dan
makanan lain. Bayi usia 6-12 bulan zat gizi yang diperlukan sejalan
dengan peningkatan proses tumbuh kembang tidak cukup dengan ASI
saja, maka perlu diperkenalkan jenis makanan padat yang disebut
makanan pendamping ASI (MP-ASI). Untuk anak usia 12 tahun keatas
asupan gizi yang lengkap diperlukan yaitu porsi makanan yang
dikonsumsi bertambah, sesuai dengan pertambahan berat tubuh dan
peningkatan proses tumbuh kembang yang terjadi. Dari usia anak diatas
menunjukan bahwa peran orang tua terutama ibu sangat penting untuk
menyiapkan makanan sesuai pertumbuhan balita (Marmi & Rahardjo,
2012).
2. Usia Prasekolah (3-5 tahun)
Pada usia prasekolah anak akan menjadi konsumen yang aktif
yaitu mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Perilaku
makan sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologis, kesehatan dan social
anak. oleh karena itu keadaan lingkungan dan sikap kekeluargaan
merupakan hal yang sangat penting dalam pemberian makanan pada
anak agar tidak cemas dan khawatir terhadap makanannya (Aritonang,
2015).
Anak prasekolah mencakup perkembangan fisik dan kemampuan
motorik serta emosional anak. Perkembangan tumbuh kembang fisik
anak adalah bertambahnya besar ukuran-ukuran antropometri, gigi-gigi,
otot, serta jaringan lemak, darah dan lainnya. Sedangkan kemampuan
motorik dan emosional mencakup sikap anak dalam lingkungan, gerakan
anggota badan, serta kemampuan intelektual anak seperti menyebutkan
namanya atau bercerita lainnya (Aritonang, 2015).
2.1.3 Pertumbuhan Balita
Pertumbuhan adalah suatu proses perubahan fisik (anatomis) yang
ditandai oleh bertambahnya ukuran berbagai organ tubuh yang disebabkan
oleh adanya pembesaran sel-sel pada tubuh. Pada pertumbuhan terjadi
perubahan ukuran, besar, jumlah, atau dimensi pada tingkat sel, organ
maupun individu. Pertumbuhan bersifat kuantitatif sehingga dapat diukur
dengan satuan berat (gram dan kilogram) satuan panjang (cm dan m)
(Soetjiningsih, 2014).
Pertumbuhan memiliki ciri-ciri khusus dan memiliki prinsip-prinsip
yang saling berkaitan. Pertumbuhan memiliki ciri-ciri khusus yaitu, terjadi
perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama, serta
munculnya ciri-ciri baru. Keunikan pertumbuhan ialah mempunyai pola
pertumbuhan yang berbeda-beda pada setiap kelompok umur dan masing-
masing organ juga mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda. Sedangkan
pertumbuhan memiliki prinsip yang saling berkaitan, yaitu pertumbuhan
adalah proses dimulai dari sejak konsepsi sampai maturitas, atau dewasa.
Dalam peride tersebut terdapat adanya masa percepatan atau perlambatan.
Tiga periode pertumbuhan tercepat terjadi pada masa janin, bayi (0-1 tahun)
dan pada masa pubertas (Marmi & Rahardjo, 2012).
Pertumbuhan mengalami peningkatan yang pesat pada usia dini yaitu
0-5 tahun. masa ini sering disebut juga sebagai “Golden Age”. Golden Age
ialah masa yang sangat penting untuk meperhatikan pertumbuhan anak
secara teliti agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila terjadi kelainan.
Selain itu, penanganan kelainan yang sesuai pada Golden Age dapat
meminimalisir kelainan pertumbuhan anak sehingga kelainan yang bersifat
permanen dapat dicegah (Marmi & Rahardjo, 2012).
2.1.4 Penilaian Pertumbuhan Balita
Dasar utama dalam menilai pertumbuhan fisik anak yaitu penilaian
dengan menggunakan alat baku (standar). Untuk keakuratan penilaian harus
dilakukan dengan teliti dan rinci. Pengukuran perlu dilakukan dalam kurun
waktu tertentu untuk menilai percepatan pertumbuhan. Parameter ukuran
antropometrik yang dipakai dalam penilaian pertumbuhan fisik yaitu tinggi
badan, berat badan, lingkar kepala, lipatan kulit, lingkar lengan atas,
panjang lengan, proporsi tubuh, dan panjang tungkai (Marmi & Rahardjo,
2012). Penilaian pertumbuhan fisik yang dapat digunakan yaitu:
1. Pengukuran Berat Badan (BB)
Pengukuran ini dilakukan secara teratur untuk memantau
pertumbuhan dan keadaan gizi pada balita. Balita ditimbang setiap bulan
dan dicatat dalam Kartu Menuju Sehat Balita (KMS Balita) sehinnga
dapat dilihat grafik pertumbuhan dan dilakukan interpensi apabila
terdapat penyimpangan terhadap balita. berat badan bayi antara usia 0
dan 6 bulan bertambah 682 gram perbulan. Berat badan meningkat 2x
lipat ketika usia bayi 5 bulan. Antara usia 6 dan 12 bulan, berat
bertambah 341 gram per bulan. Sedangkan, berat bayi meningkat 3x
lipat dari berat badan lahir saat usia 12 bulan. Pada usia 2 tahun beratnya
akan meningkat 4x dari berat badan lahir. Saat prasekolah kenaikan
berat badan rata 2kg/tahun (Santrock, 2012).
2. Pengukuran Tinggi Badan (TB)
Pengukuran tinggi badan pada anak sampai usia 2 tahun dilakukan
dengan berbaring, sedangkan diatas umur 2 tahun dilakukan dengan
berdiri. Hasil pengukuran setiap bulan dapat dicatat pada lembar KMS
yang mempunyai grafik pertumbuhan tunggi badan. Rata-rata tinggi
badan anak lahir adalah 50 cm. Pada usia 1 tahun tinggi badan anak 1,5x
TB lahir. Sedangkan usia 4 tahun tinggi badan anak 2x TB lahir. Usia
anak 6 tahun 1,5x TB setahun.Usia 13 tahun 3x tinggi badan lahir. Saat
dewasa 3,5x TB lahir (2x TB 2 tahun) (Santrock, 2012).
3. Pengukuran Lingkar Kepala (PLKA)
Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan pada anak,
biasanya ukuran pertumbuhan tengkorak mengikuti pertumbuhan otak,
sehingga bila terdapat hambatan pada pertumbuhan tengkorak maka
perkembangan otak anak juga terhambat. Pengukuran dilakukan dengan
diameter Occipitofrontal dengan mengambil rata-rata 3 kali pengukuran
sebagai standar (Santrock, 2012).
2.2 Konsep pendidikan Kesehatan
2.1.1 Pengertian Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah kegiatan yang dilakukan dengan cara
penyebaran pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja
sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran
yang ada hubungannya dengan kesehatan (Waryana, 2016).
Pendidikan kesehatan sebuah upaya persuasi atau pembelajaran
kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan
untuk memelihara, dan meningkatkan taraf kesehatannya. Pendidikan
kesehatan merupakan tindakan mandiri keperawatan untuk membantu klien
baik individu, kelompok maupun masyarakat dalam mengatasi masalah
kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran di dalamnya perawat sebagai
perawat pendidik sesuai dengan tugas seorang perawat (Notoatmodjo,
2018).
2.1.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan
Masyarakat diharapkan dapat memecahkan masalah lalu mengatasi
kebutuhannya melalui pendidikan kesehatan (Ernawati, 2018). Pendidikan
kesehatan bertujuan untuk memperoleh dan memahami secara optimal guna
peningkatan kualitas kesehatan Disamping itu, hal ini dilakukan untuk
mengubah kesadaran masyarakat mengenai kesehatan agar mencapai tujuan
hidup sehat (Rochmawati dan Novitasari, 2016). Dapat disimpulkan bahwa
pendidikan kesehatan bertujuan menumbuhkan kemampuan masyarakat
dalam menjaga kesehatan secara fisik, mental dan sosial (Debbroh, 2020).
2.1.3 Sasaran Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan dapat diberikan kepada sasaran secara langsung
maupun melaluai menggunakan media tertentu dalam situasi diamana
pendidik tidak dapat bertemu dengan sasaran, media sangat diperlukan
untuk pendidikan. Media pendidikan kesehatan adalah saluran komonikasi
yang dipake untuk mengirimkan pesan kesehatan. Pemilihan media
pendidikan kesehtan di tentukan oleh banyaknya sasaran, keadaan geografis,
karakteristik partisipan dan sumber daya pendukung. Contohnya di daerah
terpencil yang hanya dapat dicapai dengan pesawat terbang khusus dan
pendidikan kesehatan yang diinginkan adalah mencapai sebanyak mungkin
sasaran, maka media yang dipilih adalah player atau media elekrtronik jika
sumber dayanya memumgkinkan. Beberapa media pendidikan kesehatan
dapat juga digunakan sebagai alat peraga jika pendidikan kesehatan bertemu
langsung dengan partisipan dalam proses promosi kesehatan. Media poster
dapat dianggap sebagai media peraga berupa gambar, demikian juga dengan
billboard dan sebagainya. Berikut ini adalah media dan alat peraga yang
dapat digunakan dalam promosi kesehatan sebagai berikut
Media cetak :
1. Leaflet dan pamphlet
Merupakan selembar kertas yang berisi tulisan cetak tentang suatu
masalah khusus untuk sasaran yang dapat membaca. Leaflet terdiri atas
200 – 400 kata dan kadang -kadang berseling dengan gambar. Leaflet
berbentuk 20 x 30 cm, dan biasanya dalama bentuk berlipat. Merupakan
bentuk penyampaian informasi kesehatan melalui selembar kertas yang
dilipat.
2. Flyer (selembaran).
3. Billboard
Bentuk papan besar berukuran 2 x 2 meter yang berisi tulisan atau
gambar yang ditempatkan dipinggir jalan besar yang dapat dibaca atau
dilihat oleh pengendara yang berkecepatan tinggi tanpa mengganggu
kosentrasi dalam berkendara, billboard juda dapat berupa gambar besar
yang ditempel pada pengendara umum (bus kota) sehingga dapat meraih
lebih banyak sasaran.
4. Poster
Poster merupakan pesan singkat dalam bentuk gambar, ukuran
poster biasanya ukuran 50 x 60 cm, karena ukuran terbatas dan tema
dalam poster tidak terlalu banyak, sedapat dapanya hanya ada satu tema
dalam satu poster. Tata letak kata dan warna dalam poster hendaknya
menarik. Kata-kata dalam poster tidak lebih dari 7 kata dan hurupnya
dapat dibaca oleh orang yang lewat dari jarak 6 meter.
5. Lembar balik (flip card)
Adalah media penyampaian dalam bentuk buku dimana pada setiap
lembar berisi gambar, pada setiap lembar berisi gambar peraga dan
lembar sebaliknya adalah tulisan yang menjelaskan tentang gambar
sebelumnya. Lembar balik (flip card) mempunyai 2 ukuran, ukuran besar
terdiri atas lembaran – lembaran berukuran 50 x 75 cm, sedangkan
ukuran kecil 38 x 50 cm. lembar balik yang berukuran lebih kecil (21 x
28 cm) disebut flip book atau flip card meja.
6. Komik
Komik merupakan bahan bacaan yang menarik dan popular,
terutama dikalangan anak muda, dewasa, maupun anak-anak. Disebut
menarik karena komik berisi tentang cerita yang dipisualkan dalam
gambar-gambar menarik. Komik umumnya berbentuk rangkaian gambar,
masing-masing dibuat dalam panel dan dipisahkan gang yang
keseluruhannya merupakan kesatuan cerita yang runtut. Gambar-gambar
tersebut biasanya dilengkapi dengan balon yang berisi ucapan yang
disampaikan oleh tokoh dalam komik tersebut dan kadang disertai narasi
sebagai penjelasan yang berbentuk kotak dan tersambung ditepi panel.
Sehingga disimpulkan secara ringkas bahwa komik adalah sajian cerita
yang dilengkapi dengan gambar, ilustrasi, symbol-symbol dan balon kata
yang didekatkan dalam urutan tertentu untuk menyampaikan informasi.
Macam macam komik;
Komik dibedakan menjadi 2 yaitu berdasarkan bentuknya dan
berdasarkan jenis ceritanya.
a. Komi berdasarkan bentuknya
1) Komik strip
Komik ini merujuk pada komik yang terdiri dari beberapa panel
saja dan biasanya muncul di surat kabar dan majalah
2) Buku komik
Adalah komik yang disajikan dalam bentuk buku yang tidak
merupakan dari media cetak lainnya
3) Novel graphis
Novel graphis memiliki tema – tema yang lebih serius dengan
panjang cerita yang hampir sama dengan novel dan ditunjukkan
untuk pembaca dewasa.
4) Komik komplikasi
Komik komplikasi merupakan kumpulan dari beberapa judul
komik dan komikus.
5) Komik online
Komik ini menggunakan internet untuk publikasinya dan
jangkauannya tak terbatas.
b. Komik berdasarkan jenis ceritanya
1) Komik edukasi
Komik yang secara cukup besar memberikan adil dalam ranah
intelektual dan artistic seni. Keragaman gambar dan cerita yang
ditawarkan menjadi alat atau media untuk menyampaikan pesan
yang beragam.
2) Komik promosi
Komik juga dapat dijadikan sebagai saran untuk promosi, komik
juga mampu menarik minat anak – anak sehingga muncullah
komik promosi sebuah produk.
3) Komik wayang
Merupakan hasil teradisi lama yang lahir dari sumber hindu yang
kemudian diolah dan diperkaya unsure local, beberapa
diantaranya berasal dari kesusastraan jawa kuno seperti mahabrata
dan Ramayana.

4) Komik silat
Komik silat ini banyak mengambil ilham dari seni bela diri dan
juga legenda – legenda rakyat. Biasanya komik ini bercerita
tentang petualang para pendekar dan membela kebenaran.
5) Komik humor
Komik humor selalu menceritakan hal – hal yang lucu dan
membuat para pembaca tertawa.
6) Komik roman remaja
Digunakan untuk menunjukan bahwa komik ini diajukan bagi
kaum muda dan alur ceritanya tentu saja harus romantiak.
7. Audiovisual
Media audiovisual adalah media yang dapat merangsang indra
pendengaran dan indra penglihatan secara bersamaan, dan bersifat dapat
didengar dan dilihat karena mengandung unsure suara dan gambar.
Media audio visual menggunakan dua jenis media yaitu auditif atau
mendengar dan visual atau melihat, maka dari itu jenis media ini
mempunyai kemampuan yang lebih baik. Media audiovisual merupakan
sebuah alat bantu yang berarti alat atau bahan yang dipergunakan dalam
situasi belajar untuk membantu penyampaian tulisan dan kata yang
diucapkan dalam menularkan pengetahuan, ide, dan sikap.
Jenis media audiovisual;
a. Media audi motion visual, yaitu media yang paling lengkap dengan
maksud penggunaan segala kemampuan audio dan visual kedalam
pengelompokan, seperti : TV, Sound Film, Video Tape, dan Film TV
recording.
b. Media audio-still-visual, yaitu media kedua yang dianggap lengkap
tetapi tidak bias menampilkan motion atau gerak, seperti sound film
strip, sound slide-sct, rekaman still TV.
c. Media audio-semination, yaitu media yang berkemampuan
menampilkan titik titik, tetapi tidak bias mentransmit secara utuh
suatu motion nyata, seperti tlewriting dan recording tlewriting
d. Media motion-visual, yaitu media yang kemampuan seperti media
kelas satu kecuali suara (audio). Media yang termasuk kelas ini
adalah silent film (film bisu).
e. Media still-visual, yaitu media yang mampu menyampaikan
informasi secara visual tetapi tidak bias menyampaikan motion
(gerek) seperti facsimile, micropon, dan video file
f. Media audio yaitu media yang menggunakan suara semata – mata.
Radio, telepon, audio dise, audio tipe.
g. Media cetakan yaitu media yang hanya menampilak informasi berupa
alphanumeric dan symbol-symbol tertentu
Kelebihan audiovisual sebagai media pendidikan kesehatan
a. Dapat menarik minat dan perhatian dengan tampilan audiovisual,
sehingga mudah untuk dipahami dan diaplikasikan, karena idealnya
seseorang dapat berkomunikasi yaitu selama 20-30 menit
b. Meningkatkan motivasi, efektifitas dan efisien penyampaian
informasi
c. Media audiovisual mempermudah orang dalam menyampaikan dan
menerima materi
d. Waktu dapat di efisienkan
e. Dapat menggambarkan teori sains dalam bentuk animasi
f. Membantu stimulasi dan mendorong respon siswa
g. Visual dari gambar yang berwarna dapat menambah realita objek
yang diperagakan suara yang dihasilkan dapat menimbulkan realita
pada gambar.
8. Video
Keunggulannya adalah dapat memberikan realita yang sulit direkam
kembali oleh mata dan pikiran. Selain itu, dapat diulang kembali untuk
melihat informasi yang tersedia.
a. Dengan menggunakan video (disertai suara atau tidak), kita dapat
menunjukan kembali gerakan tertentu.
b. Dengan menggunakan efek tertentu dapat diperkokoh baik proses
belajar maupun nilai hiburan dari penyajian itu.
c. Dengan vide, informasi dapat disajikan secara serentak pada waktu
yang sama dilokasi (kelas) yang berada dan dengan jumlah penonton
atau peserta yang tak terbatas dengan jalan mendapatkan monitor
disetiap kelas
d. Dengan video siswa dapat belajar secara mandiri
9. Slide
Keunggulannya adalah dapat memberikan realita walaupun dalam
keadaan terbatas serta cocok untuk sasaran dengan jumlah yang banyak.

2.3 Konsep Pengetahuan


2.3.1 Pengetahuan
Pengetahuan atau knowledge adalah hasil penginderaan manusia atau
hasil tahu seseorang terhadap suatu objek melalui panca indra yang
dimilikinya. Pancaindra manusia guna pengindraan terhadap objek yakni
penglihatan, penciuman, rasa dan perabaan. Pada waktu pengindraan untuk
dihasilkan pengetahuan tersebut dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan
persepsi terhadap objek. Pengetahuan seseorang sebagaian besar diperoleh
melalui indra pendengaran dan indra penglihatan (Notoatmodjo, 2014).
2.3.2 Tingkat-Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoadmodjo (2014), pengetahuan seseorang terhadap suatu
objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda. Secara garis besar
dibagi menjadi 6 tingkat pengetahuan, yaitu :
1. Memahami (Comprehention)
Memahami suatu objek bukan hanya sekedar menyebutkan, tetapi orang
tersebut dapat menginterpretasikan secara benar tetang objek yang
diketahuinya. Orang yang telah memahami objek dan materi harus
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menarik kesimpulan
meramaikan terhadap suatu objek yang dipelajari.
2. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai recall atau memanggil memori yang telah ada
sebelumnya setelah menamati sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan
yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tahu disini
merupakan tingkatan yang paling rendah. Kata kerja yang digunakan
untuk mengukur orang yang tahu tantang apa yang dipelajari yaitu dapat
menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi, menyatakan dan
sebagainya.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan ataupun mengaplikasikan pinsip yang
diketahui tersebutu pada situasi atau kondisi yang lain. Aplikasi juga
diartikan aplikasi atau penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip,
rencana program dalam situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang dalam menjabarkan atau
memisahkan, lalu kemudian mencari hubungan antara komponen-
komponen dalam suatu objek atau masalah yang diketahui. Indikasi
bahwa pengetahuan seseorang telah sampai pada tingkat ini adalah jika
orang tersebut dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan,
membuat bagian terhadap pengetahuan objek tersebut.
5. Sintesis (Synthesis)
Merupakan kemampuan seseorang dalam merangkum atau meletakkan
dalam suatu hubungan yang logis dari kemampuan. Dari komponen
pengetahuan yang sudah dimilikinya. Dengan kata lain suatu
kemampuan untuk Menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah
ada sebelumnya.

6. Evaluasi (Evaluation)
Merupakan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu objek tertentu. Penilaian berdasarkan suatu kriteria yang
ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku dimasyarakat
2.3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan
antara lain (Baudiman & Riyanto, 2013):
1. Usia
Semakin bertambahnya usia maka kontrol dan sikap penangkapan
akan semakin tercipta sehingga informasi yang didapat semakin unggul
dan semakin banyak.
2. Pendidikan
Pendidikan adalah upaya untuk menciptakan identitas dan
kapasitas di dalam dan di luar sekolah (baik formal maupun nonformal)
yang berlangsung seumur hidup. Artinya semakin tinggi pengajaran
seseorang maka semakin bisa mendapatkan dan mendapatkannya data
sehingga ilmu yang dimilikinya juga semakintinggi.
3. Informasi atau Media Massa
Strategi untuk mengumpulkan, merencanakan, menyimpan,
mengendalikan, melaporkan, menganalisis, dan menyebarkan data
dengan alasan tertentu. Data mempengaruhi informasi seseorang jika
mereka sering mendapatkan data hampir menjadi pelajaran hal itu akan
menambah informasi dan pemahamannya, sedangkan seseorang yang
tidak mendapatkan informasi secara teratur tidak akan menambah
pemahamannya.
4. Sosial, Budaya dan Ekonomi.
Tradisi atau budaya seseorang yang dilakukan tanpa berpikir
apakah yang dilakukan itu manis atau buruk akan menambah
informasinya meskipun dia tidak melakukannya. Sementara itu, status
keuangan juga akan menentukan aksesibilitas fasilitas yang dibutuhkan
untuk latihan tertentu. Seorang individu yang memiliki sosio-budaya
yang baik akan memiliki informasi yang baik, tetapi jika sosio-
budayanya tidak baik maka informasinya tidak akan baik. Status
keuangan seseorang mempengaruhi tingkat pengetahuannya karena
seseorang yang memiliki status keuangan di bawah normal sehingga
seseorang akan kesulitan untuk meningkatkan pengetahuan.
5. Lingkungan
Lingkungan mempengaruhi cara memasukkan informasi ke dalam
manusia karena adanya interaksi timbal balik atau tidak yang dapat
direaksikan sebagai informasi oleh orang. Lingkungan yang bagus,
informasi yang didapat akan bagus, tetapi jika lingkungannya tidak
bagus, informasi yang didapat juga tidak bagus. Jika ada orang di sekitar
orang yang diajar, informasi yang dimiliki seseorang akan berbeda dari
orang di sekitar orang yang menganggur dan tidak berpendidikan.
6. Pengalaman
Pengalaman adalah berupa bagaimana memahami permasalahan dari
pertemuan masa lalu yang pernah dialami sehingga pertemuan yang
didapat dapat dimanfaatkan sebagai informasi jika anda mengalami
masalah yang sama.
2.3.4 Pengukuran Tingkat Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dilakukan dengan wawancara atau kuesioner
yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek
penelitian. Pengetahuan seseorang ditetapkan menurut hal-hal berikut
(Baudiman & Riyanto, 2013):
1. Bobot I :Tahap tahu dan pemahaman.
2. Bobot II :Tahap tahu, pemahaman, aplikasi dananalisis
3. Bobot III :Tahap tahu, pemahaman, aplikasi, analisis sintesis dan
evaluasi
Kriteria penilaian tingkat pengetahuan dikelompokkan menjadi dua
kelompok apabila respondennya adalah masyarakat umum, yaitu (Baudiman
& Riyanto, 2013):
1. Pengetahuan baik : Jika persentase jawaban ≥50%
2. Pengetahuan kurang : Jika persentase jawaban <50%

2.4 Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)


2.4.1 Definisi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman
selain ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan kepada bayi selama
periode penyapihan (complementary feeding) yaitu pada saat
makanan/minuman lain diberikan bersama pemberian ASI (Asosiasi
Dietisien Indonesia, 2015). Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan
dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk
maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi (Mufida, 2015).
Pemberian MP-ASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya penting
untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang sangat
pesat pada periode ini, tetapi sangat diperlukan higienitas dalam
pemberian MP-ASI tersebut sanitasi dan higienitas MP-ASI yang rendah
memungkinkan terjadinya kontaminasi mikroba yang dapat meningkatkan
risiko atau infeksi lain pada bayi. Selama kurun waktu 4-6 bulan pertama
ASI masih mampu memberikan kebutuhan gizi bayi, setelah 6 bulan
produksi ASI menurun sehingga kebutuhan gizi tidak lagi dipenuhi dari ASI
saja. Peranan makanan tambahan menjadi sangat penting untuk memenuhi
kebutuhan gizi bayi tersebut (Mufida, 2015).
2.4.2 Tujuan Pemberian MP-ASI
Pada umur 0-6 bulan pertama dilahrikan ASI merupakan makanan
yang terbaik bagi bayi, namun setelah usia tersebut bayi mulai
membutuhkan makanan tambahan tambahan selain ASI yang disebut
makanan pendamping ASI. Pemberian makanan pendamping ASI
mempunyai tujuan memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan bayi
atau balita guna pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikomotor yang
optimal, selain itu untuk mendidik bayi supaya memiliki kebiasaan makan
yang baik. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik jika dalam
memberikan MP-ASI sesuai pertambahan umur, kualitas dan kuantitas
makanan baik serta jenis makanan yang beraneka ragam.
Tujuan pemberian MP-ASI antara lain :
1. Memenuhi kebutuhan gizi bayi
2. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima berbagai
macam makanan dengan berbagai rasa dan tekstur yang pada
akhirnya mampu menerima makanan keluarga
3. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan
menelan (keterampilan oromotor) (Asosiasi Dietisien Indonesia,
2015)
4. Menanggulangi dan mencegah terjadinya gizi buruk dan gizi
kurang sekaligus mempertahankan status gizi baik pada bayi dan
anak (Siswanto, 2015)
2.4.3 Manfaat Pemberian MP-ASI
Manfaat pemberian makanan pendamping ASI adalah untuk
menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak
dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus-menerus, untuk mencapai
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, menghindari terjadinya
kekurangan gizi, mencegah risiko masalah gizi, defesiensi zat gizi mikro
(zat besi, zink, kalsium, vitamin A, vitamin C dan folat), menyediakan
makanan ekstra yang dibutuhkan untuk mengisi kesenjangan energi dengan
nutrisi, memelihara kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan bila sakit,
membantu perkembangan jasmani, rohani, psikomotor, mendidik kebiasaan
yang baru tentang makanan dan memperkenalkan bermacam-macam bahan
makanan yang sesuai dengan keadaan fisiologis bayi (Milna, 2018).
Apabila pemberian MPASI dilakukan sebelum anak berusia 6 bulan
dapat meningkatkan resiko diare, alergi makanan, kram usus dan infeksi
lainnya (Nakita, 2015). Tetapi jika pemberian MPASI terlambat dikenalkan
dapat beresiko terhadap timbulnya masalah makan. Perilaku ini pada
akhirnya akan membuat anak hanya mau makan makanan tertentu saja,
sehingga kebutuhan nutrisinya kurang tercukupi. Bayi 6 bulan merupakan
usia yang rawan malnutrisi, sekaligus merupakan usia yang paling sering
terjadi perlambatan kenaikan berat badan. Salah satu penyebabnya karena
pemberian MPASI yang te.rlambat atau kurang memenuhi kebutuhan nutrisi
bayi (Nasar, 2019).
2.4.4 Pemberian Makanan Pendamping ASI yang Baik dan Benar
Menurut Djitowiyono (2016) ada beberapa cara memberikan
makanan tambahan kepada bayi, antara lain sebagai berikut :
1. Makanan bayi diberikan sedikit demi sedikit secara perlahan dari
bentuk encer ke bentuk yang lebih kental secara bertahap
2. Makanan diperkenalkan satu persatu sampai bayi dapat menerimanyam.
Makanan yang dapat menimbulkan alergi diberikan paling terakhir
dan harus dicoba terlebih dahulu, misalnya telur berikan kuningnya
dahulu setelah tidak ada reaksi alergi, maka hari berikutnya boleh
diberikan putihnya
3. Makanan pada bayi diberikan hanya ketika bayi merasa lapar
Tabel 2.1
Pola Pemberian Makanan MP-ASI
Golongan Pola Pemberian ASI/MP-ASI
Umur Makanan Makanan Makanan
(Bulan) ASI Lumat Lunak Padat
Umur 0-6
Umur 6-9
Umur 9-12
Umur 12-24

2.4.5 Tanda-Tanda Bayi Sudah Siap Menerima Makanan Pendamping ASI


Bayi perlu disusui secara eksklusif sampai mereka berusia 4 atau 6
bulan, lebih dianjurkan lagi setelah usia 6 bulan. Menyusui Eksklusif
sampai usia 6 bulan mengurangi resiko alergi. Ketika sistem pencernaan
bayi makin siap, ia akan mampu menerima makanan yang berbeda-beda
tanpa beresiko terkena alergi. Berikut adalah ciri-ciri yang perlu
diperhatikan untuk mengetahui kesiapan bayi (Mufida, 2015).
1. Kemampuan bayi untuk mempertahankan kepalanya untuk tegak tanpa
disangga
2. Menghilangnya refleks menjulur lidah
3. Bayi mampu menunjukkan keinginannya pada makanan dengan cara
membuka mulut, lalu memajukan anggota tubuhnya ke depan untuk
menunjukkan rasa lapar dan menarik tubuh ke belakang atau membuang
muka untuk menunjukkan ketertarikan pada makanan.
2.4.6 Jenis-Jenis Makanan Pendamping ASI
Menurut Proverawati (2016), makanan pendamping ASI yang baik
yaitu memiliki tekstur yang sesuai dengan usia anak, frekuensi, dan porsi
makanan yang sesuai dengan tahap perkembangan dan pertumbuhan.
Adapun jenis-jenis makanan pendamping ASI adalah sebagai berikut:
1. Makanan lumat
Makanan lumat adalah makanan yang dihancurkan, dihaluskan atau
disaring dan bentuknya lebih lembut atau halus tanpa ampas. Biasanya
makanan lumat ini diberikan saat anak berusia enam sampai sembilan
bulan. Contoh dari makanan lumat itu sendiri antara lain berupa bubur
susu, bubur sumsum, pisang saring atau dikerok, pepaya saring dan nasi
tim saring.
2. Makanan lunak
Makanan lunak adalah makanan yang dimasak dengan banyak air atau
teksturnya agak kasar dari makanan lumat. Makanan lunak ini diberikan
ketika anak usia sembilan sampai 12 bulan. Makanan ini berupa bubur
nasi, bubur ayam, nasi tim, kentang puri.
3. Makanan padat
Makanan padat adalah makanan lunak yang tidak nampak berair dan
biasanya disebut makanan keluarga. Makanan ini mulai dikenalkan pada
anak saat berusia 12-24 bulan. Contoh makanan padat antara lain berupa
lontong, nasi, lauk-pauk, sayur bersantan, dan buah-buahan.
2.4.7 Cara Pemberian Makanan Pendamping ASI
Pemberian makan yang responsif adalah pemberian aktif yang tidak
hanya memperhatikan nutrien dalam makanan, tetapi juga bagaimana,
kapan, dimana dan dengan siapa anak makan. Selain itu, pemberian makan
responsif juga memperhatikan pertumbuhan anak dan pendekatan tumbuh
kembang. Jadi, pemberian makan yang responsif selalu memperhatikan
interaksi dan gaya dalam pemberian makan, situasi dalam pemberian
makan, dan cara mengatasi penolakan makan anak (Fitria, 2018).

2.5 Konsep Stunting


2.5.1 Definisi Stunting
Stunting adalah pertumbuhan yang terhambat (tumbuh pendek).
Stunting terjadi akibat kegagalan pada saat proses tumbuh kembang
seseorang anak karena kondisi kesehatan dan asupan gizi yang tidak
optimal. Stunting sering berkaitan dengan kondisi social ekonomi, paparan
suatu penyakit, asupan gizi yang kurang secara kuantitas dan kualitas
(Millennium Challenge Account – Indonesia, 2015). Stunting merupakan
salah satu bentuk malnutrisi yang merefleksikan kekurangan gizi yang
terjadi secara kumulatif yang berlangsung pada waktu yang lama (kronis).
Anak yang mengalami stunting tidak mencapai rata-rata median standar
pertumbuhan sesuai umur dan jenis kelamin anak (Lamid, 2015).
2.5.2 Dampak Stunting
Kecukupan status nutrisi sangat di butuhkan dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan pada balita, karena masa depan anak juga
ditentukan oleh kualitas nutrisi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Dimana pertumbuhan dan perkembangan anak itu sangat cepat, sehingga
dibutuhkan nutrisi yang baik untuk pondasinya. Nutrisi mempunyai
beberapa fungsi yaitu, membantu perkembangan otak, mengoptimalkan
pertumbuhan tubuh, mengatur metabolisme pada tubuh, mengoptimalkan
kognitif maupun prestasi, dan dapat menurunkan berbagai resiko penyakit.
Apabila pada masa 1.000 HPK seseorang mengalami kekurangan nutrisi
maka akan menyebabkan dampak jangka pendek dan jangka panjang yang
dapat terlihat setelah bayi berusia 2 tahun. Adanya kekurangan nutrisi yang
berkepanjangan pada 1.000 HPK dapat terlihat dari tinggi badan anak
tersebut. Salah satu dampak dari ketidak cukupan nutrisi yang
berkepanjangan yaitu tinggi badan yang tidak sesuai dengan umurnya atau
stunting (Hanindita, 2018).
Stunting pada anak dapat berakibat fatal terhadap produktivitasnya di
masa dewasa. Anak stunting juga mengalami kesulitan dalam belajar
membaca dibandingkan anak normal. Anak yang mengalami stunting
memiliki potensi tumbuh kembang yang tidak sempurna, kemampuan
motorik dan produktivitas rendah, serta memiliki risiko lebih tinggi untuk
menderita penyakit tidak menular. Sttunting merupakan gangguan
pertumbuhan yang dapat mengindikasikan adanya gangguan pada organ‐
organ tubuh. Salah satu organ yang paling cepat mengalami kerusakan pada
kondisi gangguan gizi ialah otak. Otak merupakan pusat syaraf yang sangat
berkaitan dengan respon anak untuk melihat, mendengar, berpikir, serta
melakukan gerakan (Picauly & Toy, 2013).
2.5.3 Indikator Stunting
Status stunting pada seorang balita akan teridentifikasi jika telah
diukur panjang atau tinggi badannya, kemudian dibandingkan dengan
standar baku lalu didapat tinggi badan kurang dari -2 standard deviasi (<-2
SD). Berdasarkan indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) atau panjang
badan umur (PB/U) balita berstatus stunting bila:
1. Sangat pendek : <-3,0 SD
2. Pendek : <-2 SD sampai dengan -3 SD
3. Normal : -2 SD sampai dengan 2 SD
Berlandaskan Ketentuan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor:1995/Menkes/SK/XII/2010 Tentang Standar Antropometri Penilaian
Status Gizi Anak, berikut klasifikasi dan Ambang Batas Status Gizi Anak
Berdasarkan Indeks yaitu (Kemenkes RI., 2010):
Tabel 2.2
Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak
Kategori Ambang Batas
Indeks
Status Gizi (Z-Score)
Sangat Pendek <-3 SD
Tinggi Badan menurut
Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD
Umur (TB/U) Anak Umur
0-60 Bulan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi >2 SD
Sumber: Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak Tahun 2010

2.5.4 Upaya Pencegahan Stunting


Stunting masuk dalam sasaran Sustainable Development Goals
(SDGs) dimana menjadi arah pendirian konstan ke-2 dengan memberantas
kekurangan gizi dan seluruh jenis keadaan abnormal nutrisi di tahun 2030
juga pencapaian daya tahan makanan. Sasaran utamanya dengan
meminimalkan prevalensi stunting sampai empat puluh persen tahun 2025
(Bappenas, 2015).
Pemerintah dalam memanifestasikan rencana tersebut memastikan
stunting dalam daftar agenda prerogatif. Merujuk pada Ketetapan Menteri
Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, berikhtiar dengan
meminimalkan prevalensi stunting diantaranya (Permenkes, 2016):
1. Ibu Hamil dan Bersalin
a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan atau yang dikenal
dengan 1.000 HPK
b. Mengikhtiarkan agunan kualitas selaras pada ante natal care (ANC)
c. Meluaskan kebiasaan untuk melakukan persalian di wilayah kerja
Puskemas maupun Rumah Sakit
d. penyelenggaraan rencana kegiatan pengadaan pangan tinggi kalori,
protein, dan mikronutrien (TKPM)
e. Check up pra komplikasi (menular dan tidak menular)
f. Pemusnahan kecacingan
g. Mengoptimalkan modifikasi Kartu Menuju Sehat (KMS) dalam
buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
h. Melaksanakan rekomendasi Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan ASI
Eksklusif
i. Pendidikan kesehatan dan penyajian keluarga berencana.
2. Balita
a. Pengamatan tumbuh kembang balita
b. Penyelenggaraan gerakan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
balita
c. Penyelenggaraan rangsangan pra perkembangan anak
d. Pemberian penyajian kesehatan yang ideal.
3. Anak Sekolah
a. Mengadakan perbaikan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
b. Memaksimalkan dewan Tim Pembimbing UKS
c. Penyelenggaraan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS)
d. Pemberlakuan pada sekolah sebagai lingkungan tanpa rokok dan
narkoba.
4. Remaja
a. Mengoptimalkan penyuluhan untuk Perilaku Hidup Bersih Dan
Sehat (PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan
mengonsumsi narkoba
b. Edukasi tentang akibat buruk narkoba.
5. Dewasa Muda
a. Pendidikan kesehatan melalui edukasi dan penyajian keluarga
berencana
b. Mengoptimalkan check up pra-penyakit (menular dan tidak menular)
c. Memaksimalkan edukasi pola hidup bersih dan sehat, gizi adekuat,
bebas dari rokok dan narkoba
2.5.5 Strategi Mengatasi Stunting
Melihat pada pola pikir United Nations International Children's
Emergency Fund (UNICEF) (2018), fokus problematis stunting sebabnya
karena dipengaruhi oleh model pengasuhan, lingkup dan mutu penyajian
kesehatan, daerah, dan kekuatan makanan, sehingga telah berusaha
menelaah dari segi model pengasuhan dan kekuatan makanan derajat
tanggungan. Kedua keadaan ini dirangkaikan dengan desain aplikasi
intervensi yang harus diimplementasikan. Pola asuh (caring), tercantum
didalamnya yaitu Inisiasi Menyusu Dini (IMD), menyusui eksklusif hingga
dengan 180 hari, serta pengadaan ASI diteruskan dengan makanan
pendamping ASI (MPASI) sampai 24 bulan adalah operasi dalam
mengakomodasi pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak.
Ketentuan dan program yang membanjarkan model asuh ini terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal
128, Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang ASI, dan Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019, Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor HK.02.02/MENKES/52/2015 (Kemenkes RI., 2017). Amanat pada
UU Nomor 36 Tahun 2009 adalah:
1. Tiap-tiap bayi mempunyai hak diberikan ASI Eksklusif sejak kurang
dari satu jam awal kelahiran selama 180 hari, kecuali berasaskan
indikasi medis.
2. Semasa pemberian ASI kelompok keluarga, pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat wajib memanggil ibu bayi secara utuh dengan
mengadakan waktu dan fasilitas khusus.
Amanat UU tersebut diatur dalam PP Nomor 33 Tahun 2013 tentang
ASI yang menyebutkan:
1. Setiap ibu yang bersalin wajib memberikan ASI Eksklusif. Pengaturan
pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk:
2. Mempertanggungkan pencukupan hak bayi untuk diberikan ASI
Eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan berusia 180 hari dengan
memindai pertumbuhan dan perkembangannya;
3. Memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI Eksklusif
kepada bayinya
4. Meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat, pemerintah
daerah, dan pemerintah terhadap pemberian ASI Eksklusif.
5. Tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan
wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap bayi yang baru lahir
kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam. Inisiasi menyusu dini
sebagaimana dimaksud dilakukan dengan cara meletakkan bayi secara
tengkurap di dada atau perut ibu sehingga kulit bayi melekat pada kulit
ibu.
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur:
1. Tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintah daerah kabupaten/kota;
2. Air Susu Ibu Eksklusif
3. Penggunaan susu formula dan produk bayi lainnya
4. Tempat kerja dan tempat sarana umum
5. Dukungan masyarakat
6. Pendanaan
7. Pembinaan dan pengawasan.
Amanat UU, dan PP tersebut sudah masuk ke Renstra Kemenkes
tahun 2019, dengan menargetkan:
1. Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI Eksklusif
sebesar 80%.
2. Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
sebesar 80%.
Seperti yang sudah diuraikan diatas, jumlah tengah minimnya IMD
dan ASI Eksklusif yaitu melibatkan konsultan ASI yang sepenuhnya tidak
menyeluruh diseluruh Puskesmas. Penataran konsultan ASI telah
diberlakukan hingga tahap kabupaten, tapi penataran konsultan ke seluruh
Puskesmas tak ada penjelasan jumlah Puskesmas yang sudah mempunyai
konsultan ASI.
Ketidakseimbangan lain adalah masih rendahnya pengawasan
ketidakpatuhan dan penguatan hukum terhadap pemakaian susu formula
serta tempat kerja hanya sebagian kecil menyediakan fasilitas dalam
menyusui yang diwajibkan. Bayi yang sudah berusia 180 hari, meskipun
haknya masih wajib menyusui sampai usia 24 bulan, bayi wajib
mendapatkan panganan penunjang agar tercukupinya zat makanan dan
vitamin bayi. World Health Organization (WHO) dan United Nations
International Children's Emergency Fund(UNICEF) dalam ketentuannya
mengharuskan bayi 180-690 hari terpenuhi akan zat makanan dan vitamin
tambahan dengan batasan memenuhi sekurangnya 4 maupun lebih dari 7
ragam konsumsi (fruktosa, kedelai, sumber protein, serat kaya nutrisi A,
serat lainnya minimal keanekaragaman konsusmsi pangan. disamping itu,
yang diperhatikan juga adalah untuk bayi harus memenuhi ketentuan
Minimum frekuensi makanan, yaitu bayi 180-690 hari yang tidak dan
mendapatkan ASI, serta telah diberikan makanan tambahan selain ASI
(panganan lembek/panganan keras, masuk didalamnya pemberian susu yang
tidak mendapat ASI) wajib dibagikan dengan frekuensi yakni:
1. Bayi mendapat air susu ibu:
a. Baya 180-240 hari: 2x/24 jam maupun bertambah;
b. Baya 270-690 hari: 3x/24 jam maupun bertambah.
c. Bayi 180-690 hari yang tidak diberi ASI: 4x/24 jam maupun
bertambah.
Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga merupakan aspek penting
dalam pencegahan stunting. Masalah ketahanan pangan meliputi
ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga, kualitas pangan yang
dikonsumsi (intake), dan saluran pembelian dengan masyarakat.
Masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga masih menjadi
masalah global, demikian pula di Indonesia yang erat kaitannya dengan
kejadian gizi buruk dan merupakan indikator prevalensi berat badan kurang
pada semua kelompok umur. Dalam jangka panjang, terdapat gangguan
pertumbuhan yang dimulai selama kehamilan sebagai akibat dari
kekurangan gizi sebelum dan selama kehamilan, menyebabkan masalah ini
meningkatkan prevalensi stunting. Kewajiban ketahanan pangan di
Indonesia ada dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Didik, 2018)
2.5.6 Faktor yang Mempengaruhi stunting
Stunting menurut beberapa penelitian kejadian stunting pada anak
merupakan suatu prosese kumulatif yang terjadi sejak kehamilan, masa
kanak-kanak dan sepanjang siklus kehidupan. Terdapat beberapa faktor
stunting yaitu sebagai berikut:
1. ASI Eksklusif
ASI merupakan makan yang aman bagi bayi, mempunyai
komposisi zat gizi yang seimbang sesuai kebutuhan serta mengandung
antibiotik yang dapat melindungi bayi dari serangan penyakit sehingga
memberikan ASI dapat menjamin kecukupan gizi mencegah kesakitan
dan kematian pada bayi (Arisman, 2014).
2. Riwayat Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
BBLR adalah bayi dengan berat lahir kurang 2500 gram. Panjang
badan yang jauh dari rata-rata pada umumnya karena sudah mengalami
retardasi pertumbuhan saat dalam kandungan dan mendukung kenyataan
bahwa BBLR berkontribusi pada siklus intergenerasi yang disebabkan
oleh kemiskinan, penyakit dan difisiensi nutrient. Artinya ibu dengan
gizi kurang sejak trimester awal sampai akhir akan melahirkan bayi
BBLR, yang nantinya akan menjadi stunting (Sari et al., 2017). Hal ini
disebutkan pula oleh Supriyanto (2018), bayi dengan BBLR
menimbulkan dampak antara lain lambatnya pertumbuhan anak, daya
tahan tubuh yang rendah, kurangnya kecerdasan dan produktifitas yang
rendah.
3. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi dapat menyebabkan terjadinya stunting, akan
tetapi tergantung pada tingkat keparahan, durasi, dan kekambuhan
penyakit infeksi yang di derita oleh bayi maupun balita. Penyakit infeksi
yang sering diderita oleh balita adalah ISPA dan Diare (Welasasih &
Wirjatmadi, 2012).
4. Status Sosial Ekonomi
Status social ekonomi dapat mempengaruhi stunting, karena
keadaan social ekonomi atau keadaan rumah tangga tergolong rendah,
kualitas sanitasi dan air minum yang rendah, daya beli yang rendah serta
layanan kesehatan yang terbatas, semuanya dapat berkontribusi terkena
penyakit dan rendahnya asupan zat gizi sehingga berpeluang untuk
terjadinya stunting (Fikadu et al., 2015).
2.6 Kerangka Teori

Faktor yang memengaruhi


pengetahuan Tingkat pengetahuan
1. Umur 1. Tahu (khow)
2. Pendidikan 2. Memahami
3. Informasi atau Media (comprehension)
Pengetahuan 3. Aplikasi (application)
Massa
4. Sosial, Budaya dan 4. Analisis (analysis)
Ekonomi. 5. Sintesis (synthesis)
5. Lingkungan 6. Evaluasi (evalutation)
6. Pengalaman

Media Pendidikan Kesehatan


Tingkat pengetahuan ibu tentang
1. Brosur
pencegahan stunting
2. Leflet
3. Radio
4. Televisi
5. Video

Meningkatkan pengetahuan ibu batuta


batuta dalam pencegahan stunting

Gambar 2.1 Kerangka Teori


2.7 Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Tingkat Pengetahuan Ibu


Pendidikan Kesehatan
Dalam Pencegahan
Stunting

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

2.8 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan
dalam penelitian. Hipotesis penelitian lahir dari kerangka berfikir sebagai “logical
construct” dari gabungan dan kajian terhadap teori. Hal ini mengandung arti
bahwa hipotesis mustahil lahir tanpa kerangka berfikir dan teori yang relevan
(Sudarmanto dkk, 2021). Hipotesis dalam penelitian ini yaitu “Terdapat prubahan
tingkat pengetahuan ibu batuta dalam pencegahan stunting di Desa Taman Indah
setelah dilakukan intervensi pendidikan kesehatan alat peraga MP-ASI lokal.

H1 : Ada efektifitas pendidikan kesehatan alat peraga MP-ASI lokal terhadap


tingkat pengetahuan ibu batuta dalam pencegahan stunting di Desa Taman
Indah
Ho : Tidak ada efektifitas pendidikan kesehatan alat peraga MP-ASI lokal
terhadap tingkat pengetahuan ibu batuta dalam pencegahan stunting di
Desa Taman Indah
BAB III
METODOLOGI PENELTIAN

3.1 Jenis Penelitian dan Desain Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan studi
quasi eksperimental melalui desain pre-post test with control group. Pada
penelitian ini terdapat dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Kelompok eksperimen akan diberikan pendidikan kesehatan alat peraga
MP-ASI lokal dan kelompok kontrol sebagai kelompok pembanding yang tidak
diberikan perlakuan kedua kelompok akan diberikan pre-test sebelum diberikan
pendidikan kesehatan dan post-test setelah diberikan pendidikan kesehatan. kegiat
an yang dilakukan adalah berupa pemberian pendidikan kesehatan alat peraga
MP-ASI lokal terhadap tingkat pengetahuan ibu batuta dalam pencegahan
stunting. Gambaran desain penelitian ini dijelaskan dalam Tabel 3.1 sebagai berik
ut:
Tabel 3.1 Desain Penelitian

Pre-test Perlakuan Post-test

01 X 02

03 04

Keterangan:
O1: Pre-test, yaitu pengukuran pengetahuan sebelum diberikan pendidikan
kesehatan alat peraga MP-ASI lokal
X: Perlakuan, yaitu alat peraga MP-ASI lokal
O2: Post-test, yaitu pengukuran pengetahuan sesudah diberikan pendidikan
kesehatan alat peraga MP-ASI lokal
O3: Post-test, yaitu pengukuran pengetahuan pada kelompok kontrol
O4: Post-test, yaitu pengukuran pengetahuan pada kelompok kontrol
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi
Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Taman Indah Kecamatan
pringgarata. Peneliti memilih lokasi tersebut dikarenakan populasi ibu
batuta relatif lebih banyak dibandingkan di dibandingakan dengan tempat
lain.
3.2.2 Waktu
Pengambilan data akan dilaksanakan pada Bulan April sampai
dengan Mei 2024.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian baik berupa benda
yang memiliki sifat (atribut) atau ciri yang akan dilakukan pengukuran,
karena subjek tersebut adalah unit yang nantinya akan diteliti (Sugiyono,
2019). Adapun populasi yang akan digunakan dalam penelitian adalah
seluruh ibu batuta di Desa Taman Indah yang berjumlah 204 orang.
3.3.2 Sampel
Sampel penelitian ini merupakan obyek yang akan diteliti yang sudah
ditentukan karakteristik dan jumlah dari sebagian atau seluruh populasi
penelitian yang telah ditentukan (Sugiyono, 2019). Adapun sampel yang
akan diteliti dalam penelitian ini merupakan ibu batuta di Desa Taman
Indah (Nursalam, 2016). Jumlah sampel pada penelitian ini akan
diperhitungkan menggunakan rumus slovin sebagai berikut:

Keterangan:
n : Sampel
N : Populasi
e : Perkiraan tingkat kesalahan (0,1) (Siregar, 2013).

Perhitungan:
Jadi, jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 66 orang yang
terbagi menjadi dua kelompok, yaitu sebanyak 33 orang kelompok kontrol
dan 34 orang pula untuk kelompok intervensi.
3.3.3 Teknik Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi populasi yang dapat mewakili
populasi yang ada. Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh
dalam pengambilan sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan
subjek penelitian (Nursalam 2016). Adapun teknik sampling yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling (non probality),
yaitu cara pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu.
Pertimbangan tersebut sudah dibuat oleh peneliti berdasarkan sifat-sifat
populasi yang telah diketahui dari sebelumnya (Masturo & Temesvari,
2018). Pusposive samping digunakan karena penelitian ini dilakukan pada
satu klompok, yaitu hanya pada ibu batuta saja dan memiliki kriteria
inklusi yang harus dipenuhi, sehingga dengan menggunakan teknik
tersebut, maka kriteria sampel yang diperoleh benar-benar sesuai dengan
penelitian yang akan dilakukan. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi pada
penelitian ini sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
Ketika peneliti memilih sampel yang akan dijadikan sebagai responden
penelitian, maka pemilihannya akan memiliki perbedaan yang dipilih be
rdasarkan kreteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah kriteria k
etika subjek telah memenuhi kualifikasi dari peneliti (Sugiyono, 2019).
Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Ibu batuta yang berdomsili di Desa Taman Indah
b. Responden yang dapat berkomunikasi dengan baikBersedia menjadi
responden
2. Kriteria Ekslusi
Kriteria eksklusi merupakan subjek sebelumnya telah masuk dalam pene
litian, akan tetapi dikeluarkan karena terdapat alasan yang tertentu yang
mengharuskannya untuk keluar (Sugiyono, 2019). Adapun kriteria
inklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Responden yang mengalami gangguan pendengaran
b. Responden yang sedang sakit
c. Responden yang tidak mengikuti proses penlitian samapai selsai

3.4 Variabel Penelitian


Sugiyono (2019) menjelaskan bahwasannya variabel penelitian merupakan
bentuk konstuksi atau sifat yang nantinya akan dipelajari. Variabel adalah alat
atau atribut dari kegiatan tertentu atau dari bidang keilmuan. Variabel adalah alat
atau atribut dari kegiatan tertentu atau dari bidang keilmuan.
a. Variabel Independen
Penyebutan variabel ini dengan sebutan antecedent, stimulus, predictor.
Sebeutan yang umum secara bahasa Indonesia disebut variabel bebas.
Variabel bebas adalah sebab munculnya variabel dependen (terikat) karena
variabel tersebut mempengaruhinya. Variabel bebas penelitian ini adalah
pendidikan kesehatan alat peraga MP-ASI lokal.
b. Variabel Dependen
Penyebutan variabel dengan sebutan variabel terikat merupakan variabel
yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Variabel terikat penelitian ini adalah
tingkat pengetahuan ibu batuta dalam pencegahan stunting.

3.5 Definisi Operasional


Definisi operasional merupakan definisi yang menjadi sebuah saran terhad
ap beberapa sifat yang terdefinisi dapat diamati. Definisi operasional pada dasarn
ya dapat dilakukan pengamatan, maksudnya memungkinkan peneliti untuk dapat
melakukan pengamatan dan observasi secara langsung kepada subjek yang akan d
iteliti dan kemudian dapat dilakukan pengulangan oleh orang lain (Winarno, 201
8). Definisi tersebut dijelaskan secara detail dalam Tabel 3.2 sebagai berikut:
Tabel 3.2 Definisi Operasional Efektifitas Pendidikan Kesehatan Alat Peraga
MP-ASI Lokal Terhadap Tingkat Pengetahuan Ibu Batuta Dalam
Pencegahan Stunting di Desa Taman Indah
Variabel Definisi Operasional Alat Skala Hasil Ukur
Ukur Ukur
Varoabel Inde Pendidikan kesehatan - - -
penden: sebuah intervensi untu
Pendidikan k meningkatkan penge
Kesehatan tahuan ibu tentang
pencegahan stunting
dengan alat peraga
MP-ASI local
Variabel depe Pengetahuan adalah ha Kuisione Ordinal Kategori :
nden: Tingkat sil pemikiran seseoran r 1. Tinggi = 76-100
Pengetahuan g untuk memahami su %
atu objek. Pengetahua 2. Sedang = 56-75 %
n disini yaitu kemamp 3. Rendah = 0-55 %
uan ibu batuta dalam (Azwar, 2013)
menjawab pertanyaan
dengan benar melalui t
es tertulis (kuesioner t
ertutup) tentang
pencegahan stunting

3.6 Instrumen Penelitian


Instrumen adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
sebuah penelitian yang bersumber dari tahapan bentuk konsep, konstruk dan
variabel yang sesuai dengan kajian teori yang mendalam (Masturoh & Temesvari,
2018). Pengumpulan data dalam penelitian ini akan menggunakan kuesioner
pengentahun tentang pencegahan stunting. Kuesioner tersebut digunakan dengan
tujuan ntuk mengukur sejuh mana penegetahuan ibu batuta delam mecegah
stunting pada anaknya.

3.7 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

3.1.1 Uji Validitas

Validitas adalah nilai atau acuan yang sesuai antara data yang
dihasilkan setelah dilaporkan kepada peneliti dengan data yang
dikumpulkan di lapangan. Hasilnya, ketika data yang diperoleh dan data
yang disajikan "tidak berbeda", maka data tersebut akan dianggap valid.
Namun, mengapa tidak jika sebuah instrumen dalam sebuah penelitian
harus valid agar dapat menghasilkan hasil yang dapat dipercaya.
Penelitian yang bersifat deskriptif atau eksplanatori dan menggabungkan
variabel atau konsep yang menantang untuk dinilai tidak sesederhana
validitas dalam empiris, namun kenapa tidak jika suatu instrumen dalam
sebuah penelitian haruslah valid supaya mendapatkan hasil yang bisa
dipercaya (Sugiyono, 2018).

3.1.2 Uji Reliabilitas


Apabila pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat
pengukur yang sama dan dua atau lebih pengukuran dengan serangkaian
gejala yang sama, tujuan reliabilitas adalah untuk menentukan hasil
pengurutan yang harus tetap konsisten. Baik pengujian internal maupun
eksternal dapat dilakukan untuk reliabilitas. Jika pengujian dilakukan di
luar, pengujian yang setara digunakan sebagai pengganti pengujian asli,
dan keduanya digabungkan. Analisis internal elemen-elemen di dalam
instrumen dengan menggunakan prosedur tertentu kemudian dapat
digunakan untuk menguji keakuratan peralatan pengukuran (Siregar,
2013).

3.8 Pengumpulan Data


3.8.1 Jenis dan Sumber Data
1. Data Primer
Data primer adalah informasi yang dikumpulkan peneliti secara langsu
ng dari sumber-sumber pengetahuan yang paling signifikan (Siregar, 2
013). Data primer dalam penelitian ini diperoleh scara langsung oleh
peneliti dengan cara membagikan kusioner pengetahuan tentang
pencegahan stunting pada responden sebelum dan sesudah intervensi
pendidikan kesehatan.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah jenis data yang sudah dipublikasikan dan tidak s
ecara langsung dikumpulkan oleh peneliti (Alda, 2020). Data sekunder
pada penelitian ini diantaranya yaitu jumlah balita stunting diperoleh
di Desa Taman Indah Kecamatan Praya Barat.
3.8.2 Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data adalah cara ilmiah untuk mendapatkan
data yang valid dengan tujuan dapat dibuktikan, dikembangkn suatu
pengetahuan sehingga dapat digunakan memecahakan dan mengantisipasi
masalah (Sugiono, 2019). Pengumpulan data dilakukan dengan cara
mengupulkan semua ibu batuta di Desa Taman Indah Kecamatan Praya
Barat untuk dibagikan kuesioner kepada responden yang sudah bersedia
untuk mengikuti penelitian samapai selsai.

3.9 Pengelolahan Data


Pengolahan informasi dilakukan sesudah pengambilan serta
pengumpulan data dilakukan menggunakan aplikasi komputer (software
SPSS) ialah:
1. Memeriksa data (Editing)
Editing merupakan pengecekan data-data yang sebelumnya telah
dikumpulkan semuanya dari hasil temuan yang dilakukan, dalam proses
ini bertujuan agar data-data yang terkumpul semuanya valid sebab bisa
jadi terdapat data-data yang mungkin tidak diperlukan atau tidak masuk
kriteria. Tujuan lainnya adalah untuk mencari kesalahan terhadap data dari
hasil temuan di lapangan. Jika data salah maka bisa diperbaiki, sebaliknya
jika kekurangan maka bisa dilakukan penambahan (Siregar, 2013). Dalam
tahap edditing, peneliti akan melakukan proses pengecekan terhadap hasil
pembagian kuesioner yang telah diisi oleh masing-masing responden, jika
kuesioner tidak terisi dengan lengkap maka peneliti akan meminta
responden yang bersangkutan untuk melengkapinya.
2. Mengkode data (coding)
Coding merupakan kode untuk memberikan tanda terhadap setiap
data yang masuk kategori yang sama. Kode biasanya ditandai dengan
angka-angka atau huruf yang memberikan perbedaan terhadap data
ataupun analisis identitas data (Swarjana, 2016). Adapun pemberian
koding pada tiap varibel dalam penelitian ini diantaranya:
1) Usia :
Kode 1 = 26-45 Tahun
Kode 2 = 46-65 Tahun
Kode 3 = >65 Tahun
2) Pendidikan
Kode 1 = SD
Kode 2 = SMP
Kode 3 = SMA
Kode 4 = Perguruan Tinggi
3) Pekerjaan
Kode 1 = Bekerja
Kode 2 = Tidak Bekerja
4) Tingkat Pengetahuan
Kode 1 = Rendah
Kode 2 = Sedang
Kode 3 = Tinggi
3. Menyusun data (Tabulating)
Tabulasi merupakan data-data yang diproses dalam bentuk tabel,
yang sebelumnya telah diberikan tanda kode dengan disesuaikan
kebutuhan analisis oleh peneliti. Tabel-tabel tersebut berisi ringkasan-
ringkasan yang memberikan kemudahan dalam menganalisis datanya (Sw
arjana, 2016). Dalam proses tabulasi, peneliti menyusun data dalam
bentuk tabel agar lebih mempermudah dalam menganalisis data sesuai
dengan tujuan penelitian. Tabel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah tabel frekuensi yang dinyatakan dalam persen.
4. Memasukan data (Entry)
Entry adalah tahapan proses pemasukan data dari hasil semua variab
el penelitian dan jawaban responden untuk pemrosesan lebih lanjut. (Rofli
n, 2021). Dalam proses entry, peneliti memasukan data penelitia secara
manual ke dalam Microsoft Excel dan kemudian data diimpor dan diproses
menggunakan program komputerisasi.
5. Procesing
Processing merupakan kegiatan ketika kuesioner telah terisi full dan
juga sudah melewati tahap perkodingan, hal yang selanjutnya untuk
ditempuh adalah proses data yang dilakukan oleh peneliti untuk dianalisis
(Hidayat et al., 2019). Dalam tahap processing, peneliti akan melakukan
proses data dengan cara memasukkan data kuesioner ke dalam program
computer
6. Cleaning data
Cleaning adalah pembersihan data untuk memastikan apakah data
tersebut benar. Peneliti melakukan setidaknya tiga pemeriksaan untuk
memastikan bahwa data yang dimasukkan sudah benar. Hasil proses
pembersihan tidak menunjukkan kesalahan sehingga semua data dapat
digunakan (Roflin, 2021). Dalam proses tahap cleaning, peneliti
melakukan pemeriksaan sebanyak tiga kali untuk memastikan apakah data
yang telah dimasukan ke dalam program komputer sudah sesuai atau
tidak.

3.10 Analisis Data


Data yang telah didapatkan melalui pembagian kuesioner, kemudian
dimasukkan ke dalam program komputer melalui aplikasi SPSS, yang
bertujuan untuk memberikan kesimpulan terhadap hasil penelitian agar
mendapatkan hasil yang sesuai harapan. Setelah itu, hasilnya dituangkan di
dalam tabel yang digabungkan dengan laporan hasil penelitian. Analisa data
tersebut diantaranya:
1. Analisis univariat
Analisis univariat ialah mendeskripsikan tiap variabel yang diteliti.
Analisis univariat pada penelitian ini dilakukan untuk mengenali berbagai
karakteristik responden, tingkat pengetahuan sbelum dan sesudah
diberikan intervensi pendidiakan kesehatan. Adapun rumus analsisi
univariat sebagai berikut:

Keterangan :
P1 : presentase masing-masing kelompok
F1 : frekuensi atau jumlah pada setiap kelompok
N : total sampel penelitian
K ; konstanta (100%)
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan pada dua variabel sec
ara langsung dengan tujuan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh
dari sebuah intervensi (Hasnidar et al., 2020). Analisis ini dilakukan
untuk mencari perbedaan tingkat pengetahuan anatra sebelum dan
sesudah diberikan pendidikan kesehatan alat peraga MP-ASI lokal. Uji sta
tistik bivariat akan menggunakan uji Paired t-test, yaitu digunakan untuk
menguji efektifitas suatu perlakuan, misalnya untuk mengetahui pengaruh
pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan responden (Sutha, 20
19). Uji Paried t-test (dependent t-test) dapat menggunakan rumus sebaga
i berikut:
(Za)2 (S)
n =
(d)
Keterangan:
S = Standar Deviation
S2 = Variance
Za =data for alpha
D = different to be detected (Swarjana, 2012).

3.11 Etika Penelitian


Menurut Dahlan, (2018) etika penelitian yang digunakan adalah peneli
tian tidak boleh bertentangan dengan etika. Tujuan penelitian harus etis dalam
arti hak responden harus dilindungi. Tindakan yang dilakukan kepada respond
en dengan menekankan pada etika penelitian etika penelitian meliputi:
Informed Consent (lembar persetujuan).
Bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden dilakukan dengan
mengisi lembar persetujuan. Tujuan dari Informed Consent yang diberikan yai
tu untuk memberikan informasi mengenai maksud dan tujuan penelitian, mem
inta kesediaan untuk menjadi responden dalam penelitian.
1. Anonim (tanpa nama)
Peneliti tidak memasukan nama responden saat pengolahan data penelitian
Kode responden yang akan digunakan dalam pengolahan data
2. Confidentiality (kerahasiaan)
Informasi yang diberikan oleh responden serta semua data yang terkumpul
dijamin kerahasiaanya oleh peneliti. Hasil kuesioner setelah selesai diguna
kan akan dimusnahkan dengan cara dibakar.

3. Sukarela
Peneliti bersifat sukarela dan tidak ada unsur paksaan atau tekanan secara
langsung maupun tidak langsung dari peneliti kepada calon responden
atau sampel yang akan diteliti.

3.12 Kerangka Kerja


Populasi

Pemilihan sampel

Mengukur tingkat pengetahuan ibu dalam


pencegahan stunting

Melakukan intervensi pendidikan kesehatan alat peraga


MP-ASI lokal

Mengukur kembali tingkat pengetahuan ibu dalam


pencegahan stunting

Analisa data

Kesimpulan

Gambar 3. 1 Kerangka Kerja


DAFTAR PUSTAKA

Alda, M. (2020). Sistem Informasi Pengelolaan Data pada Kantor Desa Sampean
Berbasis Android. Jurnal Media Informatika Budidarma, Vol 4, No(1548–
8368), 1–8. https://doi.org/10.30865/mid.v4i1.1716
Ariani. (2017). Ilmu Gizi. Yogyakarta: Nuha Medika.
Arisman. (2014). Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
Aritonang, I. (2015). Gizi Ibu dan Anak. Yogyakarta: Leutika Prio.
Azwar, S. (2013). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bappenas. (2015). Kesehatan Dalam Kerangka Sustainable Development Goals
(SDGs). Jakarta: Rakorpop Kementerian Kesehatan R.
Didik, B. (2018). Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Fikadu, T., Assegid, S., & Dube, L. (2015). Factors associated with stunting among
children of age 24 to 59 months in Meskan district, Gurage Zone, South
Ethiopia: a case-control study. Bmc Public Health, 14(1), 1-7.
Hanindita, M. (2018). Mommyclopedia: Tanya Jawab Tentang Nutrisi di 1000 Hari
Pertama Kehidupan Anak. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hasnidar; Tasnim; Sitorus, Samsider; Mustar, Widi, Hidayati; Fhirawati; Yuliani,
Meda; Yunianto, Ismail, Marzuki, Andi, Eka; Susilawaty, ANDI; Pattola,
Ratna, Puspita; Sianturi, E. S. (2020). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yayasan
Kita Menulis.
Hidayat, R. (2019). pengaruh Pelaksanaan SOP Perawat Pelaksana Terhadap Tingkat
Kesemasan Pasien. Jurnal Ners, Vol. 3, NO, 84–96.
Kemenkes RI. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak. Jakarta: Direktorat Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
Kemenkes RI. (2017). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Lamid, A. (2015). Masalah Kependekan (Stunting) pada Anak Balita : Analisis
Prospek Penanggulangannya di Indonesia. Bogor: IPB Press.

Marmi, & Rahardjo. (2012). Asuhan neonates, Bayi, Balita, dan Anak prasekolah.
Pustaka Belajar.
Masturo, I., & T, N. A. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. In Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Millennium Challenge Account – Indonesia. (2015). Backgrounder : stunting dan
masa depan indonesia.
http://mca-indonesia.go.id/wp-content/uploads/2015/01/BackgrounderStuntin
g-ID.pdf
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan (4th ed.). Jakarta:
Salemba Medika.
Permenkes. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 : Pedoman
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan Keluarga.
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/113087/permenkes-no-39-tahun-
2016
Picauly, & Toy, S. M. (2013). Analisis Determinan dan Pengaruh Stunting terhadap
Prestasi Belajar Anak Sekolah di Kupang dan Sumba Timur, NTT. Jurnal
Gizi Dan Pangan, Maret 2013, 8(1), 55–62.
Prof. Dr. Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
ALFABETA, cv Bandung.
Roflin, E. (2021). Pengelolaan dan Penyajian Data Penelitian Bidang Kedokteran.
Nasya Expanding Manajemen.
Santrock, J. W. (2012). Life-Span Development (Perkembangan Masa-Hidup) (13th
ed.). Jakarta: Erlangga.
Sari, R. M., Keraman, B., & Afriliani, E. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Di Rsud Hassanudin
Damrah Bengkulu Selatan. Jurnal Sains Kesehatan, 24(1), 35–45.
Septiari, B. B. (2012). Mencetak Balita Cerdas dan Pola Asuh Orang Tua.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Siregar, S. I. (2013). Statistik Parametri Untuk Penelitian Kuantutatif. Jakarta: Pt
Bumi Askara.
Soetjiningsih. (2014). Tumbuh Kembang Anak (2nd ed.). Buku Jakarta: Kedokteran
EGC.
Sugiyono, P. D. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif, Kuatitatif, dan R&D.
Alfabeta.
Supriyanto, Y., Paramashanti, B. A., & Astiti, D. (2018). Berat badan Lahir Rendah
Berhubungan dengan kejadian Stunting pada Anak Usia 6-23 bulan”. Jurnal
Gizi Dan Dietetik Indonesia., 5(1), 23–30.
Sutha, D. W. (2019). Biostastika. Malang: Media Nusa Creative.
Swarjana, I. K. (2012). Metodeologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: CV. Andi
Offset.
Swarjana, I. K. (2016). Statistik Kesehatan. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
Syoto, S., & Sodik, A. (2015). Dasar Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Literasi
Media.
United Nations International Children’s Emergency Fund (Unicef). (2018). Stunting.
http://unicef.in/Whatwedo/10/Stunting
Waryana. (2016). Promosi Kesehatan, Penyuluhan, dan Pemberdayaan Masyaralat.
Nuha Medika.
Welasasih, B. D., & Wirjatmadi, R. B. (2012). Beberapa faktor yang berhubungan
dengan status gizi balita stunting. The Indonesian Journal of Public Health,
8(3), 99-104.
Winarno, M. E. (2018). Buku Metodologi Penelitian Dalam Pendidikan Jasmani.
Malang: Universitas NegriI Malang.

Lengkapi lampiran kuesioner dan informed consent

Anda mungkin juga menyukai