Anda di halaman 1dari 38

HUKUM PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAHAN BASAH

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H.M. HADIN MUHJAD, S.H., M.Hum.

TUGAS MAKALAH
PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAAN LAHAN BASAH
BERKELANJUTAN

Diajukan oleh :
RATNA KHAIRANI
NIM. 2342114320013

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN RISET DAN


TEKNOLOGI
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM DOKTOR HUKUM
BANJARMASIN
DESEMBER 2023

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan

manusia. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung

kehidupan secara langsung, seperti sumber air minum dan habitat beraneka

ragam mahluk, tapi juga memiliki berbagai fungsi ekologis seperti

pengendali banjir, pencegah intrusi air laut, erosi, pencemaran, dan

pengendali iklim global. Kawasan lahan basah juga akan sulit dipulihkan

kondisinya apabila tercemar, dan perlu bertahun-tahun untuk pemulihannya.

Dengan demikian, untuk melestarikan fungsi kawasan lahan basah sebagai

pengatur siklus air dan penyedia air permukaan maupun air tanah perlu

dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara

bijaksana dengan memperhatikan keseimbangan ekologis dan kepentingan

generasi sekarang dan mendatang.

Pengelolaan lahan basah secara lestari tidak hanya penting bagi

ekosistem setempat saja tapi juga bagi kepentingan nasional, regional dan

bahkan internasional; misalnya saja lahan gambut Indonesia yang memiliki

luasan 16 juta ha merupakan cadangan karbon terestrial yang penting dan

sangat berperan dalam mengendalikan iklim global. Jika diasumsikan bahwa

kedalaman rata-rata gambut di Indonesia adalah 5 m dan bobot isinya 114

1
kg/m3 maka cadangan karbon di lahan gambut Indonesia adalah sebesar 46

Gt.

Pemberdayaan lahan marginal seperti lahan basah untuk pertanian merupakan

bagian dari Pembangunan nasional. Pengertian lahan basah berdasarkan konvensi Ramsar

adalah daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan tetap atau sementara dengan

air tergenang atau mengalir baik tawar, payau, atau asin termasuk wilayah perairan laut

dengan kedalaman tidak lebih dari 6 m pada waktu surut.

Lahan basah memiliki karakter khusus yang identik dengan air. Oleh karena itu,

sistem penataan lahan dan penentuan jenis komoditas di lahan basah sangat bergantung

pada tipe lahan dan kondisi airnya.

Lahan basah menjadi sangat peka terhadap perubahan yang dilakukan manusia

karena lahan basah memiliki peran penting bagi kehidupan manusia dan margasatwa lain.

Fungsi lahan basah tidak hanya untuk sumber air minum dan habitat beraneka ragam

makhluk, tapi memiliki fungsi ekologis seperti pengendali banjir, pencegah intrusi air laut,

erosi, pencemaran, dan pengendali iklim global.

Lingkungan lahan basah meliputi Sebagian kecil dari permikaan buimi ini,

namun merupakan system yang sangat penting bagi alam dimasna kekayaan alamnya

sangat penting bagi kehidupan manusia. Lahan basah berfungsi sebagai sumber dan

pemurni air, pelindung Pantai dan penyimpanan karbon terbesar dan sangat penting bagi

pertanian dan perikanan.

Lahan basah merupakan daerah peralihan antara sistem perairan

dan daratan yang dijadikan sebagai salah satu habitat alami bagi satwa liar.

Habitat alami di Indonesia telah banyak mengalami perubahan salah


satunya lahan basah yang telah menjadi tipe habitat yang paling terancam

kelestariannya.

Pemanfaatan lahan basah harus direncanakan dan dirancang secara

cermat dengan asas tataguna lahan yang berperspektif jangka panjang.

Bentang-lahan (landscape) dari lahan basah jauh dari serbasama

(homogeneous) dalam hal hidrologi, tanah dan vegetasi. Hidrologi dan

tanah sangat rentan perubahan oleh usikan (disturbance), baik karena

peristiwa alam, maupun karena ulah manusia.

Pemanfaatannya harus memperhatikan tiga aspek lahan

basah yang menentukan nilainya, yaitu: fungsi, hasil, dan ciri khas. Sebab-

sebab yang dapat merusak lahan basah yang selanjutnya dapat

menghilangkannya, harus dapat dicegah.

B. Rumusan Masalah

Dari penjelasan yang di kemukan pada latar belakang diatas, maka

makalah ini dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengembangan Lahan lahan basah yang dilakukan di

Indonesia?

2. Apa dasar hukum yang mengatur dan melindungi pengelolaan lahan

basah di Indonesia?

3
C. Metode Penulisan

Hukum Lingkungan Lahan basah merupakan sebuah cabang dalam

disiplin ilmu hukum yang berkaitan dengan pengaturan hukum terhadap

kegiatan-kegiatan subyek hukum dalam pemanfaatan dan perlindungan

sumber daya alam.

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi kepustakaan

yakni menelaah bahan-bahan Pustaka dengan aturan perundang-

undanganyang mengatur lahan basah yang didukung dengan karya ilmiah,

jurnal dan hasil penelitian lainnya.

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang digunaskan

dalam penulisan ini, dianalisa secara dengan Teknik desritif analisis dimana

agar hasil Analisa menjadi komprehensif.


BAB II

DESKRIPSI TENTANG LAHAN BASAH

Konvensi Ramsar (Noord-van Haug, 1996, dalam Tim PLBT, 1999),

mengajukan sistem klasifikasi lahan basah yang kemudian diadopsi oleh

negara-negara peserta pada bulan Juli 1990. Sistem tersebut membagi lahan

basah menjadi tiga kelompok besar.

Definisi lahan basah yang diberikan oleh Konvensi Ramsar adalah

daerah rawa, lahan gambut, atau air, baik yang alami maupun yang buatan,

bersifat tetap atau sementara dengan air ladung atau mengalir, bersifat

tawar, payau, atau asin, termasuk daerah air marin yang dalamnya pada

waktu surut tidak lebih dari 6 (enam) meter.

Lahan basah alami mencakup estuari, yaitu bagian hilir sungai, atau

sungai pendek di daratan pantai, mangrove, jalur laut dangkal sepanjang

pantai, dataran banjir, delta, rawa, danau, lahan gambut, dan hutan rawa.

Lahan basah buatan manusia mencakup tambak, perkolaman ikan

pedalaman, sawah, lahan pertanian yang secara berkala terkena banjir,

jaringan saluran irigasi, dan waduk.

Walaupun pengertian lahan basah sangat luas, namun ada hal yang

menjadi pemersatu (common denominator), yaitu air adalah sebagai

pengendali watak dan perilaku lahan. Di Amerika Serikat, disamping air

menjadi faktor pengendali (wetland hydrology) untuk menggaris batasi (to

delineate) lahan basah, juga digunakan dua factor lain: tanah yang bercorak

5
hidrik, dan vegetasi yang bercorak hidrofitik. Sebenarnya, corak hidrik pada

tanah dan corak hidrofitik pada vegetasi adalah turunan corak hidrologi

lahan.

Menurut Soil Conservation Service USDA, tanah hidrik adalah tanah

yang terbentuk dibawah keadaan jenuh, banjir, atau tergenang yang berlangsung

cukup lama selama musim tumbuh sehingga menimbulkan keadaan anaerob

dibagian alas tan ah. Ciri-ciri pokok tanah hidrik adalah:

 hasil bentukan keadaan jenuh dan anaerobiosis;

 air tanah sangat dangkal yang menimbulkan keadaan air tergenang

(waterlogged); yaitu lahan basah pedalaman, lahan basah pantai dan

marin, serta lahan basah buatan manusia.

Definisi lahan basah yang diberikan oleh Konvensi Ramsar adalah

daerah rawa, lahan gambut, atau air, baik yang alami maupun yang buatan,

bersifat tetap atau sementara dengan air ladung atau mengalir, bersifat

tawar, payau, atau asin, termasuk daerah air marin yang dalamnya pada

waktu surut tidak lebih dari 6 (enam) meter.

Lahan basah alami mencakup estuari, yaitu bagian hilir sungai,

atau sungai pendek di daratan pantai, mangrove, jalur laut dangkal

sepanjang pantai, dataran banjir, delta, rawa, danau, lahan gambut, dan

hutan rawa.

Lahan basah buatan manusia mencakup tambak, perkolaman ikan

pedalaman, sawah, lahan pertanian yang secara berkala terkena banjir,

jaringan saluran irigasi, dan waduk.


Walaupun pengertian lahan basah sangat luas, namun ada

hal yang menjadi pemersatu (common denominator), yaitu air adalah

sebagai pengendali watak dan perilaku lahan. Di Amerika Serikat,

disamping air menjadi faktor pengendali (wetland hydrology) untuk

menggaris batasi (to delineate) lahan basah, juga digunakan dua faktor lain:

tanah yang bercorak hidrik, dan vegetasi yang bercorak hidrofitik.

Sebenarnya, corak hidrik pada tanah dan corak hidrofitik pada vegetasi

adalah turunan corak hidrologi lahan.

Terdapat banyak definisi yang dikembangkan untuk menyatakan lahan

basah sebagai sebuah kesatuan ekosistem. Definisi tersebut bisa dibuat oleh

pakar di bidang lahan basah untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, bisa

juga oleh para pembuat kebijakan untuk tujuan pengelolaan. Hampir setiap negara

maju bahkan memiliki definisi sendiri mengenai lahan basah menyesuaikan sistim

hukum dan kebiasaan pengelolaan yang berkembang di negara masing-masing.

Beberapa definisi yang dibuat oleh para penyusun kebijakan adalah :

a. Amerika Serikat, Clean Water Act no 404 (diamandemen 1977): “Wetlands

are areas that are inundated or saturated by surface or ground water at a

frequency and duration sufficient to support, and that under normal

circumstances do support, a prevalence of vegetation typically adapted for

life in saturated soil conditions. Wetlands generally include swamps, marshes,

bogs, and similar areas”. (EPA, 2002).

b. Kanada, National Wetlands Working Group (1988): “Wetland in the land that

saturated with water long enough to promote wetland or aquatic process as

7
indicated by poorly drained soil, hydrophytic, vegetation and various kinds of

biological activity which are adapted to a wet environment.”.

Sedangkan definisi lain yang dibuat oleh individu ahli lahan basah antara

lain: Hehanussa dan Haryani (2001): ”Daerah tanah basah sepanjang tahun atau

lembab yang jenuh air dalam kondisi normal, mampu mendukung kehidupan

tanaman hidrofilik” Beranekaragamnya definisi tersebut menunjukkan bahwa

lahan basah sangat kompleks dan dapat memiliki nilai dan fungsi yang sangat

berbeda tergantung pada sudut pandang setiap orang yang melihatnya. Dengan

sendirinya model pengelolaan lahan basah pun bisa menjadi sangat beragam.

Istilah ”lahan basah” sebagai terjemahan dari bahasa Inggris ”wetlands”

baru dikenal di Indonesia sekitar tahun 1990. Sebelumnya masyarakat Indonesia

menyebut kawasan lahan basah berdasarkan bentuk atau nama fisik masing-

masing tipe lahan basah seperti: rawa, danau, sawah, tambak, dan sungai.

Istilah standar yang digunakan untuk berkomunikasi secara internasional

diperkenalkan oleh sebuah lembaga internasional yaitu Biro Ramsar. Biro ini

mengorganisasi pelaksanaan Konvensi Lahan Basah yaitu sebuah perjanjian antar

pemerintah yang di adopsi pada tanggal 2 Februari 1971 di Kota Ramsar, Iran.

Konvensi ini biasa ditulis sebagai ”The Convention on Wetlands (Ramsar, Iran,

1971)”, tapi lebih dikenal sebagai Konvensi Ramsar. Konvensi ini adalah

perjanjian moderen pertama antar pemerintah dalam bidang konservasi dan

pemanfaatan yang bijaksana terhadap sumberdaya alam. Nama resmi konvensi ini

adalah – The Convention on Wetlands of International Importance especially as


Waterfowl Habitat yang menunjukkan bahwa awalnya konvensi ini ditujukan

untuk melindungi lahan basah yang menjadi habitat burung air.

Selama bertahun-tahun konvensi ini kemudian berkembang dan

meluaskan cakupan perhatiannya ke seluruh aspek lahan basah setelah disadari

bahwa lahan basah sebagai kumpulan ekosistem yang sangat penting bagi

konservasi keanekaragaman hayati secara umum, sekaligus penting untuk

kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, penyingkatan nama resmi tersebut

menjadi hanya “Konvensi Lahan Basah” atau ”Konvensi Ramsar” menjadi lebih

relevan karena burung air hanyalah bagian kecil dari isu yang diusung oleh

Konvensi Lahan Basah. Dewasa ini terdapat sejumlah 144 negara yang telah

menandatangani Konvensi Ramsar.

Istilah lahan basah resmi yang digunakan di Indonesia tercantum dalam

Keppres mengenai ratifikasi Konvensi Ramsar. Definisi tersebut adalah: “Daerah-

daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air

yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan

laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut.” Lahan

basah ”dapat pula mencakup daerah riparian, wilayah pesisir di sekitar lahan

basah, dan pulau-pulau atau laut yang kedalamannya lebih dari enam meter pada

surut terendah tetapi terletak di tengah lahan basah.

Beberapa produk kebijakan dan institusi yang bergerak dalam isu lahan

basah sebagai kesatuan ekosistem masih belum menggunakan istilah/definisi

lahan basah sebagai mana mestinya. Meski demikian definisi yang paling luas

9
digunakan terutama jika menyangkut kerjasama internasional adalah definisi

Konvensi Ramsar.

Salah satu bagian dari lahan basah menurut definisi Konvensi Ramsar

adalah lahan basah pesisir dan laut (marine/coastal wetlands) yang terdiri dari 12

jenis. Keduabelas jenis tersebut dapat ditemukan di Indonesia antara lain dataran

lumpur atau pasir, terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan laguna.

Beberapa produk kebijakan dan kajian ilmiah mengenai lahan basah pesisir

memberi batasan yang lebih luas yaitu mencakup semua jenis lahan basah yang

terletak dipesisir, termasuk rawa gambut pesisir. Istilah lahan basah pesisir juga

digunakan dalam menjelaskan rawa gambut dan rawa air tawar disepanjang

pesisir timur Sumatera dan Pesisir Kalimantan oleh Hisao Furukawa yang menulis

buku mengenai “Coastal Wetlands of Indonesia” yang diterbitkan pada tahun

1994.
BAB III

PENGEMBANGAN LAHAN LAHAN BASAH YANG DILAKUKAN

DI INDONESIA

Usaha untuk mengembangkan lahan basah untuk budidaya padi

sawah (lowland rice) bukanlah hal baru bagi Indonesia. Sekitar seratus tahun yang

lalu, lahan basah di pantai Sumatera dan Kalimantan secara spontan telah dibuka

dan ditempati oleh keluarga Bugis (Sulawesi Selatan), Banjar (Kalimantan

Selatan), dan Melayu (Riau, Sumatera Timur). Mereka memanfaatkan gerak

pasang surut sebagai alat penggelontor (flushing) dan pencuci yang efektif

untuk membuang air asam dan meng-gantinya dengan kualitas air yang lebih

baik dalam hal pH dan kandungan hara.

Keberhasilan keluarga Banjar membuat apa yang dinamakan sawah

bayar telah menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian

membantu membuat fasilitas pemasukan gerakan air pasang surut dengan

membuat kanal yang menghubungkan sungai-sungai besar memotong dataran

delta. Kanai ini juga berfungsi sebagai sarana transportasi air untuk

meningkatkan aksesibilitas daerah tersebut. Kanal pertama yang Keberhasilan

keluarga Banjar membuat apa yang dinamakan sawah bayar telah menarik

perhatian pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian membantu membuat

11
fasilitas pemasukan gerakan air pasang surut dengan membuat kanal yang

menghubungkan sungai-sungai besar memotong dataran delta. Kanai ini juga

berfungsi sebagai sarana transportasi air untuk meningkatkan aksesibilitas

daerah tersebut. Kanal pertama yang dibangun adalah Anjir Serapat yang

diselesaikan tahun 1890, dan menghubungkan Sungai Kapuas dan Sungai Barito

sepanjang 28 kilometer. Kanai tersebut kemudian diperdalam dan diperlebar

pada tahun 1935.

Kekurangan pangan beras yang dihadapi negara setelah Perang

Dunia telah mendorong Pemerintah Hindia Belanda mempelajari tentang

bagaimana sawah bayar dan irigasi pasang surut tradisional dapat berhasil,

serta bagaimana persyaratan tanahnya.

Pada sekitar tahun 1960-1970, Indonesia sekali lagi menghadapi

kekurangan bahan pangan beras yang lebih serius, yang kemudian menjadikan

Indonesia negara pengimpor beras terbesar di dunia. Berbagai program

intensifikasi sawah di Pulau Jawa kurang berhasil karena terbatasnya

ketersediaan lahan dengan fasilitas irigasi yang memadai. Sekali lagi, rawa

pasang surut menjadi salah satu penyelesaian yang terlihat.

Usaha pengembangan yang dilakukan kedua pemerintah dalam era

yang berbeda (kolonial dan republik) adalah sepenuhnya dalam situasi politik

yang berbeda, tetapi ada tiga kesamaannya, yaitu:

 tindakan dilakukan dalam usaha mengatasi kekurangan pangan beras;

 pemecahan masalah mengikuti contoh sistem tradisional;


 tujuannya adalah pengembangan regional dengan kombinasi usaha

peningkatan hasil pertanian dan penyebaran penduduk.

Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah komponen fisik, hayati, dan

kimia berupa tanah, air, spesies tumbuhan dan hewan serta hara. Proses-proses

di antara dan di dalam komponen-komponen tersebut memungkinkan lahan

basah menjalankan fungsi-fungsi serta membangkitkan hasil, disamping

adanya ciri-ciri berharga pada skala ekosistem.

Fungsi-fungsi yang dimaksud antara lain: pengendalian banjir dan

erosi, mengrsr dan melepas kembali air tanah, pengukuhan garis tepi laut,

penambatan sedimen. bahan beracun dan hara, penahan angin, pengukuhan

iklim mikro, transportasi air, rekreasi dan pariwisata. Hasil yang dapat

dibangkitkan antara lain: sumberdaya margasatwa dan perikanan, sumberdaya

hutan, hijauan pakan ternak, dan sumberdaya pertanian, serta pasokan air.

Gabungan fungsi, hasil, dan ciri ekosistem tersebut membuat lahan

basah penting bagi masyarakat. Program komprehensif konservasi lahan basah

berdasarkan analisis ekologi, sosial, dan ekonomi yang handal akan membuat

orang perlu memilih di antara sederet pilihan sulit.

Menurut Konvensi Ramsar , suatu lahan basah harus dinilai penting

secara internasional, dan karena itu perlu dijaga kelestariannya dengan cara

konservasi dan penggunaan yang arif. Hal ini dapat dilakukan apabila

memenuhi setidaknya satu kriterium dalam salah satu dari tiga kelompok

indikator berikut:

1) Lahan basah representatif menu rut kekhasannya.

13
- Representatif sangat bagus bagi suatu lahan basah alami, atau

hampir alami yang mencirikan suatu kawasan biogeografi tertentu.

atau merupakan ciri umum lebih daripada satu kawasan biogeografi;

atau

- Representatif suatu lahan basah yang memainkan peranan

penting dalam fungsi alami suatu daerah aliran sungai utama, atau

suatu sistem pantat utama; atau

- Merupakan suatu lahan basah yang langka atau bercorak tidak biasa

dalam kawasan biogeografi bersangkutan.

2) Lahan basah untuk Tumbuhan atau Hewan

- menopang kehidupan kumpulan nyata spesies tumbuhan atau hewan.

atau individu-individu spesies tersebut. yang langka, mudah mati

(vulnerable), atau hampir punah (endangered); atau

- terutama penting untuk mem elihara keanekaragaman genetik dan

ekologi flora dan fauna suatu kawasan; atau

- bernilai khusus selaku habitat tumbuhan atau hewan pada tahap penting

(critical stage) dalam daur hayati mereka; atau

- bernilai khusus bagi satu atau lebih spesies, atau masyarakat

tumbuhan atau hewan endemik.

3) Lahan Basah untuk Unggas Air

- berpopulasi lebih dari 20.000 ekor; Atau mempunyai individu

berjumlah cukup banyak dari kelompok-kelompok khusus unggas

air; atau
- mempunyai satu persen dari jumlah individu dalam suatu populasi

dari suatu spesies, atau subspesies unggas air.

Hidrotopografi atau klasifikasi lahan basah merupakan cara tepat

untuk mengelompokkan lahan basah atau rawa sehubungan dengan

pengelolaan air serta penentuan tata-letak (layout) jaringan saluran beserta

dimensinya. Klasifikasi lahan rawa sehubungan dengan kondisi

hidrotopografi adalah:

- Lahan Kategori A: lahan dapat diairi melalui air pasang, baik pasang

maksimum (spring tide) maupun pasang minimum (neap tide), pada

MK atau pada MH;

- Lahan Kategori B: lahan dapat diairi selama pasang tinggi saja, dan

berlangsung antara 6 sampai 8 bulan dalam setahun;

- Lahan Kategori C: lahan tidak dapat diairi secara teratur melalui air

pasang, tetapi air tanah dapat dikendalikan pada kondisi muka

tanah, atau paling tidak mencapai zona perakaran tanaman setahun;

- Lahan Kategori D: lahan tidak dapat diairi melalui air pasang, dan air

tanah sering berada jauh dari zona perakaran tanaman setahun (> 70

cm.dibawah permukaan tanah).

Untuk pengembangannya, diperlukan adanya perencanaan yang

baik, dan dalam pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan lahannya

mempertimbangkan tipologi lahan dan tipe luapannya berdasar

hidrotopografinya.

15
Dengan demikian dapat dicapai suatu sistem usaha pertanian (SUP)

yang berkelanjutan (sustainable), serta secara ekonomi memungkinkan

(economically feasible), dapat diterima masyarakat (socially acceptable),

dan aman dalam segi lingkungan (environmentally safe).

Lahan basah diberbagai kawasan telah hilang atau rusak karena

pengusikan proses-proses alami oleh tindakan manusia berupa intensifikasi

pertanian, penggundulan tanah, urbanisasi, pencemaran, pembangunan

bendungan pengalihan air berskala nasional, dan bentuk-bentuk campur tangan

lain terhadap sistem ekologi dan hidrologi. Di negara-negara sedang

berkembang, penghilangan lahan basah juga menimbulkan dampak berat atas

masyarakat setempat yang hidupnya tergantung pada sumberdaya tersebut.

Perilaku yang tidak efisien merupakan konsekuensi berbagai faktor,

termasuk perencanaan yang tidak memadai serta kebijakan yang tidak

konsisten dan lembaga serta alat pengelolaan yang tidak memadai. Faktor-

faktor tersebut dimunculkan oleh pemahaman yang dangkal tentang nilai

lahan basah dengan akibat mengesampingkan nilai-nilai tersebut dari hitungan

ekonomi yang menentukan keputusan mengenai nasib lahan basah.

Kesalahan antara lain terletak pada pemilihan pendekatan (approach)

yang reaktif, suatu penyusunan tindakan dengan rencana yang dibangkitkan

sewaktu dirasakan ada suatu persoalan. Dalam pendekatan reaktif, terjadi

disparitas antara keadaan yang diinginkan dengan keadaan aktual yang

dihadapi. Dalam hal ini, penyelesaian persoalan adalah seperangkat tindakan yang

menurut pengalaman, teori, atau sudut pandang dapat disarankan sebagai suatu
jalan yang layak untuk mengubah keadaan aktual menjadi keadaan yang

diinginkan.

Dalam hal PPLG, keadaan aktual adalah lahan basah liar yang dianggap

tidak memberikan manfaat apa-apa, sedang keadaan yang diinginkan adalah lahan

berproduktivitas padi tinggi. Pada asasnya, ciri reaktif proses perencanaan

menyodorkan pilihan terbatas, yang memperkuat kecenderungan konservatisme

dalam perencanaan, dan cenderung menjadi tidak inovatif. lnovasi dapat

muncul tanpa sengaja lewat tata kerja coba-coba (trial and error). Cara ini

mempunyai kelemahan lain, yaitu tidak efisien dan tidak berperspektif jangka

panjang.

Suatu alternatif pendekatan lain adalah pendekatan optimasi berciri

inisiatif. Fokus upaya adalah tujuan yang akan dicapai, dan bukan keadaan pada

waktu sekarang. Keadaan sekarang harus dianggap sebagai dukungan dan

mekanisme yang akan digunakan untuk menciptakan keadaan yang baru yang

ingin dicapai.

Dengan pendekatan ini, perencanaan akan didasarkan kepada

pertimbangan berbagai pilihan penyelesaian potensial yang mungkin

berperspektif jangka panjang, dan bukan karena tekanan kebutuhan sesaat.

Bagi upaya pengembangan lahan basah yang pada dasarnya rapuh

karena sangat rentan usikan, maka pendekatan optimasi akan dapat

menampung ketiga aspek pokok lahan basah, yaitu fungsi, hasil, dan ciri

khas serta lebih dapat menjamin keselamatan dan kelestarian lahan basah

sebagai suatu sumberdaya.

17
Pengendalian muka air tanah perlu perlu mendapat perhatian dalam

rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan usaha pertanian.

Pada umumnya, setelah lahan basah menjadi terbuka permasalahan yang

sering muncul adalah adanya renggang fluktuasi muka air tanah yang cukup

tinggi. Masalah kelebihan dan kekurangan air biasanya muncul secara

berulang, yang kedua-duanya dapat mendatangkan kerugian bagi usaha tani

dan menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan, yang akhirnya secara

Jangka panjang menjadikan usaha tani itu tidak layak lagi.

Pengaturan muka air tanah kelihatannya tidak mudah dilakukan

dengan hanya mengandalkan sistem buka-tutup pintu air yang selama ini

banyak dipakai. Muka air tanah begitu berfluktuasi yang dalam banyak

kasus dipengaruhi langsung oleh pasang surut, hujan dan kondisi iklim mikro

disamping kebutuhan evapotranspirasi bervariatif dengan jenis tanaman dan

waktu.

Oleh karena itu, penggunaan pompa air menjadi satu alternatif

yang mulai banyak dipakai oleh petani di beberapa lokasi pertanian

lahan basah. Dengan demikian, petani dengan mudah dapat mengatur kondisi

air di lahan dan menyesuaikannya dengan kebutuhan tanaman. Bila pada

satu musim terjadi kecenderungan akan adanya kelebihan air, mereka akan

mengatur agar pada saatnya dapat mengeluarkan air dari lahannya ke saluran

air yang ada di sekitarnya.


Demikian pula sebaliknya, bila terjadi kekurangan air di

lahan, mereka tinggal membalik pompa tersebut menjadi pompa irigasi, yaitu

dengan memompa air dari saluran ke lahan pertaniannya.

Demikian pula, kemampuannya dalarn menentukan jumlah air

yang dibutuhkan tanaman dan untuk menjaga keseimbangan air. Tetapi

mengingat fluktuasi muka air tanah yang sangat bervariatif dari waktu

ke waktu, pengoperasian pompa secara manual ini sangat tidak efektif dan

cenderung berlebihan.

Berdasarkan data tersebut di atas, maka strategi dalam perencanaan dan

pengembangan kawasan PLG ada beberapa aspek yang harus diperhatikan yaitu :

1) perlu adanya tata ruang kawasan pengembangan,

2) gambut dengan ketebalan > 3 m diperuntukan untuk Kawasan lindung atau

konservasi,

3) lahan gambut yang ketebalan < 3 m untuk kawasan budidaya seperti

pertanian, perikanan, perkebunan, dan kehutanan (HTI), dan 4) wilayah yang

dilindungi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati.

Bila kebijakan pemanfaatan lahan ini dilakukan maka akan memudahkan

dalam melaksanakan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan tersebut. Tata ruang

kawasan pengembangan diperlukan dalam rangka memayungi semua kegiatan

pengembangan di kawasan tersebut dengan mempertimbangkan berbagai kajian

yang secara nyata dapat mempengaruhi pola pemanfaatan ruang kawasan.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan adalah:

19
1. Kondisi fisik kawasan, meliputi penggunaan lahan eksisting, kesesuaian lahan

dan usulan pemanfaatan lahan, ketersediaan lahan, serta kendala-kendala

pemanfaatan lahan, dan konservasi lingkungan

2. Sistem tata air yang dikembangkan, terutama dalam kaitannya dengan

struktur jaringan transportasi yang terkait dengan system pusat pelayanan dan

pusat pengembangan awasan.

3. Analisis pengembangan ekonomi wilayah, yang meliputi: identifikasi prospek

pengembangan ekonomi dalam rangka pemanfaatan produksi dari kegiatan

budidaya yang dikembangkan, perkiraan peningkatan volume aktivitas

ekonomi, dan identifikasi pusa-tpusat pelayanan berdasarkan analisis

keterkaitan.

4. Masukan dari daerah, meliputi arahan pembangunan daerah dan perhatian

terhadap kearifan lokal (sosial budaya Masyarakat setempat).

Dalam penataan ruang kawasan eks PLG ini harus dipertimbangkan

mengenai wilayah fungsional ekosistem gambut, karena Kawasan gambut

merupakan hamparan yang dapat berfungsi menampung, menyimpan, dan

menahan air tawar yang akan dialirkan ke wilayah sekitarnya. Selain sebagai

penampung (reservoir) air tawar, juga ekosistem gambut sangat berperan dalam

menyimpan karbon (carbon sink), dan rosot karbon (carbon sequestration), yang

sangat besar sehingga berperan dalam pengendali iklim global.

Maka berdasarkan strategi pengembangan dan perundangan yang berlaku

kawasan PLG ini harus dibagi menjadi dua kawasan yang berbeda fungsi, yaitu

kawasan konservasi/lindung, dan kawasan budidaya.


Kawasan konsevasi/lindung Pengelolaan kawasan lindung di Kawasan

eks PLG bertujuan untuk menjaga tata air. Selain itu, lahan gambut mempunyai

ciri ekosistem alam yang sangat spesifik dan khas, sehingga perlu dilakukan

tindakan konservasi dan perlindungan.

Beberapa kawasan hutan lindung yang akan dikembangkan di kawsan

PLG adalah: konservasi hutan alam gambut, konservasi satwa, konservasi

mangrove, konservasi gambut tebal, konservasi tata air/hidrologi, dan konservasi

ekosistem unik. Wilayah konservasi ini selain lahan gambut tebal > 3 m, juga

menyangkut kawasan di luar itu yang ada keunikannya yang harus dilindungi dan

dikonservasi.

Kawasan budidaya Pengembangan kawasan budidaya bertujuan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan mewujudkan keseimbangan

pertumbuhan antar wilayah dengan tetap memperhatikan keseimbangan

lingkungan dalam memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada. Budidaya di

kawasan eks PLG lebih ditekankan untuk pengembangan kegiatan produksi sesuai

dengan potensi sumberdaya lokal yang tersedia, didukung oleh Kawasan

pemukiman dengan sarana dan prasarana penunjangnya. Faktor kesesuaian lahan

menjadi kriteria utama untuk mendelineasi Kawasan budidaya.

Dalam pengembangan wilayah budidaya ini diarahkan untuk

pengembangan sistem usahatani agribisnis berbasis sumberdaya alam/lahan

berdasarkan pendekatan agroekosistem wilayah dengan dukungan inovasi

teknologi dan kelembagaan. Dengan sasaran peningkatan produktivitas, efisiensi

produksi atau nilai tambah produk, dan berkelanjutan sistem produksi, sehingga

21
akan terjadi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, serta adanya

perbaikan dan kelestarian sumberdaya alam pertanian dan lingkungan.

Hutan rawa gambut merupakan istilah yang terbentuk dari tiga kata yaitu

hutan, rawa dan gambut. Hingga saat ini, pengertian yang baku tentang Hutan

Rawa Gambut (HRG) masih belum disepakati. Namum demikian definisinya

setidaknya harus mencakup aspek tutupan lahan (mewakili ”hutan”), substrat

(mewakili ”gambut” atau sebagai ‘lahan’) dan hydrologi (mewakili ”rawa”).

Hutan rawa gambut di Indonesia mempunyai penyebaran pada lahan

rawa, yaitu lahan yang menempati posisi peralihan di antara ekosistem daratan

dan ekosistem perairan. Sepanjang tahun atau dalam jangka waktu yang panjang

dalam setahun, lahan ini selalu jenuh air (waterlogged) atau tergenang air.

Lahan/tanah gambut umumnya menempati cekungan, depresi, atau bagian- bagian

terendah di pelembahan, dan penyebarannya terdapat di dataran rendah sampai

dataran tinggi. Di Indonesia, keberadaan lahan gambut paling banyak dijumpai

pada lahan rawa dataran rendah di sepanjang pantai. Hamparan lahan gambut

yang sangat luas, umumnya menempati depresi-depresi yang terdapat di antara

aliran sungai–sungai besar di dekat muara, dimana gerakan naik turunnya air

tanah dipengaruhi pasang surut harian air laut. Pola penyebaran dataran dan kubah

(dome) gambut adalah terbentang pada cekungan luas di antara sungai-sungai

besar, dari dataran pantai ke arah hulu sungai.

Integrasi dari ketiga faktor/aspek pembentuk hutan-rawa-gambut ini

membentuk suatu ekositem yang memiliki sifat dan karakterstik yang khas antara

lain bersifat asam (PH rendah = 3-5), bulk denisty rendah (< 0.2 gr/cm3), porositas
tinggi (80-95%) dan daya simpan air yang besar (450-850%). Tingginya

kandungan bahan organik membuat air yang ada di hutan rawa gambut berwarna

hitam. Karena itulah, seringkali hutan rawa gambut lebih sering dikenal sebagai

ekosistem air hitam.

Hutan rawa gambut merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai

fungsi hidro-orologi dan fungsi lingkungan lain yang penting bagi kehidupan dan

penghidupan manusia serta mahluk hidup lainnya. Lebih jauh lagi, hutan rawa

gambut memiliki peran yang sangat vital dalam Pengurangan Resiko Bencana

terutama dalam hal :

1) Pengaturan banjir, pemasok air tawar dan mencegah intrusi air laut. Lahan

gambut berfungsi sebagai daerah penangkap air yang berlimpah pada saat

hujan dan kemudian melepaskannya secara perlahan pada saat musim

kemarau. Kondisi demikian disebabkan karena gambut memiliki porositas

yang tinggi sehingga mempunyai daya menyerap air yang sangat besar.

Apabila jenuh, gambut saprik, hemik dan fibrik masing-masing dapat

menampung air sebesar 450%, 450 – 850%, dan lebih dari 850% dari bobot

keringnya atau hingga 90% dari volumenya. Karena sifatnya itu, gambut

memiliki kemampuan sebagai penambat (reservoir) air tawar yang cukup

besar sehingga dapat menahan banjir saat musim hujan dan sebaliknya

melepaskan air tersebut pada musim kemarau sehingga dapat mencegah

intrusi air laut ke darat.

2) Sekuestrasi dan penyimpan karbon. Lahan gambut dapat menyimpan dan

secara aktif mengakumulasikan karbon dalam jumlah yang sangat besar.

23
Kerusakan lahan gambut yang diakibatkan oleh pengeringan dan pembakaran

menyebabkan emisi karbon dioksida dalam jumlah yang sangat besar ke

atmosfer dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perubahan iklim

global. Menurut perhitungan Matby dan Immirizi (1993) dalam Daniel

Murdiyarso dan Suryadiputra (2004), kandungan karbon yang terdapat dalam

gambut di dunia sebesar 329-525 Gt atau 35% dari total C dunia. Sedangkan

gambut di Indonesia memiliki cadangan karbon sekitar 46 GT (catatan 1 GT

sama dengan 109 ton) atau 8-14% dari karbon yang terdapat dalam gambut di

dunia. Dengan demikian, gambut memiliki peran yang cukup besar sebagai

penjaga iklim global. Apabila gambut tersebut terbakar atau mengalami

kerusakan, materi ini akan mengeluarkan gas rumah kaca terutama CO 2, N2O,

atau CH4 ke udara dan siap menimbulkan bencana melalui berubahnya iklim

dunia. Jika hal ini terjadi, kita harus siap-siap menanggung dan merasakan

dampaknya.

Daerah Aliran Sungai merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh batas

alam, seperti punggung- punggung bukit atau gunung, maupun batas buatan,

seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut

memberi kontribusi aliran ke titik control (outlet). Di dalam suatu DAS dapat

dijumpai berbagai jenis lahan basah alami (misal anak-anak sungai, danau, rawa)

yang secara sederhana (berdasarkan letak/posisinya) dapat diklasifikasikan

menjadi tiga yaitu daerah hulu, tengah dan hilir. Pada umumnya, DAS bagian

hulu dicadangkan sebagai daerah konservasi, sementara DAS bagian hilir sering

di arahkan untuk kegiatan-kegiatan pemanfaatan. Komponen- komponen DAS


yang berupa vegetasi, tanah dan saluran/sungai dalam hal ini bertindak sebagai

prosesor (Suripin, 2002).

DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi

perlindungan terhadap fungsi tanah dan tata air (hydro-orologis). Setiap terjadinya

kegiatan di daerah hulu akan selalu menimbulkan dampak di daerah hilir. Dampak

ini bisa dalam bentuk fluktuasi debit dan tranfer sedimen serta material terlarut

dalam sistem aliran airnya. Atas dasar inilah maka pegelolaan DAS hulu

seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan

hilir memiliki keterkaitan biofisik melalui alur hydrologi (Irwanto, 2006). Sebagai

suatu sistem perairan terpadu, Daerah Aliran Sungai memiliki peran dan fungsi

yang sangat penting baik sebagai penyeimbang, pengendali sekaligus pengatur air.

Melalui fungsi-fungsi inilah maka keseimbangan alam dapat berlangsung

sehingga mampu menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Sebagai gambaran, apabila tutupan vegetasi di daerah hulu masih baik maka

kelebihan air yang berasal dari air hujan akan dapat terserap secara optimal oleh

tanah dan tumbuhan. Melalui mekanisme ini maka bencana banjir di hilir dapat

terhindar. Namun bila hutan di hulu telah gundul, maka setiap terjadi hujan akan

berpotensi menimbulkan bencana banjir, banjir bandang maupun tanah longsor.

Selain itu, kerusakan hutan (juga aktivitas manusia lainnya) dapat menyebabkan

erosi, pencemaran dan pendangkalan sungai yang akhirnya akan merusak

keberadaan sungai.

25
BAB IV

DASAR HUKUM YANG MENGATUR DAN MELINDUNGI

PENGELOLAAN LAHAN BASAH DI INDONESIA

Pengelolaan kawasan lahan basah Indonesia yang sangat luas dan

kompleks dengan berbagai karakteristik ekologis, sosial, dan ekonomisnya tidak

bisa dilakukan oleh pemerintah saja. Untuk itu dibutuhkan peranan masyarakat

untuk bersama-sama dengan pemerintah mewujudkan pengelolaan yang arif dan

berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat. Istilah peranan masyarakat sendiri

belum memiliki definisi yang jelas dan disebutkan dalam banyak istilah yang
berbeda. Meski demikian, secara umum partisipasi masyarakat merupakan salah

satu prasyarat dalam pengembangan pengelolaan yang bersifat partisipatif untuk

mencapai pemanfaatan lahan basah yang berkelanjutan.

Peranan masyarakat (dalam arti luas: masyarakat lokal, masyarakat adat,

akademisi, swasta) menjadi keharusan terutama jika:

(1) akses terhadap sumberdaya dalam lahan basah adalah hal yang penting bagi

mata pencaharian masyarakat lokal, keamanan, dan warisan budaya;

(2) para pemangku kepentingan sudah sejak lama menerapkan tradisi berkaitan

dengan lahan basah;

(3) kebijakan sebelumnya gagal dalam mengelola lahan basah sehingga muncul

ketidakharmonisan diantara pemangku kepentingan;

(4) masyarakat menunjukkan minat yang kuat dalam upaya pengelolaan secara

terpadu.

Interaksi yang terbentuk lama antara masyarakat dengan lahan basah

disekelilingnya membentuk kehidupan sosial dan budaya yang unik dan menjadi

identitas penting masyarakat. Hal tersebut antara lain ditunjukkan dalam bentuk

cerita rakyat, musik, mitos, pakaian, dan kearifan lokal mengenai cara-cara

pengelolaan lahan basah secara tradisonal. Di berbagai daerah, pengetahuan ini

terbukti memberikan manfaat yang besar bagi upaya konservasi lahan basah sejak

ratusan tahun yang lalu, dan masih terus berlanjut hingga kini. Dengan demikian,

upaya pengelolaan lahan basah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial dan

warisan budaya masyarakat lokal. Untuk itu, peran masyakarakat sangat

27
diperlukan dalam proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan

lahan basah.

Upaya-upaya pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat sangat

gencar disuarakan oleh LSM. Hal ini menyebabkan kegiatan pengelolaan

sumberdaya alam secara partisipatif telah dikenal dan perlahan-lahan mulai

dilaksanakan oleh berbagai institusi pemerintah. Berbagai kegiatan percontohan

(pilot project) yang menempatkan masyarakat lokal sebagai salah satu pemangku

kepentingan utama juga terbukti lebih efektif dan arif dalam kegiatan pengelolaan

sumberdaya alam.

Komunitas masyarakat yang sadar akan pentingnya suatu kawasan lahan

basah (khususnya bagi kehidupan manusia), serta mempunyai kemauan dan

kemampuan untuk memanfaatkan lahan basah secara bijaksana, akan memelihara

keberadaan lahan basah dengan berbagai fungsi dan nilai pentingnya.

Berdasarkan pada prinsip ini maka lahan basah dapat terjaga dengan sendirinya

oleh komunitas masyarakat.

Pengalaman menunjukkan bahwa pengelolaan lahan basah yang

melibatkan berbagai pemangku kepentingan – khususnya masyarakat lokal – lebih

memberikan kepastian keberlanjutan pengelolaan dibandingkan kegiatan serupa

yang dilakukan tanpa peran aktif masyarakat lokal. Peran aktif masyarakat dalam

pengelolaan lahan basah harus dimulai sejak identifikasi isu pengelolaan,

penentuan alternatif pengelolaan isu lahan basah, implementasi rencana kegiatan,

hingga monitoring dan evaluasi efektifitas pengelolaan berdasarkan kriteria yang

disepakati.
Pengelolaan lahan basah secara arif dan berkelanjutan memerlukan

pendekatan dari berbagai aspek, termasuk aspek hukum. Selama ini, produk

hukum langsung atau tidak langsung cukup efektif untuk mendorong pengelolaan

lahan basah secara arif dan berkelanjutan. Meski demikian, disisi lain, produk

hukum bisa juga menjadi kontra produktif dan berkontribusi terhadap legalitas

perusakan lahan basah itu sendiri.

Produk hukum yang berlaku di Indonesia dikeluarkan oleh berbagai

hierarki pemerintahan dan departemen sektoral. Disamping itu, terdapat produk

hukum lain yang di jalankan secara turun-temurun oleh masyarakat tertentu

(hukum adat) untuk mengelola sumberdaya alam disekitarnya.

Konservasi, rehabilitasi, dan pemanfaatan secara bijaksana (wise use)

sangat penting untuk tercapainya pengelolaan dan pemanfaatan lahan basah secara

berkelanjutan. Konservasi yang dimaksud meliputi kegiatan perlindungan,

pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari untuk memelihara keberlanjutan

fungsi lingkungan sebagai penyangga kehidupan dan keanekaragaman hayatinya.

Rehabilitasi dilakukan untuk memperbaiki dan mengembalikan fungsi

lahan basah yang mengalami kerusakan. Karena sifat-sifat lahan basah yang khas,

rehabilitasi akan membutuhkan persiapan-persiapan yang matang, masa

pelaksanaan sangat panjang, dan biaya yang tinggi.

Pemanfaatan yang bijaksana adalah pemanfaatan lahan basah secara

berkelanjutan untuk umat manusia dengan tetap mempertahankan kekayaan alami

ekosistem. Sedangkan, pemanfaatan yang berkelanjutan adalah cara manusia

memanfaatkan suatu sumberdaya sehingga diperoleh manfaat yang sebesar-

29
besarnya untuk generasi kini sambil memelihara berbagai potensinya untuk

generasi mendatang.

Kekayaan alami suatu ekosistem adalah komponen fisika, kimia, dan

biologi seperti tanah, air, tanaman, hewan, nutrien, dan interaksi diantaranya.

Pemanfaatan yang bijaksana akan menunjang pembangunan yang berkelanjutan

dan senantiasa memperhatikan keseimbangan antara eksploitasi dan kelestarian

dari suatu sumberdaya alam yang merupakan bahan baku dalam pembangunan itu

sendiri.

Negara telah mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lahan

gambut di Indonesia. Beberapa peraturan tersebut memang tidak secara gamblang

memuat kata ‘gambut’, ‘ekosistem gambut’, maupun ‘lahan gambut’.

Selain itu, tidak semua peraturan tersebut juga akan berkaitan secara

langsung. Meski demikian, setiap peraturan dan undang-undang tersebut memiliki

implikasi secara tidak langsung terhadap lahan gambut di Indonesia.

Undang-Undang

Pada tingkatan Undang-undang, setidaknya ada 5 Undang-undang

yang mengatur tentang pengelolaan lahan gambut, antara lain:

 Undang-undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya

 Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan

 Undang-undang No.39 tahun 2014 tentang Perkebunan

 Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang


 Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

UU No.5 di atas akan mengatur tentang gambut yang berada pada

wilayah konservasi. Sedangkan UU No. 41 mengatur tentang gambut di kawasan

hutan dan UU No. 39 mengatur tentang gambut untuk sektor perkebunan.

Kemudian, UU No. 26 menyangkut tentang kesatuan hidrologi gambut dan

kesesuaiannya dengan tata ruang. Sedangkan UU No. 32 menjadi aturan penting

yang memayungi ekosistem gambut.

Peraturan Pemerintah

Pada tingkatan Peraturan Pemerintah, pengelolaan gambut baik secara

langsung maupun tidak langsung diatur dalam 8 peraturan sebagai berikut:

 Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam

dan Kawasan Pelestarian Alam

 Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan

 Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

 Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Nasional

 Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan

 Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai

 Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 2013 tentang Rawa

31
 Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Ekosistem Gambut

Dalam beberapa peraturan di atas, pengelolaan gambut memang tidak

secara khusus disebutkan meskipun masing-masing peraturan memiliki implikasi

terhadap lahan gambut. Baru pada tahun 2014 diterbitkanlah peraturan yang

secara khusus mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem

gambut.

Kebijakan Presiden/Instruksi Presiden/Peraturan Menteri

Pada tataran peraturan yang paling rendah ini juga dibuat peraturan

terkait perlindungan dan pengelolaan lahan gambut. Berikut ini 8 peraturan

tersebut:

 Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan

Lindung

 Keputusan Presiden No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan

Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah

 Keputusan Presiden No. 80 tahun 1990 tentang Pedoman Umum

Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di

Kalimantan Tengah

 Instruksi Presiden No. 2 tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan

Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan

Tengah
 Peraturan Menteri Pertanian No. 14 tahun 2009 tentang Pedoman

Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit

 Instruksi Presiden No. 10 tahun 2011 dan No. 6 tahun 2013 tentang

Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan

Alam Primer dan Lahan Gambut

 Peraturan Menteri Kehutanan No. 41 tahun 2012 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Kehutanan No. 32 tahun 2010 tentang Tukar Menukar

Kawasan

 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 tahun 2012 tentang

Mekanisme Pencegahan dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang

berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

Meskipun tingkatannya masih berada di bawah UU maupun Peraturan

Pemerintah, tetapi peraturan awal yang tentang lahan gambut sebenarnya berasal

dari Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990.

Peraturan ini menjadi aturan yang cukup mendasar dengan memberikan

ketentuan tentang kedalaman gambut yang wajib dilindungi.

Berikut adalah peraturan perundang-undangan yang memberikan

penjelasan teknis mengenai perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut : PP

No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut

yang digantikan dengan PP No. 57 tahun 2016 Peraturan Pemerintah ini mengatur

mengenai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan dan

mencegah terjadinya kerusakan ekosistem gambut yang meliputi: perencanaan,

pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

33
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan

Restorasi Gambut yang kemudian diperbaharui menjadi Perpres Nomor 120 tahun

2021 Perpres ini dikeluarkan pada awal tahun 2016 untuk melakukan percepatan

pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran

hutan dan lahan yang terjadi secara masif tahun 2015 silam. Komitmen pemulihan

gambut kemudian diperpanjang pada awal tahun 2021 dengan penambahan

ekosistem mangrove sebagai target restorasi.

Inpres No 10 tahun 2011 yang diperbarui setiap 2 tahun sekali hingga

menjadi permanen pada Inpres No 5 tahun 2019 Inpres ini dikeluarkan untuk

menghentikan pemberian izin baru bagi pemanfaatan penggunaan kawasan hutan

alam primer dan lahan gambut serta menyempurnakan tata kelola hutan pada

hutan primer dan lahan gambut, yang bertujuan untuk menyelamatkan keberadaan

hutan alam primer dan lahan gambut serta untuk melanjutkan upaya penurunan

emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Permen LHK Nomor 14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang tata

cara pelaksanaan inventarisasi dan penetapan fungsi ekosistem gambut, Permen

LHK Nomor 15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang tata cara pengukuran

muka air tanah di titik penaatan ekosistem gambut, Permen LHK Nomor

16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang pedoman teknis pemulihan

ekosistem gambut Ketiga peraturan Menteri ini berisi tentang langkah-langkah

teknis perlindungan fungsi ekologis ekosistem gambut yang bertujuan untuk

mendukung kelestarian keanekaragaman hayati pada ekosistem gambut, serta


mendukung ekosistem gambut sebagai pengatur air, penyimpan cadangan karbon,

penghasil oksigen, dan penyeimbang iklim.

Permen LHK Nomor 10/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 tentang

Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan

Hidrologis Gambut Peraturan Menteri ini berisi panduan mengenai tata cara

penentuan puncak kubah gambut untuk memberikan arahan dalam penyusunan

Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, serta sebagai dasar

perencanaan dan pelaksanaan pemulihan fungsi ekosistem gambut.

Permen LHK Nomor 37/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 tentang

Perhutanan Sosial pada Ekosistem Gambut Peraturan Menteri dikeluarkan dengan

tujuan untuk melestarikan ekosistem gambut dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat yang tinggal di sekitar ekosistem gambut. Peraturan Menteri ini

berfungsi sebagai pedoman untuk masyarakat dalam melaksanakan kegiatan

perhutanan sosial pada ekosistem gambut dengan tetap menjaga fungsi hidrologis

ekosistem gambut tersebut.

BAB VI

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan :

35
1. Bahwa lingkungan lahan basah merupakan lingkungan yang rapuh

dan sensitive yang banyak manfaatnya bagi kehidupan manusia,

sehingga pengelolaannnya harus dilakukan secara bijaksana.

2. Agar lahan basah lestari, perlu pemahaman yang baik atas,

hasil dan ciri khas lahan basah.

3. Terkait hukum lingkungan lahan basah dimulai dengan konvensi Ramsar

yang diratifikasikan dan diatur lebih lanjut dalam lingkungan lahan basah di

Indonesia.

DAFTAR BACAAN

Buku :
Muhjad M. Hadin, dkk. 2023. Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem.
Yogyakarta : Bintang Semesta Media.
Muhjad M. Hadin. 2023. Hukum Lingkungan Lahan Basah (Wetlands).
Yogyakarta : Genta.

Jurnal/Artikel :

D.A. Suriadikarta. Pemanfaatan Dan Strategi Pengembangan Lahan Gambut Eks


Plg Kalimantan Tengah. Utilization and Development Strategy of PLG
Peat Land in Central Kalimantan Balai Penelitian Tanah, Bogor.

Tami. 2021. Aturan Hukum di Indonesia yang Mengatur Pemanfaatan Lahan


Gambut. News, Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.

https://mutuinstitute.com/post/aturan-hukum-pemanfaatan-lahan-gambut/

Pantau Gambut. 2001. "Peraturan Perlindungan Lahan Gambut". URL :


https://pantaugambut.id/pelajari/peraturan-perlindungan-lahan-gambut.
Vol. 15. No. 1 april 2001

Soedodo Hardjoamidjojo1 dan Budi I. Setiawan. 2001. Pengembangan Dan


Pengelolaan Air Di Lahan Basah (Development and Management of
Water in Wetland) .

37

Anda mungkin juga menyukai