Anda di halaman 1dari 18

SENGKARUT UPAYA ADMINISTRATIF

1. Latar Belakang Masalah


Instansi pemerintah (Badan/Pejabat Tata Usaha Negara (TUN)) dalam
pelaksanaan tugas administrasi pemerintahan yang baik menyangkut urusan eksternal
(pelayanan umum) maupun yang berkaitan urusan internal (seperti urusan kepegawaian)
tidak dapat dilepaskan dari tugas pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Dengan semakin kompleksnya urusan pemerintahan serta semakin meningkatnya
pengetahuan dan kesadaran masyarakat, tidak tertutup kemungkinan timbulnya benturan
kepentingan (Conflict of Interest) antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan
seseorang/Badan Hukum Perdata yang merasa dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut, sehingga menimbulkan suatu sengketa Tata Usaha Negara (TUN).
Penyelesaian sengketa TUN atau sengketa administrasi pemerintahan sebagai akibat
terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan
seseorang/Badan Hukum Perdata tersebut, ada kalanya dapat diselesaikan secara damai
melalui musyawarah dan mufakat, akan tetapi ada kalanya pula berkembang menjadi
sengketa hukum yang memerlukan penyelesaian lewat pengadilan.1
Penyelesaian sengketa TUN atau sengketa administrasi pemerintahan dapat
ditempuh melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur non yudisial dan jalur yudisial. Penyelesaian
sengketa TUN atau sengketa administrasi pemerintahan melalui jalur non yudisial
berupa upaya administratratif. Upaya administratratif merupakan proses “dialog” di
internal pemerintahan, antara warga masyarakat dengan pejabat sehingga penyelesaian
melalui lembaga yudisial bersifat “ultimum remedium. 2
Upaya administrasi merupakan salah satu perlindungan hukum terhadap
tindakan hukum Badan atau Pejabat TUN. Rumusan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun) mengatur upaya
administratratif. Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh
orang atau badan hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu KTUN, yang
dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri sebelum diajukan ke pengadilan.3

1
Ujang Abdullah, S.H., M.Si., Upaya Administrasi Dalam Peradilan Tata Usaha negara, (Bogor:
Pusdiklat MA RI, 2009), hlm. 1.
2
Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Penyelesaian
Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administasi, (Bandung: Sosialiasasi
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018, 2019), hlm 1.
3
Ujang Abdullah, S.H., M.Si., Upaya Administrasi Dalam Peradilan Tata Usaha negara, (Bogor:
Pusdiklat MA RI, 2009), hlm. 7-8.
1
Pasal 48 UU Peratun mengatur upaya administratratif yakni tidak semua
sengketa tata usaha negara (sengketa administasi pemerintahan) wajib diselesaikan
terlebih dahulu dalam internal pemerintahan atau melalui upaya administratratif.
Penyelesaian sengketa administrasi pemerintahan baru dilakukan di dalam internal
pemerintahan apabila peraturan perundang-undangan memberi kewenangan kepada
Badan atau Pejabat TUN untuk menyelesaikan sendiri sengketa administrasi
pemerintahan. Sebaliknya apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan
wewenang kepada Pejabat Pemerintahan maka Pejabat Pemerintahan tidak berwenang
untuk melaksanakan penyelesaian sengkta melalui upaya administratratif.4
Sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia sebagaimana diatur dalam
UU Peratun terdapat adanya dua jalur berperkara di muka Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN). Bagi KTUN yang tidak mengenal adanya upaya administratratif, gugatan
ditujukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai peradilan tingkat
pertama. Sedangkan bagi KTUN yang tersedia adanya upaya administratratif, gugatan
ditujukan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).5
Upaya administratif yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun) berbeda dengan upaya administratif
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (UUAP). Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 UUAP mengatur upaya
administratif. Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian
Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif (Perma
Nomor 6 Tahun 2018) pada tanggal 4 Desember 2018 untuk mengisi kekurangan atau
kekosongan hukum terkait dengan penyelesaian upaya administratratif.

4
Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 48 yang berbunyi:
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha
Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan
teladigunakan.
5
Hari Sugiharto, Upaya Administratif Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga, 2009), hlm.
i.
2
Perma Nomor 6 Tahun 2018 merupakan ketentuan mengenai penyelesaian
sengketa administrasi pemerintahan di Pengadilan setelah menempuh upaya
administratratif. Terhadap objek gugatan berupa KTUN yang lahir setelah Perma
Nomor 6 Tahun 2018 yaitu tanggal diundangkan 4 Desember 2018, wajib menempuh
upaya administratratif (conditio sine qua non) termasuk tindakan faktual (Feitelijke
hendelingen), apabila gugatan tersebut tetap diajukan. Terhadap objek gugatan berupa
KTUN yang terbit sebelum lahir Perma Nomor 6 Tahun 2018, tidak perlu menempuh
upaya administratratif namun dapat langsung mengajukan gugatan ke PTUN.6
Upaya administratif yang diatur dalam UUAP telah memberikan kewenangan
kepada Pejabat Pemerintahan untuk menyelesaikan terlebih dahulu sengketa
administrasi pemerintahan yang timbul antara warga masyarakat dengan Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan.7 Satu diantara paradigma beracara pascaberlakunya UUAP
adalah PTUN berwenang mengadili sengketa TUN setelah menempuh upaya
administratratif sebagaimana dimaksud dalam UUAP dan Perma Nomor 6 Tahun 2018.8
Oleh karena itu UA yang diatur dalam UUAP dan Perma Nomor 6 Tahun 2018 ada
adagium tanpa UA terlebih dahulu tak ada upaya litigasi (gugatan) ke PTUN.9
Perbedaan pengaturan upaya administratratif yang diatur UU Peratun dengan
upaya administratratif yang diatur dalam UUAP menimbulkan sengkarut upaya
administratif atau permasalahan hukum baru. Jiwa dalam UU Peratun disebutkan suatu
sengketa TUN baru dapat diajukan ke Pengadilan apabila upaya administratratif yang
tersedia telah ditempuh bagi KTUN yang tersedia upaya administratratif, namun bagi
KTUN yang tidak tersedia upaya administratratif dapat langsung menggugat ke PTUN.

6
Rakerda, Se-Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya, Hasil Rumusan
Sosialisasi (Penyebarluasan) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pedoman
Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administrasi, (Surabaya:
4-6 Maret 2019);
7
Hal ini dapat dilihat dari Pasal 76 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berwenang menyelesaikan keberatan atas Keputusan dan/atau
Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan yang diajukan oleh Warga Masyarakat.
(2) Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian keberatan oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Warga Masyarakat dapat mengajukan
banding kepada Atasan Pejabat
(3) Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat,
Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.
(4) Penyelesaian Upaya Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) berkaitan dengan
batal atau tidak sahnya Keputusan dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan tuntutan
administratif.
8
Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 2 Tahun 2019.
9
Hari Sugiharto, Upaya Administratif Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga, 2009), hlm.
i.
3
UU AP mengatur penyelesaian sengketa administrasi pemerintahan melalui UA bersifat
wajib (conditio sine qua non), dalam pengertian upaya administratratif harus ditempuh
sebagai pintu bagi pencari keadilan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan.10
Pengaturan upaya administratratif yang berbeda antara UU Peratun dan UU AP
menimbulkan sengkarut upaya administratif adanya problematik hukum yaitu
ketidakharmonisan pengaturan upaya administratratif. Ketidakharmonisan tersebut yaitu
upaya administratratif yang di atur di dalam Pasal 48 UU Peratun dengan yang diatur di
dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 UU AP dan Perma Nomor 6 Tahun 2018.
Dengan adanya UU AP, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara hanya dapat
dilakukan apabila telah (mutlak) menggunakan upaya administratratif terlebih dahulu,
sedangkan penyelesaian sengketa TUN melalui lembaga Peradilan Tata Usaha Negara
merupakan sarana terakhir (ultimum remedium).
Sengkarut upaya administratif lain yaitu ketiadaan standar, prosedur dan norma
yang sama dalam upaya administratratif menimbulkan kompleksitas permasalahan
hukum antara lain ketidakseragaman subyek hukum tergugat dalam upaya litigasi di
Peradilan. Sebagai subjectum litis ada yang didudukan sebagai tergugat adalah pejabat
yang menerbitkan keputusan pokok dan ada pula atasan pejabat yang mengeluarkan
keputusan pokok atau instansi lain yang memproses upaya administratif dalam
keputusan pokok. Perbedaan subjectum litis ini berkaitan dengan objectum litis yang
dijadikan objek sengketa di Pengadilan.11
Makna kata “dapat” dalam konteks UU AP menimbulkan permasalahan yuridis
terhadap penyelesaian sengketa TUN oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Apakah makna
kata “dapat” sebagaimana tercantum dalam Pasal 75 ayat (1) UU AP merupakan pilihan
dalam upaya administratratif antara upaya administratratif keberatan atau banding
administratif. Salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam pembentukan UU AP
sebagai solusi perlindungan hukum bagi pejabat dan masyarakat dengan cara
menyelesaikan permasalahan dalam pelaksanaan pemerintahan.12
Permasalahan lain dalam upaya administratratif sehingga menimbulkan
sengkarut administratif yaitu fungsi dan ruang lingkup Perma Nomor 6 Tahun 2018
10
Rakerda, Se-Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan, Hasil Rumusan
Sosialisasi Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 2018 pada wilayah hukum Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara Medan, (Medan: 4-6 Maret 2019);
11
Hari Sugiharto, Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Peratun Mengadili Perbuatan
Melanggar Hukum Penguasa (ontrechmatige overheidsdaad), (Bogor: Pusdiklat Teknis Peradilan
Mahkamah Agung RI, 2020), hlm. 2.
12
Arifin Marpaung, Tinjauan atas Perma No. 6 Tahun 2018 dalam Pemeriksaan Sengketa TUN
termasuk Sengketa ASN, (Denpasar: Diklat Hakim Peratun, 2019), hlm. 23.
4
sebagai hukum acara. Mahkamah Agung (MA) melalui perma tersebut telah mengubah
karakter norma upaya administratratif sebagaimana diatur pada Pasal 75 sampai dengan
Pasal 78 UU AP menjadi bersifat imperatif. Maksud MA kiranya agar Pemerintah diberi
kesempatan terlebih dahulu untuk menyelesaikan sengketa TUN secara internal dengan
menggunakan pendekatan doelmatigheid dan rechtsmatigheid.
Upaya administratif juga menimbulkan sengkarut dalam hal pembagian
kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai tingkat
pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) sebaga tingkat banding.
Pembagian kewenangan ini berkaitan dengan adanya upaya administratratif berupa
keberatan dan banding adminitratif. Hal ini terjadi karena adanya pengaturan upaya
administratratif yang berbeda antara UU Peratun dan UU AP menimbulkan sengkarut
upaya administratif.
Objek sengketa TUN adalah keputusan pemerintahan dan atau tindakan faktual
administrasi pemerintahan. Seluruh upaya administratratif apabila telah digunakan,
maka yang dijadikan obyek sengketa TUN di Peradilan Tata Usaha Negara adalah
keputusan awal yakni keputusan pemerintahan (KTUN) dan bukannya keputusan dalam
upaya administratratif. Sedangkan persyaratan tenggang waktu dalam mengajukan
gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 55
UU Peratun dan oleh karena yang menjadi objek sengketa TUN adalah keputusan
pemerintahan (keputusan awal) maka sejak diterimanya atau diumumkannya KTUN
sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dimaksud apakah harus ditafsirkan sejak
diterimanya atau diumumkannya keputusan upaya administratif ataukah sejak
diterimanya atau diumumkannya KTUN.13
UU AP mengatur juga mengenai tenggang waktu pengajuan upaya
administratratif sebagaimana diatur dalam 77 ayat (1) dan Pasal 78 ayat (1) UU AP.
Tenggang waktu pengajuan upaya administratratif berupa keberatan dibatasi waktu 21
hari kerja dan banding administratif dibatasi waktu 10 hari kerja. Tenggang waktu
pengajuan upaya administratratif tersebut menimbulkan sengkarut yaitu apakah Majelis
Hakim menguji tenggang waktu tersebut sehingga menjadi persoalan pengadilan pada
saat menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN ataukah
menjadi masalah internal pemerintah (Badan/Pejabat TUN).

13
Hari Sugiharto, Upaya Administratif Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga, 2009), hlm.
i.
5
Perbedaan pengaturan upaya administratratif yang diatur UU Peratun dengan
upaya administratratif yang diatur dalam UUAP menimbulkan sengkarut upaya
administratif. Berdasarkan uraian yang sudah disampaikan, perlu kiranya dilakukan
penelitian untuk mengetahui sengkarut upaya administratif dan bagaimana untuk
menyelesaikan problematika tersebut. Melalui penulisan ini, diharapkan bisa memberi
pandangan dan menemukan solusi permasalahan terhadap sengkarut upaya
administratif.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka perumusan masalah dalam
penulisan ini bagaimanakah sengkarut upaya administratif dalam hal pengaturan upaya
administratif yang diatur UU Peratun dan UUAP?
3. Pembahasan dan Landasan Teori
Negara hukum adalah negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan
ketertiban hukum, yakni tata tertib yang berdasarkan hukum yang terdapat pada
masyarakat supaya ketertiban hukum tidak terganggu dan semuanya dapat berjalan
sesuai dengan hukum.14 Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa penyelenggaraan
negara dilakukan berdasarkan atas hukum. Setiap tindakan pemerintah maupun warga
negara harus dilandasi hukum yang berlaku.15
Negara harus dilandasi hukum yang berlaku bermakna bahwa apapun yang
dilakukan oleh setiap pejabat negara dalam melaksanakan pemerintahan harus dilandasi
dengan aturan-aturan yang ditetapkan bersama. Penguasa tidak dapat bertindak
sewenang-wenang dalam melaksanakan pemerintahan sehingga tindakan apapun yang
dilakukan harus didasarkan pada hukum. Demikian halnya warga negara tidak boleh
bertindak bertentangan dengan hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan bersama.16
Konsep negara hukum (modern) dalam sistem Eropa Kontinental dikenal
dengan sebutan rechtstaat yang dikembangkan diantaranya oleh Immanuel Kant, Paul
Laband, F. Julius Stahl, dan Fichte. Sementara itu, di negara-negara Anglo Amerika
(Anglo Saxon) konsep negara hukum dikenal dengan sebutan the rule of law yang
dipelopori oleh Albert Vein Dicey. Konsep negara hukum yang dikemukakan yakni

14
Abdul Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, (Malang, Edisi Pertama, Cetakan Pertama,
Bayumedia Publishing, 2004), hlm. 5.
15
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2010, Panduan Pemasyarakatan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan Ayat), (Jakarta,
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2010), hlm. 46.
16
Ibid.
6
negara hukum formal sebagai negara yang diselenggarakan berdasarkan dari rakyat
dalam bentuk undang-undang.17
Hukum di sini diartikan secara sempit, yakni hanya hukum tertulis yang
berbentuk undang-undang. Dengan demikian, negara hukum formal berlandaskan pada
asas legalitas. Intinya negara hukum formal merupakan organized public power
(kekuasaan umum yang terorganisir).18 F. Julius Stahl dalam tulisan Abu Daud Busroh
menyatakan terdapat 4 (empat) elemen penting negara hukum, yakni:19
1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia;
2. Pembagian atau pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan
4. Adanya peradilan tata usaha atau administrasi negara.

Albert Vein Dicey dalam tulisan I Dewa Gede Atmadja menunjukkan 3 (tiga)
ciri penting setiap negara hukum, yakni20
1. Supremasi hukum (supremacy of law), dalam arti tidak boleh ada
kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum bilamana
melanggar hukum;
2. Persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law), baik
bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat; dan
3. Terjaminnya hak asasi manusia oleh undangundang dan keputusan-
keputusan pengadilan.

Negara hukum yang dituju dalam konteks ini, haruslah sejalan dan konsisten
dengan checks and balances system yang diterapkan pada sistem Ketatanegaraan
Indonesia.21 Disamping itu, juga relevan dengan upaya memberikan perlindungan
hukum bagi rakyat atau jaminan bagi hak-hak rakyat terhadap tindakan pemerintahan.
Negara hukum memberikan perlindungan hukum bagi rakyat melalui lembaga peradilan

17
Kadek Agus Sudiarawan dan Bagus Hermanto, Rekonstruksi Pergeseran Paradigma Upaya
Administratif Dalam Penyelesaian Sengketa Prapemilihan Kepala Daerah, (Denpasar: Jurnal Legislasi
Indonesia Vol 16 No. 3, 2019), hlm 328.
18
Mahkamah Konstitusi, Modul Pendidikan Negara Hukum dan Demokrasi, Pusat Pendidikan
Pancasila dan Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta, Mahkamah Konstitusi,
2016), hlm. 8-9.
19
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Cetakan Kesembilan, Sinar Grafika, 2011), hlm. 151-
152).
20
I Dewa Gede Atmadja, Ilmu Negara, Perspektif Historis Yuridis Ketatanegaraan, (Malang:
Cetakan Pertama, Malang Setara Press, 2012), hlm. 75-77.
21
Hal ini terkait dengan berbagai problematika ketatanegaraan nasional sebagai akibat ketidakjelasan
konsep negara hukum yang dianut di Indonesia, sehingga desain kelembagaan, desain pengaturan pada
Konstitusi tampaknya belum sepenuhnya mencapai satu negara hukum yang ideal sesuai dengan
Pancasila sebagai falsafah bangsa. Lihat lebih lanjut dalam I Gede Yusa dan Bagus Hermanto, “Gagasan
Rancangan Undang-undang Lembaga Kepresidenan: Cerminan Penegasan dan Penguatan Sistem
Presidensiil Indonesia”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 14, Nomor 3, September 2017, hlm. 316.
7
(judiciary institutions) termasuk melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (an
administrative court).22
Tujuan upaya administratif dalam berbagai literatur dipahami sebagai:23
a. Kontrol Internal;
b. Mengurangi beban lembaga peradilan
c. Perkara tersaring lebih dahulu, tidak semua perkara berujung di Pengadilan
d. Menyediakan alternatif lain

Dinamika pengaturan dan penerapan upaya administratif dalam konteks


peradilan administrasi di Indonesia telah mengalami perkembangan. Fase pertama
upaya administratif diatur pada Pasal 48 jo 51 ayat (3) UU Peratun yang merupakan
hukum formil. Pada intinya, pada fase pertama tersebut, upaya administratif merupakan
upaya sifatnya imperatif khusus bagi sengketa kepegawaian dengan kemungkinan untuk
menempuh upaya keberatan saja atau keberatan dan banding administratif tergantung
pada pengaturan yang terdapat dalam peraturan dasarnya.24
Upaya administratif berupa keberatan maka jika pihak pemohon upaya
administratif belum puas dapat menggugat di PTUN. Sedangkan, jika upaya
administratif yang ditempuh terdiri dari keberatan dan banding administratif, maka
digunakanlah Pasal 51 ayat (3) UU Peratun yang mengatur PT TUN sebagai upaya
lanjutan pasca banding administratif. Upaya administratif bersifat komplementer
terhadap penyelesaian sengketa melalui peradilan administrasi, karena persaman dan
perbedaan karakter pemeriksaan antara keduanya. Hal ini merupakan integrasi teori
peradilan administrasi semu dan peradilan administrasi murni berdasarkan Pasal 48 dan
Pasal 51 ayat (3) UU Peratun. Di luar sengketa kepegawaian keberadaan upaya
administratif bersifat opsional/fakultatif.25
Fase kedua, upaya administratif diatur pada Pasal 75 sampai dengan Pasal 78
UU AP yang juga menyediakan dua tingkatan upaya administratif yaitu keberatan dan
banding. Sifat pengaturan dalam ketentuan tersebut juga masih bersifat
opsional/fakultatif jika dilihat dari penggunaan frase kata “dapat" dalam rumusan

22
Kadek Agus Sudiarawan dan Bagus Hermanto, Rekonstruksi Pergeseran Paradigma Upaya
Administratif Dalam Penyelesaian Sengketa Prapemilihan Kepala Daerah, (Denpasar: Jurnal Legislasi
Indonesia Vol 16 No. 3, 2019), hlm 329.
23
Hari Sugiharto, Upaya Administratif Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga, 2009), hlm.
1.
24
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum, Jawaban pertanyaan Narasumber, (Yogyakarta: 12 Juli
2020), hlm 1.
25
Ibid.
8
normanya. Mahkamah Agung mengatur lebih lanjut upaya administratif tersebut
berdasarkan kewenangan regulasi yang dimilikinya secara kelembagaan melalui Perma
No. 6 Tahun 2018.26
Perma tersebut Mahkamah Agung telah mengubah karakter norma upaya
administratif sebagaimana diatur pada Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 UU AP menjadi
bersifat imperatif. Maksud Mahkamah Agung kiranya agar Pemerintah diberi
kesempatan terlebih dahulu untuk menyelesaikan sengketa tata usaha negara secara
internal dengan menggunakan pendekatan doelmatigheid dan rechtsmatigheid. Baru jika
memang sungguh tak dapat lagi diselesaikan di lingkungan badan atau pejabat tata
usaha negara, peradilan administrasi akan menyelesaikannya dengan pendekatan
rechtsmatigheid.27
Perbedaan penyelesaian sengketa administrasi pasca upaya administrasi
sebelum dan sesudah berlakunya UUAP dapat digambarkan sebagai berikut:28
Perbandingan Prosedur Upaya administrasi
Sebelum UU AP Sesudah UU AP
1. Dasar 1. Pasal 51 (3) yo Ps. 48 UU 1. Pasal 75 sampai dengan
Peratun; Pasal 78 UUAP
2. SEMA No. 2 Th 1991 Bagian 2. Perma Nomor 6 Tahun
IV angka 1 dan 2. 2018
3. Praktek Peradilan TUN
(Jurisprudensi)
2. Keberatan 1. Diajukan kepada Pejabat 1. Diajukan kepada Pejabat
Administrasi yang menerbitkan KTUN; yang menerbitkan
(Bezwaarstratie) 2. Prosedur banding keputusan/tindakan;
administrasi dapat diajukan 2. Prosedur banding selalu
jika aturan dasar ditentukan;
menentukan; 3. Tidak dimungkinkan
3. Jika aturan dasar tidak pengajuan gugatan ke
menentukan prosedur untuk Pengadilan sebelum
banding administrasi dapat prosedur banding
diajukan gugatan Ke PTUN administrasi.
3. Banding 1. Diajukan kepada Atasan 1. Selalu diajukan kepada
Administrasi pejabat yang menerbitkan atasan pejabat yang
(Administratief KTUN, tergantung pada menerbitkan
Beroep) aturan dasarnya, atau Keputusan/Tindakan
2. Diajukan kepada 2. Tidak dimungkinkan
Pejabat/Instansi lain jika diajukan kepada pejabat
ditentukan aturan dasarnya. lain selain atasan pejabat
26
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum, Jawaban pertanyaan Narasumber, (Yogyakarta: 12 Juli
2020), hlm 1.
27
Ibid.
28
Hari Sugiharto, Upaya Administratif Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga, 2009), hlm.
5-6.
9
3. Gugatan diajukan ke
yang menerbitkan
PTTUN. Keputusan/Tindakan;
3. Gugatan diajukan ke
PTTUN.
Perbedaan mekanisme litigasi di Peradilan TUN pasca upaya administratif
antara UU Peratun dan UUAP, mendorong Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan
mutakhir sebagai berikut:29
Rumusan hukum kamar tata usaha negara:
1. …
2. a…
a. Revisi terhadap hasil pleno kamar tahun 2017 angka 3 tentang upaya
administratif.
1) Dalam mengadili sengketa tata usaha negara, Pengadilan menggunakan
peraturan dasar yang mengatur upaya administratif.
Dalam hal peraturan dasarnya tidak mengatur upaya administratif secara
khusus maka Pengadilan harus mempedomani Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
2) Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6
Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi
Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif, Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara tetap berwenang mengadili sebagai pengadilan tingkat
pertama dalam hal:
a. Peraturan dasar mengatur mengenai upaya administratif berupa banding
administratif.
b. Peraturan dasar telah menetapkan secara eksplisit Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara berwenang mengadili.
3) Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang mengadili dalam hal:
a. tidak ada peraturan dasar yang mengatur mengenai upaya administratif
secara khusus, sehingga upaya administratifnya didasarkan pada
ketentuan Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian
Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya
Administratif.
b. Apabila hanya terdapat upaya administratif, keberatan berdasarkan
peraturan dasarnya (Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam
UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
negara)
c. Perkara-perkara yang berkaitan dengan
c.1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum
c.2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

29
Surat Edaran No. 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, lihat Rumusan
Hukum Kamar Tata Usaha Negara.
10
c.3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan Pasal 21 dan Pasal 53 harus terlebih dahulu melalui
upaya administratif sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara.

Beberapa permasalahan dalam upaya administratif di Indonesia antara lain:30


a. tidak mengatur sama sekali upaya administratif;
b. mengatur upaya administratif;
c. mengatur upaya administratif hanya satu tahapan;
d. mengatur upaya administratif dua tahapan

Ketiadaan standar, prosedur dan norma yang sama dalam upaya administratif
menimbulkan kompleksitas permasalahan hukum. Permasalahan hukum tersebut antara
lain ketidakseragaman subyek hukum tergugat dalam upaya litigasi di Peradilan:
sebagai subjectum litis ada yang didudukan sebagai Tergugat adalah pejabat yang
menerbitkan keputusan pokok dan ada pula atasan pejabat yang mengeluarkan
keputusan pokok atau instansi lain yang memproses upaya administratif dalam
keputusan pokok. Perbedaan subjectum litis ini berkaitan dengan objectum litis yang
dijadikan objek sengketa di Pengadilan.31
Sengkarut upaya administratif salah satunya penentuan objek sengketa dan
Tergugat dalam sengketa TUN atau sengketa administrasi pasca dilakukannya upaya
administrasi. Merujuk pada praktek pengadilan dalam penanganan sengketa Badan
Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) di PTTUN, obyek sengketanya adalah keputusan
Pejabat/badan yang memutus pada tingkat banding administrasi yakni BAPEK dan
Tergugatnya adalah Ketua BAPEK. Rujukun hukum acara untuk menentukan obyek
sengketa atas perkara Bapek tersebut hanya didasarkan pada Pasal 1 angka 8 Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa Tergugat
adalah pejabat yang mengeluarkan keputusan.32
Pengertian KTUN yang ditentukan pada Pasal 1 angka (9) Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang salah satu unsurnya menyatakan

30
Hari Sugiharto, Upaya Administratif Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga, 2009),
hlm.1.
31
Ibid.
32
Arifin Marpaung, Tinjauan atas Perma No. 6 Tahun 2018 dalam Pemeriksaan Sengketa TUN
termasuk Sengketa ASN, (Denpasar: Diklat Hakim Peratun, 2019), hlm. 20.
11
“menimbulkan akibat hukum” bagi seseorang, maka penentuan obyek sengketa dalam
perkara BAPEK tersebut sebenarnya kurang tepat. Sesungguhnya yang menimbulkan
akibat hukum dan merugikan kepentingan Penggugat adalah keputusan pokoknya,
bukan keputusan Bapek. Jika dibandingkan sengketa lain yang mempunyai karakteristik
yang sama dengan perkara Bapek, seperti sengketa Pemilihan Kepala Daerah
(PILKADA), sengketa Keterbukaan Informasi Publik (KIP), tergugatnya selalu Pejabat
yang menerbitkan keputusan pokok, dan obyek sengketanya adalah keputusan pokok
karena itulah keputusan yang sesungguhnya menimbulkan suatu akibat hukum dan
merugikan Penggugat.33
Sengkarut upaya administratif dalam hal kajian pelaksanaan eksekusi, jika
obyek sengketa adalah keputusan pejabat/lembaga yang menangani upaya administrasi
dan Tergugatnya adalah pejabat/lembaga itu sendiri, maka eksekusinya akan mengalami
kesulitan. Kesulitan tersebut adalah sekalipun obyek sengketanya dibatalkan akan tetapi
keputusan yang sesungguhnya menimbulkan akibat hukum bagi Penggugat (keputusan
pokok) belum dibatalkan. Sekalipun pengadilan secara ultra petita pengadilan
membatalkannya tentu Tergugat (Bapek) tidak berwenang untuk mencabut keputusan
pokoknya.34
Penyelesaian sengkarut upaya administratif dalam penentuan objek sengketa
dan Tergugat dalam sengketa TUN atau sengketa administrasi pasca dilakukannya
upaya administrasi dengan pembenahan hukum acara secara menyeluruh di Peradilan
TUN. Pengadilan dalam menghadapi sengketa pasca upaya administarsi agar Tergugat
adalah pejabat yang menerbitkan keputusan pokok dan obyek sengketanya adalah
keputusan pokok yang diajukan upaya administratif. Seluruh Pengadilan menerapkan
praktek yang sama, agar dikemudian hari terdapat kepastian hukum terutama dalam
menghadapi sulitnya eksekusi putusan.35
Pasal 75 ayat (1) UUAP mengatur warga masyarakat yang dirugikan terhadap
Keputusan dan/atau Tindakan dapat mengajukan upaya administratif kepada Pejabat
Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan. Apakah makna kata “Dapat” merupakan pilihan mengajukan upaya
administratif ataukah tidak atau pilihan antara upaya administratif keberatan atau
banding administratif. Makna kata “Dapat” mengajukan upaya administratif

33
Arifin Marpaung, Tinjauan atas Perma No. 6 Tahun 2018 dalam Pemeriksaan Sengketa TUN
termasuk Sengketa ASN, (Denpasar: Diklat Hakim Peratun, 2019), hlm. 20-21.
34
Ibid, hlm. 21-22.
35
Ibid, hlm. 22.
12
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 75 ayat (1) UUAP menimbulkan
problematika hukum atau sengkarut upaya administratif.
Tujuan yang hendak dicapai dalam pembentukan UU AP adalah sebagai solusi
perlindungan hukum bagi pejabat dan masyarakat dengan cara menyelesaikan
permasalahan dalam pelaksanaan pemerintahan.36 Berdasarkan pertimbangan tersebut
maka penyelesaian persoalan pemerintahan melalui upaya administratif adalah pilihan
utama daripada penyelesaian persoalan di pengadilan. Jika penyelesaian persoalan
diutamakan oleh pemerintah dengan masyarakat, maka prasa “dapat” pada Pasal 75 UU
AP harus ditasirkan dalam rangka penyelesaian persoalan pemerintahan oleh
pemerintah bukan oleh pengadilan dengan demikian kata “Dapat” berarti pilihan untuk:
menerima keputusan pejabat atau mengajukan keberatan.37
Perma Nomor 6 Tahun 2018 telah mengubah karakter norma upaya
administratif sebagaimana diatur pada Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 UU AP menjadi
bersifat imperatif. Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum berpendapat hal itu bisa
menjadi kendala bagi pencari keadilan dan melanggar hak asasi pencari keadilan jika:38
1. Pencari keadilan tidak mengetahui keberadaan Perma No. 6 Tahun 2018;
2. Pencari keadilan kesulitan/dihambat untuk mengakses upaya administratif di
lingkungan Badan atau Pejabat TUN;
3. Lembaga peradilan administrasi menjadikan upaya administratif
sebagaimana diatur pada Perma No. 6 Tahun 2018 sebagai tempat untuk
“bersembunyi” atau “lari” dari tanggung jawab penyelesaian sengketa TUN
dengan menggunakan alasan ketidakmampuan pencari keadilan untuk
membuktikan telah dilaksanakannya upaya administratif sebagaimana diatur
oleh Perma No. 6 Tahun 2018;
4. Deviasi pengaturan upaya administratif dalam Perma No. 6 Tahun 2018
yang mengubah karakter norma pengaturan upaya administratif yang
bersifat opsional/fakultatif dalam UU No. 30 Tahun 2014 menjadi
berkarakter imperatif.

Landasan yuridis pembentukan Perma Nomor 6 Tahun 2018 didasarkan pada


Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang
berbunyi Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup
diatur dalam Undang-undang ini. Maksud pembentukan Perma tersebut dalam rangka

36
Konsideran menimbang huruf b Undang-Undang-Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.
37
Arifin Marpaung, Tinjauan atas Perma No. 6 Tahun 2018 dalam Pemeriksaan Sengketa TUN
termasuk Sengketa ASN, (Denpasar: Diklat Hakim Peratun, 2019), hlm. 23.
38
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum, Jawaban pertanyaan Narasumber, (Yogyakarta: 12 Juli
2020), hlm 1.
13
mengisi kekosongan hukum acara penyelesaian sengketa pasca upaya administratif di
PTUN dalam Pasal 76 UU AP. Perma tersebut dilihat dari isinya merupakan prosedur
beracara DI PTUN tentang penyelesaian sengketa administrasi pasca penyelesaian
upaya admistratif.
Ruang lingkup Perma Nomor 6 Tahun 2018 mengatur:39
1. Mengatur kewenangan dan hukum acara yang digunakan PTUN (Pasal 2)
a. Kewenangan PTUN memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa yakni
sengketa administrasi setelah menempuh upaya administratif (Pasal 2 ayat (1)).
b. Hukum acara yang digunakan untuk memeriksa sengketa administrasi setelah
menempuh upaya administratif adalah (Pasal 2 ayat (2)) yaitu Hukum acara
Peradilan TUN dan Hukum acara khusus jika ditentukan secara khusus.
2. Menentukan Hukum Materil yang digunakan untuk memeriksa dan memutus
sengketa (Pasal 3).
Aturan hukum yang digunakan untuk memeriksa dan memutus sengketa pasca upaya
administrasi yakni: aturan dasar yang mengatur upaya administratif (Pasal 3 ayat (1))
atau aturan yang ditentukan dalam UU AP jika tidak diatur dalam aturan dasarnya
(Pasal 3 ayat (2)).
3. Membatasi obyek sengketa atas gugatan pihak ketiga (Pasal 4).
 Gugatan pihak ketiga hanya terhadap keputusan yang merupakan tindak lanjut
upaya administratif (Pasal 4 (1)).
 Keputusan tersebut bukan merupakan keputusan hasil tindak lanjut putusan
Pengadilan (Pasal 4 (2)).
4. Membatasi tenggang waktu menggugat (Pasal 5).
 Tenggang waktu menggugat dalam waktu 90 sejak keputusan atas upaya
administratif.
 Bagi pihak ketiga dihiting sejak pihak ketiga pertama kali mengetahui keputusan
(atas upaya administratif) yang merugikan kepentingannya.
 Perma Nomor 6 Tahun 2018 bukan Perma “Zombie” jadi terhadap obyek sengketa
yang sudah diketahui melebihi tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari,
tenggang waktunya seolah-olah bisa menjadi hidup kembali atau “Zombie”
setelah diajukan upaya administratif karena tenggang waktu pengajuan gugatan
bukan lagi mengacu pada Pasal 55 UU Peratun. Namun dalam rangka

39
Arifin Marpaung, Tinjauan atas Perma No. 6 Tahun 2018 dalam Pemeriksaan Sengketa TUN
termasuk Sengketa ASN, (Denpasar: Diklat Hakim Peratun, 2019), hlm. 7-9.
14
mengantisipasi terjadinya penyeludupan hukum seperti ini, hakim yang
memeriksa perkaranya wajib menyatakan gugatan tidak diterima.40
Penentuan kewenangan pengadilan berdasarkan Pasal 48 jo Pasal 51 UU
Peratun digantungkan pada ada tidaknya upaya administrasi yang diatur secara khusus
dalam peraturan dasarnya. Oleh karena itu perlu dicermati kriteria peraturan dasar upaya
administrasi sebagai berikut:
1. Ada aturan dasar yang mengatur secara jelas, baik mengenai prosedur upaya
administratif dan pejabat/badan yang menangani upaya administratif maupun
pengadilan menangani sengketa pasca upaya administratif misalnya UU No. 10
Tahun 2016 tentang Pilkada.
2. Ada aturan dasar mengatur prosedur upaya administratif dan pengadilan yang
menangani sengketa pasca upaya administratif, akan tetapi tidak menyebut
pejabat/badan yang menangani upaya administratif secara spesifik, melainkan hanya
menyebut pejabat dan atasan (bersifat umum), sebagaimana ditentukan dalam Pasal
75 sampai dengan 78 UU AP.
3. Ada aturan yang menunjuk Pengadilan menangani sengketa pasca upaya
administratif, akan tetapi tidak mengatur prosedur upaya administratif dan
pejabat/badan yang menyelesaikan upaya administratif secara jelas, melainkan hanya
menunjuk pada peraturan lain (tertentu) misalnya Pasal 48 yo Pasl 51 UU Peratun.
Pembagian Kewenangan mengadili
Pengadilan TUN Pengadilan Tinggi TUN
 Tidak ada peraturan dasar yang  Peraturan Dasar mengatur upaya
mengatur mengenai upaya administratif administratif hanya tersedia banding
secara khusus sehingga berpedoman administratif atau sampai dengan
pada Pasal 75 s.d. Pasal 78 UU AP. banding administratif.
 Apabila dalam peraturan dasarnya  Aturan dasar yang mengatur secara
hanya mengatur upaya administratif jelas, baik mengenai prosedur upaya
keberatan saja. adm dan pejabat/badan yang menangani
 Peraturan Dasar telah menetapkan upaya adm maupun pengadilan
secara eksplisit PTUN berwenang menangani sengketa pasca upaya adm.
mengadili (UU No. 14/2008, UU No. Misalnya UU No. 10 Tahun 2016
2/2012, UU No. 7/2017, Pasal 1 angka tentang Pilkada UU No. 9/2018 tentang
9 Jo Pasal 87 UU No. 30/2014). PNBP).

Tenggang waktu pengajuan keberatan (21 hk) sebagaimana diatur dalam Pasal
77 ayat (1) UU AP dan banding administratif (10 hk) sebagaimana diatur dalam Pasal

40
Rakerda, Se-Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Hasil Rumusan
Sosialisasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Untuk
Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, (Bandung: 4-6 Maret 2019).
15
78 ayat (1) UU AP merupakan bagian dari upaya administratif. Namun permohonan
upaya administratif harus tertulis, dan sekalipun upaya administratif merupakan urusan
internal Pemerintah, Hakim wajib tahu bagaimana upaya administatif ditempuh. Upaya
administratif bukanlah persoalan Pengadilan tetapi masalah internal pemerintah terkait:
• Bagaimana bentuk penyelesaiannya,
• Tata caranya maupun mekanismenya,
• Jika tidak diatur khusus baik bentuk dan penyelesaianya maka bentuk dialogpun
dapat dipandang bagian bentuk upaya administratif.
4. Kesimpulan/Rekomendasi
Berdasarkan uraian yang telah dilakukan ditas dengan menggunakan teori yang
relevan dapat disimpulkan terdapat sengkarut upaya administratif dalam hal pengaturan
upaya administratif yang diatur UU Peratun dan UUAP yaitu:
a. Ketidakharmonisan pengaturan sehingga menimbulkan perbedaan pengaturan upaya
administratif yang diatur dalam UU Peratun dan UUAP.
b. Ketiadaan standar, prosedur dan norma yang sama dalam upaya administratif
(ketidakseragaman subjectum litis dengan objectum litis).
c. Makna kata “DAPAT” dalam UU AP.
d. Fungsi dan ruang lingkup Perma No. 6 Tahun 2018 serta keterkaitan dengan Pasal 55
UU Peratun.
e. Kompetensi PTUN dan PTTUN
f. Pengaturan waktu 21 hari bagi keberatan dan 10 hari bagi banding administratif
Berdasarkan kesimpulan sebagaimana diuraikan di atas dapat diberikan
beberapa saran-saran sebagai berikut.
a. Konstruksi ideal penerapan upaya administratif sebaiknya dikembalikan pada karakter
pengaturan upaya administratif baik pada fase pertama (Pasal 48 jo Pasal 51 UU Peratun)
maupun pada fase kedua (Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 UU AP) yang menempatkan
upaya administratif bersifat opsional/fakultatif yang menjadi hak bagi pencari keadilan,
bukan dipaksakan penggunaan upaya administratif tersebut.
b. Upaya administratif menjadi bagian dari “hak” (right) pencari keadilan untuk memilih
upaya perlindungan hukum yang dinilainya paling efektif dan maksimal bagi dirinya sendiri
dan tak perlu diberi sanksi apapun, karena itu. Negara cukup menyediakan sarana
perlindungan hukum dan tak perlu memaksakan cara warga negara untuk memilih
perlindungan hukum yang dinilainya lebih efektif dan tepat sesuai kasus/masalah yang
dihadapinya.

16
c. Penyelesaian sengkarut upaya administratif dalam sengketa administrasi pasca
dilakukannya upaya administrasi dengan pembenahan hukum acara secara
menyeluruh di Peradilan TUN.
d. Para Ketua/Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara harus mempunyai persepsi yang
sama sehingga seluruh Pengadilan menerapkan praktek yang sama, agar dikemudian
hari terdapat kepastian hukum terutama dalam menghadapi sulitnya sengkarut upaya
administratif.
5. Daftar Pustaka
a. Abdul Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Malang, Edisi Pertama, Cetakan
Pertama, Bayumedia Publishing, 2004.
b. Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta: Cetakan Kesembilan, Sinar Grafika,
2011.
c. Arifin Marpaung, Tinjauan atas Perma No. 6 Tahun 2018 dalam Pemeriksaan
Sengketa TUN termasuk Sengketa ASN, Denpasar: Diklat Hakim Peratun, 2019.
d. Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum, Jawaban pertanyaan Narasumber,
Yogyakarta: 12 Juli 2020.
e. Hari Sugiharto, Upaya Administratif Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa
Tata Usaha Negara Dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia,
Surabaya: Universitas Airlangga, 2009.
f. I Dewa Gede Atmadja, Ilmu Negara, Perspektif Historis Yuridis
Ketatanegaraan, Malang: Cetakan Pertama, Malang Setara Press, 2012.
g. Kadek Agus Sudiarawan dan Bagus Hermanto, Rekonstruksi Pergeseran
Paradigma Upaya Administratif Dalam Penyelesaian Sengketa Prapemilihan
Kepala Daerah, Denpasar: Jurnal Legislasi Indonesia Vol 16 No. 3, 2019.
h. Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman
Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya
Administasi, Bandung: Sosialiasasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun
2018, 2019.
i. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2010, Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
(sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan Ayat), Jakarta, Sekretariat Jenderal
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2010.
j. Mahkamah Konstitusi, Modul Pendidikan Negara Hukum dan Demokrasi, Pusat
Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Jakarta, Mahkamah Konstitusi, 2016.
k. Ujang Abdullah, S.H., M.Si., Upaya Administrasi Dalam Peradilan Tata Usaha
negara, Bogor: Pusdiklat MA RI, 2009.
l. Rakerda, Se-Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta,
Hasil Rumusan Sosialisasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018
Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Untuk Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara Jakarta, Bandung: 4-6 Maret 2019.
m. Rakerda, Se-Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya,
Hasil Rumusan Sosialisasi (Penyebarluasan) Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi
Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administrasi, Surabaya: 4-6 Maret
2019.
17
n. Rakerda, Se-Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan,
Hasil Rumusan Sosialisasi Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun
2018 pada wilayah hukum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan,
Medan: 4-6 Maret 2019.
o. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
p. Undang-Undang-Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
q. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh
Upaya Administratif
r. Surat Edaran No. 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat
Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan
Tugas Bagi Pengadilan, lihat Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara.
6. CV Singkat Pemantik
Nama : Dr. NOVY DEWI CAHYATI, S.Si., S.H., M.H.
Lahir : Majalengka, 4 November 1980
Pangkat/Gol. : Penata TK. I (III/d)
Jabatan : Hakim PTUN Bandung
Pendidikan : S1 Matematika, Universitas Padjadjaran Bandung, 2004
S1 Hukum, Universitas Parahyangan Bandung, 2004
Pasca Sarjana (S2), Univ. 17 Agustus Jakarta, 2009
Pasca Sarjana (S3), Univ. Islam Indonesia Yogyakarta, 2017
Karier : Calon Hakim PTUN Bandung 2006 – 2009
Hakim PTUN Bandar Lampung 2009 – 2012
Hakim PTUN Yogyakarta 2012 – 2018
Hakim PTUN Bandung 2018 – 2021
Hakim PTUN Jakarta 2021 – Sekarang

18

Anda mungkin juga menyukai