Anda di halaman 1dari 5

NAMA : YULIA NUR ‘AENI

NIM : 049541347

PRODI : ILMU HUKUM

UPBJJ : SEMARANG

TUGAS 3

ILMU NEGARA

Pertanyaan:
1.Kasus penyimpangan pelaksanaan dalam penegakan hukum dan korupsi menunjukkan
adanya permasalahan dalam sistem peradilan Indonesia. Dalam kerangka konsep negara
bersusun tunggal, permasalahan tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:

Jawaban:

1. Disparitas putusan antara pengadilan pidana, yang menjadi salah satu problem klasik
pengadilan pidana dimanapun dan membuat banyak negara memberikan perhatian khusus
terhadap peningkatan kualitas peradilan pidana.

2. Rendahnya kualitas dan integritas pengadilan, yang terlihat dari kasus- kasus korupsi yang
melibatkan hakim dan pejabat di lingkungan peradilan. Hal ini merusak citra dan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga peradilan

3. Terdapat masalah dalam hal keterbukaan informasi publik. Meskipun Badan Publik wajib
membuka akses bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi, namun ada beberapa
informasi yang dikecualikan karena bersifat rahasia. Hal ini dapat menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan karena terkesan tertutup dan tidak
transparan.

4. Masalah pergaulan antar lembaga tinggi negara dan antar pejabat tinggi yang mempengaruhi
kinerja cabang kekuasaan kehakiman. Idealnya, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah
Konstitusi, dan Ketua Komisi Yudisial yang berada dalam lingkungan kekuasaan judikatif,
mempunyai lingkungan pergaulan tersendiri di luar pergaulan antar lembaga tinggi negara dan
antar pejabat tinggi selain iitu juga dalam kerangka konsep negara bersusun tunggal, analisis
permasalahan yang terjadi dalam sistem peradilan pada kasus di atas dapat mencakup
beberapa aspek.

Berikut ini adalah analisis permasalahan yang mungkin terjadi:

1. Ketergantungan pada keputusan individu: Dalam sistem peradilan yang menggunakan


kerangka konsep negara bersusun tunggal, terdapat ketergantungan pada keputusan individu
yang bertanggung jawab atas kasus tersebut. Jika hakim atau pejabat yang terlibat dalam
proses pengadilan memiliki bias atau kurangnya kompetensi, hal ini dapat mempengaruhi
keputusan yang diambil dan mengakibatkan ketidakadilan.

2. Ketidaknetralan: Sistem peradilan yang mengandalkan negara bersusun tunggal juga


berpotensi menghadapi permasalahan ketidaknetralan. Jika institusi peradilan terlalu terikat
pada kepentingan pemerintah atau kekuasaan politik, hal ini dapat mengakibatkan
ketidakadilan dalam proses pengadilan. Putusan yang diberikan mungkin dipengaruhi oleh
pertimbangan politik atau kepentingan tertentu, bukan berdasarkan pada hukum dan keadilan
sejati.

3. Terbatasnya akses terhadap keadilan: Dalam sistem peradilan yang menggunakan kerangka
konsep negara bersusun tunggal, terdapat risiko terbatasnya akses terhadap keadilan bagi
masyarakat. Keterbatasan akses ke pengadilan, seperti biaya yang tinggi, kurangnya perwakilan
hukum yang berkualitas, atau jarak geografis yang jauh, dapat menghambat masyarakat dalam
memperoleh keadilan yang layak. Hal ini dapat menyebabkan ketimpangan dalam perlakuan
hukum dan merugikan pihak yang lemah.

4. Kurangnya akuntabilitas: Dalam kerangka negara bersusun tunggal, sistem peradilan


mungkin menghadapi permasalahan kurangnya akuntabilitas. Jika tidak ada mekanisme yang
efektif untuk mengawasi keputusan dan tindakan hakim atau pejabat peradilan, maka
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, atau pelanggaran etika dalam
proses pengadilan dapat meningkat.

5. Pengaruh politik dan kekuasaan: Dalam sistem peradilan negara bersusun tunggal, terdapat
risiko pengaruh politik dan kekuasaan yang dapat mempengaruhi independensi peradilan.
Ketergantungan pada pemerintah atau lembaga penguasa dapat menyebabkan campur tangan
yang tidak diinginkan dalam proses pengadilan, baik dalam bentuk tekanan politik maupun
manipulasi keputusan hukum.

Dalam mengatasi permasalahan-permasalahan ini, penting untuk memperkuat independensi


lembaga peradilan, memastikan akses terhadap keadilan yang merata bagi semua pihak,
meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam proses peradilan, serta mengurangi
pengaruh politik yang merugikan dalam sistem . Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas dan integritas pengadilan, seperti seleksi
hakim dan pejabat yang lebih ketat serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku
korupsi di lingkungan peradilan. Selain itu, perlu juga dilakukan upaya-upaya untuk
meningkatkan keterbukaan informasi publik agar masyarakat dapat memperoleh informasi
yang akurat dan transparan dari lembaga peradilan. Selain itu, diperlukan kerjasama antar
lembaga tinggi negara untuk memperkuat pergaulan antar lembaga tinggi negara dan antar
pejabat tinggi agar tidak mempengaruhi kinerja cabang kekuasaan kehakiman.

Sumber Referensi:

- BMP HKUM4209 (Ilmu Negara)

- https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/publication_download/48

- https://lib.unnes.ac.id/39673/1/Dasar%20–%20Dasar%20Ilmu%20Negara.pdf

- https://www.mkri.id/index.php?id=11779&page=web.Berita

2. Dalam kasus perbandingan pelaksanaan kekuasaan yuridis antara negara kesatuan dan
negara federal, kita dapat menggunakan teori ahli untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
baik. Berikut adalah beberapa ahli dan teori yang relevan dalam konteks ini:

Jawaban:

1. Montesquieu dan Pembagian Kekuasaan:

Teori Montesquieu tentang pembagian kekuasaan dapat diterapkan dalam negara kesatuan
maupun federal. Montesquieu berpendapat bahwa kekuasaan yang terlalu terpusat dapat
mengarah padapenyalahgunaan kekuasaan, sementara pembagian kekuasaan antara eksekutif,
legislatif, dan yudikatif dapat mencegah penyalahgunaan tersebut. Dalam negara kesatuan,
pembagian kekuasaan ini umumnya lebih terpusat pada tingkat pemerintahan pusat,
sedangkan dalam negara federal, pembagian kekuasaan ini juga mencakup tingkat
pemerintahan negara bagian atau provinsi.

2. John Austin dan Kedaulatan Hukum: John Austin adalah seorang ahli hukum yang
mengemukakan teori kedaulatan hukum. Menurut Austin, kedaulatan terletak pada lembaga
legislatif yang memiliki kekuasaan untuk membuat undang-undang. Dalam negara kesatuan,
kedaulatan hukum umumnya terpusat pada parlemen pusat, sedangkan dalam negara federal,
kedaulatan hukum juga dapat terbagi antara parlemen pusat dan parlemen negara bagian.
3. Alexis de Tocqueville dan Otonomi Daerah: Tocqueville menekankan pentingnya otonomi
daerah dalam negara federal. Dia berpendapat bahwa otonomi daerah memungkinkan
pemerintah lokal untuk mengatur masalah-masalah yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan
keinginan mereka, sementara pemerintah pusat masih bertanggung jawab atas masalah-
masalah yang bersifat nasional. Dalam negara federal, negara bagian atau provinsi memiliki
tingkat otonomi yang lebih tinggi daripada dalam negara kesatuan.

4. William H. Riker dan Teori Federalisme Kompetitif: Riker mengemukakan teori federalisme
kompetitif, di mana negara-negara bagian atau provinsi dalam negara federal bersaing satu
sama lain untuk mendapatkan keunggulan ekonomi dan politik. Dalam konteks kekuasaan
yuridis, teori ini menunjukkan bahwa negara-negara bagian atau provinsi dalam negara federal
memiliki kekuasaan legislatif yang lebih besar untuk membuat undang-undang yang dapat
mempengaruhi kondisi ekonomi dan politik di wilayah mereka.

Adapula Pelaksanaan kekuasaan yuridis pada negara kesatuan dan federal dapat digambarkan
melalui rujukan teori ahli sebagai berikut:

1. Negara Kesatuan: Negara kesatuan adalah bentuk negara dimana seluruh wilayah dan
penduduknya dikuasai oleh satu pemerintah pusat. Pembagian kekuasaan atau kewenangan
dalam negara kesatuan dapat dilihat dalam beberapa cara, seperti pembagian antara
pemerintah pusat dan daerah, pembagian antara cabang-cabang kekuasaan, atau pembagian
antara fungsi-fungsi pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, negara kesatuan terbagi menjadi
dua macam sistem pemerintahan yaitu sentral dan otonomi.

2. Negara Federal: Negara federal adalah bentuk negara dimana terdapat pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah daerah bagian atau negara bagian.
Pemerintah federal hanya bertugas mengurusi hal-hal yang mempunyai sifat nasional saja,
seperti politik luar negeri, fiskal, pertahanan dan keamanan. Sedangkan negara bagian
diberikan kewenangan lebih untuk mengurusi masalah dalam negerinya sendiri, seperti hukum,
keuangan, politik, dan kebijakan publik

Dalam konteks Indonesia, Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik
dimana kedaulatan dalam negara tidak terbagi tetapi hanya diberikan kepada pemerintah pusat
yang dapat dipencarkan sebagian kepada pemerintah daerah. Pelaksanaan kekuasaan yuridis
pada negara kesatuan di Indonesia dilakukan melalui pembagian kewenangan antara
pemerintah pusat dan daerah dalam rangka otonomi yang seluas-luasnya.

Hal ini dilakukan dalam rangka mengurangi konsentrasi kekuasaan pada pemerintah pusat dan
memberikan kebebasan bagi daerah untuk mengatur dan mengurus urusan daerahnya sendiri.

Sumber Referensi:

- BMP HKUM4209 (Ilmu Negara)

- https://bphn.go.id/data/documents/
naskah_akademik_ruu_tentang_hubungan_kewenangan_pemerintah_pusat_dan_daera
h.pdf

- https://osf.io/r9he3/download/?format=pdf

- https://files.osf.io/v1/resources/wzx3d/providers/osfstorage/
5e7bbc167190ce003393a8eb?action=download&direct&version=1

- https://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201206342609149440/7.pdf

3. Analisis perbandingan konsep pemisahan kekuasaan menurut John Locke dengan


Montesquieu dapat dilakukan sebagai berikut:

Jawaban :
Konsep pemisahan kekuasaan menurut John Locke:

• Kekuasaan dibagi menjadi tiga, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan federatif.
• Kekuasaan legislatif bertugas untuk membuat peraturan dan undang-undang.
• Kekuasaan eksekutif bertugas untuk melaksanakan undang-undang dan mengadili.
• Kekuasaan federatif bertugas untuk melaksanakan hubungan luar negeri.

Konsep pemisahan kekuasaan menurut Montesquieu:

• Kekuasaan dibagi menjadi tiga, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
• Kekuasaan legislatif bertugas untuk membuat undang-undang.
• Kekuasaan eksekutif bertugas untuk melaksanakan undang-undang.
• Kekuasaan yudikatif bertugas untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang.

Perbandingan konsep pemisahan kekuasaan menurut John Locke dan Montesquieu:

• John Locke memasukkan kekuasaan federatif dalam kekuasaan eksekutif,


sedangkan Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan (yudikatif) sebagai
kekuasaan yang berdiri sendiri.

• Meskipun terdapat perbedaan dalam hal penempatan kekuasaan federatif dan


yudikatif, konsep pemisahan kekuasaan menurut John Locke dan Montesquieu
sama-sama menekankan pentingnya pembagian kekuasaan menjadi tiga bagian agar
tidak terjadi saling tindih kewajiban dan menjaga agar kekuasaan satu dengan
lainnya tidak dirangkap oleh satu orang/lembaga. atau analisis perbandingan antara
konsep pemisahan kekuasaan menurut John Locke dan Montesquieu:

John Locke:

John Locke, dalam karyanya yang terkenal,"Two Treatises of Government,


"menyampaikan pandangan bahwa pemisahan kekuasaan harus ada untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah. Locke mengidentifikasi tiga
bentuk kekuasaan yang harus dipisahkan, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
federatif. Menurut Locke, kekuasaan legislatif adalah yang paling penting, karena
mewakili kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Dia berpendapat bahwa legislatif
harus menjadi lembaga yang terpisah dan independen, memegang kendali atas
pembuatan undang-undang.

Montesquieu:

Montesquieu, dalam karyanya yang terkenal,"The Spirit of the Laws,"


mengemukakan konsep pemisahan kekuasaan secara lebih terperinci.Menurut
Montesquieu, kekuasaan harus dibagi menjadi tiga cabang yaitu eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Dia menyatakan bahwa setiap cabang kekuasaan harus terpisah dan
independen, tetapi juga saling mengawasi untuk menjaga keseimbangan kekuasaan.
Montesquieu percaya bahwa dengan pembagian kekuasaan ini, masing-masing
cabang dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang kekuasaan lainnya.

Perbedaan utama antara pandangan Locke dan Montesquieu terletak pada


penekanan dan detail implementasi pemisahan kekuasaan. Locke menekankan
bahwa kekuasaan legislatif adalah yang paling penting, sementara Montesquieu
memberikan penekanan pada perlunya pembagian kekuasaan menjadi tiga cabang
yang setara. Montesquieu juga menyoroti pentingnya sistem saling pengawasan
antara cabang kekuasaan, sementara Locke tidak secara khususmembahas hal ini
dalam karyanya. Meskipun ada perbedaan dalam penekanan dan detail, baik Locke
maupun Montesquieu sepakat bahwa pemisahan kekuasaan adalah penting untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah. Konsep pemisahan
kekuasaan yang mereka ajukan memiliki pengaruh yang signifikan dalam
pengembangan sistem pemerintahan modern, terutama dalam konteks negara
demokratis.

Sumber:

- BMP HKUM4209 (Ilmu Negara)

- https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/publication_download/61

- https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/publication_download/48

- https://www.mpr.go.id/pengkajian/
HKBP_NA_Rancangan_Perubahan_UUD_NRI_Tahun_1945_Univ_Brawijaya.pdf

Anda mungkin juga menyukai