novelen dex
novelen dex
***
pada mau soto gak? Gue yang traktir deh sekarang. Bebas,
anggep aja PJ dari gue" Ujar Ralin yang disambut sorak teman
temannya.
"Nah, gini dong jadi temen. Kalau ada apa apa, traktir, baru
berguna." Ucap Ivan.
"Gue seperti biasa Lin. Soto sama es teh."
"Gue samain."
"Lo gimana El? Mau soto juga gak? Yakali engga, kan
makanan favorit lo insam
Mirele mendongkak, gadis itu mengangguk "Gue soto dua
sama es jeruk tiga."
"Busettttt," Keempat temannya kompak menganga.
"Lo udah di traktir, gatau diri lagi El." Ujar Putra.
"Gapapa kok El. Gue paham sama lo, perut lo kan perut
karung," Rika tertawa.
"Gak usah banyak bacot. Lo niat traktir gue gak Lin?" Tanya
Mirele menatap Ralin.
"Iya sih El gue niat traktir lo, tapi lo kesannya kayak morotin
gue."
"Yaudah. Ga jadi."
"Iya deh iyaaa, lo mah ngambekan." Ralin mencubit pipi
Mirele gemas, mencoba agar gadis itu tak murung lagi "Gue
pesenin sekarang."
Mirele mengedikkan bahu acuh. Melanjutkan kegiatannya
bermain game di ponsel. Sementara Ralin sudah memesan,
ketiga temannya yang lain asik melanjutkan cerita.
"Gibran chat gue nih El. Katanya kenapa lo gak bales chat nya
dia?" Kata Putra.
"Gak mood," balas Mirele cuek.
"Aduhhh El. Jangan gitu lah, Gibran itu peduli sama lo, dia aja
bela belain berantem sama Fazan demi bela elo. Gak kasian lo
sama dia?" Rika bberuca
"Gue gak minta dia bela gue."
"El! Jangan kekanakan gini lah. Lo tinggal bales chat dia apa
susahnya sih? Kalau dia enggak cari kak Fazan cuma buat
ngebela lo. Dia pasti udah kumpul sama kita kita disini.
Sadar!"
Brak!
Mirele menggebrak meja dengan keras. Mendengar ucapan
teman temannya yang seakan menyudutkannya dan
mempertegas bila akibat Gibran di skors adalah dirinya
membuat gadis itu kesal.
"Gue gak pernah minta dikasihani sama siapapun. Termasuk
lo semua. Jadi, jangan sok baik di depan gue kalau di
belakang kalian benci sama gue." Mirele berkata dengan
penuh penekanan
"Gue tau, kalian semua temenan sama gue cuma karena
kasihan kan? Padahal mah kalian benci sama gue. Gue yang
selalu main kasar, gak sebaik kalian, gak suka gabung." Mirele
menjeda kalimatnya.
"Kalau emang kalian gak niat temenan sama gue, mending
gak usah, di hidup gue udah terlalu banyak orang orang
munafik. Please, jangan tambahin lagi. Gue lebih baik sendiri
daripada dikelilingi orang orang yang gak tulus sama gue."
Setelah mengatakan hal itu, Mirele pergi dari sana.
Meninggalkan Putra, Ivan dan Rika yang termenung
mencerna ucapan Mirele.
Sementara Ralin yang tadi memesan makanan langsung
berlari mengejar Mirele. Gadis itu mendengar semuanya.
***
Galen bola basketnya ke dalam ring dengan satu kali
tembakan. Cowok kemudian menyisir rambutnya ke belakang
menggunakan jari, melepas headband hitam yang dipakainya.
"Kamu makin hari makin keren ya main basketnya," ujar
seorang gadis yang sejak tadi diam di dekat Galen menemani
cowok itu berlatih. Dia Aruna, teman sekelas Galen
Galen menoleh, cowok itu tersenyum simpul lalu mendekat
ke arah Aruna "Sejak kapan disini?"
Aruna tampak mengetuk ngetuk dagunya menggunakan jari
"Mungkin sekitar sepuluh menit yang lalu?"
Galen mengacak kecil rambut gadis itu "Kenapa gak bilang?"
"Kamu latihannya serius banget. Ga enak ganggu."
"Na, kamu kesini pasti ada yang mau di omongin kan?"
Aruna mengangguk, tersenyum manis menampakkan gigi
rapihnya "you know me so well heh?"
"Kita duduk disana," Tunjuk Galen ke arah kursi stadion.
Cowok itu berjalan terlebih dahulu, duduk di kursi stadion
diikuti Aruna yang beralih duduk di sampingnya.
"Nih minum dulu. Pasti kamu haus," Aruna menyerahkan
botol air mineral. Galen menerimanya "Makasi."
Aruna mengangguk menjawab ucapan Galen. Saat Galen air
yang diberikannya hingga tandas, Aruna terus
memperhatikan itu.
"Aku denger- Gibran di skors?"
Galen menutup botol air mineral itu. Cowok itu menoleh ke
arah Aruna "Iya,"
"Karena belain temennya?"
Galen kembali mengangguk. Sementara Aruna menghela
nafas kecil.
"Berapa lama masa skorsingnya?"
"Lima hari," sahut Galen
Aruna mengangguk paham. Gadis itu mengeluarkan sesuatu
di seragamnya. Galen memperhatikan itu, sebuah surat kecil.
"Aku udah bisa menerka kalau Gibran gak pernah mau baca
surat ini. Tapi boleh aku minta satu hal ke kamu?"
Galen mengangguk.
"Tolong bujuk Gibran sekali aja buat bales pesan dari aku,
ya?"
Galen paham. Dan Galen sangat menyadari dari lama, jika
Aruna menyukai adiknya itu.
***
"Kenapa ga bales chat chat gue?"
"Males." sahut Mirele yang men-speaker sambungan
teleponnya dengan Gibran.
"Lo ga kangen gitu El sama gue?"
"Engga tuh," sahut Mirele lagi. Gadis itu fokus dengan film
yang tengah ditontonnya di dalam kamar tidurnya sembari
tidur tengkurap.
"Boong banget. Gue gak percaya. Lo satu hari tanpa gue aja
kayanya kaya mayat hidup di sekolah."
"Pede banget."
Di seberang sana Gibran terkekeh.
"Matiin deh bran. Gue mau tidur, dah ngantuk."
"Ga percaya gue lo ngantuk jam segini. Biasanya lo jam tiga
aja masih online kan?"
"Itu dulu. Sekarang mata gue udah berat, gue ga mau besok
sekolah mata panda."
"Biasanya juga gitu," Balas Gibran yang membuat Mirele kesal
sekali.
"Tutup, atau gue block nomor lo?"
"Gue bisa teror lo pakek nomor gue yang lainnya."
"Lo ngeselin ya." Mirele mendengus kesal.
"Lo juga gemesin," sahut Gibran lagi dengan kekehannya.
Mirele menahan senyumnya sebenarnya, tapi gadis itu gengsi
lah. Yakali ia bisa termakan gombalan buaya dari Gibran.
Lama Mirele terdiam. Ia dapat mendengar di seberang
sambungan sana suara krasak dari Gibran.
"Dari Aruna,"
Mirele tampak asing dengan suara itu. Suara seorang kan? Ah
iya. Mirele kan sempat dikasi tau sama Gibran jika ia memiliki
kakak laki laki. Tapi Mirele tidak pernah melihat wujud kakak
laki laki Gibran. Mungkin saja itu memang suara kakak laki
laki Gibran.
Tiba tiba suara di seberang telepon sunyi. Mirele
memperhatikan layar ponselnya. Sambungan teleponnya
dengan Gibran masih tersambung, apa cowok itu
mensenyapkan suara sambungannya?
Mirele mengedikkan bahu acuh, karena kesal akhirnya Mirele
mendial tombol merah, mematikan sambungan teleponnya.
***
"Dari Aruna,"
Gibran menatap sebuah surat kecil yang masih ada di tangan
Galen tanpa minat. Cowok itu kembali menoleh ke layar
ponselnya, mensenyapkan sambungan teleponnya agar
Mirele tidak bisa mendengar percakapannya dengan Galen.
"Bisa ga sih dia berhenti buatin gue surat surat kayak gini?
Bukannya respect, gue makin ilfeel sama cewe kayak gitu."
"Lo bisa kan cuma sekedar baca? Dia gak minta lebih." sahut
"Udahlah. Untuk lo aja suratnya, gue ga butuh," Gibran
hendak kembali menuju arah tidurnya tapi bajunya ditarik ke
belakang oleh Galen.
"Bisa ga lo hargai sekali aja perjuangan dia? Dia gak minta
lebih."
Gibran terkekeh kecil "Justru dengan gue seakan akan baik
sama dia, dia akan jadi lebih berharap sama gue kan? Lebih
bagus dari awal gue udah beri dia peringatan, daripada dia
semakin berharap sama gue."
"Gue bukan lo yang baik ke dia, tapi ujungnya cuma anggep
dia sahabat." lanjut Gibran.
Galen menatap adiknya dengan pandangan datar "Apa
bedanya gue dan Aruna sama lo dan Mirele?"
Gibran menarik senyumnya ke atas "Udah gue bilang
sebelumnya sama lo, gue bukan lo yang baik ke cewek tapi
ujungnya cuma lo anggap temen. Gue anggep Mirele lebih
dari itu."
BAB 3
Pagi ini Mirele merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri.
karena akibat tidak memasang alarm kemarin malam, dirinya
menjadi telat datang ke sekolah.
Mirele memperhatikan Gerbang sekolah yang tertutup rapat
dengan helaan nafas gusar. Gadis itu berbalik badan,
memasang kembali earphone di kedua telinganya lalu mulai
melangkah menjauhi area sekolah.
Mirele bingung ingin kemana sebenarnya. Ia seperti tidak
punya arah tujuan. Jadi Mirele memutuskan memberhentikan
angkot lalu masuk ke dalamnya.
Di dalam angkot Mirele hanya diam. Tak memperdulikan ibu
ibu yang mengomeli anaknya ataupun suara kokokan ayam
yang berisik yang dibawa oleh seorang kakek tua.
Mirele fokus dengan pandangan kosong sembari
mendengarkan lagu.
"Diam! Ibu pusing denger kamu nangis terus."
Mirele yang semula acuh dengan keadaan mulai tertarik
pandangannya ke arah ibu ibu yang sejak tadi terus memarahi
anaknya. Mirele menarik kabel earphonenya perlahan.
"Ta- tapi ini sakit Bu.. hiks," Anak perempuan yang
mengenakan seragam taman kanak kanak itu terisak sedih.
Mirele memperhatikan lutut anak itu, ada luka yang cukup
besar disana.
"Gak usah cengeng. Ini juga bakalan sembuh." Ibu itu
menggeplak luka anaknya yang membuat sang anak semakin
terisak.
Mirele membulatkan matanya menyaksikan itu. Apa apaan
ibu itu. Apa begitu caranya menenangkan seorang anak?
"Ibu gak pantes disebut seorang ibu jika kasar kayak gitu."
Celetuk Mirele yang langsung menarik perhatian ibu itu.
"Jangan ikut campur kamu, jangan sok suci juga. Saya liat liat
dari dandanan sama gaya kamu kayak cewek murahan."
Mirele diam. Gadis itu menarik sudut bibirnya.
"Saya emang bukan orang yang pantes disebut baik baik. Tapi
saya masih punya akal untuk inget kalau dosa itu ada."
"Seenggaknya saya gak bejat kayak ibu," lanjut Mirele sarkas
yang mampu memancing emosi ibu itu.
"Gak sopan sekali ya kamu."
"Orang kayak ibu gak pantes di disopanin. Sama darah daging
sendiri aja jahat."
"Tutup mulut kamu." Ibu itu hendak menarik kasar tangan
Mirele. Tapi kakek kakek yang sejak tadi diam di samping
Mirele menahan tangan ibu itu.
"Jangan suka main kasar. Tangan kamu ini terlalu sering
menyakiti orang." kakek itu menyentak kasar tangan ibu itu.
Mirele memandang itu dalam diam.
"Anak kamu masih kecil, jangan dikasari. Kamu gak bakalan
pernah tau perbuatan kamu ini berdampak apa bagi dia
kedepannya." nasehat kakek itu yang tak digubris ibu itu.
"Pak! Berhenti disini," Ibu itu terlanjur muak dengan Mirele
dan kakek tua itu, setelah angkot berhenti, Ibu itu menarik
tangan anaknya mengajaknya keluar dari dalam angkot.
"Kamu tidak apa apa nduk?"
Mirele menoleh. Tersenyum singkat ke arah kakek tua itu
"Gapapa kek, makasi."
Kakek tua itu mengangguk. Angkot itu berhenti, Mirele mulai
menggendong kembali tas sekolahnya lalu keluar dari dalam
angkot. Sebelum itu, ia menoleh sebentar ke arah si kakek.
"Kakek manggil namaku?"
Kakek tua itu menggeleng, mengelus ayam yang dibawanya
"Tidak,"
Mirele mengerutkan dahi. Perasaan ada yang memanggil
namanya tadi. Jelas jelas ia tak salah dengar.
Tapi- mana mungkin juga kakek tua itu mengetahui namanya
kan?
***
"Gue dikasi tau sama Ralin kalau lo ga sekolah hari ini.
Kemana aja?"
Mirele menatap layar ponselnya tanpa minat "Gue di rumah,"
"Kenapa ga sekolah?"
"Gue bangun." Sahut Mirele seadanya.
"Dasar! Pasti lo semalem begadang kan?"
Mirele mengangguk menjawab pertanyaan Gibran "Udah ya
bran. Gue mau tidur,"
"Lo juga ngomong gitu pas vc kemarin tapi akhirnya lo
begadang, kan?"
"Sekarang gue beneran lagi capek banget."
Gibran hanya mengangguk. Ia bisa apa? Cowok itu tersenyum
sekilas "Yaudah. Tidur sana, awas aja lo ga tidur trus telat
sekolah lagi kayak tadi."
"Iyaaaa,"
"Jangan iya iya doang,"
Mirele berdecak kesal "Bodo amat. Gue matiin."
"Tung-"
Pip
Tepat saat sambungan terputus, pintu kamar Mirele dibuka
oleh seseorang.
"Kak Makan bareng yuk,"
Mirele menatap adiknya tak minat. Mawar yang diberi
tatapan itu sudah biasa. Gadis sepuluh tahun itu melunturkan
senyumnya, hendak menutup kembali pintu kamar Mirele
kala melihat respon tak bersahabat dari kakaknya.
"Mama Jovi mana?"
Mawar menahan pintu kamar Mirele. Gadis itu menarik
senyumnya kala kakaknya yang selama ini tidak pernah bicara
terhadapnya mulai bertanya sesuatu kepadanya.
"Mama dibawah kak. Ada papi juga. Mama suruh mawar
panggil kak El. Katanya makan bareng yuk,"
"Gue gak mau makan bareng kalian."
"Oh," kentara sekali suara mawar terdengar sedih. Gadis kecil
itu mengangguk "Tapi kak El belum makan dari pagi. Nanti
sakit. Mau mawar anterin makan ke-"
"Gak usah sok baik. Pergi!"
"Tapi-"
benci sama lo Mawar." Tanpa sadar Mirele membentak. Gadis
itu spontan terdiam melihat raut Mawar yang tampak
menahan tangis.
"Tapi mawar sayang sama kak El," setelah berucap itu, Mawar
menutup rapat pintu kamar Mirele.
Mirele menatap hampa pintu kamarnya yang saja ditutup.
Gadis itu menangkup wajahnya menggunakan telapak
tangan.
***
"Kamu apakan anak saya semalam?"
Mirele yang hendak menuruni anak tangga mengurungkan
niatnya kala disambut oleh suara ayahnya di belakangnya.
Mirele menghadap ke arah papinya. "El gak pernah ngapa
ngapain anak kesayangan papi itu.'
"Tapi dia nangis setelah Jovi nyuruh panggilan kamu ke
kamar. Pasti kamu bentak kan?"
"kalau iya papi mau apa?"
"Anak gak punya sopan santun! Malu saya punya anak kayak
kamu."
Mirele terkekeh hambar. Gadis itu menatap papinya dengan
pandangan nanar "Bukannya dari dulu papi gak pernah
nganggep aku anak papi? Ngomong ngomong soal sopan
santun, bukannya sepatutnya seorang anak diajarkan oleh
orang tua mereka tentang itu? Papi bilang aku gak punya
sopan santun kan? Ya! Karena sejak kecil papi gak pernah
nemenin aku belajar sedetik pun."
Yoga menatap anaknya murka "Anak gak berguna!"
"Papi udah terlalu sering bilang aku kayak gitu. Aku udah
capek pi,"
"Kalau saja ibumu tidak menyerahkan hak asuh ke tangan
saya, saya gak sudi tinggal sama kamu,"
Ayolah, hati anak mana yang tidak sakit mendengar kata kata
menyakitkan itu keluar dari mulut ayah kandungnya sendiri?
"El gak akan ingin dilahirkan jadi anak papi jika El bisa milih.
Tapi kenyataannya apa?" Mirele tertawa hambar. Kenapa ia
tidak menangis? Karena hatinya terlalu kebal mendengar kata
kata seperti itu setiap hari.
Kadang rasa sakit tidak hanya diungkapkan dengan air mata.
"Papi, jangan marahin kak El terus," Mawar menarik ujung jas
papinya. Gadis kecil itu menyaksikan sejak tadi ketika papinya
memarahi sang kakak dari jauh.
Mawar kasihan melihat Mirele yang setiap hari selalu
dibentak oleh papinya. Kadang gadis kecil itu juga heran,
kenapa papinya selalu saja marah marah kepada sang kakak.
"Mawar sayang, diem di kamar ya sama mama? Papi mau
bicara sebentar sama dia."
Mawar menggeleng "Papi pasti bakalan marah marah lagi
sama kak El. Mawar takut Pi,"
"Engga, papi gak bakalan marah lagi."
"Bohong."
"Mawar-"
"El sayang. Mama anterin ke sekolah yuk," Jovi datang
mereka. Wanita cantik itu mengelus bahu Mirele sayang yang
membuat Mawar senang melihat itu.
halnya dengan Yoga yang menatapnya saja.
"Gausah. Aku bisa pesen taksi." Tolak Mirele.
"Sudah saya bilang berapa kali sama kamu. Dia anak ga tau
diri, seenaknya aja. Dibaikin malah gak tau terima kasih,"
"Mas!" Jovi menatap tajam suaminya. Wanita itu menatap ke
arah Mirele tidak enak hati. Sementara Mirele mulai
menuruni anak tangga. Ia tak peduli dengan papinya yang
berkata hal yang buruk tentangnya.
***
"Jangan lupa dateng ya guys nanti malam."
"Oke Na," jawab teman temannya serempak yang membuat
Aruna tersenyum senang.
"Cieee ultah. Happy birthday na, semoga apa yang lo inginkan
terwujud ya,"
"Makasi Zan." Ujar Aruna kepada Fazan
yang berucap demikian.
"Selamat ultah ya na. Gue sama yang lain pasti dateng kok,
terutama ekhem- Galen," Ava menyenggol lengan Galen yang
berdiri di sampingnya.
Aruna terkekeh "Makasi ya semua. Lo semua emang harus
dateng. Nanti gue siapkan tempat khusus buat kalian."
"Wah wahh, siap." Jawab Robby, Ava, Jay, Fazan kompak.
"Oh iya Len, Aku ngundang Gibran dari kemarin lewat
whatsapp, tapi gak di bales bales juga. Jadi boleh aku ikut
kamu pulang nanti? Mau kasih undangan langsung ke dia."
Galen menatap Aruna tak enak. Cowok itu mengangguk
"Boleh,"
"Makasii Galen,"
"Sama sama."
Robby, Ava, Jay, dan Fazan memperhatikan itu. Setelah Aruna
kembali dengan aktivitasnya bercengkrama dengan teman
teman sekelas yang lainnya, Mereka mulai berbisik.
"Aruna masih suka sama adik lo Len?"
"Masih,"
"Respon Gibran gimana?" Jay bertanya
"Ya gitu- Gibran tetep gak mau denger tentang Aruna."
"Kacau nih, padahal kalau Gibran mau dateng nih ya, pasti
Aruna bakalan seneng banget."
"Gue coba bujuk dia nanti." Galen berkata
"Kalau dia tetep gamau?" Fazan menaik turunkan alisnya.
"Ya gimana lagi? Gue gabisa maksa,"
Yang lainnya hanya mengangguk.
Bab 4
Pulang sekolah, Galen benar benar menepati janjinya
mengajak Aruna ke rumahnya untuk membantu gadis itu
memberikan surat undangan secara langsung kepada Gibran.
Aruna membenahi rok sekolahnya ketika turun dari dalam
mobil Galen, sementara Galen melepaskan terlebih dahulu
sabuk pengamannya lalu menyusul Aruna yang di samping
badan mobil. "Rumah kamu keliatannya sepi."
Galen mengangguk. Rumahnya memang lebih sering sepi di
siang hari seperti ini. Mama dan papanya yang sibuk bekerja
lalu Gibran yang entah kemana. Selama masa skorsingnya,
Gibran tak pernah diam di rumah sepengelihatan Galen.
"Mungkin aja Gibran lagi ada di kamarnya,"
Bertepatan dengan ucapan Galen tersebut, suara deru motor
menarik fokus Galen dan Aruna. Keduanya sama sama
menoleh ke belakang, dimana motor yang dikendarai Gibran
baru saja memasuki pekarangan rumah.
Aruna melunturkan senyumnya kala melihat Gibran datang
bersama seorang gadis yang duduk di jok belakang motornya.
Galen memperhatikan itu, cowok itu tak melepas
pandangannya sampai Mirele yang dibonceng Gibran turun
dari atas motor adiknya.
"Kok ada lo?" Setelah turun dari atas motor Gibran, Mirele
yang bingung dengan kehadiran Galen dirumah Gibran
langsung menghampiri cowok itu.
Aruna mengerutkan dahi, apa maksud pertanyaan gadis itu?
Bukannya sepatutnya Galen ada di rumahnya sendiri?
Gibran melepas helm yang dikenakannya lalu meletakkannya
di atas jok motor dan beralih menghampiri Mirele yang
berdiri di hadapan Galen dan Aruna.
"Wait, lo temenan sama dia bran?" tanya Mirele menghadap
ke arah Gibran yang berdiri di sebelahnya. Gadis itu masih
bingung.
"Temenan?" Beo Aruna, "Kamu gak tau kalau
mereka kakak adik?"
"Hah?" Wah, apa ini? Kakak adik? Mirele
Gibran menuntut penjelasan.
Gibran mengangguk. "Galen kakak gue."
Mirele hanya bisa terdiam. "Lo gak pernah bilang ke gue,"
"Gue kira lo udah tau dengan sendirinya."
"Ck. Mana ada,"
"Oh, pantes kamu bingung," Aruna tersenyum tipis. Yang
membuatnya tersenyum sebenarnya karena Gibran berdiri
tepat di hadapannya.
"Ngapain lo ajak dia kesini?" tanya Galen kepada Gibran
sembari menatap ke arah Mirele sekilas. Mirele yang ditatap
hanya cuek, malah memainkan kuku kuku jarinya.
"Lo ngapain bawa dia kesini juga?" Gibran membalikkan
pertanyaan.
"Emm, aku mau kasih kamu undangan ini. Dateng ya bran,
aku ulang tahun hari ini." Gibran menatap tak minat ke arah
undangan yang
disodorkan oleh Aruna. Cowok itu dengan malas
menerimanya kemudian yang seketika membuat
senyum Aruna terbit.
"Makasi ya, karena udah terima undangan aku."
"Gue gak bakalan dateng."
Galen menatap tak suka ke arah Gibran. Tak bisakah adiknya
itu menjaga perasaan Aruna?
"Tapi kenapa?"
Gibran mengedikkan bahu acuh, "Gue gak suka pesta."
"Tapi-"
bisa kan gak usah maksa? Gue bilang gue-"
pasti bakalan dateng." Mirele memotong ucapan Gibran.
Cowok itu menatap Mirele tajam.
"Gak!"
"Bran!" Mirele membalas tatapan Gibran "Seenggaknya lo
ngehargain dia," Mirele.
"Gue gak suka sama dia El."
"Gue mau lo dateng kesana," Desak Mirele.
"Enggak tanpa lo." Putus Gibran.
"Maksud lo?"
Aruna dan Galen mendengar itu. Aruna menundukkan
pandangannya. Gibran sangat kekeuh tidak mau menghadiri
pestanya.
"Gue dateng kalau lo ikut gue kesana."
"Enggak. Apaan! Gue gak diundang," Mirele menolak.
"Gue bakalan dateng kalau Mirele di undang." Ucap Gibran
menatap ke arah Aruna dan Galen bergantian.
"Gibran!" Galen meninggikan
"Apa? Gamau? Fine, gue gak bakalan dateng."
"Oke, dia aku undang." Ujar Aruna akhirnya. Gadis itu
menerjapkan matanya, tak ada pilihan lain. Walau hatinya
sakit karena Gibran mengajak cewek lain, tetapi ia lebih
memilih jika cowok itu hadir di acaranya. Itu saja sudah cukup
baginya.
"El, lo yakin ke pesta ulang tahun pakek baju kaya gitu?" Ralin
memperhatikan penampilan Mirele dari bawah hingga atas.
Gadis itu menepuk jidat.
"Lo mau ke jadi anak band hah? Astagaa Mirele."
"Ribet. Lo mau gue pake gaun gaunan? Ogah." Mirele yang
lelah lantas merebahkan tubuhnya di ranjang kamar Ralin.
"Ya seenggaknya lo tampil feminim lah El. Wajah lo cakep,
masak dandanan lo laki gitu." Ralin berjalan menuju arah
lemarinya, ia ingin melihat lihat koleksi baju miliknya yang
sekiranya cocok dengan Mirele.
"Nih, dress gue yang pernah gue pake sekali doang pas ultah
mantan. Cakep nih, warnanya cakep. Lo pakek yang ini aja."
Mirele memperhatikan long dress itu, "Iuh banget. Lo kira
gue mau ngapain pake itu? Mana warna putih lagi."
Apa katanya? Ralin berdecak kesal. Lalu mulai melihat lihat
koleksi pakaiannya yang lain.
"Nah ini nih. Cakep banget, mau gak lo?"
"Lo mau suruh gue jadi jalang pake rok ketat kaya gitu?"
Ralin tersenyum masam. Sabar sabar, teman sabar disayang
pacar temen.
Gadis itu kembali mencari cari pakaiannya.
"Lo bakalan nolak yang ini? Cantik banget loh dress nya,
warna Lilac. Lagi jaman."
"Gak."
"Nah ini warnanya ngejreng. Cocok sih kayaknya sama lo."
"Gak sudi."
"Ini warnanya kalem. Kuning, kulit lo pasti bakalan cerah
banget pake baju ini."
"Gue gak suka warna kuning,"
"Pink. Plislah El sesekali pakai warna pink kek Jangan item
mulu."
"Alay. Isi mote lagi."
"GUE NYERAH!" Ralin merebahkan tubuh lelahnya di samping
Mirele yang sibuk mengotak atik ponselnya. Kamar Ralin
sudah tak terbentuk lagi karena pakaian miliknya yang
berserakan di atas ranjang.
"Pakaian gue mahal mahal ga lo suka sama sekali salah
satunya. lo sukanya yang kek gimana sih El?"
"Gue pakek yang kayak gini juga keren kali." Mirele
menunjukkan baju yang dikenakannya.
Kaos hitam oversize, celana jeans hitam. Iyasih keren, tapi
kalau di pakai ke acara birthday party kan gak nyambung.
Kayak salah kostum aja gitu.
"Serah lo deh, gue nyerah."
"Hm," Mirele berdehem.
"Jadi lo beneran bakalan pakai baju gitu?"
Mirele mengedikkan bahunya menjawab pertanyaan Ralin.
"Di lemari sana, ada baju baju gue yang lainnya. Serah deh lo
pilih pilih aja, yang penting jangan pake baju hitam hitam kek
gini."
Mirele menatap ke arah tunjuk Ralin, "Males."
"El. Please, lo kalau dandan pasti cantik."
Mirele berdecak malas. Gadis itu memilih menyumpal kedua
telinganya dengan earphone. Tak perduli dengan Ralin yang
mencak-mencak kesal di sampingnya.
"Awas kali ini lo gak mau. Gue beneran nyerah!"
Ralin beranjak dari atas ranjang menuju ke lemari pakaiannya
yang lainnya. Gadis itu membuka lemari itu, lalu memilih
milih gaun yang sekiranya mau Mirele kenakan.
Mata Ralin berhenti di salah satu dress miliknya. Dress itu
berwarna hitam tanpa lengan.
"Gue emang bakalan yakin banget dia nolak. Tapi itu anak
kalau ga dipaksa emang gabakal pernah mau."
membawa dress itu mendekati Mirele. Gadis itu
menggoyangkan kaki Mirele untuk membangunkan gadis itu
"Apa?"
Ralin tersenyum dengan memperlihatkan dress yang
dibawanya, "Ini cocok untuk lo. Hitam elegan."
Mirele menatap itu tanpa minat, "Udah deh Lin.Gamau gue."
"Ck. Please El, coba aja dulu. Cantik banget pasti di badan lo."
Mirele menggeleng, hendak kembali menutup matanya.
Tetapi buru buru Ralin menarik tangan gadis itu hingga siap
tak siap membuat tubuh Mirele menjadi terangkat.
"Lo harus coba ini! Gue gamau tau ya El. Lo ga kasian gue
capek capek milihin lo gaun?"
"Gak ada yang nyuruh lo milihin gue gaun!" Tukas Mirele.
"Titik ga pake koma lo harus ganti baju sekarang! Buruan."
Ralin mendorong tubuh Mirele memasuki walk in closet
miliknya.
"Gamau."
"Bodo amat,"
"Lin. Lo yaaa!"
Ralin menutup pintu walk in closet miliknya. Mengunci Mirele
yang berada di dalam. Gadis itu menepuk tangannya,
tersenyum cerah lalu kembali ke arah tempat tidurnya.
***
"Mama titip salam sama Aruna ya,"
Galen mengangguk, fokus memasang jam tangannya dengan
teliti ditemani Grizelle yang memperhatikannya dari
belakang.
"Diliat liat, kamu mirip banget papa kamu ya."
Galen tersenyum, setelah jam tangannya terpasang
sempurna, cowok itu membalikkan badan ke arah mamanya.
"Emang Gibran gak mirip sama papa?" Galen balik bertanya.
Grizelle mendekati anaknya. Wanita cantik itu membenahi
rambut Galen yang tampak sedikit berantakan dengan sedikit
menjinjit karena tinggi Galen yang jauh dengan Grizelle.
"Gibran lebih mirip ke mama kata orang orang," Balas
Grizelle. Wanita itu sudah selesai dengan kegiatannya
membenahi rambut sang anak.
Galen hanya membalas dengan senyuman
"Gibran hadir ke acara Aruna?"
Galen terdiam. Cowok itu menatap tepat ke arah bola mata
mamanya.
"Dateng," ungkapnya.
"Mama liat dia di rumah, Gibran bilang dia mau jemput
temennya."
Galen mengangguk. Ia tau kemana Gibran pergi. Sementara
disisi lain, tepatnya di rumah Ralin....
"Gila gila! Apa gue, lo cantik banget njir El sekarang." Ralin
memutar tubuh Mirele di depan cermin. Gadis itu berjingkrak
senang dengan hasil karyanya.
"Rambut lo kalau diginiin terus cekep banget sumpah." Ralin
Mengambil salah satu koleksi bando miliknya dan
memakaikannya ke kepala Mirele.
"Lo vibe ratu banget! Gue yang cewek aja terpesona, gimana
cowok cowok disana nantinya?" Ralin memberikan sentuhan
terakhir di bibir
"Lo bisa ngalahin yang punya hajat nanti El. Gue yakin,
mereka bakalan lebih terpesona sama lo dibanding kak
Aruna."
Mirele hanya diam. Gadis itu sangat malas sebenarnya hadir
di acara itu. Apalagi dress yang dikenakannya sangat
membuatnya tidak nyaman.
"Gibran udah di depan, buruan gih turun."
Mirele mengangguk, gadis itu hendak melangkah. Tapi Ralin
kembali menahannya.
lagi?"
"Lo gak mau pakek heels?"
"Heels?" Beo Mirele, "Gue pakek sepat-"
"Gak ada. Lo harus pakek heels. Gue pilihin dulu."
"Aduh ribet. Gue gak biasa pake heels. Ntar gue gimana?"
"Bisa El. Gue yakin lo bisa, nih pake." Ralin menyerahkan
heels berwarna cream ke arah Mirele.
"Tinggi banget buset."
"Namanya juga high heels," Balas Ralin lalu membantu Mirele
memakai heels itu di kaki mulus sahabatnya.
"Good luck, dear. Semoga lo ketemu jodoh disana ya!!"
"Gila!" Dengus Mirele yang mencoba jalan dengan high heels
itu."
Bab 5
Gibran berdiri begitu mendengar panggilan kecil dari arah
belakangnya. Cowok itu berbalik, termenung saat mendapati
kehadiran Mirele dan juga Ralin di samping gadis itu.
"Jangan terpesona gitu bran, gimana hasil karya gue? Cantik
kan?"
Gibran tersenyum. Cantik. Bahkan sangat cantik.
"Lo kenapa ga pake kemeja hitam sih bran? Biar serasi gitu
sama Mirele."
Gibran menatap jam tangan di pergelangan tangannya "Gini
aja gue sama Mirele udah serasi, kan?"
Mirele meraba lengannya yang terasa sangat dingin karena
AC di ruang tamu Ralin hidup. Gadis itu jarang sekali memakai
baju tanpa lengan seperti ini.
"Yaudah, buruan sama berangkat. Jagain temen gue Bran."
Gibran mengacungkan jempol "Siap laksanakan,"
Gibran mengulurkan tangannya menyambut Mirele. Gadis itu
memandang telapak tangan Gibran sebentar.
"Harus banget?"
"Ga harus sih," Gibran beralih mendekati Mirele lalu
merangkul pundak gadis itu. Ralin yang menyaksikan itu
senyum senyum di belakang.
"Good luck lo berdua!"
Gibran mengacungkan jempolnya seiring langkahnya dan
Mirele yang kian menjauh.
***
"HAPPY BIRTHDAY TO YOU.. HAPPY BIRTHDAY TO YOU...
HAPPY BIRTHDAY HAPPY BIRTHDAY HAPPY BIRTHDAY
ARUNA..."
LILINNYA TIUP LILINNYA TIUP LILINNYA SEKARANG JUGA
SEKARANG JUGA SEKARANG JUGA..."
Fyuh..
Aruna tersenyum haru setelah meniup lilin yang terpasang di
atas kue ulang tahunnya. Gadis itu ikut bertepuk tangan
melihat antusias orang orang disekitarnya.
"Semoga diberikan kebahagiaan Na," ujar salah satu teman
Aruna yang berdiri di samping gadis bergaun biru muda yang
sangat cantik itu.
"Makasi loh kalian udah sempet sempetin dateng." Aruna
membalas.
"Santai, sekalian reunian sama yang lainnya,"
"Sekarang tinggal potong kue,"
"POTONG KUENYA POTONG KUENYA POTONG KUENYA
SEKARANG JUGA SEKARANG JUGA SEKARANG JUGA,"
Aruna memotong kue ulangtahunnya menjadi beberapa
bagian. Gadis itu memotong kecil kecil lalu diletakkannya di
atas piring kue.
"First cake dikasih ke siapa nihh na?"
Aruna tersenyum "Tentu aja mama sama papa," Aruna
berjalan mendekat ke arah kedua orangtuanya yang berada di
dekatnya. Gadis itu menyuapi orangtuanya kue secara
bergantian.
Tepuk tangan mengiringi sampai Aruna kembali untuk
mengambil potongan kue yang kedua.
"Yang kedua untuk siapa Na?"
Bertepatan dengan itu Gibran dan Mirele baru saja
bergabung di kerumunan para tamu undangan. Mirele
menurun nurunkan dress nya yang disetiap langkahnya selalu
saja naik naik.
Gibran yang berdiri di samping gadis itu menahan lengan
Mirele "Lo ga nyaman?"
Mirele mengangguk "Gue ga biasa pake dress gini."
Gibran menggenggam telapak tangan Mirele. Gadis itu
menoleh "Malu Bran."
"Yaelah El. Santai," Gibran menuntun Mirele untuk semakin
masuk ke dalam kerumunan.
Gibran dan Mirele merasa asing berada di sana. Mirele tak
mengenal siapapun disini. Karena kebanyakan tamu
undangan adalah anak anak kelas duabelas teman teman
sekelas Aruna dan juga yang dekat dengan gadis itu.
"Yang kedua untuk sahabat gue, Galen."
Gibran dan Mirele menatap fokus ke pusat acara. ke arah
Aruna yang berjalan dengan anggunnya mendekati Galen.
Para tamu undangan kembali bertepuk tangan. Ada yang
bersiul dan terang terangan menggoda Aruna dan Galen yang
tampak serasi seperti pasangan.
"Kalau engga ada lo, mungkin gue udah mati kebosenan
disini." Bisik Gibran di samping telinga Mirele.
"Lo kenapa sih kaya gamau banget sama kak Aruna?"
Gibran menoleh "Gue ga suka aja,"
"Dia cantik-"
"Percuma cantik tapi gue ga bisa nyaman sama dia El."
Mirele diam. Gadis itu malas berdebat dengan Gibran. Ia tau
Gibran ini gimana. Cowok itu kalau dari awal ga suka ya susah
buat suka.
Sementara di sana, tepatnya Setelah Aruna memberikan
potongan kue ke Galen, gadis itu mengalihkan atensinya ke
arah Gibran dan Mirele yang tampak tengah berbincang.
Galen yang berada tak jauh dari Aruna memperhatikan arah
pandang gadis itu. Matanya langsung terfokus ke arah Gibran
dan Mirele berdiri.
"Lo nyadar ga sih cewek bar bar itu beda banget kalau lagi
feminim?" Ava berbisik kepada Galen, Jay, Robby dan Fazan
yang ada di dekatnya.
"Cantik banget buset. Kaya boneka." komentar Jay.
"Gue ga munafik kalau dia lebih menarik dibanding cewek
cewek yang ada disini. Termasuk Aruna," Robby ikut
menimpali.
Galen memperhatikan Mirele dari jarak yang cukup jauh.
Cowok itu memasukkan tangannya ke dalam saku celananya.
"Gibran sama cewek itu ada hubungan apa Len? deket
banget, bahkan adik lo itu bela belain ngehajar gue cuma
demi bela tu cewek." Tanya Fazan menatap ke arah Galen
yang sejak tadi hanya diam.
"Rumit ya. Aruna suka Gibran, tapi Gibran suka Mirele.
Bakalan lebih rumit kalau lo ikut adil juga Len."
"Maksud lo?"
"Gini gini, lo suka salah satu diantara mereka. Aruna kek atau
Mirele kek. Kan jadi cinta segi empat." Jay menerangkan.
"Mending jangan Len. Ga baik rebutan sama adik sendiri.
Apalagi rebutin cewek kayak Mirele," Ujar Fazan.
"Gue liat liat lo dendam banget sama tu cewek Zan. gitu lah,"
"Gue cuma ga suka aja sama cewek kasar kaya dia." Balas
Fazan acuh "Kalau sama Aruna, gue dukung lo sob,"
"Gue tim Galen Mirele aja deh. Biar beda," Jay menimpali
"Diliat liat lo sama cewek itu cocok tau Len. Dia bar bar, lo
cuek. Bakal susah nyatu sih emang, tapi kalau disandingin
bakalan klop banget."
"Gue tim Galen Mirele juga!" Tukas Robby.
"Gue tim diri gue sendiri sama Mirele. Galen sama Aruna aja,
gue yang sama Mirele." Ava terkikik
"Najis!" Robby memutar jengah bola matanya.
Galen hanya mendengarkan saja ocehan tak jelas teman
temannya. Cowok itu mengalihkan pandangannya ketika
maniknya dan Mirele sempat bertemu.
"SELAMAT MENIKMATI HIDANGANNYA PARA HADIRIN,"
Gibran menarik tangan Mirele lembut membawa gadis itu ke
salah satu meja. Mirele berjalan dengan hati hati sembari
memegang lengan Gibran. High heels yang ia kenakan sangat
menghambat gerak kakinya.
"Duduk sini, gue ambilin lo minum."
Mirele duduk di bangku meja bundar itu. Gadis itu
mengangguk "Jangan lama."
"Iya El," Gibran beralih berjalan meninggalkan Mirele sendiri.
Gadis itu memeluk tubuhnya saat merasakan dingin menerpa
kulit halusnya.
Gadis itu mengarahkan pandangannya kesana kemari. Ada
satu pasangan yang menghampirinya "Mirele kan? Anak kelas
sepuluh?"
Mirele mengangguk. Siapa dua orang itu?
"Gue Karin, Kakak kelas lo. Dulu kayaknya sempet nawarin lo
buat gabung sama team cheers."
Mirele mengingat ngingat. Gadis itu hanya mengangguk kecil.
Sepertinya memang ia ini tipe orang yang mudah lupa dengan
sesuatu.
"Gue boleh gabung disini?" Tanya Karin lagi.
Mirele mengangguk "Silahkan,"
Taukah kalian, Mirele merasa sangat kesal dengan cowok
yang dirangkul oleh Karin itu. Cowok sok ganteng itu terus
menatap dirinya sejak tadi. Mirele membenahi letak
duduknya, membawa rambutnya ke depan untuk menutupi
pundaknya yang terekspos.
Ia sangat tau tipe seperti apa cowok seperti cowok Karin itu.
Mirele memainkan kuku kuku jarinya sembari menunggu
kedatangan Gibran.
"Lo ikut eskul apa jadinya?" Karin kembali bertanya yang
otomatis membuat Mirele menoleh,"
"Musik," Sahut Mirele seadanya.
Karin mengangguk paham. Lalu kembali memfokuskan dirinya
berbincang dengan pacarnya yang tak berhenti mencuri
pandang ke arah Mirele.
"Aku mau ngambil minum dulu, kamu tunggu disini ya yang,"
Cowok Karin itu mengangguk "Aku nunggu disini,"
Karin tersenyum lalu melangkah pergi. Mirele merutuk Karin
dalam hati. Apa sedikit saja gadis itu tak sadar cowoknya
sejak tadi jelalatan memandang ke arahnya? Bodoh.
"Hai," sapa cowok Karin yang Baron itu kepada Mirele.
Mirele bergerak gelisah dalam duduknya.
Dimana pun Gibran berada sekarang, Mirele akan memarahi
cowok itu nantinya karena meninggalkannya sendirian begitu
lama. "Aku Baron, salam kenal." Baron mengulurkan
tangannya hendak berkenalan dengan Mirele.
"Mirele," sahut Mirele seadanya tanpa berniat membalas
jabatan tangan Baron.
Baron terkekeh kecil menatap uluran tangannya yang tidak
dibalas Mirele.
"Kamu cantik, aku gak pernah liat kamu di sekolah
sebelumnya."
Mirele tak merespon. Apa cowok itu tidak sadar Mirele risih
dengannya?
"Boleh minta nomor wa nya? Atau nama Instagram kamu aja
dulu, nanti aku follow."
"Ga punya."
"Sombong banget." Balas Baron dengan kekehan.
"Kak, jangan kelewatan. Inget udah punya cewek,"
Baron terkekeh lagi. Mirele rasa cowok itu sudah gila karena
sejak tadi terus saja tertawa.
"Karin gak ada apa apanya dibanding kamu. Kamu cantik,
sementara dia ngebosenin."
"Gila!" Mirele yang sudah tak nyaman hendak berdiri lalu
melangkah pergi untuk mencari Gibran, tapi dengan tidak
tahu malunya Baron menahan tangannya lalu menariknya
menjauhi kerumunan.
"Gak waras lo sumpah!" Mirele menyentak kasar tangan
Baron. Gadis itu membalikkan badan, hendak kembali ke
kerumunan orang orang, tapi Baron kembali mencekal
tangannya.
"Kita seneng seneng dulu, cantik."
"Lepasin gue." Mirele menendang kaki Baron dengan
heelsnya. Baron mengaduh, sebelum Mirele berhasil
melarikan diri. Lagi lagi cowok itu mencegat lengan gadis itu
lalu menyudutkan Mirele di sudut terpencil dari Rumah
Aruna.
"TOLONG!"
"Diem sayang. Kalau aja dari awal kamu ga sombong, kamu
gak bakal aku giniin."
"Brengsek!!"
Baron menekan bibir Mirele dengan jari telunjuknya "Bibir
cantik kamu ga cocok ngucapin kata kata kotor."
"Lepasin gue anjing. Gak punya malu ya lo jadi cowok."
"Hustttt, nanti orang orang denger sayang,"
"Najis!"
Baron kembali terkekeh "Kita seneng seneng dulu."
"Gila!"
Baron merapatkan tubuhnya dengan tubuh Mirele. Gadis itu
berusaha memberontak, tapi tangannya kembali dicekal oleh
Baron oleh tangan kiri cowok itu. Sementara tangan kanannya
digunakan untuk meraba pelan permukaan pipi mulus Mirele.
"Cantik,"
Mirele berdecih. Ia tak Sudi disentuh oleh cowok itu.
"Gibran gak ada apa apanya dibanding aku. Dia cuma anak
bau kencur."
"Seenggaknya dia ga biadab kaya lo!"
"Diem!" Baron berteriak kasar. Cowok itu sangat tak suka
melihat Mirele membangkang ucapannya.
"TOLONG GUE. SIAPAPUN!"
"AKU BILANG DIEM!"
"TOLONGGG!!!"
"DIEM SAYANG!"
BUGH
Kerah kemeja Baron ditarik ke belakang oleh seseorang.
Orang itu langsung memukul Baron bertubi tubi hingga
cowok itu terbatuk batuk mengeluarkan darah di sudut
bibirnya.
Mirele termangu. Gadis itu menatap ke arah orang itu.
"Galen?" Baron menatap Galen dengan pandangan kabur.
Kepalanya mengeluarkan darah segar akibat benturan batu
yang mengenainya ketika tersungkur.
"Lo emang ga pernah tobat." Galen menatap bengis Baron.
"Uhukk, gak usah- ikut campur!"
"Cowok brengsek kaya lo ga bakal pernah berhenti ngerusak
perempuan kalau di diemin." Galen menarik kerah kemeja
Baron, menatap cowok itu dengan tatapan tajam.
"Pergi lo dari sini!"
Baron terkekeh di sela sela kesadarannya yang mulai hilang
"Kenapa lo bela belain bela cewek sombong kayak dia?"
Baron menunjuk ke arah Mirele dengan jarinya.
"Udah dikasi selangkangannya lo sama dia?"
BUGH
Galen menonjok Baron tanpa ampun, untung tempat ini sepi.
Jadi tidak ada yang melihat aksi cowok itu yang sudah seperti
kesetanan.
"Galen cukup!" Mirele menarik Galen yang tak berhenti
Baron hingga babak belur. Gadis itu menghempas kasar
lengan Galen.
"Cukup! Gue bilang cukup!"
Galen menatap tajam ke arah Mirele "Gue gak bisa biarin-"
"Udah!" Mirele berteriak. Kepala gadis itu pusing melihat
adegan itu.
"Gue anter lo pulang." Ucap Galen pada akhirnya.
Mirele menolak. Gadis itu menggelengkan kepalanya "Gue
pulang sama Gibran,"
"Gibran lagi sama Aruna,"
Mirele terdiam. Gadis itu merenung. Gibran sama Aruna?
Baguslah, setidaknya Gibran ada gunanya datang ke pesta ini.
Tapi, pulang Dengan Galen? Mirele menggeleng.
"Gue bisa naik taksi,"
"Gue gamau lo kenapa napa,"
"Gue ba bakalan kenapa napa."
"Pakaian lo bisa mancing banyak kejahatan."
"Gue gak mau!"
"Keras kepala." Galen menarik tangan Mirele untuk ikut
bersamanya.
"Lepas. Gue gamau pulang sama lo!"
Bab 6
"Lo mau bawa gue kemana?! Ini bukan arah ke rumah gue!"
Mirele menoleh ke arah Galen dengan wajah kesal.
"Lo ga bilang arah rumah lo sejak awal."
"Seengaknya lo tanya lah!" Mirele mendengus kesal.
"Lo bisa inisiatif sendiri bilang ke gue?" Balas Galen yang
membuat Mirele bertambah kesal. cowok itu ya, ngejawab
aja!
"Lo kelas berapa sekarang?"
Mirele memincingkan matanya mendengar pertanyaan Galen
"Sepuluh. Kenapa?"
"Gue kelas duabelas."
"Trus apa hubungannya? Lo mau banding bandingin umur lo
sama gue?" Decak Mirele
"Lo bisa sedikit sopan manggil gue,"
Dih, Galen ini.
"Oh lo mau gue panggil 'kak'?" Galen diam. Tak merespon
dengan tetap fokus pada kemudinya dengan pandangan lurus
ke arah jalanan.
"Woy, kak Galen. lo denger gue gak sih?"
"Apa?" Galen mengarahkan pandangannya ke sekilas. Hanya
sekilas.
"Anterin gue ke rumah dong. Jangan kemana Jangan jangan
lo emang niat macem macemin gue ya?"
"Gausah geer."
Mirele memutar bola mata malas. Gadis itu melipat tangan di
bawah dada lalu membenahi posisi duduknya dengan benar.
"Yaudah makanya anter gue balik ke rumah gue."
"Gue laper,"
Trus apa hubungannya? Mirele kesal deh dengan cowok itu.
"Kita mampir makan bentar,"
"Gamau!" Tolak Mirele yang seketika membuat Galen
menatapnya.
Cowok itu tetap melanjutkan kemudinya hingga beberapa
saat kemudian mobil milik Galen terparkir di depan sebuah
Restaurant terkenal yang membuat Mirele seketika
meluruhkan
"Lo aja, gue diem di mobil."
Galen melepas safetybelt nya. Cowok itu menatap datar
Mirele "Lo ikut gue,"
"Gamau,
Galen turun dari mobil tanpa sepatah kata. Mirele yang
awalnya sudah sangat lega karena Galen tidak memaksanya
seketika terbengong saat pintu mobil sampingnya terbuka.
Pelakunya adalah Galen, cowok itu membukakan pintu mobil
untuknya.
"Gue gamau! Baju gue gak nyaman."
Galen tak bersuara. Cowok itu hanya menatap Mirele yang
membuat gadis itu mengumpat dalam hati.
Dengan berat hati Mirele turun dari dalam mobil. Wajahnya
tampak menahan kekesalan.
"Ayo,"
Mirele menatap Galen sekilas "Gue balik mob"
Mirele hanya pasrah ketika tangannya ditarik Galen
memasuki Restaurant tersebut.
***
"Mirele mana?"
Jay, Ava, Robby dan Fazan kompak menoleh saat Gibran tiba
tiba datang mendekati mereka.
"Tadi gue liat dia duduk disana kan sama lo." Sahut Fazan
menunjuk bangku yang tadi diduduki Mirele dan Gibran
hampir satu jam yang lalu.
"Dia gak ada disana."
"Pulang kali bran," Ava menyahut.
"Gue liat tadi dia ngobrol berdua sama Baron,"
Robby mengangguk "Gue liat sekilas doang. Karin ninggalin
Baron sama Mirele berdua di sana."
"Mana Baron sekarang?"
"Gatau. Setelah gue liat lagi kesana, Baron sama Mirele udah
gak ada."
"Shit." Gibran mengumpat. Siapa yang tak kenal Baron?
Cowok brengsek yang hampir dikeluarkan
dari sekolah karena terlalu sering membuat ulah.
"Telfon kek bran. Gue juga jadi khawatir nih sama cewek itu,
takutnya Baron ngapa ngapain," Timpal Jay. Diantara yang
lainnya, memang Jay yang paling peduli terhadap Mirele.
"Nomornya ga aktif."
"Lah kayak nomor Galen. Itu anak gatau kemana sekarang,
gue telfon telfon gak aktif. Main ngilang aja padahal dicariin
Aruna."
Gibran menatap ke arah Ava yang berbicara
demikian "Galen kemana?"
Ava mengedikkan bahu, menyesap minuman yang ada di
tangannya "Sekitar sejam yang lalu dia pergi mau ke toilet.
Trus gak balik balik."
***
Galen mengunyah makanannya perlahan dengan melirik
sekilas ke arah gadis di hadapannya yang sejak tadi hanya
memainkan makanannya dengan garpu dan sendok tanpa
berniat menyuap sekalipun makanan itu.
"Makan, gue tau lo gak ada makan apapun di acaranya
Aruna."
Mirele melirik Galen. Gadis itu hanya melirik tanpa membalas
apapun. "Di luar sana banyak orang yang kelaparan
karena gak bisa sekedar membeli sebungkus nasi,"
Mirele kembali melirik. Gerakan tangan gadis itu berhenti.
"Lo harus bersyukur sama apa yang lo makan di setiap
harinya. Lo ga bakal tau, orang orang di luar sana bisa makan
kaya lo apa engga,"
masih setia menatap Galen setelah cowok itu selesai
berucap.
"Makan," Galen menekankan. Mirele mengangguk, mulai
menyuap sedikit nasi itu ke dalam mulutnya. Mirele
sebenarnya memang tak selera makan sejak tadi, jadi sangat
susah ia menikmati makanan itu.
Keheningan melanda keduanya. Mereka sama sama bungkam
karena fokus terhadap makanan masing masing.
Dua belas menit kemudian mereka keluar dari Restaurant itu.
Galen masuk ke dalam mobilnya, cowok itu menutup pintu
mobil dan menoleh ke sampingnya yang kosong. Dahinya
berkerut, padahal tadi Mirele mengikuti langkahnya di
belakang.
berdecak. Cowok itu membuka kembali pintu mobilnya,
menoleh kesana kemari berharap kehadiran gadis yang
dibawanya tadi.
Ting!
Galen mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana.
Aruna
Len, dimana? Kamu udah pulang ya?
Galen mengalihkan pandangannya ke arah pintu Restaurant.
Disana ia menemukan kehadiran Mirele yang berjalan hati
hati dengan menenteng satu tas besar berisi makanan dari
Restaurant itu.
Galen melupakan pesan dari Aruna. Cowok itu memasukkan
ponselnya kembali ke saku celana hingga Mirele sudah
berada di dekatnya.
"Lo duluan aia gue bisa naik taksi."
Galen menggeleng "Gue anter,"
Mirele menggeleng lagi "Gue bisa sendiri. Gue mau-" Mirele
menjeda.
"Mau kemana?"
"Gue mau ke rumah cowo gue. Mau bawa makanan ini."
Mirele mengangkat kresek besar di tangannya.
"Cowo lo?"
Mirele mengangguk meyakinkan "Jangan lo kira gue gapunya
cowo. Gini gini cowo gue cakepр,"
Galen hanya berdehem.
Mirele melambai, kemudian pergi dari Galen bertepatan
dengan taksi yang berhenti di dekatnya. Galen terus
memperhatikan gerak gerik hingga taksi yang membawa
gadis itu berjalan menjauh dari kawasan itu.
***
"Terimakasih kak El!!!" Keenam anak itu menyerbu Mirele
dengan pelukan erat. Mirele berjongkok, memeluk keenam
anak itu dengan senyuman.
"Jangan lupa dimakan. Bagi bagi ya kalian, makannya juga
jangan di pinggir jalan sini,"
"SIAP KAK EL!!" seru enam anak itu semangat. Mirele
terkekeh lalu menuntun enam anak anak jalanan itu untuk
duduk di rerumputan dekat danau yang tampak gemerlap
pada malam hari itu.
"Wahhh makan ayam hari ini!!"
"Ada eskrim, Nana suka banget eskrim. Udah lama gak
makan,"
Mirele mengelus puncak kepala Nana. Gadis tujuh tahun yang
paling kecil antara yang lainnya "Kalau mau eskrim lagi, Nana
tinggal minta ke kak El ya."
Nana mengangguk, lalu menggeleng setelahnya "Eh tapi kan
Nana ga punya hp buat telfon kak El,"
"Nana gak perlu telfon. Nanti kak El bawain seminggu tiga
kali, Tapi gak bisa terus terusan Nanti gigi kamu sakit makan
manis manis terus."
Nana memamerkan gigi kelincinya "Baik kak El,"
"Pinter," Mirele kembali mengusap pucuk kepala Nana.
"Ayam gorengnya enak kak El. Makasih ya, karena kak El, Edo
sama adik adik bisa makan." Edo, anak laki laki berumur dua
belas tahun sekaligus yang paling tua diantara yang lain
berujar dengan senyuman merekah ditambah ayam goreng di
tangannya.
Mirele tersenyum haru, semakin mendekat ke arah yang
lainnya "Sama sama, asal kalian terus giat belajar, El janji
bakalan kasih kalian hadiah ga cuma makanan."
"Wahhh apatuh kak El?" Cia, si gadis berkuncir dua berumur
sembilan tahun itu menimpali.
"Rahasia. Nanti kak El kasih kalau kalian udah bisa ngafalin
perkalian satu sampai sepuluh."
"Edo mah udah hapal kak," Sahut Edo.
"Edo kakak kasih hadiah deh nanti, ajarin ya adik adiknya
supaya pinter kaya kamu,"
"Baik kak El!!"
Mirele tertawa, Ke enam anak itu melanjutkan acara makan
mereka dengan ditemani Mirele yang membuat sebuah
perahu dari kertas untuk keenam anak tersebut.
Mirele melepas high heels dari kakinya lalu meletakkannya di
dekat kaki ranjang. Gadis itu membawa langkahnya menuju
meja rias yang ada di kamarnya, ditatapnya pantulan dirinya
dalam dalam.
Mirele menumpukan kedua tangannya di atas rias saat
merasakan dadanya tiba tiba nyeri. Gadis itu menutup
matanya berharap sakit di dadanya mereda.
"El. Keluar kamu!"
Mirele membuka matanya perlahan begitu mendengar
teriakan papinya dari luar kamar. Gadis itu menetralkan
nafasnya lalu beranjak membuka pintu kamarnya dan
menemukan wajah papinya yang terlihat marah.
"Anak ga tau diri banget kamu. Pulang jam berapa ini? Udah
merasa jadi ratu kamu?"
Mirele menatap papinya datar. Gadis itu memegang knop
pintu dengan Erat.
"Pi, aku cape."
Yoga terkekeh kecil "Saya ga peduli. Saya ingetin, jangan kamu
seenaknya pulang malam kayak sekarang. Jangan seenaknya
pulang semau kamu."
Sahut Mirele seadanya. Ia sudah terlanjur capek mendengar
kemarahan papinya.
Yoga pergi tanpa sepatah kata lagi. Mirele memperhatikan
punggung tegap papinya yang semakin menjauh. Gadis itu
kembali masuk ke dalam kamar, lalu mengunci pintu
kamarnya dengan rapat.
"Kapan Pi, kapan papi sekali aja halus kalau ngomong sama
aku?"
BAB 7
"Aku ga butuh nasihat kamu! Aku pusing kamu selalu minta
ini itu."
"Mas! Aku ga minta macam macam sama kamu. Aku cuma
mau kamu hargai anak kamu, itu aja! Mirele anak kandung
kamu. Dia butuh kasih sayang kamu, bukan bentakan kamu!"
Jovi menatap sang suami nyalang.
"Kamu ga usah peduli sama anak itu. Anak kamu Mawar.
Antar dia ke sekolah,"
menatap suaminya tak percaya "Mirele juga anak aku mas
walau bukan aku yang melahirkan dia. Aku sayang dia sama
seperti aku menyayangi Mawar. Sementara kamu? El anak
kandung kamu. Apa yang membuat kamu tega sama dia?"
"Diam! Aku pusing denger suara kamu. Anterin Mawar ke
sekolah, aku ga mau Mawar terlambat datang ke sekolah."
Yoga merapikan dasinya dengan menatap ke arah kaca.
"Aku ga paham mas sama kamu. Kamu begitu
menghawatirkan Mawar tapi Mirele kamu campakan? Apa
pernah mas sekali aja peduli sama sekolahnya Mirele? Mawar
dan Mirele sama sama anak kandung kamu. Jangan egois
mas!"
"DIAM!" telapak tangan Yoga bergetar saat merasakan panas
setelah reflek menampar pipi Jovi. Laki laki itu menggeram.
"Pukul aku jika itu membuat kamu puas mas."
"Jangan menyulut emosiku lagi kalau kamu gamau aku pakai
kekerasan!" Tekan Yoga.
"Ini gak seberapa dibanding luka yang diterima Mirele atas
tindakan mas selama ini." Jovi berujar.
"Dia lagi dia lagi. Kamu bisa ga sih berhenti ngebela dia?"
"Dia anak aku! Aku masih punya hati untuk memahami
perasaan dia mas."
"Dia bukan anak kandung kamu. Kamu sama gak ada
hubungan darah sama dia!"
"Membela orang gak harus memandang darah sekalipun
mas! Dia putriku, sama seperti Mawar."
"Terserah!" Yoga hendak melangkah. Tetapi Jovi menahan
lengannya
"Aku ga tahan sama kamu mas." Lirih Jovi dengan mata
memerah
"Kamu mau pisah? Aku urus semuanya."
Jovi diam. Wanita itu memang sudah sangat tidak tahan
dengan sikap kasar suaminya itu. Yoga terlalu keras.
Seandainya pun mereka berpisah, Jovi akan berusaha untuk
membawa Mirele bersamanya.
"Ya! Lebih baik begitu, kamu gak bisa menghargai anak
kandung kamu sendiri mas, apalagi perempuan."
"Tutup mulut kamu!" Yoga hendak melayangkan tangannya
sebelum suara Mirele menghentikan pergerakannya.
"Cukup Pi, cukup!" Mirele dengan seragam sekolahnya
mendekat ke arah Yoga dan Jovi. Gadis itu menatap keduanya
bergantian.
"Cukup aku liat papi selalu kasar. Aku cape pi,"
"Anak gak tau diri." Yoga membentak.
"Aku tau. Papi terlalu sering ngucapin itu, aku tau aku gak
berguna bagi papi. Tapi jangan sakitin mama Jovi. Dia ga
salah."
"Dia ngelawan saya karena membela kamu!"
"Cukup mas. Apa yang kamu katakan tadi jangan sampai
menjadi penyesalan besar nantinya."
"Saya ga peduli."
Mirele menghela nafasnya "Bisa ga sih papi hargai
perempuan? Mama Jovi istri papi. Cukup mami aja yang papi
kasarin dulunya."
Mata yoga berkilat marah mendengar penuturan Mirele.
"Papi punya dua anak perempuan Pi. Pernah ga sih papi mikir
kalau aja aku dan Mawar disakitin nantinya sama laki laki
persis seperti apa yang papi lakukan ke mami dan mama
Jovi?"
"Saya ga peduli tentang kamu. Ingat itu."
"Keterlaluan kamu mas." Air mata Jovi kasihan dengan Mirele
yang diperlakukan tidak pantas oleh ayahnya sendiri. Yang
membuat hatinya mencelos karena Sedikitpun Mirele tidak
meneteskan air mata. Terbuat dari apa hati anak itu?
"Kalau papi ga peduli sama aku. Seenggaknya papi inget
Mawar. Papi sayang banget kan sama Mawar? Gimana kalau
Mawar liat papi tampar mamanya kayak tadi? Apa papi masih
bisa memastikan Mawar ga akan marah sama papi? Gimana
kalau Mawar dapet cowok yang kasar nantinya? Apa papi gak
akan marah? Marah pun papi gak ada gunanya, Pi. Papi
sendiri gak bisa menghargai perempuan, gimana bisa papi
berharap anak perempuan papi dihargai sama laki laki lain?"
Jovi memeluk tubuh Mirele. Wanita itu menangis sejadinya
"Kamu terlalu berharga El, Bagi mama"
"Dengan proses sosialisasi, individu berkembambang menjadi
suatu pribadi. pribadi tersebut merupakan kesatuan integral
dari sifat-sifat individu yang berkembang melalui proses
sosialisasi. Menurut F.G robins ada lima factor yang menjadi
dasar terbentuk kepribadian-
Ralin menoleh ke arah samping saat lagi lagi Mirele melamun
disaat guru tengah menjelaskan. Gadis itu melambaikan
tangan di depan wajah Mirele.
"El. Lo sakit?"
Mirele menoleh, lalu lantas menggeleng "Gue gapapa."
Ralin menyentuh leher Mirele dengan punggung tangannya
"Panas," lantas gadis itu beralih menyentuh kening Mirele
"Badan lo panas El. Lo demam?"
Mirele menggeleng "Udah biasa," Sahutnya.
"Tapi-"
"Yang dibelakang. Kenapa kalian ngobrol? Tidak
mendengarkan saya menjelaskan?"
Ralin berdiri "Maaf pak, Mirele demam, jadi saya niatnya
ngajak dia ke UKS." Ungkap Ralin yang seketika membuat pak
Syamsuddin mengalihkan atensinya ke arah Mirele yang
tampak pucat di tempat Begitupun dengan pandangan
seluruh teman sekelasnya yang seketika langsung menatap
Mirele.
"Kamu sakit? Ke UKS mendingan."
"Yuk El. Muka lo pias banget tau,"
"Serius gue gapapa kok."
"El. Mending lo istirahat di UKS," Putra yang duduk di depan
Ralin dan Mirele berucap Sebelum Mirele menolak, Ralin
langsung menarik tangan Mirele "Nurut El. Lo sakit ini."
Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Mirele dan Ralin
berjalan berdampingan di sepanjang koridor yang membawa
mereka untuk menuju keluar area sekolah.
"Lo begadang lagi kan El? Ngaku." Ralin menoleh ke arah
Mirele yang menggeleng. Gadis itu mendengus.
"Muka lo pucet banget tau ga. Ga pernah gue liat lo lemah
kaya gini,"
"Gue ga lemah." Mirele menekan kata katanya. Ia paling tidak
suka dianggap lemah oleh orang lain.
"Iya iya. Coba gue cek suhu badan lo sekarang." Ralin
menempelkan punggung tangannya di dahi Mirele, "Lumayah
lah, gak sepanas tadi. Pokoknya nanti lo harus minum obat.
Kalau perlu kita ke dokter sekarang."
"Ga. Gua ke dokter, besok juga sembuh,"
Ralin menghela nafas. Mirele ya Mirele. Gadis keras kepala
yang tidak bisa ditentang.
"Yaudah iya. Engga ke dokter. Tapi jangan nolak untuk minum
obat."
Mirele hanya berdehem. Bertepatan dengan obrolan mereka
yang terhenti, kedua gadis itu juga menghentikan langkah
mereka begitu dihadang oleh seseorang bertubuh tinggi di
depan mereka.
"Kak Galen?" Ralin membulatkan mulut.
Speechless melihat Galen dari dekat. Nih ya, ini kali pertama
bagi Ralin menatap Galen dalam jarak sedekat ini. Gadis itu
menepuk lengan
Mirele yang hanya diam dengan pandangan
datar. Wajah pucat gadis itu membuat Galen yang
memperhatikannya sedikit mengerutkan dahi.
"Lo sakit?"
Ralin dua kali speechless ketika mendengar penuturan Galen.
Itu Galen kan? Wait- Galen dan Mirele sejak kapan dekat?
"Engga." Jawab Mirele yang membuang
pandangannya ke arah lain.
"Gue anter pulang."
Ralin menerbitkan senyum, menoleh ke
arah Mirele dengan senyuman menggoda.
Disenggolnya lengan Mirele yang hanya diam.
"Lo ditawarin kak Galen balik bareng tuh,"
"Lo aja." Sahut Mirele yang membuat Ralin
menatap gadis itu tak percaya. Ralin mengalihkan atensinya
ke arah yang menunggu. Gadis
itu kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Mirele.
"Gue sebenernya ya mau El. Tapi gue juga mikir kali. Kak
Galen nawarinnya elo. Ya masa gue yang
pulang bareng kak Galen."
"Whatever. Gue pulang naik taksi."
Galen menahan lengan gadis itu yang hendak
berlalu pergi. Keduanya bersitatap, dengan
pandangan tajam dari keduanya. "Gue gamau ya kak adu
mulut sama lo." Mirele
Gadis itu ingin segera pulang untuk
mengistirahatkan tubuhnya yang terasa sangat
lemah hari ini.
"Dengan lo nerima tawaran gue, itu
adu mulut yang lo maksud." Galen
menarik sudut bibirnya.
Mirele menghela nafas "Fine."
Gibran
Lo udah balik El?
Ada yang jemput? Mau gue jemput gak?
menoleh ke arah sampingnya. Tepatnya ke
arah Galen yang duduk di kursi kemudi dengan
pandangan cowok itu yang lurus ke arah jalanan.
Gue udah pulang.
Tak butuh waktu lama bagi Mirele
kembali balasan chat dari Gibran.
Sama siapa?
Galen?
Orang.
Mirele mengerutkan dahinya. Darima Gibran tau?
Lo
Dia bilang ke gue. Gue kira lo ga bakal mau dianter dia.
Btw, sejak kapan kalian Deket?
Gue ga deket sama dia.
Dia yang maksa nganter gue.
Oh gitu,
Ck. Susah ya sama cewe ga peka.
Maksud?
Engga El. Lo sakit kata Ralin? Gue nanti mau ke rumah lo.
jangan kemana mana. Inget minum obat.
Kenapa?
Bohong.
Eh gausah.
Gue udah sembuh bran.
Brannn, please. gue pengen sendiri
Gitu ya? Yaudah get well soon El.
Thanks bran.
"Chat sama siapa?" Suara Galen mampu menarik
atensi Mirele untuk menatap ke arah cowok itu. "Adik lo."
Sahut Mirele langsung.
mengangguk. "Lo tau soal Aruna
suka sama Gibran?"
Mirele menoleh, ada apa Galen membicarakan
soal ini kepadanya?
"Antara tau dan gatau." Sahut gadis itu cuek.
"Belok kanan?" Galen bertanya. Dan Mirele mengangguk
"Lo ga perlu anter gue sampe depan rumah deh
kak."
Galen menoleh, "Gabisa."
"Ck." Decak Mirele "Serah lo
Galen tersenyum tipis mendapati raut kesal Mirele. Walau
gadis itu pucat, gurat tegas di
wajahnya tak pudar sedikitpun.
Mobil Galen berhenti tepat di depan gerbang
rumah Mirele. Mirele membuka safetybelt lalu
hendak membuka pintu mobil, tapi lagi lagi Galen.
menahannya dengan mengunci pintu mobil
secara manual yang membuat Mirele menoleh
kesal ke arahnya. "Bukain." tekannya
"Jangan lupa minum obat." Setelah mengucapkan kata itu.
Galen mengalihkan pandangannya ke depan. Mirele masih
terdiam dengan tangan yang
berada di handle pintu mobil.
"Lo bisa keluar sekarang." Ujar Galen kemudian yang
membuat Mirele seketika tersadar. Gadis itu
membuka pintu mobil disampingnya lalu keluar
sana dengan menenteng tas sekolahnya.
"Thanks," Mirele berlalu dari sana.
***
Malam harinya Galen tengah berada di rumah sakit
mengantar Grizelle yang sedikit tak enak badan. Cowok itu
menunggu di depan ruang pemeriksaan. Galen merogoh saku
jaketnya mengambil ponselnya yang berada di sana.
Cowok itu membuka aplikasi WhatsApp. Dengan ragu
membuka kontak Mirele yang disimpannya pagi tadi berkat
Ava yang memberikannya. Entahlah Ava dapat dari mana
kontak Mirele
Jari jari Galen menari di keyboard ponselnya itu.
Gadis Batu
Udah minum obat?
Galen menatap pesan yang dikirimkannya itu dengan
pandangan lurus.
"Gila kali gue." Galen men-lock ponselnya. Kenapa juga ia
harus bertanya demikian kepada Mirele?
Ting!
Bunyi Notifikasi WhatsApp yang berasal dari ponselnya
membuat Galen menghidupkan layar ponselnya, lalu segera
membuka aplikasi WhatsApp nya.
Siapa?
Singkat. Dan Galen sudah terlanjur membaca pesan itu.
Orang.
Dih lucu.
Galen.
Hah??
Oh kenapa?
Gue Galen.
Gue ga sakit.
Udah minum obat?
Jangan sok kuat.
Ck. Terserah kak Galen.
Gue ke rumah lo habis ini.
Entahlah. Galen pun tak mengerti kenapa ia menjadi peduli
dengan gadis itu.
Ngapain? Mau numpang makan?
Bawain obat.
Gue ga sakit ya kak Galen. Jangan deh, mending uangnya lo
simpen buat masa depan lo nanti.
Gue gak kekurangan uang.
Sombong amat.
Apa?
Udah?
Udah save nomor gue?
Belum.
Save.
Gak ah.
Yaudah.
Iya iya, gue save.
Galen tak membalas lagi. Cowok itu masih stay di roomchat.
Mirele kembali mengiriminya sebuah foto
Udah gue save.
Galen tersenyum melihat pesan itu. Cowok itu
kemudian ikut menangkap layar kontak Mirele
untuk kemudian dikirimkannya ke gadis itu.
Kok nama gue???
Galen terkekeh kecil. Tak sadar jika Grizelle sudah keluar dari
ruang pemeriksaan dan menatap ke arah layar ponsel
anaknya itu lalu tersenyum
kecil.
"Anak mama lagi jatuh cinta?"
Galen langsung menutup ponselnya. Beralih
berdiri saking terkejutnya mendapati Grizelle yang ternyata
sudah selesai pemeriksaan.
"Mama udah selesai? Gimana kata dokter?"
masih senyum menggodanya "Mengalihkan ucapan mama
hm?"
Grizelle mengacak rambut putranya "Mama
gapapa. Cuma kata dokter mama kurang istirahat aja."
Galen mengangguk "Mama jangan sibuk kerja
terus. Besok harus istirahat full oke?"
Grizelle mengangguk "Iya sayang."
"Yaudah kita pulang," Galen merangkul bahu mamanya
menuntun Grizelle berjalan. Ibu dan
anak itu lebih pantas terlihat seperti kakak dan
jika orang orang salah mengira.
Wajah cantik dan tegas Grizelle yang tampak
masih muda sangat mengimbangi Galen yang
berusia delapan belas tahun.
"Tadi siapa? Pacar kamu?"
menatap mamanya "Bukan."
"Serius? Kalau ga salah namanya gadis batu?
Spesial kayaknya."
"Temen aku ma,"
"Masa? Aruna?"
Galen menggeleng.
"Punya dua anak laki laki sama aja ternyata.
Kalian mem-spesialkan gadis tanpa mau
berstatus." Grizelle terkekeh.
Galen terdiam. Cowok itu kemudian membukakan
pintu mobil untuk Grizelle, lalu setelahnya Galen mengitari
mobil menuju ke kursi kemudi.
"Kamu tau Mirele gak sayang?" Grizelle membuka
topik obrolan.
"Tau." Sahut Galen singkat.
"Gibran kayanya suka sama temennya itu."
Galen mengangguk, ia tahu itu.
"Mama deh ketemu sama Mirele."
menatap
"Mau mengenal, Mirele itu gadis yang gimana
sampai membuat Gibran menolak Aruna yang
cantik." Grizelle berkata demikian sembari
membuka ponselnya melihat beberapa pesan
yang dikirimkan Alin dan Ratan di dalam grup
yang masih ada dari jaman SMA hingga sekarang.
Ngomong ngomong soal Alin dan Ratan. Kedua temannya itu
sudah hidup bahagia dengan masing masing. Alin dan dengan
Ratan dan Rana. Alin dan Ary yang dianugerahi satu orang
putra sedangkan Ratan dan Rana memiliki anak kembar yang
masih
duduk di sekolah menengah pertama bernama
Dave dan Devi.
"Ma.."
"Hm?" Grizelle mengalihkan pandangannya ke
sang putra.
"Kalau seandainya Galen dan Gibran mencintai gadis yang
sama gimana?"
Bab 8
Mirele mendudukkan dirinya di sofa merah yang berada di
dalam sebuah club mewah yang tengah dikunjunginya. Gadis
dengan dress pendek berwarna dark blue itu menurunkan
sedikit dress di atas lututnya agar menghindari sedikit
tidaknya hal aneh aneh yang memancing mata lelaki untuk
menatapnya.
"El, gabung ke dance floor yuk. Udah lama lo gak dansa
bareng kita kita."
Mirele menggeleng. Menolak ajakan temannya yang
bernama Lizzy itu. Jika bukan karena desakan teman SMP-
nya yang mengajak reuni di club ini, Mirele juga males untuk
datang sebenarnya.
"Lo mah ga asik El." Celetuk cowok yang baru saja
menghampiri mereka. Namanya Roland, kekasih Lizzy.
"Diem! Kalau El gamau gak usah dipaksa, lo enjoy aja El. Nanti
yang lainnya pada dateng kok, gue sama Roland kesana ya."
Mirele mengangguk. Lizzy dan Roland berlalu untuk
bergabung dengan yang lainnya ke dance floor, meninggalkan
Mirele yang entah akan melakukan apa disana. Teman
temannya yang lainnya sibuk dengan kegiatannya masing
masing.
"Red wine?" Seorang laki laki casual menyodorkan berisi red
wine ke hadapan Mirele. Gadis itu mendongak, merasa asing
dengan laki laki itu.
"Engga." Tolaknya.
"Gue Dimas, kakaknya Lizzy." Ujar Laki laki itu yang memilih
duduk di samping Mirele yang tampak sedikit tak nyaman.
Tentang fakta itu, Mirele bahkan baru mengetahui jika Lizzy
memiliki kakak laki laki. Wajar, Mirele tak pernah datang ke
rumah Lizzy selama mereka bersahabat tiga tahun di SMP.
"Lo Mirele. Bener?"
"Iya," Sahut Mirele seadanya. Matanya menjelajah untuk
menemukan sosok Lizzy yang tampak bahagia meliuk liukkan
tubuhnya di dance floor.
gabung sama yang lain?"
Mirele menggeleng.
"Mau Rokok?" Mirele menoleh begitu mendengar ucapan
Dimas. Laki laki itu menyodorkan satu batang rokok bersama
pematiknya.
"Gue ga ngerokok,"
Dimas terkekeh kecil "Kata Lizzy, dulu lo gak bisa kalau gaada
rokok."
"Itu dulu-" Ya. Dulu Mirele memang perokok. Dimulai dari
jaman kelas tiga SMP hingga lulus. Gadis itu juga peminum
dan sering keluar masuk club semenjak berteman dekat
dengan Lizzy semasa SMP.
Memang sangat liar, tapi Mirele sudah merubah
pergaulannya semenjak SMA.
"Udah lama ga ngerokok? Wow, lo hebat."
Mirele diam. Tak membalas ucapan Dimas, hingga Dimas
yang merasa diabaikan berdehem singkat. Meneguk wine
yang ada di dalam gelas kecil ditangannya lalu kemudian
bersandar di punggung sofa. Dengan tangan kanannya yang
berada di belakang pundak Mirele.
"Gue mau ke toilet dulu deh kak," Mirele berdiri, mulai
melangkah meninggalkan Dimas yang terdiam menatap
punggung Mirele yang menjauh.
Sementara disisi lain, Mirele saat ini sudah berdiri di depan
cermin yang berada di dalam toilet di club itu. Gadis itu
mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, lalu mendial nomor
Ralin menghubungi gadis itu.
"Ya El?"
"Lin. Dextran club. Lo bisa ga kesini?"
"What? Lo nge club lagi El? Sama siapa? Lo ga тасет тасcem
kan?"
Mirele memutar bola mata malas "Gue diajak reuni,"
"Hadehh, sama si Lizzy Lizzy itu lagi? El. Lo jangan terjerumus
lagi."
"Iya, makannya kesini. Jemput gue ya."
"Demi lo nih gue nunda night routine gue. Tunggu disana,
jangan macem macem lo. Dua puluh menitan gue sampai."
"Thanks,"
"Iya El. Sama sama."
"Lepasin saya! Dasar anak kurang ajar." Lelaki tua itu jatuh
terduduk karena tidak bisa menjaga keseimbangannya. Galen
melepaskan tangan laki laki tua itu lalu kembali mengajak
Mirele menjauh dari sana.
Tempat ini benar benar Neraka baginya. Ketika mereka
berdua sudah tiba di parkiran club, Galen melepaskan
genggamannya dari tangan Mirele, lalu beralih menatap
Mirele.
"Kak, makasih."
Galen menaikkan sebelah alisnya.
"Makasi udah jagain gue." Lanjut Mirele dengan raut serius.
Galen mengangguk "Jangan kesini lagi tanpa gue. Lo ga tau
apa yang bakalan terjadi kalau lo ga bisa jaga diri lo sendiri."
"Iya.."
"Masuk, gue anter pulang."
"Kak.."
Galen menoleh.
"Gue boleh nginep di tempat lo ngga? Maksud gue-malam ini
aja,"
BAB 9
Sepertinya keputusan Mirele untuk menginap di
rumah Galen sangat disesalkan oleh gadis yang
dengan pakaian yang dikenakan saat ke
club tadi itu. Mirele tercengang ketika masuk
ke rumah Galen, dirinya langsung disuguhkan
banyaknya orang di rumah besar keluarga Aldenra itu.
"Kak, gue pulang aja deh ya," Galen menahan
tangan Mirele saat melihat gadis itu hendak pergi.
"Gue malu kak! Kalau tau di rumah lo rame gini, gue ga jadi
pengen nginep deh,"
Galen menahan senyum. Cowok itu tak ucapan Mirele.
Dirinya malah
menggenggam tangan Mirele lalu membawa gadis itu
mendekat ke arah sepupu sepupunya
yang berkumpul di meja yang ada di dekat tanggarumahnya.
"Bang Galen!!!" Seruan itu terdengar saat Galen datang
mendekat. Genggaman tangan Galen pada
tangan Mirele terlepas ketika beberapa sepupunya
memeluk tubuh tegap cowok itu yang membuat
Galen berjongkok menyamakan tingginya dan sepupu sepupu
kecilnya itu.
"Dave Devi kangen banget sama bang Gal!" Dave
dan Devi Sanjaya. Duo kembar anak dari
Ratan dan Rana tersenyum sumringah ketika
kepala keduanya dielus oleh Galen.
"Zetha juga kangen, Bang Galen harus peluk Zetha
pokoknya!" Gadis berumur 14 tahun yang berusia
sepadan dengan Dave dan Devi itu memanyunkan
bibir saat mendapati Galen hanya memeluk dua
twins itu dan mengabaikannya. "Zetha cemburu tuh bang. Lo
mah gak peka," Celetuk Takshaka yang duduk menyesap
minuman di tangannya. Cowok itu hadir di rumah Galen
karena paksaan kedua orangtuanya. Padahal Shaka tadinya
berniat menghabiskan malam Minggu dengan Kencana.
Sudah mengenal Shaka belum? Cowok berbadan itu anak
tunggal Ary dan Alin.
Nama lengkapnya Takshaka Alterio Gandiswara.
Tapi kata saka, gak usah isi Gandiswara juga gak
papa. Cukup Taksaka Alterio saja sudah keren,
Tapi saat berada di depan papanya. Bisa
dipukul Shaka karena dianggap tak bersyukur
menyandang marga 'Gandiswara'.
kepada Clarissa.
"Ikut, mereka sekalian liburan juga di indo
katanya. Kangen makanan indo. Apalagi kak
Aurel udah lama banget ga pulang kan," Jerricho.
Suami Aurel yang merupakan pria keturunan
Australia asli. Aurel menikah dan menetap di setelah Galen
lahir kala itu. Aurel benar benar memulai kehidupan barunya
di negara itu dan memiliki seorang putra bernama Arkana
Javraz berdarah Australia-indonesia. "Uncle Esa mana onty?
Shaka gak ada liat," Diantara uncle-nya yang lain, Shaka paling
dekat dengan Esa. Karena di Esa lah Shaka banyak
mendapatkan ilmu tentang "Kak Esa sama kak Ary barusan
ada di halaman belakang. Ngomongin motor terus, onty
pusing dengernya. Katanya mereka mau beli bareng motor
yang Kak Gavin ditawarin tapi gamau," Jelas Clarissa. "Papa
mau beli motor gak bilang bilang gue."
Shaka mendengus.
"Dave, Devi sama Zetha mau makan kue kukus
gak? Onty tadi buat special untuk kalian semua."
"MAUUU!!!" Ujar mereka semangat, Alora sudah
tidur di gendongan mamanya.
"panggil Eva gih Zetha sayang." Clarissa memberitahu. Eva
Abimana. Gadis kecil yang juga seumuran dengan Dave, Devi,
dan juga Zetha itu lebih cenderung pendiam. Gadis itu selalu
menempel dengan ibunya, Syifa dibandingkan dengan Esa.
"BAIK ONTY CLA!!" Zetha menggenggam tangan dan Devi di
kedua sisinya, ketiga bocah cilik
itu berjalan bersama sama sosok
Eva.
"Mirele diajak makan atuh Gal. Onty mau bawa
ke kamar dulu deh, kalian bisa langsung
makan aja hertiga."
"BAIK ONTY." Jawa Galen dan Shaka berbarengan. "Gausah
sok malu, kuy makan." Shaka berucap, dan cowok itu lebih
dulu berjalan menuju ke arah meja makan. "Gibran mana?"
Entah kenapa, Mirele lebih memilih bertanya keberadaan
Gibran, Cowok itu. tak terlihat sejak tadi, Mirele jadi hingung.
"Palingan ikut ke bandara, Sahut Galen. "Mama papa gue
dateng," Ucap Galen dan Mirele menatap tangannya yang
digenggam. Galen. "Kak, gue malu. Gak usah digandeng juga
gapapa." Galen tak menggubris, begitu sudah berada di dekat
kedua orangtuanya, Galen menghentikan langkah. Gavin
Grizelle berhenti melangkah, begitupun Gibran yang sejak
tadi berjalan di belakang kedua orangtuanya. "Malam, ma,
pa." "Malam sayang," Grizelle tersenyum "Loh, ini siapa?
Gibran terkejut melihat Mirele, pandangan cowok itu
mengarah ke arah tangan Galen dan Mirele yang saling
bertaut. "Mirele Lucrezia Tante, om." Mirele dan Grizelle
membalas dengan senyuman hangat.. "Tunggu, kamu Mirele
temennya Gibran kan?" Grizelle menoleh ke arah Gibran yang
beralih berdiri di samping kirinya, "Iya ma, Dia Mirele yang
sempet aku ceritain." "Sebaiknya kita duduk dulu. Boys, ajak
Mirele duduk trus makan." Galen dan Gibran mematuhi
perintah papa mereka. Kedua cowok itu sama sama berdiri di
kedua sisi Mirele. "El, gue perlu banyak penjelasan dari lo."
Ujar Gibran. "How about ur life at Melbourne? Kakak
Happy?" Aurel mengelus puncak kepala Clarissa dengan
sayang "I'm happy dear. Aku benar benar memulai lembaran
baru disana. Jerricho dan Arka adalah bukti kebahagiaan
kakak." Gavin dan Grizelle tersenyum melihat Clarissa yang
melepas rindunya dengan Aurel. Masih ingatkah kalian jika
dulu Clarissa sangat Terakhir kali dirinya bertemu dengan
Aurel adalah dua tahun yang lalu. Disaat Grizelle menemani
Gavin mengurus pekerjaan di Melbourne. "Grize, im so damn
miss you." Aurel menatap wajah cantik Grizelle lalu
mengelusnya sayang "Aku rindu dengan masakanmu yang
sangat enak itu. Aku rindu masakan mama juga." Grizelle
mengangguk lalu tertawa, wanita itu juga rindu masakan
mamanya, Intan. Intan Dan Dion sedang berada di Bandung
saat ini. Kedua orangtua Grizelle tengah menjenguk bibi
Grizelle yang baru saja keluar dari rumah sakit "Kita makan
dulu gimana? Clarissa, Syifa, Rana, Alin dan kak Jena udah
masak banyak." Gavin berkata lalu diangguki Grizelle, Aurel
dan tentunya Clarissa yang masih berada di sana. "Aku dan
kakak ipar Jena buat Ayam kecap tadi asal kak Aurel tau.
Kalau kak Syifa, kak Alin, dan kak Rana masak banyak
makanan yang aku dan kak Jena gak bisa," Clarissa terkekeh
di sepanjang jalan mereka menuju ke arah meja makan.
"Gadis itu siapa?" Aurel tampak asing dengan Mirele ketika
melihat gadis itu berada di meja makan sana. "Dia Mirele,
Temen Galen dan Gibran." Jawab Grizelle memberitahu.
Aurel menganggukkan kepalanya mengerti "Papa ini apaan!
Aku udah ada Kencana ya pa!" "Oh iya papa lupa! Hampir aja
papa ngelupain kalau bakalan besanan sama Rafael." Ary
sibuk memasukkan nasi ke atas piring suaminya. Mirele yang
dilontarkan pertanyaan seperti itu "Udah udah, jangan
dipojokin terus Mirele-nya." Esa menengahi, laki laki itu
menyuapi putrinya. Suasana ruang makan di rumah keluarga
Aldenra itu sangat meriah. Padahal hanya acara reuni saja
sebenarnya antara teman teman SMA Gavin dan Grizelle dan
juga keluarga dekat mereka. "Makan yang bener," Gibran
mengambil satu butir nasi yang menempel di sudut bibir
Mirele. Seluruh orang yang menyaksikan itu berdehem.
"Galen dulu lah. Gibran nyusul setelah kakaknya." Grizelle
berucap. Aihh, kenapa Mirele salah tingkah sekarang.
Bukannya apa, kenapa selalu ia yang di bahas? dulu.
Ingatkah? Wanita itu ternyata menjadi istri Esa akhirnya "Aku
sama Aruna sahabatan onry." "Gibran sama Mirele juga
sahabatan kan. Mana tau jodoh." Celetuk Shaka. "Mana ada
yang tau kan Len. Awalnya temen biasa jadi temen hidup."
Arka berucap. Cowok berwajah bule berusia enam belas
tahun yang seumuran dengan Gibran itu baru membuka
suaranya. Bukan berarti dia menghabiskan banyak harinya di
luar negeri ia tidak bisa bahasa Indonesia. Aurel senantiasa
mengajak putranya itu ngobrol menggunakan bahasa negara
asalnya. sejak kecil. "Jangan kaya om Ratan kamu Len, cinta
sepihak sama sahabatnya sendiri." Esa menunjuk Ratan
dengan jahilnya. Ratan yang sejak tadi diam menatap Esa
tajam. Dasar! Dirinya sudah anteng saja tiba tiba diseret ke
dalam obrolan. "Tapi semuanya bakalan balik ke jodohnya.
masing masing kok. Ratan aja bisa nemuin kebahagiaannya
sekarang." Alin melirik Rana sekilas. "Udah udah, mending
kita fokus makan dulu." Gavin menengahi. Yang akhirnya
dituruti semuanya yang berada di meja makan. Anak anak
mereka sibuk bermain di ruang tengah, Uhuk, uhukk. Shirt
Kenapa harus batuk tiba tiba sih. Mirele merutuk dalam hati
karena tersedak tanpa tau suasana. "Len, ambilin calon adik
ipar lo ini Air putih." Galen yang diperintah demikian
tersenyum. miring ke arah Gibran "Bran, ambilin calon kakak
ipar lo ini Air putih." Tatapan tajam nan datar dari keduanya
saling beradu. Dan semuanya yang berada di meja makan.
tercengang. Bahkan gerakan tangan mereka yang semula
sibuk dengan kegiatan makan terhenti. Dan Mirele ingin
menenggelamkan dirinya saja rasanya sekarang MALU TAU
GAK SIH!!
"Lo belum makan, kan?" Mirele diam. Sebenarnya kalau
boleh jujur, perut Mirele dari tadi keroncongan, cacing cacing
dalam perutnya memberontak ingin diberi makan.
Bertepatan dengan itu, pintu utama rumah keluarga Aldenra
terbuka, Galen dan Mirele sama sama menolehkan kepala
mereka.
kembali meraih telapak tangan Mirele untuk digenggamnya
dan ditariknya mendekati Gavin dan Grizelle yang baru
datang dari bandara.
menundukkan kepalanya lalu tersenyum. Gavin
membenci Aurel? Tapi lihatlah sekarang keduanya tampak
sama sama saling merindukan. "Rel. Aku bahagia jika kamu
bahagia." Grizelle memeluk kakak tertuanya itu dengan
sayang.
"Gue berencana ngejodohin anak que sama. Mirele."
Mendengar ucapan Ary, sontak Shaka langsung tersedak.
terkekeh "Nak Mirele tinggal pilih aja. Mau Galen atau
Gibran?" Ucap Alin menggoda, tangan wanita itu
hanya hisa tersenyum kecil. Kenapa jadi bahas tentang dirinya
sih?
Eva dengan telaten. "Tenang nak Mirele, dua ponakan om ini
gak ada yang suka mainin perasaan cewek. Zayn
memberitahu
Terkecuali Galen yang duduk di hadapan Mirele. "Cepet
punya mantu kayanya lo vin." Celetuk Ary menyenggol lengan
Gavin yang duduk di sampingnya.
"Galen sama Aruna gimana? Ada kemajuan?" Wanita yang
merupakan istri Esa itu bertanya. Masih ingat Syifa kah? Gadis
basket putri SMA veran yang merupakan teman sekelas
Grizelle
sementara para orang dewasa berkumpul di meja makan.
Uhuk, uhukk.
Shirt Kenapa harus batuk tiba tiba sih. Mirele
merutuk dalam hati karena tersedak tanpa tau
suasana.
"Len, ambilin calon adik ipar lo ini Air putih."
Galen yang diperintah demikian tersenyum.
miring ke arah Gibran
menggambarnya."
tiga, mulai
hatinya
anekot difu
muda
Mendengar ucapan Mirele, kakek
sampai rumah."
Tin. Tin
Lampu mobd yang menerangi indara.
anter lo pulang."
mengelusnya perlahan.
Mirele
pun
rumah, ya,"
terlalu
dimengerti
Mawar ala"
Golen mengangguk
"Kamu
saya Tante,"
"Nama
arah Galers
pertanyaan di otaknya.
"Mawar sayang sama kak El. Mawar gak pernah pengen papi
cuma perhatiin Mawar. Kak El pernah bilang dia gasuka liat
Mawar dan bentak Mawar, tapi mama bilang, kak El cuma lagi
banyak tugas di sekolah, jadi kak El galak."
“Ih ileran!”
“By the way kak Galen ngapain di kamar gue?” Mirele melirik
ke arah jam dinding yang terpajang di tembok kamarnya “Jam
4?” Mirele menatap Galen
“Lo.”
“Lo haus?”
Mirele menggeleng. “Lo pulang aja deh kak, udah pagi. Nanti
lo telat sekolah. Sekarang hari senin. Lo ga boleh telat
upacara.”
“Lo ngapain natap gue terus sih kak? Wajah gue lagi ga bagus
sekarang.” Mirele menutup wajahnya menggunakan bantal.
“Gue serius.”
“Mana ada cantik pucet gini. Udah kayak nenek nenek kan
gue? Ngaku!”
“Gue ga cantik.”
“Ya siapa lagi kalau bukan fans fans setia lo?” Ralin
menggerakkan pulpennya. “Tadi pagi pagi pas gue dateng,
cewek cewek udah kerumunan di sini. Nanyain bangku lo
dimana lah, nanyain lo sekarang sekolah apa enggak lah,”
“Makan lah bran! Atau ngga bagi bagi ke gue. Perut gue
masih mampu kok nampung coklat sama jajanan itu.” Ralin
beranjak berdiri dari duduknya, mendekati bangku Gibran
lalu mengambil satu coklat dengan pita besar di atasnya.
“For Gibran Aydard Aldenra. Dari pengagummu, Sheril
atmajaya.” Ralin membaca tulisan yang tertera di tempelan
yang ada di atas coklat itu “Kak Sheril ternyata suka elo bran.
Selain suka abang lo, dia juga suka lo.”
“Lin, gue mau bayar uang kas.” Mirele datang, gadis itu
menyodorkan selembar uang lima ribu di bangku Ralin.
“Gue mau nanya sesuatu sama lo. Siapa nama lo? Miche”
“Mirele.” Potong Mirele saat tau Shaka pasti lupa
Dengan namanya.
“Ikut gue,”
Mirele tidak suka aja liat orang itu. “Tenang. Kalau lo cari
Fazan, dia lagi gak sekolah hari ini. Gatau kemana, palingan
sakit jantung.” Ava tertawa begitupun Jay.
“Bunga?”
“Gue bilang lebih mending duit lo kasi ke gue.” Ava dan Jay
saling pandang lalu kompak mengedikan bahu lanjut
mendengar perdebatan
Galen dan Mirele. “Lo mau apa dari Ini Galen kenapa sih?
“Ada apa lo tiba tiba?”
“Ga bisa.”
Lama lama ngeselin ya. Mirele duduk dengan kesal, apa yang
harus dia lakukan agar cowok itu.
Bungkam?
Mirele mendengus kesal. Padahal ia gak mau apa apa loh, lah
malah dipaksa.
“Serius lo bakalan kabulin apapun yang gue mau?” Tantang
Mirele. Galen diam, cowok itu kemudian mengangkat sudut
bibirnya “Sure,”
Balasnya.
“Be my boyfriend.”
BAB 12
“Be my boyfriend.”
Menjadi terbalik.
Bahu.
“Gausah sok cantik deh lo. Muka pas pasan doang bangga.”
Mirele ga terima dong dikatai seperti itu. Apa
“Lain kali kalau mau sok keras jangan sama gue deh tante. Ga
malu lo sama umur? Ngelabrak gajelas padahal Kak Galen
bukan siapa siapa lo juga. Gini nih kerjaan jalang yang
sebenarnya, ngelabrak orang padahal lo bukan siapa siapa.
Akhirnya.
“SIAL!”
“Mirele beneran pacaran sama Kak Galen?”
Lambe Dewara.”
Murid.
“Lo sama gue yuk El. Gue sama sekali gabisa main
Voli.”
“Gabut banget njir. Jamkos tapi dikasi tugas itu rasanya.... Ahh
gak mantap!” Ava kepalanya di meja dengan malas. Jay yang
duduk di sampingnya juga boring. Tugas belum selesai tapi
sempet sempetnya bilang gabut. Hm dasar.
“Ya.”
“Oke, next.”
“Ya gitu!”
“Trus artinya kalian pacaran gitu? Atau Cuma settingan?”
Di brankar UKS.
“Kita percayain aja Mirele sama kak Galen. Kak Galen bener,
kita bisa dimarah pak Vito kalau bolos pelajarannya.”
“Ngga.”
“Bran. Berhenti ngebantah.”
“Gue bisa.”
Berakhir.
“Baik anak anak, karena sudah jam pulang, pelajaran hari ini
saya akhiri. Untuk tugas bab 2 bisa kalian lanjutkan di rumah.
Ingat, jawab yang
Depan.”
“Oke. Bagus, yang lain juga cepetan lunasin. Bukan apa apa,
gue Cuma gamau kalian kebiasaan nunggak lama jadi gak
bayar. Daripada numpuk kan kasian banget uang kalian kerasa
habisnya. Mending dibayar rutin minggu biar ga
Kerasa.”
“Maunya gitu. Tapi ada yang mau ngajak gue balik bareng.”
“Kak Galen.”
Nganter lo segala.”
“Lah bagus dong. Cowok lo perhatian namanya.
Dia tau lo sakit, jadi dianterin. Cowok gue aja ga sepeka itu.
Nasib beda sekolah kali ya.” Lirih Ralin.
IPS 2.
BAB 13
Kak Galen
Oke pak.
Iya boyfie
Read.
Kecil. “Itu beneran cowo gue?”
Menenteng totebag.
Meja.
“It’s oke dear. Mami juga minta maaf gak ngunjungin kamu.”
“El udah makan sebelum kesini mi. Ini khusus buat mami,
kacang hijaunya El yang buat loh.”
“Oh ya? Gimana sama Jovita? Papi kamu ga kasar kan sama
dia? Mami sempet shock awalnya pas tau Jovita yang bakalan
nikah sama papi kamu.” Jovi dan Arina merupakan teman
lama. Tepatnya teman waktu SMP, walau tak terlalu dekat,
tapi Arina dan Jovi saling mengenal.
“Trus papi kamu? Papi kamu engga semena mena kan sama
kamu?” Mirele menggeleng.
“Mi,”
“Hm?”
“Mi, berhenti ngerokok ya?” Atensi Arina teralih. Itu dengan
cepat mematikan rokoknya dan meletakkannnya di asbak.
“Mirele gamau mami sakit karena rokok, mi. Paru paru mami
berharga, organ tubuh mami berharga bagi diri mami
sendiri.”
“El tau ngelepas kebiasaan itu sulit mi. Tapi gaada salahnya
mami mencoba walau sulit. Jangan sampai paru paru mami
rusak karena kebiasaan itu.”
Jangan jadi seperti El mi.
“Mawar dikasi hadiah ini sama ibu guru. Soalnya katanya ibu
guru, Mawar itu anak baik Pi.
Oke?”
Asikk!!!”
Jovi menatap Mirele dengan pandangan iba.
Interaksi Mawar dan Yoga dari sana. Mirele hanya diam, tak
berkutik atau berbuat apa. Gadis
Mirele.
“Belum sarapan?”
“Enak?”
Gabisa masak-“
Workaholic?”
“Iya.”
Setiap hari.”
Mulutnya.
“Engga, el.”
Cowo gue?”
BAB 14
“Dimengerti tuan,”
Gibran.
“Aduh apasih bran? Mulut gue emang udah gini dari dulu.
Gini gini, lo berdua mau tau ga kenapa hari ini gue bahagia
banget?”
Mirele dan Gibran saling pandang. Keduanya kemudian sama
sama mengedikan bahu.
“Yaudah deh,”
“Apa ada orang lain yang tau mengenai penyakit cucu saya?”
“Saya selalu ada di sisinya selama ini. Saya tau apa saja yang
dilakukan dan dialami Mirele sekalipun.” Pria tua itu berucap
tegas.
Mirele keluar dari toilet setelah hampir lima belas menit diam
di sana. Mirele tau, pasti Gibran dan Ralin
menghawatirkannya sebab tidak kunjung masuk ke dalam
kelas.
Terus?”
“Lo”
Bel masuk kelas kalian, hah? Ini masih masih aja berkeliaran
disini. Bapak hukum kalian berdua “
“Engga pak! Dia yang salah karena nabrak saya trus marah
marah gajelas. Jadi mending dia aja yang di hukum pak.”
Pak Hanan memegang kepalanya pusing. Guru dengan perut
buncit itu menghentak kesal. “DIAM! PUSINGGG KEPALA SAYA
DENGER SUARA SUARA KALIAN INI!” Pak Hanan menetralkan
emosinya.
“Tapi pak-“
Mengepel.
“Gini kek dari tadi. Kan gue seneng,” Fazan tersenyum lega,
mengalungkan saja dasinya tanpa
Niat memasangkannya kembali.
“Udah El diem!”
“Tapi-“
CAPER BANGET!”
Wah wah! Mirele bertambah kesal jadinya. Gadis
Sini sama-“
Ditarik seseorang.
Gibran dari-“
Yang ga bersalah.”
Aura menggeram kesal. Sementara Aruna
Menghela nafas.
Galen disana.
BAB 15
“SAKIT WOY!”
“Lo ngapain sih kak narik narik gue ke sini? Mau ke mana?!”
“I-iya sih gue lupa. Tapi ya kak- tadi seinget gue setelah kita
pel koridor kelas duabelas, gue sama lo kan langsung pergi
gitu aja kan?”
Ke kita.”
“Gue-“
Lo ngatain gue-“
“Iya iya! Jangan diinget lagi deh pokoknya. Maaf soalnya
waktu itu gue kesel sama lo. Makannya
“Santai. Udah lah, gue mau ngantin. Keburu bel kan gue
gadapet waktu makan. Bye kak Fazan!” sementara Fazan
menatap cengo lalu membuang nafasnya kecil.
“HM!”
Mirele yang tengah mengunyah bakso di mulutnya
mendongak, mata tajam gadis itu. Menatap Galen datar. Lalu
kembali melanjutkan. Fokusnya ke arah mangkok bakso.
Menyedot es teh-nya.
“Baru
“Engga ah. Entar badan gue jadi kerempeng. Kan sayang body
goals gue hilang.” Mirele terkekeh. “Udah Galen menatap ke
mangkok bakso Mirele yang sudah kosong. Bahkan kuah
bakso itu
“El! Lo mimisan.”
Mobil
“Lucu banget sih lo. Gimana bisa coba gue Cuma anggep
sahabat?” kekehnya.
Rumahnya.
Langsung dibukanya.
“Kak Galen!!??”
“Tapi-“
“Entar gue tutup. Tapi gue masih bingung, kak Galen kenapa
ada di rumah gue? Mama jovi tau?” Galen menggeleng. “Gue
tadi emang niat kesini sebelum hujan,”
“Dia udah balik. Tadi gue liat dia sama cowoknya.” Mirele
menghela nafas. “Trus Lo ngapain masih di sini? Gak pulang?
Takutnya papi gue tiba tiba kesini kita-“
“Lo pulang?”
“Udah makan?”
Ngusir?”
Pertanyaan Galen sukses membuat Mirele terdiam beberapa
saat. “Belum kan?”
Jawabnya.
“Sampai kapan kalau mau makan harus cari mood dulu? Gak
bakalan dapet mood kalau ditunggu. Yang ada lo
“Belum.”
“Trus?”
“Enggak akan. El, gue gak bakalan sampai jatuh cinta sama
cewek kayak lo. Gitu dong jawabnya.” Sesudah mengatakan
itu, Mirele mengakhiri dengan kekehan kecil.
“Ck. Kak Galen, gue Jangan jatuh cinta sama gue ya!” nada
Mirele meninggi.
“Lo takut banget gue jatuh cinta sama lo? Emangnya kenapa
sih?”
“Ya- pokoknya ribet lah. Jatuh cinta itu ribet kak, seperti apa
yang gue bilang, ntar lo sendiri yang susah.”
Aneh menurutnya.
“Emang lo salah?”
Dia lelah.
Menggeleng.
“Jangan- ih lo jangan cepu dong, kak! Biarin aja kenapa sih, ini
gue gapapa juga.” Dumel Mirele. Fazan berkacak pinggang,
menjadikan
Belanya.
Berantem,”
Dengan cepat.
Terletak di tengah-tengah.
“Tapi ko-“
“Eh tapi-“
“Aaa,” Galen menyodorkan sendok berisi bubur
Sesendok bubur.
“Tapi gue ga punya maag.” Bantah Mirele di sela
“Saya juga gak salah bu. Saya itu lagi anteng ngepel sama
Mirele. Tiba-tiba dikasih tau dua curut ini berantem, ya saya
sebagai teman yang
“Tapi-“
“Kalau kalian lupa nih ya, gue bukan murid teladan yang
Cuma pernah sekali masuk BK. Nama gue BK udah sering
kelihatan. Udah kebal gue mah.” Mirele menyedot jus
miliknya dengan tenang. Sementara Ralin, Galen,
BAB 46
“gapapa kok mi, nanti juga hilang.” Ujar mirele kala melihat
keterdiaman arina setelah
Coba.”
Kok disini?”
“Udah makan?”
Mami?”
Galen berdecak.
“Tapi gue gak mood makan.”
Makanannya hati-hati.
“Gimana rasanya?”
Lagi dari
Dia tau maksud Galen, dan Mirele hanya bisa berdiam tanpa
niat menyahutinya.
“Jangan tegang gitu mukanya. Emang ada yang
“Kak..”
Aktif lah dari kelas satu. Gue juga suka clubbing, dan soal
club, jangan tanya kenapa anak SMP kaya gue dulunya bisa
bebas keluar masuk club tanpa ditagih ktp atau apalah itu.
Intinya, club itu punya
Temen gue.”
Ini semua.”
Rumah sakit gue sejak dulu.” “Ralin atau Gibran kalau tau ini
menurut lo
Mereka bakalan gimana?”
“Lo tau?”
“Tungguin operasi.”
BAB 47
“Tante mau minta maaf ya nak soal Heros ke kamu waktu itu.
Tante juga minta maaf karena waktu itu tante sama sekali gak
bisa nolongin kamu dari anak tante.”
“Tante bingung nak harus sedih atau bahagia atas dua anak
tante. Satu sisi Bara mendapat donor mata yang tepat, tapi
disisi lain, kami kehilangan Heros.”
“Tante yang sabar ya, saya yakin, Heros pasti bahagia disana
melihat Bara kembali pulih. Jadi tante juga harus tegar,”
Mirele tidak biasa menenangkan orang seperti ini. Gadis itu
terkesan kaku dengan orang-orang baru.
Heros.
“Tante titip Bara ya nak. Oh iya bar, mama mau pulang dulu
ya, mau ngambil baju juga.” Bara mengangguk setelah Anjani
mengelus puncak kepalanya.
Mirele bergeming.
Fikirannya sendiri.
Tok.tok.tok.
“Masuk,”
Pintu dibuka. Dan tampaklah Jovi dan Mawar yang masuk
dengan ekspresi menahan harunya.
Matanya.
“Kak El sakit apa? Kata mama, kakek kasih tau mama kalau
Kak El disini. Tapi yang Mawar bingung, kakek itu siapa?
Mawar sama sekali gak pernah lihat kakek.”
“Yang lo itu buku sejarah El, bukan novel yang bisa dikatakan
seru, ‘kan?” Cicit Ralin.
“Ini gak kalah seru kok. Kemana aja gue dari dulu selalu tidur
pas dapet pelajaran sejarah? Kalau sekarang nih ya gue
dikasih kuis, pasti gue bisa!”
Benar-benar keajaiban!
“Lo bosen ke BK, sekarang ganti haluan ke perpus, nih,
ceritanya?”
“He’em,”
“Iya seru. Otak lo yang awalnya tidur tenang jadi kerja bagai
quda.”
“Aneh,”
“Lo yang aneh, oy!” Kata Ralin gemas. Kini dia
“Gue mau baca buku yang lanjutannya ini deh, tolong cariin
dong, Lin.”
“I hope,
BAB 50
“Maksud om?”
“Udah tadi. Gibran Cuma kurang hajar dia aja, tapi gabisa
soalnya dia lemah.”
04.35 AM CEST.
“Capek ya El sayang?”
Mirele bersama-sama.
Hari ulang tahun Mirele adalah hari yang selalu menjadi hari
teramat sangat ditunggu-tunggu Mawar di tiap tahunnya.
Gadis sepuluh tahun itu tidak pernah lupa membuatkan kue
yang dibuat olehnya dan Jovi untuk merayakan pergantian
usia sang kakak walau tahun-tahun sebelumnya Mirele tidak
pernah menyambut baik kue yang dibuat olehnya.
Disisinya.
“Panggil saya Atau jika boleh panggil Kak saja, jangan nyonya.
Saya masih 25 tahun.” Katanya tersenyum ramah. Mirele
mengangguk,
“Kalau gitu gimana kalau ke taman depan? Aku tadi juga mau
kesana Kak,”
Kintan mengangguk, “Boleh. Tapi kakak gapapa kok gak usah
duduk di kursi roda. Biar kamu-“
“Enggak usah Kak. Aku gapapa kok, kakak aja yang duduk, aku
dorongin,”
Emang cewek,”
“Terimakasih, kak.”
Kintan mengelus kembali perut besarnya yang kembali
merasakan keram.
“Nama Mirele?”
“Aku seneng kalau memang kakak mau kasih nama yang sama
untuk dede bayinya.” Ujar Mirele.
Kintan tersenyum, “Nama panjang kamu siapa?”
“Edo udah masuk SMA El, dia udah tinggi, anak-anak yang
lain juga, mereka semuanya pinter-pinter. Mereka gak pernah
absen setiap