Maklah Ulumul Hadits 06
Maklah Ulumul Hadits 06
Disusun Oleh :
Kelompok 06
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Dengan nama Allah yang banyak meanugrahi nikmat yang besar-besar, puji
syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat-Nya
dan Shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga
dan sahabat-sahabat, serta para pengikutnya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “METODE TAHAMMUL WA ADA’ AL-HADITS” dengan
baik dan tepat waktu.
Dan pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Prof. Dr. H. M. Hanafiah,M.Hum selaku dosen pengajar dan pengampu yang
telah memberikan bimbingan, arahan, saran, dan petunjuk hingga makalah ini dapat
disusun dengan baik.
Sebagai sebuah makalah, tidak lepas dari kekurangan, oleh karena itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang berkepentingan, guna
penyempurnaan makalah ini. Selanjutnya terima kasih kami ucapkan kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini sehingga dapat
diselesaikan. Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini dapat digunakan oleh
pembaca dengan baik.
kelompok 06
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .......................................................................................... 10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Abd Aziz dan Terza Travelancya D.p, “TAHAMMUL WA AL-ADĀ’ DALAM PERIWAYATAN HADĪTH,”
BAHTSUNA: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 3, no. 2 (9 September 2021): 185–99,
https://doi.org/10.55210/bahtsuna.v3i2.64.
2
Muh Nur Fadli Tufail, Muh Asrullah, dan Rahmi Dewanti Palangkey, “TEKNIK PERIWAYATAN
HADITS,” t.t.
2
menyampaikan dewe tadi secara lengkap, baik sehat maupun materinya.
Kelengkapan materi nanti sangat sangat penting dalam proses ini karena
selain memuat Nama nama perawi, juga mengandung delapan level yang
menunjukkan metode periwayatan hadis yang dipergunakan oleh masing
masing perawi. Dari kode kode atau delapan delapan itulah tingkat akurasi
periwayatan hadis para perawi, juga ketersambungan mereka, bisa
diketahui.3
B. Syarat-syarat penerimaan dan penyampaian hadits (Tahammul wa ada’
al-hadits)
Syarat Tahammaul adalah keahlian dalam periwayatan. Meskipun
demikian, ulama pada umumnya tidak memberikan syarat Untuk tamu
sebagaimana ada’. Hal ini diibaratkan dengan orang yang mengikuti majelis
Ta’lim. Semua orang boleh mengikutinya, Sekalipun Nonmuslim dan belum
balik. Berbeda dengan ada ‘ tidak semua penyampaian hadis dapat diterima.
Dengan demikian, persyaratan ada ‘ lebih besar daripada tahammul.
Sementara itu, ulama berbeda pendapat tentang anak kecil yang
menerima hadis. Berikut ini penjelasannya.
1. Ulang Masya mengatakan bahwa tahammul sebaiknya dimulai
setelah usia 30 tahun
2. Ulama Kufah mengatakan bahwa tahammul dilakukan setelah usia
20 tahun.
Seseorang bertanya kepada Musa bin Ishaq, “ mengapa kamu tidak
menulis (hadis) dari Abu Nu’aim”. Iya menjawab, “ penduduk upah
tidak memperbolehkan anak anaknya mencari hadis sebelum berusia
20 tahun. “ Sofyan al tsauri berkata,“ Jika seseorang ingin mencari
Hadi, lebih baik beribadah terlebih dahulu hingga mencapai usia 20
tahun”. Sementara itu, Abu Abdillah al Jubair dari al Syafiiyah
Mengatakan, “ sebaiknya menulis hadis pada usia 20 tahun karena
pada usia inilah tercapai kesempurnaan akal. Aku senang sebelum
itu anak anak menghafal Al-Qur’an dan para itu“.
3. Pada masa kini, hadis dan saatnya telah dibukukan. Dengan
demikian, bersegera mendengar hadis itu lebih baik karena
pendengaran dan penulisan anak sudah dinilai salah.
3
KH M. Ma’shum Zein MA, ILMU MEMAHAMI HADITS NABI ; Cara Praktis Menguasai Ulumul
Hadits & Mustholah Hadits (Pustaka Pesantren, 2017).
3
Ulama berselisih mengenai usia anak dalam menerima hadis.
Jumhur ulama, yaitu di antara Al-Qadhi Iyadh dan Ibnu Shalah,
Berpendapat bahwa awal masa penerima hadis minimal berusia lima tahun.
Pendapat ini berdasarkan hadis berikut:
Yang artinya:
(Mahmud bin al-Robi) berkata, “ aku ingat nabi selow wali wasallam
meludahkan sekali di wajahku dari air rimba. Ketika itu aku berusia lima
tahun”. (HR. Al-Bukhori)
Seorang anak yang berusia lima tahun sudah kuat ingatannya. Apa
yang dialami waktu kecil masih ingat pada usia dewasa, seperti yang terjadi
pada Muhammad bin al-Robi. Iya masih ingat peristiwa air Timba, di mana
nabi meludah ke arah wajahnya, sebagaimana periwayatan di atas.
Selanjutnya, Ibnu salah mengatakan bahwa yang dilihat adalah dari segi
mumayyiz. Artinya, anak itu sudah Mampu memahami kalimat orang lain
dan menjawab jika diperlukan. Itulah pendapat yang benar, sekalipun belum
berusia lima tahun. Pendapat yang baru tentunya lebih kuat karena tabi’in
menerima periwayatan dari para sahabat yang masih kecil, kecuali Al-Hasan
al Husein, Abdullah bin Azzubair, ibu new Abbas, nu’man bin Basyir, Saya
itu Biniet, dan Mizwar bin mudramah. Sementara itu, yaitu hadis yang
diterima yang Nonmuslim adalah hadis Jubair bin muth’im.
Yang artinya :
Ia berkata, “Mendengar Rasulullah sallallahu alay wasallam membaca
surah at tur pada sholat Maghrib”. (Hadis riwayat. Muttafaq alaih)
Zubair bin Muth’im pada saat itu belum Masuk Islam dan menjadi
tawanan perang Badar. Dalam periwayatan Albukhori ada tambahan, “
demikian itu kali pertama iman menetap di hatiku”.4
Mayoritas ulama hadis, usul dan Viki sepakat bahwa berikut ini
secara erat periwayat yang menyampaikan hadits (‘Ada).
A. Beragama Islam
Riwayat orang kafir maupun fasiq tidak dapat diterima. Karena
orang Islam dalam menerima hadits nabi adalah dalam rangka
menjalankan ajaran agamanya yang benar. Allah menyuruh kita
4
Dr H. Abdul Majid Khon M.Ag, Takhrîj dan Metode Memahami Hadis (Amzah, 2022).
4
berhati-hati menerima riwayat orang fasik sebagai yang diterangkan
dalam firman Allah surat Al-Hujurat: 6
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan
teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."
2. Baliqh
Riwayatnya anak-anak yang belum dewasa (baligh) tidak bisa
diterima dengan alasan hasil yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Abu Daud dan Hakim dari Umar dan Ali, yaitu:
"Diangkat kalam dari tiga orang, dari orang gila, yang
digagahi akalnya sehingga dia sembuh, dari orang tidur
sehingga dia bangun, dari anak kecil sehingga dia dewasa."
3. Adil (al-'adalah)
Yaitu sifat yang terhunjam pada diri seseorang yang mendorong
untuk selalu bertaqwa dan menjaga muru'ah dirinya yang bisa
menimbulkan suatu kepercayaan (siqat). Atau dengan kata lain al-
'adalah ( ) العذالحadalah suatu sikap yang harus dimiliki oleh perawi
dari segi kepribadiannya (kualitas pribadi periwayat), yang
mencakup aspek agama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan
agama, dan memelihara muru'ah.
Adil (al-'adalah) Yaitu sifat yang terhunjam pada diri seseorang yang
mendorong untuk selalu bertaqwa dan menjaga muru'ah dirinya
yang bisa menimbulkan suatu kepercayaan (siqat). Atau dengan kata
lain al-'adalah ( ) العذالحadalah suatu sikap yang harus dimiliki oleh
perawi dari segi kepribadiannya (kualitas pribadi periwayat), yang
mencakup aspek agama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan
agama, dan memelihara muru'ah.
4. Al-Dabt.
Dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat, baik ketika menerima
pelajaran hadith maupun menyampaikannya. Sudah barang tentu,
orang seperti ini mempunyai hafalan yang kuat, pintar, dan tidak
pelupa.
5
Disebutkannya syarat ini disamping dua syarat sebelumnya adalah
untuk penekanan semata, bahwa orang Islam dan baligh belum tentu
memiliki sifat al-adalah ini; atau seorang baru dikatakan bersifat adil, dalam
istilah ilmu hadits apabila orang itu telah memenuhi beberapa syarat
diantaranya beragama Islam dan mukallaf.5
5
M Lutfi Abdul Manaf, M Fath Ervan Zulfa, dan M Nasirudin, “KUALIFIKASI PERAWI DAN METODE
DALAM PROSES TRANSMISI HADITS,” . . Volume 04 (2020).
6
Tufail, Asrullah, dan Palangkey, “TEKNIK PERIWAYATAN HADITS.”
7
Abd Aziz dan Terza Travelancya D.p, “TAHAMMUL WA AL-ADĀ’ DALAM PERIWAYATAN HADĪTH,”
BAHTSUNA: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 3, no. 2 (9 September 2021): 185–99,
https://doi.org/10.55210/bahtsuna.v3i2.64.
6
baik secara lisan maupun tertulis. Meskipun masih kontroversial,
mayoritas ulama membolehkan periwayatan al-ijazah ini dalam
beberapa bentuk tertentu. Secara umum, al-ijazah ini terbagi dalam
dua bentuk: (1) Al-ijazah beserta Al-Munawalah,(2) Al ijazah murni
(al Mujarradah)
Bentuk yang pertama, terbagi dalam dua macam: (1)
Pengijazahan guru kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis
yang ada pada guru tersebut,(2) Pengijazahan guru kepada muridnya
yang sebelumnya menyadarkan hadis, kemudian guru tersebut
pemeriksaannya dan memaklumi bahwa di situ juga diriwayatkan
dari guru guru sebelumnya.
Adapun bentuk kedua, terbagi dalam beberapa macam
seperti :(1) Pengijazahan guru kepada orang tertentu untuk hadis
tertentu, (2) Pengijazahan guru kepada orang tertentu untuk semua
hadis yang pernah didengar nya (atau diriwayatkan nya),(3)
Pengijazahan guru kepada orang tidak tertentu untuk hadis tertentu
atau tidak.
Ijazah murni yang disebutkan pertama diperbolehkan
mayoritas ulama, sedangkan yang lain masih diperselisihkan.
Menurut Syuhudi, Hadis yang disampaikan oleh guru hadis
dengancara al ijazah tersebut adalah hadis hadis yang telah
terhimpun dalam kitab kitab hadis. Oleh karena itu, pengijazahan ini
tampak sekedar ‘tali pengikat’ Antara guru dengan muridnya semata.
Lambang periwayatannya adalah ungkapan Ajaza Li Fulan, Atau
diikuti dengan ungkapan al-sama Dan al-Qiroah, Seperti
haddatsana ijazah dan Akhbarana ijazah,atau ungkapan anba’ana
(menurut ulama mutaakhir).8
4. Al-Munawalah
Yang dimaksud dengan istilah memberi atau al-Munawalah
ini adalah tindakan pemberian sebuah kitab atau sebuah Hadis
tertulis oleh seseorang supaya disampaikan dan diriwayatkan. al-
Munawalah terdiri dari beberapa bentuk yang tidak sama tingkatan
lemah dan kuatnya.
8
“Membedah Kerangka Konseptual-Operasional Kritik Hadis.pdf,” t.t.
7
Bentuk yang paling kuat dan paling tinggi adalah al-
Munawalah Ma’a al-Ijazah Au bi al-Ijazah yakni pemberian sebuah
kitab atau sebuah Hadis tertulis dari seorang guru seraya berkata:
“aku berikan ini kepadamu dan aku ijazahkan kamu untuk
meriwayatkannya, ambillah dan riwayatkanlah ia dariku”.
Ada juga bentuk lain, seperti ucapan guru kepada muridnya:
“ ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, lalu kembalikan kepada
saya.” Selain kedua bentuk di atas, ada bentuk lain yaitu; seorang
murid datang kepada gurunya untuk meminta kitab yang isinya
pernah ia dengar dari gurunya. Lalu sang guru mengambil kitab
seraya berkata: “riwayatkanlah dari saya”.9
5. Al-Kitabah
Al-Kitabah artinya bertulis-tulis surat. Secara istilah, al-
kitabah adalah seorang guru menulis hadis yang diriwayatkannya
untuk diberikan kepada orang tertentu, atau untuk orang yang jauh
dan dikirim surat kepadanya, baik dia tulis sendiri ataupun dia suruh
orang lain menuliskannya.10
6. Al-Wasiyyah
Yaitu guru mewasiatkan buku catatan hadith kepada
muridnya sebelum meninggal dunia. Hukumnya boleh karena guru
mewasiatkan kitab miliknya bukan riwayatnya, namun juga ada
yang tidak membolehkannya. Sighat yang digunakan seperti:11
ُوُأخبرنيُفلنُأوحدثنيُفلنُبالوصي ُة,أوصىُإليُأوإليناُفلن
7. Al-I'lam
Yaitu guru hadits memberitahukan kepada muridnya, hadits
atau kitab hadits yang telah diterimanya dari periwayatannya,
misalnya melalui as'sama', tanpa diikuti pernyataan agar muridnya
tadi meriwayatkannya lebih lanjut.
Ibn as-Shalah tidak menganggap sah periwayatan dengan
cara al-I'lam ini dengan alasan:
9
Kusroni Kusroni, “Mengenal Tuntas Seluk Beluk Periwayatan Hadis,” Riwayah : Jurnal Studi Hadis
2, no. 2 (19 Maret 2018): 273, https://doi.org/10.21043/riwayah.v2i2.3142.
10
Tufail, Asrullah, dan Palangkey, “TEKNIK PERIWAYATAN HADITS.”
11
Aziz dan D.p, “TAHAMMUL WA AL-ADĀ’ DALAM PERIWAYATAN HADĪTH,” 9 September 2021.
8
a. Hadits yang diberitahukan itu ada cacatnya,
karenanya guru tersebut tidak menyuruh muridnya
untuk meriwayatkannya.
b. Periwayatan cara al-I'lam ini memiliki kesamaan
dengan pemberitahuan seseorang saksi kepada orang
lain atas suatu, kemudian orang lain itu memberikan
kesaksian tanpa izin dari saksi yang sesungguhnya.
8. Al-Wijadah
Al-Wijadah artinya mendapat. Secara istilah adalah
Seseorang yang melalui tidak sama’ (mendengar) atau ijazah,
mendapati hadis-hadis yang ditulis oleh perawinya. Orang yang
mendapati tulisan itu boleh jadi ia semasa atau tidak semasa dengan
penulis hadis tersebut, pernah atau tidak pernah bertemu, pernah
atau tidak pernah meriwayatkan hadis dari penulis yang dimaksud.13
12
Manaf, Zulfa, dan Nasirudin, “KUALIFIKASI PERAWI DAN METODE DALAM PROSES TRANSMISI
HADITS.”
13
Tufail, Asrullah, dan Palangkey, “TEKNIK PERIWAYATAN HADITS.”
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tahammul dalam bahasa artinya “ menerima “ Dan ada artinya “
menyampaikan “. Jika digabungkan dengan kata al hadis, “ tahammul
hadis” berarti “ kegiatan menerima riwayat hadis “. Sedangkan “ada ul
hadis” berarti “ kegiatan menyampaikan riwayat hadis “. Hubungan yang
terjadi antara perawi dan perawi lainnya yang terdekat dalam mata rantai
sangat, merupakan kegiatan penerimaan dan penyampaian riwayat hadis.
Syarat Tahammul Syarat Tahammaul adalah keahlian dalam
periwayatan. Meskipun demikian, ulama pada umumnya tidak memberikan
syarat Untuk tamu sebagaimana ada’.
Syarat-syarat penyampaian hadits (Al-‘Ada) ada beberapa syarat
yaitu :
1. Beragama Islam
2. Baligh
3. Adil (al-'adalah)
4. Dhabith
1. As-sima’
2. Al-’Ard atau al-Qirā’ah
3. Al-Ijazah
4. Al-Munawalah
5. Al-Khitabah
6. Al-Wasiyyah
7. Al-I’lam
8. Al-Wijadah
10
DAFTAR PUSTAKA
11