Anda di halaman 1dari 40

LOGIKA 1

PENGERTIAN LOGIKA

• Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος


(logos) yang berarti hasil pertimbangan akal
pikiran yang diutarakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa.
• Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike
episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu
logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari
kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat,
dan teratur.
Logika

 Suatu cara pengambilan kesimpulan.


 Suatu alat untuk berpikir.
 Suatu teknik menyusun argumen.
 Suatu metode untuk mengemukakan pendapat secara
masuk akal.
 Suatu cara mematuhi aturan-aturan hukum berpikir.
MACAM-MACAM LOGIKA
Logika alamiah
 Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang
berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh
keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan
yang subyektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada
sejak lahir.

Logika ilmiah
 Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-
azas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat
pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja
dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih
aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan
kesesatan atau, paling tidak, mengurangi.
HUKUM DASAR LOGIKA
ARISTOTELES, LEIBNIZ, J.S. MILL
 PRINSIP IDENTITAS
(Principium Identitatis/Law of Identity)
 PRINSIP KONTRADIKSI
(Principium Contradictionis/Law of Contradiction)
 PRINSIP TIADA JALAN TENGAH
(Principium Exclusi Tertii/Law of Excluded Middle)
 PRINSIP CUKUP ALASAN
(Principium Rationis Sufficientis/Law of Sufficinet
Reason)
 FOKUS LOGIKA: MENYUSUN ARGUMEN
 ARGUMEN: SATU PROSES UNTUK MENDUKUNG
PEMIKIRAN (KONKLUSI) DENGAN ALASAN
(PREMIS)
 ARGUMEN SETIDAKNYA BERISI DUA PROPOSISI
(PREMIS) UNTUK KEMUDIAN DISIMPULKAN
(KONKLUSI)_PROSES MENARIK KONKLUSI DARI
PREMIS DISEBUT INFERENSI
 MODEL BERPIKIR/BERARGUMEN INFERENSIAL
DISEBUT DENGAN SILOGISME
Sebuah silogisme harus terdiri dari 3
proposisi: premis mayor, premis minor dan
konklusi

 Premis Mayor
Semua mahasiswa adalah orang-orang pintar
 Premis Minor
Halim adalah mahasiswa
 Konklusi
Jadi, Halim adalah orang pintar
SILLOGISME BISA..

•VALID/INVALID (ALUR
PENALARANNYA)

•BENAR / SALAH
(KEBENARAN/KETEPATAN
PREMIS MAYORNYA)
CONTOH
SILLOGISME YANG SALAH (premis mayornya salah)
 Premis Mayor : Orang keriting itu lebih lucu

 Premis Minor : Lukman Rambutnya Lurus, ‘Ain


Rambutnya Keriting
 Conclusion : ‘Ain lebih lucu dibanding Lukman.

SILLOGISME YANG INVALID (variabel dan alur


berpikirnya salah):
 Premis Mayor : Semua anjing makan daging

 Premis Minor : Joni (nama orang) makan daging


 Conclusion : Joni adalah anjing.
PREMIS MAYOR Semua penyanyi dangdut
itu menarik

PREMIS MINOR Inul adalah seorang


penyanyi dangdut
KONKLUSI Jadi, Inul adalah seorang
yang menarik logis
Jadi, Rhoma adalah seorang
yang menarik tidak logis
PREMIS Semua Mahasiswa adalah orang yang
MAYOR Rajin

PREMIS Tommy adalah mahasiswa saya


MINOR
KONKLUSI Tommy adalah orang yang rajin Logis
Semua Mahasiswa bimbingan saya
adalah orang-orang yang rajin  Tidak
Logis
PREMIS MAYOR Semua Muslim Cinta Damai

PREMIS MINOR Semua Takmir Masjid adalah Muslim

KONKLUSI Jadi, semua takmir masjid cinta damai


PREMIS Semua anggota DPR tidak setuju BBM
MAYOR naik

PREMIS Joni adalah anggota DPR


MINOR

KONKLUSI Jadi, Joni tidak setuju BBM naik


PREMIS Semua anggota PKI bukan warga
MAYOR negara yang baik

PREMIS Ia bukan seorang warga negara yang


MINOR baik

KONKLUSI Ia seorang anggota PKI Tidak Logis


PREMIS Eyang Subur adalah Paranormal
MAYOR
PREMIS Eyang Subur memiliki isteri 9
MINOR

KONKLUSI Paranormal itu memiliki isteri 9/banyak


Tidak Logis
MODE 1: DEDUKSI

 Cara berpikir dengan menggunakan kriteria atau


suatu pengetahuan tertentu yang bersifat umum
untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang khusus
atau spesifik.
 Karena deduksi diawali oleh sebuah premis umum
maka kebenaran dari hasil kesimpulannya
tergantung mutlak kepada benar atau tidaknya
premis umum tersebut.
 JENIS: MODUS PONENS, MODUS TOLLENS,
DISJUNCTIVE SYLLOGISM, HIPOTHETIC
SYLLOGISM
Modus Ponens
1. Jika A Maka B
2. A
3. Berarti B

 A=ANTASEDEN, B= CONSEQUENT
 MODUS PONENS: ANTASEDEN HARUS DIAFIRMASI, TIDAK
BOLEH DIINGKARI

 1. JIKA SESEORANG ADALAH BAPAK, MAKA DIA LAKI-LAKI--


2. SAYA BAPAK
3. MAKA SAYA LAKI-LAKI (valid)

 1. JIKA SESEORANG ADALAH BAPAK, MAKA DIA LAKI-LAKI


2. SAYA BUKAN BAPAK
3. MAKA SAYA BUKAN LAKI-LAKI (invalid)
Modus Tollens
1. Jika A maka B
2. Bukan B
3. Berarti Bukan A
• CONSEQUENT BISA DIINGKARI, TIDAK BISA DIAFIRMASI

• 1. JIKA SEORANG ADALAH IBU, MAKA DIA ADALAH PEREMPUAN


2. DIA BUKAN PEREMPUAN
3. DIA BUKAN IBU (valid)

• 1. JIKA SEORANG ADALAH IBU, MAKA DIA ADALAH PEREMPUAN


2. DIA PEREMPUAN
3. MAKA DIA IBU (invalid)
Hypothetical Syllogism
1. Jika A maka B
2. Jika B maka C
3. Jika A Maka C

1. Jika Anda belajar rajin, maka Anda lulus ujian.


2. Jika Anda lulus ujian, maka Anda senang.
3. Dengan demikian, jika Anda rajin belajar, maka
Anda senang.
Disjunctive Syllogism
1. A or B
2. Not A
3. B

1. Program komputer ini mempunyai bug,


atau input-nya salah.
2. Input-nya tidak salah.
3. Dengan demikian, program komputer ini
mempunyai bug.
MODE 2: INDUKSI

 Berpikir dengan cara menyimpulkan sesuatu yang


berangkat dari hal-hal khusus menuju kepada
kesimpulan umum.
 Metode berpikir induksi sifatnya spekulatif. Jika
diketahui bahwa “Saya butuh makan”, “Evan
butuh makan”, “Avi butuh makan”, dan “Willy
butuh makan”, maka dengan induksi, kita dapat
menyimpulkan bahwa “Semua manusia butuh
makan”.
Pengetahuan Pengetahuan
dengan khusus/spesifik
keumuman Deduksi
Pengetahuan
tinggi khusus/spesifik
Pengetahuan
khusus/spesifik

Induksi
MODE 3: ABDUKSI

 Aristoteles menyebut abduksi dengan apagoge.


 Abduksi: Jenis inferensi silogistik yang tidak
membawa kepastian. Premis mayor bersifat pasti,
sedangkan premis minor tidak pasti, atau
sebaliknya. Karena itu kesimpulannya menjadi
kurang pasti.
 Misalnya: Setiap Kiai memakai Jubah (P. mayor),
Ayahku memakai jubah (P. Minor), ayahku seorang
Kiai (konklusi)
 Abduksi adalah: reasoning for the best
explanation_
 Maka contoh di atas harus dipahami:
 Premis mayornya: “penjelasan terbaik
tentang orang yang memakai jubah adalah
seorang Kiai”
 Konklusinya yang paling tepat adalah:
“penjelasan terbaik dari banyak
kemungkinan ayahku yang memakai jubah
adalah ia seorang Kiai”
KRITERIA “PENJELASAN TERBAIK”
• PREDICTABILITY: Bisa dipahami untuk
membaca fakta-fakta lain yang sama di masa
depan karena selalu seperti itu
• KOHERENSI: Sama dan sesuai untuk semua
fenomena/fakta yang sama
• SIMPLICITY: lebih sederhana dari
kemungkinan-kemungkinan lainnya
• FRUITFULNESS: Manfaat/kegunaan nyata
MODE 3: GENERALISASI

 Generalisasi dapat dikatakan sama dengan prosedur


berpikir induksi tidak lengkap.
 Metodenya: “dari beberapa ke semua”.
 Generalisasi adalah prosedur berpikir dengan
melihat beberapa hal khusus (tidak semuanya)
untuk kemudian disimpulkan secara umum.
MENGUJI GENERALISASI 1
 Adakah kita telah mengambil sample hal-hal atau
kejadian-kejadian dari kelompok yang diuji dalam
jumlah yang cukup? Pengujian ini akan
menimbulkan pertanyaan tambahan, berapa banyak
“jumlah yang cukup itu”?.
 Semakin banyak jumlah sample yang diuji, akan
dapat menambah kemungkinan (probabilitas)
benarnya generalisasi.
 Apabila yang dipersoalkan adalah unsur-unsur yang
tidak dapat ditentukan, misalnya manusia, maka
biasanya yang lahir adalah generalisasi yang tergesa-
gesa. Kita harus kritis untuk menyikapi generalisasi
seperti: semua orang laki-laki sama saja; orang yang
selalu ke mesjid tidak mungkin menjadi jahat; semua
orang kaya kikir dan materialis.
MENGUJI GENERALISASI 2
 Adakah pengecualian dalam kesimpulan umum? Apabila
ada, apakah pengecualian tersebut juga diperhitungkan
dan diperhatikan dalam membuat generalisasi?
 Apabila jumlah pengecualiannya banyak, kita tidak
mungkin dapat membuat generalisasi, tetapi jika hanya
terdapat beberapa pengecualian, kita masih dapat
membuat generalisasi, asalkan selalu waspada dan hati-
hati untuk tidak menggunakan kata-kata seperti “semua”
atau “setiap” dan yang sejenisnya dalam generalisasi.
 Kata-kata seperti itu hendaknya diganti dengan istilah:
pada umumnya, kebanyakan, sebagian, menurut garis
besarnya, dan lain sebagainya. Meskipun prosedur yang
terakhir ini akan mewujudkan generalisasi yang tidak
sempurna, namun telah cukup untuk membentuk satu
pemikiran yang valid dalam kejadian-kejadian praktis
sehari-hari.
MODE 4: KAUSALITAS
[HUBUNGAN SEBAB-AKIBAT]

 Prosedur berpikir kausalitas ini mengikuti tiga pola berikut: a. Dari


sebab ke akibat ; b. Dari akibat ke sebab; c. Dari akibat ke akibat
 Pemikiran dari sebab ke akibat: berangkat dan suatu sebab yang
diketahui lalu disimpulkan akibatnya; misalnya, “hujan lebat
sekali”; “aku lupa menutup pintu empang, maka empangnya pasti
meluap dan ikan peliharaanku pasti kabur”.
 Pemikiran dari akibat ke sebab: berangkat dari akibat yang
diketahui menuju sebabnya. Seorang pasien pergi ke dokter karena
badannya panas. Badan panas menunjukkan akibat. Selanjutnya
tugas sang dokter untuk memastikan apa yang menjadi sebabnya.
 Pemikiran dari akibat ke akibat: berangkat dari suatu akibat ke
akibat lain tanpa menyebutkan sebab yang menghasilkan keduanya;
misalnya: sungai meluap; kemudian kita berpikir: maka empang
kita juga pasti meluap. Keduanya berasal dan suatu sebab yang
tidak disebutkan, misalnya: hujan yang lebat sekali.
SEBAB_ARISTOTELES

 SEBAB MATERIAL, SEBAB EFISIEN, SEBAB


FORMAL, SEBAB TERAKHIR
 MISALNYA: “JAKARTA BANJIR”
 SEBAB MATERIAL: SEBAB JAKARTA DIKEPUNG
SUNGAI
 SEBAB EFISIEN: SEBAB SUNGAI-SUNGAI DI JAKARTA
TERSUMBAT ALIRANNYA
 SEBAB FORMAL: SEBAB AIR SUNGAI YANG
TERSUMBAT KEMUDIAN MELUBER KE PEMUKIMAN
 SEBAB TERAKHIR: ADA BANJIR AGAR MANUSIA
SADAR MENJAGA HARMONI ALAM
SEBELUM MEMASTIKAN SEBAB…

 Adakah sebabnya cukup untuk menghasilkan


akibatnya?
 Adakah sesuatu yang menghalangi sebab
untuk menghasilkan akibat tersebut?
 Adakah mungkin sebab lain yang
menghasilkan akibat tersebut?
KEKELIRUAN KAUSALITAS
 Post hoc, ergo propter hoc, yakni pemikiran
yang menafsirkan kejadian-kejadian atas
dasar: “sesudah ini, maka karena ini”,
misalnya: Homo Sapiens (manusia) itu adanya
sesudah Pithecanthropus (kera); jadi manusia
itu berasal dari kera.
 Cum hoc ergo propter hoc, yakni pemikiran
yang menafsirkan kejadian-kejadian atas
dasar: “bersama itu maka oleh karena itu”;
misalnya: bersama dengan turunnya hujan
buatan, ikan-ikan mati, maka kemudian
disimpulkan karena hujan buatan, ikan-ikan
tersebut mati.
MODE 6: ANALOGI

 Analogi sering juga disebut pemikiran melalui


persamaan atau kadang juga disebut qiyas.
 Prosedur berpikir analogi: berangkat dari suatu hal
atau kejadian khusus kepada hal atau kejadian
khusus lainnya yang semacam, dan menyimpulkan
bahwa apa yang berlaku pada hal atau kejadian yang
satu, juga akan berlaku pada hal atau kejadian yang
lain.
 Contoh : Faiz sembuh dari pusing kepalanya setelah
minum obat ini, maka Rini juga akan sembuh dari
pusing kepalanya jika minum obat ini.
 Peristiwa pokok yang menjadi dasar.
 Peristiwa prinsipal yg menjadi pengikat
 Peristiwa yg akan dianalogikan
a. Jumlah peristiwa sejenis.
b. Sedikit aspek yang menjadi dasar analogi
c. Sifat analogi yang dibuat
d. Mempertimbangkan unsur yang berbeda.
e. Relevan.
MODE 7: KEWIBAWAAN/OTORITAS

 Kewibawaan: sebagai kesaksian/pengetahuan yang


diberikan seseorang atau sekelompok orang yang
relevan dan memiliki otoritas dalam hal yang sedang
dibahas.
 Alasan: Keterbatasan Pengalaman dan Penalaran
Setiap Orang
MENGUJI KEWIBAWAAN 1

 Adakah kewibawaannya kita sangsikan?


 Suatu kewibawaan dapat dikatakan tidak
disangsikan jika ia dengan seksama telah meneliti
fakta-fakta dan telah mencapai kesimpulan darinya
dengan tidak melibatkan kepentingan pribadi.
 Untuk memilih kewibawaan yang tidak disangsikan,
kita harus waspada terhadap hal-hal seperti
kepentingan khusus, afiliasi partai, keberpihakan
kelompok, motif-motif ekonomis, dan berbagai
unsur lingkungan dan psikologis yang mungkin
membuat pikiran seseorang dapat disangsikan.
MENGUJI KEWIBAWAAN 2

 Adakah pendidikan dan pengalaman orang ini


benar-benar membuatnya berwenang berbicara
sebagai ahli dalam bidang ini?
 Dalam dunia yang telah mengenal spesialisasi ilmu
seperti abad ke-20 ini, kiranya hampir tidak ada satu
pun orang yang menguasai seluruh bidang ilmu.
 Jaman kita saat ini adalah jaman dimana kita dapat
menerima seseorang sebagai seorang ahli hanya bila
orang tersebut mendapat pendidikan spesialisasi
khusus dan pengalaman yang mendalam dalam
suatu lapangan pengetahuan khusus.
MENGUJI KEWIBAWAAN 3

 Adakah orang ini menggunakan dasar yang objektif atau


fakta dan alasan yang tepat bagi kesimpulannya.
 Apabila seorang ahli mendasarkan pemikirannya kepada
keyakinan pribadinya, kita harus bertanya adakah
pemikirannya valid, dan apakah pendapat-pendapat
yang berlawanan telah dipertimbangkan; apakah dia
tidak mencampuradukkan kebenaran dan keyakinan
pribadinya?
 Salah satu petunjuk terbaik dari integritas suatu
kewibawaan adalah kesediaannya memikirkan suatu
objek dari berbagai segi, tidak hanya dari satu segi.
MENGUJI KEWIBAWAAN 4
 Adakah publik atau orang yang kita ajak bicara
bersedia menerima orang ini sebagai suatu
kewibawaan?
 Apabila tidak, apakah kita telah cukup memiliki
informasi dan latar belakang untuk memastikan
kapasitasnya sebagai orang yang layak diikuti?
 Kewajiban kita ialah memastikan kredibilitas
orang-orang yang akan kita buktikan
kewibawaannya. Informasi latar belakang tentang
kewibawaan ini harus kita masukkan apabila
muncul keragu-raguan tentang kewibawaan dari
pihak orang yang kita ajak bicara.

Anda mungkin juga menyukai