Anda di halaman 1dari 30

PEMERIKSAAN

AMBANG PENDENGARAN
(AUDIOMETRI)

PROGRAM STUDI SANITASI


PURWOKERTO
DIAGRAM TELINGA
GANGGUAN TELINGA DAN
SISTEM PENDENGARAN

 Tuli akibat bising.


 Tuli akibat cidera kepala.
 Tuli akibat intoksifikasi.
EFEK KEBISINGAN
Efek pemaparan bising yang secara langsung
adalah gangguan komunikasi, gangguan
konsentrasi, cepat marah, detak nadi
meningkat, dan kenaikan ambang
pendengaran yang sifatnya sementara.
EFEK KEBISINGAN

Efek tidak langsung dan biasanya tidak


dirasakan oleh para pekerja adalah
penurunan pendengaran secara perlahan-
lahan, berlangsung dalam waktu yang
cukup lama yang kemudian bersifat
irreversible sehingga menimbulkan tuli
tetap.
EFEK KEBISINGAN

Kerusakan organ pendengaran, mulai terjadi


sekitar 3 – 5 tahun setelah terpapar bising
keras terus menerus, terutama pada frekuensi
tinggi sekitar 4000 Hz.
EFEK KEBISINGAN
Dalam percakapan sehari-hari tidak banyak
didapatkan kebisingan dengan frekuensi
4000 Hz, sehingga penderita umumnya tidak
merasakan adanya gangguan pendengaran.
EFEK KEBISINGAN
Setelah 5 – 10 tahun, kerusakan organ pendengaran
meluas ke frekuensi percakapan yaitu 500, 1000,
2000 dan 4000 Hz, sehingga penderita mulai
merasakan adanya gangguan pendengaran.

Kerusakan pendengaran sudah menetap


ALAT PENGUKURAN
 Berbisik,

 Garpu Tala,
 Audiometer,

 Lembar data pemeriksaan.


AUDIOMETER
AUDIOMETER
CARA PEMERIKSAAN
 Sebelum pemeriksaan, probandus harus
terbebas dari paparan bising selama 16 jam,
agar didapatkan gambaran audiogram yang
dapat dipercaya.
 Pengenalan nada pada probandus. Probandus
diminta menekan tombol atau memberi isyarat
bila mendengar nada.
 Pemeriksaan pendengaran dilakukan berturut-
turut dari frekuensi 500, 1000, 2000, 4000,
6000 dan 8000 Hz.
CARA PEMERIKSAAN
 Pemeriksaan pada frekuensi 1000 Hz
didahulukan karena paling mudah untuk
menentukan nilai ambangnya.
 Pada tiap-tiap frekuensi diberikan intensitas
bunyi mulai 40 – 50 dB untuk probandus
normal, kemudian dinaikkan secara bertahap
dan diturunkan lagi hingga batas dimana
probandus terakhir masih bisa mendengar
nada yang diberikan.
CARA PEMERIKSAAN
 Pemeriksaan dilakukan pada telinga kanan
selanjutnya telinga kiri.
 Mencatat hasil pemeriksaan pada lembar data
yang tersedia.
 Untuk mengetahui gangguan pendengaran,
digunakan rumus perhitungan hantaran udara
pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz.
PENILAIAN TINGKAT
CACAT PENDENGARAN
Mengukur nilai ambang dengar
(Hearing Threshold Level)

Penentuan tingkat cacat pendengaran


mono-aural dan bi-aural
ANALISIS HASIL
PENGUKURAN
HASIL
KATAGORI
PENGUKURAN
< 25 Normal
26 – 40 Gangguan Ringan
41 – 55 Gangguan Sedang
56 – 70 Gangguan Agak Berat
71 – 90 Gangguan Berat
> 90 Gangguan Sangat Berat
TINGKAT PENDENGARAN
KONDISI GEJALA

Normal Tidak ada kesukaran


mendengar suara perlahan
< 25 dalam pembicaraan.
Tuli Ringan Terdapat kesukaran mendengar
pembicaraan dengan suara
26 - 40 perlahan.
Tuli Sedang Sering terdapat kesukaran
untuk mendengar pembicaraan
41 - 55 dengan suara biasa.
TINGKAT PENDENGARAN
KONDISI GEJALA
Kesukaran mendengar suara
Tuli Berat
pembicaraan kalau tidak
56 - 70 dengan suara keras.
Tuli Sangat Hanya dapat mendengar suara
Berat pembicaraan yang sangat
71 - 90 keras.
Tuli Total Sama sekali tidak dapat
> 90 mendengar.
DIAGNOSIS GANGGUAN
PENDENGARAN

Anamnesis

Pemeriksaan Fisik
ANAMNESIS :
 Umur penderita.
 Riwayat penyakit keluarga.
 Riwayat penyakit :
 Penyakit telinga yang diderita sebelumnya.
 Apakah ada trauma sebelumnya.
 Datangnya ketulian mendadak atau perlahan
 Riwayat pekerjaan :
 Apakah pernah / sedang bekerja ditempat bising.
 Apakah menggunakan pelindung telinga.
 Apakah ada pemeriksaan berkala.
PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum dan pemeriksaan THT.
 Pemeriksaan telinga bagian luar.
 Pemeriksaan keseimbangan.
 Pemeriksaan pendengaran secara kualitatif.
 Pemeriksaan laboratorium.
 Pemeriksaan penunjang : Audiometri.
PERHITUNGAN CACAT
PENDENGARAN
FREKUENSI KANAN KIRI

500 Hz 35 dB 40 dB
1000 Hz 40 dB 50 dB
2000 Hz 60 dB 64 dB

4000 Hz 65 dB 66 dB
Rata - Rata 50 dB 60 dB
PERHITUNGAN CACAT
MONO-AURAL USIA < 40 TH
 Rata-rata HTL dikurangi 25 dB.
 Telinga Kanan : 50 – 25 = 25 dB.
 Telinga Kiri : 60 – 25 = 35 dB

 Konversikan HTL rata-rata ke dalam


prosentase penurunan daya dengar, dengan
mengkalikan 1,5 %
 Telinga Kanan : 25 x 1,5 % = 37,5 %.
 Telinga Kiri : 35 x 1,5 % = 52,5 %
PERHITUNGAN CACAT
MONO-AURAL USIA 44 TH
 Rata-rata HTL dikurangi 25 – 2 (Presbiakusis)
 Telinga Kanan : 50 – 25 – 2 = 23 dB
 Telinga Kiri : 60 – 25 – 2 = 33 dB

 Konversikan HTL rata-rata ke dalam


prosentase penurunan daya dengar, dengan
mengkalikan 1,5 %
 Telinga Kanan : 23 x 1,5 % = 34.5 %.
 Telinga Kiri : 33 x 1,5 % = 49,5 %
PERHITUNGAN CACAT
BINAURAL USIA < 40 TH
 Konversikan penurunan pendengaran mono-aural
kedalam prosentase penurunan binaural
 Telinga Kanan : 37,5 % x 5 = 187,5 %.
 Telinga Kiri : 52,5 % x 1 = 52,5 %.
 Jumlahkan : 187,5 + 52,5 = 240,0 %.
 Jumlah dibagi enam : 240,0 / 6 = 40,0 %.
 Jadi nilai penurunan pendengan bi-aural = 40,0 %.

 Perhitungan cacat sesuai dengan ketentuan adalah :


40,0 x 40 % = 16,0 %
PERHITUNGAN CACAT
BINAURAL USIA 44 TH
 Konversikan penurunan pendengaran mono-aural
kedalam prosentase penurunan bi-aural
 Telinga Kanan : 34,5 % x 5 = 172,5 %.
 Telinga Kiri : 49,5 % x 1 = 49,5 %.
 Jumlahkan : 172,5 + 49,5 = 222,0 %.
 Jumlah dibagi enam : 222 / 6 = 37,0 %.
 Jadi nilai penurunan pendengan bi-aural = 37,0 %.

 Perhitungan cacat sesuai dengan ketentuan adalah :


37,0 x 40 % = 14,8 %

Anda mungkin juga menyukai