Anda di halaman 1dari 119

PERSIAPAN KEPANITERAAN KLINIK

DI RSUD dr DORIS SYLVANUS


INTRODUCTION
RANCANGAN
Keberhasilan DOSIS YANG
Kapan ya saya
dalam terapi TEPAT,
bisa pulang?!
obat tergantung
kepada merupakan suatu upaya
RANCANGAN mencapai konsentrasi
ATURAN DOSIS obat optimum pada
reseptor

Variasi individu dalam


farmakokinetik dan
farmakodinamik

PENILAIAN DAN I-DDR


TDM PEMANTAUAN KLINIK
YANG TEPAT SULIT !
Apakah semua dosis obat perlu di-
individualisasi?
• Tidak semua obat memerlukan pengaturan
dosis yang kaku secara individu
• Banyak obat mempunyai batas keamanan
yang besar (menunjukkan therapeutic window
yang lebar), sehingga individualisasi dosis yang
ketat tidak diperlukan.
• FDA telah menyetujui adanya klasifikasi obat
“over-the-counter (OTC)” dimana masyarakat
dapat membelinya tanpa resep dari dokter.
Untuk obat-obat yang relatif aman dan mempunyai
rentang kemanan dosis yang luas seperti :
• penicillin,
• cephalosporin,
• tetracycline,
dosis antibiotik tidak ditetapkan secara ketat tetapi
lebih didasarkan kepada penilaian klinis dari
seorang dokter untuk mempertahankan konsentrasi
efektif plasma di atas MEC.
I-DDR pada obat dengan TW yang sempit?

Untuk obat-obat dengan TW sempit :


digoxin,
aminoglycosides,
antiarrhythmics,
anticonvulsants,
dan beberapa antiasma seperti theophylline,

maka I-DDR sangat penting !


ISTILAH FARMAKOLOGI
• Nama obat
• Pharmaceutics
• Pharmacokinetics
• Pharmacodynamics
• Pharmacotherapeutics
• Pharmacognosy
Nama Obat
Nama Kimiawi
• Komposisi kimiawi dan struktur molekul obat

Nama Generik
• Nama sesuai the United States Adopted Name
Council

Nama dagang
• Nama obat yang didaftarkan oleh pabriknya
Contoh Nama obat

Nama kimiawi
• (+/-)-2-(p-isobutylphenyl) propionic acid

Nama generik
• ibuprofen

Nama dagang
• Anafen; Arthrifen; Brufen
Pharmaceutics

• Meneliti bentuk-bentuk sediaan obat yang


mempengaruhi aktivitas farmakokinetik dan
farmakodinamik
Pharmacokinetics

• Meneliti apa yang dilakukan tubuh


terhadap obat:
– Absorption
– Distribution
– Metabolism
– Excretion
Pharmacokinetics: Absorption
• Kecepatan obat meninggalkan tempat
pemberiannya,.
– Bioavailability
– Bioequivalent
Drug Absorption of Various
Oral Preparations
Liquids, elixirs, syrups Fastest
Suspension solutions 
Powders 
Capsules 
Tablets 
Coated tablets 
Enteric-coated tablets Slowest
Pharmacokinetics: Absorption
Factors That Affect Absorption
• Administration route of the drug
• Food or fluids administered with the drug
• Dosage formulation
• Status of the absorptive surface
• Rate of blood flow to the small intestine
• Acidity of the stomach
• Status of GI motility
Pharmacokinetics: Absorption
Routes
• Rute pemberian obat mempengaruhi kecepatan dan
tingkat absorpsi obat.
– Enteral
– Parenteral
– Topical
Pharmacokinetics: Absorption

Enteral Route
• Obat diabsorpsi untuk menuju sirkulasi sistemik melalui
oral atau mukosa gaster, usus halus, atau rektum.
– Oral
– Sublingual
– Buccal
– Rectal
First-Pass Effect
Metabolisme obat dan lintasannya dari hati
menuju sirkulasi.
• Pemberian rute oral menyebabkan sebagian besar
dimetabolisme di hati sebelum mencapai sirkulasi
sistemik (high first-pass effect).
• Obat yang sama diberikan secara IV akan memotong jalur
hati, menghindari first-pass effect, dan lebih banyak obat
mencapai sirkulasi.
First-Pass Effect
• Routes that bypass the liver:
– Sublingual Transdermal
– Buccal Vaginal
– Rectal* Intramuscular
– Intravenous Subcutaneous
– Intranasal Inhalation
*Rectal route undergoes a higher degree of first-
pass effects than the other routes listed.
Pharmacokinetics: Absorption
Parenteral Route
• Intravenous*
• Intramuscular
• Subcutaneous
• Intradermal
• Intrathecal
• Intraarticular
*Fastest delivery into the blood circulation
Pharmacokinetics: Absorption
Topical Route
• Skin (including transdermal patches)
• Eyes
• Ears
• Nose
• Lungs (inhalation)
• Vagina
Pharmacokinetics: Distribution
Transport obat di dalam tubuh oleh aliran
darah menuju tempat aksinya.
• Protein-binding
• Water soluble vs. fat soluble
• Blood-brain barrier
• Areas of rapid distribution: heart, liver,
kidneys, brain
• Areas of slow distribution: muscle, skin, fat
Pharmacokinetics: Metabolism
(also known as Biotransformation)

Transformasi biologik terhadap obat menjadi


metabolit inaktif, senyawa lebih larut, atau
metabolit yang lebih kuat.
• Liver (main organ)
• Kidneys
• Lungs
• Plasma
• Intestinal mucosa
Pharmacokinetics: Metabolism
Factors that decrease metabolism:
• Cardiovascular dysfunction
• Renal insufficiency
• Starvation
• Obstructive jaundice
• Slow acetylator
• Erythromycin or ketoconazole drug therapy
Pharmacokinetics: Metabolism
Factors that increase metabolism:
• Fast acetylator
• Barbiturates
• Rifampin therapy
Pharmacokinetics: Metabolism
Penurunan metabolisme obat berakibat:
• Accumulation of drugs
• Prolonged action of the effects of the drugs

Peningkatan metabolisme aobat menyebabkan:


• Diminished pharmacologic effects
Pharmacokinetics: Excretion
The elimination of drugs from the body
• Kidneys (main organ)
• Liver
• Bowel
– Biliary excretion
– Enterohepatic circulation
Pharmacokinetics
Half-Life
• Waktu yang dibutuhkan untuk membuang setengah dari
jumlah obat di dalam tubuh.
• Suatu ukuran kecepatan pembuangan obat dari dalam tubuh.
Pharmacodynamics
• Mempelajari apa yang dilakukan obat terhadap tubuh:
– Mekanisme aksi obat di dalam jaringan hidup
Pharmacodynamics
Drug actions:
• Proses seluler yang melibatkan obat dan interaksi sel

Drug effect:
• Reaksi fisiologik tubuh terhadap obat
Pharmacodynamics
Onset
• Waktu yang dibutuhkan obat untuk mulai menghasilkan
respon terapetik
Peak
• Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai efek maksimum
respon terapetik

Duration
• Waktu di mana konsentrasi obat masih cukup untuk
menghasilkan respon terapetik
Pharmacodynamics:
Mechanisms of Action
Cara bagaimana obat dapat menghasilkan efek
terapetik:
• Saat obat mencapai tempat aksinya, akan mengubah
kecepatan (increase or decrease) fungsi sel atau jaringan.
• Obat tidak dapat membuat sel atau jaringan menunjukkan
fungsi yang bukan fungsinya.
Pharmacodynamics:
Mechanisms of Action
• Receptor interaction
• Enzyme interaction
• Nonspecific interactions
Pharmacologic Principles
Pharmacotherapeutics
• Penggunaan obat dan indikasi klinis untuk mencegah dan
mengobati penyakit
Pharmacotherapeutics:
Types of Therapies
• Acute therapy
• Maintenance therapy
• Supplemental therapy
• Palliative therapy
• Supportive therapy
• Prophylactic therapy
Pharmacotherapeutics:
Monitoring
• Keefektivan obat harus dievaluasi.
• Seseorang mungkin telah terbiasa dengan
obat tertentu
• Aksi terapetik yang diharapkan (beneficial)
• Efek samping yang tak diharapkan tetapi
potensial (predictable, adverse drug
reactions).
Pharmacotherapeutics:
Monitoring
• Therapeutic index
• Drug concentration
• Patient’s condition
• Tolerance and dependence
• Interactions
• Side effects/adverse drug effects
Pharmacotherapeutics:
Monitoring
Therapeutic Index
• Rasio antara kemanfaatan terapi dan efek toksik
Pharmacotherapeutics:
Monitoring
Tolerance
• Penurunan respon akibat dosis obat ulangan
Pharmacotherapeutics:
Monitoring
Dependence
• Kebutuhan fisiologik atau psikologik terhadap obat
Pharmacotherapeutics:
Monitoring
Interaksi mungkin terjadi dengan obat lain atau
makanan
• Drug interactions: perubahan aksi obat akibat:
– Other prescribed drugs
– Over-the-counter medications
– Herbal therapies
Pharmacotherapeutics:
Monitoring
Interactions
• Additive effect
• Synergistic effect
• Antagonistic effect
• Incompatibility
Pharmacotherapeutics:
Monitoring
Kecelakaan pengobatan

Kejadian obat yang merugikan


• Dapat dicegah
• Kesalahan pengobatan yang membahayakan pasien

Reaksi merugikan obat


• Tak dapat dicegah, bahkan dapat terjadi penggunaan
obat terapetik normal
• Beberapa reaksi unexpected, undesirable, dan terjadi
pada dosis normal
Pharmacotherapeutics:
Monitoring
Beberapa reaksi merugikan digolongkan sebagai
efek samping.
• Reaksi yang diketahui akan terjadi yang memerlukan sedikit
atau tanpa perubahan manajemen pasien
• Diperkirakan sering
• Intensitas efek dan kejadian berkaitan dengan ukuran dosis
Pharmacotherapeutics:
Monitoring
Reaksi merugikan

Respon tak diinginkan dari terapi


• Idiosyncratic
• Hypersensitivity reactions
• Drug interactions
Pharmacotherapeutics:
Monitoring
Iatrogenic Responses

Efek merugikan yang tak sengaja yang terpicu


• Dermatologic
• Renal damage
• Blood dyscrasias
• Hepatic toxicity
Pharmacotherapeutics: Monitoring
Other Drug-Related Effects
• Teratogenic
• Mutagenic
• Carcinogenic
Tujuan pengaturan rancangan dosis pada obat-obat tersebut :
• aman
• tetap dalam rentang terapetik
• tidak melampaui MTC
• tidak jatuh di bawah suatu nilai kritik dari konsentrasi
minumum di mana obat tidak efektif. (tidak dibawah MEC)

MTC

MEC

t
• Untuk alasan ini, obat di-individualisasikan
secara hati-hati untuk menghindari fluktuasi
konsentrasi obat dalam plasma yang
disebabkan oleh variasi inter-subyek dalam
proses manajemen obat.
• Untuk obat-obat seperti phenytoin yang
mengikuti PK Nonlinier, pada konsentrasi
terapetik obat dalam plasma maka suatu
perubahan kecil dalam dosis dapat
menyebabkan peningkatan yang sangat besar
dalam respon terapetik yang membawa
kemungkinan terjadinya efek samping
• Pemantauan konsentrasi obat dalam plasma
BERMANFAAT apabila terdapat hubungan antara
konsentrasi plasma dengan efek klinik yang
diharapkan atau antara konsentrasi plasma
dengan efek samping.
• Untuk obat-obat yang mana konsentrasi obat
dalam plasma dan efek klinik tidak berhubungan,
maka pemantauan obat dilakukan terhadap
parameter farmakodinamik lainnya.
Contoh, clotting time dapat diukur secara
langsung pada pasien terapi antikoagulan
warfarin.
• Untuk pasien asma, bronchodilator- albuterol,
yang diberikan secara inhalasi diberikan
menggunakan inhaler dosis-terukur.
• Dalam Khemoterapi kanker, pengaturan dosis
untuk pasien individual dapat tergantung kepada
besarnya efek samping dan kemampuan pasien
dalam mentolerir obat tersebut.
• Untuk obat-obat yang mempunyai variabilias
intra dan inter subyek, penilaian klinis dan
pengalaman dengan obat tersebut diperlukan
untuk menentukan dosis yang tepat bagi pasien.
Faktor yg berpengaruh terhadap hasil
terapi?

• Ketepatan diagnosis
• Ketepatan pemilihan obat
• Ketepatan aturan dosis
• Mutu obat
• Keparahan penyakit
• Perlakuan pasien dalam
memperlakukan obat
Lanjutan : Faktor ………….
• Tepat Diagnosis:
Dasar diagnosis??
– anamnesis (riwayat penyakit)
- Pemerikasaan fisik
- Pemeriksaan LAB

. Tepat Obat & Tepat Dosis---- Efficacy, safety,


suitability, cost
. Mutu obat ------ Bioavailabilitas
FAKTOR YG MEMPENGARUHI KEPATUHAN
PASIEN

1. PASIEN
• Tidak mampu memahami tuj
terapi
• Tidak mampu memahami intruksi
pemakaian obat
• Khawatir ketergantungan
• Status
• Kepercayaan terhadap dokter
• Ekonomi
FAKTOR YG MEMPENGARUHI KEPATUHAN
PASIEN

2. OBAT
• Jumlah jenis obat
• Frekuensi penggunaan
• Durasi
• Bentuk sediaan
• Bau & rasa
• Takaran obat
• Timbulnya efek samping
FAKTOR YG MEMPENGARUHI
KEPATUHAN PASIEN

3. PENYAKIT
• Jenis penyakit
• Berkurangnya/hilangnya
gejala

4. DOKTER
• Perilaku dokter
Rosenberg: Kegagalan terapi karena 3
faktor

1. MEDIK
- Penyakit belum ada obatnya
- Proses penyakit sudah lanjut
2. KLINIK : komplikasi
3. PENDIDIKAN:
- Pasien tdk taat menggunakan obat
- Pasien tdk taat pantangan (makanan,
minuman, kegiatan fisik)
FARMAKOTERAPI RASIONAL
1. TEPAT INDIKASI:Obat yg diberikan
berdasarkan diagnosis penyakit yg akurat
2. TEPAT PENDERITA:Tdk ada kontraindikasi
atau kondisi khusus yg memerlukan
penyesuaian dosis atau mempermudah
timbulnya efek samping
3. TEPAT OBAT: Pemilihan obat berdasarkan
keamanan
4. TEPAT DOSIS:takaran, jalur, lama
pemberian sesuai kondisi penderita
5. WASPADA EFEK SAMPING OBAT
FARMAKOTERAPI IRRASIONAL

1. BOROS: misal penggunaan obat yg


mahal padahal ada obat dg manjur
dg harga murah
2. KURANG: obat yg diperlukan tdk
dipakai/dosis kecil waktu pendek
3. BERLEBIHAN: Dosis terlalu besar &
waktu pendek
4. SALAH: Obat yg digunakan tdk tepat
dg indikasi
5. MAJEMUK/POLIFARMASI:
penggunaan obat yg berlebihan yg
tidak dibutuhkan.
“Therapeutic Drug Monitoring”

• Rentang terapetik suatu obat adalah taksiran


rata-rata dari konsentrasi obat dalam plasma
yang aman dan berefek pada kebanyakan
pasien.
• Klinisi harus menyadari bahwa Rentang
terapetik yang dipublikasikan pada intinya
merupakan konsep kemungkinan dan
seharunya tidak pernah dinyatakan sebagai
nilai yang absolut.
Contoh, RT yang diterima untuk theophylline
adalah 10–20 g/mL.
• Beberapa pasien menunjukkan tanda
intoksikasi teofilin seperti eksitasi CNS dan
insomnia pada kadar serum di bawah 20
g/mL, sedangkan pada pasien lainnya malah
menunjukkan efek terapi pada kadar serum di
bawah 10 g/mL.
Rentang terapetik dari obat-obat yang umumnya dipantau

Amikacin 20–30 µg/mL


Carbamazepine 4–12 µg/mL
Digoxin 1–2 ng/mL
Gentamicin 5–10 µg/mL
Lidocaine 1–5 µg/mL
Lithium 0.6–1.2 mEq/L
Phenytoin 10–20 µg/mL
Procainamide 4–10 µg/mL
Quinidine 1–4 µg/mL
Theophylline 10–20 µg/mL
Tobramycin 5–10 µg/mL
Valproic acid 50–100 µg/mL
Vancomycin 20–40 µg/mL
• Dalam pemberian obat-obat yang poten kepada
penderita, sudah seharusnya mempertahankan
kadar obat dalam plasma berada dalam batas
yang dekat dengan konsentrasi terapetik.
• Berbagai metode farmakokinetik dapat
digunakan untuk menghitung dosis awal atau
untuk aturan dosis.
• Biasanya, aturan dosis awal dihitung secara
empirik atau diperkirakan setelah
mempertimbangkan dengan hati-hati
farmakokinetika obat yang diketahui, kondisi
patofisiologik penderita dan riwayat penggunaan
obat dari penderita.
TDM : kegiatan menilai respons penderita
terhadap aturan dosis yang dianjurkan

TDM diperlukan karena :


• perubahan antar penderita dalam hal absorpsi,
distribusi dan eliminasi obat (intersubject
variability)
• perubahan kondisi patofisiologik penderita
maka di beberapa rumah sakit telah ditetapkan adanya
pelayanan pemantauan terapetik obat
Fungsi dari pelayanan TDM :

• Memilih obat.
• Merancang aturan dosis.
• Menilai respons penderita.
• Menentukan perlunya pengukuran konsentrasi obat
dalam serum.
• Menetapkan kadar obat.
• Melakukan penilaian secara farmakokinetik kadar obat.
• Menyesuaikan kembali aturan dosis.
• Memantau konsentrasi obat dalam serum.
• Menganjurkan adanya persyaratan khusus.
Pemilihan obat
• Pemilihan obat dan terapi dengan obat biasanya
dilakukan oleh dokter. Akan tetapi banyak praktisi
berunding dengan farmasis klinik dalam memilih
produk obat dan merancang aturan dosis.
• Pemilihan terapi dengan obat biasanya dibuat atas
dasar :
– diagnosis fisik penderita,
– adanya berbagai masalah patofisiologik pada penderita,
– riwayat pengobatan penderita sebelumnya,
– terapi obat yang bersamaan,
– alergi atau kepekaan yang diketahui,
– dan aksi farmakodinamik obat.
Rancangan Aturan Dosis
• Setelah obat yang tepat dipilih untuk penderita,
ada sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan
pada waktu merancang aturan dosis terapetik.
• Pertama, pertimbangan farmakokinetika yang
umum dari obat yang meliputi profil absorpsi,
distribusi, dan eliminasi pada penderita.
• Kedua, pertimbangan fisiologi penderita seperti
umur, berat badan, jenis kelamin, dan status
nutrisi.
• Ketiga, setiap kondisi patofisiologik seperti tidak
berfungsi-nya ginjal, penyakit hati, dan kegagalan
jantung kongestive, dipertimbangkan karena
dapat mempengaruhi profil farmakokinetik
normal obat.
• Keempat, hendaknya dipertimbangkan
"exposure" penderita terhadap pengobatan yang
lain atau faktor-faktor lingkungan (seperti
merokok) yang mungkin juga dapat mengubah
farmakokinetik yang umum.
• Terakhir, rancangan aturan dosis seharusnya
mempertimbangkan sasaran konsentrasi obat
pada reseptor penderita yang meliputi
berbagai perubahan kepekaan reseptor
terhadap obat.
Penilaian Respons Penderita
• Setelah suatu produk obat dipilih dan penderita menerima
aturan dosis awal, praktisi hendaknya menilai secara klinik
respons penderita.
• Jika penderita tidak memberikan reaksi terhadap terapi
obat seperti yang diharapkan, maka obat dan aturan dosis
hendaknya ditinjau kembali.
• Aturan dosis hendaknya ditinjau kembali tentang
kecukupan, ketelitian, dan kepatuhan penderita terhadap
terapi obat.
• Praktisi hendaknya menentukan perlu atau tidak
konsentrasi obat dalam serum penderita diukur.
• Dalam banyak keadaan keputusan klinik dapat menghindari
perlunya pengukuran konsentrasi obat dalam serum.
Pengukuran Konsentrasi Obat dalam Serum

• Sebelum cuplikan darah diambil dari


penderita, praktisi hendaknya menetapkan
apakah diperlukan pengukuran konsentrasi
obat dalam serum.
• Dalam beberapa hal respons penderita tidak
dapat dikaitkan dengan konsentrasi obat
dalam serum.
• Sebagai contoh, alergi dan rasa mual ringan
tidak dapat dikaitkan dengan dosis.
• Sebagian besar anggapan yang dibuat oleh praktisi
menyatakan bahwa konsentrasi obat dalam serum
berkaitan dengan efek terapetik dan/atau efek toksik
obat.
• Untuk banyak obat, studi klinik telah menunjukkan
bahwa ada suatu rentang efektif terapetik dari
konsentrasi obat dalam serum.
• Oleh karena itu, pengetahuan tentang konsentrasi obat
dalam serum dapat menjelaskan mengapa seorang
penderita tidak memberikan reaksi terhadap terapi
obat, atau mengapa penderita mengalami suatu efek
yang tidak diinginkan.
• Sebagai tambahan, praktisi mungkin ingin menjelaskan
ketelitian dari aturan dosis.
• Pada pengukuran konsentrasi obat dalam serum,
suatu konsentrasi tunggal dari obat dalam serum
dapat tidak menghasilkan informasi yang berguna
kecuali kalau faktor-faktor lain dipertimbangkan.
• Sebagai contoh, aturan dosis obat yang meliputi
besaran dan jarak pemberian dosis, rute
pemberian obat, serta waktu pengambilan
cuplikan (puncak, palung atau keadaan tunak),
hendaknya diketahui.
• Dalam banyak hal cuplikan darah tunggal tidak
mencukupi oleh karena itu beberapa cuplikan
darah diperlukan untuk menjelaskan
kecukupan aturan dosis.
• Dalam praktek, konsentrasi palung serum
lebih mudah diperoleh daripada cuplikan
puncak atau C ∞ av selama pemberian dosis
ganda.
• Sebagai tambahan, mungkin ada keterbatasan
dalam hal jumlah cuplikan darah yang dapat
diambil, keseluruhan volume darah yang
diperlukan untuk penetapan kadar, dan waktu
untuk melakukan analisis obat.
• Praktisi yang melakukan pengukuran konsentrasi
serum hendaknya juga mempertimbangkan biaya
penetapan kadar, risiko, dan ketidaksenangan
penderita, dan kegunaan informasi yang
diperoleh
Penetapan Kadar Obat
Spesifitas .
Ketepatan
Linearitas
Ketelitian
Kepekaan
Stabilitas
SPESIFISITAS
• Spesifisitas hendaknya ditetapkan dengan percobaan
melalui bukti kromatografik bahwa metode itu spesifik
untuk obat.
• Metode hendaknya menunjukkan bahwa tidak ada
gangguan antar obat, metabolit-metabolit obat, dan
zat-zat endogen atau eksogen.
• Sebagai tambahan, standar internal hendaknya dapat
dipisahkan secara lengkap dan menunjukkan tidak
adanya gangguan senyawa-senyawa lain.
• Penetapan kadar secara kolorimetrik dan
spektrofotometrik biasanya kurang spesifik.
• Gangguan dari zat lain dapat memperbesar kesalahan
hasil
Kepekaan
• Kepekaan adalah kadar minimum yang dapat
terdeteksi atau konsentrasi obat dalam serum
yang dapat diperkirakan sama dengan
konsentrasi terendah obat yaitu 2-3 kali
gangguan "latar ' belakang" (background
noise). Kadar minimum yang dapat diukur
(MQL) adalah metode statistik untuk
penentuan ketepatan pada kadar terendah
LINEARITAS
• Penetapan kadar harus menunjukkan
linearitas yang sesuai dengan
menggunakan konsentrasi standar yang
dikerjakan dengan cara tertentu,
mencakup rentang konsentrasi yang
tidak diketahui yang diprakirakan.
• Linearitas menunjukkan hubungan
proposional antara konsentrasi obat
dan respons instrumen (signal) yang
dipergunakan untuk mengukur obat
KETEPATAN.
• Ketepatan berkaitan dengan variasi atau
"reproducibility" data.
• Ketepatan pengukuran hendaknya diperoleh
melalui pengukuran ulang (replikasi) dari
berbagai konsentrasi obat dan melalui
pengukuran ulang kurva konsentrasi standar yang
disiapkan secara terpisah pada hari yang
berbeda.
• Kemudian dilakukan perhitungan statistik yang
sesuai dari penyebaran data, seperti standar
penyimpangan atau koefisien variasi.
KETELITIAN
• Ketelitian menunjukkan perbedaan antara harga
penetapan kadar rata-rata dan harga yang sebenarnya
atau konsentrasi yang diketahui.
• Konsentrasi kontrol obat dalam serum (yang diketahui)
hendaknya disiapkan oleh seorang teknisi bebas yang
menggunakan teknik sedemikian rupa untuk
memperkecil berbagai kesalahan dalam penyiapannya.
• Cuplikan-cuplikan ini, yang meliputi konsentrasi obat
"nol", ditetapkan kadarnya oleh teknisi yang ditugaskan
untuk meneliti dengan menggunakan suatu kurva
konsentrasi obat standar yang sesuai.
STABILITAS.
• Konsentrasi obat standar hendaknya
dipertahankan dalam kondisi penyimpanan
yang sama seperti halnya kondisi cuplikan
serum yang tidak diketahui dan ditetapkan
kadarnya secara periodik.
• Penelitian stabilitas hendaknya berlanjut
paling sedikit waktunya sama seperti waktu
yang diperlukan untuk penyimpanan cuplikan
yang diteliti.
• Cuplikan serum yang diperoleh dari subjek
pada suatu penelitian obat, hendaknya
ditetapkan kadarnya bersama-sama dengan
minimum tiga cuplikan serum standar yang
mengandung konsentrasi obat standar yang
telah diketahui, dan minimum tiga cuplikan
serum kontrol yang konsentrasinya tidak
diketahui oleh analis.
• Cuplikan kontrol ini hendaknya didistribusikan
secara acak setiap hari.
• Cuplikan kontrol hendaknya diulangi dua kali
untuk menilai ketepatan dalam satu hari, dan
ketepatan antar hari yang satu dengan yang
lain.
• Konsentrasi obat dalam tiap cuplikan serum
didasarkan atas kurva standar yang dibuat tiap
hari penetapan kadar.
PENILAIAN SECARA FARMAKOKINETIK
KONSENTRASI OBAT DALAM SERUM
• Setelah konsentrasi obat dalam serum diukur, ahli
farmakokinetik hendaknya menilai data secara tepat.
• Sebagian besar laboratorium melaporkan konsentrasi total
obat (obat bebas dan yang terikat) dalam serum.
• Ahli farmakokinetik hendaknya mengetahui rentang
terapetik yang umum dari konsentrasi obat dalam serum
dari kepustakaan.
• Tetapi kepustakaan mungkin tidak menunjukkan jika harga-
harga tersebut merupakan kadar palung atau kadar puncak.
• Lebih lanjut, penetapan kadar yang digunakan dalam
melaporkan metodologi mungkin berbeda dalam hal
spesifisitas dan ketepatan.
• Hasil penetapan kadar dari laboratorium dapat
menunjukkan bahwa kadar obat dalam serum
penderita lebih tinggi, lebih rendah, atau sama
dengan kadar serum yang diharapkan.
• Ahli farmakokinetik hendaknya menilai hasil ini
secara hati-hati dengan mempertimbangkan ,
kondisi dan patofisiologik penderita.
• Ada beberapa faktor untuk dipertimbangkan oleh
ahli farmakokinetik dalam menafsirkan
konsentrasi obat dalam serum.
• Sering, data lain seperti kreatinin serum yang tinggi dan urea
nitrogen darah yang tinggi (BUN) dapat membantu
membuktikan alasan bahwa konsentrasi obat dalam serum
yang tinggi disebabkan oleh klirens ginjal yang lambat
sehubungan dengan fungsi ginjal.
• Sebagai tambahan, keluhan penderita adanya rangsangan
yang berlebihan dan insomnia, mungkin juga berkaitan
dengan penemuan dari konsentrasi teofilina yang lebih tinggi
daripada konsentrasi teofilina dalam serum yang diharapkan.
• Oleh karena itu dokter atau ahli farmakokinetik hendaknya
menilai data dengan menggunakan pertimbangan medik dan
"pengamatan".
• Keputusan terapetik hendaknya tidak didasarkan semata-
mata atas konsentrasi obat dalam serum.
Konsentrasi serum lebih rendah daripada yang
diharapkan
• Kepatuhan penderita
• Kesalahan dalam aturan dosis
• Salah produk obat (pelepasan terkendali
sebagai pengganti pelepasan segera).
• Bioavailabilitas yang jelek
• Eliminasi cepat
• Peningkatan volume distribusi
• Keadaan tunak tidak tercapai
• Jadwal waktu pengambilan darah
Konsentrasi serum lebih tinggi daripada
yang diharapkan
• Kepatuhan penderita
• Kesalahan dalam aturan dosis
• Salah produk obat (pelepasan segera sebagai
pengganti pelepasan terkendali).
• Bioavailabilitas cepat
• Volume distribusi lebih kecil daripada yang
diharapkan
• Eliminasi lambat
Konsentrasi serum benar tetapi penderita tidak
memberi reaksi terhadap terapi
• Kepekaan reseptor berubah (misal, toleransi)
• Interaksi obat pada reseptor
• Perubahan pada hepatic blood flow
Penyesuaian Dosis
• Dari data konsentrasi obat dalam serum dan
observasi penderita, dokter atau ahli
farmakokinetik dapat menganjurkan adanya
penyesuaian dalam aturan dosis.
• Secara ideal aturan dosis yang baru
hendaknya dihitung dengan menggunakan
parameter-parameter farmakokinetik yang
diperoleh dari konsentrasi obat dalam serum
penderita.
• Walau mungkin tidak cukup data untuk suatu
profil farmakokinetik yang lengkap, ahli
farmakokinetik harus dapat memperoleh
aturan dosis yang baru yang didasarkan atas
data yang dapat diperoleh dan parameter
farmakokinetik dalam kepustakaan yang
didasarkan atas data populasi rata-rata.
Pemantauan Konsentrasi Obat dalam Serum

• Dalam beberapa kasus, patofisiologi penderita


mungkin tidak stabil, apakah membaik atau
memburuk. Sebagai contoh, terapi yang tepat
untuk kegagalan jantung kongestive akan
memperbaiki curah jantung dan perfusi ginjal,
sehingga menaikkan klirens ginjal dari obat.
• Oleh karena itu perlu pemantauan yang
berkesinambungan dari konsentrasi obat dalam
serum untuk meyakinkan terapi obat yang tepat
pada penderita.
• Untuk beberapa obat respons farmakologik
akut dapat dipantau sebagai pengganti
konsentrasi obat dalam serum yang
sebenarnya.
• Sebagai contoh, waktu pembekuan protrombin
mungkin berguna untuk pemantauan terapi
antikoagulan dan pemantauan tekanan darah
untuk obat hipotensive.
Rekomendasi khusus
• Pada suatu waktu karena faktor-faktor lain
penderita mungkin tidak memberikan reaksi
terhadap terapi obat.
– Sebagai contoh, penderita tidak mematuhi instruksi
pengobatan (kepatuhan penderita).
– Penderita mungkin memakai obat setelah makan
yang seharusnya sebelum makan.
– Penderita tidak mematuhi diet khusus (misal, rendah
garam).
• Oleh karena itu, penderita mungkin
membutuhkan instruksi khusus yang sederhana
dan mudah diikuti.
RANCANGAN ATURAN DOSIS
• Ada berbagai metode yang dapat digunakan untuk
merancang suatu aturan dosis.
• Pada umumnya, dosis awal obat diperkirakan dengan
menggunakan parameter farmakokinetik populasi rata-
rata yang diperoleh dari kepustakaan.
• Kemudian respons terapetik penderita dipantau
melalui diagnosis fisik dan jika perlu melalui
pengukuran kadar obat dalam serum.
• Setelah penilaian dilakukan pada penderita, maka
suatu penyesuaian kembali aturan dosis dapat
ditunjukkan dengan pemantauan terapetik obat lebih
lanjut.
Berbagai rancangan aturan dosis :
1. Aturan dosis secara individual
2. Aturan dosis didasarkan atas nilai rata-rata
populasi
3. Aturan dosis didasarkan atas parameter
farmakokinetik parsial
4. Pengaturan dosis secara empirik
1. Aturan Dosis Secara Individual

• Pendekatan yang paling teliti untuk rancangan


aturan dosis adalah perhitungan dosis yang
didasarkan atas farmakokinetika obat pada
penderita.
• Pendekatan ini tidak memungkinkan untuk
perhitungan dosis awal.
• Segera sesudah penderita mendapat pengobatan,
penyesuaian kembali dosis dapat dihitung dengan
menggunakan parameter-parameter yang
didapat dari pengukuran kadar obat dalam serum
setelah dosis awal
2. Aturan Dosis Didasarkan atas Harga Rata-rata
Populasi

• Metode yang paling sering digunakan untuk


menghitung aturan dosis didasarkan atas
parameter farmakokinetik rata-rata yang
diperoleh dari studi klinik yang telah
dipublikasikan dalam kepustakaan obat.
• Metode ini dapat didasarkan atas suatu model
yang pasti atau yang disesuaikan.
• Dalam model yang pasti (fixed model) dianggap
bahwa parameter farmakokinetik rata-rata
populasi dapat digunakan secara langsung untuk
menghitung aturan dosis penderita tanpa suatu
perubahan.
• Parameter farmakokinetik (dianggap tetap):
– tetapan laju absorpsi, K
– faktor bioavailabilitas, F
– volume distribusi, Vd
– tetapan laju eliminasi, K
• Paling sering obat dianggap mengikuti
farmakokinetik model kompartemen-satu.
• Bila suatu aturan dosis ganda dirancang, maka
untuk menilai dosis digunakan persamaan dosis
ganda yang didasarkan prinsip "superposisi“.
• Praktisi dapat menggunakan dosis yang lazim
dianjurkan oleh kepustakaan, dan juga membuat
penyesuaian sedikit dari dosis yang didasarkan
atas berat badan dan/atau umur penderita.
prinsip "superposisi“.
• Bila menggunakan model yang disesuaikan
(adaptive model), untuk menghitung suatu aturan
dosis, ahli farmakokinetik menggunakan variabel-
variabel penderita seperti berat badan, umur, jenis
kelamin, dan luas permukaan tubuh, serta
patofisiologi penderita yang diketahui seperti
penyakit ginjal, dan juga parameter farmakokinetik
obat rata-rata populasi yang diketahui.
• Dalam hal ini, perhitungan aturan dosis perlu
mempertimbangkan berbagai perubahan
patofisiologi penderita dan berusaha
menyesuaikan atau memodifikasi aturan dosis
menurut kebutuhan penderita.
3. Aturan Dosis Didasarkan atas Parameter
Farmakokinetik Parsial
• Untuk banyak obat, disayangkan profil farmakokinetik
yang lengkap tidak diketahui atau tidak terdapat.
• Oleh karena itu ahli farmakokinetik dapat membuat
beberapa anggapan untuk menghitung aturan dosis.
• Sebagai contoh, suatu anggapan umum adalah
memisalkan faktor bioavailabitas F sama dengan 1 atau
100%.
• Jadi, jika obat kurang lengkap terabsorpsi sistemik,
maka penderita akan "undermedicated" daripada
"overmedicated".
• Tentu saja, beberapa anggapan ini akan bergantung
pada sifat obat dan rentang terapetiknya.
4. Pengaturan Dosis secara Empirik
• Dalam banyak kasus, dokter memilih suatu aturan
dosis untuk penderita tanpa menggunakan
berbagai variabel farmakokinetik.
• Dalam keadaan ini, dokter membuat keputusan
yang didasarkan atas data klinik empirik,
pengalaman pribadi, dan pengamatan.
• Dokter menggolongkan penderita sebagai wakil
dari suatu populasi klinik yang sama yang telah
diteliti dengan baik yang menggunakan obat
dengan berhasil.
Contoh Kasus

KONVERSI DARI INFUSI INTRAVENA KE


PEMBERIAN DOSIS ORAL
Infus Intravena Oral (tablet)
• Setelah kondisi penderita
dikendalikan dengan
infusi intravena, sering
diinginkan untuk
melanjutkan pengobatan
terhadap penderita
dengan obat yang sama
dengan rute pemberian
oral.
• Segera setelah infusi
intravena dihentikan,
maka konsentrasi obat
dalam serum menurun
menurut kinetika
eliminasi order kesatu.
• Untuk produk obat oral dengan
pelepasan segera, waktu yang
diperlukan untuk mencapai
keadaan tunak tergantung pada
tetapan laju eliminasi order kesatu
obat.
• Oleh karena itu, jika penderita
memulai aturan dosis dengan
produk obat oral pada waktu yang
sama saat infusi intravena
dihentikan, maka penurunan kadar
obat dalam serum dari infusi
intravena secara eksponensial
seharusnya sesuai dengan Pemberian Oral “ER”
kenaikan secara eksponensial
kadar obat dalam serum dari
produk obat oral.
• Konversi dari infusi intravena ke suatu
pengobatan oral lepas lambat yang diberikan
satu atau dua kali sehari telah umum dilakukan
dengan tersedianya produk obat lepas lambat
seperti teofilina atau kinidina.
• Simulasi komputer untuk konversi terapi
teofilina (aminofilina) secara intravena ke
teofilina oral lepas lambat menunjukkan bahwa
terapi oral hendaknya dimulai pada waktu yang
sama saat infusi intravena dihentikan.
• Dengan metode ini fluktuasi kadar puncak
teofilina dalam serum dan kadar palung
teofilina dalam serum kecil.
• Lebih lanjut pemberian dosis pertama oral
dapat mempermudah perawat atau penderita
untuk mematuhi aturan dosis.
• Ada dua metode yang dapat digunakan untuk
menghitung suatu aturan dosis oral yang
sesuai untuk penderita dengan kondisi yang
telah distabilkan dengan suatu infusi obat
intravena.
• Kedua metode menganggap bahwa
konsentrasi obat dalam plasma penderita
pada keadaan tunak.
Metode ke-1 :
• Metode ini beranggapan bahwa
konsentrasi tunak obat dalam plasma, Css
setelah infusi IV identik dengan Cav~ yang
diinginkan setelah pemberian oral dosis
ganda.

 F.D0 [AUC] F.D0  F.Do  1  -kt p
C 
av   0
Cmaks   - kτ 
.e
Vd .kτ τ ClT .τ Vd  1 - e 
 k a . F.Do  1  -k
C   - kτ 
.e
Vd (ka  k )  1 - e 
min
Dalam aplikasinya :

S = Bentuk garam dari Obat; DO/ = Kecepatan dosis


Contoh :
• Seorang pasien asma, pria dewasa (umur 55,
berat badan 78 kg) dipertahankan dengan
infusi intravena aminofilina pada laju 34
mg/jam. Konsentrasi tunak teofilina adalah 12
mg/ml dan klirens tubuh total adalah 3,0
I/jam.
• Hitung aturan dosis oral yang sesuai dari
teofilina untuk pasien ini.
• Aminofilina adalah suatu garam dari teofilina
yang larut dan mengandung 85% teofilina (S =
0,85). Teofilina 100% "bioavailable“ (F =1)
setelah pemberian suatu dosis oral.
• Karena klirens tubuh total ClT = K.Vd,
Persamaan tadi dapat dinyatakan sebagai :
Sehari (24 jam) : 28,9 x 24 = 693,6 mg / hari  700 mg/hari

Pengaturannya?
Dosis 700 mg/hari dapat diberikan dalam 2 cara :
a) 350 mg setiap 12 jam atau
b) 175 mg setiap 6 jam
Dua-duanya akan menghasilkan Cav (ss) yang sama, namun
Cmax dan Cmin akan berbeda.

Saran : Berikan obat dalam cara (a) secara sustained- release, untuk
menghindari konsentrasi obat yg tinggi secara berlebihan.
Metode ke-2 :
Metode 2 menganggap bahwa kecepatan infusi intravena
(mg/hr) sama dengan kecepatan dosis oral yang diinginkan
Contoh :
• Dengan menggunakan contoh pada metode 1, perhitungan
berikut dapat digunakan.

Solusi :
• Aminophylline yang diberikan scr Infus IV pada kecepatan
34 mg/hr. Total dosis per hari dari amonofilin adl 34 mg/hr
x 24 hr = 816 mg.
• Dosis per hari ekivalen dengan teofilin adalah 816 x 0.85 =
693.6 mg.
• Jadi, patient seharusnya menerima kira-kira 700 mg
theophylline per hari atau 350 mg teofilin lepas lambat
setiap 12 jam
Pharmacologic Principles
Pharmacognosy
• The study of natural (plant and animal) drug sources
FARMAKOTERAPI =
• Diagnosis
• Patogenesis
• Farmakokinetik
• Farmakodinamik

Anda mungkin juga menyukai