Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

METODE TAHAMMUL WA ADA’ AL-HADITS


Dianjurkan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. M. Hanafiah,M.Hum

Disusun Oleh :
Kelompok 06

Aufa Salsabila 23.11.1487


Husnul Patimah 23.11.1510

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSALAM MARTAPURA
2024

i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Dengan nama Allah yang banyak meanugrahi nikmat yang besar-besar, puji
syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat-Nya
dan Shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga
dan sahabat-sahabat, serta para pengikutnya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “METODE TAHAMMUL WA ADA’ AL-HADITS” dengan
baik dan tepat waktu.

Makalah merupakan karya tulis ilmiah karena di susun berdasarkan kaidah


kaidah ilmiah yang dibuat oleh mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi.
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Ulumul Hadits” Untuk itu, makalah ini disusun dengan memakai bahasa yang
sederhana dan mudah untuk dipahami.

Dan pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Prof. Dr. H. M. Hanafiah,M.Hum selaku dosen pengajar dan pengampu yang
telah memberikan bimbingan, arahan, saran, dan petunjuk hingga makalah ini dapat
disusun dengan baik.

Sebagai sebuah makalah, tidak lepas dari kekurangan, oleh karena itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang berkepentingan, guna
penyempurnaan makalah ini. Selanjutnya terima kasih kami ucapkan kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini sehingga dapat
diselesaikan. Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini dapat digunakan oleh
pembaca dengan baik.

Martapura,06 Mei 2024

kelompok 06

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2

A. Definisi Tahammul wa Ada’ Al-hadits ................................................. 2


B. Syarat-syarat penerimaan dan penyampaian hadits (Tahammul wa
ada’ al-hadits) ..................................................................................... 3
C. Bentuk-bentuk penyampaian dan penerimaan Hadits (Tahammul
wa ‘Ada al-hadits) ............................................................................... 6

BAB III (PENUTUP) ....................................................................................... 10

A. Kesimpulan .......................................................................................... 10

DAFRAT PUSTAKA ....................................................................................... 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para
pendahulu selalu menjaga Al-Quran dan Al-Hadis Nabi. Mereka adalah
orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji sebagian diantara mereka
mencurahkan perhatiannya terhadap al-Quran dan ilmunya yaitu para
mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam
pengetahuan. Seseorang yang telah mempelajari hadits dengan sungguh-
sungguh dengan cara yang benar memiliki beberapa kode etik yang harus
dia jaga dan dia pelihara, baik ketika masih menjadi pelajar itu sendiri atau
ketika dia sudah mengajarkannya kepada orang lain kelak. Di dalam ilmu
hadits hal ini dikenal dengan istilah at tahammul wal ada’. Di dalam
makalah ini akan dibahas cara perimaaan dan periwayatan hadis yang
disebut dengan At-Tahammul wa Al-'Ada.
Para ulama hadis telah bersusah payah mengusahakan adanya ilmu
hadis ini, lalu mereka membikin beberapa kaidah (batasan-batasan) dan
berbagai syarat dengan berbagai bentuk yang cermat dan banyak sekali.
Mereka telah mengidentifikasin anatara 'tahammul hadis' selanjutnya
mereka menjadikannya beberapa tingkatan, dimana bagian satu dengan
yang lain tidaklah sama artinya ada yang lebih kuat, hal itu merupakan
penguat dari mereka untuk memelihara hadis Rasulullah Saw dan
memindahkan dengan baik dari seseorang kepada orang lain.
Terdapat dua unsur penting dalam periwayatan hadis yang tidak
boleh diabaikan, yaitu penerimaan dan penyampaian. Unsur ini dikenal
dengan tahammul al-hadis wa ada’ al-hadis. Dalam masalah ini, tahammul
dan ada’, para ulama pada umumnya membagi kedalam delapan bentuk,
penerimaan sekaligus merupakan bentuk penyamapaian. Ini dilakukan
karena setiap penerimaan suatu hadis berarti di saat itu pun berlangsung
peristiwa penyampaian. Seorang murid menerima suatu hadis dari gurunya
dan disisi lain gurunya tersebut telah melakukan penyampaian suatu hadis
yang dimilikinya kepada muridnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Tahmmul wa ada’ al-hadits ?
2. Apa saja syarat-syarat Tahammul wa ada’ al-hadits ?
3. Apa saja bentuk-bentuk Tahammul wa ada’ al-hadits ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu Tahammul wa ada’ al-hadits
2. Untuk mengetahui syarat-syarat Thammul wa ada’ al-hadits
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk Tahammul wa ada’ al-hadits

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Tahammul wa 1ada’ al hadits


Pengertian al-Tahammul secara etimologi yaitu bentuk masdar dari
: ‫تح ُّمال‬-ُ‫يتح َّمل‬-‫تح َّمل‬ Dikatakan َّ ‫ال‬
‫شيئ‬ ُ‫حملة‬ maknanya adalahُ
“membebankan/membawakan sesuatu kepadanya”, sedangkan menurut
terminologi al-Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu
periwayatan hadith dari seorang guru dengan menggunakan beberapa cara
atau metode tertentu.
Pengertian al-Adā‘ secara etimologi yaitu bentuk masdar dari -‫ادَّى‬
‫أداء‬-‫يُ َؤدِّي‬maknanya berarti menyampaikan/melaksanakan. Sedangkan secara
terminologi al-Adā‘ berarti sebuah proses menyampaikan atau
meriwayatkan suatu hadits dari seorang guru kepada orang lain.1
Taahammul wa ada’ al-hadits secara istilah adalah Penjelasan
mengenai cara-cara para periwayat dalam mengambil atau menerima hadits
dari gurunya.
Muhammad Ajjaj Al-Khatib dalam kitabnya Ushulul Hadis
‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu menjelaskan, bahwa tahammul al-hadis
adalah :
“Kegiatan mengambil hadis dari seorang guru dengan menggunakan cara-
cara tertentu”
Atau tahammul al hadis adalah cara-cara menerima hadis dan
mengambilnya dari syaikh.2
Tahammul dalam bahasa artinya “ menerima “ Dan ada artinya “
menyampaikan “. Jika digabungkan dengan kata al hadis, “ tahammul
hadis” berarti “ kegiatan menerima riwayat hadis “. Sedangkan “ada ul
hadis” berarti “ kegiatan menyampaikan riwayat hadis “. Hubungan yang
terjadi antara perawi dan perawi lainnya yang terdekat dalam mata rantai
sangat, merupakan kegiatan penerimaan dan penyampaian riwayat hadis.
Oleh karena itu dua kegiatan inilah, dalam ilmu hadis dikenal istilah
“ tahammul Wa ada al hadis “. Artinya suatu kegiatan menerima dan

1
Abd Aziz dan Terza Travelancya D.p, “TAHAMMUL WA AL-ADĀ’ DALAM PERIWAYATAN HADĪTH,”
BAHTSUNA: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 3, no. 2 (9 September 2021): 185–99,
https://doi.org/10.55210/bahtsuna.v3i2.64.
2
Muh Nur Fadli Tufail, Muh Asrullah, dan Rahmi Dewanti Palangkey, “TEKNIK PERIWAYATAN
HADITS,” t.t.

2
menyampaikan dewe tadi secara lengkap, baik sehat maupun materinya.
Kelengkapan materi nanti sangat sangat penting dalam proses ini karena
selain memuat Nama nama perawi, juga mengandung delapan level yang
menunjukkan metode periwayatan hadis yang dipergunakan oleh masing
masing perawi. Dari kode kode atau delapan delapan itulah tingkat akurasi
periwayatan hadis para perawi, juga ketersambungan mereka, bisa
diketahui.3
B. Syarat-syarat penerimaan dan penyampaian hadits (Tahammul wa ada’
al-hadits)
Syarat Tahammaul adalah keahlian dalam periwayatan. Meskipun
demikian, ulama pada umumnya tidak memberikan syarat Untuk tamu
sebagaimana ada’. Hal ini diibaratkan dengan orang yang mengikuti majelis
Ta’lim. Semua orang boleh mengikutinya, Sekalipun Nonmuslim dan belum
balik. Berbeda dengan ada ‘ tidak semua penyampaian hadis dapat diterima.
Dengan demikian, persyaratan ada ‘ lebih besar daripada tahammul.
Sementara itu, ulama berbeda pendapat tentang anak kecil yang
menerima hadis. Berikut ini penjelasannya.
1. Ulang Masya mengatakan bahwa tahammul sebaiknya dimulai
setelah usia 30 tahun
2. Ulama Kufah mengatakan bahwa tahammul dilakukan setelah usia
20 tahun.
Seseorang bertanya kepada Musa bin Ishaq, “ mengapa kamu tidak
menulis (hadis) dari Abu Nu’aim”. Iya menjawab, “ penduduk upah
tidak memperbolehkan anak anaknya mencari hadis sebelum berusia
20 tahun. “ Sofyan al tsauri berkata,“ Jika seseorang ingin mencari
Hadi, lebih baik beribadah terlebih dahulu hingga mencapai usia 20
tahun”. Sementara itu, Abu Abdillah al Jubair dari al Syafiiyah
Mengatakan, “ sebaiknya menulis hadis pada usia 20 tahun karena
pada usia inilah tercapai kesempurnaan akal. Aku senang sebelum
itu anak anak menghafal Al-Qur’an dan para itu“.
3. Pada masa kini, hadis dan saatnya telah dibukukan. Dengan
demikian, bersegera mendengar hadis itu lebih baik karena
pendengaran dan penulisan anak sudah dinilai salah.

3
KH M. Ma’shum Zein MA, ILMU MEMAHAMI HADITS NABI ; Cara Praktis Menguasai Ulumul
Hadits & Mustholah Hadits (Pustaka Pesantren, 2017).

3
Ulama berselisih mengenai usia anak dalam menerima hadis.
Jumhur ulama, yaitu di antara Al-Qadhi Iyadh dan Ibnu Shalah,
Berpendapat bahwa awal masa penerima hadis minimal berusia lima tahun.
Pendapat ini berdasarkan hadis berikut:

Yang artinya:

(Mahmud bin al-Robi) berkata, “ aku ingat nabi selow wali wasallam
meludahkan sekali di wajahku dari air rimba. Ketika itu aku berusia lima
tahun”. (HR. Al-Bukhori)
Seorang anak yang berusia lima tahun sudah kuat ingatannya. Apa
yang dialami waktu kecil masih ingat pada usia dewasa, seperti yang terjadi
pada Muhammad bin al-Robi. Iya masih ingat peristiwa air Timba, di mana
nabi meludah ke arah wajahnya, sebagaimana periwayatan di atas.
Selanjutnya, Ibnu salah mengatakan bahwa yang dilihat adalah dari segi
mumayyiz. Artinya, anak itu sudah Mampu memahami kalimat orang lain
dan menjawab jika diperlukan. Itulah pendapat yang benar, sekalipun belum
berusia lima tahun. Pendapat yang baru tentunya lebih kuat karena tabi’in
menerima periwayatan dari para sahabat yang masih kecil, kecuali Al-Hasan
al Husein, Abdullah bin Azzubair, ibu new Abbas, nu’man bin Basyir, Saya
itu Biniet, dan Mizwar bin mudramah. Sementara itu, yaitu hadis yang
diterima yang Nonmuslim adalah hadis Jubair bin muth’im.
Yang artinya :
Ia berkata, “Mendengar Rasulullah sallallahu alay wasallam membaca
surah at tur pada sholat Maghrib”. (Hadis riwayat. Muttafaq alaih)
Zubair bin Muth’im pada saat itu belum Masuk Islam dan menjadi
tawanan perang Badar. Dalam periwayatan Albukhori ada tambahan, “
demikian itu kali pertama iman menetap di hatiku”.4
Mayoritas ulama hadis, usul dan Viki sepakat bahwa berikut ini
secara erat periwayat yang menyampaikan hadits (‘Ada).
A. Beragama Islam
Riwayat orang kafir maupun fasiq tidak dapat diterima. Karena
orang Islam dalam menerima hadits nabi adalah dalam rangka
menjalankan ajaran agamanya yang benar. Allah menyuruh kita

4
Dr H. Abdul Majid Khon M.Ag, Takhrîj dan Metode Memahami Hadis (Amzah, 2022).

4
berhati-hati menerima riwayat orang fasik sebagai yang diterangkan
dalam firman Allah surat Al-Hujurat: 6
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan
teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."
2. Baliqh
Riwayatnya anak-anak yang belum dewasa (baligh) tidak bisa
diterima dengan alasan hasil yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Abu Daud dan Hakim dari Umar dan Ali, yaitu:
"Diangkat kalam dari tiga orang, dari orang gila, yang
digagahi akalnya sehingga dia sembuh, dari orang tidur
sehingga dia bangun, dari anak kecil sehingga dia dewasa."
3. Adil (al-'adalah)
Yaitu sifat yang terhunjam pada diri seseorang yang mendorong
untuk selalu bertaqwa dan menjaga muru'ah dirinya yang bisa
menimbulkan suatu kepercayaan (siqat). Atau dengan kata lain al-
'adalah ( ‫ ) العذالح‬adalah suatu sikap yang harus dimiliki oleh perawi
dari segi kepribadiannya (kualitas pribadi periwayat), yang
mencakup aspek agama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan
agama, dan memelihara muru'ah.
Adil (al-'adalah) Yaitu sifat yang terhunjam pada diri seseorang yang
mendorong untuk selalu bertaqwa dan menjaga muru'ah dirinya
yang bisa menimbulkan suatu kepercayaan (siqat). Atau dengan kata
lain al-'adalah ( ‫ ) العذالح‬adalah suatu sikap yang harus dimiliki oleh
perawi dari segi kepribadiannya (kualitas pribadi periwayat), yang
mencakup aspek agama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan
agama, dan memelihara muru'ah.
4. Al-Dabt.
Dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat, baik ketika menerima
pelajaran hadith maupun menyampaikannya. Sudah barang tentu,
orang seperti ini mempunyai hafalan yang kuat, pintar, dan tidak
pelupa.

5
Disebutkannya syarat ini disamping dua syarat sebelumnya adalah
untuk penekanan semata, bahwa orang Islam dan baligh belum tentu
memiliki sifat al-adalah ini; atau seorang baru dikatakan bersifat adil, dalam
istilah ilmu hadits apabila orang itu telah memenuhi beberapa syarat
diantaranya beragama Islam dan mukallaf.5

C. Bentuk-bentuk penyampaian dan penerimaan Hadits (Tahammul wa


‘Ada al-hadits)
Bentuk-bentuk tahammul dan Ada’ Al-Hadis ada delapan, yaitu:
1. As-Sima’
As-Sima’ artinya mendengarkan, maksudnya disini adalah
seorang rawi mendengarkan lafaz syaikhnya di waktu syaikh
membaca atau menyebut hadis atau hadis bersama sanadnya. Atau
As-Sima’ adalah penerimaan hadis dengan cara mendengar langsung
lafal hadis yang dibaca guru hadis, baik yang dibaca itu berdasar
hafalannya atau catatannya, baik dicatat atau tidak oleh si
penerimanya.6
2. Al-’Ard atau al-Qirā’ah
Yaitu seorang murid membacakan hadith dihadapan guru.
Dalam metode ini seorang guru dapat mengoreksi hadith yang
dibacakan murid. Istilah yang dipakai adalah:
ُ‫ُوأخبارنيُأوأخبارناُفلنُوحدثناُفلنُقراءة‬,‫قرأتُعليُفلنُوقرئُعلىُفلنُوأناُأسمع‬
‫عليهُوأخبارنا‬.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadith melihatnya
sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya
sama dengan mendengar. Ulama’ yang berpendapat bahwa qira’ah
sama kuatnya dengan samā’ dalam menanggung hadith adalah al-
Zuhrī, al-Bukhārī, mayoritas ulama Kufah, Hijaz, dll. Riwayat
dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.7
3. Al-Ijazah
Yaitu penerimaan hadis dengan cara pemberian izin oleh
guru hadis kepada perawi untuk meriwayatkan suatu hadis darinya

5
M Lutfi Abdul Manaf, M Fath Ervan Zulfa, dan M Nasirudin, “KUALIFIKASI PERAWI DAN METODE
DALAM PROSES TRANSMISI HADITS,” . . Volume 04 (2020).
6
Tufail, Asrullah, dan Palangkey, “TEKNIK PERIWAYATAN HADITS.”
7
Abd Aziz dan Terza Travelancya D.p, “TAHAMMUL WA AL-ADĀ’ DALAM PERIWAYATAN HADĪTH,”
BAHTSUNA: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 3, no. 2 (9 September 2021): 185–99,
https://doi.org/10.55210/bahtsuna.v3i2.64.

6
baik secara lisan maupun tertulis. Meskipun masih kontroversial,
mayoritas ulama membolehkan periwayatan al-ijazah ini dalam
beberapa bentuk tertentu. Secara umum, al-ijazah ini terbagi dalam
dua bentuk: (1) Al-ijazah beserta Al-Munawalah,(2) Al ijazah murni
(al Mujarradah)
Bentuk yang pertama, terbagi dalam dua macam: (1)
Pengijazahan guru kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis
yang ada pada guru tersebut,(2) Pengijazahan guru kepada muridnya
yang sebelumnya menyadarkan hadis, kemudian guru tersebut
pemeriksaannya dan memaklumi bahwa di situ juga diriwayatkan
dari guru guru sebelumnya.
Adapun bentuk kedua, terbagi dalam beberapa macam
seperti :(1) Pengijazahan guru kepada orang tertentu untuk hadis
tertentu, (2) Pengijazahan guru kepada orang tertentu untuk semua
hadis yang pernah didengar nya (atau diriwayatkan nya),(3)
Pengijazahan guru kepada orang tidak tertentu untuk hadis tertentu
atau tidak.
Ijazah murni yang disebutkan pertama diperbolehkan
mayoritas ulama, sedangkan yang lain masih diperselisihkan.
Menurut Syuhudi, Hadis yang disampaikan oleh guru hadis
dengancara al ijazah tersebut adalah hadis hadis yang telah
terhimpun dalam kitab kitab hadis. Oleh karena itu, pengijazahan ini
tampak sekedar ‘tali pengikat’ Antara guru dengan muridnya semata.
Lambang periwayatannya adalah ungkapan Ajaza Li Fulan, Atau
diikuti dengan ungkapan al-sama Dan al-Qiroah, Seperti
haddatsana ijazah dan Akhbarana ijazah,atau ungkapan anba’ana
(menurut ulama mutaakhir).8
4. Al-Munawalah
Yang dimaksud dengan istilah memberi atau al-Munawalah
ini adalah tindakan pemberian sebuah kitab atau sebuah Hadis
tertulis oleh seseorang supaya disampaikan dan diriwayatkan. al-
Munawalah terdiri dari beberapa bentuk yang tidak sama tingkatan
lemah dan kuatnya.

8
“Membedah Kerangka Konseptual-Operasional Kritik Hadis.pdf,” t.t.

7
Bentuk yang paling kuat dan paling tinggi adalah al-
Munawalah Ma’a al-Ijazah Au bi al-Ijazah yakni pemberian sebuah
kitab atau sebuah Hadis tertulis dari seorang guru seraya berkata:
“aku berikan ini kepadamu dan aku ijazahkan kamu untuk
meriwayatkannya, ambillah dan riwayatkanlah ia dariku”.
Ada juga bentuk lain, seperti ucapan guru kepada muridnya:
“ ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, lalu kembalikan kepada
saya.” Selain kedua bentuk di atas, ada bentuk lain yaitu; seorang
murid datang kepada gurunya untuk meminta kitab yang isinya
pernah ia dengar dari gurunya. Lalu sang guru mengambil kitab
seraya berkata: “riwayatkanlah dari saya”.9
5. Al-Kitabah
Al-Kitabah artinya bertulis-tulis surat. Secara istilah, al-
kitabah adalah seorang guru menulis hadis yang diriwayatkannya
untuk diberikan kepada orang tertentu, atau untuk orang yang jauh
dan dikirim surat kepadanya, baik dia tulis sendiri ataupun dia suruh
orang lain menuliskannya.10
6. Al-Wasiyyah
Yaitu guru mewasiatkan buku catatan hadith kepada
muridnya sebelum meninggal dunia. Hukumnya boleh karena guru
mewasiatkan kitab miliknya bukan riwayatnya, namun juga ada
yang tidak membolehkannya. Sighat yang digunakan seperti:11
‫ُوُأخبرنيُفلنُأوحدثنيُفلنُبالوصي ُة‬,‫أوصىُإليُأوإليناُفلن‬
7. Al-I'lam
Yaitu guru hadits memberitahukan kepada muridnya, hadits
atau kitab hadits yang telah diterimanya dari periwayatannya,
misalnya melalui as'sama', tanpa diikuti pernyataan agar muridnya
tadi meriwayatkannya lebih lanjut.
Ibn as-Shalah tidak menganggap sah periwayatan dengan
cara al-I'lam ini dengan alasan:

9
Kusroni Kusroni, “Mengenal Tuntas Seluk Beluk Periwayatan Hadis,” Riwayah : Jurnal Studi Hadis
2, no. 2 (19 Maret 2018): 273, https://doi.org/10.21043/riwayah.v2i2.3142.
10
Tufail, Asrullah, dan Palangkey, “TEKNIK PERIWAYATAN HADITS.”
11
Aziz dan D.p, “TAHAMMUL WA AL-ADĀ’ DALAM PERIWAYATAN HADĪTH,” 9 September 2021.

8
a. Hadits yang diberitahukan itu ada cacatnya,
karenanya guru tersebut tidak menyuruh muridnya
untuk meriwayatkannya.
b. Periwayatan cara al-I'lam ini memiliki kesamaan
dengan pemberitahuan seseorang saksi kepada orang
lain atas suatu, kemudian orang lain itu memberikan
kesaksian tanpa izin dari saksi yang sesungguhnya.

Namun kebanyakan ualma membolehkan al-i'lam dengan


alasan:

a. Guru hadits tidak menyatakan agar muridnya


meriwayatkan haditsnya, tidak mesti ada cacat dalam
hadits tersebut.
b. Penganalogian al-i'lam dengan kesaksian suatu
perkara tidaklah tepat, karena kesaksian memang
memerlukan izin, sedang periwayatan tidak selalu
perlu ada izin.
c. Bila periwayatan dengan cara as-sama dan al-qira'ah
dinyatakan sah walaupun tanpa diikuti adanya izin
dari guru, maka al-i'lam harus diakui juga
keabsahannya.

Adapun kata-kata yang lazim dipakai untuk cara al-i'lam


ialah Akhbarana I'laman atau kata-kata lain yang semakna.12

8. Al-Wijadah
Al-Wijadah artinya mendapat. Secara istilah adalah
Seseorang yang melalui tidak sama’ (mendengar) atau ijazah,
mendapati hadis-hadis yang ditulis oleh perawinya. Orang yang
mendapati tulisan itu boleh jadi ia semasa atau tidak semasa dengan
penulis hadis tersebut, pernah atau tidak pernah bertemu, pernah
atau tidak pernah meriwayatkan hadis dari penulis yang dimaksud.13

12
Manaf, Zulfa, dan Nasirudin, “KUALIFIKASI PERAWI DAN METODE DALAM PROSES TRANSMISI
HADITS.”
13
Tufail, Asrullah, dan Palangkey, “TEKNIK PERIWAYATAN HADITS.”

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tahammul dalam bahasa artinya “ menerima “ Dan ada artinya “
menyampaikan “. Jika digabungkan dengan kata al hadis, “ tahammul
hadis” berarti “ kegiatan menerima riwayat hadis “. Sedangkan “ada ul
hadis” berarti “ kegiatan menyampaikan riwayat hadis “. Hubungan yang
terjadi antara perawi dan perawi lainnya yang terdekat dalam mata rantai
sangat, merupakan kegiatan penerimaan dan penyampaian riwayat hadis.
Syarat Tahammul Syarat Tahammaul adalah keahlian dalam
periwayatan. Meskipun demikian, ulama pada umumnya tidak memberikan
syarat Untuk tamu sebagaimana ada’.
Syarat-syarat penyampaian hadits (Al-‘Ada) ada beberapa syarat
yaitu :
1. Beragama Islam
2. Baligh
3. Adil (al-'adalah)
4. Dhabith

Bentuk-bentuk penyampaian dan penerimaan hadits (Tahammul wa


ada’ al-hadits) yaitu ada 8 (delapan) :

1. As-sima’
2. Al-’Ard atau al-Qirā’ah
3. Al-Ijazah
4. Al-Munawalah
5. Al-Khitabah
6. Al-Wasiyyah
7. Al-I’lam
8. Al-Wijadah

10
DAFTAR PUSTAKA

Aizid, Rizem. Sejarah Peradaban Islam Terlengkap. DIVA PRESS, t.t.


Aziz, Abd, dan Terza Travelancya D.p. “TAHAMMUL WA AL-ADĀ’ DALAM
PERIWAYATAN HADĪTH.” BAHTSUNA: Jurnal Penelitian Pendidikan
Islam 3, no. 2 (9 September 2021): 185–99.
https://doi.org/10.55210/bahtsuna.v3i2.64.
———. “TAHAMMUL WA AL-ADĀ’ DALAM PERIWAYATAN HADĪTH.”
BAHTSUNA: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 3, no. 2 (9 September
2021): 185–99. https://doi.org/10.55210/bahtsuna.v3i2.64.
Kusroni, Kusroni. “Mengenal Tuntas Seluk Beluk Periwayatan Hadis.” Riwayah :
Jurnal Studi Hadis 2, no. 2 (19 Maret 2018): 273.
https://doi.org/10.21043/riwayah.v2i2.3142.
MA, KH M. Ma’shum Zein. ILMU MEMAHAMI HADITS NABI ; Cara Praktis
Menguasai Ulumul Hadits & Mustholah Hadits. Pustaka Pesantren, 2017.
M.Ag, Dr H. Abdul Majid Khon. Takhrîj dan Metode Memahami Hadis. Amzah,
2022.
Manaf, M Lutfi Abdul, M Fath Ervan Zulfa, dan M Nasirudin. “KUALIFIKASI
PERAWI DAN METODE DALAM PROSES TRANSMISI HADITS.” . .
Volume 04 (2020).
“Membedah Kerangka Konseptual-Operasional Kritik Hadis.pdf,” t.t.
Tufail, Muh Nur Fadli, Muh Asrullah, dan Rahmi Dewanti Palangkey. “TEKNIK
PERIWAYATAN HADITS,” t.t.

11

Anda mungkin juga menyukai