Anda di halaman 1dari 4

Penulis : Dr. Y.

Tomatala

Ilona Olvy karamoy)

A. Teologi Kontektualisasi
Istilah kontekstualisasi telah digunakan secara popular dalam dunia pendidikan teologi
pada decade-dekade akhir abad XX ini. Ada kelompok yang mempergunakan dan
mempertahankan penggunaan istilah kontekstualisasi, tetapi ada pula yang menggunakan
istilah lain, seperti teologi local (theology in loco), teologi enkulturasi (theology of
inculturation), dan ada lagi yang memilih teologi indigeniti yang berakar dari teori “three
self” (theology of indigeneity) – yang diterjemahkan secara kurang tepat dengan teologi
mandiri atau teologi pribumi. Istilah mana yang tepat tergantung pada dasar konseptual,
falsafah, pendekatan, dan tujuan dari setiap penggunaan istilah-istilah diatas.

B. Teologi Lokal, Teologi Inkulturasi, Teologi Indigenisasi, dan Etnoteologi


1. Teologi Lokal
Istilah menurut Schreiter “mencerminkan pemakaian bahasa Inggris, yang menekankan
konteks sekitar refleksi logis dan juga mempunyai sejumlah ciri gerejani melalui asosiasinya
dengan gereja lokal”.(1991:13)
2. Teologi Enkulturasi.
IstilahInggris inculturation, yaitu “the cultural learning process of the individual, the
process by which a person is inserted into his or her culture”(Shorter, 1988:5, 10-13).
3. Teologi Indigenisasi.
Diangkat dari istilah indigenous yang diterjemahkan sebagai pribumi. Berpijak pada teori
indigenisasi yang dikembangkan oleh Rufus Anderson dan Henry Venn yang popular
dengan istilah “tiga diri” (three-self) – self governing, self supporting, dan self propagating
(Kraft-Wisley 1979:3-5).
4. Etnoteologi.
Ethnotheology ialah istilah yang juga dipakai oleh teolog Injili. Penggunaan istilah ini terkait
dengan kata ta ethne (bangsa-bangsa) yang terdapat dalam Alkitab, khususnya Matius 28:19-
20. Istilah etnoteologi”…membantu kita memusatkan perhatian pada ciri-ciri khas teologi
bagi suatu wilayah budaya tertentu”. (1991:12).

C. Teologi Kontekstualisasi dan kebudayaan.


Bagaimana menjelaskan Injil dalam cultural frame work suatu budaya sehingga membawa
keseimbangan yang dinampakkan dalam refleksi teologis yang alkitabiah dari kerangka
budaya tersebut.
Kontekstualisasi dan Perjanjian Lama
Pernyataan-Diri Allah dalam Penciptaan.
Kejadian 1:28-30 – yang disebut “Mandat Budaya” memberikan kewenangan bagi manusia
untuk berbudaya, memenuhi, dan menguasai dunia. Disini manusia dengan sendirinya dapat
mendayagunakan kreativitasnya untuk berbudaya tersebut.
Perjanjian Berkat Allah: Dinamika Kontekstualisasi
Allah mengukuhkan semua hasil ciptaan-Nya dengan berkat-Nya (Kej. 1:28; 2:3 – creation
covenant). Dengan demikian semua hasil ciptaan Allah melukiskan kemuliaan-Nya (Mzm.
8:2-10). Dapat dikatakan bahwa “segala ciptaan Allah” dalam setiap konteks sejarah-budaya
suatu masyarakat dapat merupakan jalan masuk bagi proses kontekstualisasi karena “berkat
Allah” kepada ciptaan-Nya secara umum tetap berlaku (Mat. 5:45)
Prinsip Kontekstualisasi Perjanjian Lama.
Menyimpulkan seluruh diskusi dalam PL, Glasser mengatakan,
“ All valid contextualization is but a reflection of the incarnation principle which came to
fullness when “the word became flesh” and dwelt among the people of God (John 1:14).
Down through the Old Testament history of God again and again met with His people
where they were (in context) and moved His purpose forward through intimate
interaction with the in their varied existensial situations” (Gilliland 1989:49).
Kontektualisasi dalam Perjanjian Baru.
Inkarnasi Yesus dalam Konteks Hebraic.
Inkarnasi Yesus adalah penyataan Allah ke dalam budaya manusia. Dalam Inkarnasi-Nya,
manusia dapat melihat Allah (Yoh 1:14, 18).
1. Hakikat Inkarnasi
Logos menjadi manusia mempunyai implikasi yang luas, ini berarti lahir ke dunia sebagai
manusia, hidup dalam sejarah manusia, menjadi bagian dalam konteks budaya manusia, dst –
singkatnya, berpadu dengan hakikat manusia secara utuh.
2. Inkarnasi dan Transformasi.
Yang memberikan isi bagi Inkarnasi Kristus dalam budaya manusia ialah transformasi yang
terjadi dalam dan pada pusat budaya Hebraic di mana Ia berada. Kuasa transformasi itu
bekerja dengan pasti, karena Kristus datang dengan tugas transformasi itu sendiri (Luk. 4:18-
19; band. 2Kor. 5:17; Why. 21:5).
Kontekstualisasi Injil oleh Rasul Paulus.
Dinyatakan dalam ajaran kenotisnya tentang Kristus, sikap hidup, serta pendekatan
kontekstualnya kepada setiap masyarakat yang didatanginya.
The New Covenant
Dasar memahami Allah dalam Konteks
The New Covenant: Hakikat yang Satu, Pendekatan yang Beragam. Istilah covenant merujuk
kepada bentuk “perjajian bilateral” yang dilaksanakan antara dua pihak, superior-
subordinate, untuk saling megikat diri, yang superior (pemenang perang) bertanggung jawab
memberikan jaminan perlindungan, sedang yang sub-ordinate (yang dikalahkan)
Allah dan kuasa pembebasan-Nya serta refleksi mereka yang telah dibebaskan atas karya
Kristus merupakan pola kontekstualisasi yang benar.
Injil dan Konteks Budaya
Hakikat Injil yang Satu dalam Budaya.
Injil Yesus Kristus adalah satu dan utuh. Injil adalah kabar baik tentang Yesus Kristus
dengan segenap karya pembebasan-Nya bagi dunia ( 1 Kor. 15:1-4).
Interaksi Injil dalam Budaya
Terjadi dalam keseluruhan sistem budaya itu. Bila ada seseorang yang disentuh oleh Injil,
maka ini terjadi pada orang tersebut dalam kerangka utuh dari budayanya. Inil dalam kuasa
pembebasannya tidak menjadikan seseorang orang asing dari budaya.
Injil dan World View
World view adalah “pusat pembakuan, penguasaan, serta pengendalian konsep yang
berbentuk asumsi-asumsi yang merupakan prakiraan dasar bagi kehidupan suatu
masyarakat.kelompok budaya”.
Karakteristik World View.
Merupakan bentuk-bentuk asumsi yang dipercayai, dipegang teguh, dan dipraktikkan tanpa
mempersoalkannya.
Fungsi World View.
Menjelaskan, peneguhan dan pengesahan, member dukungan psikologis, perangkuman,
adaptasi, adopsi, asimilasi, modifikasi, atau rejeksi dan menetapkan urutan nilai.
Proses Pembakuan World View.
Menjelaskan tentang darimana dan bagaimana terjadinya world view yang akhirnya menjadi
baku dan dianggap sebagai milik suatu budaya.
Perubahan World View.
Suatu perubahan besar yang terjadi di dalam suatu budaya.
Proses Kontekstualisasi.
Adalah usaha integratif yang memadukan segala upaya pemahaman kognitis tentang
pandangan Alkitab terhadap kontekstualisasi; pemahaman terhadap budaya dan manusia
dalam konteks budaya tersebut serta usaha pendekatan Injil dalam mekanisme budaya pada
setiap konteks.
Alkitab, Kebudayaan dan Refleksi Teologi
Dalam pelaksanaan yang actual dari suatu konteks budaya sangat dituntut sikap bertanggung
jawab dari pihak pemberita Injil sehingga secara sensitif dapat mengarahkan fasilitasi
interaksi Firman dan refleksi teologi atas Firman di dalam konteks budaya tersebut dengan
sebaik-baiknya.
Model-model Pendekatan Kontekstalisasi.
Ialah beberapa model penafsiran tentang berteologi dalam konteks yang didasarkan atas
prinsip dogmatik tertentu.
Sikap yang menanggapi kebudayaan secara negatif.
4. Model Transformasi (2 Kor. 5:17)
Bila seseorang dibaharui Allah, maka inti kebudayaannya juga dibaharui.
5. Model Dialektik
Interakasi dinamis antara teks dan konteks. Untuk setiap kurun waktu perubahan itu terjadi
secara dinamis.
Pendekatan Penerapan Kontekstual
Pentingnya penalaran hermeneutik dalam kontekstualisasi, yaitu Pendekatan “Formal
atau Tradisioanal”, dan Pendekatan “Dynamic Equivalence”.
Komunikasi Injil dalam Berkontekstualisasi.
Dalam komunikasi Injil faktor-faktor budaya harus diperhitungkan agar dapat
menciptakan kesimbangan dan perubahan yang postif dalam pemberitaan Injil.
Kontekstualisasi bagi Pemgembangan Gereja yang kontekstual.
Refleksi pembebasan Injil ini dibuktikan dalam kehidupan gereja yang dinamis,
dimana gereja bertumbuh dalam dimensi yang utuh, yaitu pertumbuhan kuantitas,
pertumbuhan kualitas, dan pertumbuhan organis (fungsional) yang stabil dan seimbang.
Kesimpulan
Teologi kontekstualisasi alkitabiah yang absah menempatkan Allah sebagai the
prime cause, the prime mover dari proses berteologi dalam konteks. Pada sisi ini, “Alkitab”
berperan utama sebagai “penyataan Allah” karena Allah sendiri memilih untuk menyatakan
diri kepada manusia dan penyataan-Nya tertulis dalam Alkitab
Mengembangkan dan mempertahankan berteologi dalam konteks yang abash perlu
tetap memperhatikan akan mekanisme trialektis “Allah, orang Kristen (manusia), dan
konteks (manusia lain, budaya, situasi, dsb)”.
Tekanan yang diberikan disini ialah bahwa Allah, Yesus Kristus, Roh Kudus,
Alkitab tetap adalah otoritas tertinggi dalam berteologi. Orang Kristen tetap bertanggung
jawab untuk check dan recheck pandangan teologi yang dikembangkan di bawah terang
Firman Allah dan dalam bayang-bayang konteks hidup di mana ia berada.

Anda mungkin juga menyukai