Anda di halaman 1dari 9

Orang bilang, waktu akan menjawab segalanya, waktu akan

menyembuhkannya, atau waktu akan membiasakannya.

Namun, bagaimana waktu bisa melakukannya? Manusia


bilang, mereka hanya terbiasa. Terbiasa melupakan, terbiasa
menderita, terbiasa diabaikan. Semuanya terbiasa, ada juga
yang terbiasa dicintai, diperhatikan, disayangi. Semuanya
terbiasa.

Hingga pada akhirnya tetap saja, waktu membiasakan


manusia, dengan pekerjaan yang kontinu, perasaan yang
kontinu, dan rutinitas hidup yang kontinu. Terbiasa dan
terus-menerus. Maka, aku bertanya-tanya, bagaimanakah bila
kebiasaan itu hancur? meledak oleh rasa yang baru? atau
perhatian baru? Akankah ia gelisah karena kebiasaan itu
hancur? atau akankah ia abai dan tetap menjaga
kebiasaannya? Namun, bagaimanakah bila kebiasaannya itu
malah membuatnya terpuruk? Biasa, yang membuatnya
Binasa.

***

"Syaa, kamu ga sarapan?"

"Nggak ah, buru-buru! bye!"

Ini rutinitas Asya setiap rabu pagi, meninggalkan sarapan, lari


ke jalan raya, mencegat angkot lewat secepatnya. Serius!
Urusan hari rabu selalu sepelik ini, Jam MK Sosiologi tepat
jam 07:30, jarak kosan ke Kampus sekitar 30 menit, ini kalau
mobil angkotnya cepat, belum jarak ke fakultas 12 menit.
Tapi, ada yang lebih pelik daripada dikejar mata kuliah hari
rabu, ini pelik! Pelik sekali buat Asya-

"Asyaaa, Ya ampuun, memang kita ini sudah disatukan oleh


takdir."

Cowok ini, Ha Naladhipa, yang buat hari Rabu seorang Asya


jadi begitu pelik.
Asya menghela napas, mau lari percuma, khusus MK Sosio
mereka sekelas. Jadi, yasudah, dengan langkah yang masih
tegas namun wajah lesu lagi pias, Asya menuju kelas.

"Ntar kamu duduk disampingku aja ya."

"Ogah, cewek duduknya sama cewek!"

"Aku kan Boti."

"ASTAGHFIRULLAH!!"

Begitulah, kalian sudah mengerti Maksud 'Pelik' nya? Kalau


belum, mari kita flashback dulu, ada hal yang harus kalian
tahu sebelum kisah ini berlanjut.

2022 Adalah Tahun Asya menjadi MABA, Asya biasa saja,


agak tinggi sih memang, tapi serius biasa saja, ga bakal ada
Kating caper ke dia, dan dia bersyukur atas hal itu. Dia jadi
hemat tenaga, dan hidup seindahnya, tanpa gangguan para
buaya.

Sayangnya semua berakhir cukup melenceng dari perkiraan,


semenjak ada tugas kelompok dari para kating terkait PBAK,
Asya harus sekelompok sama orang ini, yup, Ha Naladhipa.

"Yoo, Nama Gue Ha Naladhipa, kalian bisa panggil gue Nala,


anak jurusan Psikolog! Salam kenal!"

Pemuda itu dengan humble menjulurkan tangan untuk


bersalaman, hingga tiba bagian Asya, Gadis itu tidak
menyambutnya, malah menyatukan tangan dengan agak
menunduk, saat itulah Nala jadi agak canggung, lalu
melambaikan tangan.

"Hai, Gue Nala, Nama-"

"Asya."
Yah, Perkenalan itu jadi awal segalanya, setidaknya, sampai
Semester 4 ini.

"Nah, tuh kan, apa ku bilang, kita ini disatukan takdir. Bisa
coba, cuma sisa dua kursi semeja disini, udah deh tempat
aku sama kamu."

Nala tertawa sekenanya, lalu menggeser kursi yang dekat


dengan jendela.

"Silahkan duduk Tuan Putri."

Asya akhirnya duduk sekenanya, ya sudahlah, toh hanya


untuk kelas hari ini. Lagipula, kursi dekat jendela itu
favoritnya, jadi Nala dimaafkan meski tanpa kesalahan.

Sementara gadis itu menghadap lenggangnya gedung


fakultas lain, Nala memperhatikannya, kerudung warna
pastelnya, ketukan jari di mejanya, hingga bulu mata yang
bergerak bersama matanya, saat itu pula, Nala menundukkan
pandangannya.

"Kemarin, pas Jeno sama pacarnya ribut, wajahmu pucet


banget,"

lantas tiba-tiba, keheningan dengan atmosfer canggung


tercipta, Nala masih setia memperhatikan kerudung gadis itu,
kini mencoba menerka, selembut apa bahannya?

"Kayak habis dicabut nyawa aja, kamu sakit? atau ada hal
lain gitu? kamu bisa cerita."

Seketika pula Asya menoleh, gerakan kerudung pastel yang


terlalu tiba-tiba itu juga membuat Nala terkaget. Lantas
menjadi canggung kala dua pasang mata itu bertemu. Gadis
itu tidak pernah menatapnya, sekalipun.
Kecil dulu, ada beberapa hal yang selalu ia simpan,
menjadikannya rahasia yang disimpan dalam relung terdalam.
Menaruh ingatan itu dalam memori paling kecil agar hilang.

"INI KAN GARA-GARA KAMU! COBA WAKTU ITU


TAWARAN KERJANYA DITERIMA! KITA GA AKAN BEGINI!"

"AKU UDAH BILANGKAN!? DIA GA MEYAKINKAN! PERNAH


KENA KASUS PENIPUAN! KALAU KITA JUGA KENA TIPU
GIMANA!? LAGIAN SUAMI UDAH KERJA KERAS
BUKANNYA DIDUKUNG—”

Ditengah bersautnya suara-suara, seorang gadis kecil


meringkuk diatas kasurnya menggemul tubuhnya dalam
balutan selimut lembut setelah mengunci pintu kamar, air
matanya menetes pelan, tangan kecil memegangi perutnya
yang keroncongan.

“Bunda, Asya lapar, mau makan.”

Suara kecilnya terhapus ruangan, tidak sampai keluar, tiada


pula yang mendengar. Lain-lain waktu, kedua orang tuanya
tampak rukun, lain-lain waktunya lagi, bertengkar terus, tidak
peduli pada buah hati yang menderita, tidak peduli
bagaimanalah jika gadis kecil itu merasa terganggu, atau
barangkali ketakutan sembari menahan– tidak, kali ini bukan
lagi menahan lapar. Gadis itu menahan perasaanya,
menyimpannya dalam penjara kecil lagi terpencil,
membiarkannya dalam pelosok hati, atau berharap penjara
besi kecil itu terkena air laut, berkarat, rusak. Pokoknya
bagaimanapun agar perasaan itu hilang.

Namun, tidak semudah itu, Asya yang beranjak dewasa mulai


mengerti alasan orang tuanya saling membentak, kurangnya
ekonomi lah, urusan pekerjaanlah, atau apalah yang lain itu,
Asya yang dewasa mengerti. Tapi, bagamanalah dengan
dirinya yang diusia 8 tahun? semuanya tersimpan jelas,
masih ada, lalu menjadikannya trauma.
Bentakkan yang saling bersahut itu, membuatnya takut setiap
kali mendengar orang berteriak, atau berseru-seru kesal dan
bertengkar, bahkan meski telah lewat belasan tahun silam.

***

Nala, sebenarnya cowok itu orang baik, wajahnya


menyenangkan, senyum ramah kemana-mana, suka
membantu dimana saja. Masalahnya sekarang,
bagaimanalah ceritanya lelaki ini tahu urusannya? Eh, atau
sebenarnya baru menebak saja? Oh, iya benar, atau mungkin
Asya ini mau dijadikan Objek penelitiannya, lelaki itu kan anak
Psikolog.

“Aku bakal cerita,”

Nala semakin terkaget setelahnya, apalagi gadis di


sampingnya tersenyum sembari melihat Dosen yang sibuk
menjelaskan. Eh, Asya ini bicara pada siapa sih?

“Kamu ngomong sama aku?”

Nala menunjuk dirinya sendiri, kali ini ikut berpura-pura


memperhatikan Dosen.

“Kalau kamu ga mau atau belum siap cerita juga ga papa


kok.” timpal Nala lagi.

Terdengar Asya menghela napas setelahnya, gadis


berkerudung pastel itu memangku wajahnya dengan tangan.

“Nanti Na, nanti, kutunggu kamu jadi Psikolog betulan, sudah


dapat ijin praktek, aku bakal nyari kamu untuk bercerita,
tenang saja, kalau kamu mau, aku bisa pastikan kamu
Psikolog pertama yang aku kunjungi.”

“Kalau gitu, aku juga bisa pastikan, sampai hari itu tiba, kamu
Pasien pertama yang aku tangani.” Nala nyengir, tiba-tiba
bayangan masa depan hinggap di kepalanya. Aduh, cowok ini
sadar tidak sih kalau banyak perempuan yang mudah
terpesona dengan senyumannya?

***

Akhir-akhir ini, eh bukan, hampir 3 tahun kebelakang, kepala


Asya sering berisik, serius! padahal sekelilingnya begitu sepi,
begitu sunyi. Berisik yang tak terkontrol itu seringkali
membuatnya sulit tidur, kadang ia setel murottal
kencang-kencang lewat hpnya, atau seringnya ia mengaji
juga agar suara itu hilang sebisanya. Tapi akhir-akhir ini suara
berisik itu kian mengganggu, terpaksalah gadis itu beli obat
tidur.

Psst, jangan bilang-bilang! dia menipu Apoteker soal resep


Dokternya.

Toh, ia jarang menggunakannya, lebih sering dengar murottal


dan mengaji, itu paling utama. kalau gadis itu sudah begitu
lelah, baru Obat Tidur andalannya.

Pagi ini, setelah begitu sulit teman Kosan


membangunkannya, Asya mengambil langkahnya yang
gontai. Duh, ini hari kamis, hari masuk kuliah. Tapi yang
menyebalkan itu, dia baru tidur dua jam! Setelah tadi malam
pakai headset dengan murottal, lalu scroll-scroll sosmed
untuk memancing kantuk, rasanya tidak berhasil, terpaksalah
gadis itu pakai obat.

“Huhh”

Asya kembali menghela napas, mulai mengira-ngira betapa


sibuknya dia hari ini, dan berapa banyak energi yang harus ia
keluarkan.

***

“Asyaa met siang! Kamu mau makan apa?”


Asya, gadis itu mendelik setelah mendengar suara
menggelegar Nala. Eish, cowok itu, ngapain pula ke Kantin
Fakultasnya! Jaraknya 15 menit loh!

“Aku kesini, soalnya Kantin Fakultasmu ada menu baru, mau


nyoba aja, hehe.”

Pintar, belum juga bertanya, Nala sudah menjawabnya. Asya


hanya mengangguk.

“Weihh, Pangeran jurusan Psikolog mampir! Ngapain Lo?”

Dan secara terduga, mulai banyak orang yang mengerumuni


Nala, gadis itu ga heran, Nala ini Social Butterfly orangnya,
cuma yang Asya tahu, memang agak moody-an. Anehnya,
kalau di depan Asya, cowok itu kerjanya cengar-cengir aja.
Gadis itu kembali berjalan, menjauhi hingar-bingar.

Puas makan semangkuk bakso, Asya menenggak habis es


teh nya, lantas mengucap hamdalah. “Eh, siapa ajalah titip
tasku ya, mau ke Toilet bentar.”

Nala yang semeja dengannya langsung mengangguk “Aku


yang jaga.”

Di perjalanan menuju Toilet tepukan kecil terasa di punggung,


“Nala naksir kamu ya Sya?”

“Dihh nggak tuh! Siapa bilang?”

“Kelakuan Nala yang bilang, wkwkw. Lagian sadar ga sih?


Nala cuma ngomong pake ‘Aku-Kamu’ ke kamu doang tau?”

“Percaya amat begituan, nyamannya dia aja kali itu, lagian


Nala jadiin aku Objek penelitannya doang, dia kan anak
Psikolog.”

“Hehh, Jamilahh, Lu tuh sehatt, kagak kena penyakit mental


juga, ngapain dia jadiin lu objek penelitian?“
Asya tertawa, temannya juga. Tuh, dia berhasil pura-pura,
gaada yang tahu kan soal traumanya? Anehnya Nala, yang
entah datang dari mana, tiba-tiba nawarin bercerita. Duhh,
cowok itu beneran bahaya.

***

“Hihh, berisik banget! Asya menutup telinganya, huh, sudah


hampir jam satu pagi, tapi dia belum tidur juga. Setelah
menimang-nimang ia pun mengambil obat tidur dari tasnya.
dan tercengang karena begitu di keluarkan, yang ada sticky
note mini dan permen bintang-bintang.

Loh? Kok isinya berubah?

Asya membuka sticky note itu cepat-cepat, ingin tahu siapa


Oknum yang dengan sangat lancang membuka tasnya saat
kuliah. Sialan! Perkara obat tidur ini kan Rahasia!

‘Maaf buka tasmu tanpa bilang.’

Oke, Asya kenal tulisan ini.

‘Serius, aku ga tahu apa penyebab kamu punya obat ini, tapi
ini nggak baik Sya, sangat ga baik meski konsumsimu ga
banyak. Aku khawatir lama-lama kamu kecanduan.’

Hahh, apa urusannya cowok ini sama dia kalaupun


kecanduan!?

‘Iya tahu, aku bukan siapa-siapa.Tapi kamu kan calon Pasien


pertamaku, kalau kamu kecanduan, mana bakal ingat kamu
mau cerita ke aku?’

‘Aku mau jadi obatmu, yang membuatmu damai dengan


masalalumu, damai dengan traumamu, lepas hubungan
dengan suara berisik dikepalamu, atau apalah itu. Jadi, tolong
jangan telan lagi pil itu, seperti ingatan manis yang
menghapus luka hati, aku mau kamu lumat permen bintang
ini, rasanya jauh lebih enak dari pada pil tidur! Ada yang rasa
jeruk, anggur, melon, semangka. Oke? Kamu harus hidup
sehat sampai aku jadi Psikolog betulan!’

“Apa sih cowok itu, gabut amat.”

Asya menyeringai tipis, melumat beberapa permen bintang,


dan dengan ajaib, rasa kantuk secara murni datang,
membuatnya hanyut dalam mimpi indah yang akhirnya
datang.

Anda mungkin juga menyukai