Anda di halaman 1dari 324

‌Prolog

"HEI! JANGAN LARI KAMU ANAK NAKAL!!"


Seorang gadis merampas tas sekolahnya dan dengan cepat
kilat melesat lari dari warung tersebut. Namun sebelum itu ia
masih sempat sempatnya mencomot roti yang dijual di
warung hingga membuat emosi si penjual tambah tersulut.
"EL! Anak Dajjal. Saya bilangin papi kamu baru tau rasa!"
Wanita paruh baya dengan teflon di tangannya itu terus
mengeluarkan sumpah serapahnya yang ditunjukkan kepada
si gadis yang baru saja lari setelah ia tak membayar semua
makanan yang dimakannya.
Disisi lain, Gadis bernama Mirele itu masuk ke dalam taksi
yang diberhentikannya di tengah jalan.
"SMA Dewara pak," Ujarnya ngos ngosan.
Supir taksi itu mengangkat jempol, melajukan kendaraannya
menuju tempat tujuan si penumpang.
"Gila. Untung gue gercep," Mirele membuka ikat rambutnya.
Kemudian membuka jaket kulit dan meletakkannya di kursi
sebelah.
Mirele mengobrak abrik isi tas sekolahnya, mengeluarkan
liptint berwarna merah gelap di sana lalu memoleskannya
tepat diatas bibirnya.
Beberapa menit kemudian supir taksi memberhentikan
mobilnya di depan gerbang SMA Dewara. Usai membayar
ongkos taksi, Mirele keluar dari dalam mobil dengan
penampilan lebih rapi dari sebelumnya.
Kedatangannya selalu menjadi pusat perhatian dan buah
bibir dari murid murid lainnya. Mirele melangkah dengan
santai, dengan pandangan datar khas dirinya.
Gadis itu lebih memilih memasangkan earphone di kedua
telinganya, mendengarkan lagu yang menjadi favoritnya akhir
akhir ini.
Bertepatan dengan Mirele yang masih melangkah santai
melewati halaman depan sekolah, karena terlalu fokus
dengan dunianya, ia sampai tidak menyadari ada motor yang
mendekat ke arahnya.
"WOY!! AWAS ITU ADA MOTOR WOY!"
Si pengendara motor semakin dekat. Mirele menoleh ke
samping, gadis itu membulatkan mata shock saat mendapati
motor itu melintasi dirinya yang tengah berdiri mematung.
"YAHHH KESREMPET."
"Shitttt!!" Mirele jatuh terduduk di tanah, gadis itu melihat ke
arah lengannya yang terasa sakit. Saat ia cek, ada luka
goresan akibat bergesekan dengan beton tempatnya terjatuh.
Mirele mengeram tertahan,
"WOY ANJING!" Is murka. Gadis itu segera berdiri. tak
memperdulikan ponselnya yang retak di bagian layar "LO
BUTA ATAU EMANG GA PUNYA MATA HAH? GAK LIAT ORANG
SEGEDE GUE LAGI NGELINTAS?" Mirele mendekat ke arah si
pengendara motor yang memarkirkan motornya di parkiran
khusus.
Gadis itu memandang marah ke arah pengendara motor yang
masih mengenakan helm fullface itu. Murid murid lain
memperhatikan langkah Mirele seperti menonton sebuah
film.
Setelah tiba di dekat pengendara motor yang
menyerempetnya tadi, Mirele langsung menendang ban
motor orang tersebut.
Anjing sakit." Mirele meraba kaki kanannya yang berbalut
sepatu putih.
Si pengendara masih setia diam. Orang itu belum membuka
helm nya. Mirele kembali memukul jok motor orang itu
karena kesal.
"UDAH BUTA, PAKEK HELM LAGI. LO GAK LIAT GUE LAGI
MELINTAS? PERLU GUE ISI PAPAN PERINGATAN? HALAMAN
INI LUAS LOH, LO KAYAK SENGAJA BANGET NYEREMPET GUE."
Murka Mirele.
Pengendara motor itu membuka helm fullface yang sejak tadi
menutupi wajahnya. Mirele sedikit terkejut saat melihat rupa
orang itu.
Galen Arvind. Siapa yang tak kenal dia di sekolah ini? Mirele
tentu saja mengenal Galen. Kakak kelasnya yang dipuja
teman teman sekelasnya.
"Udah?" Tanya Galen datar.
Mirele rasanya ingin sekali mencekik leher cowok itu
sekarang juga.
"Ganteng sih, tapi hobinya cari masalah." Ucap Mirele
angkuh.
Galen tak memperdulikan gadis itu. Cowok itu meletakkan
helm di atas motornya lalu hendak melangkah sebelum
akhirnya tas hitamnya ditarik kasar oleh gadis cerewet itu.
"Tanggung jawab dong! Tangan gue luka."
"Lo masih punya tangan yang lainnya buat ngobatin."
"Ngeselin banget sih! Gak bertanggung jawab. udah
nyerempet gue, sok gak bersalah lagi."
Galen menatap gadis itu tajam.
"Apa?! Mau gelut sama gue? Sini!" Mirele mengambil ancang
ancang dengan jurusnya. Sementara Galen menatap itu tak
minat. Menurutnya meladeni gadis itu sama saja dengan
membuang waktu berharganya.
"Sini. Gelut sama gue. Jangan mentang mentang lo ganteng
ya gue akan biarin lo lepas gitu aja. Gue bukan cewek kayak
gitu. Mau lo ganteng sedunia kek gue gak peduli!"
"Apa mau lo?" Tanya Galen akhirnya.
"Mau gue? Mau gue lo obatin luka gue sekarang juga."
Galen langsung saja menarik tangan gadis itu tiba tiba. Mirele
merutuk dalam hati. Tangannya masih sakit woy! Ditarik
begitu kan perih.
"Babi. Tangan gue-"
"Diem." Galen menatap tajam ke arah Mirele yang seketika
membuat gadis cerewet itu langsung terdiam.
BAB 1
Mirele memelankan laju kakinya ketika hampir dekat dengan
lapangan basket indoor. Gadis itu menurunkan satu kabel
earphone yang menyumpal telinganya, kemudian mengintip
ke arah tengah lapangan itu.
“Cowok rese itu ternyata.” Gumamnya. Mirele menarik sudut
bibirnya, seperti ada bohlam yang menyala di atas kepalanya,
ia segera masuk ke area lapangan, bersikap acuh lalu beralih
duduk di kursi stadion.
Mirele mengeluarkan coklat dari saku seragamnya. Ia
kemudian membuka bungkus coklat itu sembari terus
memandang ke arah tengah lapangan dengan dirinya yang
duduk santai di kursi stadion.
Gadis itu sangat suka saat pandangan cowok cowok eskul
basket mengarah kepadanya. Tak tanggung tanggung Mirele
mengedipkan sebelah matanya kepada cowok cowok itu.
“Anjay, dikedipin cewek cakep bro.” Ujar salah satu cowok
disana memegang dadanya. Yang lainnya ikut memandang ke
arah Mirele duduk. Bahkan mereka menjadi tak fokus dalam
berlatih basket.
Galen yang ada di sana berdecak saat melihat teman
temannya malah fokus ke arah gadis itu. Galen ikut
memandang ke arah Mirele yang tengah tebar pesona ke
cowok cowok basket.
Cowok itu menatap remeh Mirele “Murahan,” Ujarnya kecil
lalu melanjutkan latihannya mendribble bola. Ia tak peduli
teman temannya yang lain sibuk mendekati Mirele.
Jangan kira Mirele tak tahu Galen menyebutnya ‘murahan’
tadi. Gadis itu bisa melihat dengan jelas gerak bibir Galen
yang menyebutkannya murahan.
Emosi Mirele meluap. Gadis itu tak memperdulikan cowok
cowok itu yang mendekatinya. Ia lebih memilih melangkah
lebar ke arah Galen yang fokus mendribble bola dan
memasukkannya ke dalam ring.
“Heh! Apa maksud lo ngatain gue murahan?” Mirele berdiri
di depan Galen dengan tatapan tajam.
Galen memandang gadis itu tanpa ekspresi. Cowok itu tak
membalas ucapan Mirele, lebih memilih untuk mengambil
bola basket yang menjauh lalu melemparnya ke dalam ring
lagi.
“Gue doain lo beneran tuli!!” Teriak Mirele “Gue lagi
ngomong sama lo.” Dengan berani Mirele merampas bola
basket dari genggaman Galen lalu melemparnya ke arah
wajah cowok itu.
“Shit!” Galen menutup wajahnya yang sakit akibat lemparan
bola basket menggunakan telapak tangan. Teman temannya
yang lain mendekat setelah melihat adegan itu. Sementara
Mirele mematung, untuk perbuatannya yang tadi- jujur,
Mirele tak berniat sejauh itu. Tapi-
“Cewek aneh. Lo liat akibat perbuatan lo ini Galen jadi
gimana? Bisa mikir gak sih sebelum bertindak?” Salah satu
teman Galen berucap demikian yang membuat Mirele
seketika tersadar.
“Gue-gue gak sengaja,”
“Halah bacot. Dasar cewek bar bar.” Fazan, cowok itu
terlanjur kesal dengan Mirele. Ia melupakan keinginannya
untuk mendekati gadis itu tadinya. Setelah melihat sikap
kurang ajar Mirele, Fazan seketika ilfeel.
“Gue beneran gak sengaja!”
“Gak usah banyak bacot!” Fazan mendorong Mirele hingga
gadis itu terjatuh karena tak siap.
“Zan!!”
“Lo gak perlu main kasar.” Galen menarik pundak Fazan kasar,
menatap temannya itu tajam “Dia cewek.” Galen beralih
mendekat ke arah Mirele, cowok itu menatap gadis itu datar.
“Pergi lo dari sini.” Ujar Galen pelan.
Mirele berkaca kaca. Pandangan gadis itu kosong. Didorong
dengan kasar seperti yang dilakukan Fazan tadi bukanlah hal
yang tabu baginya. Gadis itu sudah kebal, tapi ia tidak pernah
dipermalukan di depan banyak orang seperti ini. Mirele benci
dengan dirinya sendiri. Mirele benci dirinya ketika lemah
seperti saat ini.
“PERGI!!” Usir Fazan.
“Zan, jangan buat gue lupa kalau lo temen baik gue.” Galen
menatap Fazan tajam. Ia tak suka saat cowok itu bersikap
kasar kepada seorang perempuan.
“Dia cewek bangsat Len. Lo liat gimana cara dia ngelempar lo
pakai bola kayak tadi?” Ucap Fazan.
“Lo gak perlu berlebihan. Lo cowok atau banci hah?” Galen
menatap ke arah temannya yang lain “Bawa dia ke ruangan,”
ujarnya.
“Tapi Len, muka lo-“
“Gue gapapa,” sahut Galen.
Ketiga temannya yang lain, Yakni Robby, Ava dan Jay
mengangguk, beralih menarik Fazan untuk mengikutinya.
Sementara Galen kembali memutar badan menatap ke arah
Mirele yang masih terduduk di bawah.
“Kenapa gak nangis?”
Mirele diam. Gadis itu memandang kosong ke arah depan.
“Jangan sok kuat kalau emang lo gak sekuat itu,” Galen maju
beberapa langkah. Cowok itu beralih berjongkok di depan
Mirele yang masih setia diam.
“Gue gak selemah yang lo kira.” Ucap Mirele yang menatap
tepat ke arah bola mata Galen.
“Nyatanya, lo gak sekuat yang diri lo sendiri kira.” Balas Galen
yang seketika membuat Mirele diam. Gadis itu menundukkan
pandangannya. Tidak! Ia tidak boleh menangis di depan
cowok itu.
“Gak ada yang bakal liat lo nangis,”
“Gue gak nangis!” Mirele tak sadar jika suaranya bergetar
mengucapkan itu. Gadis itu buru buru berdiri, berlari
sekencang mungkin keluar dari area lapangan itu. Ia merutuki
dirinya sendiri yang terlihat lemah di depan Galen.
“Mawar sayanggg banget sama papi,”
“Papi juga sayanggggggg banget sama Mawar.”
Tangan Mirele yang hendak membuka knop pintu kamar
ayahnya diurungkan oleh gadis itu kala telinganya mendengar
perbincangan dua orang itu dari balik pintu.
“Papi punya tiga hadiah di mobil. Mawar ambil ya nak,
semuanya untuk kamu sayang,”
“Untuk mawar semua Pi? Untuk kak El enggak ada?”
Mirele tersenyum sinis mendengar itu. Ia sudah sangat tau
apa yang akan dikatakan ayahnya selanjutnya.
“El udah besar. Dia gak perlu hadiah,”
Miris. Mirele merasa hatinya sakit mendengar ucapan itu.
Setitik air mata jatuh dari mata tajamnya.
“Tapi kan kak El juga perlu hadiah Pi, kak El pasti seneng kalau
papi kasi hadiah juga.”
“Enggak sayang. Kak El gak perlu hadiah dari papi. Mending
buat kamu semua, dia bisa beli sendiri nanti.”Cukup. Hati
Mirele terlalu sakit mendengar itu. Dengan segera ia
menghapus kasar jejak air matanya lalu masuk ke dalam
kamarnya dan langsung mengunci rapat pintu itu.
Mirele melangkah menuju kamar mandi, menyalakan shower
lalu mengguyur tubuhnya di bawah shower itu. Mirele tak
peduli bajunya basah. Ia hanya ingin menenangkan dirinya.
Perkataan ayahnya yang didengarnya terlalu menyakitkan
bagi Mirele
“Kenapa bisa gini sih? Hidung kamu berdarah loh,” Grizelle
menempelkan plester luka di hidung anaknya. Wanita itu
bingung ketika mendapati Galen pulang ke rumah dengan
kondisi hidung yang terluka.
“Kamu berantem lagi?”
Galen menggeleng “Enggak ma. Kena lemparan bola basket.”
Grizelle menghela nafasnya. Wanita itu menatap putranya
serius “Hati hati lain kali main basket. Untung tulang hidung
kamu gak patah,”
Galen mengangguk menjawab ucapan Grizelle.
“Yaudah, mandi dulu sana. Nanti ke bawah lagi, kita makan
malam sama sama.”
Galen mengangguk. Cowok itu beralih berdiri membawa tas
sekolahnya menuju ke arah kamarnya. Setelah berada di
dalam kamar, Galen meletakkan tas nya di atas tempat tidur.
Cowok itu membuka atribut sekolahnya, menyisahkan kaos
berwarna putih dan juga celana pendek.
Galen masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan
tubuhnya yang terasa lengket.
Beberapa menit kemudian Galen keluar, cowok itu menatap
dirinya di pantulan cermin untuk melihat seberapa parah luka
di hidungnya akibat lemparan bola dari cewek aneh itu.
Ngomong ngomong soal Mirele. Galen sudah tak asing lagi
dengan gadis itu. Semenjak masa orientasi kelas sepuluh
beberapa bulan lalu, Galen yang merupakan kakak kelas yang
sering mondar mandir di area sekolah tentu melihat secara
langsung calon calon adik kelasnya itu.
Yang paling menonjol kala itu adalah Mirele. Gadis itu selalu
ia lihat dihukum oleh OSIS karena telat datang MOS, atau
tidak dia dihukum karena tidak mengenakan atribut yang
sesuai pengarahan. Intinya Mirele dikenal dengan kebandelan
gadis itu.
Galen keluar dari kamarnya, cowok itu melangkah ke meja
makan dan mendapati Grizelle dan Gavin yang sudah duduk
di meja makan.
“Gimana sekolah kamu?”
Galen menatap papanya “Seperti biasa.”
“Papa denger dari wali kamu, nilai ulangan kamu menurun?”
Galen malas sebenarnya membahas itu. “Ya.”
“Kenapa? Ada yang ganggu fikiran kamu sayang?” Tanya
Grizelle yang menyendokkan anaknya itu nasi dan lauk.
“Galen lagi males bahas ini sekarang.”
Grizelle mengangguk mengerti, sementara Gavin mengunyah
makanannya secara perlahan.
“Ini surat dari kepala sekolah buat mama papa.”
Grizelle, Gavin dan Galen sama sama menoleh ke asal suara.
Galen hanya menatap itu sekilas, cowok itu lebih memilih
untuk melanjutkan acara makannya.
“Apa lagi ini?” Gavin menerima amplop berisi surat yang
disodorkan anak keduanya itu. Gavin membacanya,
sementara Grizelle menatap ke arah anak keduanya itu
menginterupsi untuk ikut bergabung dengan mereka makan
malam.
“Skors? Gibran, udah berapa kali papa ingetin jangan pernah
bikin ulah lagi di sekolah.” Gavin melempar surat itu ke atas
meja, laki laki itu beralih berdiri, selera makannya tiba tiba
hilang karena masalah dari kedua putranya itu.
“Vin,” Grizelle hendak mencegah suaminya itu, tapi Gavin
sudah lebih dulu melangkah menaiki anak tangga.
“Maafin aku ma,”
Grizelle mengangguk, tersenyum simpul “Gapapa. Sini
makan,”
Gibran mengangguk, duduk di samping Galen yang serius
menyuap makanan menggunakan sendok ke mulutnya.
“Kenapa bisa, sayang? Kamu melakukan hal yang gak baik?”
Gibran mengangguk tanpa ragu “Aku berantem sama Fazan.”
Galen menghentikan gerak tangannya yang menyendok
makanan. Cowok itu menoleh ke arah adiknya “Fazan?”
Gibran hanya menoleh sekilas. Cowok itu tersenyum sinis
“Temen lo udah keterlaluan sama temen gue.”
“Siapa?”
“Mirele. Fazan gak bisa gue maafin gitu aja setelah buat
Mirele nangis”
Galen hanya diam.
BAB 2
"Skors?? Gibran di skors gara gara belain gue?" Mirele
menghela nafasnya. Gadis itu meletakkan tas sekolahnya di
atas meja, lalu duduk dengan pandangan kosong.
"Udah, jangan nyalahin diri sendiri terus. Gibran juga gak
masalah-"
"Tapi gue masalah!" Mirele setengah membentak "Kalau
bukan gara gara Gibran liat gue nangis. Gue yakin dia gak
akan di skors kaya gini,"
"El, udah. Sekarang tenangin diri lo dulu, Ka Fazan nungguin
lo di depan kelas." ujar Ralin, teman sekelas Mirele dan
Gibran.
"Ngapain dia nunggu gue?" Mirele berucap sinis "Dia udah
permaluin gue depan banyak orang. Gue gak mau ketemu
dia."
"El, ayolah, dia udah bolak balik ke kelas ini beberapa kali
nungguin lo dateng. aja dia sadar kalau dia salah."
Mirele berdiri dari duduknya dengan ogah ogahan. Gadis itu
berjalan ke arah pintu kelas, mendapati sosok Fazan dan
pandangan mereka langsung bertemu.
"Apa?"
"Gue minta maaf,"
Mirele terkekeh kecil. Minta maaf? "Gak perlu." sahutnya
datar.
"Maafin gue. Gue kesel sama lo karena gue gak suka liat
cewek kasar-"
"Trus cuma cowok yang boleh kasar, cewek enggak?" Mirele
terkekeh "Lucu ya. Di dunia ini selalu aja cowok yang apa apa
dimaklumi. Sementara cewek? Apa cewek harus anggun, gak
boleh kasar kasar?"
"Bukan maksud gue gitu."
"Udahlah kak. Gue gak butuh maaf lo. Gue udah digituin,"
Mirele masuk kembali ke dalam kelasnya. Saat Fazan hendak
mengikuti langkahnya, cowok itu langsung dihadang
beberapa teman laki laki yang sekelas dengan Mirele.

***
pada mau soto gak? Gue yang traktir deh sekarang. Bebas,
anggep aja PJ dari gue" Ujar Ralin yang disambut sorak teman
temannya.
"Nah, gini dong jadi temen. Kalau ada apa apa, traktir, baru
berguna." Ucap Ivan.
"Gue seperti biasa Lin. Soto sama es teh."
"Gue samain."
"Lo gimana El? Mau soto juga gak? Yakali engga, kan
makanan favorit lo insam
Mirele mendongkak, gadis itu mengangguk "Gue soto dua
sama es jeruk tiga."
"Busettttt," Keempat temannya kompak menganga.
"Lo udah di traktir, gatau diri lagi El." Ujar Putra.
"Gapapa kok El. Gue paham sama lo, perut lo kan perut
karung," Rika tertawa.
"Gak usah banyak bacot. Lo niat traktir gue gak Lin?" Tanya
Mirele menatap Ralin.
"Iya sih El gue niat traktir lo, tapi lo kesannya kayak morotin
gue."
"Yaudah. Ga jadi."
"Iya deh iyaaa, lo mah ngambekan." Ralin mencubit pipi
Mirele gemas, mencoba agar gadis itu tak murung lagi "Gue
pesenin sekarang."
Mirele mengedikkan bahu acuh. Melanjutkan kegiatannya
bermain game di ponsel. Sementara Ralin sudah memesan,
ketiga temannya yang lain asik melanjutkan cerita.
"Gibran chat gue nih El. Katanya kenapa lo gak bales chat nya
dia?" Kata Putra.
"Gak mood," balas Mirele cuek.
"Aduhhh El. Jangan gitu lah, Gibran itu peduli sama lo, dia aja
bela belain berantem sama Fazan demi bela elo. Gak kasian lo
sama dia?" Rika bberuca
"Gue gak minta dia bela gue."
"El! Jangan kekanakan gini lah. Lo tinggal bales chat dia apa
susahnya sih? Kalau dia enggak cari kak Fazan cuma buat
ngebela lo. Dia pasti udah kumpul sama kita kita disini.
Sadar!"
Brak!
Mirele menggebrak meja dengan keras. Mendengar ucapan
teman temannya yang seakan menyudutkannya dan
mempertegas bila akibat Gibran di skors adalah dirinya
membuat gadis itu kesal.
"Gue gak pernah minta dikasihani sama siapapun. Termasuk
lo semua. Jadi, jangan sok baik di depan gue kalau di
belakang kalian benci sama gue." Mirele berkata dengan
penuh penekanan
"Gue tau, kalian semua temenan sama gue cuma karena
kasihan kan? Padahal mah kalian benci sama gue. Gue yang
selalu main kasar, gak sebaik kalian, gak suka gabung." Mirele
menjeda kalimatnya.
"Kalau emang kalian gak niat temenan sama gue, mending
gak usah, di hidup gue udah terlalu banyak orang orang
munafik. Please, jangan tambahin lagi. Gue lebih baik sendiri
daripada dikelilingi orang orang yang gak tulus sama gue."
Setelah mengatakan hal itu, Mirele pergi dari sana.
Meninggalkan Putra, Ivan dan Rika yang termenung
mencerna ucapan Mirele.
Sementara Ralin yang tadi memesan makanan langsung
berlari mengejar Mirele. Gadis itu mendengar semuanya.
***
Galen bola basketnya ke dalam ring dengan satu kali
tembakan. Cowok kemudian menyisir rambutnya ke belakang
menggunakan jari, melepas headband hitam yang dipakainya.
"Kamu makin hari makin keren ya main basketnya," ujar
seorang gadis yang sejak tadi diam di dekat Galen menemani
cowok itu berlatih. Dia Aruna, teman sekelas Galen
Galen menoleh, cowok itu tersenyum simpul lalu mendekat
ke arah Aruna "Sejak kapan disini?"
Aruna tampak mengetuk ngetuk dagunya menggunakan jari
"Mungkin sekitar sepuluh menit yang lalu?"
Galen mengacak kecil rambut gadis itu "Kenapa gak bilang?"
"Kamu latihannya serius banget. Ga enak ganggu."
"Na, kamu kesini pasti ada yang mau di omongin kan?"
Aruna mengangguk, tersenyum manis menampakkan gigi
rapihnya "you know me so well heh?"
"Kita duduk disana," Tunjuk Galen ke arah kursi stadion.
Cowok itu berjalan terlebih dahulu, duduk di kursi stadion
diikuti Aruna yang beralih duduk di sampingnya.
"Nih minum dulu. Pasti kamu haus," Aruna menyerahkan
botol air mineral. Galen menerimanya "Makasi."
Aruna mengangguk menjawab ucapan Galen. Saat Galen air
yang diberikannya hingga tandas, Aruna terus
memperhatikan itu.
"Aku denger- Gibran di skors?"
Galen menutup botol air mineral itu. Cowok itu menoleh ke
arah Aruna "Iya,"
"Karena belain temennya?"
Galen kembali mengangguk. Sementara Aruna menghela
nafas kecil.
"Berapa lama masa skorsingnya?"
"Lima hari," sahut Galen
Aruna mengangguk paham. Gadis itu mengeluarkan sesuatu
di seragamnya. Galen memperhatikan itu, sebuah surat kecil.
"Aku udah bisa menerka kalau Gibran gak pernah mau baca
surat ini. Tapi boleh aku minta satu hal ke kamu?"
Galen mengangguk.
"Tolong bujuk Gibran sekali aja buat bales pesan dari aku,
ya?"
Galen paham. Dan Galen sangat menyadari dari lama, jika
Aruna menyukai adiknya itu.
***
"Kenapa ga bales chat chat gue?"
"Males." sahut Mirele yang men-speaker sambungan
teleponnya dengan Gibran.
"Lo ga kangen gitu El sama gue?"
"Engga tuh," sahut Mirele lagi. Gadis itu fokus dengan film
yang tengah ditontonnya di dalam kamar tidurnya sembari
tidur tengkurap.
"Boong banget. Gue gak percaya. Lo satu hari tanpa gue aja
kayanya kaya mayat hidup di sekolah."
"Pede banget."
Di seberang sana Gibran terkekeh.
"Matiin deh bran. Gue mau tidur, dah ngantuk."
"Ga percaya gue lo ngantuk jam segini. Biasanya lo jam tiga
aja masih online kan?"
"Itu dulu. Sekarang mata gue udah berat, gue ga mau besok
sekolah mata panda."
"Biasanya juga gitu," Balas Gibran yang membuat Mirele kesal
sekali.
"Tutup, atau gue block nomor lo?"
"Gue bisa teror lo pakek nomor gue yang lainnya."
"Lo ngeselin ya." Mirele mendengus kesal.
"Lo juga gemesin," sahut Gibran lagi dengan kekehannya.
Mirele menahan senyumnya sebenarnya, tapi gadis itu gengsi
lah. Yakali ia bisa termakan gombalan buaya dari Gibran.
Lama Mirele terdiam. Ia dapat mendengar di seberang
sambungan sana suara krasak dari Gibran.
"Dari Aruna,"
Mirele tampak asing dengan suara itu. Suara seorang kan? Ah
iya. Mirele kan sempat dikasi tau sama Gibran jika ia memiliki
kakak laki laki. Tapi Mirele tidak pernah melihat wujud kakak
laki laki Gibran. Mungkin saja itu memang suara kakak laki
laki Gibran.
Tiba tiba suara di seberang telepon sunyi. Mirele
memperhatikan layar ponselnya. Sambungan teleponnya
dengan Gibran masih tersambung, apa cowok itu
mensenyapkan suara sambungannya?
Mirele mengedikkan bahu acuh, karena kesal akhirnya Mirele
mendial tombol merah, mematikan sambungan teleponnya.
***
"Dari Aruna,"
Gibran menatap sebuah surat kecil yang masih ada di tangan
Galen tanpa minat. Cowok itu kembali menoleh ke layar
ponselnya, mensenyapkan sambungan teleponnya agar
Mirele tidak bisa mendengar percakapannya dengan Galen.
"Bisa ga sih dia berhenti buatin gue surat surat kayak gini?
Bukannya respect, gue makin ilfeel sama cewe kayak gitu."
"Lo bisa kan cuma sekedar baca? Dia gak minta lebih." sahut
"Udahlah. Untuk lo aja suratnya, gue ga butuh," Gibran
hendak kembali menuju arah tidurnya tapi bajunya ditarik ke
belakang oleh Galen.
"Bisa ga lo hargai sekali aja perjuangan dia? Dia gak minta
lebih."
Gibran terkekeh kecil "Justru dengan gue seakan akan baik
sama dia, dia akan jadi lebih berharap sama gue kan? Lebih
bagus dari awal gue udah beri dia peringatan, daripada dia
semakin berharap sama gue."
"Gue bukan lo yang baik ke dia, tapi ujungnya cuma anggep
dia sahabat." lanjut Gibran.
Galen menatap adiknya dengan pandangan datar "Apa
bedanya gue dan Aruna sama lo dan Mirele?"
Gibran menarik senyumnya ke atas "Udah gue bilang
sebelumnya sama lo, gue bukan lo yang baik ke cewek tapi
ujungnya cuma lo anggap temen. Gue anggep Mirele lebih
dari itu."
BAB 3
Pagi ini Mirele merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri.
karena akibat tidak memasang alarm kemarin malam, dirinya
menjadi telat datang ke sekolah.
Mirele memperhatikan Gerbang sekolah yang tertutup rapat
dengan helaan nafas gusar. Gadis itu berbalik badan,
memasang kembali earphone di kedua telinganya lalu mulai
melangkah menjauhi area sekolah.
Mirele bingung ingin kemana sebenarnya. Ia seperti tidak
punya arah tujuan. Jadi Mirele memutuskan memberhentikan
angkot lalu masuk ke dalamnya.
Di dalam angkot Mirele hanya diam. Tak memperdulikan ibu
ibu yang mengomeli anaknya ataupun suara kokokan ayam
yang berisik yang dibawa oleh seorang kakek tua.
Mirele fokus dengan pandangan kosong sembari
mendengarkan lagu.
"Diam! Ibu pusing denger kamu nangis terus."
Mirele yang semula acuh dengan keadaan mulai tertarik
pandangannya ke arah ibu ibu yang sejak tadi terus memarahi
anaknya. Mirele menarik kabel earphonenya perlahan.
"Ta- tapi ini sakit Bu.. hiks," Anak perempuan yang
mengenakan seragam taman kanak kanak itu terisak sedih.
Mirele memperhatikan lutut anak itu, ada luka yang cukup
besar disana.
"Gak usah cengeng. Ini juga bakalan sembuh." Ibu itu
menggeplak luka anaknya yang membuat sang anak semakin
terisak.
Mirele membulatkan matanya menyaksikan itu. Apa apaan
ibu itu. Apa begitu caranya menenangkan seorang anak?
"Ibu gak pantes disebut seorang ibu jika kasar kayak gitu."
Celetuk Mirele yang langsung menarik perhatian ibu itu.
"Jangan ikut campur kamu, jangan sok suci juga. Saya liat liat
dari dandanan sama gaya kamu kayak cewek murahan."
Mirele diam. Gadis itu menarik sudut bibirnya.
"Saya emang bukan orang yang pantes disebut baik baik. Tapi
saya masih punya akal untuk inget kalau dosa itu ada."
"Seenggaknya saya gak bejat kayak ibu," lanjut Mirele sarkas
yang mampu memancing emosi ibu itu.
"Gak sopan sekali ya kamu."
"Orang kayak ibu gak pantes di disopanin. Sama darah daging
sendiri aja jahat."
"Tutup mulut kamu." Ibu itu hendak menarik kasar tangan
Mirele. Tapi kakek kakek yang sejak tadi diam di samping
Mirele menahan tangan ibu itu.
"Jangan suka main kasar. Tangan kamu ini terlalu sering
menyakiti orang." kakek itu menyentak kasar tangan ibu itu.
Mirele memandang itu dalam diam.
"Anak kamu masih kecil, jangan dikasari. Kamu gak bakalan
pernah tau perbuatan kamu ini berdampak apa bagi dia
kedepannya." nasehat kakek itu yang tak digubris ibu itu.
"Pak! Berhenti disini," Ibu itu terlanjur muak dengan Mirele
dan kakek tua itu, setelah angkot berhenti, Ibu itu menarik
tangan anaknya mengajaknya keluar dari dalam angkot.
"Kamu tidak apa apa nduk?"
Mirele menoleh. Tersenyum singkat ke arah kakek tua itu
"Gapapa kek, makasi."
Kakek tua itu mengangguk. Angkot itu berhenti, Mirele mulai
menggendong kembali tas sekolahnya lalu keluar dari dalam
angkot. Sebelum itu, ia menoleh sebentar ke arah si kakek.
"Kakek manggil namaku?"
Kakek tua itu menggeleng, mengelus ayam yang dibawanya
"Tidak,"
Mirele mengerutkan dahi. Perasaan ada yang memanggil
namanya tadi. Jelas jelas ia tak salah dengar.
Tapi- mana mungkin juga kakek tua itu mengetahui namanya
kan?
***
"Gue dikasi tau sama Ralin kalau lo ga sekolah hari ini.
Kemana aja?"
Mirele menatap layar ponselnya tanpa minat "Gue di rumah,"
"Kenapa ga sekolah?"
"Gue bangun." Sahut Mirele seadanya.
"Dasar! Pasti lo semalem begadang kan?"
Mirele mengangguk menjawab pertanyaan Gibran "Udah ya
bran. Gue mau tidur,"
"Lo juga ngomong gitu pas vc kemarin tapi akhirnya lo
begadang, kan?"
"Sekarang gue beneran lagi capek banget."
Gibran hanya mengangguk. Ia bisa apa? Cowok itu tersenyum
sekilas "Yaudah. Tidur sana, awas aja lo ga tidur trus telat
sekolah lagi kayak tadi."
"Iyaaaa,"
"Jangan iya iya doang,"
Mirele berdecak kesal "Bodo amat. Gue matiin."
"Tung-"
Pip
Tepat saat sambungan terputus, pintu kamar Mirele dibuka
oleh seseorang.
"Kak Makan bareng yuk,"
Mirele menatap adiknya tak minat. Mawar yang diberi
tatapan itu sudah biasa. Gadis sepuluh tahun itu melunturkan
senyumnya, hendak menutup kembali pintu kamar Mirele
kala melihat respon tak bersahabat dari kakaknya.
"Mama Jovi mana?"
Mawar menahan pintu kamar Mirele. Gadis itu menarik
senyumnya kala kakaknya yang selama ini tidak pernah bicara
terhadapnya mulai bertanya sesuatu kepadanya.
"Mama dibawah kak. Ada papi juga. Mama suruh mawar
panggil kak El. Katanya makan bareng yuk,"
"Gue gak mau makan bareng kalian."
"Oh," kentara sekali suara mawar terdengar sedih. Gadis kecil
itu mengangguk "Tapi kak El belum makan dari pagi. Nanti
sakit. Mau mawar anterin makan ke-"
"Gak usah sok baik. Pergi!"
"Tapi-"
benci sama lo Mawar." Tanpa sadar Mirele membentak. Gadis
itu spontan terdiam melihat raut Mawar yang tampak
menahan tangis.
"Tapi mawar sayang sama kak El," setelah berucap itu, Mawar
menutup rapat pintu kamar Mirele.
Mirele menatap hampa pintu kamarnya yang saja ditutup.
Gadis itu menangkup wajahnya menggunakan telapak
tangan.
***
"Kamu apakan anak saya semalam?"
Mirele yang hendak menuruni anak tangga mengurungkan
niatnya kala disambut oleh suara ayahnya di belakangnya.
Mirele menghadap ke arah papinya. "El gak pernah ngapa
ngapain anak kesayangan papi itu.'
"Tapi dia nangis setelah Jovi nyuruh panggilan kamu ke
kamar. Pasti kamu bentak kan?"
"kalau iya papi mau apa?"
"Anak gak punya sopan santun! Malu saya punya anak kayak
kamu."
Mirele terkekeh hambar. Gadis itu menatap papinya dengan
pandangan nanar "Bukannya dari dulu papi gak pernah
nganggep aku anak papi? Ngomong ngomong soal sopan
santun, bukannya sepatutnya seorang anak diajarkan oleh
orang tua mereka tentang itu? Papi bilang aku gak punya
sopan santun kan? Ya! Karena sejak kecil papi gak pernah
nemenin aku belajar sedetik pun."
Yoga menatap anaknya murka "Anak gak berguna!"
"Papi udah terlalu sering bilang aku kayak gitu. Aku udah
capek pi,"
"Kalau saja ibumu tidak menyerahkan hak asuh ke tangan
saya, saya gak sudi tinggal sama kamu,"
Ayolah, hati anak mana yang tidak sakit mendengar kata kata
menyakitkan itu keluar dari mulut ayah kandungnya sendiri?
"El gak akan ingin dilahirkan jadi anak papi jika El bisa milih.
Tapi kenyataannya apa?" Mirele tertawa hambar. Kenapa ia
tidak menangis? Karena hatinya terlalu kebal mendengar kata
kata seperti itu setiap hari.
Kadang rasa sakit tidak hanya diungkapkan dengan air mata.
"Papi, jangan marahin kak El terus," Mawar menarik ujung jas
papinya. Gadis kecil itu menyaksikan sejak tadi ketika papinya
memarahi sang kakak dari jauh.
Mawar kasihan melihat Mirele yang setiap hari selalu
dibentak oleh papinya. Kadang gadis kecil itu juga heran,
kenapa papinya selalu saja marah marah kepada sang kakak.
"Mawar sayang, diem di kamar ya sama mama? Papi mau
bicara sebentar sama dia."
Mawar menggeleng "Papi pasti bakalan marah marah lagi
sama kak El. Mawar takut Pi,"
"Engga, papi gak bakalan marah lagi."
"Bohong."
"Mawar-"
"El sayang. Mama anterin ke sekolah yuk," Jovi datang
mereka. Wanita cantik itu mengelus bahu Mirele sayang yang
membuat Mawar senang melihat itu.
halnya dengan Yoga yang menatapnya saja.
"Gausah. Aku bisa pesen taksi." Tolak Mirele.
"Sudah saya bilang berapa kali sama kamu. Dia anak ga tau
diri, seenaknya aja. Dibaikin malah gak tau terima kasih,"
"Mas!" Jovi menatap tajam suaminya. Wanita itu menatap ke
arah Mirele tidak enak hati. Sementara Mirele mulai
menuruni anak tangga. Ia tak peduli dengan papinya yang
berkata hal yang buruk tentangnya.
***
"Jangan lupa dateng ya guys nanti malam."
"Oke Na," jawab teman temannya serempak yang membuat
Aruna tersenyum senang.
"Cieee ultah. Happy birthday na, semoga apa yang lo inginkan
terwujud ya,"
"Makasi Zan." Ujar Aruna kepada Fazan
yang berucap demikian.
"Selamat ultah ya na. Gue sama yang lain pasti dateng kok,
terutama ekhem- Galen," Ava menyenggol lengan Galen yang
berdiri di sampingnya.
Aruna terkekeh "Makasi ya semua. Lo semua emang harus
dateng. Nanti gue siapkan tempat khusus buat kalian."
"Wah wahh, siap." Jawab Robby, Ava, Jay, Fazan kompak.
"Oh iya Len, Aku ngundang Gibran dari kemarin lewat
whatsapp, tapi gak di bales bales juga. Jadi boleh aku ikut
kamu pulang nanti? Mau kasih undangan langsung ke dia."
Galen menatap Aruna tak enak. Cowok itu mengangguk
"Boleh,"
"Makasii Galen,"
"Sama sama."
Robby, Ava, Jay, dan Fazan memperhatikan itu. Setelah Aruna
kembali dengan aktivitasnya bercengkrama dengan teman
teman sekelas yang lainnya, Mereka mulai berbisik.
"Aruna masih suka sama adik lo Len?"
"Masih,"
"Respon Gibran gimana?" Jay bertanya
"Ya gitu- Gibran tetep gak mau denger tentang Aruna."
"Kacau nih, padahal kalau Gibran mau dateng nih ya, pasti
Aruna bakalan seneng banget."
"Gue coba bujuk dia nanti." Galen berkata
"Kalau dia tetep gamau?" Fazan menaik turunkan alisnya.
"Ya gimana lagi? Gue gabisa maksa,"
Yang lainnya hanya mengangguk.

Bab 4
Pulang sekolah, Galen benar benar menepati janjinya
mengajak Aruna ke rumahnya untuk membantu gadis itu
memberikan surat undangan secara langsung kepada Gibran.
Aruna membenahi rok sekolahnya ketika turun dari dalam
mobil Galen, sementara Galen melepaskan terlebih dahulu
sabuk pengamannya lalu menyusul Aruna yang di samping
badan mobil. "Rumah kamu keliatannya sepi."
Galen mengangguk. Rumahnya memang lebih sering sepi di
siang hari seperti ini. Mama dan papanya yang sibuk bekerja
lalu Gibran yang entah kemana. Selama masa skorsingnya,
Gibran tak pernah diam di rumah sepengelihatan Galen.
"Mungkin aja Gibran lagi ada di kamarnya,"
Bertepatan dengan ucapan Galen tersebut, suara deru motor
menarik fokus Galen dan Aruna. Keduanya sama sama
menoleh ke belakang, dimana motor yang dikendarai Gibran
baru saja memasuki pekarangan rumah.
Aruna melunturkan senyumnya kala melihat Gibran datang
bersama seorang gadis yang duduk di jok belakang motornya.
Galen memperhatikan itu, cowok itu tak melepas
pandangannya sampai Mirele yang dibonceng Gibran turun
dari atas motor adiknya.
"Kok ada lo?" Setelah turun dari atas motor Gibran, Mirele
yang bingung dengan kehadiran Galen dirumah Gibran
langsung menghampiri cowok itu.
Aruna mengerutkan dahi, apa maksud pertanyaan gadis itu?
Bukannya sepatutnya Galen ada di rumahnya sendiri?
Gibran melepas helm yang dikenakannya lalu meletakkannya
di atas jok motor dan beralih menghampiri Mirele yang
berdiri di hadapan Galen dan Aruna.
"Wait, lo temenan sama dia bran?" tanya Mirele menghadap
ke arah Gibran yang berdiri di sebelahnya. Gadis itu masih
bingung.
"Temenan?" Beo Aruna, "Kamu gak tau kalau
mereka kakak adik?"
"Hah?" Wah, apa ini? Kakak adik? Mirele
Gibran menuntut penjelasan.
Gibran mengangguk. "Galen kakak gue."
Mirele hanya bisa terdiam. "Lo gak pernah bilang ke gue,"
"Gue kira lo udah tau dengan sendirinya."
"Ck. Mana ada,"
"Oh, pantes kamu bingung," Aruna tersenyum tipis. Yang
membuatnya tersenyum sebenarnya karena Gibran berdiri
tepat di hadapannya.
"Ngapain lo ajak dia kesini?" tanya Galen kepada Gibran
sembari menatap ke arah Mirele sekilas. Mirele yang ditatap
hanya cuek, malah memainkan kuku kuku jarinya.
"Lo ngapain bawa dia kesini juga?" Gibran membalikkan
pertanyaan.
"Emm, aku mau kasih kamu undangan ini. Dateng ya bran,
aku ulang tahun hari ini." Gibran menatap tak minat ke arah
undangan yang
disodorkan oleh Aruna. Cowok itu dengan malas
menerimanya kemudian yang seketika membuat
senyum Aruna terbit.
"Makasi ya, karena udah terima undangan aku."
"Gue gak bakalan dateng."
Galen menatap tak suka ke arah Gibran. Tak bisakah adiknya
itu menjaga perasaan Aruna?
"Tapi kenapa?"
Gibran mengedikkan bahu acuh, "Gue gak suka pesta."
"Tapi-"
bisa kan gak usah maksa? Gue bilang gue-"
pasti bakalan dateng." Mirele memotong ucapan Gibran.
Cowok itu menatap Mirele tajam.
"Gak!"
"Bran!" Mirele membalas tatapan Gibran "Seenggaknya lo
ngehargain dia," Mirele.
"Gue gak suka sama dia El."
"Gue mau lo dateng kesana," Desak Mirele.
"Enggak tanpa lo." Putus Gibran.
"Maksud lo?"
Aruna dan Galen mendengar itu. Aruna menundukkan
pandangannya. Gibran sangat kekeuh tidak mau menghadiri
pestanya.
"Gue dateng kalau lo ikut gue kesana."
"Enggak. Apaan! Gue gak diundang," Mirele menolak.
"Gue bakalan dateng kalau Mirele di undang." Ucap Gibran
menatap ke arah Aruna dan Galen bergantian.
"Gibran!" Galen meninggikan
"Apa? Gamau? Fine, gue gak bakalan dateng."
"Oke, dia aku undang." Ujar Aruna akhirnya. Gadis itu
menerjapkan matanya, tak ada pilihan lain. Walau hatinya
sakit karena Gibran mengajak cewek lain, tetapi ia lebih
memilih jika cowok itu hadir di acaranya. Itu saja sudah cukup
baginya.
"El, lo yakin ke pesta ulang tahun pakek baju kaya gitu?" Ralin
memperhatikan penampilan Mirele dari bawah hingga atas.
Gadis itu menepuk jidat.
"Lo mau ke jadi anak band hah? Astagaa Mirele."
"Ribet. Lo mau gue pake gaun gaunan? Ogah." Mirele yang
lelah lantas merebahkan tubuhnya di ranjang kamar Ralin.
"Ya seenggaknya lo tampil feminim lah El. Wajah lo cakep,
masak dandanan lo laki gitu." Ralin berjalan menuju arah
lemarinya, ia ingin melihat lihat koleksi baju miliknya yang
sekiranya cocok dengan Mirele.
"Nih, dress gue yang pernah gue pake sekali doang pas ultah
mantan. Cakep nih, warnanya cakep. Lo pakek yang ini aja."
Mirele memperhatikan long dress itu, "Iuh banget. Lo kira
gue mau ngapain pake itu? Mana warna putih lagi."
Apa katanya? Ralin berdecak kesal. Lalu mulai melihat lihat
koleksi pakaiannya yang lain.
"Nah ini nih. Cakep banget, mau gak lo?"
"Lo mau suruh gue jadi jalang pake rok ketat kaya gitu?"
Ralin tersenyum masam. Sabar sabar, teman sabar disayang
pacar temen.
Gadis itu kembali mencari cari pakaiannya.
"Lo bakalan nolak yang ini? Cantik banget loh dress nya,
warna Lilac. Lagi jaman."
"Gak."
"Nah ini warnanya ngejreng. Cocok sih kayaknya sama lo."
"Gak sudi."
"Ini warnanya kalem. Kuning, kulit lo pasti bakalan cerah
banget pake baju ini."
"Gue gak suka warna kuning,"
"Pink. Plislah El sesekali pakai warna pink kek Jangan item
mulu."
"Alay. Isi mote lagi."
"GUE NYERAH!" Ralin merebahkan tubuh lelahnya di samping
Mirele yang sibuk mengotak atik ponselnya. Kamar Ralin
sudah tak terbentuk lagi karena pakaian miliknya yang
berserakan di atas ranjang.
"Pakaian gue mahal mahal ga lo suka sama sekali salah
satunya. lo sukanya yang kek gimana sih El?"
"Gue pakek yang kayak gini juga keren kali." Mirele
menunjukkan baju yang dikenakannya.
Kaos hitam oversize, celana jeans hitam. Iyasih keren, tapi
kalau di pakai ke acara birthday party kan gak nyambung.
Kayak salah kostum aja gitu.
"Serah lo deh, gue nyerah."
"Hm," Mirele berdehem.
"Jadi lo beneran bakalan pakai baju gitu?"
Mirele mengedikkan bahunya menjawab pertanyaan Ralin.
"Di lemari sana, ada baju baju gue yang lainnya. Serah deh lo
pilih pilih aja, yang penting jangan pake baju hitam hitam kek
gini."
Mirele menatap ke arah tunjuk Ralin, "Males."
"El. Please, lo kalau dandan pasti cantik."
Mirele berdecak malas. Gadis itu memilih menyumpal kedua
telinganya dengan earphone. Tak perduli dengan Ralin yang
mencak-mencak kesal di sampingnya.
"Awas kali ini lo gak mau. Gue beneran nyerah!"
Ralin beranjak dari atas ranjang menuju ke lemari pakaiannya
yang lainnya. Gadis itu membuka lemari itu, lalu memilih
milih gaun yang sekiranya mau Mirele kenakan.
Mata Ralin berhenti di salah satu dress miliknya. Dress itu
berwarna hitam tanpa lengan.
"Gue emang bakalan yakin banget dia nolak. Tapi itu anak
kalau ga dipaksa emang gabakal pernah mau."
membawa dress itu mendekati Mirele. Gadis itu
menggoyangkan kaki Mirele untuk membangunkan gadis itu
"Apa?"
Ralin tersenyum dengan memperlihatkan dress yang
dibawanya, "Ini cocok untuk lo. Hitam elegan."
Mirele menatap itu tanpa minat, "Udah deh Lin.Gamau gue."
"Ck. Please El, coba aja dulu. Cantik banget pasti di badan lo."
Mirele menggeleng, hendak kembali menutup matanya.
Tetapi buru buru Ralin menarik tangan gadis itu hingga siap
tak siap membuat tubuh Mirele menjadi terangkat.
"Lo harus coba ini! Gue gamau tau ya El. Lo ga kasian gue
capek capek milihin lo gaun?"
"Gak ada yang nyuruh lo milihin gue gaun!" Tukas Mirele.
"Titik ga pake koma lo harus ganti baju sekarang! Buruan."
Ralin mendorong tubuh Mirele memasuki walk in closet
miliknya.
"Gamau."
"Bodo amat,"
"Lin. Lo yaaa!"
Ralin menutup pintu walk in closet miliknya. Mengunci Mirele
yang berada di dalam. Gadis itu menepuk tangannya,
tersenyum cerah lalu kembali ke arah tempat tidurnya.

***
"Mama titip salam sama Aruna ya,"
Galen mengangguk, fokus memasang jam tangannya dengan
teliti ditemani Grizelle yang memperhatikannya dari
belakang.
"Diliat liat, kamu mirip banget papa kamu ya."
Galen tersenyum, setelah jam tangannya terpasang
sempurna, cowok itu membalikkan badan ke arah mamanya.
"Emang Gibran gak mirip sama papa?" Galen balik bertanya.
Grizelle mendekati anaknya. Wanita cantik itu membenahi
rambut Galen yang tampak sedikit berantakan dengan sedikit
menjinjit karena tinggi Galen yang jauh dengan Grizelle.
"Gibran lebih mirip ke mama kata orang orang," Balas
Grizelle. Wanita itu sudah selesai dengan kegiatannya
membenahi rambut sang anak.
Galen hanya membalas dengan senyuman
"Gibran hadir ke acara Aruna?"
Galen terdiam. Cowok itu menatap tepat ke arah bola mata
mamanya.
"Dateng," ungkapnya.
"Mama liat dia di rumah, Gibran bilang dia mau jemput
temennya."
Galen mengangguk. Ia tau kemana Gibran pergi. Sementara
disisi lain, tepatnya di rumah Ralin....
"Gila gila! Apa gue, lo cantik banget njir El sekarang." Ralin
memutar tubuh Mirele di depan cermin. Gadis itu berjingkrak
senang dengan hasil karyanya.
"Rambut lo kalau diginiin terus cekep banget sumpah." Ralin
Mengambil salah satu koleksi bando miliknya dan
memakaikannya ke kepala Mirele.
"Lo vibe ratu banget! Gue yang cewek aja terpesona, gimana
cowok cowok disana nantinya?" Ralin memberikan sentuhan
terakhir di bibir
"Lo bisa ngalahin yang punya hajat nanti El. Gue yakin,
mereka bakalan lebih terpesona sama lo dibanding kak
Aruna."
Mirele hanya diam. Gadis itu sangat malas sebenarnya hadir
di acara itu. Apalagi dress yang dikenakannya sangat
membuatnya tidak nyaman.
"Gibran udah di depan, buruan gih turun."
Mirele mengangguk, gadis itu hendak melangkah. Tapi Ralin
kembali menahannya.
lagi?"
"Lo gak mau pakek heels?"
"Heels?" Beo Mirele, "Gue pakek sepat-"
"Gak ada. Lo harus pakek heels. Gue pilihin dulu."
"Aduh ribet. Gue gak biasa pake heels. Ntar gue gimana?"
"Bisa El. Gue yakin lo bisa, nih pake." Ralin menyerahkan
heels berwarna cream ke arah Mirele.
"Tinggi banget buset."
"Namanya juga high heels," Balas Ralin lalu membantu Mirele
memakai heels itu di kaki mulus sahabatnya.
"Good luck, dear. Semoga lo ketemu jodoh disana ya!!"
"Gila!" Dengus Mirele yang mencoba jalan dengan high heels
itu."
Bab 5
Gibran berdiri begitu mendengar panggilan kecil dari arah
belakangnya. Cowok itu berbalik, termenung saat mendapati
kehadiran Mirele dan juga Ralin di samping gadis itu.
"Jangan terpesona gitu bran, gimana hasil karya gue? Cantik
kan?"
Gibran tersenyum. Cantik. Bahkan sangat cantik.
"Lo kenapa ga pake kemeja hitam sih bran? Biar serasi gitu
sama Mirele."
Gibran menatap jam tangan di pergelangan tangannya "Gini
aja gue sama Mirele udah serasi, kan?"
Mirele meraba lengannya yang terasa sangat dingin karena
AC di ruang tamu Ralin hidup. Gadis itu jarang sekali memakai
baju tanpa lengan seperti ini.
"Yaudah, buruan sama berangkat. Jagain temen gue Bran."
Gibran mengacungkan jempol "Siap laksanakan,"
Gibran mengulurkan tangannya menyambut Mirele. Gadis itu
memandang telapak tangan Gibran sebentar.
"Harus banget?"
"Ga harus sih," Gibran beralih mendekati Mirele lalu
merangkul pundak gadis itu. Ralin yang menyaksikan itu
senyum senyum di belakang.
"Good luck lo berdua!"
Gibran mengacungkan jempolnya seiring langkahnya dan
Mirele yang kian menjauh.
***
"HAPPY BIRTHDAY TO YOU.. HAPPY BIRTHDAY TO YOU...
HAPPY BIRTHDAY HAPPY BIRTHDAY HAPPY BIRTHDAY
ARUNA..."
LILINNYA TIUP LILINNYA TIUP LILINNYA SEKARANG JUGA
SEKARANG JUGA SEKARANG JUGA..."
Fyuh..
Aruna tersenyum haru setelah meniup lilin yang terpasang di
atas kue ulang tahunnya. Gadis itu ikut bertepuk tangan
melihat antusias orang orang disekitarnya.
"Semoga diberikan kebahagiaan Na," ujar salah satu teman
Aruna yang berdiri di samping gadis bergaun biru muda yang
sangat cantik itu.
"Makasi loh kalian udah sempet sempetin dateng." Aruna
membalas.
"Santai, sekalian reunian sama yang lainnya,"
"Sekarang tinggal potong kue,"
"POTONG KUENYA POTONG KUENYA POTONG KUENYA
SEKARANG JUGA SEKARANG JUGA SEKARANG JUGA,"
Aruna memotong kue ulangtahunnya menjadi beberapa
bagian. Gadis itu memotong kecil kecil lalu diletakkannya di
atas piring kue.
"First cake dikasih ke siapa nihh na?"
Aruna tersenyum "Tentu aja mama sama papa," Aruna
berjalan mendekat ke arah kedua orangtuanya yang berada di
dekatnya. Gadis itu menyuapi orangtuanya kue secara
bergantian.
Tepuk tangan mengiringi sampai Aruna kembali untuk
mengambil potongan kue yang kedua.
"Yang kedua untuk siapa Na?"
Bertepatan dengan itu Gibran dan Mirele baru saja
bergabung di kerumunan para tamu undangan. Mirele
menurun nurunkan dress nya yang disetiap langkahnya selalu
saja naik naik.
Gibran yang berdiri di samping gadis itu menahan lengan
Mirele "Lo ga nyaman?"
Mirele mengangguk "Gue ga biasa pake dress gini."
Gibran menggenggam telapak tangan Mirele. Gadis itu
menoleh "Malu Bran."
"Yaelah El. Santai," Gibran menuntun Mirele untuk semakin
masuk ke dalam kerumunan.
Gibran dan Mirele merasa asing berada di sana. Mirele tak
mengenal siapapun disini. Karena kebanyakan tamu
undangan adalah anak anak kelas duabelas teman teman
sekelas Aruna dan juga yang dekat dengan gadis itu.
"Yang kedua untuk sahabat gue, Galen."
Gibran dan Mirele menatap fokus ke pusat acara. ke arah
Aruna yang berjalan dengan anggunnya mendekati Galen.
Para tamu undangan kembali bertepuk tangan. Ada yang
bersiul dan terang terangan menggoda Aruna dan Galen yang
tampak serasi seperti pasangan.
"Kalau engga ada lo, mungkin gue udah mati kebosenan
disini." Bisik Gibran di samping telinga Mirele.
"Lo kenapa sih kaya gamau banget sama kak Aruna?"
Gibran menoleh "Gue ga suka aja,"
"Dia cantik-"
"Percuma cantik tapi gue ga bisa nyaman sama dia El."
Mirele diam. Gadis itu malas berdebat dengan Gibran. Ia tau
Gibran ini gimana. Cowok itu kalau dari awal ga suka ya susah
buat suka.
Sementara di sana, tepatnya Setelah Aruna memberikan
potongan kue ke Galen, gadis itu mengalihkan atensinya ke
arah Gibran dan Mirele yang tampak tengah berbincang.
Galen yang berada tak jauh dari Aruna memperhatikan arah
pandang gadis itu. Matanya langsung terfokus ke arah Gibran
dan Mirele berdiri.
"Lo nyadar ga sih cewek bar bar itu beda banget kalau lagi
feminim?" Ava berbisik kepada Galen, Jay, Robby dan Fazan
yang ada di dekatnya.
"Cantik banget buset. Kaya boneka." komentar Jay.
"Gue ga munafik kalau dia lebih menarik dibanding cewek
cewek yang ada disini. Termasuk Aruna," Robby ikut
menimpali.
Galen memperhatikan Mirele dari jarak yang cukup jauh.
Cowok itu memasukkan tangannya ke dalam saku celananya.
"Gibran sama cewek itu ada hubungan apa Len? deket
banget, bahkan adik lo itu bela belain ngehajar gue cuma
demi bela tu cewek." Tanya Fazan menatap ke arah Galen
yang sejak tadi hanya diam.
"Rumit ya. Aruna suka Gibran, tapi Gibran suka Mirele.
Bakalan lebih rumit kalau lo ikut adil juga Len."
"Maksud lo?"
"Gini gini, lo suka salah satu diantara mereka. Aruna kek atau
Mirele kek. Kan jadi cinta segi empat." Jay menerangkan.
"Mending jangan Len. Ga baik rebutan sama adik sendiri.
Apalagi rebutin cewek kayak Mirele," Ujar Fazan.
"Gue liat liat lo dendam banget sama tu cewek Zan. gitu lah,"
"Gue cuma ga suka aja sama cewek kasar kaya dia." Balas
Fazan acuh "Kalau sama Aruna, gue dukung lo sob,"
"Gue tim Galen Mirele aja deh. Biar beda," Jay menimpali
"Diliat liat lo sama cewek itu cocok tau Len. Dia bar bar, lo
cuek. Bakal susah nyatu sih emang, tapi kalau disandingin
bakalan klop banget."
"Gue tim Galen Mirele juga!" Tukas Robby.
"Gue tim diri gue sendiri sama Mirele. Galen sama Aruna aja,
gue yang sama Mirele." Ava terkikik
"Najis!" Robby memutar jengah bola matanya.
Galen hanya mendengarkan saja ocehan tak jelas teman
temannya. Cowok itu mengalihkan pandangannya ketika
maniknya dan Mirele sempat bertemu.
"SELAMAT MENIKMATI HIDANGANNYA PARA HADIRIN,"
Gibran menarik tangan Mirele lembut membawa gadis itu ke
salah satu meja. Mirele berjalan dengan hati hati sembari
memegang lengan Gibran. High heels yang ia kenakan sangat
menghambat gerak kakinya.
"Duduk sini, gue ambilin lo minum."
Mirele duduk di bangku meja bundar itu. Gadis itu
mengangguk "Jangan lama."
"Iya El," Gibran beralih berjalan meninggalkan Mirele sendiri.
Gadis itu memeluk tubuhnya saat merasakan dingin menerpa
kulit halusnya.
Gadis itu mengarahkan pandangannya kesana kemari. Ada
satu pasangan yang menghampirinya "Mirele kan? Anak kelas
sepuluh?"
Mirele mengangguk. Siapa dua orang itu?
"Gue Karin, Kakak kelas lo. Dulu kayaknya sempet nawarin lo
buat gabung sama team cheers."
Mirele mengingat ngingat. Gadis itu hanya mengangguk kecil.
Sepertinya memang ia ini tipe orang yang mudah lupa dengan
sesuatu.
"Gue boleh gabung disini?" Tanya Karin lagi.
Mirele mengangguk "Silahkan,"
Taukah kalian, Mirele merasa sangat kesal dengan cowok
yang dirangkul oleh Karin itu. Cowok sok ganteng itu terus
menatap dirinya sejak tadi. Mirele membenahi letak
duduknya, membawa rambutnya ke depan untuk menutupi
pundaknya yang terekspos.
Ia sangat tau tipe seperti apa cowok seperti cowok Karin itu.
Mirele memainkan kuku kuku jarinya sembari menunggu
kedatangan Gibran.
"Lo ikut eskul apa jadinya?" Karin kembali bertanya yang
otomatis membuat Mirele menoleh,"
"Musik," Sahut Mirele seadanya.
Karin mengangguk paham. Lalu kembali memfokuskan dirinya
berbincang dengan pacarnya yang tak berhenti mencuri
pandang ke arah Mirele.
"Aku mau ngambil minum dulu, kamu tunggu disini ya yang,"
Cowok Karin itu mengangguk "Aku nunggu disini,"
Karin tersenyum lalu melangkah pergi. Mirele merutuk Karin
dalam hati. Apa sedikit saja gadis itu tak sadar cowoknya
sejak tadi jelalatan memandang ke arahnya? Bodoh.
"Hai," sapa cowok Karin yang Baron itu kepada Mirele.
Mirele bergerak gelisah dalam duduknya.
Dimana pun Gibran berada sekarang, Mirele akan memarahi
cowok itu nantinya karena meninggalkannya sendirian begitu
lama. "Aku Baron, salam kenal." Baron mengulurkan
tangannya hendak berkenalan dengan Mirele.
"Mirele," sahut Mirele seadanya tanpa berniat membalas
jabatan tangan Baron.
Baron terkekeh kecil menatap uluran tangannya yang tidak
dibalas Mirele.
"Kamu cantik, aku gak pernah liat kamu di sekolah
sebelumnya."
Mirele tak merespon. Apa cowok itu tidak sadar Mirele risih
dengannya?
"Boleh minta nomor wa nya? Atau nama Instagram kamu aja
dulu, nanti aku follow."
"Ga punya."
"Sombong banget." Balas Baron dengan kekehan.
"Kak, jangan kelewatan. Inget udah punya cewek,"
Baron terkekeh lagi. Mirele rasa cowok itu sudah gila karena
sejak tadi terus saja tertawa.
"Karin gak ada apa apanya dibanding kamu. Kamu cantik,
sementara dia ngebosenin."
"Gila!" Mirele yang sudah tak nyaman hendak berdiri lalu
melangkah pergi untuk mencari Gibran, tapi dengan tidak
tahu malunya Baron menahan tangannya lalu menariknya
menjauhi kerumunan.
"Gak waras lo sumpah!" Mirele menyentak kasar tangan
Baron. Gadis itu membalikkan badan, hendak kembali ke
kerumunan orang orang, tapi Baron kembali mencekal
tangannya.
"Kita seneng seneng dulu, cantik."
"Lepasin gue." Mirele menendang kaki Baron dengan
heelsnya. Baron mengaduh, sebelum Mirele berhasil
melarikan diri. Lagi lagi cowok itu mencegat lengan gadis itu
lalu menyudutkan Mirele di sudut terpencil dari Rumah
Aruna.
"TOLONG!"
"Diem sayang. Kalau aja dari awal kamu ga sombong, kamu
gak bakal aku giniin."
"Brengsek!!"
Baron menekan bibir Mirele dengan jari telunjuknya "Bibir
cantik kamu ga cocok ngucapin kata kata kotor."
"Lepasin gue anjing. Gak punya malu ya lo jadi cowok."
"Hustttt, nanti orang orang denger sayang,"
"Najis!"
Baron kembali terkekeh "Kita seneng seneng dulu."
"Gila!"
Baron merapatkan tubuhnya dengan tubuh Mirele. Gadis itu
berusaha memberontak, tapi tangannya kembali dicekal oleh
Baron oleh tangan kiri cowok itu. Sementara tangan kanannya
digunakan untuk meraba pelan permukaan pipi mulus Mirele.
"Cantik,"
Mirele berdecih. Ia tak Sudi disentuh oleh cowok itu.
"Gibran gak ada apa apanya dibanding aku. Dia cuma anak
bau kencur."
"Seenggaknya dia ga biadab kaya lo!"
"Diem!" Baron berteriak kasar. Cowok itu sangat tak suka
melihat Mirele membangkang ucapannya.
"TOLONG GUE. SIAPAPUN!"
"AKU BILANG DIEM!"
"TOLONGGG!!!"
"DIEM SAYANG!"
BUGH
Kerah kemeja Baron ditarik ke belakang oleh seseorang.
Orang itu langsung memukul Baron bertubi tubi hingga
cowok itu terbatuk batuk mengeluarkan darah di sudut
bibirnya.
Mirele termangu. Gadis itu menatap ke arah orang itu.
"Galen?" Baron menatap Galen dengan pandangan kabur.
Kepalanya mengeluarkan darah segar akibat benturan batu
yang mengenainya ketika tersungkur.
"Lo emang ga pernah tobat." Galen menatap bengis Baron.
"Uhukk, gak usah- ikut campur!"
"Cowok brengsek kaya lo ga bakal pernah berhenti ngerusak
perempuan kalau di diemin." Galen menarik kerah kemeja
Baron, menatap cowok itu dengan tatapan tajam.
"Pergi lo dari sini!"
Baron terkekeh di sela sela kesadarannya yang mulai hilang
"Kenapa lo bela belain bela cewek sombong kayak dia?"
Baron menunjuk ke arah Mirele dengan jarinya.
"Udah dikasi selangkangannya lo sama dia?"
BUGH
Galen menonjok Baron tanpa ampun, untung tempat ini sepi.
Jadi tidak ada yang melihat aksi cowok itu yang sudah seperti
kesetanan.
"Galen cukup!" Mirele menarik Galen yang tak berhenti
Baron hingga babak belur. Gadis itu menghempas kasar
lengan Galen.
"Cukup! Gue bilang cukup!"
Galen menatap tajam ke arah Mirele "Gue gak bisa biarin-"
"Udah!" Mirele berteriak. Kepala gadis itu pusing melihat
adegan itu.
"Gue anter lo pulang." Ucap Galen pada akhirnya.
Mirele menolak. Gadis itu menggelengkan kepalanya "Gue
pulang sama Gibran,"
"Gibran lagi sama Aruna,"
Mirele terdiam. Gadis itu merenung. Gibran sama Aruna?
Baguslah, setidaknya Gibran ada gunanya datang ke pesta ini.
Tapi, pulang Dengan Galen? Mirele menggeleng.
"Gue bisa naik taksi,"
"Gue gamau lo kenapa napa,"
"Gue ba bakalan kenapa napa."
"Pakaian lo bisa mancing banyak kejahatan."
"Gue gak mau!"
"Keras kepala." Galen menarik tangan Mirele untuk ikut
bersamanya.
"Lepas. Gue gamau pulang sama lo!"

Bab 6
"Lo mau bawa gue kemana?! Ini bukan arah ke rumah gue!"
Mirele menoleh ke arah Galen dengan wajah kesal.
"Lo ga bilang arah rumah lo sejak awal."
"Seengaknya lo tanya lah!" Mirele mendengus kesal.
"Lo bisa inisiatif sendiri bilang ke gue?" Balas Galen yang
membuat Mirele bertambah kesal. cowok itu ya, ngejawab
aja!
"Lo kelas berapa sekarang?"
Mirele memincingkan matanya mendengar pertanyaan Galen
"Sepuluh. Kenapa?"
"Gue kelas duabelas."
"Trus apa hubungannya? Lo mau banding bandingin umur lo
sama gue?" Decak Mirele
"Lo bisa sedikit sopan manggil gue,"
Dih, Galen ini.
"Oh lo mau gue panggil 'kak'?" Galen diam. Tak merespon
dengan tetap fokus pada kemudinya dengan pandangan lurus
ke arah jalanan.
"Woy, kak Galen. lo denger gue gak sih?"
"Apa?" Galen mengarahkan pandangannya ke sekilas. Hanya
sekilas.
"Anterin gue ke rumah dong. Jangan kemana Jangan jangan
lo emang niat macem macemin gue ya?"
"Gausah geer."
Mirele memutar bola mata malas. Gadis itu melipat tangan di
bawah dada lalu membenahi posisi duduknya dengan benar.
"Yaudah makanya anter gue balik ke rumah gue."
"Gue laper,"
Trus apa hubungannya? Mirele kesal deh dengan cowok itu.
"Kita mampir makan bentar,"
"Gamau!" Tolak Mirele yang seketika membuat Galen
menatapnya.
Cowok itu tetap melanjutkan kemudinya hingga beberapa
saat kemudian mobil milik Galen terparkir di depan sebuah
Restaurant terkenal yang membuat Mirele seketika
meluruhkan
"Lo aja, gue diem di mobil."
Galen melepas safetybelt nya. Cowok itu menatap datar
Mirele "Lo ikut gue,"
"Gamau,
Galen turun dari mobil tanpa sepatah kata. Mirele yang
awalnya sudah sangat lega karena Galen tidak memaksanya
seketika terbengong saat pintu mobil sampingnya terbuka.
Pelakunya adalah Galen, cowok itu membukakan pintu mobil
untuknya.
"Gue gamau! Baju gue gak nyaman."
Galen tak bersuara. Cowok itu hanya menatap Mirele yang
membuat gadis itu mengumpat dalam hati.
Dengan berat hati Mirele turun dari dalam mobil. Wajahnya
tampak menahan kekesalan.
"Ayo,"
Mirele menatap Galen sekilas "Gue balik mob"
Mirele hanya pasrah ketika tangannya ditarik Galen
memasuki Restaurant tersebut.
***
"Mirele mana?"
Jay, Ava, Robby dan Fazan kompak menoleh saat Gibran tiba
tiba datang mendekati mereka.
"Tadi gue liat dia duduk disana kan sama lo." Sahut Fazan
menunjuk bangku yang tadi diduduki Mirele dan Gibran
hampir satu jam yang lalu.
"Dia gak ada disana."
"Pulang kali bran," Ava menyahut.
"Gue liat tadi dia ngobrol berdua sama Baron,"
Robby mengangguk "Gue liat sekilas doang. Karin ninggalin
Baron sama Mirele berdua di sana."
"Mana Baron sekarang?"
"Gatau. Setelah gue liat lagi kesana, Baron sama Mirele udah
gak ada."
"Shit." Gibran mengumpat. Siapa yang tak kenal Baron?
Cowok brengsek yang hampir dikeluarkan
dari sekolah karena terlalu sering membuat ulah.
"Telfon kek bran. Gue juga jadi khawatir nih sama cewek itu,
takutnya Baron ngapa ngapain," Timpal Jay. Diantara yang
lainnya, memang Jay yang paling peduli terhadap Mirele.
"Nomornya ga aktif."
"Lah kayak nomor Galen. Itu anak gatau kemana sekarang,
gue telfon telfon gak aktif. Main ngilang aja padahal dicariin
Aruna."
Gibran menatap ke arah Ava yang berbicara
demikian "Galen kemana?"
Ava mengedikkan bahu, menyesap minuman yang ada di
tangannya "Sekitar sejam yang lalu dia pergi mau ke toilet.
Trus gak balik balik."
***
Galen mengunyah makanannya perlahan dengan melirik
sekilas ke arah gadis di hadapannya yang sejak tadi hanya
memainkan makanannya dengan garpu dan sendok tanpa
berniat menyuap sekalipun makanan itu.
"Makan, gue tau lo gak ada makan apapun di acaranya
Aruna."
Mirele melirik Galen. Gadis itu hanya melirik tanpa membalas
apapun. "Di luar sana banyak orang yang kelaparan
karena gak bisa sekedar membeli sebungkus nasi,"
Mirele kembali melirik. Gerakan tangan gadis itu berhenti.
"Lo harus bersyukur sama apa yang lo makan di setiap
harinya. Lo ga bakal tau, orang orang di luar sana bisa makan
kaya lo apa engga,"
masih setia menatap Galen setelah cowok itu selesai
berucap.
"Makan," Galen menekankan. Mirele mengangguk, mulai
menyuap sedikit nasi itu ke dalam mulutnya. Mirele
sebenarnya memang tak selera makan sejak tadi, jadi sangat
susah ia menikmati makanan itu.
Keheningan melanda keduanya. Mereka sama sama bungkam
karena fokus terhadap makanan masing masing.
Dua belas menit kemudian mereka keluar dari Restaurant itu.
Galen masuk ke dalam mobilnya, cowok itu menutup pintu
mobil dan menoleh ke sampingnya yang kosong. Dahinya
berkerut, padahal tadi Mirele mengikuti langkahnya di
belakang.
berdecak. Cowok itu membuka kembali pintu mobilnya,
menoleh kesana kemari berharap kehadiran gadis yang
dibawanya tadi.
Ting!
Galen mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana.
Aruna
Len, dimana? Kamu udah pulang ya?
Galen mengalihkan pandangannya ke arah pintu Restaurant.
Disana ia menemukan kehadiran Mirele yang berjalan hati
hati dengan menenteng satu tas besar berisi makanan dari
Restaurant itu.
Galen melupakan pesan dari Aruna. Cowok itu memasukkan
ponselnya kembali ke saku celana hingga Mirele sudah
berada di dekatnya.
"Lo duluan aia gue bisa naik taksi."
Galen menggeleng "Gue anter,"
Mirele menggeleng lagi "Gue bisa sendiri. Gue mau-" Mirele
menjeda.
"Mau kemana?"
"Gue mau ke rumah cowo gue. Mau bawa makanan ini."
Mirele mengangkat kresek besar di tangannya.
"Cowo lo?"
Mirele mengangguk meyakinkan "Jangan lo kira gue gapunya
cowo. Gini gini cowo gue cakepр,"
Galen hanya berdehem.
Mirele melambai, kemudian pergi dari Galen bertepatan
dengan taksi yang berhenti di dekatnya. Galen terus
memperhatikan gerak gerik hingga taksi yang membawa
gadis itu berjalan menjauh dari kawasan itu.
***
"Terimakasih kak El!!!" Keenam anak itu menyerbu Mirele
dengan pelukan erat. Mirele berjongkok, memeluk keenam
anak itu dengan senyuman.
"Jangan lupa dimakan. Bagi bagi ya kalian, makannya juga
jangan di pinggir jalan sini,"
"SIAP KAK EL!!" seru enam anak itu semangat. Mirele
terkekeh lalu menuntun enam anak anak jalanan itu untuk
duduk di rerumputan dekat danau yang tampak gemerlap
pada malam hari itu.
"Wahhh makan ayam hari ini!!"
"Ada eskrim, Nana suka banget eskrim. Udah lama gak
makan,"
Mirele mengelus puncak kepala Nana. Gadis tujuh tahun yang
paling kecil antara yang lainnya "Kalau mau eskrim lagi, Nana
tinggal minta ke kak El ya."
Nana mengangguk, lalu menggeleng setelahnya "Eh tapi kan
Nana ga punya hp buat telfon kak El,"
"Nana gak perlu telfon. Nanti kak El bawain seminggu tiga
kali, Tapi gak bisa terus terusan Nanti gigi kamu sakit makan
manis manis terus."
Nana memamerkan gigi kelincinya "Baik kak El,"
"Pinter," Mirele kembali mengusap pucuk kepala Nana.
"Ayam gorengnya enak kak El. Makasih ya, karena kak El, Edo
sama adik adik bisa makan." Edo, anak laki laki berumur dua
belas tahun sekaligus yang paling tua diantara yang lain
berujar dengan senyuman merekah ditambah ayam goreng di
tangannya.
Mirele tersenyum haru, semakin mendekat ke arah yang
lainnya "Sama sama, asal kalian terus giat belajar, El janji
bakalan kasih kalian hadiah ga cuma makanan."
"Wahhh apatuh kak El?" Cia, si gadis berkuncir dua berumur
sembilan tahun itu menimpali.
"Rahasia. Nanti kak El kasih kalau kalian udah bisa ngafalin
perkalian satu sampai sepuluh."
"Edo mah udah hapal kak," Sahut Edo.
"Edo kakak kasih hadiah deh nanti, ajarin ya adik adiknya
supaya pinter kaya kamu,"
"Baik kak El!!"
Mirele tertawa, Ke enam anak itu melanjutkan acara makan
mereka dengan ditemani Mirele yang membuat sebuah
perahu dari kertas untuk keenam anak tersebut.
Mirele melepas high heels dari kakinya lalu meletakkannya di
dekat kaki ranjang. Gadis itu membawa langkahnya menuju
meja rias yang ada di kamarnya, ditatapnya pantulan dirinya
dalam dalam.
Mirele menumpukan kedua tangannya di atas rias saat
merasakan dadanya tiba tiba nyeri. Gadis itu menutup
matanya berharap sakit di dadanya mereda.
"El. Keluar kamu!"
Mirele membuka matanya perlahan begitu mendengar
teriakan papinya dari luar kamar. Gadis itu menetralkan
nafasnya lalu beranjak membuka pintu kamarnya dan
menemukan wajah papinya yang terlihat marah.
"Anak ga tau diri banget kamu. Pulang jam berapa ini? Udah
merasa jadi ratu kamu?"
Mirele menatap papinya datar. Gadis itu memegang knop
pintu dengan Erat.
"Pi, aku cape."
Yoga terkekeh kecil "Saya ga peduli. Saya ingetin, jangan kamu
seenaknya pulang malam kayak sekarang. Jangan seenaknya
pulang semau kamu."
Sahut Mirele seadanya. Ia sudah terlanjur capek mendengar
kemarahan papinya.
Yoga pergi tanpa sepatah kata lagi. Mirele memperhatikan
punggung tegap papinya yang semakin menjauh. Gadis itu
kembali masuk ke dalam kamar, lalu mengunci pintu
kamarnya dengan rapat.
"Kapan Pi, kapan papi sekali aja halus kalau ngomong sama
aku?"

BAB 7
"Aku ga butuh nasihat kamu! Aku pusing kamu selalu minta
ini itu."
"Mas! Aku ga minta macam macam sama kamu. Aku cuma
mau kamu hargai anak kamu, itu aja! Mirele anak kandung
kamu. Dia butuh kasih sayang kamu, bukan bentakan kamu!"
Jovi menatap sang suami nyalang.
"Kamu ga usah peduli sama anak itu. Anak kamu Mawar.
Antar dia ke sekolah,"
menatap suaminya tak percaya "Mirele juga anak aku mas
walau bukan aku yang melahirkan dia. Aku sayang dia sama
seperti aku menyayangi Mawar. Sementara kamu? El anak
kandung kamu. Apa yang membuat kamu tega sama dia?"
"Diam! Aku pusing denger suara kamu. Anterin Mawar ke
sekolah, aku ga mau Mawar terlambat datang ke sekolah."
Yoga merapikan dasinya dengan menatap ke arah kaca.
"Aku ga paham mas sama kamu. Kamu begitu
menghawatirkan Mawar tapi Mirele kamu campakan? Apa
pernah mas sekali aja peduli sama sekolahnya Mirele? Mawar
dan Mirele sama sama anak kandung kamu. Jangan egois
mas!"
"DIAM!" telapak tangan Yoga bergetar saat merasakan panas
setelah reflek menampar pipi Jovi. Laki laki itu menggeram.
"Pukul aku jika itu membuat kamu puas mas."
"Jangan menyulut emosiku lagi kalau kamu gamau aku pakai
kekerasan!" Tekan Yoga.
"Ini gak seberapa dibanding luka yang diterima Mirele atas
tindakan mas selama ini." Jovi berujar.
"Dia lagi dia lagi. Kamu bisa ga sih berhenti ngebela dia?"
"Dia anak aku! Aku masih punya hati untuk memahami
perasaan dia mas."
"Dia bukan anak kandung kamu. Kamu sama gak ada
hubungan darah sama dia!"
"Membela orang gak harus memandang darah sekalipun
mas! Dia putriku, sama seperti Mawar."
"Terserah!" Yoga hendak melangkah. Tetapi Jovi menahan
lengannya
"Aku ga tahan sama kamu mas." Lirih Jovi dengan mata
memerah
"Kamu mau pisah? Aku urus semuanya."
Jovi diam. Wanita itu memang sudah sangat tidak tahan
dengan sikap kasar suaminya itu. Yoga terlalu keras.
Seandainya pun mereka berpisah, Jovi akan berusaha untuk
membawa Mirele bersamanya.
"Ya! Lebih baik begitu, kamu gak bisa menghargai anak
kandung kamu sendiri mas, apalagi perempuan."
"Tutup mulut kamu!" Yoga hendak melayangkan tangannya
sebelum suara Mirele menghentikan pergerakannya.
"Cukup Pi, cukup!" Mirele dengan seragam sekolahnya
mendekat ke arah Yoga dan Jovi. Gadis itu menatap keduanya
bergantian.
"Cukup aku liat papi selalu kasar. Aku cape pi,"
"Anak gak tau diri." Yoga membentak.
"Aku tau. Papi terlalu sering ngucapin itu, aku tau aku gak
berguna bagi papi. Tapi jangan sakitin mama Jovi. Dia ga
salah."
"Dia ngelawan saya karena membela kamu!"
"Cukup mas. Apa yang kamu katakan tadi jangan sampai
menjadi penyesalan besar nantinya."
"Saya ga peduli."
Mirele menghela nafasnya "Bisa ga sih papi hargai
perempuan? Mama Jovi istri papi. Cukup mami aja yang papi
kasarin dulunya."
Mata yoga berkilat marah mendengar penuturan Mirele.
"Papi punya dua anak perempuan Pi. Pernah ga sih papi mikir
kalau aja aku dan Mawar disakitin nantinya sama laki laki
persis seperti apa yang papi lakukan ke mami dan mama
Jovi?"
"Saya ga peduli tentang kamu. Ingat itu."
"Keterlaluan kamu mas." Air mata Jovi kasihan dengan Mirele
yang diperlakukan tidak pantas oleh ayahnya sendiri. Yang
membuat hatinya mencelos karena Sedikitpun Mirele tidak
meneteskan air mata. Terbuat dari apa hati anak itu?
"Kalau papi ga peduli sama aku. Seenggaknya papi inget
Mawar. Papi sayang banget kan sama Mawar? Gimana kalau
Mawar liat papi tampar mamanya kayak tadi? Apa papi masih
bisa memastikan Mawar ga akan marah sama papi? Gimana
kalau Mawar dapet cowok yang kasar nantinya? Apa papi gak
akan marah? Marah pun papi gak ada gunanya, Pi. Papi
sendiri gak bisa menghargai perempuan, gimana bisa papi
berharap anak perempuan papi dihargai sama laki laki lain?"
Jovi memeluk tubuh Mirele. Wanita itu menangis sejadinya
"Kamu terlalu berharga El, Bagi mama"
"Dengan proses sosialisasi, individu berkembambang menjadi
suatu pribadi. pribadi tersebut merupakan kesatuan integral
dari sifat-sifat individu yang berkembang melalui proses
sosialisasi. Menurut F.G robins ada lima factor yang menjadi
dasar terbentuk kepribadian-
Ralin menoleh ke arah samping saat lagi lagi Mirele melamun
disaat guru tengah menjelaskan. Gadis itu melambaikan
tangan di depan wajah Mirele.
"El. Lo sakit?"
Mirele menoleh, lalu lantas menggeleng "Gue gapapa."
Ralin menyentuh leher Mirele dengan punggung tangannya
"Panas," lantas gadis itu beralih menyentuh kening Mirele
"Badan lo panas El. Lo demam?"
Mirele menggeleng "Udah biasa," Sahutnya.
"Tapi-"
"Yang dibelakang. Kenapa kalian ngobrol? Tidak
mendengarkan saya menjelaskan?"
Ralin berdiri "Maaf pak, Mirele demam, jadi saya niatnya
ngajak dia ke UKS." Ungkap Ralin yang seketika membuat pak
Syamsuddin mengalihkan atensinya ke arah Mirele yang
tampak pucat di tempat Begitupun dengan pandangan
seluruh teman sekelasnya yang seketika langsung menatap
Mirele.
"Kamu sakit? Ke UKS mendingan."
"Yuk El. Muka lo pias banget tau,"
"Serius gue gapapa kok."
"El. Mending lo istirahat di UKS," Putra yang duduk di depan
Ralin dan Mirele berucap Sebelum Mirele menolak, Ralin
langsung menarik tangan Mirele "Nurut El. Lo sakit ini."
Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Mirele dan Ralin
berjalan berdampingan di sepanjang koridor yang membawa
mereka untuk menuju keluar area sekolah.
"Lo begadang lagi kan El? Ngaku." Ralin menoleh ke arah
Mirele yang menggeleng. Gadis itu mendengus.
"Muka lo pucet banget tau ga. Ga pernah gue liat lo lemah
kaya gini,"
"Gue ga lemah." Mirele menekan kata katanya. Ia paling tidak
suka dianggap lemah oleh orang lain.
"Iya iya. Coba gue cek suhu badan lo sekarang." Ralin
menempelkan punggung tangannya di dahi Mirele, "Lumayah
lah, gak sepanas tadi. Pokoknya nanti lo harus minum obat.
Kalau perlu kita ke dokter sekarang."
"Ga. Gua ke dokter, besok juga sembuh,"
Ralin menghela nafas. Mirele ya Mirele. Gadis keras kepala
yang tidak bisa ditentang.
"Yaudah iya. Engga ke dokter. Tapi jangan nolak untuk minum
obat."
Mirele hanya berdehem. Bertepatan dengan obrolan mereka
yang terhenti, kedua gadis itu juga menghentikan langkah
mereka begitu dihadang oleh seseorang bertubuh tinggi di
depan mereka.
"Kak Galen?" Ralin membulatkan mulut.
Speechless melihat Galen dari dekat. Nih ya, ini kali pertama
bagi Ralin menatap Galen dalam jarak sedekat ini. Gadis itu
menepuk lengan
Mirele yang hanya diam dengan pandangan
datar. Wajah pucat gadis itu membuat Galen yang
memperhatikannya sedikit mengerutkan dahi.
"Lo sakit?"
Ralin dua kali speechless ketika mendengar penuturan Galen.
Itu Galen kan? Wait- Galen dan Mirele sejak kapan dekat?
"Engga." Jawab Mirele yang membuang
pandangannya ke arah lain.
"Gue anter pulang."
Ralin menerbitkan senyum, menoleh ke
arah Mirele dengan senyuman menggoda.
Disenggolnya lengan Mirele yang hanya diam.
"Lo ditawarin kak Galen balik bareng tuh,"
"Lo aja." Sahut Mirele yang membuat Ralin
menatap gadis itu tak percaya. Ralin mengalihkan atensinya
ke arah yang menunggu. Gadis
itu kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Mirele.
"Gue sebenernya ya mau El. Tapi gue juga mikir kali. Kak
Galen nawarinnya elo. Ya masa gue yang
pulang bareng kak Galen."
"Whatever. Gue pulang naik taksi."
Galen menahan lengan gadis itu yang hendak
berlalu pergi. Keduanya bersitatap, dengan
pandangan tajam dari keduanya. "Gue gamau ya kak adu
mulut sama lo." Mirele
Gadis itu ingin segera pulang untuk
mengistirahatkan tubuhnya yang terasa sangat
lemah hari ini.
"Dengan lo nerima tawaran gue, itu
adu mulut yang lo maksud." Galen
menarik sudut bibirnya.
Mirele menghela nafas "Fine."
Gibran
Lo udah balik El?
Ada yang jemput? Mau gue jemput gak?
menoleh ke arah sampingnya. Tepatnya ke
arah Galen yang duduk di kursi kemudi dengan
pandangan cowok itu yang lurus ke arah jalanan.
Gue udah pulang.
Tak butuh waktu lama bagi Mirele
kembali balasan chat dari Gibran.
Sama siapa?
Galen?
Orang.
Mirele mengerutkan dahinya. Darima Gibran tau?
Lo
Dia bilang ke gue. Gue kira lo ga bakal mau dianter dia.
Btw, sejak kapan kalian Deket?
Gue ga deket sama dia.
Dia yang maksa nganter gue.
Oh gitu,
Ck. Susah ya sama cewe ga peka.
Maksud?
Engga El. Lo sakit kata Ralin? Gue nanti mau ke rumah lo.
jangan kemana mana. Inget minum obat.
Kenapa?
Bohong.
Eh gausah.
Gue udah sembuh bran.
Brannn, please. gue pengen sendiri
Gitu ya? Yaudah get well soon El.
Thanks bran.
"Chat sama siapa?" Suara Galen mampu menarik
atensi Mirele untuk menatap ke arah cowok itu. "Adik lo."
Sahut Mirele langsung.
mengangguk. "Lo tau soal Aruna
suka sama Gibran?"
Mirele menoleh, ada apa Galen membicarakan
soal ini kepadanya?
"Antara tau dan gatau." Sahut gadis itu cuek.
"Belok kanan?" Galen bertanya. Dan Mirele mengangguk
"Lo ga perlu anter gue sampe depan rumah deh
kak."
Galen menoleh, "Gabisa."
"Ck." Decak Mirele "Serah lo
Galen tersenyum tipis mendapati raut kesal Mirele. Walau
gadis itu pucat, gurat tegas di
wajahnya tak pudar sedikitpun.
Mobil Galen berhenti tepat di depan gerbang
rumah Mirele. Mirele membuka safetybelt lalu
hendak membuka pintu mobil, tapi lagi lagi Galen.
menahannya dengan mengunci pintu mobil
secara manual yang membuat Mirele menoleh
kesal ke arahnya. "Bukain." tekannya
"Jangan lupa minum obat." Setelah mengucapkan kata itu.
Galen mengalihkan pandangannya ke depan. Mirele masih
terdiam dengan tangan yang
berada di handle pintu mobil.
"Lo bisa keluar sekarang." Ujar Galen kemudian yang
membuat Mirele seketika tersadar. Gadis itu
membuka pintu mobil disampingnya lalu keluar
sana dengan menenteng tas sekolahnya.
"Thanks," Mirele berlalu dari sana.
***
Malam harinya Galen tengah berada di rumah sakit
mengantar Grizelle yang sedikit tak enak badan. Cowok itu
menunggu di depan ruang pemeriksaan. Galen merogoh saku
jaketnya mengambil ponselnya yang berada di sana.
Cowok itu membuka aplikasi WhatsApp. Dengan ragu
membuka kontak Mirele yang disimpannya pagi tadi berkat
Ava yang memberikannya. Entahlah Ava dapat dari mana
kontak Mirele
Jari jari Galen menari di keyboard ponselnya itu.
Gadis Batu
Udah minum obat?
Galen menatap pesan yang dikirimkannya itu dengan
pandangan lurus.
"Gila kali gue." Galen men-lock ponselnya. Kenapa juga ia
harus bertanya demikian kepada Mirele?
Ting!
Bunyi Notifikasi WhatsApp yang berasal dari ponselnya
membuat Galen menghidupkan layar ponselnya, lalu segera
membuka aplikasi WhatsApp nya.
Siapa?
Singkat. Dan Galen sudah terlanjur membaca pesan itu.
Orang.
Dih lucu.
Galen.
Hah??
Oh kenapa?
Gue Galen.
Gue ga sakit.
Udah minum obat?
Jangan sok kuat.
Ck. Terserah kak Galen.
Gue ke rumah lo habis ini.
Entahlah. Galen pun tak mengerti kenapa ia menjadi peduli
dengan gadis itu.
Ngapain? Mau numpang makan?
Bawain obat.
Gue ga sakit ya kak Galen. Jangan deh, mending uangnya lo
simpen buat masa depan lo nanti.
Gue gak kekurangan uang.
Sombong amat.
Apa?
Udah?
Udah save nomor gue?
Belum.
Save.
Gak ah.
Yaudah.
Iya iya, gue save.
Galen tak membalas lagi. Cowok itu masih stay di roomchat.
Mirele kembali mengiriminya sebuah foto
Udah gue save.
Galen tersenyum melihat pesan itu. Cowok itu
kemudian ikut menangkap layar kontak Mirele
untuk kemudian dikirimkannya ke gadis itu.
Kok nama gue???
Galen terkekeh kecil. Tak sadar jika Grizelle sudah keluar dari
ruang pemeriksaan dan menatap ke arah layar ponsel
anaknya itu lalu tersenyum
kecil.
"Anak mama lagi jatuh cinta?"
Galen langsung menutup ponselnya. Beralih
berdiri saking terkejutnya mendapati Grizelle yang ternyata
sudah selesai pemeriksaan.
"Mama udah selesai? Gimana kata dokter?"
masih senyum menggodanya "Mengalihkan ucapan mama
hm?"
Grizelle mengacak rambut putranya "Mama
gapapa. Cuma kata dokter mama kurang istirahat aja."
Galen mengangguk "Mama jangan sibuk kerja
terus. Besok harus istirahat full oke?"
Grizelle mengangguk "Iya sayang."
"Yaudah kita pulang," Galen merangkul bahu mamanya
menuntun Grizelle berjalan. Ibu dan
anak itu lebih pantas terlihat seperti kakak dan
jika orang orang salah mengira.
Wajah cantik dan tegas Grizelle yang tampak
masih muda sangat mengimbangi Galen yang
berusia delapan belas tahun.
"Tadi siapa? Pacar kamu?"
menatap mamanya "Bukan."
"Serius? Kalau ga salah namanya gadis batu?
Spesial kayaknya."
"Temen aku ma,"
"Masa? Aruna?"
Galen menggeleng.
"Punya dua anak laki laki sama aja ternyata.
Kalian mem-spesialkan gadis tanpa mau
berstatus." Grizelle terkekeh.
Galen terdiam. Cowok itu kemudian membukakan
pintu mobil untuk Grizelle, lalu setelahnya Galen mengitari
mobil menuju ke kursi kemudi.
"Kamu tau Mirele gak sayang?" Grizelle membuka
topik obrolan.
"Tau." Sahut Galen singkat.
"Gibran kayanya suka sama temennya itu."
Galen mengangguk, ia tahu itu.
"Mama deh ketemu sama Mirele."
menatap
"Mau mengenal, Mirele itu gadis yang gimana
sampai membuat Gibran menolak Aruna yang
cantik." Grizelle berkata demikian sembari
membuka ponselnya melihat beberapa pesan
yang dikirimkan Alin dan Ratan di dalam grup
yang masih ada dari jaman SMA hingga sekarang.
Ngomong ngomong soal Alin dan Ratan. Kedua temannya itu
sudah hidup bahagia dengan masing masing. Alin dan dengan
Ratan dan Rana. Alin dan Ary yang dianugerahi satu orang
putra sedangkan Ratan dan Rana memiliki anak kembar yang
masih
duduk di sekolah menengah pertama bernama
Dave dan Devi.
"Ma.."
"Hm?" Grizelle mengalihkan pandangannya ke
sang putra.
"Kalau seandainya Galen dan Gibran mencintai gadis yang
sama gimana?"
Bab 8
Mirele mendudukkan dirinya di sofa merah yang berada di
dalam sebuah club mewah yang tengah dikunjunginya. Gadis
dengan dress pendek berwarna dark blue itu menurunkan
sedikit dress di atas lututnya agar menghindari sedikit
tidaknya hal aneh aneh yang memancing mata lelaki untuk
menatapnya.
"El, gabung ke dance floor yuk. Udah lama lo gak dansa
bareng kita kita."
Mirele menggeleng. Menolak ajakan temannya yang
bernama Lizzy itu. Jika bukan karena desakan teman SMP-
nya yang mengajak reuni di club ini, Mirele juga males untuk
datang sebenarnya.
"Lo mah ga asik El." Celetuk cowok yang baru saja
menghampiri mereka. Namanya Roland, kekasih Lizzy.
"Diem! Kalau El gamau gak usah dipaksa, lo enjoy aja El. Nanti
yang lainnya pada dateng kok, gue sama Roland kesana ya."
Mirele mengangguk. Lizzy dan Roland berlalu untuk
bergabung dengan yang lainnya ke dance floor, meninggalkan
Mirele yang entah akan melakukan apa disana. Teman
temannya yang lainnya sibuk dengan kegiatannya masing
masing.
"Red wine?" Seorang laki laki casual menyodorkan berisi red
wine ke hadapan Mirele. Gadis itu mendongak, merasa asing
dengan laki laki itu.
"Engga." Tolaknya.
"Gue Dimas, kakaknya Lizzy." Ujar Laki laki itu yang memilih
duduk di samping Mirele yang tampak sedikit tak nyaman.
Tentang fakta itu, Mirele bahkan baru mengetahui jika Lizzy
memiliki kakak laki laki. Wajar, Mirele tak pernah datang ke
rumah Lizzy selama mereka bersahabat tiga tahun di SMP.
"Lo Mirele. Bener?"
"Iya," Sahut Mirele seadanya. Matanya menjelajah untuk
menemukan sosok Lizzy yang tampak bahagia meliuk liukkan
tubuhnya di dance floor.
gabung sama yang lain?"
Mirele menggeleng.
"Mau Rokok?" Mirele menoleh begitu mendengar ucapan
Dimas. Laki laki itu menyodorkan satu batang rokok bersama
pematiknya.
"Gue ga ngerokok,"
Dimas terkekeh kecil "Kata Lizzy, dulu lo gak bisa kalau gaada
rokok."
"Itu dulu-" Ya. Dulu Mirele memang perokok. Dimulai dari
jaman kelas tiga SMP hingga lulus. Gadis itu juga peminum
dan sering keluar masuk club semenjak berteman dekat
dengan Lizzy semasa SMP.
Memang sangat liar, tapi Mirele sudah merubah
pergaulannya semenjak SMA.
"Udah lama ga ngerokok? Wow, lo hebat."
Mirele diam. Tak membalas ucapan Dimas, hingga Dimas
yang merasa diabaikan berdehem singkat. Meneguk wine
yang ada di dalam gelas kecil ditangannya lalu kemudian
bersandar di punggung sofa. Dengan tangan kanannya yang
berada di belakang pundak Mirele.
"Gue mau ke toilet dulu deh kak," Mirele berdiri, mulai
melangkah meninggalkan Dimas yang terdiam menatap
punggung Mirele yang menjauh.
Sementara disisi lain, Mirele saat ini sudah berdiri di depan
cermin yang berada di dalam toilet di club itu. Gadis itu
mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, lalu mendial nomor
Ralin menghubungi gadis itu.
"Ya El?"
"Lin. Dextran club. Lo bisa ga kesini?"
"What? Lo nge club lagi El? Sama siapa? Lo ga тасет тасcem
kan?"
Mirele memutar bola mata malas "Gue diajak reuni,"
"Hadehh, sama si Lizzy Lizzy itu lagi? El. Lo jangan terjerumus
lagi."
"Iya, makannya kesini. Jemput gue ya."
"Demi lo nih gue nunda night routine gue. Tunggu disana,
jangan macem macem lo. Dua puluh menitan gue sampai."
"Thanks,"
"Iya El. Sama sama."

Sambungan terputus. Mirele kembali memasukkan ponselnya


ke dalam tas. Gadis itu membenahi tatanan rambutnya
"Ternyata lo disini El." Seorang gadis tinggi gaun malam
berkilau menepuk pundak Mirele yang seketika membuat
gadis itu menoleh.
"Loli?"
Gadis bernama Loli itu tersenyum, bibir berpoleskan lipstik
merah darah itu mengeluarkan decakannya "Gue tungguin lo
di dalem tapi ga ada. Ternyata lo disini, kenapa El? Pasti lo
risih karena Dimas kan?"
Mirele tak mengangguk maupun menggeleng "Lo tau
Dimas?"
"Yap. Siapa yang ga kenal dia? Udah berapa kali kamar gue-"
"Lo pernah tidur sama dia?"
Loli menjentikkan jari "Tepat sekali! Lo emang gadis pinter,"
Mirele diam. Sementara loli terkekeh kecil
"By the way, nyokap lo apa kabar El?"
"Mami baik,"
Loli mengangguk mengerti "Gimana sekolah lo? Kayanya
semenjak SMA, lo gak seliar dulu."
"Ya. Dan gue bersyukur."
Loli kembali terkekeh. Entahlah, gadis itu merasa lucu aja
dengan perubahan Mirele yang cukup drastis. Dulu, jaman
nakal nakalnya mereka waktu SMP, Lizzy dan Mirele-lah yang
menjadi ketua dari geng mereka. Dan lihatlah sekarang? Lizzy
masih tetap sama. Sementara Mirele sudah sangat berbeda.
"Gue duluan Li. Temen gue jemput,"
Loli tersadar. Gadis itu menahan lengan Mirele "Buru buru
amat. Lo ga betah disini?"
"Yaa, gue permisi." Mirele berlalu dari dalam toilet itu
meninggalkan Loli yang menyilangkan tangannya di bawah
dada.
***

Setelah dirinya keluar dari dalam toilet itu, Mirele melangkah


dengan pasti untuk kembali bergabung dengan teman
temannya. Kaki berbalut heels itu melangkah dengan derap
langkah anggun ke arah Lizzy yang dilihatnya tengah meneguk
minuman bening bersama kekasihnya yang terus
melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu.
i'm sorry, kamu gak papa?"
Mirele menatap ke arah dress dark blue yang dikenakannya
telah basah di bagian depan karena tumpahan minuman
berwarna merah dari orang itu. itu menggeram dalam hati,
lalu menatap laki laki yang menabraknya tadi.
"I'm so sorry lady, aku terburu buru dan gak sengaja nabrak
kamu. Bisa aku bantu?"
Mirele menggeleng. "Ga perlu. Gue bisa,"
"Aku minta maaf sekali lagi,"
"Ya." Mirele sejujurnya kesal. Tapi gadis itu mencoba untuk
meredam rasa kesalnya. Ia tidak bisa berlama lama disini. Ia
sangat yakin bila Ralin tidak akan diizinkan untuk memasuki
club ini. Hei, mereka masih dibawah umur. Belum legal
sebenarnya untuk kesini. Tapi karena club ini milik orangtua
Lizzy. Jadi teman teman Lizzy bebas keluar masuk club ini
tanpa batasan usia.
"Ah iya, siapa nama kamu? Aku lihat, kamu masih di usia anak
remaja, walau mungkin dandanan kamu agak sedikit dewasa.
Tapi hei, wajah sangat tidak bisa berbohong."
"Masih SMA."
Laki laki itu mengangguk paham "Usia berapa?"
"16." sahut Mirele.
"Tapi gimana bisa kamu masuk kesini? Usia kamu legal untuk
bisa memasuki club ini kan?"
"Club ini milik temen gue,"
"Ah iya, kan?" Tebak laki laki itu. Mirele menganggukkan
kepalanya
"Aku Levin. Senang bertemu kamu, Mirele?"
Hei, bagaimana laki laki itu tau namanya?Mirele belum
pernah mengatakan tentang siapa namanya kepada laki laki
itu sebelumnya, bukan?
"Darimana-"
"Lupakan. Intinya aku memang tau nama kamu."
"Gue-"
"Ingat nama aku ya. Levin. Aku harap kita akan sering
bertemu di kemudian hari." Setelah berucap demikian, laki
laki itu berlalu dari hadapan Mirele. Gadis itu berdiri dengan
kerutan di dahi. Masih sangat bingung kenapa laki laki itu
mengetahui namanya.
Lamunan gadis itu buyar ketika lengannya di tarik sesorang
yang membuatnya kaget karena perlakuan tiba tiba dari
orang itu.
Mirele dibawa menuju arah sofa yang tak jauh
dari meja bartender.
"Kak Galen?" Mirele tentu saja tak menyangka bila orang
yang menarik lengannya tadi adalah Galen. Kenapa cowok itu
bisa ada di sini?
Galen melepas genggamannya dari lengan Mirele. Cowok itu
membuka jaketnya, Mirele memperhatikan cowok itu dengan
seksama.
"Kak, lo-" Galen memasangkan jaketnya di tubuh Mirele
mengenakan dress tanpa lengan itu. Mirele terdiam tak
bersuara, Galen masih telaten dalam memasangkan jaket
berwarna abu abu itu ke tubuhnya.
"Laki laki disini banyak yang manfaatin tubuh lo untuk fantasi
liar mereka." Tekan Galen yang menjauhkan tubuhnya dari
Mirele setelah berhasil memasangkan jaket miliknya di tubuh
ramping gadis itu.
"Kak Galen ngapain di sini?" Galen melirik Mirele, cowok itu
hanya diam beberapa saat.
"Gue yang harusnya nanya, Lo ngapain disini?"
"Gue reuni."
Cowok yang hanya menyisakan kaos hitam polos yang
menutupi tubuhnya itu tetap menatap Mirele intens "Berapa
umur lo?"
Mirele ragu ragu menjawab "Enam belas,"
"Lo masih di bawah umur. Ga pantes ada di tempat ini." Titah
Galen yang membuat Mirele membisu.
Tak tahu aja Galen bila Mirele sudah sering keluar masuk club
semenjak SMP. Ya itu juga karena bantuan orang dalem.
Contohnya di club ini. Club milik Lizzy. Jadi ia yang berstatus
sebagai teman Lizzy dibebaskan masuk club ini.
"Gue udah mau pulang juga,"
"Bareng siapa?"
"Pacar gue yang jemput." Mirele tentu saja berbohong. Pacar
darimana!

"Ralin gue suruh pulang tadi,"


Mirele menerjap nerjapkan mata. "Maksud lo?"
"Lo balik bareng gue."
"No! Gue masih mau gabung sama temen temen gue." Mirele
sebenarnya mana betah disini. Entahlah, ia lebih memilih
tidak diantar Galen untuk yang kedua kalinya.
"Lo bandel ya."
Mirele melepas jaket Galen yang membungkus tubuhnya.
Galen menatap itu dengan seksama. Bagaimana cara Mirele
melepas jaket lalu menyerahkan kembali padanya.
"Nih," Mirele menyodorkan jaket itu. Galen hanya menatap
itu tanpa berniat mengambilnya dari tangan Mirele.
"Ck. Lama," Mirele dengan paksa meletakkan itu di tangan
Galen.
Gadis itu kemudian kembali untuk bergabung ke meja dimana
teman temannya tengah berkumpul. Agak tidak nyaman
sebenarnya Mirele memakai dress dan heels ini. Kalau
disuruh memilih, ia lebih suka memakai baju oversize
ditambah sneakers dibandingkan seperti ini.
"Minum, El." Lizzy mengarahkan gelas kecil berisi minuman
itu ke arah Mirele. Mirele duduk di samping Lizzy, lalu
menerima gelas pemberian gadis itu.
"Thanks," Mirele meneguk minuman itu hingga tandas. Galen
yang memperhatikan itu dari tempatnya berdiri melipat
tangannya di bawah dada. Memperhatikan Mirele dengan
intens.
"Cowok itu merhatiin lo terus deh El. Siapa?" Lizzy
menyenggol lengan Mirele yang membuat gadis itu langsung
mengalihkan pandangannya ke arah Galen. Benar, Galen
tengah memperhatikannya dengan gaya cowok itu yang
menurutnya sangat mengintimidasi.
"Ganteng noh El. Gue deketin sabi kali ya?" Lizzy berbisik,
tidak mau terdengar sampai ke telinga Roland. Bisa diputusi
dirinya secara langsung detik itu juga jika Roland dengar.
"Deketin aja. Siapa tau lo beruntung," Mirele menimpali.
Membuang pandangannya dari Galen. "Cakepan dia apa
Roland?"
Mirele mengedikkan bahu. "Namanya Galen. Kakak kelas gue
di SMA." Ucapnya lalu kembali meneguk minuman bening itu
hingga tenggorokannya merasakan sensasi keras dari
minuman itu.
"Serius? pindah ke SMA lo kali ya gue?"
Mirele terkekeh "Boleh."
"Gausah keganjenan!" Roland menarik tangan Lizzy hingga
membuat gadis berambut ikal di kuncir kuda itu langsung
menoleh, Lizzy menyengir.
"No, babe. I'm yours." Kalian tau apa yang terjadi selanjutnya
diantara Lizzy dan Roland? Ah tidak dijelaskan. Mirele
langsung mengalihkan melihat kelakuan dua itu yang saling
berpangutan bibir.
Tak hanya itu, tepat di hadapan Mirele saat ini, dimana salah
satu teman laki laki semasa SMP gadis itu tanpa malu
membuka kancing kemejanya satu persatu lalu membuang
asal kemeja itu sehingga membuat laki laki itu bertelanjang
dada.
Kedua mata gadis itu tiba tiba ditutup dengan telapak tangan
oleh seseorang dari arah belakang. Mirele berusaha
menjauhkan tangan itu, tapi tubuhnya langsung direngkuh
lalu dibawa menjauh dari sana.
Siapa lagi pelakunya kalau bukan Galen. Gadis itu berdecak
kesal ketika pandangannya bertubrukan dengan manik cowok
itu. "Apa lagi sih kak?"
"Lo minum terlalu banyak. Lo ga liat cowok itu buka baju di
depan lo tadi?"
Mirele tak paham dengan cowok itu. "Ya apa sih? Ini club.
Wajar lah."
"Lo harus jaga pandangan lo." Galen berujar yang seketika
membuat Mirele memutar bola mata malas.
"Hitung cuci mata," Jawab Mirele acuh.
"Nakal." Galen menyentil kening gadis itu. Mirele berdecak
kesal lalu mengelus keningnya yang tadi disentil Galen.
"Lo tau kak!"
"Pulang ya?" Galen Menarik tangan Mirele untuk membawa
gadis itu pergi. Tunggu- kenapa cowok itu jadi hm, sedikit
manis?
"Lo kenapa bisa ada disini sih kak? Lo ngintilin gue ya?" Di
tengah langkah mereka, Mirele bertanya.
"Gausah Geer. Gue kesini bareng temen temen."
"Tuh, Lo aja boleh. Masa gue engga?"
"Lo cewek gue cowok!"
"Ga masuk akal." Mirele mendengus.
"Lo masih di bawah umur, El. Jaga diri lo." Ada sensasi lain
saat Galen menyebutnya dengan embel embel 'El'. Gadis itu
langsung terdiam dan Galen melanjutkan langkah mereka.
Di tengah langkah mereka yang hendak keluar dari club itu,
Bahu Mirele ditabrak oleh seseorang. Si pelaku menatap
Mirele dengan tatapan sayu, tampaknya laki laki itu dalam
keadaan mabuk. Terbukti dari omongannya yang ngelantur
dan juga gerak tubuhnya yang oleng kesana kemari.
"Maaf gadis manis." Laki laki paruh baya itu mengelus pipi
Mirele tiba tiba. Galen menghempas kasar tangan kurang ajar
lelaki tua itu.
"Jangan kurang ajar." Sentak Cowok itu.
"Hei, anak muda. Kita bisa berbagi gadis satu sama lain.
Sepertinya gadis ini tak masalah-"
Galen memelintir tangan kurang ajar laki laki paruh baya itu
yang dengan kurang ajarnya mengelus lengan terbuka Mirele.
Cowok itu menatap paruh baya itu tajam "Inget umur pak."

"Lepasin saya! Dasar anak kurang ajar." Lelaki tua itu jatuh
terduduk karena tidak bisa menjaga keseimbangannya. Galen
melepaskan tangan laki laki tua itu lalu kembali mengajak
Mirele menjauh dari sana.
Tempat ini benar benar Neraka baginya. Ketika mereka
berdua sudah tiba di parkiran club, Galen melepaskan
genggamannya dari tangan Mirele, lalu beralih menatap
Mirele.
"Kak, makasih."
Galen menaikkan sebelah alisnya.
"Makasi udah jagain gue." Lanjut Mirele dengan raut serius.
Galen mengangguk "Jangan kesini lagi tanpa gue. Lo ga tau
apa yang bakalan terjadi kalau lo ga bisa jaga diri lo sendiri."
"Iya.."
"Masuk, gue anter pulang."
"Kak.."
Galen menoleh.
"Gue boleh nginep di tempat lo ngga? Maksud gue-malam ini
aja,"

BAB 9
Sepertinya keputusan Mirele untuk menginap di
rumah Galen sangat disesalkan oleh gadis yang
dengan pakaian yang dikenakan saat ke
club tadi itu. Mirele tercengang ketika masuk
ke rumah Galen, dirinya langsung disuguhkan
banyaknya orang di rumah besar keluarga Aldenra itu.
"Kak, gue pulang aja deh ya," Galen menahan
tangan Mirele saat melihat gadis itu hendak pergi.
"Gue malu kak! Kalau tau di rumah lo rame gini, gue ga jadi
pengen nginep deh,"
Galen menahan senyum. Cowok itu tak ucapan Mirele.
Dirinya malah
menggenggam tangan Mirele lalu membawa gadis itu
mendekat ke arah sepupu sepupunya
yang berkumpul di meja yang ada di dekat tanggarumahnya.
"Bang Galen!!!" Seruan itu terdengar saat Galen datang
mendekat. Genggaman tangan Galen pada
tangan Mirele terlepas ketika beberapa sepupunya
memeluk tubuh tegap cowok itu yang membuat
Galen berjongkok menyamakan tingginya dan sepupu sepupu
kecilnya itu.
"Dave Devi kangen banget sama bang Gal!" Dave
dan Devi Sanjaya. Duo kembar anak dari
Ratan dan Rana tersenyum sumringah ketika
kepala keduanya dielus oleh Galen.
"Zetha juga kangen, Bang Galen harus peluk Zetha
pokoknya!" Gadis berumur 14 tahun yang berusia
sepadan dengan Dave dan Devi itu memanyunkan
bibir saat mendapati Galen hanya memeluk dua
twins itu dan mengabaikannya. "Zetha cemburu tuh bang. Lo
mah gak peka," Celetuk Takshaka yang duduk menyesap
minuman di tangannya. Cowok itu hadir di rumah Galen
karena paksaan kedua orangtuanya. Padahal Shaka tadinya
berniat menghabiskan malam Minggu dengan Kencana.
Sudah mengenal Shaka belum? Cowok berbadan itu anak
tunggal Ary dan Alin.
Nama lengkapnya Takshaka Alterio Gandiswara.
Tapi kata saka, gak usah isi Gandiswara juga gak
papa. Cukup Taksaka Alterio saja sudah keren,
Tapi saat berada di depan papanya. Bisa
dipukul Shaka karena dianggap tak bersyukur
menyandang marga 'Gandiswara'.

Galen tersenyum ke arah Zetha, sepupunya yang


merupakan anak dari Zayn dan Jena-istri zayn-itu
imut dengan gaya merajuknya.
"Udah SMP tapi masih ngambekan, Zetha
cemburu sama Dave dan Devi?"
"IYA LAH!" Ngegasnya Zetha tampaknya nurun dari bapaknya.
Zayn. "Sini bang Galen peluk," Galen merentangkan
kedua tangannya, dan Zetha langsung tersenyum
sumringah dan masuk ke dalam pelukan Abang
tersayangnya itu.
Mirele yang memperhatikan itu tanpa sadar
tersenyum kecil. yang disebutnya cowok
rese itu ternyata penyayang anak kecil.
"Alora cemburu loh bang Zayn gak peyuk aku,"
Galen mengalihkan perhatiannya ke arah Clarissa
menggendong gadis berkuncir dua dengan
rok dan berwarna pink di gendongannya,
Galen tersenyum, beralih berdiri dan mendekat ke
Clarissa yang bersama Alora, anaknya
yang berumur sepuluh tahun.
"Apa kabar onty cla?" Galen menyalimi tangan
Clarissa lalu mengelus sayang pipi Alora yang
tumpah tumpah yang semakin membuat Galen gemas.
"Kabar baik, kamu gimana Gal? Siapa tuh yang
diajak?" Clarissa Mirele dengan tatapan matanya.
Mirele kaku, yang baru menyadari Galen membawa seorang
gadis juga
ikut terkejut mendapati kehadiran Mirele..
"Lo Michelle kan?" Tebak Shaka yang membuat mengerutkan
dahi.
"Gue Mirele. Bukan Michelle." Koreksi Mirele yang membuat
Shaka mengangguk paham.
"Ah iya Mirele. Adik kelas sepuluh yang sempet
godain Juan kan?"
Mirele mendelik. Itu kan sudah lama! Saat masa
MOS dulu.
"Godain Beo Galen yang dibalas gelengan
Mirele. la harap Galen tak percaya.
"Bener kok lo yang godain Juan. Kedip kedipin mata trus
minta nomor WhatsApp Juan kan?"
Clarissa terkekeh mendengar itu. Bagaimanapun
Clarissa pernah berada di posisi Mirele, pernah
muda. "Wajar lah. Onty dulu pernah muda juga.
Tau lah gimana asiknya godain cowok cowok di
sekolahan. Apalagi kalau cakep."bener Mirele menatap Shaka
dengan raut permusuhan.
"Oh iya Gal, papa mama kamu lagi di bandara
buat jemput kak Aurel." Ujar Clarissa memberitahu
"Onty Aurel ke Indonesia?" Galen dan Saka
kompak bertanya.
"lya, duduk dulu deh cantik, kasian berdiri terus."
Clarissa berucap kepada Mirele yang langsung
oleh gadis itu. saja
mengenakan jaket milik Galen, kalau saja Mirele
tak mengenakan itu, bisa dianggap cewek
murahan dirinya karena mengenakan baju yang
terbuka.
Mirele duduk di dekat Shaka yang kembali
menyesap minumannya.
"Arka sama uncle jerricho ikut?" Shaka bertanya

kepada Clarissa.
"Ikut, mereka sekalian liburan juga di indo
katanya. Kangen makanan indo. Apalagi kak
Aurel udah lama banget ga pulang kan," Jerricho.
Suami Aurel yang merupakan pria keturunan
Australia asli. Aurel menikah dan menetap di setelah Galen
lahir kala itu. Aurel benar benar memulai kehidupan barunya
di negara itu dan memiliki seorang putra bernama Arkana
Javraz berdarah Australia-indonesia. "Uncle Esa mana onty?
Shaka gak ada liat," Diantara uncle-nya yang lain, Shaka paling
dekat dengan Esa. Karena di Esa lah Shaka banyak
mendapatkan ilmu tentang "Kak Esa sama kak Ary barusan
ada di halaman belakang. Ngomongin motor terus, onty
pusing dengernya. Katanya mereka mau beli bareng motor
yang Kak Gavin ditawarin tapi gamau," Jelas Clarissa. "Papa
mau beli motor gak bilang bilang gue."
Shaka mendengus.
"Dave, Devi sama Zetha mau makan kue kukus
gak? Onty tadi buat special untuk kalian semua."
"MAUUU!!!" Ujar mereka semangat, Alora sudah
tidur di gendongan mamanya.
"panggil Eva gih Zetha sayang." Clarissa memberitahu. Eva
Abimana. Gadis kecil yang juga seumuran dengan Dave, Devi,
dan juga Zetha itu lebih cenderung pendiam. Gadis itu selalu
menempel dengan ibunya, Syifa dibandingkan dengan Esa.
"BAIK ONTY CLA!!" Zetha menggenggam tangan dan Devi di
kedua sisinya, ketiga bocah cilik
itu berjalan bersama sama sosok
Eva.
"Mirele diajak makan atuh Gal. Onty mau bawa
ke kamar dulu deh, kalian bisa langsung
makan aja hertiga."
"BAIK ONTY." Jawa Galen dan Shaka berbarengan. "Gausah
sok malu, kuy makan." Shaka berucap, dan cowok itu lebih
dulu berjalan menuju ke arah meja makan. "Gibran mana?"
Entah kenapa, Mirele lebih memilih bertanya keberadaan
Gibran, Cowok itu. tak terlihat sejak tadi, Mirele jadi hingung.
"Palingan ikut ke bandara, Sahut Galen. "Mama papa gue
dateng," Ucap Galen dan Mirele menatap tangannya yang
digenggam. Galen. "Kak, gue malu. Gak usah digandeng juga
gapapa." Galen tak menggubris, begitu sudah berada di dekat
kedua orangtuanya, Galen menghentikan langkah. Gavin
Grizelle berhenti melangkah, begitupun Gibran yang sejak
tadi berjalan di belakang kedua orangtuanya. "Malam, ma,
pa." "Malam sayang," Grizelle tersenyum "Loh, ini siapa?
Gibran terkejut melihat Mirele, pandangan cowok itu
mengarah ke arah tangan Galen dan Mirele yang saling
bertaut. "Mirele Lucrezia Tante, om." Mirele dan Grizelle
membalas dengan senyuman hangat.. "Tunggu, kamu Mirele
temennya Gibran kan?" Grizelle menoleh ke arah Gibran yang
beralih berdiri di samping kirinya, "Iya ma, Dia Mirele yang
sempet aku ceritain." "Sebaiknya kita duduk dulu. Boys, ajak
Mirele duduk trus makan." Galen dan Gibran mematuhi
perintah papa mereka. Kedua cowok itu sama sama berdiri di
kedua sisi Mirele. "El, gue perlu banyak penjelasan dari lo."
Ujar Gibran. "How about ur life at Melbourne? Kakak
Happy?" Aurel mengelus puncak kepala Clarissa dengan
sayang "I'm happy dear. Aku benar benar memulai lembaran
baru disana. Jerricho dan Arka adalah bukti kebahagiaan
kakak." Gavin dan Grizelle tersenyum melihat Clarissa yang
melepas rindunya dengan Aurel. Masih ingatkah kalian jika
dulu Clarissa sangat Terakhir kali dirinya bertemu dengan
Aurel adalah dua tahun yang lalu. Disaat Grizelle menemani
Gavin mengurus pekerjaan di Melbourne. "Grize, im so damn
miss you." Aurel menatap wajah cantik Grizelle lalu
mengelusnya sayang "Aku rindu dengan masakanmu yang
sangat enak itu. Aku rindu masakan mama juga." Grizelle
mengangguk lalu tertawa, wanita itu juga rindu masakan
mamanya, Intan. Intan Dan Dion sedang berada di Bandung
saat ini. Kedua orangtua Grizelle tengah menjenguk bibi
Grizelle yang baru saja keluar dari rumah sakit "Kita makan
dulu gimana? Clarissa, Syifa, Rana, Alin dan kak Jena udah
masak banyak." Gavin berkata lalu diangguki Grizelle, Aurel
dan tentunya Clarissa yang masih berada di sana. "Aku dan
kakak ipar Jena buat Ayam kecap tadi asal kak Aurel tau.
Kalau kak Syifa, kak Alin, dan kak Rana masak banyak
makanan yang aku dan kak Jena gak bisa," Clarissa terkekeh
di sepanjang jalan mereka menuju ke arah meja makan.
"Gadis itu siapa?" Aurel tampak asing dengan Mirele ketika
melihat gadis itu berada di meja makan sana. "Dia Mirele,
Temen Galen dan Gibran." Jawab Grizelle memberitahu.
Aurel menganggukkan kepalanya mengerti "Papa ini apaan!
Aku udah ada Kencana ya pa!" "Oh iya papa lupa! Hampir aja
papa ngelupain kalau bakalan besanan sama Rafael." Ary
sibuk memasukkan nasi ke atas piring suaminya. Mirele yang
dilontarkan pertanyaan seperti itu "Udah udah, jangan
dipojokin terus Mirele-nya." Esa menengahi, laki laki itu
menyuapi putrinya. Suasana ruang makan di rumah keluarga
Aldenra itu sangat meriah. Padahal hanya acara reuni saja
sebenarnya antara teman teman SMA Gavin dan Grizelle dan
juga keluarga dekat mereka. "Makan yang bener," Gibran
mengambil satu butir nasi yang menempel di sudut bibir
Mirele. Seluruh orang yang menyaksikan itu berdehem.
"Galen dulu lah. Gibran nyusul setelah kakaknya." Grizelle
berucap. Aihh, kenapa Mirele salah tingkah sekarang.
Bukannya apa, kenapa selalu ia yang di bahas? dulu.
Ingatkah? Wanita itu ternyata menjadi istri Esa akhirnya "Aku
sama Aruna sahabatan onry." "Gibran sama Mirele juga
sahabatan kan. Mana tau jodoh." Celetuk Shaka. "Mana ada
yang tau kan Len. Awalnya temen biasa jadi temen hidup."
Arka berucap. Cowok berwajah bule berusia enam belas
tahun yang seumuran dengan Gibran itu baru membuka
suaranya. Bukan berarti dia menghabiskan banyak harinya di
luar negeri ia tidak bisa bahasa Indonesia. Aurel senantiasa
mengajak putranya itu ngobrol menggunakan bahasa negara
asalnya. sejak kecil. "Jangan kaya om Ratan kamu Len, cinta
sepihak sama sahabatnya sendiri." Esa menunjuk Ratan
dengan jahilnya. Ratan yang sejak tadi diam menatap Esa
tajam. Dasar! Dirinya sudah anteng saja tiba tiba diseret ke
dalam obrolan. "Tapi semuanya bakalan balik ke jodohnya.
masing masing kok. Ratan aja bisa nemuin kebahagiaannya
sekarang." Alin melirik Rana sekilas. "Udah udah, mending
kita fokus makan dulu." Gavin menengahi. Yang akhirnya
dituruti semuanya yang berada di meja makan. Anak anak
mereka sibuk bermain di ruang tengah, Uhuk, uhukk. Shirt
Kenapa harus batuk tiba tiba sih. Mirele merutuk dalam hati
karena tersedak tanpa tau suasana. "Len, ambilin calon adik
ipar lo ini Air putih." Galen yang diperintah demikian
tersenyum. miring ke arah Gibran "Bran, ambilin calon kakak
ipar lo ini Air putih." Tatapan tajam nan datar dari keduanya
saling beradu. Dan semuanya yang berada di meja makan.
tercengang. Bahkan gerakan tangan mereka yang semula
sibuk dengan kegiatan makan terhenti. Dan Mirele ingin
menenggelamkan dirinya saja rasanya sekarang MALU TAU
GAK SIH!!
"Lo belum makan, kan?" Mirele diam. Sebenarnya kalau
boleh jujur, perut Mirele dari tadi keroncongan, cacing cacing
dalam perutnya memberontak ingin diberi makan.
Bertepatan dengan itu, pintu utama rumah keluarga Aldenra
terbuka, Galen dan Mirele sama sama menolehkan kepala
mereka.
kembali meraih telapak tangan Mirele untuk digenggamnya
dan ditariknya mendekati Gavin dan Grizelle yang baru
datang dari bandara.
menundukkan kepalanya lalu tersenyum. Gavin
membenci Aurel? Tapi lihatlah sekarang keduanya tampak
sama sama saling merindukan. "Rel. Aku bahagia jika kamu
bahagia." Grizelle memeluk kakak tertuanya itu dengan
sayang.
"Gue berencana ngejodohin anak que sama. Mirele."
Mendengar ucapan Ary, sontak Shaka langsung tersedak.
terkekeh "Nak Mirele tinggal pilih aja. Mau Galen atau
Gibran?" Ucap Alin menggoda, tangan wanita itu
hanya hisa tersenyum kecil. Kenapa jadi bahas tentang dirinya
sih?
Eva dengan telaten. "Tenang nak Mirele, dua ponakan om ini
gak ada yang suka mainin perasaan cewek. Zayn
memberitahu
Terkecuali Galen yang duduk di hadapan Mirele. "Cepet
punya mantu kayanya lo vin." Celetuk Ary menyenggol lengan
Gavin yang duduk di sampingnya.
"Galen sama Aruna gimana? Ada kemajuan?" Wanita yang
merupakan istri Esa itu bertanya. Masih ingat Syifa kah? Gadis
basket putri SMA veran yang merupakan teman sekelas
Grizelle
sementara para orang dewasa berkumpul di meja makan.
Uhuk, uhukk.
Shirt Kenapa harus batuk tiba tiba sih. Mirele
merutuk dalam hati karena tersedak tanpa tau
suasana.
"Len, ambilin calon adik ipar lo ini Air putih."
Galen yang diperintah demikian tersenyum.
miring ke arah Gibran

"Bran, ambilin calon kakak ipar lo ini Air putih."


Tatapan tajam nan datar dari keduanya saling
beradu.
Dan semuanya yang berada di meja makan.
tercengang. Bahkan gerakan tangan mereka yang
semula sibuk dengan kegiatan makan terhenti.
Dan Mirele ingin menenggelamkan dirinya saja rasanya
sekarang MALU TAU GAK SIH!!
Bab 10
Hei, glanana II? Saya lihat kamu fresh hatiget hart Mirele
tersenyum, gadis itu mengangguk. "Dengan melupakan
sejenak Fúkta tentang apa yang saya alami, saya seperti
menjalani kehidupan normal, duk Dokter Harine Dokter
cantik itu ikut senang lengan ujaran Mirele, "Saya senang
melihar kamu senang, EL" "Terimakasih dok."
"Berharinglah, saya akan memeriksa keadaan
kamu terlebih dahulu." Mirele mengangguk,
melepas alas kakinya lalu berbaring di atas
Arankar naangan serbo putih itu.
"Komu sudah berhenti merokok, kan?"
Mirele mengangguk menjawab "Sudah dok,"
"Bagus. Ada kemajuan, saya berharap banyak
sekali agar dengan perlahan komu akan lekas
membaik, El. Saya akan berusaha sebaik
mungkin. Tempi urusan takdir. Tuhan yang
mengamar
Mirele termenusg. Gadis iru memperhatikan.
dengan seksama ke aruh Dukter Harine yang
dengan relaten memeriksanya.
"Saya engga merasa terhehani dengan kenyataan
ini. Apar saya jahat dengan diri seya sendiri, dal
Harine membisu. Dokter cantik itu
kemudian mengangkat unyununya pertahan.
"Yang dapat mengerti diri kamu hanyalah dirimu
sendiri Fl. Orang lain gak akan pernah merasakan
apa yang kamu rasakan walau saya sendiri
mencoba memahami kamu."
Mirele masih memandang wajah Dokter
Harine dengan seksama
"Saya bangga sama kamu, karena hingga detik ini,
kamu masih menjadi gadis kuat yung tidak pernah mengeluh
"Rasanya mengeluh saja percuma dok," Mirele
menjeda kalimatnya, "Saya ingin berjuang, walau
orang lain ga mengharapkan itu."
"Stmt, Dokter Harine menggeleng. Tak suka
dengan kalimat terakhir Mirele
"Saya selalu semang saat kamu kuat berjuang
melawan penyakit ini, Fl. Jangan menganggap
jika kamut sendirian. Ada saya, ada teman temen kamu
Mirele mengangguk turkakeh kecil "Terimakasih dokter,"
"YEYYY KAK EL DATANG LAGI! YEY
Mirele dengan dua paper bug di tangannya
tersenyum cerah ke arah adik adik yang
menyambut kedatangannya dengan gembira.
"Adik ada lihat nih, kak El bawain seruatu buat
kalian." Mirole duduk di rerumputan hijau danau Inu. Gadis
itu meletakkan dua poper hag besar di samping tubuhnya.
"WAHHHH ADA BUKU DONGENG" Cia berseru
senang saat mendapat truku dongeng tentang putri tiskur
dart Mirele
"Sisil dapet krizyum nih: Warnanya banyak kak
sayang nanti kalian semus pakai semua
ini untuk belajar mewarnai dan membaca bareng
ya? Ada buku tulis sama alat alat rulis juga buat kalian belajar
Memulin."
"ASIK!!" Keenam anak itu sibuk membongkar isi
paper lang yang dibawa Mirele.
"Terimakasih banyak ya kak El Karena kakak
Edo dan adik adik bisa belajar banyak. Kami yang
awalnya gak bisa membaca jadi lancar membaca.
Edu yang gak bisa menulis jadi belajar menulis."Mirele
mengangguk, mengelus puncak kepala anak laki laki itu
dengan senyuman, "Sama sama.
Kakak mau kalau nanti besarnya kamu sudah jadi
orang sukses, kamu harus inget adik adik kamu
yang lainnya, Sebagai yang paling baik, kamu
harus bisa buat mereka meniru pecetolo baik
kamu. Mengerti Edo
Edu mengangguk
"Mengerit, kak EL
"Kamu mau jadi polisi kan? Kejer terus cita cita kamu
"Tapi Elo ga punya uang buat sekolah."
Mirele tersenyum "Kamu fokus dulu belajar
sekarang Walau kama ya sekolah, seenaggaknya
kamu berisi. Sekedah itu ga mengenal batas usia, jika kamu
nanti bekerja dan salah
menghasilkan uang kamu bisa sekolah perlahan
"Terimakasih, Rak El. Edo jadi semangat belajar
Edo sau buat adik adik yang lainnya seneng."
"Gatu dong." Mircle menebar senyumannya.
Bertama keenam anak anak itu, membuat Mirele
melupakan segala kesedihannya. Gadis itu merasa
memiliki keluarga dan juga tangguang jawab.
Walau bukan saudara kandung sekalipun, Edo
menyayangi kelima adik adiknya dengan sepenuh.
hati. Mirele sangat hahagia melihat interaksi keenam anak
itu.
"Selesai kalian menggambar, nanti tunjukin ke

kak El, ya? Yang gamlarannya paling menarik,

kak El kasih hadiah

Wah, haik kak El Jaka jadi semangat

menggambarnya."

"Dina juga semangat nih!"

"Nana gimana? Semangat ga sayang Mirvie

bertanya kepada si kecil Nana, gadis itu

mengangguk lalu mengangkat krayon di

tangannya "NANA SEMANGATT

Mirele terkekeh kecil. "Kak II hitung ya Satu, dua

tiga, mulai

Air hujan terus membasahi tubuh Mirele yung

hanya tertutupi hoodie yang terpasang di

badannya. Tubuhnya basah kuyup, rambutnya


basah total. Mirele memeluk tubuhnya sendiri,

lalu beralih meneduh di bawah pohon rindang

yang ada di sudut jalanan.

"Huan, imas you so much." Mirele tersenyum di

tengah tengah badannya yang menggigil. Itutan

adalah hal yang dirukai Mirele, gadis itu akan

sangat merasa domai jika Hujan tarun membasahi

bumi. Kala Hujan, Mirele akan merasa aluruh

penatnya hilang Damal langsang hinggap di

hatinya

"Jangan hujan hujanan, nanti kama sakit, nak."

Sebuah paryung besar nan kokoh melindungi

rubuh Mirele dari jatuhnya air hujan. Gards ina

menoleh ke samping, mendapati seorang kakek

tua yang tersenyum ke arahnya инетеgаng

payung yang melindungi tubsah mereka berdua


dari hujan.

"Kakek yang di angkot bawa ayum zu kan?"

Kakek tua itu terkekeh, hingga gigi yang tumpak

masih kokoh mu terpampang

"Kamu mengingat kakek ternyata."

Mirele imenatap ke arah payung yang dipegang

si kakek. Tunggu penampilan kakek ini sangar

herbeda dari pada saat kakek ma ini berada di

anekot difu

Bayangkan, kakkek ma itu tampak seperti

pengutaha sekarang. Dengan jas dan pakaian.

formal yang dikenakatunya.

"Jangan menatap kakek seperti itu. Pakaian int

kakek dapatiuın dari bos kakek. Katanya kakek

keren mengenakan ini. Menurutma glimana nak?"

Mirele mengangguk Kakek keliaton.

muda
Mendengar ucapan Mirele, kakek

"Terimakasih atas pujiannya nak."

"Kakek rumahnya dimana? Biar aka anter

"Tidak nak Kakek gapapa sendiri, kamu pakai

saja payung ini." Kakek itu menyerahkan paytang

Inu se arah Mirele

"Els liek jangan hujan hujanan. Biar aku antur

sampai rumah."

Kakek itu menggeleng kemlialı, "Ilava saja nak.

kakek tidak terlalu jauh. Pakalanmu hasali

sekali, cepatlah pulang Jangan sampai sakit

nantinya, Kakek ina melesat pergi. Mirele ingin

menahan, tetapi sakit yang tiba tihe muncul

di dadanyn membuat Mirele meringa, memegang

erat pegangan payung itu ditengah ringiaannya.

Tin. Tin
Lampu mobd yang menerangi indara.

penglihatan Mirele membuat gadis itu menutup

pandangannya dengan telapak tangan. Sebuah

Audi berhenti di samping jalan, pantu mobil

terbuka, dan keluar seseorang dari dalam mobil

dengan payung hitamnya.

"El Lo gapapa?" Itu Galen. Mirele menatap Galen.

dengan savu, dadanya masih terasa nyeri

"Lo ngapain disini kak?"

Galen berdesak "Gue yang harus nanya. La

ngapain hujan haujanan gini? Udah malem. Gue

anter lo pulang."

"Kak Galen, gak usah

"Gak ada bantahan, EL"

"Badan karmu panam banget sayang," Jovi

mengompres dald Mirele dengan Handuk air

panas, Wanita itu mangahua sayang surai Mirole,


mata gadis itu terpejam, raut damainya membuat

Jovi wewnyum kecil.

"Kak El demam yu ma?" Mawar, anak kecil itu

naik ke atas tempat tidur Mirele, memegang

tangan kakaknya ina dengan lembut sembari

mengelusnya perlahan.

"Kakak kamu gamau diperiksa sama Dokter,

gak bisa ngubantah jovi maiah mengelus

murai kecoklatan Mirese dengan lembut, wanita

Itu berharap Mirele lekas sembuh. Panas gallis itu

tinggi, jika saja Mirele tidak berkata untuk tidak

dipanggilkan dokter, Jovi sudah menelepon dakter

untuk ke rumah ini

"Temennya kak El belum pulang ma, dia masih di bawah,


kayanya cumas banget sama kak EL"

Ular Mawar yang masih setia mengelus pangang tangan


Mirele
Jovi mengangguk, wanita itu bangun dari duduknya. "Marna
mau kebawah dulu, Mawar

jagato kak El ya?"

Mawar mengangguk "Tya ma."

Galen menatap ke sekitar rumah keluarga

Mirele. Sunyi dan sepi Perabotan di rumah ini

tidak terlalu banyak, walau rumah tu tidak

tergolong rumah sederhana. Di nakas samping

sofa tempatnya duduk ada bingkai foto, berisi tiga

orang di dalamnya. Dua orang paruh haya dan

satu gadis kecil cantik

Awalnya Gelen kira itu foto masa kocil Mirele.

ternyata cowok nu salah mengira dan langsung

tau jika gallis kecil dalam fove itu bukan Mirele

saat dirinya tadi melihat ada seorang gadis kecil.

cantik lewat di depannya membawa semangkok

rubur. Gadis itu merupakan gadis yang berada di


dalam foro.

Dan Galen menebak jika itu adik perempuan

Mirele

Tapi sans pertanyaan yang bersarang di benalinya

kenapa Mirele llout adil di dalam foto itu?

Dilihat dari beberapa hångkai yang terpanjang

sedikitpun ada wajah Mirule

pun

Lebih banyak wajah adik tarı Mirele.

"Nak, terimakasih sudah mengantar Mirele ke

rumah, ya,"

Gaben hangpun dari dudulonya, covcok itu

tersenyum ke arah wanita yang dianggapnya

ins dari Mirele itu "Gisk masalah Tante, Keadaan

Mirele gimana sekarang?" pasalnya saat tibo di

gadis itu langsung jatuh tak sadarkan

diri setelah mengatakan jika dirinya tak ingle


diperiksa nich dokter. Yang membowa Mirele

hingga ke kamar adalah Galen.

"Badannya masih pamas. El memeng ga suka

setiap sakit diperiksa dokter, dia selalu bilang bisa

sembuh tanpa dokter.

Keras kepada Galen sangat tau hagaimana sifar

Mirele, Gaziis ito keras, tak suka dibantah dan

terlalu

dimengerti

"Boleh saya lihat keadaan Mirele sebentar Tante?"

Jovt awalnya tampak ragu, tapi wanita itu.

kemudian mengangguk "Bolnh, di atas ada

yang jaga. Kalau perlu apa apa, bilang ke

Mawar ala"

Golen mengangguk

Galen menoleh kumholi, mengurungkan


Iangkahnya yang ingin menuju ke kamar Mirele

yang ada di lantai atas,

"Kalau boleh bertanya, kama tau dimana kemerin

malan Mirste menginap

"Mirele menginap di rumah saya, tante." Tanpa

ragu Galen menjawab. Kentara sekali wajah Jovi

menampakan raut terkejut

"Kamu

"Saya tinagpal bersama keluarga besar. Mirele tidur

di kamar saya sementara saya tidur dengan adik

saya Tante,"

Jovi menganggak paham,

"Nama

"Galen." Sahut Galen

"Terimakasth nak Galen, karma sudah peduli

dengan anak tante."

Galen mengangguk dan nyum "Sama sema


Tante

Sasalah inu Jarvei matad melanjutkan tangkah menuju arah


dapur, dan Galen yang mulai

menaiki anak tangga menuju lantai dus.

Galen membuka pintu kamar Mirele,

penandarugan wajah damai Mirele dengan

banduk yang menempel di dahi ketika tidur yang

didapati cowok ini saat pintu itu terbuka.

Mawar yang mendengar suara deciton pintu

menoleh, gadis sepuluh tahun itu tersenyum ke

arah Galers

"Tadi kak Li mengingu. Kata knk El, dia ya benco

sama Mawar." Mendengar penuturan gadis kecil

Ito membuat raut Golen berubah, dahi cowok itu

berkecut dan memilih duduk di sudut ranjang..

"Mawar seneng karena kom kak El g

benci Mawar, Mowar lega. Gadis kecil itu


terus mengusap lengan kakaknya. Galen

memperhatikan ini masih dengan banyak

pertanyaan di otaknya.

"Memang alasan aşı yang buat kak El membenci

kamu?" Galen bertanya karena penasaran.

Mawar mengangkat bahunya "Mawar juga gatau

kak, tapi selama ini Kak El ga pernah mau liat

Mawar. Kak El selalu noiak makan kalau di meja makan ada


MAWAR
Kerutan di dahi Galen semakin dalam. Kenapa Mirele
membenci adiknya sendiri?

"Karena Kak El dan Mawar beda mama mungkin ya kak?


makannya kak El benci Mawar?"

Galen paham sekarang. Galen tersenyum tipis dengan


membelai rambut lurus mawar yang terikat satu.

"Papi selalu bentak kak El, Mawar kasihan, tapi kak El ga


pernah nangis,"

Usapan tangan Galen di puncak kepala Mawar terhenti,


ditatapnya Mawar dengan seksama. Menunggu lanjutan
ucapan dari gadis itu.
"Papi selalu kasih Mawar hadiah, tapi kak El enggak. Papi
selalu cium Mawar sebelum berangkat sekolah, tapi kak El
gak pernah di cium. Papi selalu suruh mama masakin
makanan buat Mawar, tapi papi gak pernah sebut nama kak
El. Setiap papi lihat kak El, papi selalu marah. Apa karena itu
kak El benci Mawar ya kak?"

Galen mengalihkan atensinya ke arah wajah damai Mirele


yang tertidur dengan damai. Cowok itu memandang lekat
gadis itu.

"Mawar sayang sama kak El. Mawar gak pernah pengen papi
cuma perhatiin Mawar. Kak El pernah bilang dia gasuka liat
Mawar dan bentak Mawar, tapi mama bilang, kak El cuma lagi
banyak tugas di sekolah, jadi kak El galak."

Jovi yang mendengar semuanya dari awal dari celah pintu


kamar Mirele mengelap air mata yang menetes dari mata
wanita itu. Jovi kembali menutup pintu kamar Mirele dengan
hati, tak menimbulkan suara.

"El, maafin papi kamu sayang,"


BAB 11
Mirele membuka matanya perlahan, tangan gadis itu
terangkat, meraba dahinya yang masih terdapat handuk kecil
di atasnya. Mirele beralih bangun dari tidurnya, gadis itu
terkejut saat mendapati sosok lain yang menemaninya di
kamar itu. Tepatnya tidur di kursi dengan wajah tenggelam di
tempat tidur.

“Kak Galen!” Mirele mengguncang lengan cowok itu yang


membuat si empu menggerakkan badannya, rambut cowok
itu sedikit berantakan, dan Mirele terkekeh kecil saat melihat
wajah bangun tidur cowok itu.

“Ih ileran!”

Galen meraba sudut bibirnya, cowok itu menatap Mirele


tajam.

“Bercanda.” Mirele kembali terkekeh.

Galen tak mengubris, cowok itu menatap intens ke arah


Mirele yang masih terkekeh. Mata gadis itu menyipit, wajah
pucatnya menjadi lebih berwarna sebab gadis itu tertawa.

“By the way kak Galen ngapain di kamar gue?” Mirele melirik
ke arah jam dinding yang terpajang di tembok kamarnya “Jam
4?” Mirele menatap Galen

“Kak Galen tidur semalaman di sini?”


Galen berdehem.

“Lo ga ngapa ngapain gue kan?!!”Galen berdecak. Gadis ini


tengah sakit-pun masih suka ngegas.

“Gue ga bakal ngapa ngapain orang sakit.” Tukas Galen.

“Siapa yang sakit?” Mirele terbata.

“Lo.”

“Gue?” Mirele menunjuk dirinya sendiri. “Gue ga sakit!”

Galen berdecak “Lo sakit-pun gak bakal pernah ngaku sakit.”

Apa maksud cowok itu? Apa Galen tau-

“Kemarin lo hujan hujanan. Gue anter lo pulang, trus setelah


sampai di rumah lo
Mirele bernafas lega. Gadis itu menganggukkan kepalanya.
Kepalanya masih berdenyut pusing. Gadis itu meletakan
handuk kompresan itu ke dalam baskom yang ada di atas
nakas lalu memilih beranjak dari tempat tidur.

Jalan gadis itu sempoyongan. Galen menangkap tubuh Mirele


yang hendak terjatuh.

“El, Lo masih pusing.”

Mirele memejamkan matanya, kenapa rasanya ia begitu


lemah saat ini? Kenapa harus di depan Galen?

“Gue bisa kak,” Mirele berusaha melepas genggaman Galen,


tapi tenaga gadis itu tidak seberapa dibanding Galen. Mirele
memilih untuk berbaring kembali di atas tempat tidur dengan
bersandar di kepala ranjang dengan bantuan Galen yang
masih menahan tubuhnya.

“Lo haus?”
Mirele menggeleng. “Lo pulang aja deh kak, udah pagi. Nanti
lo telat sekolah. Sekarang hari senin. Lo ga boleh telat
upacara.”

Galen tak menyahuti gadis itu.

“Lo ngapain natap gue terus sih kak? Wajah gue lagi ga bagus
sekarang.” Mirele menutup wajahnya menggunakan bantal.

Galen tersenyum tipis. Tangan cowok itu terulur untuk


mengambil bantal yang digunakan Mirele untuk menutupi
wajah gadis itu.

“Lo bahkan lebih cantik sekarang,”

Mirele menoleh ke arah Galen. “Gausah bohong.”

“Gue serius.”
“Mana ada cantik pucet gini. Udah kayak nenek nenek kan
gue? Ngaku!”

Galen terkekeh. Cowok itu menggelengkan kepalanya “Lo


cantik gini masih aja insecure.”

Tak tahukan Galen saat ini Mirele tengah menahan


senyumnya? Dasar! Cowok itu bisa saja membuat Mirele
salah tingkah.

“Gue ga cantik.”

“Iya, tapi lo cantik banget.” Jawab Galen yang semakin


membuat Mirele ingin menenggelamkan wajahnya sekarang
juga.

“Gue baru tau kalau lo pinter gombal,” Mirele melipat kedua


tangannya di bawah dada. Raut gadis itu menyelidik.
“Siapa yang gombal sih?” Galen mengulurkan tangan untuk
mengacak rambut gadis itu.

Mirele membeku, gadis itu terdiam mendapat perlakuan itu


dari Galen. Ini kenapa hari ini Galen manis banget sih? Apa
otak cowok itu kepentok sesuatu?

“Pulang deh kak! Gue makin ga sehat kalau lo ada di sini.”

Galen mengerutkan dahi “Gue?”

Gak sehat bagi jantung gue, sialan!

Ini adalah hari Gibran masuk ke sekolah kembali setelah


melewati masa skorsing selama lima hari penuh. Cowok
dengan Hoodie putih serta tas hitam itu berjalan santai
melewati

Koridor, mata kakak kelas maupun teman seangkatannya


yang berada di sepanjang koridor seketika terfokus ke arah
Gibran yang lewat.
“GIBRAN. Ini coklat buat lo, Happy valentine’s day!!” Seorang
gadis dengan rambut coklat sepinggang yang merupakan
anak kelas sebelas menyerahkan satu batang coklat berisi pita
pink kepada Gibran dan spontan memberhentikan langkah
Gibran di tengah tengah padatnya siswi perempuan.

Valentine? Astaga. Gibran lupa jika sekarang kan tanggal 14


Februari!

Gibran hanya melirik coklat pemberian kakak kelas itu tanpa


niat untuk mengambilnya. Mata sipitnya kemudian teralih ke
arah wajah si gadis kakak kelas itu, yang seketika membuat
gadis itu salah tingkah ditatap Gibran.

“Kasih ke orang yang lo sayang. Bukan gue,” Gibran kembali


melanjutkan langkah yang membuat gadis berambut coklat
sepinggang itu mencebik kesal

“TAPI GUE SAYANG LO GIBRAN!” Teriaknya tanpa malu.


Teman teman gadis berambut coklat sepinggang itu mengelus
pundak si gadis menenangkan.
Sesampainya Gibran di kelasnya, cowok itu langsung duduk di
bangkunya. Dan betapa kagetnya cowok itu mendapati
kolong mejanya yang penuh berisi barang barang yang tak
lain seperti coklat, bunga, kado, dan ada juga boneka kecil.
Cowok itu menoleh ke arah Ralin yang duduk anteng di
bangkunya dengan tangan yang sibuk mencoret buku.

“Lin. Siapa yang taruh ini semua di sini?” Ralin menoleh ke


belakang, gadis itu menatap bangku Gibran dengan seksama.

“Ya siapa lagi kalau bukan fans fans setia lo?” Ralin
menggerakkan pulpennya. “Tadi pagi pagi pas gue dateng,
cewek cewek udah kerumunan di sini. Nanyain bangku lo
dimana lah, nanyain lo sekarang sekolah apa enggak lah,”

Gibran meletakkan tas nya di atas meja. Mau dia apakan


sekarang coklat dan kawan kawannya itu?

“Makan lah bran! Atau ngga bagi bagi ke gue. Perut gue
masih mampu kok nampung coklat sama jajanan itu.” Ralin
beranjak berdiri dari duduknya, mendekati bangku Gibran
lalu mengambil satu coklat dengan pita besar di atasnya.
“For Gibran Aydard Aldenra. Dari pengagummu, Sheril
atmajaya.” Ralin membaca tulisan yang tertera di tempelan
yang ada di atas coklat itu “Kak Sheril ternyata suka elo bran.
Selain suka abang lo, dia juga suka lo.”

Ralin membuka bungkus cokelat itu lalu berjalan ke arah


bangkunya sembari memakan coklat tersebut.

“Lin, gue mau bayar uang kas.” Mirele datang, gadis itu
menyodorkan selembar uang lima ribu di bangku Ralin.

Gibran langsung ke arah Mirele.

“Lah El? Kata Tante Jovi lo sakit? Ngapain sekolah?”

Gibran beranjak mendekati Mirele dan Ralin. “Lo sakit?”


Cowok itu memegang lengan Mirele, menatap wajah Mirele
dengan seksama.
“Gue ga apa. Cuma pusing doang kemarin.” Mirele duduk di
samping Ralin, “Jangan lupa catet Lin. Gue Minggu ini udah
bayar.”

Ralin mengacungkan jempol, membuka buku kas kelas, lalu


mencontreng di nama Mirele bukti bahwa gadis itu sudah
membayar kas Minggu ini.

“Nih El, Lo minta coklat ga? Lo liat bangku Gibran,” Gibran


memutar bola mata jengah, sementara Mirele menoleh ke
belakang ke arah tempat duduk Gibran.

“Apa?” “Kolong bangkunya penuh isi coklat sama hadiah.

Gue aja gaada yang kasi hadiah valentine,”

“Valentine?” Mirele membeo.

“Gue juga awalnya lupa kalau sekarang Valentine.” Gibran


duduk di bangku depan tempat duduk Ralin dan Mirele.
Cowok itu menghadapkan dirinya ke belakang.
“Nih, lo mau coklat?” Ralin menawarkan.

Mirele menggeleng. Gadis itu menumpukan dagunya


menggunakan tangan.

Gibran memperhatikan Mirele dengan seksama. Cowok itu


mendekatkan bangkunya, lalu menempelkan telapak
tangannya di kening gadis itu. “Panas. Sembuh apaan, Lo
panas gini El.”

“Gue gapapa bran.” Mirele menjauhkan telapak tangan


Gibran dari dahinya.

“Jangan ikut upacara hari ini. Gue gamau lo pingsan


nantinya.” Saat Mirele ingin menyela, Gibran kembali berucap

“Gak ada bantahan, El.”


Mirele hanya mengangguk.

Mirele keluar dari kelas tetap dengan eraphone yang


menyumpal kedua telinganya. Gadis itu memfokuskan
pandangannya ke arah layar ponsel tanpa menyadari ada
Shaka yang melintas di depannya.

Shaka menahan pundak Mirele saat gadis itu hendak


terhuyung ke belakang.

“Hati makanya kalau jalan. Jangan biasain pake earphone.”

Mirele menatap Shaka tak minat. “Ya makasih,” ujarnya


setelah melepas satu kabel earphone.

Mirele kembali melanjutkan langkah. Tapi Shaka


mengikutinya.

“Gue mau nanya sesuatu sama lo. Siapa nama lo? Miche”
“Mirele.” Potong Mirele saat tau Shaka pasti lupa

Dengan namanya.

“Nah iya Mirele. Gue mau nanya, lo sebenernya ada


hubungan apa sama Galen Gibran?”

“Galen kakak kelas dan Gibran temen sekelas gue.” Jawab


Mirele lalu kembali melanjutkan langkah. Tak peduli saat
Shaka mendengus mendengar jawabannya.

“Lo suka sama keduanya?”

Mirele tak menyahut. Kembali menyumpal kedua telinganya


menggunakan earphone. Gadis itu tak perduli dengan Shaka
begitupun. Dengan sekitarnya. Kaki jenjang berbalut sepatu
itu melangkah dengan pandangan yang kembali fokus ke
ponselnya, sampai di kedua bahu Mirele kembali bertabrakan
dengan bahu seseorang. Mirele kesal, gadis itu kemudian
melepas kedua earphone-nya dan menatap orang itu
nyalang.
“LO BISA GA SIH JALAN PAKAI MATA?” Mirele

Ketika rupa orang itu. Gadis itu menghela nafasnya..

Jalan jangan kebiasaan pakai earphone terus main Hp.” Itu


Galen.

“Mau Galen kembali bertanya saat tak

Mendapat sahutan dari Mirele.

Mirele memandang sekitar. Dirinya bahkan baru sadar jika ia


saat ini berdiri tepat di pertengahan

Koridor di perbatasan kelas sepuluh dan duabelas.


Banyak kakak kelas duabelas yang sedang istirahat
memandang ke arahnya dan Galen. Dan Mirele tak suka
tatapan mereka.

“Mau ke toilet.” Jawab Mirele seadanya.

“Toilet kelas duabelas?” Galen menarik sudut bibirnya.

“Gue kelewat.” Mirele membalikkan badan, tapi Galen


menahan lengannya.

“Ikut gue,”

“Kemana?” Mirele tak terima, apa apaan Galen menariknya


menuju gedung kelas duabelas yang banyak ada kakak kelas
julid.

“Kak Galen! Lo aneh aneh deh.”


Tetap menarik tangan Mirele hingga gadis itu melewati
koridor kelas duabelas. Mirele dapat mendengar dengan jelas
suara bisik bisik kakak kelas julid yang berada di sekitarnya.

Sok banget baru jadi kakak kelas. Emang Galen

Punya kelas duabelas doang?

Galen membawa Mirele menaiki lantai dua.

Menuju kelasnya. Mirele hanya pasrah, saat sudah berada di


dalam kelas, Mirele dibuat terkejut saat melihat keadaan
kelas yang sangat ramai. Ini semua murid kelas gaada yang
istirahat atau gimana?

EL” Ava melambai menyapa Mirele yang terdiam dengan


Galen yang baru saja melepas

Genggamannya. “Wesss bawa bidadari lo ke kelas ini.” Jay


berucap.
Cowok yang duduk di atas meja itu kemudian berdiri di Ava
yang memandang Mirele lekat.

Mirele menatap kedua teman Galen itu. Gadis itu bersyukur


tak ada Fazan disana. Bodo amat,

Mirele tidak suka aja liat orang itu. “Tenang. Kalau lo cari
Fazan, dia lagi gak sekolah hari ini. Gatau kemana, palingan
sakit jantung.” Ava tertawa begitupun Jay.

“Duduk.” Mirele memandang sekilas ke arah Galen, Ava dan


Jay menggeser tempat duduk di depan untuk diduduki
Mirele. “Duduk El. Lo aman di kelas ini,”

Mirele duduk. Dengan pandangan datar gadis itu. Menatap


Galen yang duduk di hadapannya.

“Mau lo apa sih kak?”


“Suka coklat?”

Mirele menggeleng “Lo mending kasih gue duit dibanding”

“Bunga?”

“Gue bilang lebih mending duit lo kasi ke gue.” Ava dan Jay
saling pandang lalu kompak mengedikan bahu lanjut
mendengar perdebatan

Galen dan Mirele. “Lo mau apa dari Ini Galen kenapa sih?
“Ada apa lo tiba tiba?”

“Bilang aja lo mau apa.”

“Gue mau lo ga paksa paksa gue lagi.” Mirele hendak berdiri


tapi bahunya ditahan Ava dan Jay.

“Lo berdua apaansih kak ikut ikut aja.”


“Sekarang Valentine El. Lo tinggal bilang mau apa sama Galen
pasti dikabulin. Mau mobil, iya?”

“Gue mau kalian gak ganggu gue lagi!”

“Ga bisa.”

Lama lama ngeselin ya. Mirele duduk dengan kesal, apa yang
harus dia lakukan agar cowok itu.

Bungkam?

“Lo mau apa?” Ulang Galen.

Mirele mendengus kesal. Padahal ia gak mau apa apa loh, lah
malah dipaksa.
“Serius lo bakalan kabulin apapun yang gue mau?” Tantang
Mirele. Galen diam, cowok itu kemudian mengangkat sudut
bibirnya “Sure,”

Balasnya.

“Be my boyfriend.”

BAB 12
“Be my boyfriend.”

“Jadi cowok gue selama sebulan.” Lanjut Mirele yang


membuat Ava dan Jay yang mendengar itu membulatkan
bibir. Teman teman sekelas Galen juga ikut berbisik bisik.

“Tentu.” Galen tersenyum, menyandarkan punggungnya di


kursi dengan tatapan yang masih

Terfokus ke manik Mirele.

“As you wish, girlfriend.”

Niat hati membuat Galen bungkam dan berharap


Galen tidak akan memenuhi permintaannya

Kenapa malah menjadi begini? Kenapa Galen

Menyanggupi? Astaga. Mirele merasa keadaan

Menjadi terbalik.

“Ekhem. Jadi lo berdua jadian nih?” Jay melipat

Kedua tangannya di bawah dada.

“Yah Mirele sold out.” Ucap Ava meluruhkan

Bahu.

“Pas. Tanggal jadian kalian cakep. 14 Februari,


Valentine day. Bisaan banget deh.”

Mirele diam. Ini kenapa jadi gini?

“Sebulan, Cuma sebulan.” Mirele kemudian

Berdiri, meninggalkan kelas itu dengan perasaan

Tak karuan. Sial.

Berita tentang Galen dan Mirele yang berpacaran

Tersebar luas beberapa saat kemudian di SMA


Dewara. Teman teman sekelas Galen pelakunya,

Termasuk Ava dan Jay yang menyebarkan.

Mirele yang tengah berada di dalam toilet sekolah setelah


selesai mengganti seragamnya dengan

Kaos olahraga tiba tiba dicegat oleh dua orang

Siswi yang merupakan kakak kelas Mirele.

“Heh jalang. Pelet apa yang lo kasi ke Galen, hah?”

Tubuh Mirele dihempas hingga terbentur tembok. Sheril


pelakunya, anak kelas duabelas MIPA 2.

“Gausah sok cantik deh lo. Muka pas pasan doang bangga.”
Mirele ga terima dong dikatai seperti itu. Apa

Katanya, jalang? Beuh, gak ngaca dulu cewek ini.

“Heh lampir. Dulu deh sebelum ngatain orang. Mentang


mentang kakak tingkat aja sok berkuasa. Lo kira gue takut?”
Mirele membalas mendorong Sheril sama seperti apa yang
Sheril lakukan terhadapnya. Satu teman Sheril yang sejak tadi
bersama Sheril membantu gadis itu.

“Lo gapapa she?” Jia menenangkan Sheril yang

Tampak emosi. “Kurang ajar banget lo jalang!” Sheril hendak

Memukul Mirele, tetapi lebih dulu tangannya

Dihempas oleh Mirele.


“Lo yang kurang ajar. Gaada kerjaan banget

Ngelabrak orang. Masih jaman? Gausah sok keras!”

Sheril menahan emosinya mendengar jawaban Mirele yang


tidak ada takut takutnya terhadapnya.

“Lain kali kalau mau sok keras jangan sama gue deh tante. Ga
malu lo sama umur? Ngelabrak gajelas padahal Kak Galen
bukan siapa siapa lo juga. Gini nih kerjaan jalang yang
sebenarnya, ngelabrak orang padahal lo bukan siapa siapa.

Malu maluin banget lo.”

Ralin masuk ke dalam toilet. Gadis yang sudah berganti


dengan pakaian olahraga itu menatap Sheril dan Mirele
bergantian.

“Kenapa El?” Ralin tak paham melihat wajah


Marah Sheril.

“Ga penting. Orang sok keras niat labrak gue.”

Ralin menahan tawa, melihat ekspresi Sheril dan

Jia membuatnya paham.

Sebelum pergi, Mirele kembali menatap Sheril lagi, kalau mau


cari lawan, saran gue liat dulu lawannya. Jangan asal labrak,
oke?” Mirele kemudian menepuk pundak Sheril yang
membuat Sheril semakin terbakar amarah.

“Kena mental.” Ralin berucap dengan kekehan di

Akhirnya.

“SIAL!”
“Mirele beneran pacaran sama Kak Galen?”

“Demi apa? Gue dengernya juga kaget. Katanya

Jadiannya baru tadi,”

Mirele dan Ralin yang baru saja bergabung ke

Barisan kelas di lapangan olahraga langsung

Disuguhkan dengan beberapa teman sekelasnya

Yang tengah membicarakannya.

“Lo beneran pacaran sama kak Galen?” Giliran


Ralin yang bertanya. Gadis itu diam sejak tadi.

Ralin terkejut mendengar berita itu tentu saja.

“Gausah dengerin mereka.”

“Ya gimana ga dengerin. Berita lo pacaran sama

Kak Galen udah kesebar luas, jadi topik hangat di

Lambe Dewara.”

Mirele menatap jengah Ralin. Begitupun beberapa

Murid yang menjadikannya bahan perbincangan saat ini.


“Gibran mana? Gue ga liat dia.” Putra bertanya,

Cowok itu berada di barisan putra di samping

Mirele dan Ralin berbaris.

Mirele seketika lupa dengan Gibran. Semenjak keluar dari


kelas Galen, Mirele tidak ada ke kelas. Maupun bertemu
dengan Ralin atau Gibran. Mirele langsung ke loker dan toilet
di saat berita pacarannya heboh seantero sekolah.

“Nah tu anaknya dateng.”

Mirele menatap Gibran yang baru masuk ke

Dalam barisan. Cowok itu menyalip berbaris hingga berada di


samping Mirele. Gibran
Mendekatkan hingga di samping telinga

Mirele “Lo sama Galen pacaran?”

Mirele berdecak. Kenapa bisa seheboh ini sih? Mirele tak


menjawab pertanyaan Gibran hingga guru olahraga datang ke
aula lapangan. Seluruh

IPS 2 berbaris rapi ketika pak Vito memulai

Pertemuan dengan menerangkan beberapa materi

Yang didengarkan secara seksama oleh seluruh

Murid.

“Bapak ke ruangan sebentar. Untuk mengisi


Waktu, kalian bisa berlatih Voli bersama sama.

Paham anak anak?”

“Paham pak...” Jawab keseluruhan murid lalu pak Vito


melangkah pergi.

“Lo sama gue yuk El. Gue sama sekali gabisa main

Voli.”

Mirele mengambil satu bola Voli

Yang disediakan pak Vito lalu membawanya ke

Arah Ralin. “Passing bawah dulu aja kali ya. Biar


Santai.”

Ralin mengangguk, lalu keduanya mulai berlatih.

“Gabut banget njir. Jamkos tapi dikasi tugas itu rasanya.... Ahh
gak mantap!” Ava kepalanya di meja dengan malas. Jay yang
duduk di sampingnya juga boring. Tugas belum selesai tapi
sempet sempetnya bilang gabut. Hm dasar.

“Lo beneran jadian sama Mirele Len?” Robby.

Cowok yang duduk di belakang bangku Jay dan

Bersama Galen bertanya. Pasalnya Robby

Tidak ada di kelas sejak tadi karena sibuk dengan


Makannya dia tidak tahu.

“Ya.”

“Ya? Jadi bener? Kok bisa?”

Galen menoleh, tangan yang semula sibuk menggerakkan


pulpen di atas kertas terhenti.

“Be my boyfriend. Mirele bilang gitu ke Galen.” Ava

Dan Jay membalikkan badan untuk menyahuti pertanyaan


Robby yang tak kunjung dibalas oleh Galen.

“Jadi Mirele yang nembak Galen?” Fikir Robby.


“Ya gue juga bingung ini namanya gimana. Gini nih awalnya.
Galen kan bawa Mirele ke kelas ini, trus JANGAN LO POTONG
UCAPAN GUE!” Saat Ava melihat Robby ingin membuka
mulut, cowok itu

Buru buru memperingati.

“Oke, next.”

“Trus Galen maksa pengen Mirele minta sesuatu ke dia. Ya


otomatis Mirele bingung, awalnya dia kekeuh minta pergi,
kayaknya itu cewek jengah atau gimana akhirnya dia bilang
gitu. Be my boyfriend katanya, dan Galen iyain. Jadian deh,
gampang banget kan ga kayak kisah percintaan gue?” Curcol
dikit gak masalah kok Va.

Robby manggut paham “Oalahhh gitu toh. Paham gue


paham.”

“Ya gitu!”
“Trus artinya kalian pacaran gitu? Atau Cuma settingan?”

“Lebih tepatnya pacaran settingan. Sebulan, udah kayak bayar


kos kosan.” Sahut Jay.

“Gapapa Len. Siapa tau kalian betah trus lanjutin kontrak.”


Ava, Jay dan Robby tertawa.

Cewek lo di lapangan.” Galen, Jay, Robby dan seluruh murid


kelas IPA 1 Mengalihkan atensi mereka ke arah Tono yang
masuk ke kelas dengan nafas ngos ngosan. Fyi, Tono adalah
teman sekelas mereka.

“Cewek gue?” Bingung Galen.

“Goblok. Lo lupa hari ini lo sama Mirele jadian?”

“Trus? Yang pingsan Mirele?”


“YA IYALAH. Buruan Len. Mirele pingsan katanya njir.”

Galen mengangguk lalu bangun dari duduknya berlari ke luar


kelas.

Galen menuruni tangga dengan tergesa. Cowok itu melewati


koridor kelas duabelas dengan langkah. Lebarnya untuk
mencapai lapangan dimana kelas Mirele tengah
menghabiskan jam olahraga..

Ketika Galen sampai di lapangan, semua atensi tertuju


padanya. Cowok itu mendekati kerumunan orang orang yang
tampak panik di tempat mereka berdiri. Tapi Galen tak
mendapati kehadiran Mirele disana.

“Mana Mirele?” Tanya Galen ke salah seorang

Gadis teman sekelas Mirele.

Gadis itu sempat sempatnya terpana melihat


Galen dari arah sedekat itu.

“MANA MIRELE?!” Tak kunjung dijawab dan hanya ditatap


membuat Galen kesal.

“A- anu kak. Mirele dibawa Gibran sama Ralin ke UKS.”


Setelah mendengar jawaban itu Galen. Langsung berbalik dan
melangkah menuju UKS.

“Ganteng banget buset. Mirele beruntung banget dikelilingi


Gibran sama kak Galen. Mana keduanya adik kakak.”
Komentar Gadis yang ditanyai oleh Galen tadi.

Sementara itu, di dalam UKS Gibran dan Ralin

Tengah menunggu Mirele yang masih terpejam dengan Ralin


yang mengolesi sedikit minyak kayu putih kepada Mirele.
“Dia sakit tetep aja bandel. Mana pucet banget lagi
wajahnya.” Ralin mengelus Surai mirele ke belakang,
sementara Gibran hanya menatap lekat wajah pucat gadis itu.

Pintu UKS dibuka, Gibran dan Ralin sontak menoleh ke arah


Galen yang membuka pintu itu.

“Gimana keadaan Mirele?”

Gibran menatap kakaknya tak suka. Saat Galen hendak


mendekat ke Mirele, Gibran menahannya “Gue mau
ngomong sama lo.”

“Ga sekarang.” Galen lalu beralih memfokuskan dirinya pada


Mirele yang terbaring

Di brankar UKS.

“Kalian lanjut aja olahraga, gue bisa jaga Mirele.”


“Engga. Gue gapernah percaya Mirele dijaga sama 1o. Mirele
sahabat gue,”

“Mirele gue.” Balas Galen yang membuat

Gibran bungkam. Ralin menjauhi brankar Mirele, lalu menarik


tangan Gibran..

“Kita percayain aja Mirele sama kak Galen. Kak Galen bener,
kita bisa dimarah pak Vito kalau bolos pelajarannya.”

“Mirele lebih penting dari apapun.”

Ralin berdecak. Gibran tetap Gibran. Cowok yang akan lupa


segalanya jika menyangkut Mirele. “Gue bisa jaga Mirele.
Kalian pergi aja.”

“Ngga.”
“Bran. Berhenti ngebantah.”

Dan Gibran keluar dari UKS dengan kesal, Ralin kemudian


menyusul langkah Gibran, meninggalkan Galen dan Mirele
yang berada di dalam UKS.

Galen mengamati wajah pucat Mirele yang masih terpejam.


Cowok itu duduk di tempat duduk yang diduduki Gibran
awalnya. Galen tak melakukan apa apa, ia betah mengamati
wajah gadis itu.

Hingga sepuluh menit kemudian Mirele sadar. Mata gadis itu


terbuka, dan Galen masih setia menatap Mirele yang
memegang kepalanya yang pening.

“Kak?” Mirele terkejut mendapati kehadiran Galen. Mirele


juga terkejut mendapati dirinya di dalam itu.

“Gue kenapa bisa disini?”


“Lo pingsan.”

Duduk di atas brankar, Galen dari duduknya untuk membantu


gadis itu.

“Gue bisa.”

“Kalau lo masih sakit jangan sekolah.” Mirele tak membalas


ucapan Galen.

“Iket rambut gue mana?”

“Gak usah di iket. Ntar lo tambah pusing.”

Mau ke kelas deh kak.” Mirele turun dari atas brankar.

“Gue anter. Temen temen lo masih di lapangan kayanya.”


Mirele tak menolak, gadis itu mengangguk lalu mengambil
sepasang sepatu sekolahnya yang tadi dilepas oleh Ralin.
Saat Mirele menunduk untuk mengenakan sepatu itu, Galen
merebut sepasang sepatu milik Mirele lalu memegang
pundak Mirele “Gue pakein.”

Mirele menggeleng “Gausah. Gue bisa.”

“Nurut.” Galen menyuruh Mirele untuk duduk kembali di atas


brankar, awalnya Mirele menolak lagi tapi akibat paksaan
Galen, Mirele menurut akhirnya, dan Galen berjongkok untuk
memakaikan sepatu itu ke kaki Mirele. Kaos kaki masih
terpasang di kaki Mirele, jadi tinggal mengenakan sepatu
saja.

Galen memakaikan sepasang sepatu itu dengan telaten.


Mirele menatap Galen dari tempatnya duduk, rambut lebat
Galen menutupi wajah serius cowok itu dari pandangan
Mirele.

Sesudah memasang kedua sepatu itu, Mirele turun kembali


lalu berjalan keluar UKS bersama Galen.

“Pulang sama gue. Nanti tunggu di kelas,”


“Gue balik bareng Ralin.”

“Ralin sama lo beda arah.”

“Dih sok tau.”

“Gue tunggu di kelas, jangan nolak lagi.” Mirele mendengus,


kedua orang itu berjalan menuju kelas Mirele di sepanjang
koridor dengan melewati lapangan Dewara yang dimana anak

Anak kelas IPS 2 masih olahraga.

“So sweet banget kak Galen. Mau juga dong digituin.”

“Lah beneran pacaran mereka?” Tanya Ivan yang berdiri di


dekat Gibran dan Ralin..
“Gue kira Cuma gosip tau taunya beneran.” Rika ikut
berkomentar

“Anak anak semua. Bapak mohon fokus latihannya. Nanti


akan bapak tes satu satu!”

Dan semuanya kembali fokus ke permainan bola mereka.


Berbeda dengan Gibran yang masih berdiri dengan raut
datarnya. Cowok itu disadarkan oleh Ralin yang menepuk
lengannya.

“Fokus bran. Mirele bakalan baik baik aja,”

Ralin kursinya dan berdecak kesal saat tutup pulpennya jatuh


di bawah bangku. Gadis itu mengambil tutup pulpen miliknya
lalu menutup pulpennya karena jam pelajaran sudah

Berakhir.
“Baik anak anak, karena sudah jam pulang, pelajaran hari ini
saya akhiri. Untuk tugas bab 2 bisa kalian lanjutkan di rumah.
Ingat, jawab yang

Benar dan logis. Tidak harus ribet yang penting mudah


dipahami.” Bu Ani yang merupakan guru Bahasa kemudian
mengemas buku barang barangnya setelah itu.

“Selamat siang, dan sampai jumpa minggu

Depan.”

“Selamat siang Bu,” jawab murid lainnya.

“Farah mana nih? Uang kas nunggak empat

Minggu. Gue gamau tau harus cepet dilunasin. Minggu ini


rencananya perangkat kelas bakalan beli keperluan kelas yang
kurang. Lunasin juga yang masih nunggak.” Ralin menutup
buku kas lalu memasukkannya ke dalam tas.
“Gue bayar besok deh Lin. Sekalian bayar langsung buat dua
minggu Farah yang mendekat ke bangku Ralin.

“Oke. Bagus, yang lain juga cepetan lunasin. Bukan apa apa,
gue Cuma gamau kalian kebiasaan nunggak lama jadi gak
bayar. Daripada numpuk kan kasian banget uang kalian kerasa
habisnya. Mending dibayar rutin minggu biar ga

Kerasa.”

“IYA IBUK BENDAHARA.” Jawab yang lainnya kompak. Ralin


mengacungkan jempol.

“Lo bareng Ralin kan?” Gibran yang sudah

Menggendong tas nya mendekati Mirele.

Sahut gadis yang menguncir kuda


Rambutnya

Ga jadi nebeng di gue? Padahal gue bawa si yellow sekarang.”


Si yellow yang Ralin adalah Vespa kuning kesayangannya itu.
Motor yang sering dipakai Ralin jika tidak ada yang
mengantar ke sekolah.

“Maunya gitu. Tapi ada yang mau ngajak gue balik bareng.”

“Siapa?” Tanya Gibran dan Ralin barengan.

“Kak Galen.”

Gibran berdecak. “Tu anak ngapain sih pake sok

Nganter lo segala.”
“Lah bagus dong. Cowok lo perhatian namanya.

Dia tau lo sakit, jadi dianterin. Cowok gue aja ga sepeka itu.
Nasib beda sekolah kali ya.” Lirih Ralin.

“Trus lo mau balik bareng Galen?” Mirele mengangguk.

“Kalian jadian beneran?”

“Engga bran.” Ujar Mirele Mirele tak

Suka yang mengungkit tentang statusnya dan Galen.

“Trus kenapa orang orang bilang kalian pacaran?”

“Gausah banyak tanya. Cewek gue pusing


Dengernya.” Ralin dan Gibran sontak menoleh ke arah Galen
yang baru saja masuk ke dalam kelas

IPS 2.

“Ngapain sih lo?” Tanya Gibran sinis.

“Kalian bisa ga sih adik kakak itu akur?” Mirele melerai.


Pusing setiap melihat Galen dan

Gibran bertemu pasti tidak pernah akur. Heran.

“Gue balik duluan Bran, Lin.” Dan Mirele menarik tangan


Galen menuju keluar kelas.

BAB 13

Hoodie putih oversize, hotpants, sepatu vans adalah pakaian


ternyaman bagi Mirele. Gadis itu menuju motornya,
menghidupkan mesin lalu melajukan motor matic itu keluar
dari pekarangan rumahnya. Malam ini ia akan berkunjung ke
apartemen maminya. Mami kandungnya di sebuah
apartemen yang lumayan jauh dari arah rumahnya.
Mirele menghentikan sejenak motornya ke pinggir ketika
mendengar notifikasi ponselnya.

Kak Galen

Kata tante Jovi lo keluar. Kmn?

Ke rumah pacar gue.

Lo punya brp pacar?

Berapapun pacar gue, lo gaperlu tau.

Jangan pulang malem malem Cuaca di luar lagi ga kondusif


Jangan bandel, El. Lagi jalan? Yaudah jangan dibales pesan
gue fokus aja. Iya. Nanti bales pesan gue pas udah sampai
aja. Mirele meletakkan ponselnya kembali ke dalam tas lalu
kembali fokus menyetir. Gadis itu tertawa “Cowo sebulan
doang.” Lanjut Mirele dengan kekehannya. Lima belas menit
kemudian mirele sampai di basement apartment. Gadis itu
turun dari motor lalu mulai masuk ke dalamnya. Unit
apartment maminya berada di lantai lima. Gadis itu
memasuki lift dengan tangan yang Mirele menekan beberapa
digit angka lalu pintu apartment maminya terbuka dan Mirele
masuk ke dalamnya. Sepi dan gelap. Maminya kemana?
Mirele menyalakan saklar lampu. Berjalan ke arah ruang
tengah lalu meletakkan totebag di atas dalam sebuah kamar.
Putrinya itu.

Iya kak Galen.

Oke pak.

Iya boyfie

Read.
Kecil. “Itu beneran cowo gue?”

Menenteng totebag.

Meja.

“Mi, mami dimana? El dateng.”

Bertepatan dengan panggilan Mirele, seorang wanita cantik


dengan long dress keluar dari

Mirele tersenyum, maminya membuka tangannya lebar lebar


menyambut Mirele ke dalam pelukannya.

“Mami kangen banget sama kamu sayang,” Arina


mengeratkan pelukannya sayang kepada sang putri. Wanita
yang masih sangat cantik dan awet muda itu mengelus surai
Mirele dengan sayang.
“El juga kangen banget sama mami. Maaf ya mi baru sempet
kesini.”

“It’s oke dear. Mami juga minta maaf gak ngunjungin kamu.”

“Gapapa, El paham mami sibuk.” Arina tersenyum


mendengarnya, wanita itu membawa Mirele menuju ke ruang
utama dengan menarik tangan putrinya itu.

“El bawain mami kacang hijau sama sandwich.” Mirele


membuka totebag yang dibawanya lalu mengeluarkan kotak
bekal dan juga satu cup berisi kacang hijau dari sana.

“Kebetulan banget mami laper. Kamu ga makan sayang?”

“El udah makan sebelum kesini mi. Ini khusus buat mami,
kacang hijaunya El yang buat loh.”

“Ah serius? Anak mami pinter, dong.” Arina tertawa membuat


tawanya tertular ke Mirele.
“Mama Jovi yang ngajarin El buat.”

“Oh ya? Gimana sama Jovita? Papi kamu ga kasar kan sama
dia? Mami sempet shock awalnya pas tau Jovita yang bakalan
nikah sama papi kamu.” Jovi dan Arina merupakan teman
lama. Tepatnya teman waktu SMP, walau tak terlalu dekat,
tapi Arina dan Jovi saling mengenal.

“Mama Jovi baik.”

“Trus papi kamu? Papi kamu engga semena mena kan sama
kamu?” Mirele menggeleng.

Mirele menggeleng “Enggak mi. Papi baik sama aku.”

“Baguslah. Mami jadi tenang, yang mami takutin itu papi


kamu kasar sama kamu.”

Mirele tersenyum tipis.


“Mami makan, aku mau ke kamar mami bentar ya, sholat.”
Arina mengangguk “Maaf gak bisa nemenin ya sayang, mami
lagi halangan.”

“Iya mi, gapapa.”

Arina dan Mirele tengah duduk di ruang tengah setelah Arina


baru saja menghabiskan makanannya. Mirele memperhatikan
maminya lekat, wajah maminya memang sangat cantik, tapi
itu tidak bisa menutupi jika maminya kelelahan dari raut
wajahnya.

Mirele melunturkan senyum saat melihat maminya


mengeluarkan rokok dan juga pematik dari tasnya lalu mulai
menyesapnya.

“Mi,”

“Hm?”
“Mi, berhenti ngerokok ya?” Atensi Arina teralih. Itu dengan
cepat mematikan rokoknya dan meletakkannnya di asbak.

“Maafin mami ya sayang. Mami lupa ada kamu, kamu pasti


gak seneng ya liat mami ngerokok, jangan ditiru ya sayang?
Mami lupa.”

Mirele hampa. Maminya memang tidak tahu dengan apa


yang dilakukan Mirele selama ini. Termasuk Mirele yang
perokok, peminum dan sering keluar masuk club dari SMP. 2

“Mirele gamau mami sakit karena rokok, mi. Paru paru mami
berharga, organ tubuh mami berharga bagi diri mami
sendiri.”

“Iya sayang,” Arina menarik Mirele ke dalam pelukannya.


Mirele membalas pelukan maminya

“El tau ngelepas kebiasaan itu sulit mi. Tapi gaada salahnya
mami mencoba walau sulit. Jangan sampai paru paru mami
rusak karena kebiasaan itu.”
Jangan jadi seperti El mi.

“Engga sarapan El?”

Mirele menggeleng “Aku buru buru,”

“Mawar dikasi hadiah ini sama ibu guru. Soalnya katanya ibu
guru, Mawar itu anak baik Pi.

Makannya dikasih ini,”

“Pinter anak papi. Nanti papi belikan hadiah juga

Untuk Mawar karena udah pinter di sekolah,

Oke?”

Asikk!!!”
Jovi menatap Mirele dengan pandangan iba.

Wanita itu tau Mirele sejak tadi mengamati

Interaksi Mawar dan Yoga dari sana. Mirele hanya diam, tak
berkutik atau berbuat apa. Gadis

Itu kemudian pergi menuju keluar rumah tanpa

Berucap apapun saat papinya yang menggendong

Mawar mendekati Jovi.

“Kak El udah berangkat ya ma?”

Jovi mengangguk “Udah sayang, baru aja tuh.


Mama cantik banget hari ini, mau ketemu

Temen temen ya?”

“Iya dong ma!!! Ya kan Pi?” Yoga mengangguk

Lalu tersenyum “Iya sayang, sebelum ke sekolah

Mawar harus makan sayur yang banyak, biar

Pinter.” “Baik papi!!”

Jovi ikut tersenyum melihatnya. Wanita itu akan

Sangat tambah senang jika ada Mirele di


Antara mereka saat ini. Sayangnya perilaku Yoga

Akan sangat berbanding kebalik saat bersama

Mirele.

Mirele berjalan ke kantin sekolah. Ditatapnya

Pergelangan tangannya yang dilingkari jam

Tangan lalu kemudian duduk di bangku kantin

Seorang diri pagi itu. Tidak ada satupun murid di sana.


Entahlah, apa

Mirele yang terlalu pagi atau gimana hingga


Suasana kantin sekolah sangat sepi.

Mirele merasa perutnya berbunyi pertanda minta di isi.


Ditatapnya gerobak pak Dusta yang belum buka pagi itu.
Mirele menghela nafas, jika saja

Pagi tadi ia tidak menolak tawaran sarapan dari

Jovi, mungkin sekarang Mirele tidak sekolah

Dengan kondisi perut keroncongan.

Mirele merasakan seseorang yang mendekat lalu

Duduk di kursi hadapannya. Pandangan Mirele yang semula


menunduk mulai mendongak, mendapati kehadiran Galen
dengan kotak bekal di
Atas meja.

“Belum sarapan?”

Mirele menatap Galen sebentar “Udah.”

“Bohong. Tante Jovi bilang lo ga sarapan pagi ini di rumah.”

Mirele berdecak mama Jovi bilang ke lo

Sih kak?” “Bagus Biar gue tau lo bandel apa engga.

Ternyata lo bandel terus.”

Mirele merampas kotak bekal itu. Malas


Mendengarkan celotehan Galen. Dibukanya kotak

Itu lalu Indra penciumannya langsung digoda wangi dari


bubur ayam.

“Buatan mama gue.”

Mirele menatap sekilas “Lo juga belum

Sarapan kan pasti?”

“Gue bisa nanti.”

“Gaada. Kita makan bareng, ini pasti mama lo

Bikinnya buat lo, malah lo kasih ke gue.” “Gue ga laper.”


“Yaudah gue juga ga makan. Ga laper juga.”

Mirele menjauhkan kotak bekal itu lalu melipat

Tangannya di atas meja.

Galen menghela nafas, “Fine, kita makan bareng.”

Mirele mengambil alih bekal itu, lalu

Menyendokkan bubur ayam itu dan mengarahkan

Sendok ke arah Galen “Kak Galen dulu,” Galen mulut, lalu


Mirele memasukkan

Sendok berisi bubur ayam itu ke dalam mulut


Galen dan dikunyah oleh cowok itu dengan pelan

Sembari memperhatikan Mirele yang menyuap

Bubur ke dirinya kemudian.

“Enak?”

Mengangguk kira mama kak Galen

Gabisa masak-“

“Karena mama keliatannya kayak wanita.

Workaholic?”

Mirele mengangguk, kembali mengarahkan


Sendok ke arah Galen untuk menyuapi cowok itu

“Iya.”

Galen tersenyum singkat “Mama emang selalu nemenin papa


atau ngurus bisnisnya setiap hari. Tapi mama selalu inget
masakin

Setiap hari.”

Mirele tersenyum tipis. Ada setitik rasa iri di hati

Mirele mendengarnya. Walau memang Jovi setiap

Hari memasakkannya makanan, tapi rasanya


Akan sangat berbeda bila maminya yang masak untuknya.

“Ngelamunin apa?” Pertanyaan Galen membuat

Mirele tersadar, gadis itu menggeleng, lalu

Kembali memasukkan sesendok bubur ke

Mulutnya.

“Lain kali inget sarapan.” Mirele hanya berdehem.

“Buburnya tinggal dikit. Lo minum dulu,” Galen

Menyerahkan satu botol air mineral yang baru Mirele sadari


ada di atas meja.
“Lo ga minum kak?”

Galen menggeleng “Gue Cuma bawa satu.” “Ya kita minum


sama sama lah.”

“Engga, el.”

Mirele berdecak “Kita bisa minum tanpa nyentuh mulut botol


kali kak. Ga usah takut bekas gue. Atau lo minum duluan
deh,”

Tak melihat ada respon dari Galen, Mirele mendengus


“Yaudah gue duluan.” Mirele meneguk air itu tanpa
menyentuh mulut botol. Galen dapat melihat air itu tumpah
tumpah kebawah ke arah seragam yang dikenakan Mirele.

Mirele tidak terbiasa sebenarnya minum seperti itu.

“Seragam lo basah,” Mirele selesai minum lalu menyodorkan


botol air itu ke Galen.
“Ga masalah, basah dikit doang. Ntar juga kering,” Mirele
menyengir dan Galen dibuat tersenyum karenanya.

Setelah Galen selesai minum, Mirele

Menumpukan tangannya di atas meja lalu

Mengamati cowok itu. Galen yang merasa

Diperhatikan menatap Mirele dengan bingung.

“Kak, kok diliat liat lo ganteng sih? Lo beneran

Cowo gue?”

Mirele sadar gasih dengan ucapannya? Ya tentu sadar! Gadis


itu bahkan memasang raut wajah serius.
Galen ikut memandang gadis itu. Sudut bibirnya terangkat
mencetak senyum miring yang membuat Mirele seakan lupa
diri.

“Lo baru sadar?”

Mirele mengangguk “Gue suka rambut lo. Mata lo bagus, gue


suka juga. Hidung lo mancung, ga kayak hidung gue.”
Pandangan Mirele semakin menurun “Bibir lo” Mirele
menjeda kalimatnya, mata gadis itu menerjap, kembali
menatap tepat ke mata Galen dengan kikuk.

“Ah maaf, gue ga maksud.”

Galen tersenyum kecil. Cowok itu beralih menyandarkan


punggungnya di kursi dengan tangan yang dilipat “Rambut lo
bagus, mata lo indah, hidung lo lucu, dan bibir lo buat gue
tertarik.”
Mirele menerjap, Galen berucap demikian tanpa jeda
membuat degup jantung Mirele tak karuan.

“Lo juga cantik.”

“Gue baru sadar gue punya cewe secantik lo.”

Double shit. Galen selalu tau cara membalikkan suasana yang


sebenarnya.

BAB 14

“Aydhia Mirele Lucrezia. Enam belas tahun.” Seorang pria


berjas menyerahkan sebuah map coklat ke arah tuannya.
Jemari tua itu mengambil alih map itu lalu membukanya.

Mata lelah yang dibingkai kaca mata itu terfokus ke arah


tulisan yang tercantum di kertas putih yang ada di dalam
map. Jemarinya bergetar, lalu menatap pria berjas yang
berdiri itu dengan tatapan datar. “Temui saya segera dengan
dokter itu.”
“Baik tuan.” Sahut pria berjas itu patuh. Dan map itu kembali
diletakkan di atas meja oleh pria tua yang dipanggil ‘tuan’
tadi.

“Atur tempat dan pertemuan ini secepatnya dengan privat.”

Kembali, pria berjas itu mengangguk patuh.

“Terus pantau cucu saya setiap saat. Jangan biarkan dia


terluka sedikitpun.”

“Dimengerti tuan,”

“Saya akan menemui Yoga hari ini. Anak itu membuat


kesalahan fatal dengan mengacuhkan putrinya sendiri. Saya
tidak akan pernah terima cucu saya tidak bahagia dan
tertekan karena dia.” Pria tua itu berdiri dari duduknya,
dibenahinya letak syal yang melingkari lehernya lalu beranjak
pergi keluar dari ruangan itu diikuti pria berjas tadi.
Mirele menyamai langkah kakinya dengan Gibran ketika dia
merasa tertinggal oleh langkah lebar cowok itu. Mirele
melepas earphone dan memasukkannya ke dalam tas-nya.

“SELAMAT PAGI EVERYBODY,” Baru saja Gibran dan Mirele


masuk ke dalam kelas, keduanya sudah disambut teriakan
melengking dari mulut Ralin. Gadis itu senyum senyum ga
jelas..

Mirele meletakkan tas sekolahnya di atas meja lalu duduk di


bangkunya, samping Ralin.

“Mulut lo Lin. Kontrol dikit kenapa.” Komentar

Gibran.

“Aduh apasih bran? Mulut gue emang udah gini dari dulu.
Gini gini, lo berdua mau tau ga kenapa hari ini gue bahagia
banget?”
Mirele dan Gibran saling pandang. Keduanya kemudian sama
sama mengedikan bahu.

“Ck. Kepo dikit kek kalian.” Ralin merengut kesal.

“Apasih Lin? Apa?”

Ralin tersenyum cerah. “Gue sama Darren

Kemarin malem kan jalan, trus gue diajak ke

Rumahnya cowo gue dong! Gila, seneng banget pas liat


orangtua Darren nerima baik gue! Huaaaa. Nangis aja gue
rasanya tau ga El?!!”

Mirele menganggukkan kepalanya, “Iya Lin. Gue ikut seneng.”


“Nah maka dari itu. Gue mau traktir kalian berdua di kantin
hari ini. Bebas. Kalian bisa makan sepuasnya. Gausah
sungkan. Oke?”

“Tanpa lo bilangin gue juga ga bakalan pernah sungkan kali


Lin. Santai,” Kalau saja Ralin sedang tidak dalam mood bagus,
udah Ralin toyor kepala

“Yaudah kuy lah ngantin.”

“Ngapain sekarang? Keburu masuk kelas lah.” Gibran berucap


kesal “Nanti aja, pas istirahat.”

Ralin menatap Gibran horor. Ralin kemudian memperbaiki


letak duduknya dengan benar.

“Gue ke toilet bentar.” Mirele beranjak dari duduknya, Ralin


dan Gibran mengalihkan atensi mereka seketika.

“Gue temenin ga El?” Tanya Ralin.


“Gausah. Bentaran doang, lagian lima menit lagi masuk
kelas.”

“Yaudah deh,”

Mirele beranjak pergi, Ralin dan Gibran sama sama menatap


punggung Mirele yang mulai menghilang dari pandangan
mereka.

Mirele berjalan santai melewati beberapa murid yang ada di


sekitarnya. Gadis itu kemudian masuk ke dalam toilet, dan
mengunci bilik toilet itu pelan.

Di dalam bilik toilet, Mirele mengeluarkan sesuatu dari saku


seragamnya. Selembar tissue kering yang kemudian
digunakannya untuk mengelap darah yang keluar dari
hidungnya.

Tujuan Mirele ke toilet memang untuk itu. Saat tadi di kelas,


Mirele sudah merasakan bahwa ada yang tidak beres dengan
dirinya. Ada yang mengalir terasa dari hidungnya dan buru
buru Mirele melangkah menuju toilet.
Mirele menyeka hidungnya dengan tissue kemudian
mendongak ke langit langit toilet. Gadis itu juga bersandar
untuk menyangga tubuhnya yang dirasakannya sedikit lemas.

“Kanker bukan penyakit biasa yang bisa disepelekan. Perlu


banyak sekali perjuangan yang Mirele selama ini lakukan
demi mengharapkan kesembuhan dari penyakit ini pak.”
Dokter Harine menunduk sebentar, wanita itu tersenyum
tipis. Sementara orang yang dipanggil ‘pak’ itu oleh sang
dokter masih setia menunggu lanjutan ucapan yang akan
dilontarkan dokter Harine.

“Sel kanker itu sudah menyebar ke beberapa organ organ


penting di tubuh Mirele. Kemoterapi sudah pernah kami
lakukan rutin sebelumnya atas Mirele sendiri.”

“Apa ada orang lain yang tau mengenai penyakit cucu saya?”

Dokter Harine menggeleng. “Saya ingin

Mengatakan kebenaran ini pada orangtua Mirele,


Tapi gadis itu selalu menolak. Saya sudah terlanjur berjanji
kepada Mirele untuk merahasiakan penyakitnya dari
siapapun.”

“Kenapa anak itu melakukan ini semua?” Pria tua itu


bergumam dengan raut seriusnya.

“Mirele pernah cerita ke saya tentang kedua orangtuanya


maaf jika mungkin ini sedikit sensitif bagi bapak pribadi. Tapi
apa benar ayah Mirele tidak pernah memperdulikan Mirele
selama ini pak?”

Pria tua itu mengangguk. Tidak menyangkal sama sekali.


“Anak bodoh itu melakukan hal yang memalukan. Dia tidak
pantas disebut sebagai seorang ayah sekalipun.” Ucapnya
dengan wajah yang mengeras.

“Support keluarga-lah yang seharusnya menjadi kekuatan


utama Mirele saat ini pak. Mirele memerlukan semangat dari
orang orang terdekatnya, tapi gadis itu tidak mendapatkan
itu,”
“Ya. Saya tau itu.” Pria tua itu menghela nafasnya, “Jangan
beritahu Mirele akan pertemuan kita ini, dokter. Seperti apa
yang Mirele lakukan dengan menyimpan rahasia mengenai
penyakitnya, saya juga ingin anda berjanji untuk tidak
mengatakan hal ini kepada Mirele.”

Dokter Harine masih menatap pria tua itu lekat.

“Simpan rahasia mengenai pertemuan saya dan anda.


Usahakan sebisa mungkin menyembuhkan cucu saya, dokter.
Tidak ada yang saya percaya menjaga cucu saya selama ini
bahkan kedua. Orangtuanya.”

Dokter Harine mengangguk paham. “Tapi kenapa bapak


menyembunyikan keberadaan bapak kepada Mirele?”

“Saya selalu ada di sisinya selama ini. Saya tau apa saja yang
dilakukan dan dialami Mirele sekalipun.” Pria tua itu berucap
tegas.

“Ada hal yang membuat saya harus sembunyi sembunyi


seperti ini. Dan itu demi kebaikan. Pribadi. Saya hanya
memiliki dia di hidup saya, hanya yang saya anggap keluarga.”
Dokter Harine membisu. Dapat dia lihat ketulusan besar dari
mata tua itu kala pria tua itu mengucapkan sederet kalimat
barusan.

“Apa perlu saya bawa Mirele pengobatan ke luar

Dokter Harine langsung mengangguk. “Ya. Sangat perlu


sebenarnya pak. Saya sudah pernah mengatakan hal ini
dengan Mirele langsung, tapi dia menolak.”

Pria tua itu mengangguk, paham betul maksud Mirele


menolak jika dibawa pengobatan ke luar.

“Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk


menyembuhkan Mirele pak. Tapi tetap saja takdir ditentukan
oleh yang kuasa, saya hanya bisa berusaha, tapi tidak bisa
menjanjikan ini semua. Tuhan berkehendak, sekalipun itu
mustahil, tidak ada yang bisa menentang takdirnya.”
“Mirele gadis kuat selama ini, saya melihat harapan besar
dimatanya mengenai kesembuhannya dari penyakit yang
dideritanya

Ini pak. Tapi pernah sewaktu waktu saya mendengar kata


lelah keluar dari mulutnya. Dan itu juga, saya melihat sisi
lemah dari gadis yang selama ini saya anggap kuat itu.”

Mirele keluar dari toilet setelah hampir lima belas menit diam
di sana. Mirele tau, pasti Gibran dan Ralin
menghawatirkannya sebab tidak kunjung masuk ke dalam
kelas.

“Kalau jalan liat liat dong!”

Mirele menatap kesal orang yang menabraknya itu “Lo yang


liat liat kalau jalan! Main asal nabrak aja, isi nyalahin gue
lagi.”

Orang itu, yang tak lain merupakan Fazan menatap jengkel


Mirele. Gadis itu selalu saja menyulut emosinya.
“Lo lagi lo lagi. Ga bosen bosen lo buat ulah

Terus?”

Mirele berkacak pinggang. Menatap Fazan dengan


permusuhan. “Eh Kakak kelas songong. Yang nabrak gue itu
elo. Jelas gue baru aja keluar toilet eh lo tabrak. Emang dasar
ya lo ngeselin mulu.”

“Loh loh.. lo nyalahin gue?!”

“Iya kenapa, Ga terima?!!”

“Ya jelas engga lah. Orang gue bener-“

“Buta kali lo ya! Jelas jelas lo yang nabrak gue.”

“Lo juga nabrak gue cewe gila!”


“Apa? Cewe gila? Dasar cowo sarap. Bawaan lo setiap ketemu
gue ngeselin terus kenapa sih? Songong banget.”

“Lo”

“Ada apa ini ribut ribut depan Ga denger

Bel masuk kelas kalian, hah? Ini masih masih aja berkeliaran
disini. Bapak hukum kalian berdua “

“EITSSSS! Pak Hanan terhormat. Yang salah disini

Itu dia! Jadi dia aja mending yang hukum.”

“Engga pak! Dia yang salah karena nabrak saya trus marah
marah gajelas. Jadi mending dia aja yang di hukum pak.”
Pak Hanan memegang kepalanya pusing. Guru dengan perut
buncit itu menghentak kesal. “DIAM! PUSINGGG KEPALA SAYA
DENGER SUARA SUARA KALIAN INI!” Pak Hanan menetralkan
emosinya.

“Hukuman buat kalian berdua bersihin sepanjang koridor


sekolah sampai kinclong! Paham?!!”

“Tapi pak-“

“Ga ada tapi tapian lagi El! Kamu ini bikin

Masalah terus. Ini lagi kamu Fazan, ga kapok juga setelah


kelahi sama Gibran sekarang kelahi sama cewe kayak
Mirele?”

Fazan diam saja. Cowok itu malas menjawab.

“BERSIHIN KORIDOR SAMPAI BERSIH!! SAYA BERI WAKTU


SAMPAI JAM ISTIRAHAT.”
Saya ada jadwal ulangan hari ini pak.” Mirele

“Saya bilang ke guru pengajar kamu nanti. Nyusul

Aja!” “Loh gabisa-“

“BISAA!” Mirele mengatupkan mulutnya kesal.

“Yang bersih ngepelnya! Gue gamau ya nanti pak Hanan


protes lagi trus gue disuruh ngulang lagi.” Mirele yang
memegang tongkat sapu berujar yang membuat Fazan
mengeraskan rahangnya kesal.

“Gue gamau tau lo nanti harus gantiin gue ngepel!”

Mirele berkacak pinggang. “Gamau. Gue daritadi


Udah mungutin sampah sama nyapu ya! Lo Cuma

Ngepel doang ribet banget.”

“Pegel anjing. Lo kira ga pegel?” tukas Fazan kesal.

“Gue juga pegel ya daritadi nyapu! Lo cowok

Repotan dikit ga masalah lah!” Mirele mengelap keringat di


dahinya. Gadis itu tertawa dalam hati kala melihat Fazan yang
memeras pel-an dengan tak berperasaan. Cowok itu
kemudian menyapukan pel-an itu di lantai dengan abstrak.
Sementara Mirele? Gadis itu duduk di bangku dengan
anggun.

“Ngepel kok kaya uler?”

“Bacot. Udah kaya ratu ya lo?”


“Woiyaa jelass.” Balas Mirele yang menyandarkan punggung
lelahnya di sandaran kursi.

Fazan kembali mengepel. Cowok itu melepas

Dasinya kasar lalu melemparnya hingga mengenai

Mirele yang tengah merenggangkan ototnya.

“Bawain! Gue mau pake jurus biar cepet selesai.”

Dan benar saja, Fazan mulai berancang ancang,

Cowok itu mengepel dengan kekuatan penuh.

Mirele yang melihat itu bangun dari duduknya


Lalu melangkah mundur seiring langkah Fazan

Mengepel.

“AMBOIII!! Pantat mulus saya!!!” Fazan dan

Mirele saling pandang. Kedua orang itu kemudian

Menatap ke arah pak Hanan yang tersungkur di

Lantai dengan sadis.

“Pak Hanan gapapa?”

“Gapapa apanya?! Kamu ga liat saya kesakitan?”


Kesal Pak Hanan yang berusaha berdiri dengan memegang
pantatnya yang nyeri.

“Ini kenapa lantai basah banget sih?!! Udah kayak

Banjir tau ga!”

“Mana ada ngepel kering pak! Aya aya wae bapak

Mah,” Sahut Fazan.

“Ngejawab lagi kamu!! Yaudah sana lanjutin, sepuluh menit


lagi bel istirahat. Koridor kelas sebelas gausah dibersihkan!
Bisa bisa seluruh murid saya jatuh pas keluar kelas!” Pak
Hanan melanjutkan langkahnya.

Mirele menyandarkan tubuhnya di tembok.

Gadis yang membawa dasi Fazan itu melempar


Dasi cowok itu kasar ke arah sang pemilik. Kemudian gadis itu
mendekat dan mengambil alih

Itu dari tangan Fazan.

“Siniin. Gue yang ngepel sekarang.” Mirele

Melipat lengan seragamnya, dan menguncir

Rambut panjangnya seperti ekor kuda.

“Gini kek dari tadi. Kan gue seneng,” Fazan tersenyum lega,
mengalungkan saja dasinya tanpa
Niat memasangkannya kembali.

“EL!!! Allahuakbar lo ngapain ngepel??” Ralin

Datang, gadis itu menatap wajah Mirele, “Lo kemana aja?!


Tau gasih gue panik! Gue kira lo kenapa napa.”

“Gue gapapa. Cuma dihukum pak Hanan gara

Gara dia!” Mirele menunjuk Fazan. Fazan yang disalahkan ga


terima lah!

“Gara gara temen lo ini gue dihukum. Asal nabrak. Punya


mata kok di ketiak!”

Ralin menghela nafas, “Maafin Mirele ya kak Faz

“Apaan pake minta maaf! Orang dia yang salah


Bukan gu-“

“Udah El diem!”

“Tapi-“

Ralin mendelik ke arah Mirele yang seketika membuat gadis


itu bungkam.

“Yaudah gue ke kelas duluan ya El, kak Fazan.

Selamat menikmati hukuman ya!!!” Ralin melambai dengan


wajah ngeselin.

“Lanjut!!” Mirele mengalihkan atensinya ke arah Fazan. Gadis


itu memutar bola mata malas lalu melanjutkan hukumannya.
Mirele menunduk dan berdecak mendapati tali sepatunya
tidak diikat dengan benar. Gadis itu berjongkok, lalu
membenahi tali sepatunya yang terlepas di sebelah kiri.

“MINGGIR!!” Mirele mendongak, gadis itu spontan berdiri


dan bergeser kala dua orang gadis hampir menabraknya.

“WOY!! JALAN PAKEK MATA!!” Mirele kesal,

Akibat gadis yang hampir menabraknya itu Mirele

Hampir terjungkal karena tak siap.

Gadis yang semula cuek setelah hampir menabrak Mirele


membalik badan, menatap Mirele sinis. Sementara gadis yang
sejak tadi ada di sampingnya menatap lega kala melihat
Mirele. “LAGIAN LO NGAPAIN DI TENGAH KORIDOR?

CAPER BANGET!”
Wah wah! Mirele bertambah kesal jadinya. Gadis

Itu mendekati orang itu. “Oww, Aura Aiswara, si

Kakak kelas ganjen yang hobby-nya nemplok sana

Sini sama-“

“Lo ngaca dulu deh! Lo juga sama! Setelah kak

Galen siapa lagi hah?!”

Mirele berdecak, melipat tangan di bawah dada. “Gue kasian


sama kak Shaka punya cewe ganjen kaya lo.” Mirele
mengalihkan atensi-nya ke si gadis yang ada di samping Aura.

“Kencana kan? Lo di paksa ikut sama dedemit ini?


Jangan mau. Hobby-nya dia Cuma ngelabrak.” “Bacot! Lo iri
kan sama gue hah?” Aura siap untuk menerjang Mirele, tapi
tangan gadis itu buru buru

Ditarik seseorang.

“AURA! Jangan mulai.”

Mirele menatap orang itu. Ditatapnya juga Galen

Yang datang bersama orang itu.

“Kak Aruna belain dia? Jelas jelas dia udah rebut

Gibran dari-“

“Gaada siapa yang merebut siapa! Jangan buat


Masalah lagi!”

“Dia yang duluan ngajak gue debat!”

Mirele menatap itu malas. Sementara Kencana

Memilin tangannya gelisah.

“Mending kak Aruna bilangin deh ke dia jangan

Suka ngelabrak anak orang sembarangan. Gue

Udah beberapa kali liat kak Aura ngelabrak orang

Yang ga bersalah.”
Aura menggeram kesal. Sementara Aruna

Menghela nafas.

“Gue juga ga nyangka kalian saudaraan. Sifat

Kalian beda jauh.”

“El!” Mirele mengalihkan pandangannya ke arah Galen yang


menegur. Ah ia lupa akan kehadiran

Galen disana.

“Gue mau balik ke kelas.” Mirele melirik Kencana, “Mending


lo juga balik ke kelas, jangan dihirauin si Aura. Ga guna.”
Setelah itu Mirele pergi, Galen yang hendak mengikuti tiba
tiba menghentikan langkahnya kala melihat Fazan yang
datang mendekati Mirele.
“IKUT GUE.” Fazan menarik tangan Mirele menjauh.

BAB 15

Fazan membawa Mirele menjauhi kerumunan murid yang


baru saja istirahat. Mirele kemudian menyentak kasar
tangannya yang ditarik Fazan.

“SAKIT WOY!”

Fazan menatap Mirele. “Maaf, maaf.”

“Lo ngapain sih kak narik narik gue ke sini? Mau ke mana?!”

Fazan menghela nafasnya. “Tadi pak Hanan dateng ke kelas


gue. Dia marah marah karena pengepelannya ga ketemu. Lo
taruh di mana njir tadi?”
Mirele diam. Gadis itu menerjapkan matanya, dimana ya tadi
ditaruhnya pengepelan itu?

“Kok lo diem njir? Jangan lo ga inget?”

“I-iya sih gue lupa. Tapi ya kak- tadi seinget gue setelah kita
pel koridor kelas duabelas, gue sama lo kan langsung pergi
gitu aja kan?”

“Terus dimana anjir? Ntar pak Hanan nanyain lagi

Ke kita.”

“Elahh masak sekolahan elit gini punya pengepelan Cuma


satu? Lagian mana mungkin hilang. Palingan diberesin sama
siapa gitu.”

“Iya juga sih-“


“Gausah dipikirin. Gue mau istirahat, lo ganggu mulu!”

“Ehh!!” Fazan menahan tangan Mirele yang membuat Mirele


kembali menoleh ke arah cowok itu. “Apasih kak Fazan?!”

“Gue-“

“Lo apa?! Gue mau ngantin nih!”

“Ya makannya jangan di potong goblok!” Mirele


mengatupkan mulut, sementara Fazan mulai berdehem,
agaknya ia akan mengucapkan sesuatu yang serius.

“Gue minta maaf soal dulu-“ Fazan melirik ke arah Mirele,


melihat apa reaksi gadis itu.

“Soal lo yang dorong gue di lapangan basket? Soal

Lo ngatain gue-“
“Iya iya! Jangan diinget lagi deh pokoknya. Maaf soalnya
waktu itu gue kesel sama lo. Makannya

Gue dorong trus-“

“Santai. Udah lah, gue mau ngantin. Keburu bel kan gue
gadapet waktu makan. Bye kak Fazan!” sementara Fazan
menatap cengo lalu membuang nafasnya kecil.

Memasuki area kantin. Cowok itu menatap

Ke sekeliling hingga netranya menangkap presensi seorang


gadis yang tengah makan seorang diri.

Galen mendekat, memasukkan kedua tangannya di kantong


celana sekolahnya.

“HM!”
Mirele yang tengah mengunyah bakso di mulutnya
mendongak, mata tajam gadis itu. Menatap Galen datar. Lalu
kembali melanjutkan. Fokusnya ke arah mangkok bakso.

Galen yang merasa diacuhkan menarik kursi di Mirele lalu


beralih duduk di depan gadis itu.

“Apa kak Galen?” Tanya Mirele yang beralih

Menyedot es teh-nya.

“Baru

Mirele mengangguk. “Baru dapet istirahat gue.”

Kerutan tercetak di dahi Galen. “Habis dari mana


Aja?”

“Gue dari tadi dihukum sama kak Fazan. Trus tadi

Ngurusin pengepelan yang hilang.”

“Lo dihukum Fazan?” Mirele kembali mendongak, kepala


gadis itu mengangguk.

“Kenapa bisa dihukum bareng?”

Mirele mengunyah secara perlahan. “Kak, kasi gue makan


dulu ya?”

Galen mengangguk, dan melanjutkan acara makannya


dengan Galen yang memandang fokus ke arah si gadis. Galen
memperhatikan secara seksama cara gadis itu makan.
Terkesan tergesa gesa atau lebih tepatnya seperti orang
kelaparan.
“Lo ga makan beberapa hari?”

Mirele mengangkat jari telunjuknya. “Satu hari!” memincing.


“Kenapa-“ Ucapan Galen terputus ketika Mirele tersedak.
Gadis itu buru buru meraih gelas es teh-nya dan
meminumnya. Dengan buru buru.

“Bercanda.” Mirele terkekeh. “Gue makan kok kemarin,


seneng aja pas liat wajah khawatir lo.”

Galen menatap datar Mirele. “Kenapa ga beneran aja ga


makan seharian?” ejeknya.

“Engga ah. Entar badan gue jadi kerempeng. Kan sayang body
goals gue hilang.” Mirele terkekeh. “Udah Galen menatap ke
mangkok bakso Mirele yang sudah kosong. Bahkan kuah
bakso itu

Habis hingga mangkok itu bersih kinclong.


“Udah. Lo sendiri ga makan?”

“Udah.” Sahut Galen dan Mirele hanya menganggukkan


kepalanya. Gadis itu merenggangkan sedikit tubuhnya, lalu
bersendawa kecil. “Hehe, maap.” Katanya ketika melihat
Galen mendelik.

“El! Lo mimisan.”

Mirele menyentuh dekat hidungnya, gadis itu

Mengeluarkan tissue dari saku seragamnya lalu sakit?” Mirele


menggeleng. La tidak mau membuat Gibran “Gue gapapa.
Paling kecapean, wajar.” Ralin mengeluarkan tissue dari
dalam tas-nya. “Nih El. Yang itu buang aja,” Mirele menerima
“Lo bisa kan El? Lo pulang bareng gue aja. Gue bawa mobil.”
Ujar Gibran. “Engga bran. Gue udah janji pulang naik angkot
bareng “Udah ga masalah El. Gue gapapa sendiri, lo sama
Gibran aja. Gue takut lo kenapa napa nanti.” Ralin lah,” Mirele
terkekeh. Gibran dan Ralin yang “Gue duluan ya guys, mau ke
rumah Darren soalnya.” Mirele dan Gibran mengangguk.
“Hati hati,” ujar keduanya dibalas acungan jempol Ralin yang
mulai melangkah menjauh. “Lo bawa mobil?” Gibran
mengangguk. Dan Gibran mulai melangkah menuju parkiran.
Keduanya berjalan beriringan, dengan Mirele yang terus
menyeka darah dari hidungnya dengan tissue. Galen yang
bersandar di badan mobil, Mirele mengangguk, Gibran yang
melihat raut khawatir yang ditunjukkan Galen kepada Mirele
hanya bisa diam. Galen mengambil alih tissue dari tangan
Mirele, “Kita anter Mirele balik yang tadi diam mulai
membuka suara. “Kalian di depan, gue duduk di belakang.”
Gibran membukakan pintu depan untuk Mirele, “Naik El,”
Mirele mengangguk, lalu masuk ke dalam Galen melirik
Gibran sekilas, sebelum akhirnya cowok itu mulai melangkah
menuju kemudi. Melingkar rapi awalnya di leher seragamnya.
“Kenapa harus abang gue sendiri yang harus jadi saingan
gue?” Gibran mengacak rambutnya gusar, kemudian tubuh
cowok itu terangkat untuk kembali duduk. Dibukanya
almameter yang membalut tubuhnya menyisahkan kemeja
putih sekolahnya dan dihempaskan sembarang di atas
ranjang. “Gibran, mama boleh masuk?” Gibran yang “Masuk
aja ma.” Dari luar, presensi Grizelle yang lengkap dengan
pakaian kerja membuat Gibran mengangkat sudut bibirnya
membentuk senyuman tipis melihat kehadiran mamanya itu.
“Papa bilang kamu gamau ikut ke bandung?” Grizelle
mengambil posisi duduk di samping anaknya, Gibran yang
mendengar penuturan Grizelle lantas mengangguk. Grizelle
mengangguk paham, wanita itu beralih mengelus surai hitam
dengan lembut. “Yaudah, gapapa sayang. Mama sama papa
aja yang kesana.” Bakalan ada turnamen basket dua hari lagi.”
Ya benar. Gibran tau itu. “Yaudah, kamu udah makan? Mama
buatin Kamu makan bareng Galen ya?” Gibran mengangguk.
“Iya ma,” Gibran sekarang masih saja terdiam setelan baju
yang biasanya dipakainya bila di rumah. Gibran menghentikan
gerak tangannya begitu Senyum tipis tercetak di bibir
tipisnya. Gibran tersenyum melihat polaroid yang
menampilkan dirinya dan Mirele di dalamnya konyol. Olymp
Trade-tra...
Mengelap darah yang keluar dari hidungnya itu. “Lo gapapa?”
Gibran menyentuh pundak Mirele, menatap wajah gadis itu
lekat. “Lo pucet, kepala lo

Dan Ralin khawatir, lagipula ini sudah biasa ia

Tissue pemberian Ralin..

Memasang raut khawatir. “Tapi serius gue gapapa. Jangan


khawatir gitu

Melihat itu ikut tersenyum.

Sampai di dekat parkir mobil Gibran, Mirele dibuat terkejut


dengan keberadaan Galen disana. Diliriknya Gibran yang
berdiri di sampingnya. Kemudian. “Bareng kak Galen juga?”

“Iya. Gue tadi ke sekolah bareng dia.”


Mengarahkan atensinya ke arah Mirele. Cowok itu mendekat,
menatap Mirele lekat. “Lo mimisan?”

Tangannya bergerak menyeka darah dari hidung gadis itu.

“Kak, udah kok.” Mirele mengambil kembali tissue itu dari


tangan Galen. Kemudian Mirele mendekati tempat sampah
untuk membuang tissue bekas itu.

Mobil

Gibran menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur di


kamarnya. Cowok itu memejamkan matanya, melepas
dengan kasar dasi yang

Cowok itu kemudian kembali membuka mata, menatap langit


langit kamarnya dengan datar. “Kenapa harus Galen?”
ujarnya tanpa sadar.
Semula kembali hendak tubuhnya ke arah pintu.

“Gibran gabisa ikut karena beberapa hari ke depan ada


ulangan yang gabisa Gibran tinggal. Ma.”

“Loh Galen?” Grizelle menggeleng. “Galen ga ikut juga.


Katanya

Omelette sama nasi goreng di dapur. Setelah ini kamu mandi,


habis itu turun kebawah buat makan, ya. Mama mau ke
rumah Tante Alin dulu.

Grizelle tersenyum lalu beralih beranjak. Wanita itu keluar


dari kamar Gibran setelah menutup kembali pintu kamar
putra keduanya itu.

Di atas tempat tidur tanpa berniat berbuat apapun. Cowok


itu kemudian membuka sepatu sekolahnya dan juga kaos
kakinya. Cowok tinggi itu melangkah menuju lemari
pakaiannya,
Sebuah polaroid terjatuh saat Gibran mencari baju. Cowok itu
menunduk, mengambil polaroid itu dan menatapnya
kemudian.

“Lucu banget sih lo. Gimana bisa coba gue Cuma anggep
sahabat?” kekehnya.

Gibran menyimpan polaroid itu di atas nakas samping tempat


tidurnya. Kembali Gibran melangkah menuju lemari untuk
mengemas beberapa pakaiannya yang terjatuh saat dirinya
membuka lemari tadi.

Mirele membuka pintu balkon kamarnya. Bersama segelas


susu hangat di tangannya, Mirele bintang yang ada di langit
itu, bintang yang paling gelas berisi susu hangat itu lalu
menyesapnya pelan. Ponsel Mirele yang ada di sampingnya
menyala, Mirele melirik ke arah ponselnya itu yang
menampakkan beberapa notifikasi pesan dari Dokter Harine.
Dokter Harine: kamu beneran mimisan tadi di Dokter Harine:
Syukurlah. Besok jangan lupa makan sebelum minum obat ya
El. Jangan capek capek jga. Jgn bnyk pikiran. Tubuh kamu
mudah drop sekarang” ini. Tepat setelah Mirele selesai
membalas pesan untuk dokter Harine, suara gemuruh yang
terdengar jelas dari balkon membuat fokus Mirele teralih ke
arah langit. “Hujan nih pasti bakalan.” Mirele menghela nafas,
ia ingin tetap berada di balkon untuk menikmati hujan malam
ini. Rintik rintik kecil air hujan mulai terdengar di
pendengaran gadis itu. Mirele menyandar di kursi balkon,
menyesap kembali susu hangat yang mulai dingin itu seraya
menikmati hujan yang mulai lebat. GUE DI BAWAH!!” Mirele
mengerutkan dahinya, gelas di tangannya spontan diletakkan
Mirele kembali di atas meja mendengar suara seseorang yang
didengarnya. “Suara Ralin?” Mirele mendekati pembatas
menolehkan pandangannya ke bawah sana yang
menampilkan suasana kolam berenang terpotong karena
Ralin mengisyaratkan dirinya diam dengan menempelkan jari
telunjuknya di bibir. Ponsel itu dengan isyarat. Seperti tengah
berkata, Cek hp lo sekarang! Cabs kuy. Gue tunggu di depan,
oke? Pokoknya diem diem. Hujan tu anak ngajak gue kemana
ke dalam kamarnya untuk mengambil Hoodie. Mirele
mengenakan Hoodie dan menutup langkahnya.

Duduk di balkon, menikmati suasana malam hari dimana


bintang dan bulan tengah menjalani tugasnya menyinari
gelapnya dunia di waktu malam. Mirele duduk, rambut
panjangnya terayun

Karena hembusan angin yang menerpa, matanya menatap


lekat salah satu bintang dari ribuan

Bersinar di antara bintang bintang lainnya. “Rindu deh, bisa


liat bintang di balkon bareng mami.” Mirele bergumam, gadis
itu mengangkat
Dokter Harine: El, udah minum obat?

Sekolah? Ga parah kan El?

Mirele mengambil alih ponselnya, diketikannya kemudian


balasan atas pesan yang dikirim dokter tersebut.

Udah dok. El sekarang gapapa kok, mimisan biasa.

Me: Baik dok.

Rumahnya.

“EL!! HELLOW. SINI!”

“LO NGAPAIN DI SANA? DAN SEJAK-“ ucapan


Dasar. Padahal dia duluan yang teriak teriak.

Mirele kembali mengerutkan dahi kala Ralin mengangkat


ponselnya dan menunjuk nunjuk

Mirele melangkah benar ada notifikasi chat WhatsApp dari


Ralin yang

Langsung dibukanya.

Ralin: satu lgi. Jgn smpek orang rmh lo tau.

Mirele berdecak, saat ia mengecek kembali keberadaan Ralin


di bawah sana, presensi gadis itu sudah tidak ada lagi disana.

Sih?” lagi lagi Mirele berdecak kesal. Ditatapnya langit, cukup


deras dan Mirele mulai masuk
Dengan tudung Hoodie itu. Dirinya hanya mengenakan
hotpants karena malas

Mirele melangkah keluar dari kamarnya, sontak gadis itu


terkejut kala dirinya membuka pintu, tubuh tegap seseorang
langsung menghalangi

“Kak Galen!!??”

Galen menggeleng, mengisyaratkan Mirele untuk diam. “Lo-“

“Gue boleh ke dalem?”

“Eh eh apaan. Enggak ada ya!! Ntar dikira-“

Gak bakalan macem macem. Diluar hujan. Jangan kemana


mana.” Galen mendorong tubuh Mirele agar kembali
memasuki kamar, dikuncinya kemudian pintu kamar gadis itu
setelah keduanya ada di dalam kamar.
“Lo kenapa bisa disini sih? Lagipula gue mau keluar Ralin
nunggu gue.”

“Ralin ada di mobil sama pacarnya. Lo diem di rumah, jangan


kemana mana. Ini hujan El.”

“Tapi-“

“Nurut.” Mirele berdecak, kemudian mendudukkan dirinya di


atas tempat tidur.

Gak di tutup?” Galen melirik ke arah balkon yang masih


terbuka yang menyebabkan suara hujan dan gemuruh
terdengar jelas dari dalam kamar.

“Entar gue tutup. Tapi gue masih bingung, kak Galen kenapa
ada di rumah gue? Mama jovi tau?” Galen menggeleng. “Gue
tadi emang niat kesini sebelum hujan,”

“Lo liat Ralin?” Galen membalas dengan anggukan.


“Tapi kak- tadi Ralin-“

“Dia udah balik. Tadi gue liat dia sama cowoknya.” Mirele
menghela nafas. “Trus Lo ngapain masih di sini? Gak pulang?
Takutnya papi gue tiba tiba kesini kita-“

“Dikira macem macem?” potong Galen. “Gue udah kunci


pintu kamar lo.”

“Lo pulang?”

“Enggak gitu,” Mirele berdiri dari duduknya. “Udah malem


kan, gue mau tidur kak.”

“Udah makan?”

Ngusir?”
Pertanyaan Galen sukses membuat Mirele terdiam beberapa
saat. “Belum kan?”

Jawabnya.

“Bohong terus lo. Apa susahnya sih tinggal makan?”

“Gue gak mood makan.”

“Sampai kapan kalau mau makan harus cari mood dulu? Gak
bakalan dapet mood kalau ditunggu. Yang ada lo

Mirele menatap Galen, gadis dengan Hoodie soft pink itu


mendekatkan dirinya ke arah Galen yang berdiri di
hadapannya. “Sejak kapan kak Galen jadi cerewet gini?”

“Sejak lo bandel terus.”


Bukannya kesal, Mirele justru menerbitkan senyumnya.
“Perhatian banget sih lo. Jangan jangan lo suka ya sama
gue?” Mirele matanya.

Tak mendapat respon apapun dari Galen selama detik, Mirele


mulai berdehem. “Kak, lo gak suka gue kan?” tananya

“Belum.”

Mirele Wajahnya berubah serius. “Belum? Jawabnya jangan


belum dong!”

“Trus?”

“Enggak akan. El, gue gak bakalan sampai jatuh cinta sama
cewek kayak lo. Gitu dong jawabnya.” Sesudah mengatakan
itu, Mirele mengakhiri dengan kekehan kecil.

“Kenapa enggak?” tanya balik Galen.


Mirele menatap Galen serius. “Jangan deh, ntar lo susah
kalau udah cinta sama gue. Soalnya gue itu orangnya
ngangenin, ntar lo sendiri yang susah pas gue pergi.”

Galen hanya terkekeh menanggapi.

“Ck. Kak Galen, gue Jangan jatuh cinta sama gue ya!” nada
Mirele meninggi.

“Lo takut banget gue jatuh cinta sama lo? Emangnya kenapa
sih?”

“Ya- pokoknya ribet lah. Jatuh cinta itu ribet kak, seperti apa
yang gue bilang, ntar lo sendiri yang susah.”

Galen menatap gadis itu intens. Mirele juga menatapnya


lekat, ada nada penegasan di setiap kalimat yang
diucapkannya tadi.
“Iya.”

Dilihatnya Mirele yang tersenyum lega. Gadis

Aneh menurutnya.

“Inget kak, jangan cinta sama orang yang salah.”

“Emang lo salah?”

Mirele terdiam. Pipinya mengembung terlihat memikirkan


sebuah jawaban. “By the way, happy anniversary kak Galen!!”
Mirele tersenyum riang. Galen yang mendengar penuturan
gadis itu mengangkat alisnya bingung.

“Ck. Pasti lo lupa! Ini kan hari ke tiga kita pacaran!

Happy third anniversary boyfie!!”


BAB 45

Mirele mengelap pelispisnya yang sudah dibasahi oleh peluh.


Gadis itu membawa sapu di tangannya, sementara Fazan
yang ada di sampingnya tengah mengepel lantai dengan
khitmat.

“Dejavu gak sih lo?”

Mendengar ucapan Fazan, Skyra mengerutkan dahi bingung.


“Dejavu kenapa?” Ujarnya tak

Paham. Mirele memilih duduk di kursi, sungguh,

Dia lelah.

“Dulu kita dihukum kaya gini juga. Masa lo gak


Inget,” Ujar Fazan yang kemudian memandang ke arah
Mirele, “Kenapa lo, sakit?”

Fazan mendekat, menyentuh kening Mirele.

“Panas.” Gumamnya. Mirele menjauhkan tangan

Fazan, “Gue gapapa kok. Matahari lagi terik

Banget, jadinya panas,”

Fazan memandang Langit, mengintip matahari

Yang membuat matanya menyipit, “Mana ada

Masih pagi juga, ini emang suhu tubuh lo


Aja yang panas!”

“Gue panggil Galen ya,” Sambung Fazan, Mirele

Menggeleng.

“Jangan- ih lo jangan cepu dong, kak! Biarin aja kenapa sih, ini
gue gapapa juga.” Dumel Mirele. Fazan berkacak pinggang,
menjadikan

Tongkat pel rumpuannya.

“Lagian kalau kak Galen kesini, yang ada mereka

Bersihin kamar mandi. Gue gak mau ya

Ke kelas semakin di undur.”


Fazan hanya manggut-manggut, melanjutkan

Kegiatannya mengepel lantai. Sementara disisi

Lain, yaitu di kamar mandi sekolah, Galen yang

Tengah membersihkan kaca kamar mandi

Berdecak kesal melihat kelakuan Ava dan Jay yang

Berantem di balik bikin toilet.

“Bisa diem gak lo padal” Kata Galen mengetuk

Pintu kasar. Ava dan Jay menatap Galen


Sekilas, sebelum kembali beradu argumen.

“Anak bayi aja tau gimana cara bersihin kloset

Yang bener. Lah lo, masa iya pake Sunlight anjir!”

Ava memutar bola mata malas mendengar ocehan

Jay sejak tadi. “Biarin aja lah kampret. Emang

Guru pada peduli mau gue bersihin pake Sunlight

Kek, Rinso kek. Yang penting ni toilet bersih.”

Belanya.

Robby yang berada di bilik sebelah berteriak


Kesal. Jadilah di dalam toilet itu rusuh. Galen

Memilih keluar dari dalam toilet, dan

Berjalan cepat menuju ke arah Mirele dan Fazan

Yang tengah menyapu dan mengepel.

“Zan, lo ke toilet.” Sontak Fazan dan Mirele

Menoleh, menatap Galen bingung.

“Kenapa kesini?” Tanya Mirele. “Ditoilet selesai?” Senyum


Mirele langsung merekah. Karena menyapu dan mengepel
koridor tinggal sedikit lagi.
“Makanya gue suruh Fazan kesana. Jay sama Ava

Berantem,”

Itu, Fazan berdecak kesal.

Diserahkannya tongkat pel kepala Galen, “Biar

Gue yang tangani. Dasar orang dua itu ga bisa

Diajak serius.” Fazan pergi, Mirele memperhatikan.

Langkah Fazan yang masuk ke dalam kamar

“Kayanya seru liat kak Jay sama kak Ava

Berantem,” Ujar Mirele kepada Galen. Galen


Menggeleng, menarik tangan Mirele mengajaknya

Menjauh. Pelan dan sapu ke tembok

Dengan cepat.

Kemana? Nanti kalau bu Tutik tau gimana!?”

“Lantai disana ga kotor-kotor banget, El. Di pel enggak, gak


keliatan bedanya.”

Mirele mengangguk, juga. Tapi kan-

“Lo belum makan dari pagi. Sekarang sarapan dulu,” Dia


dibawa masuk ke kantin. Mirele
Dituntun untuk duduk di salah satu bangku yang

Terletak di tengah-tengah.

Sudah ada semangkuk bubur di atas meja. Mirele


memandang Galen, “Bubur siapa?”

“Bubur lo. Makan.”

“Tapi ko-“

“Gue udah pesen duluan tadi. Sekarang lo tinggal makan,


muka lo pucet, Fl. Lo selalu

Lupa sarapan.” Ujar Galen yang mengambil alih sendok bubur


itu, “Gue suapin.”

“Eh tapi-“
“Aaa,” Galen menyodorkan sendok berisi bubur

Itu ke depan bibir Mirele, alisnya tertarik ke atas, bubur lo,


setelah ini gue pesenin jus.”

Mirele mengangguk saja. Dibukanya mulutnya

Lalu menerima suapan itu. Mirele mengunyahnya

Benar saja, saat bubur itu masuk ke

Dalam perutnya, rasanya sedikit lega.

“Maag lo bisa kambuh kalau lo terus-menerus lupa sarapan.”


Kembali Galen menyuapkan Mirele

Sesendok bubur.
“Tapi gue ga punya maag.” Bantah Mirele di sela

Kunyahannya. “Itu karena lo gatau. Sekarang gue tanya,


biasanya

Sehabis makan, lo sering sakit perut?”

Mirele mengangguk ragu-ragu.

“Jangan kebiasaan lupa makan. Harus banget gue

Ingetin setiap saat?” Mirele memincingkan mata, menerima


suapan

Galen sekali lagi. Setelah mengunyah buburnya.


Hingga habis, Mirele berucap, “Kok lo jadi cerewet

Sih kak?” Galen menghela nafas. “Karna lo bandel. Suka


nyepelein Ujarnya tajam di

Akhir kalimat. Kini Galen berdiri, mendekatkan

Mangkuk bubur ke depan Mirele. “Lanjut makan,

Gue pesenin jus.”

Mirele mengangguk, dan Galen berlalu dari sana.

Bu Tutik menatap nyalang keempat cowok itu. Guru


bimbingan konseling itu memijat pelispisnya terlanjur lelah.
“Kalian ini kenapa susah banget Ibu kasih tau ‘sih?” Beliau
membuka kaca mata bacanya, kembali menatap nyalang
keempat murid yang menunduk itu. Fazan mendorong bahu
Ava. Sontak cowok itu menatap tajam Fazan. “Lo yang salah
bego. Gue “Apa gak kapok-kapok kalian ini ngisi absen
cengiran, “Maaf ya bu, kami ngaku salah.” Mendengar ujaran
Jay itu, Fazan dan Robby yang merasa tidak memiliki salah
langsung menyela tidak terima. “Saya salah buk. Saya Cuma
berusaha misahin Ava sama Jay yang berantem.” Bela Robby.
Kini cowok itu menatap kesal Ava dan Jay yang ada di
sampingnya. Baik mau memisahkan mereka lah buk.” Bu Tutik
memandang datar empat laki-laki itu. “Ikut Ibu ke BK. Ibu ada
surat spesial buat orangtua kalian,” Keempat cowok itu
kompak membolakan mata mereka. Keempatnya meluruhkan
bahu, sudah “Gara-gara lo berdua, anjing.” Kata Robby kesal.
“Robby, apaan anjing-anjing.” Bu Tutik menatap *** Bel
istirahat berbunyi. Seluruh murid berhamburan keluar kelas
menuju kantin. Mirele dan Galen yang masih ada di dalam
kantin yang awalnya sepi menoleh begitu segerombolan
murid memasuki area kantin. Mirele mendapati kehadiran
Ralin dan Gibran yang celingukan mencari sesuatu. Pasti dua
orang itu tengah mencarinya. Saat akan meneriaki nama Ralin
dan Gibran, El! Lo gapapa kan?” Ralin duduk di samping
Mirele, memeriksa keadaan sahabatnya Tutik. Kenapa bisa
telat?” Gibran yang duduk di samping Galen mengambil Ralin
mendengus, “Orang gue serius juga. Lo bukannya seneng
malah bilang gue aneh.” Gibran menyenggol bahu Galen yang
ada di sampingnya, Gibran mendekat, menbisikkan Gibran
memperhatikan Mirele sekilas, lalu kembali berbisik, “Dia
pucet. Kenapa gak lo aja sih yang nyapu.” Ketika kakak
beradik itu asik berbisik-bisik, Mirele dan Ralin tanpa sengaja
memperhatikan mereka. Ralin tersenyum aneh, sementara
Mirele menatap mendapat Galen dan Gibran. Keduanya
berhenti berbisik, “Ciee akur. Bagus-bagus, adem gue
liatnya.” Cuek akan satu sama lain, “Pasti ngomongin gue, Iya
kan?” Ujar Mirele menyelidik. “Kalau kalian khawatir sama
gue, serius gue gak ditanggapi beda oleh mereka bertiga.
“Kalau kalian lupa nih ya, gue bukan murid teladan yang
Cuma pernah sekali masuk BK. Nama gue BK udah sering
kelihatan. Udah kebal gue mah.” Mirele menyedot jus
miliknya dengan tenang. Sementara Ralin, Galen, dan Gibran
saling pandang. Mirele meletakkan jus miliknya yang sudah
tandas. Gadis itu “Gue ijin ke toilet ya, kebelet.” Mirele
melambai, meninggalkan kantin dengan terburu-buru.

Gak mau ya kalau ditambah hukuman Cuma gara-gara ulah lo


sama Jay.” Dumelnya yang dibalas dengusan Ava.

Di BK? Nama kalian doang yang menuhin kertas Ibu!” Bu Tutik


geleng-geleng kepala. Jay mengangkat wajahnya, menatap bu
Tutik dengan

“Saya juga gak salah bu. Saya itu lagi anteng ngepel sama
Mirele. Tiba-tiba dikasih tau dua curut ini berantem, ya saya
sebagai teman yang

Mengerti dengan jelas surat spesial seperti apa yang


dimaksud bu Tutik. “Mati saya, bu.”

Robby galak. Semakin pening kepala guru itu mendengar


dumelan mereka. “Bisa pensiun cepat-cepat saya gara-gara
kalian.”
Lebih dulu Galen menahan tangannya yang ada di atas meja.
Mirele menaikkan alis kepada Galen, “Kenapa?”

“Jangan panggil mereka.”

“Tapi-“

Dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan menoleh ke


bawah meja. “Lo pasti dihukum bu

Roti Galen tanpa bertanya terlebih dahulu. Galen hanya


membiarkan, Gibran memakan rotinya sambil menonton aksi
Ralin yang tengah mengintrogasi Mirele.

“Gue telat bangun.” Jawab Mirele, “Bangun-bangun tau-tau


udah setengah tujuh.”

Ralin menghela nafasnya, “Trus tadi dihukum ngapain? Lo


capek, gak?”
Mirele memandang Ralin menyelidik, “Lo kenapa aneh sih,
Lin.”

Sesuatu, “Mirele tadi dihukum ngapain?” “Nyapu.” Sahut


seadanya.

“Gue di toilet, Mirele sama Fazan yang di koridor. Makanya


gue ajak dia ke kantin cepet-cepet.”

Keduanya dengan seksama. “Ekhem.” Ralin berdehem, yang


langsung

Mirele tersenyum tipis. Benar juga, Galen dan Gibran selama


ini tidak kelihatan sama sekali bahwa mereka kakak beradik.
Keduanya terkesan

Kompak Galen dan Gibran menggeleng, “Geer.” Jawab Galen.


Kenapa-napa. Gue mah udah biasa berurusan sama bu Tutik.
Masa dihukum gitu doang gue lemah.” Kata Mirele sombong
yang justru ditanggapi beda oleh mereka bertiga.

“Kalau kalian lupa nih ya, gue bukan murid teladan yang
Cuma pernah sekali masuk BK. Nama gue BK udah sering
kelihatan. Udah kebal gue mah.” Mirele menyedot jus
miliknya dengan tenang. Sementara Ralin, Galen,

Dan Gibran saling pandang. Mirele meletakkan jus miliknya


yang sudah

Tandas. Gadis itu “Gue ijin ke toilet ya, kebelet.” Mirele


melambai, meninggalkan kantin dengan terburu-buru.

Mirele masuk ke dalam toilet, beralih mengunci pintu toilet


dengan rapat. Masa bodo dengan murid lain, sekarang dia
hanya ingin sendiri sebentar. Mirele mendekati kaca kamar
mandi, mengeluarkan obat dari saku seragamnya, lalu
menelan obat itu dengan cepat.

Kepalanya sudah sakit sejak tadi. Bahkan sejak dirinya


menjalani hukuman di koridor sekolah. Benar kata Galen,
wajahnya begitu terlihat jelas tengah pucat. Mirele
membasuh wajahnya, tidak peduli makeup tipis yang
digunakannya luntur.

“Lo harus kuat, El.”

“Sejak kapan lo jadi lemah gini?” Ucapnya pada diri sendiri.


Mirele memandang kaca, menyisir rambutnya dengan jari.
Matanya menatap getir sela-sela jarinya yang berisikan
rontokan rambutnya.

“Gak nunggu lama lagi, gue bakalan kehilangan ini.”

BAB 46

Keadaan di dalam ruangan saat itu diselimuti keheningan


secara tiba-tiba setelah mirele membuka matanya, ada arina
yang duduk di bangku samping brankar mengejutkannya.

Arina mengulas senyumnya, beralih berdiri dan mengecup


pelan kening putrinya dalam-dalam, “gimana keadaan el?
Kepalanya masih sakit, hm?”
Mirele tidak bisa berkata-kata. Gadis itu beralih mengalihkan
pandangannya ke arah pak yudhatama yang ada di dekat
pintu. Laki-laki tua itu tengah melempar senyum juga ke
arahnya.

“mami gak kerja?” suara mirele terdengar, arina langsung


menggeleng, wanita itu kemudian mengelus puncak kepala
putrinya.

“kamu lebih penting bagi mami.” Jawabnya. Sekarang mirele


kembali menatap sepenuhnya ke arah arina. Wajah maminya
menyendu, mata itu menatapnya teduh. “mami tau?”

Arina tanpa ragu mengangguk, “maafin mami ya sayang,


selama ini mami udah jadi ibu yang gak berguna buat kamu.
Bahkan kebenaran tentang perlakuan papi kamu ke kamu pun
mami gak tau.”

“mi, jangan ngomong gitu.” Mirele menggeleng, meyakinkan


maminya. “perlakuan papi ke el, sama sekali bukan salah
mami. El udah biasa mi, el udah terbiasa dengan sikap papi
sejak dulu.”
Pedih yang dirasakan arina mendengar kata yang terucap dari
mulut putrinya. Arina merasa bodoh dan gagal selama ini
dalam mengerti apa yang putrinya rasakan. Karena yang dia
tau sejak dulu adalah bahwa mirele diperlakukan dengan baik
oleh papinya, bukan sebaliknya.

“hari ini mami mau ngajak kamu jalan-jalan di taman rumah


sakit.” Arina mengalihkan pembicaraan, wanita itu menatap
putrinya yang terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan
selang infusnya. Mau ‘kan, el?”

Mirele tanpa ragu mengangguk, “boleh mi, el

Bosen tidur terus.”

“namanya om gilang, mami ketemu sama om gilang karena


temen mami yang kenalin. Om gilang orangnya baik, bahkan
baik banget. Dia pekerja keras, dan sangat bertanggung
jawab.”
Mirele duduk dengan tenang di atas kursi roda sembari
mendengarkan dengan seksama cerita maminya yang tengah
mendorong kursi rodanya menuju taman rumah sakit. “el ikut
bahagia tau mami punya pelindung.” Terkekeh kecil, arina
yang mendengarnya ikut terkekeh.

“kamu bener el, dia pelindung mami. Bahkan disaat mami ga


punya sosok laki-laki seperti kakek kamu lagi sejak lama.”

Mirele menggenggam tangan arina yang ada di belakang


tubuhnya, arina menunduk.

“mami bahagia?” tanyanya pelan, “udah lamaaaa

Banget el gak denger mami excited banget kalau cerita


sesuatu.”

Arina perlahan menarik senyumnya. “kedengerannya mami


excited ya?”
“iyaa. El seneng dengernya.”

Arina membawa kursi roda mirele mendekati kursi kayu yang


ada di sana, arina kemudian duduk berhadapan dengan
mirele. Senyum wanita itu perlahan-lahan memudar saat
mendapati ada cairan kental yang merembes keluar dari
hidung sang putri.

Sontak dengan cepat arina membuka tas.

Selempangnya lalu mengarahkan sebuah sapu

Tangan ke arah hiding mirele. “el mimisan lagi ya, mi?”

Arina mengangguk, “sakit ya sayang?”

Mirele menggeleng, “kayanya el udah kebal.”


Ujarnya dengan tawa yang justru terasa

Memilukan bagi arina.

“gapapa kok mi, nanti juga hilang.” Ujar mirele kala melihat
keterdiaman arina setelah

Mendengar ucapan ya.

“kepalanya sakit enggak?” tanya arina yang dibalas anggukan


mirele, “sedikit.”

Arina tersenyum, “mami mau ke toilet sebentar gapapa


sayang?”

Mirele mengangguk, “iya mi,”

Arina berdiri, mengelus lengan mirele sebelum akhirnya pergi


dari sana menuju ke toilet. Mirele kemudian memajukan
sedikit kursi rodanya, lalu sapu tangan putih milik maminya
sudah berubah warna menjadi merah di bagian tengah.

Kursi roda mirele tiba-tiba diputar ke belakang. Mirele


memekik tertahan kala sebuah tangan menahan pinggangnya
yang hampir jatuh. Mirele memandang si pelaku kesal. “kak
galen!”

Galen tertawa kecil merasa terhibur dengan

Raut kesal gadis itu. Galen beralih berjongkok, mengambil


alih sapu tangan yang dipegang Mirele. “Hidung lo masih
ngeluarin darah,” Katanya yang beralih mengelap darah yang

Mengucur pelan dari hidung Mirele. “Adep atas

Coba.”

“Capek,” Keluh Mirele merengek kecil. Galen

Terkekeh, mengangguk paham. “Gue bantu, mau?”


Mirele menggeleng, gadis itu merebut sapu

Tangannya kembali dari tangan Galen, “Kak Galen

Kok disini?”

“Jenguk pacar.” Jawabnya cepat.

Mirele ingin mendengus, tapi karena hidungnya

Masih bermasalah, gadis itu hanya berdecak kesal.

“Udah makan?”

Mendengar pertanyaan itu, Mirele menggeleng.


“Gak nafsu makan guenya.”

“Mami lo ngasih gue kotak makan ini. Mau gak

Mau lo harus makan,” memperhatikan

Makan yang dibawa Galen sejak tadi. Dia

Baru menyadarinya, “Kak Galen sekongkol sama

Mami?”

Galen menaikkan alisnya, “Bisa jadi?”

Galen berdecak.
“Tapi gue gak mood makan.”

“Trus sampai kapan lo bakalan nunggu mood makan lo


dateng? Intinya lo harus makan.” Galen

Di bangku panjang taman rumah sakit

Itu, menarik mendekat kursi roda Mirele dan membuka kotak


makan dari Arina.

“Mami lo pasti buatin lo makanan ini gak gampang. Yakin lo


nolak?” Tanya Galen yang

Dibalas gelengan Mirele.

Mami juga biasanya jarang banget masak.

Bisa dibilang Mami itu Cuma bisa masak nasi


Goreng sama yang mudah-mudah aja. Trus gue

Juga kalau ke apartement Mami pasti selalu pesen

Makanan, gapernah masak.” Tutur Mirele yang

Dibalas senyum oleh Galen. “Sekarang Mami lo buatin lo


makanan enak gini. Buka mulut, gue suapin.” Galen
mengarahkan

Ke mulut Mirele yang dengan segera juga

Diterima oleh gadis di atas kursi roda itu.

“Wajar pahit karena lo habis minum obat.” Ucap


Galen, “Tapi seenggaknya perut lo isi. Masa

Iya cewek yang biasanya kuat kaya lo tiba-tiba

Tumbang?” Galen yang mendapat delikan kesal Mirele. Gadis


itu masih mengunyah

Makanannya hati-hati.

“Gimana rasanya?”

“Enak. Pasti Mami belajar dari YouTube.” Kekeh Mirele. “Gue


tuh sama kaya Mami, gabisa masak.

Bisa sih dikit-dikit, kalau kayak masak mie instant,

Nasi goreng, ayam goreng mah gue bisa.”


Kembali menerima suapan setelah selesai berucap. Gadis itu
sempat terbatuk sesaat, dengan cepat Galen mengarahkan
tumblr air pada

Gadis itu. “Minum.”

“Kak Galen kok tau gue disini?”

Galen menatap mata Mirele, “Gue pasti tau.”

Jawabnya enteng. Mirele mengerutkan dahi, merasa tak puas


jawaban cowok itu.

“Gue serius Kak. Kok bisa tau gue disini?”

Biasanya Galen tahu menahu tentangnya hanya


Dari laporan mama Jovi. Tapi sekarang, bahkan sepertinya
mama Jovi pun tidak tahu mengenai dirinya, trus dimana
Galen tau?

Galen tak menjawab, kembali menyuapkan nasi

Ke dalam mulut Mirele. Cowok itu membersihkan

Sebutir nasi yang ada di samping bibir Mirele.

“Mulai sekarang gak usah sembunyiin apa-apa

Lagi dari

Mirele hampir aja tersedak jika tidak ia kontrol.

Dia tau maksud Galen, dan Mirele hanya bisa berdiam tanpa
niat menyahutinya.
“Jangan tegang gitu mukanya. Emang ada yang

Aneh kalau gue tau?”

“Kak..”

“Coba cerita, gimana lo bisa bawa penyakit

Semengerikan ini di tubuh lo?” Galen semakin mendekatkan


kursi roda Mirele.

Mirele diam sebentar sebelum akhirnya menghela

Nafasnya. “Lo tau kan gue itu bandel?”

Mengangguk tanpa beban. Dan Mirele sedikit tak suka


mendapat respon itu walau
Memang benar adanya.

“Yaa gue dulu pas SMP itu perokok. Bisa dibilang

Aktif lah dari kelas satu. Gue juga suka clubbing, dan soal
club, jangan tanya kenapa anak SMP kaya gue dulunya bisa
bebas keluar masuk club tanpa ditagih ktp atau apalah itu.
Intinya, club itu punya

Temen gue.”

Galen masih setia mendengarkan, ditatapnya gadis itu


dengan seksama.

“Segala macem kandungan jahat itu masuk lah

Ke dalam tubuh gue. Gue waktu itu jatuh sakit,


Trus ke rumah sakit lah sendirian, eh pas gue

Diperiksa, dokter bilang gue ngidap kanker paru-paru. Dan


waktu itu gue awal-awal naik kelas tiga SMP.”

“Trus nyokap lo sama sekali gatau?”

Mirele menggeleng, walau ragu. “Papi emang gatau,


begitupun mama Jovi atau keluarga gue yang lainnya. Mami
juga awalnya gatau, tapi sekarang Mami kayanya tau karena
pak Yudhatama.” Ungkapnya.

“Yang tau Cuma lo dan dokter yang periksa lo waktu itu?”

Lagi-lagi Mirele mengangguk. “Walau awalnya

Dokter Harine susah buat sepakat soal gue yang


Gamau penyakit ini ditauin sama siapa-siapa,

Akhirnya dokter Harine setuju buat sembunyiin

Ini semua.”

“Kalau Kak Galen tanya soal alasan gue

Sembunyiin ini dari orang-orang terdekat, gue

Juga ga tau kenapa. Gue Cuma ngerasa emang

Lebih baik gue simpen aja ini sendirian, kaya gak

Ada gunanya juga kalau papi tau.”


Galen mengangguk, tidak ingin menentang Mirele

Untuk kali ini. “Trus biaya kemo lo?”

“Uang gue sendiri. Gue selalu transfer ke pihak rumah sakit,


tapi ternyata ujung-ujungnya uang gue balik lagi ke rekening
gue.” Kata Mirele yang

Membuat ada kerutan muncul di dahi Galen.

“Itu ulah pak Yudhatama ternyata. Setiap gue

Transfer, ujung-ujungnya balik lagi karena dokter

Harine bilang pak Yudhatama yang bayarin biaya

Rumah sakit gue sejak dulu.” “Ralin atau Gibran kalau tau ini
menurut lo
Mereka bakalan gimana?”

Mirele menatap Galen serius. “Gue tau mereka

Berdua udah tau tentang penyakit gue,”

“Lo tau?”

Mirele mengangguk, “Kak Galen sama mereka

Pernah nyelidikin ini ‘kan?”

Tanpa ragu Galen mengangguk.

“Karena apapun yang gue sembunyiin rapat-rapat juga


ujungnya bakal ketahuan. Jadi mungkin
Mereka emang udah waktunya tau.”

Galen mengangguk, meletakkan kotak nasi di samping


tubuhnya, beralih untuk menumpukan lengannya di dua sisi
kursi roda Mirele. “Mau jalan-jalan?”

“Kemana?” Tanya Mirele mengerutkan dahi.

Galen tidak langsung menjawab, cowok itu

Beralih berdiri dan mendorong kursi roda Mirele

Menjauh dari sana. “Hospital tour?” Bisik Galen

Yang mendapat kecil dari Mirele. Mirele hanya mengangguk.


“Gue berat gak Kak?” Tanya Mirele disela-sela
Jalan mereka.

“Sedikit.” Sahut Galen yang dibalas decakan Mirele.

“Berat badan gue turun 5kg, mana mungkin

Protesnya tak terima. Beratnya yang

50kg, hanya 45kg saja. Kalau

Galen masih mengatakannya berat, itu artinya

Galen saja yang tak kuat. “Becanda. Gue gendong pun


kayanya badan lo gak

Berasa.” Ucap Galen kemudian.


“Sekarang kemana?” Tanya Mirele yang tau

Galen membawanya bukan ke arah ruangannya.

“Gue kan bilang kalau kita bakalan hospital tour, El.”

“Iyasih, tapi kemana?”

“Ke ruang operasi.” Ujar Galen yang hanya dianggap angin


lalu oleh Mirele.

Tapi setelah hampir lima menit mereka

Waktu menyusuri rumah sakit. Tanpa diduga Galen benar-


benar membawanya hingga ke depan sebuah ruangan
operasi.

Mirele melirik Galen ke belakang, lalu ditatapnya


Ruang operasi yang sepertinya tengah digunakan

Itu. “Kenapa kesini?”

“Tungguin operasi.”

“Bara?” Gumam Mirele kecil. “Bara disana?”

Galen mengangguk, “Bara udah dapet donor mata. Pokoknya


jangan lo tanya dulu dimana gue tau

Soal Bara ataupun yang lainnya.”

Mirele merasakan sudut bibirnya terangkat

Ke atas mendengar semua itu. “Kak Galen gak bohong kan?”


Galen menggeleng, Mirele kembali membuka

Suaranya, “Trus siapa yang donorin mata buat Bara?”

Galen mengelus puncak kepala Mirele, “Heros.”

“Heros donorin kedua matanva buat Bara.”

BAB 47

“Heros?” Gumam Mirele masih tak percaya. Ditatapnya lama


pintu ruangan operasi sebelum akhirnya menatap ke arah
Galen. “Kenapa bisa Heros, Kak?”

Galen melangkah menuju ke depan Mirele, kembali


berjongkok di depan kursi roda yang diduduki gadis itu.
“Heros dihajar sama orang gak dikenal sampai kehilangan
banyak darah, sebelum meninggal, dia bilang pengen donorin
matanya ke Bara,”
Mendengar kata sontak membuat Mirele terkejut tentu saja.
Baru beberapa hari yang lalu ia disekap oleh Heros dan masih
bersama laki-laki itu, dan mendengar kabar ini membuatnya
masih tak percaya.

“Berapa lama operasi Bara?” Tanya Mirele kemudian.


Pandangannya mulai naik, memperhatikan Galen yang mulai
bangkit menuju belakang tubuhnya dan kembali mendorong
kursi rodanya ke dekat kursi tunggu.

“Bara udah lumayan lama disana, mungkin sebentar lagi


selesai.” Jawab Galen yang mendapat anggukan paham oleh
Mirele.

“Mamanya Heros pengen ngomong sama lo, El.”

“Mama Heros?” Gumam Mirele. Tak berapa lama kemudian


terdengar suara langkah kaki mendekat, Mirele menoleh,
melihat kehadiran seorang wanita yang merupakan tante
Anjani berjalan menuju
Anjani tersenyum teduh melihat Mirele ada disana. Wanita
itu dipersilahkan duduk oleh Galen, dan cowok itu
menghadapkan Mirele ke arah Ibu kandung Heros dan Bara
itu.

“Apa kabar nak?” Tanya Anjani memperhatikan Mirele.

Yang tante bisa lihat, alhambdulillah saya baik.” Jawab Mirele


ramah, gadis itu juga tengah meneliti wajah pucat Anjani.
Tidak bisa dibohongi, Anjani terlihat sayu dengan mata
berairnya.

“Tante mau minta maaf ya nak soal Heros ke kamu waktu itu.
Tante juga minta maaf karena waktu itu tante sama sekali gak
bisa nolongin kamu dari anak tante.”

Mirele mengangguk, “Saya paham kerasnya Heros gimana,


saya juga ngerti tante gak bisa banyak bantu saya waktu itu.”

Anjani mengangguk, wanita itu menggenggam dingin Mirele.


Ekspresi wajahnya berubah merasakan tangan itu sangatlah
dingin. “Dingin sekali nak..”
“Efek cuaca juga tante, tubuh saya gampang nyerap dingin.”
Balasnya terlihat normal. Anjani mengangguk mengerti, lalu
tersenyum simpul menatap Mirele.

“Bara sama sekali tidak tahu tentang kematian Heros, Bara


juga gak tau kalau mata yang didonorin buat dia itu mata
Heros.” Anjani terlihat mengusap sudut matanya. Mirele
mengulurkan tangan, mengelus pundak wanita itu
menenangkan.

“Tante bingung nak harus sedih atau bahagia atas dua anak
tante. Satu sisi Bara mendapat donor mata yang tepat, tapi
disisi lain, kami kehilangan Heros.”

“Tante yang sabar ya, saya yakin, Heros pasti bahagia disana
melihat Bara kembali pulih. Jadi tante juga harus tegar,”
Mirele tidak biasa menenangkan orang seperti ini. Gadis itu
terkesan kaku dengan orang-orang baru.

“Sebelum meninggal, Heros menitipkan ini untuk Bara dan


kamu nak, terimakasih ya karena sudah memaafkan Heros.
Tante juga mohon doanya ya nak, semoga segala Amal ibadah
Heros diterima di Allah.”
“Amin.” Balas Mirele, sebelum dia mengambil sebuah amplop
yang terlihat sudah sedikit robek itu dan membukanya.

Maafin gue ya. Karena dendam gue ke Galen dan Gibran, lo


malah jadi orang yang gue seret ke masalah gue.

Maaf gabisa ngomong langsung ke lo, tapi syukurnya tuhan


masih beri gue kesempatan buat nulis surat singkat ini.
Seenggaknya gue bisa tenang udah minta maaf ke lo, El.
Sampaikan maaf ini ke Galen dan Gibran juga.

Heros.

Setelah membaca deretan tulisan tangan milik Heros


tersebut, Mirele kembali melipatnya, gadis itu kemudian
menatap Anjani. “Anak-anak tante itu anak hebat. Senang
bisa kenal Bara sekaligus Heros.”

Galen mendorong kursi roda Mirele menuju ruang rawat


Bara. Bara telah menyelesaikan operasinya sekitar setengah
jam yang lalu. Setelah mendapat ijin dokter, Mirele akhirnya
diperbolehkan menjenguk Bara setelah lama menunggu.
“Kak Galen ikut ke dalem kan?” Tanya Mirele memutar
tubuhnya ke belakang untuk melihat Galen. Galen
mengangguk, kembali mendorong ke dalam kursi roda Mirele
setelah membuka pintu ruang rawat tersebut.

Melihat Bara yang tengah terbaring di atas brankar ditemani


Anjani yang tengah mengobrol dengannya membuat Mirele
mengembangkan senyumnya.

Menyadari kehadiran orang lain, Bara sontak menoleh, Mirele


mempertahankan senyumnya begitu Bara menatapnya.

“Muka gue masih sama ‘kan?”

Bara mengangguk, kemudian tersenyum. Bara juga melihat ke


arah Galen sebentar, lalu kembali melihat Mirele. “Tapi lo
lebih kalem kelihatannya sekarang.” Kekeh Bara. Anjani yang
mendengar itu tersenyum haru.
“Rambut lo juga udah panjang. Dulu kan sepundak.” Kata
Bara lagi.

“Tante titip Bara ya nak. Oh iya bar, mama mau pulang dulu
ya, mau ngambil baju juga.” Bara mengangguk setelah Anjani
mengelus puncak kepalanya.

Setelah kepergian Anjani, Mirele kini berdiri dari kursi


rodanya dibantu Galen. Mirele mendekati Bara,
memperhatikan sesaat tepat ke arah dua bola mata milik laki-
laki itu. “Gimana perasaan

Bara mengangguk, “Lebih baik, seenggaknya gue

Bisa lihat mama lagi.” Jawabnya.

Gue belum liat Kak Heros.” Lanjutnya yang membuat ekspresi


Mirele berubah.

“Heros selalu ada dihati lo bar, dia pasti bahagia ngeliat lo


baik-baik aja.” Ungkap Mirele yang
Berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan di depan Bara.

“Lo tau Kak Heros dimana?”

Mirele bergeming.

“G-gue gatau, lo istirahat lagi, pasti tenaga lo

Belum pulih total.” Mirele tersenyum, melihat ke

Arah Galen lalu kembali duduk di kursi rodanya. Bara


memperhatikan itu, Bara mengamati Mirele, “Cepet sembuh
juga buat lo, El.” Ujar Bara yang langsung mendapat perhatian
dari Mirele dan Galen.

“Sebenernya ada banyak hal yang pengen banget gue ceritain


sama lo. Apalagi soal mata ini, gue ngerasa, Kak Heros deket
banget sama gue.”
Mirele menatap hampa bubur yang ada di pangkuannya.
Matanya menatap ke depan, seperti tengah menyaksikan
sesuatu yang

Fikirannya sendiri.

Mirele masih berada di atas Hanya seorang diri di dalam


kamar rawatnya tanpa ada yang menemani. Galen sudah
pulang, begitupun dengan yang pulang untuk mengambil
pakaian Mirele.

Tok.tok.tok.

Suara ketukan pintu itu menyandarkan Mirele lamunannya.


Mirele menoleh ke arah menerjap sekiranya siapa orang yang
mengetuk pintu itu. Arina, Galen, ataupun pak Yudhatama
tidak mungkin mengetuk jika mengunjunginya.

“Masuk,”
Pintu dibuka. Dan tampaklah Jovi dan Mawar yang masuk
dengan ekspresi menahan harunya.

“Kak El!” Mawar tanpa ragu berlari menuju Mirele dan


memeluk tubuh dengan pakaian. Itu. Mirele dengan ragu
membalas pelukan Mawar, menepuk pelan punggung kecil
gadis tahun itu.

“Kak El Mawar kangen,” Mawar menjatuhkan air matanya.


Mata bulatnya menatap Mirele penuh kerinduan. Begitupun
Jovi yang tengah mengelap air mata yang sejak tadi
terbendung di pelupuk

Matanya.

“Kalian tau dari mana?” Tanya Mirele mengarah pada Jovi.

“Maafin mama ya nak, mama selama ini dengan teganya


kamu keluar dari pengawasan. Maafin papi kamu juga ya El,
mama tau papi kamu sudah sangat keterlaluan sama kamu,”
Jelas Jovi yang dibalas helaan nafas singkat oleh Mirele..
“Duduk dulu ma, Mawar juga,”

Jovi dan Mawar mengangguk, mereka meletakkan buah-


buahan yang mereka bawa di atas meja, lalu duduk di sofa.
Mirele memutar arah kursi rodanya ke arah Jovi dan Mawar.
“Kalian apa kabar? Lama banget El gak liat.”

“Kami cukup baik, sayang. Kamu sendiri gimana? Mama


belum tau pasti apa penyebab kamu dirawat disini, El.”

“Kak El sakit apa? Kata mama, kakek kasih tau mama kalau
Kak El disini. Tapi yang Mawar bingung, kakek itu siapa?
Mawar sama sekali gak pernah lihat kakek.”

“Mawar,” Jovi menegur Mawar halus. Jovi menggeleng,


memberitahu tidak bertanya lebih lanjut.

Mawar Dan Yudhatama memang tidak pernah bertemu. Atau


lebih tepatnya, tidak pernah dipertemukan. Pernikahan
kedua Yoga, Yudhatama sama sekali tidak ingin berurusan
soal putranya itu.

“Papi dimana, ma?”

Jovi bergeming sesaat, “Papi kamu lagi diluar kota, sayang,”

Mirele hanya mengangguk. Tak berniat melanjutkan obrolan


mengenai papinya.

“Yaampun El! Lo kenapa sekolah?” Ralin menempelkan


punggung tangannya di kening Mirele.

“Gue gapapa Lin, gue mending sekolah deh daripada harus


diem dirumah sakit.” Mirele membuka bukunya, sibuk
membaca rentetan materi di buku tebak itu.

“Lo baca buku, El?”

Mirele melirik sekilas, kepalanya mengangguk, “Ternyata baca


buku itu seru ya, Lin.”
Ralin bingung harus menjawab apa. Dia hanya mengangguk,
dan kini duduk di sebelah Mirele yang terlihat sangat tekun
akan bacaannya.

“Yang lo itu buku sejarah El, bukan novel yang bisa dikatakan
seru, ‘kan?” Cicit Ralin.

“Ini gak kalah seru kok. Kemana aja gue dari dulu selalu tidur
pas dapet pelajaran sejarah? Kalau sekarang nih ya gue
dikasih kuis, pasti gue bisa!”

Mirele menganggukkan kepalanya saja. Tangannya ikut


membuka bukunya, melihat tulisan yang terjejer rapi saja dia
sudah pusing. Apalagi buku yang dibaca Mirele. “Lo dapet
buku itu darimana?”

Mirele menoleh, “Oh ini? Perpustakaan. Gue tadi kesana.


Disana adem, istirahat nongki disana yuk,

Benar-benar keajaiban!
“Lo bosen ke BK, sekarang ganti haluan ke perpus, nih,
ceritanya?”

“He’em,”

“Gaslah.” Sahut Ralin.

Ralin menerjapkan matanya beberapa kali. Saat ini, Ralin


tengah duduk anteng di perpustakaan. Matanya mengamati
sekeliling, cukup sepi, dan kini matanya mengarah ke arah
sampingnya dimana Mirele tengah mengenakan kacamata
baca yang dipinjamnya dari adik kelas duduk membaca buku
bersampul hitam. Kalian tau buku apa? Hukum perdata!

“Pindah haluan pengen jadi pengacara, ya, El?”

Mirele melirik Ralin, “Seru Kali ya, Lin, jadi


Pengacara?”

“Iya seru. Otak lo yang awalnya tidur tenang jadi kerja bagai
quda.”

Mirele hanya tersenyum menanggapi.

“Perasaan lo dirawat di rumah sakit bukan karena

Kepala lo kepentok sesuatu deh, El.”

“Ya, trus?” Sahut Mirele tanpa menoleh.

“Lo jadi rajin begini itu gak wajar!”

“Aneh,”
“Lo yang aneh, oy!” Kata Ralin gemas. Kini dia

Menghadap sepenuhnya ke arah Mirele.

“Lin, jangan teriak-teriak. Perpustakaan itu sunyi,” Nasihat


Mirele yang tak didengar

Ralin. Yang terpenting sekarang adalah kondisi kesehatan


otak Mirele.

“Gue mau baca buku yang lanjutannya ini deh, tolong cariin
dong, Lin.”

“Lanjutan lo bilang!?” Ralin menganga. “Lo jangan bebanin


otak, anjir!”

“Lo temen yang berusaha pinter bukannya bersyukur malah


marah-marah,” Gerutu Ralin geleng-geleng. Bukan! Bukan dia
yang aneh,
Tapi Mirele! “Lo kaya gini malah bikin gue sedih

Tau!” Ralin tiba-tiba mewek. Mirele menoleh,

Terlihat heran dengan perubahan raut Ralin.

Mirele tak memperdulikan. Dia lebih memilih untuk


melanjutkan bacaannya. Sementara Ralin dengan tiba-tiba
memeluk tubuhnya dari samping. “El gue tau semuanya!”
Katanya sedikit teriak.

“Iya gue tau kalau lo tau,” Balas Mirele kalem.

“Ih lo tau!” Ralin menarik ingusnya. Mirele sampai jijik


dibuatnya.

“Lo kenapa sembunyiin dari gue, sih, El?! Lo ga anggep gue


sahabat ya!? Lo mah!”
“Sakit, anjir!” Mirele menatap tajam Ralin yang menepuk
pundaknya. Ralin mengelus-elus pundak Mirele yang
ditepuknya tadi.

“Maaf, maaf, habisnya lo keterlaluan!”

“Iyaa, tau.” Ujar Mirele, “Maaf gabisa jujur sama lo ataupun


sama Gibran. Lo tau sendiri gue gimana. Keluarga gue aja ga
ada yang tau awalnya,”

Ralin memanyunkan bibirnya, “Lo jahat,”

“Iya Lin, lo juga jahat,”

Mirele tertawa, sementara Ralin kembali manarik ingusnya


dengan tatapan tajam ke arah Mirele. “I want you to promise
to be fine soon.”

“I hope,
BAB 50

Suara teratur dari mesin elektrokardiogram menjadi alunan


yang menggambarkan kondisi Galen yang terbaring lemah di
atas brankarnya saat ini. Setelah menjalani operasi karena
pendarahan pada bagian kepalanya kurang lebih selama 4
jam lamanya, Galen dipindahkan ke ruang ICU. Karena
bagaimanapun, dia masih memerlukan penanganan terbaik
oleh para medis.

Gibran mengamati kondisi Galen dengan lamat. Cowok itu


menunduk, merasakan perasaan gundah di dalam hatinya.
Dia adalah orang pertama yang dihubungi oleh seseorang
melalui ponsel Galen untuk diberi kabar mengenai
kecelakaan yang menimpa kakaknya di jam 12 malam. Saat
itu dengan segera Gibran membangunkan kedua
orangtuanya, lalu mereka langsung menyusul ke rumah sakit.

“Apa perlu gue beri kalian berdua penghargaan karena udah


jadi pasangan sejiwa?” Gibran memperhatikan wajah
kakaknya yang bagian wajahnya dipenuhi luka mengering
dengan kepala yang dililit perban itu, “Lo dan Mirele sama-
sama bikin gue khawatir, Len.”
“Ini hari ulang tahunnya, jadi lo nekat keluar jam 12 buat
nepatin janji beliin Mirele bunga?”

Gibran menggeleng, merasa dongkol dan sakit disaat


bersamaan. “Lo kenapa bodoh sih hah!? Gak pernah belanja
online atau gimana?”

Andai kakaknya itu tengah sehat dan tidak dalam kondisi


menyedihkan seperti itu, Gibran tidak akan ragu wajah lemah
itu sekarang.

“Mama sampai pingsan asal lo tau. Mama bahkan ga mau


makan apa-apa sampai sekarang karena mikirin lo.” Jika
diperhatikan, mungkin hanya ketika Galen beginilah Gibran
akan menjadi cerewet dan ingin memaki cowok itu tanpa
henti. Karena ketika sadar, Gibran tidak akan mau repot-repot
berujar panjang dengan sang kakak.

“Gue gak sempet bilang apapun ke lo tentang keberadaan


Mirele. Lo kira dia ada di deket kita? Lo kira dia lagi di
Indonesia? Beli bunga pun lo percuma Len, Mirele di Italy.”
Seseorang menepuk pundak Gibran dari belakang. Gibran
sudah tau pasti itu siapa, dia hanya menoleh sekilas, lalu
kembali memperhatikan Galen.

“Setelah nanti Galen sadar, om mau kamu ngelakuin hal yang


sama kaya apa yang kamu lakuin sekarang.”

“Maksud om?”

Ratan mengedikan bahu, “Ya ajak ngobrol kaya tadi, kamu


marahin juga gak masalah. Caci maki, katain dia bodoh atau
apalah, yang penting ngobrol.”

“Udah tadi. Gibran Cuma kurang hajar dia aja, tapi gabisa
soalnya dia lemah.”

Ratan tertawa, menggeleng mendengar

Pemuturan anak dari sahabatnya itu. “Kamu sama Galen itu


jarang ngobrol. Ngobrol paling tujuannya buat berantem,
makanya om suruh pas Galen sadar nanti, ajak dia bicara
apapun.”

Gibran hanya mengangguk. Dan suasana seketika senyap


ketika Ratan memeriksa kondisi Galen.

“Tulang paha di kaki kanan Galen patah. Jadi selama


beberapa bulan, Galen harus pakai tongkat atau kursi roda
dulu.”

Gibran tercekat mendengar hal tersebut. Dia tidak tau


mengenai hal itu. “Otaknya gak bermasalah kan om?”

Ratan melirik “Galen mengalami pendarahan otak, cukup


serius karena benturan yang diterima kepalanya gak kecil.”

“Apa Galen bakalan lupa, kayak amnesia?”

Ratan menurunkan stetoskop dari telinganya,


Laki-laki itu menggeleng, “Sepertinya gak ada. Kita Cuma bisa
nunggu Galen pulih untuk lebih memastikan semuanya,
bran.”

04.35 AM CEST.

Arina mengelus kepala anaknya yang tertutup beanie itu


dengan sayang. Gerakan tangannya menurun hingga sampai
di daerah samping mata wajah Mirele. Arina mengusapnya,
berharap dia dapat mengelus pipi Mirele yang sayangnya
sekarang setengah bagiannya tertutup oleh alat bantu
pernafasan yang senantiasa menemani tidur lelap anaknya.

“Capek ya El sayang?”

Nafas anaknya terlihat teratur. Semenjak dia tiba di Roma jam


2 dini hari tadi, Arina langsung menuju Jscslinna Hospital
dijemput oleh salah satu suruhan Yudhatama. Tak sekalipun
mata indah anaknya terbuka sedari kedatangannya. Arina
tahu, kondisi Mirele sekarang adalah kondisi terparah gadis
itu semenjak dinyatakan mengidap penyakit berbahaya yang
bersarang di
Jika diizinkan, Arina ingin menukar segala rasa sakit Mirele ke
dalam tubuhnya agar gadis kesayangannya itu bisa menikmati
masa remajanya dengan indah tanpa bayang-bayang di
hidupnya. Arina sadar betul karena keegoisannya dan Yoga,
Mirele sudah sangat menderita sejak kecil. Tapi apakah tuhan
tidak membiarkan anak itu mendapatkan sedikit saja
kebahagiaan di hidupnya dengan mengangkat seluruh rasa
sakitnya?

Arina mengambil baskom dan handuk kecil mendekat ke arah


brankar Mirele. Wanita itu kemudian mengelap mulai dari
bagian lengan anaknya dengan air hangat menggunakan
handuk. Mirele sangat kaku, suhu dingin dari sang anak
rasanya langsung berpindah ke tubuh ketika dia menggengam
telapak tangan Mirele.

Setelah selesai membersihkan tubuh, dan juga wajah


anaknya, Arina kemudian duduk di sofa, menangkup
wajahnya menggunakan kedua tangan. Wanita itu menangis,
menyesali segala waktunya yang terbuang selama ini tanpa
berusaha menyimpan beberapa kenangan indah bersama
Mirele.

“Mami udah ga pernah ngerokok lagi sekarang. Mami udah


gak pernah minum alkohol sebagai alat pelampiasan rasa
penat Mami, El. Tapi sebagai Mami pengen kamu yang jadi
candu yang selalu ada di sisi Mami selamanya, apa gak bisa?”
Arina semakin terisak, tidak menyadari pintu kamar rawat
Mirele dibuka seseorang. Orang itu Yudhatama, laki-laki tua
yang biasa mengenakan jas mahal itu terlihat berbeda
sekarang dengan setelan polo dan juga trainingnya. Pria tua
itu mendekati Arina, meletakkan sebuah kue tepat di atas
meja yang ada di sana.

“Mirele sedang berulang tahun nak, kamu lupa?”

Arina mendongak, bertemu tatap dengan wajah layu


Yudhatama yang berusaha tersenyum menatapnya.

Kini pandangan Arina tertuju ke arah kue berisi lilin angka 17


yang ada di atas meja. Arina tak tahan jika tidak kembali
terisak, “Aku lupa.. aku bahkan sama ulang tahun Mirele.”

Yudhatama menepuk pundak mantan menantunya itu


menenangkan, “Dia sudah dewasa nak. Dia gak akan marah,”
Jika di Roma sedang memunjukkan pukul 5 pagi, maka Jakarta
saat ini sudah memunjukan jarum jam di angka 12 siang. Saat
ini Mawar dan juga Jovi tengah duduk berdua di taman depan
rumah Ibu dan anak itu menyiapkan piknik kecil-kecilan untuk
merayakan ulang tahun

Mirele bersama-sama.

“Semoga Kak El cepet sembuh, sakitnya cepet hilang, cepet


kembali kumpul sama kita ya allah. Amin,” Jovi mengelus
surai putrinya usai Mawar memanjatkan doanya untuk
Mirele.

Hari ulang tahun Mirele adalah hari yang selalu menjadi hari
teramat sangat ditunggu-tunggu Mawar di tiap tahunnya.
Gadis sepuluh tahun itu tidak pernah lupa membuatkan kue
yang dibuat olehnya dan Jovi untuk merayakan pergantian
usia sang kakak walau tahun-tahun sebelumnya Mirele tidak
pernah menyambut baik kue yang dibuat olehnya.

Mirele tidak pernah menyambut dengan ramah, apalagi


pelukan hangat kala Mawar dan Jovi merayakan Ulang
tahunnya di setiap tahun. Tapi yang Mawar selalu ingat
adalah ketika Mirele dengan sembunyi-sembunyi selalu
membawa masuk kue buatannya dan Jovi ke dalam kamar
lalu menghabiskan kue itu di dalam kamarnya.

Mawar dan Jovi selalu mengintip, dan itu membuat perasaan


sedih mereka seketika berubah bahagia. Hanya dengan
Mirele yang memakan dengan lahap kue ulang tahunnya.

Dan satu hal yang selalu Jovi tanamkan di ingatannya adalah


bahwa Mirele tidak pernah membenci mereka, Mirele hanya
susah mengekspresikan dirinya dalam mengungkapkan
sayangnya kepada seseorang.

Dua orang itu saat ini tengah sama-sama berjuang di tempat,


bahkan waktu yang berbeda. Keduanya sama-sama
meninggalkan luka dan kepedihan bagi orang sekitar mereka
saat ini. Galen yang masih memilih untuk tidur walau
kondisinya sudah semakin membaik, begitupun Mirele yang
juga dengan setia memejamkan matanya di tengah
keadaannya yang semakin memburuk.

“Kenapa gak kunjung bangun juga dok?” Tanya Grizelle yang


sejak tadi senantiasa menggengam telapak tangan anaknya.

Ratan masuk ke ruangan, dia memberi kode kepada rekan


sesama dokternya untuk membiarkan dirinya saja yang
menjelaskan kepada keluarga Galen tentang kondisi terkini
putra mereka.

“Kondisi Galen berangsur membaik. Jangan khawatir Zel,


cepet atau lambat, Galen pasti sadar.” Jelas Ratan yang kini
berdiri sejajar dengan Gibran.

“Apa Galen ngalamin Koma om?” Tanya Gibran.

“Galen itu enggak koma, dia Cuma lagi coba nahan

Diri gak segera bangun.”

Mendengar ucapan Ratan, Gibran semakin menautkan


alisnya tidak mengerti. “Maksud om?”

“Galen sepertinya tengah hanyut di alam bawah sadarnya.”


Jawab Ratan, “Coba kamu liat raut wajahnya, dia kayak sedikit
gelisah. Kaya ada satu hal berusaha ngedorong dia bangun,
tapi Galen nolak itu. Karena seharusnya, dia bisa aja udah
sadar sekarang.”
“Mungkin dia takut kalau nanti dia bangun, sesuatu di alam
bawah sadarnya menghilang.” Lanjut Ratan.

“Jadi, dia kayak mimpi indah?”

Dengan ragu ratan mengangguk. “Bisa dibilang gitu. Mimpi


indah sekaligus mimpi buruk di satu waktu. Maka dari itu dia
lebih milih untuk bertahan di alam bawah sadarnya
dibandingkan untuk bangun.”

Usai Ratan mengucapkan hal itu, Grizelle dikejutkan dengan


pergerakan pada jemari anaknya. Grizelle memperhatikan
wajah Galen yang tampak gelisah dalam tidurnya.

Ratan memasang stetoskopnya, mulai memeriksa keadaan


Galen setelah melihat pergerakan itu.

“Bangun Kak, orang-orang khawatir.”


“Gue sekarang udah tau kemana tempat tujuan gue Kak.”

“Jangan ngejebak diri, lo bisa kembali.”

“Lo kesana, gue kesitu.”

Galen sangat ingin menahan tangan gadis itu untuk berhenti


melangkah semakin jauh dari jangkauannya, tapi itu sangat
sulit dia lakukan. Galen semakin berjalan mundur, kakinya
seakan dipaksa untuk ikut membuat jarak dengan Mirele
yang juga semakin menjauhinya.

Arina memang sejak tadi merasa ada yang aneh dengan


tubuh putrinya yang terbaring lemah itu. Arina mendekat,
kembali duduk di kursi lalu menggengam tangan dingin itu.
Sejak tadi tubuh anaknya tak mengeluarkan reaksi apapun,
sempat terbesit di benaknya jika Mirele telah
meninggalkannya. Dan hal itu adalah hal yang paling tidak
siap untuk ia alami.

Memandang wajah pulas putrinya dengan sendu. Sesekali


dikecupnya punggung tangan dingin yang ada di
genggamannya, berharap bahwa jemari lentik itu akan
membalas genggamannya walau hanya sesaat.
Dokter Matteo datang bersama seorang perawat dan juga
Yudhatama. Dokter Matteo mendekati Mirele, mulai
memeriksa keadaan gadis itu.

Dahinya berkerut dalam ketika tak mendengar detak jantung


Mirele yang biasanya cukup aktif. Diliriknya mesin EKG yang
ada di sudut sebelah kanan. “Detak jantung yang sangat
lemah. Suster, tolong segera siapkan defibrillator. Saya rasa
Mirele sempat mengalami henti jantung.”

Nyawa Arina dan Yudhatama serasa direnggut paksa dari


tubuh mereka mendengar ucapan dokter Matteo. Arina
beralih berdiri, membiarkan dokter Matteo manjalankan
tugasnya.

“Pa, Mirele gak akan kemana-mana kan?” Yudhatama


berusaha menenangkan Arina, walau jauh dilubuk hatinya
sendiri, pria tua itu seakan kehilangan separuh nafasnya.

Dokter Matteo mulai meletakkan defibrillator paddle pada


dada Mirele, mengirimkan aliran kejut listrik ke jantung
Mirele agar normal
Dokter Matteo melarikan sebentar pandangannya ke arah
mesin elektrokardiogram, ketika sadar bahwa tidak ada
tanda-tanda jantung Mirele kembali berdetak dengan irama
normal.

“Pacu jantungnya kenapa semakin melemah dok?” Tanya


perawat yang memeriksa monitor defribillator.

“Mirele sudah terlalu tenggelam di dalam alam bawah


sadarnya. Saya rasa raganya benar-benar

Sudah kosong tanpa jiwa.”

“Apa yang dokter katakan!!?” Arina mengerang histeris saat


dokter Matteo menjauhkan defibrillator paddle dari tubuh
putrinya.

Bunyi nyaring dari mesin EKG manyadarkan Arina dan juga


Yudhatama akan kenyataan yang harus mereka terima. Arina
memandang mesin elektrokardiogram yang berubah menjadi
garis lurus itu dengan pandangan kosong. Tubuhnya hampir
saja tumbang jika saja Yudhatama tidak dengan segera
menyangkal tubuh ringkihnya.

“Kami sudah berusaha semampu kami untuk memberikan


yang terbaik tuan, nyonya. Tapi kembali lagi, tuhan lebih
menyayangi Mirele.”

“Waktu kematian 09.45 CEST.” Beritahu dokter Matteo


kepada si perawat.

“Saya turut berduka cita,”

Arina menggeleng berusaha menyangkal, sementara


Yudhatama kini sudah tidak bisa lagi menahan kesedihannya
setelah kehilangan orang yang begitu dia sayangi. Pria tua itu
menangis tanpa suara.

Perawat mulai menurunkan alat bantu pernafasan dari mulut


Mirele. Sebelum benar-benar menutup tubuh kaku gadis itu
dengan srlimut putih, Arina menahannya. Perawat yang
paham langsung memberi ruang dengan menyingkir.
Bahkan Mami belum sempet selamat ulang tahun ke kamu.”
Dibelainya wajah pucat itu secara menyeluruh. Arina rasanya
tidak sanggup menjabarkan bagaimana buruknya keadaan
hatinya sekarang.

“Seharusnya sekarang kita lagi bahagia ngerayain


bertambahnya usia El kan? Kita harusnya tiup lilin bersama,
potong kue, ngehabisin waktu bersama. Iya kan El?”

“Kalau seandainya Mami tau hari ulang tahun kamu adalah


hari terakhir Mami bisa ngeliat kamu bernafas baik, Mami
lebih memilih untuk membenci tanggal ini El. Mami gak
masalah kalau El selalu jadi anak kecil, asal El gak ninggalin
sayang.” Arina membenamkan wajahnya pada sisi wajah
Mirele. Wanita itu sungguh rapuh hingga rasanya dia tidak
ingin melanjutkan harinya jika tanpa kehadiran Mirele

Disisinya.

“Galen udah sadar, kondisinya bahkan jauh lebih baik


sekarang.” Ujar Grizelle ketika Gavin baru saja masuk ke
dalam ruangan. Grizelle masih senantiasa menggengam
tangan putranya semenjak Galen sadar beberapa saat lalu.
Hanya saja Galen belum mengeluarkan sepatah semenjak
kesadarannya.

Ratan dan Gibran masih ada disana. Gibran yang


menghubungi Gavin mengenai kesadaran Galen beberapa
saat lalu.

“Apa yang kamu rasakan, Len?” Tanya Ratan akhirnya. Dia


sedikit bingung melihat tatapan kosong yang dipancarkan
Galen sejak tadi. Bahkan ketika sadar, Galen sama sekali tidak
mengatakan apa-apa.

“Ada yang sakit? Atau kamu mau air putih?”

Mata tajam Galen mengamati sekitar, lalu berhenti ketika dia


bersitatap dengan

“Mirele pergi kemana? Dia pergi bran, ninggalin gue.”

Detik itu juga Gibran dibuat tersentak menerima pertanyaan


itu. Dia... Juga tidak tahu.
EPILOG

“Akh!” Seorang wanita meringis ngilu kala merasakan sakit


yang teramat sangat perut besarnya. Tangannya bergerak
memegang perut buncitnya, sementara tangan yang satunya
spontan bertumpu pada tembok untuk menjaga tubuhnya.

“Biar saya bantu nyonya,” Wanita itu mengangguk, dia


didudukan di sebuah kursi roda oleh gadis muda yang juga
mengenakan baju pasien yang sama sepertinya. Wanita hamil
itu mendongak, memandang wajah gadis muda yang
membantunya itu.

“Apa masih sakit?” Tanya Mirele setelah memastikan bahwa


wanita hamil itu duduk dengan benar di kursi roda miliknya.

Wanita hamil itu menggeleng, “Sudah baikan. Terimakasih,”


Katanya mengucap terimakasih menggunakan bahasa
Indonesia. Mirele menerjit kemudian.
“Nyonya orang Indonesia?” Tanya Mirele yang mendapat
anggukan dari wanita hamil itu.

“Panggil saya Atau jika boleh panggil Kak saja, jangan nyonya.
Saya masih 25 tahun.” Katanya tersenyum ramah. Mirele
mengangguk,

“Aku Mirele Kak.”

“Ruangan Kak Kintan dimana? Aku antar, mau?”

Menggeleng, menahan tangan Mirele yang hendak


mendorong kursi rodanya. “Enggak usah Mirele, kakak tadi
ingin jalan-jalan karena lelah rebahan. Dimasa-masa
menjelang lahiran dianjurkan untuk tidak terlalu sering hanya
tiduran. Jadi kakak mau jalan-jalan dulu tadinya, eh ga tau
kenapa dede bayinya nendang sampai sakit,” Kintan tertawa,
Mirele dibuat ikut tertawa mendengar ujaran Kintan.

“Kalau gitu gimana kalau ke taman depan? Aku tadi juga mau
kesana Kak,”
Kintan mengangguk, “Boleh. Tapi kakak gapapa kok gak usah
duduk di kursi roda. Biar kamu-“

“Enggak usah Kak. Aku gapapa kok, kakak aja yang duduk, aku
dorongin,”

“Tapi serius kamu ga papa?” Tanya Kintan khawatir.

“Gapapa Kak, ayo.” Mirele mulai mendorong kursi roda itu


menuju ke taman rumah sakit.

Setibanya mereka berdua disana, Mirele mendudukan dirinya


di kursi taman, sementara Kintan kini bangun dari kursi
rodanya, beranjak duduk di sebelah Mirele.

“Prediksi lahirnya tanggal berapa, Kak?” Tanya Mirele yang


melihat perut Kintan sudah sangat besar.

“Dua hari tanggal 18 Maret kata dokter,” Jawab Kintan seraya


mengelus lembut perut besarnya.
“Wah, kayanya aku sama dede bayi bakalan Ulang tahun
barengan nih,” Ujar Mirele terlihat gemas, “Boleh aku pegang
perut kakak sebentar?”

Mendengar itu tanpa ragu Kintan mengangguk, “Boleh


banget, dari tadi dede bayi nendang terus. Pasti seneng
mamanya ditolongin cewek cantik,”

Mirele tertawa kecil, tangannya terulur mengelus perut besar


Kintan yang tertutup baju pasien. “Aku tebak pasti dede
bayinya cewek,” Ujar Mirele.

“Wah, tebakan kamu bener banget. Dede bayinya

Emang cewek,”

“Kak Kintan udah lama tinggal di Italy?” Tanya Mirele.


Kintan menggeleng, “Kakak sama suami enggak tinggal
menetap disini. Cuma dari dulu itu kakak banget buat lahiran
di negara ini. Karena Italia itu tempat kakak pertama kali
ketemu sama suami kakak.”

“Suami kakak orang Italia?”

Kintan lagi-lagi menggeleng, “Bukan. Suami kakak orang


bandung, tapi kerja disini. Kakak waktu itu lagi study disini,
ketemulah sama suami kakak, terus akhirnya nikah. Pas
hamil, kakak udah kekeuh banget kalau mau lahiran disini.
Tapi pas udah satu tahun umur anak kakak, kami rencananya
mau pulang ke Indonesia lagi.”

Mirele tersenyum mendengarnya, “Semoga lahirannya lancar


ya Kak,”

“Amin, terimakasih banyak ya.” Jawab Kintan. “Kamu sendiri,


udah lama dirawat disini?”

“Baru sehari kak.”


“Kalau kakak boleh tau, Mirele sakit apa?” Kintan bertanya
hati-hati.

“Kanker paru-paru Kak,”

Mendengar jawaban Mirele, raut Kintan langsung berubah.


Kintan sontak menatap lurus ke arah Mirele. Dia tertegun
mendengarnya. Kintan bahkan baru sadar jika sejak tadi
Mirele memakai penutup kepala berupa topi beanie.

“Sudah berapa lama?”

“Setahun lebih mungkin Kak, saat itu aku masih SMP.”

Mirele dibuat terkejut dengan Kintan yang tiba-tiba


memeluknya. Beberapa saat Kintan hanya diam sambil
memeluk Mirele, sebelum akhirnya dia mengurai pelukan itu.
“Kakak gak tau harus ngomong apa. Yang Cuma bisa kakak
lakuin doa dan support kamu biar cepat sembuh ya, Mirele.”

“Terimakasih, kak.”
Kintan mengelus kembali perut besarnya yang kembali
merasakan keram.

“Kak Kintan, gapapa?”

Kintan menggeleng, “Kalau kakak izin pake nama kamu buat


nama calon anak kakak, kamu keberatan?”

“Nama Mirele?”

Kintan mengangguk, “Nama kamu ada unsur italia-nya, nama


yang cantik, kakak berharap calon anak kakak kelak bisa
secantik, sebaik, dan setengar kamu.” Kintan mengelus
perutnya kembali, seperti tengah mengirimkan doa-doa baik
kepada calon buah hatinya.

“Aku seneng kalau memang kakak mau kasih nama yang sama
untuk dede bayinya.” Ujar Mirele.
Kintan tersenyum, “Nama panjang kamu siapa?”

“Mirele Lucrezia, mungkin lebih tepatnya Aydhia Mirele


Lucrezia. Kakek dan Mami yang kasih nama itu,”

“Indahnya. Nanti pas kakak lahiran, kita rayain birthday kamu


dan baby sama-sama ya,” Kata Kintan yang diangguki Mirele.

18 March 2022. Jakarta, Indonesia.

Laki-laki itu turun dari mobilnya dengan sebucket bunga


Mawar putih yang dibawanya. Galen melepas kacamata
hitamnya, berjongkok didepan pusara bertuliskan nama
orang yang masih begitu berperan besar di dalam hatinya
hingga detik ini.

Diletakkannya bucket bunga berisi 18 tangkai Mawar putih di


atas pusara itu. Galen mengulurkan tangannya mengelus
Nisan bertuliskan Aydhia Mirele Lucrezia itu. Matanya mulai
menutup, mengirimkan doa untuk gadis cantik yang hari ini
tepat empat tahun meninggalkannya.
“Selamat ulang tahun,” Ucap Galen setelahnya. Laki-laki itu
mengamati dalam-dalam Nisan yang terukir indah itu. “Gue
gak pernah bosen kalau harus bilang rindu sama lo. Karena
nyatanya, gue emang serindu itu sama lo.”

Galen menunduk, tidak. Dirinya benar-benar tidak bisa jika


harus berhadapan dengan situasi seperti sekarang ini. Galen
akan lemah jika mengunjungi peristirahatan Mirele. “Semua
orang hampa tanpa lo, El. Papi lo sakit, tapi untungnya Tante
Jovi sama Mawar gak pernah ngeluh ngewarat papi lo selama
ini. Tante Arina selalu nangis setiap ketemu gue, dia paling
kehilangan. Lo, El.”

“Gibran sama Ralin udah kuliah, mereka beda universitas.


Gibran sekarang lebih dingin sikapnya, Ralin juga pendiem.
Trus temen-temen gue juga rindu sama lo, apalagi Fazan.”

“Edo udah masuk SMA El, dia udah tinggi, anak-anak yang
lain juga, mereka semuanya pinter-pinter. Mereka gak pernah
absen setiap

Tahunnya bikin acara Amal atas nama lo.”


“Bara, temen lo itu selalu ngunjungin lo kesini. Pasti dia
banyak curhat sama lo. Setelah kehilangan Heros, dia juga
kehilangan lo.”

“Pak Yudhatama sekarang tinggal di Italia, El. Lo gak perlu pak


Yudhatama udah gak kerja berat lagi, dia udah pensiun.
Akhirnya dia bisa nerima Mawar dengan baik sesuai apa yang
lo harapkan.”

Galen memasang kacamata hitamnya, sebelum berdiri, Galen


mengelus untuk yang terakhir kalinya Nisan Mirele lagi.
Setelah itu dia beranjak berdiri, membawa langkahnya untuk
meninggalkan area pemakaman itu.

Galen berjalan hati-hati, sampai dimana tiba-tiba kakinya


ditabrak oleh tubuh kecil seseorang. Galen spontan
membantu gadis kecil itu berdiri. Galen berjongkok,
memeriksa keadaan gadis kecil berambut hitam panjang itu.
“Kamu gapapa?” Tanya Galen.

Gadis kecil itu memungut tangkai mawar merah miliknya


yang terjatuh akibat menabrak Galen. Setelah itu si gadis kecil
mendongak, memperhatikan wajah Galen. “Ga apa-apa.”
Galen masih memperhatikan wajah gadis itu. Poni gadis kecil
itu tersingkap, memperhatikan ada luka gores disana. Tapi
bukan itu yang membuat Galen lebih terpaku. Melainkan
wajah dan raut gadis itu yang membuatnya dejavu entah
kenapa.

Mawarnya patah,” Sesal gadis itu mencoba membuat tangkai


bunga mawarnya sempurna kembali.

“Bunganya tetap indah kok walau tangkainya patah,” Ucap


Galen. Galen tersenyum, mengambil alih setangkai bunga
mawar yang dibawa oleh gadis kecil itu.

“Yang terpenting itu bunganya, tangkainya ada duri, nanti


sakit kalau kena tangan kamu. Jadinya mending gini aja,”
Galen memberikan kembali bunga mawar milik gadis kecil itu
yang sudah dipatahkan bagian bawah tangkainya oleh Galen.
Menyisahkan hanya setengah tangkai saja.

“Iya juga ya.” Itu menerima bunga mawarnya senang hati.


“Terimakasih ya kakak.”
“Sama-sama.” Galen mengelus puncak kepala gadis itu
sebelum akhirnya si gadis kecil berjalan kembali darinya.

Galen kembali berdiri, hendak melangkah ke arah

Mobilnya lagi sebelum suara teriakan seseorang

Membuatnya menghentikan langkah.

“Mirele! Sayang, tungguin mama, jangan

“Mirele?” Galen berbalik, matanya kini berhenti di satu objek.


Dimana gadis kecil tadi tengah berjongkok di dekat pusara
Mirele dan meletakkan bunga mawarnya di atas pusara itu.

“Berapa kali mama bilang jangan bandel.”

Gadis kecil itu melirik mamanya. “Maafin Mirele mama,


soalnya Mirele udah kangen sama kakak EL”
Galen terpaku di tempat.

Mirele Hanashita, 18 March 2018

Anda mungkin juga menyukai