Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2008 - 2009

Etika, Moral, dan Akhlak

Oleh:

Kelompok 4 Adhitya Bayu R. Bayu Bagus S. Rinandy Dendy Y. Junian Triajianto Aldila Hilman

5108100033 5108100035 5108100036 5108100038 5108100040

Dosen: Sukamto, S.Ag, MEI

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER 2009

I. Konsep Etika, Moral, dan Akhlak


A. Etika
Dari segi etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia. Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut para ulama etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat. Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya. Sementara itu menurut Profesor Robert Salomon, etika dapat dikelompokan menjadi dua definisi: Etika merupakan karakter individu, dalam hal ini termasuk bahwa orang yang beretika adalah orang yang baik. Pengertian ini disebut pemahaman manusia sebagai individu yang beretika.

Etika merupakan hukum sosial. Etika merupakan hukum yang mengatur, mengendalikan serta membatasi perilaku manusia. Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut: 1. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya manusia. 2. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. juga Ia terbatas, dapat ilmu berubah, yang memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika memanfaatkan manusia berbagai ilmu memebahas psikologi, perilaku seperti antropologi, membahas perbuatan yang dilakukan oleh

sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. 3. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. 4. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau

buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia. Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua: obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Aliran kedua ialah subyektivisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Adapun berbagai macam etika yang berkembang di masyarakat antara lain: Etika deskriptif etika yang berbicara mengenai suatu fakta yaitu tentang nilai dan pola perilaku manusia terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya dalam kehidupan masyarakat. Etika Normatif etika yang memberikan penilaian serta himbauan kepada manusia tentang bagaimana harus bertindak sesuai norma

yang berlaku. Mengenai norma norma yang menuntun tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari hari. Etika dalam keseharian sering dipandang sama denga etiket, padahal sebenarnya etika dan etiket merupakan dua hal yang berbeda. Dimana etiket adalah suatu perbuatan yang harus dilakukan. Sementa etika sendiri menegaskan bahwa suatu perbuatan boleh atau tidak. Etiket juga terbatas pada pergaulan. Di sisi yang lain etika tidak bergantung pada hadir tidaknya orang lain. Etiket itu sendiri bernilai relative atau tidak sama antara satu orang dengan orang lain. Sementa itu etika bernilai absolute atau tidak tergantung dengan apapun. Etiket memandang manusia dipandang dari segi lahiriah. Sementara itu etika manusia secara utuh.

A. Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk. Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.

Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk. Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan:
1. Pertama,

kalau

dalam ukur

pembicaraan akal pikiran

etika, atau

untuk rasio, dan

menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan norma-norma tolak yang sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah tumbuh dan berkembang berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsepkonsep, sedangkan moral berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat. Hal ini berarti tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
2. Kedua, etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral

lebih banyak bersifat praktis.


3. Ketiga, etika memandang tingkah laku perbuatan manusia

secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal.


4. Keempat, moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan

ukuran itu.
5. Kelima, moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang

sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.

Kesadaran moral serta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal:
1. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan

tindakan yang bermoral.


2. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan

objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. 3. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau sistem hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sistem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.

A. Akhlak
Ada dua pendekatan akhlak, yang yaitu dapat digunakan untuk mendefinisikan pendekatan linguistic

(kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).

Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), atthobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama). Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut di atas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya. Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam

perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Definisi-definisi akhlak tersebut secara substansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:
1. Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah

tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya.


2. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan

dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila.
3. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang

timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan.
4. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang

dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.


5. Kelima,

sejalan dengan ciri yang keempat perbuatan

akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian. Akhlak itu terbagi dua yaitu Akhlak yang Mulia atau Akhlak yang Terpuji (Al-Akhlakul Mahmudah) dan Akhlak yang Buruk atau Akhlak yang Tercela (Al-Ahklakul Mazmumah). Akhlak yang mulia yaitu akhlak yang diridhoi oleh Allah SWT , akhlak yang baik itu dapat diwujudkan dengan

mendekatkan diri kita kepada Allah yaitu dengan mematuhi segala perintahnya dan meninggalkan semua larangannya, mencintai ajaran-ajaran dari sunnah Rasulullah SAW. Akhlak yang buruk itu berasal dari penyakit hati yang keji seperti iri hati, ujub, dengki, sombong, nifaq (munafik), hasud, suudzaan (berprasangka buruk), dan penyakit-penyakit hati yang lainnya, akhlak yang buruk dapat mengakibatkan berbagai macam kerusakan baik bagi orang itu sendiri, orang lain yang di sekitarnya maupun kerusakan lingkungan sekitarnya. Yang menyebabkan hati manusia menjadi baik atau buruk adalah nafsu. Menurut Ibnu Arabi, di dalam diri manusia ada 3 nafsu,yaitu:
1. Nafsu Syahwaniyah, yaitu nafsu yang ada dalam diri

manusia kelezatan seksual.

dan

binatang,nafsu

ini

cenderung makan,

kepada dan

jasmaniyah,

misalnya

minum,

2. Nafsu Ghodhobiyah, nafsu ini juga ada pada manusia

dan binatang,yaitu cenderung pada amarah.


3. Nafsu Nathiqah, yaitu nafsu yang membedakan manusia

dengan binatang, Dengan nafsu ini manusia dapat berfikir dengan baik,berdzikir, dan memahami fenomena alam.

I. Karakteristik Etika Islam


Berbeda dengan etika filsafat, etika islam mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Etika islam mengajarkan dan menuntut manusia pada tingkah

laku yang baik dan menjauhkan dari tingkah laku yang buruk.

b. Etika islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatun, didasarkan pada ajaran Allah SWT.
c. Etika

islam

bersifat

universal

dan

komprehensif,

dapat

diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia.


d. Etika islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke

jenjang manusia.

akhlak

yang

luhur

dan

meluruskan

perbuatan

Etika islami berkaitan erat dengan akhlak islami. Secara sederhana akhlak islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat. Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan sosial yang terkandung dalam ajaran etika dan moral. Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat lokal dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga

kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa).

I. Hubungan Tasawuf dengan akhlak


Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Allah dengan cara mensucikan hati (tashfiyat al-qalbi). Hati yang suci bukan hanya bisa dekat dengan Allah tetapi malah bisa mengenal Allah. Menurut Dzun Nun al-Misri, ada 3 macam pengetahuan tentang Allah,yaitu:
a. Pengetahuan awam: Allah Esa dengan syahadat b. Pengetahuan ulama: Allah Esa menurut logika akal c. Pengetahuan Kaum Sufi: Allah Esa dengan hati sanubari

Dalam ilmu tasawuf, metode penyucian diri adalah dengan : a. Ijtinabul Manhiyat, yaitu menjauhi larangan Allah b. Adaul Wajibat, yaitu melaksanakan kewajiban Allah c. Adaun Nafilat,yaitu melaksanakan hal-hal yang disunahkan Allah d. Ar-Riyadloh, yaitu latihan spiritual agar dapat istiqamah dalam menjalankan seluruh ajaran Islam dan mendekatkan diri kepada Allah. Jadi kaitan/hubungan tasawuf dengan akhlak yaitu bahwa orang yang suci hatinya akan tercermin dalam air muka dan perilakunya yang baik. Dengan tasawuf, diharapkan tiap individu memiliki akhlak yang mulia.

I. Indikator Manusia Berakhlak


Indikator manusia berakhlak adalah tertanamnya iman dalam hati dan teraplikasinya takwa dalam perilaku dan terhindar dari nifaq. Nifaq adalah sikap mendua terhadap Allah, tidak ada kesesuaian antara hati dan perbuatan.

Apabila

akhlak

dipahami

sebagai

pandangan

hidup

maka

manusia berakhlak adalah manusia yang menjaga keseimbangan antara hak dan kewajibannya dalam hubungannya dengan Allah,sesama makhluk,dan alam semesta.

II.Aktualisasi Akhlak dalam Kehidupan Masyarakat


Aktualisasi akhlak adalah iman bagaimana yang seseorang dimilikinya dapat dan mengimplementasikan

mengaplikasikan seluruh ajaran Islam dalam setiap tingkah laku sehari-hari. Cakupan akhlak meliputi: 1. Akhlak terhadap Allah SWT, bentuk akhlak terhadap Allah tercermin pada suatu hal yang dicintai Allah, menurut apaapa yang membuat Allah meridhoi sesuatu
a. Siwak

adalah Nabi

menyucikan SAW

mulut

dan

membawa yang

keridhoan Allah (Sahih Bukhari).


b. Sungguh

melihat

bekas

ludah

mengering diarah kiblat, maka hal itu sangat membuat beliau sedih, hingga terlihat bekas kesedihan pada wajah beliau SAW, seraya berdiri dan membersihkannya dengan jarinya dan bersabda: Jika diantara kalian berdiri untuk melakukan shalatnya, sungguh ia sedang berbicara pada Tuhannya(Sahih Bukhari). 2. Akhlak terhadap orang lain
a. memuliakan tamu, b. tidak meninggikan suara, c. memuliakan yang lebih tua, d. memuliakan ulama, e. memuliakan orang tua, f. malu, g. murah senyum, h. bersikap lemah lembut,

i. 3.

ringan tangan(menolong tanpa pamrih), dsb.

Akhlak pada diri sendiri, sebagai hamba Allah, manusia diwajibkan untuk selalu bersikap tunduk dan patuh terhadap Allah Swt. Kepatuhan dan ketaatan bukan dipaksa melainkan datang dari kemauan hati, sesuai dangan dasar akal fikiran yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT dan Allah tidak menyukai suatu yang berlebih-lebihan.

4.

Akhlak pada lingkungan lingkungan dalam kajian al-Quran dan Sunnah Rasul bentuk aktualisasi akhlak terhadap lingkungan dibedakan menjadi dua yaitu akhlak terhadap alam nyata dan akhlak terhadap alam ghaib.

Berikut adalah sabda Rasulullah SAW tentang akhlak:

Rasulullah SAW bersabda: Aku dibimbingan pengajaran akhlak oleh Tuhanku, maka sebaik-baik bimbingan akhlak adalah bimbingan akhlak yang diajarkan padaku

Sungguh yang paling kucintai diantara kalian adalah yg paling baik akhlaknya (Shahih Bukhari)

I. Simpulan
Sebagai seorang muslim, sepatutnya kita memiliki akhlak yang mulia untuk mendapatkan ridho-Nya. Sungguh hanya orangorang yang berakhlak mulia yang diterima di sisi-Nya.

II.Daftar Pustaka
Al-Jazairi, Syekh Abu Bakar. 2003. Mengenal Etika dan Akhlak Islam. Lentera: Jakarta. Bakry, Oemar. 1981. Akhlak Muslim. Aangkasa: Bandung.

Anda mungkin juga menyukai