Anda di halaman 1dari 57

GAMBARAN FAKTOR INTRINSIK YANG MEMPENGARUHI ISPA

PADA BATITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TUMPANG


KECAMATAN TUMPANG KABUPATEN MALANG

Pembimbing 1 : Heny Nurmayunita, S.Kep. Ns., MMRS


Pembimbing 2 : Ardhiles Wahyu Kurniawan, M.Kep
By: Yunita Pegi Indarwati (171193)
BAB 1
BAB 1

INTRODUKSI FENOMENA
ISPA adalah infeksi akut ISPA diawali dengan gejala
saluran pernapasan atas seperti pilek biasa, batuk, demam,
bersin-bersin, sakit tenggorokan,
maupun bawah yang sakit kepala, sekret menjadi
disebabkan oleh infeksi kental, nausea, muntah dan
jasad renik atau bakteri, anoreksia. Banyak orang tua yang
virus, maupun reketsia sering mengabaikan gejala
tanpa atau disertai dengan tersebut, sementara kuman dan
virus dengan cepat berkembang
radang parenkim paru. ke dalam saluran pernafasan
BAB 1

JUSTIFIKASI JUSTIFIKASI
Menurut WHO tahun 2012, Di Indonesia penyakit Infeksi Saluran
Pemafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit
sebesar 78% batita yang yang sering terjadi pada anak dan prevalence
berkunjung ke pelayanan ISPA di Jawa Timur mencapai (28,3%).
kesehatan adalah akibat ISPA. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di
Kematian batita akibat ISPA di Puskesmas Tumpang pada tanggal 12
September 2019 angka kejadian ISPA pada
Asia Tenggara sebanyak 2.1 juta . batita pada bulan Juli sampai September 2019.
Kematian batita akibat ISPA di Adapun rincian pada bulan Juli 53 batita,
Indonesia mengalami Agustus 40 batita, dan September 42 batita
peningkatan sebesar 20.6% dari (Puskesmas Tumpang, 2019).
tahun 2010 hingga tahun 2011
BAB 1

RUMUSAN MASALAH TUJUAN UMUM


Berdasarkan latar belakang Mengetahui gambaran
tersebut, maka penelitian faktor intrinsik yang
merumuskan permasalahan yaitu
“Bagaimana gambaran faktor
mempengaruhi kejadian
intrinsik yang mempengaruhi penyakit ISPA pada batita di
kejadian penyakit ISPA pada Puskesmas Tumpang
batita di Puskesmas Tumpang Kecamatan Tumpang
Kecamatan Tumpang Kabupaten Kabupaten Malang.
Malang?’’
BAB 1

4. Mengidentifikasi faktor jenis kelamin dengan


TUJUAN KHUSUS kejadian penyakit ISPA pada batita di Puskesmas
1. Mengidentifikasi faktor BBLR dengan kejadian Tumpang Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang.
penyakit ISPA pada batita di Puskesmas Tumpang 5. Mengidentifikasi faktor status imunisasi dengan
Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. kejadian penyakit ISPA pada batita di Puskesmas
2. Mengidentifikasi faktor status gizi dengan kejadian Tumpang Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang.
penyakit ISPA pada batita di Puskesmas Tumpang 6. Mengidentifikasi faktor pemberian ASI dengan
Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. kejadian penyakit ISPA pada batita di Puskesmas
3. Mengidentifikasi faktor usia dengan kejadeian Tumpang Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang.
penyakit ISPA pada batita di Puskesmas Tumpang 7. Mengidentifikasi faktor pemberian vitamin A
Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. dengan kejadian penyakit ISPA pada batita di
Puskesmas Tumpang Kecamatan Tumpang
Kabupaten Malang.
MANFAAT
MANFAAT TEORITIS MANFAAT PRAKTIS
Diharapkan hasil ini dapat bermanfaat bagi 1. Bagi tempat penelitian
perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu Diharapkan adanya kerjasama antara pihak puskesmas dengan
keperawatan tentang gambaran faktor intrinsik yang masyarakat melalui penyuluhan kesehatan tentang penyakit-
penyakit menular salah satunya penyakit ISPA, sehingga dapat
mempengaruhi kejadian penyakit ISPA pada batita di
meningkatkan pengetahuan, serta memberikan pemahaman
Puskesmas Tumpang Kecamatan Tumpang kepada masyarakat.
Kabupaten Malang. 2. Bagi responden
Diharapkan responden untuk berpastisipasi dalam kegiatan
penyuluhan agar dapat memeiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang penyakit-penyakit menular. Sehingga angka kejadian ISPA
dapat diminimalisir.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar
pengembangan penelitian ke arah pemberian intervensi promosi
kesehatan khususnya tentang penyakit-penyakit menular.

BAB 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi 1. Etiologi
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi saluran 2. Patofisiologi
Pernapasan Akut. Istilah lain dalam bahasa inggris
Acute Respiratory Infection (ARI), yaitu penyakit 3. Klasifikasi
infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau
lebih saluran napas mulai dari hidung (saluran 4. Tanda dan Gejala
pernafasan atas) sampai alveoli (saluran
pernapasan bawah) (Rini, 2014). 5. Penatalaksanaan
6. Pencegahan
BAB II
1. Etiologi

2. Patofisiologi

3. Klasifikasi

4. Tanda dan Gejala

5. Penatalaksanaan

6. Pencegahan
FAKTOR INTRINSIK
7. Pemberian
1. BBLR
Vitamin A

2. Status
Gizi 6. Pemberian
ASI Eksklusif

3. Usia
5. Status
Imunisasi
4. Jenis Kelamin
FAKTOR INTRINSIK
1. Tingkat Pengetahuan Ibu
2. Ventilasi
3. Suhu dan Kelembapan
4. Populasi Udara dan Jenis Bahan Bakar
5. Penggunaan Obat Nyamuk
6. Asap Rokok
7. Kepadatan Hunian
KERANGKA KONSEP
BAB III
DESAIN PENELITIAN
Rancangan atau desain penelitian adalah suatu yang
penting dalam penelitian, memungkinkan pengontrolan maksimal
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi akurasi suatu hasil
(Nursalam, 2013). Desain penelitian yang digunakan adalah
penelitian deskriptif. Desain ini digunakan untuk mengetahui
gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ISPA pada batita di
wilayah kerja Puskesmas Tumpang Kecamatan Tumpang
Kabupaten Malang (Rani, 2019).
Populasi, Sampel, dan Sampling

Populasi Sample
Populasi adalah wilayah generalisasi yang Sampel penelitian adalah bagian dari
terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi
kualitas dan karakteristik tertentu yang tersebut (Sugiyono, 2016). Sampel yang
ditepkan oleh penelitian untuk dipelajari dan diambil dalam penelitian ini adalah sebagian
kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, ibu yang memiliki batita dengan ISPA di
2016). Populasi dalam penelitian ini yaitu wilayah kerja Puskesmas Tumpang Kecamatan
semua ibu yang memiliki batita dengan ISPA di Tumpang Kabupaten Malang sebanyak 32
wilayah kerja Puskesmas Tumpang Kecamatan orang.
Tumpang Kabupaten Malang sebanyak 53
orang.
SAMPLING
Sampling
Dalam penelitian ini, teknik pengambilan
sampel menggunakan Purposive sampling yaitu
teknik untuk menentukan sampel penelitian
dengan beberapa pertimbangan tertentu yang
bertujuan agar data yang diperoleh nantinya bisa
lebih representatif (Sugiyono, 2010). Dalam teknik
Purposive sampling peneliti harus menentukan
kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek
penelitian dari suatu populasi target yang
terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2012).
Prosedur Pengumpulan Data
Proses Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian, prosedur yang ditetapkan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1. Sebelum melakukan penelitian, penelitian terlebih dahulu mengajukan izin kepada Bankes Bangpol Malang dan
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang melalui surat pengantar dari Poltekkes RS dr.Soepraoen.
2. Menetapkan sampel penelitian yaitu sebagian ibu yang memiliki balita dengan ISPA di wilayah kerja Puskesmas
Tumpang Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang.
3. Peneliti mendatangi langsung ibu yang memiliki balita dengan ISPA di wilayah kerja Puskesmas Tumpang Kecamatan
Tumpang Kabupaten Malang.
4. Menjelaskan kepada semua ibu yang memiliki balita dengan ISPA di wilayah kerja Puskesmas Tumpang Kecamatan
Tumpang Kabupaten Malang tentang maksud dan tujuan dari penelitian yang dilakukan, setelah memberikan
penjelasan responden diminta mengisi lembar inform concent (surat persetujuan) untuk menjadi responden.
5. Mencari sumber data yang diperlukan di buku KIA pada balita yang menderita ISPA.
Penyusunan laporan hasil penelitian.
6. Penyusunan laporan hasil penelitian.
Etika Penelitian
1. Informed consent 5. Privacy
(Surat persetujuan) (Pribadi)

2. Anonymity
6. Protection from
(Tanpa nama)
discomfort
(Perlindungan dari
3. Confidentiality ketidaknyamanan)
(Kerahasiaan)

7. Justice (Adil)
4. Self Determinant
(Penentu secara mandiri)
BAB IV
Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas Tumpang terletak di Jalan Setyawan No. 227 dan berada di


tengah-tengah wilayah Kecamatan Tumpang dengan jarak kurang lebih
43 dari pusat ibu kota kabupaten Malang (Kepanjen), 15 km dari pusat
Kota Malang, 98 km dari Ibu Kota Provinsi Surabaya, dan kurang lebih 10
km dari desa terjauh dalam wilayah Kecamatan Tumpang. Kecamatan
Tumpang mempunyai batas wilayah sebelah Utara kecamatan Jabung,
sebelah Timur hutan, sebelah Barat Kecamatan Pakis dan Kota Malang,
dan sebelah Selatan Kecamatan Poncokusumo dan Kecamatan Tajinan.
Data Umum
4.1.2 Data Umum
1. Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Umur
Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan
Umur
No Umur Ibu Frekuensi (orang) Presentase (%)
1 17-25 tahun 19 59%
2 26-35 tahun 8 25%
3 36-45 tahun 5 16%
Total 32 100%

Berdasarkan tabel di atas dapat diinterpretasikan bahwa distribusi


umur ibu sebagian besar berumur 17-25 tahun sebanyak 19
responden (59%) dan sebagian kecil berumur 36-45 tahun
sebanyak 5 responden (16%).
Data Umum
2.Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Tingkat
Pendidikan
Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Responden Penelitian
Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Pendidikan Frekuensi (orang) Presentase (%)
1 SD 17 53%
2 SMP 8 25%
3 SMA 5 16%
4 PT 2 6%
Total 32 100%

Berdasarkan tabel diatas dapat diintepretasikan bahwa


distribusi pendidikan sebagian besar berpendidikan SD
sebanyak 17 responden (53%) dan sebagian kecil
berpendidikan perguruan tinggi sebanyak 2 responden (6%).
Data Umum
3.Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Pekerjaan Ibu
Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan
Pekerjaan Ibu
No Pekerjaan Frekuensi (orang) Presentase (%)
1 IRT 26 81%
2 Swasta 4 13%
4 PNS 2 6%
Total 32 100%

Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat diintepretasikan bahwa distribusi


status pekerjaan ibu hampir seluruhnya sebagai ibu rumah tangga sebanyak
26 responden (81%) dan sebagian kecil bekerja sebagai PNS sebanyak 2
responden (6%).
DATA KHUSUS
1. ISPA
Tabel 4.4 Distribusi data ISPA pada pada batita di
wilayah kerja Puskesmas Tumpang Kecamatan
Tumpang Kabupaten Malang.
Usia
Kategori ∑ %
ISPA 32 60,4%
Tidak ISPA 21 39,6%
Jumlah 53 100%
2. BBLR
Tabel 4.5 Distribusi data bayi berat lahir rendah yang
mempengaruhi ISPA pada pada batita di wilayah kerja
Puskesmas Tumpang Kecamatan Tumpang Kabupaten
Malang.
Bayi Berat Lahir Rendah
Kategori
∑ %
BBLR 7 21,9%
Normal 25 78,1%
Jumlah 32 100%
3. Status Gizi
Tabel 4.6 Distribusi data status gizi yang mempengaruhi
ISPA pada batita di wilayah kerja Puskesmas Tumpang
Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang.
Status Gizi
Kategori
∑ %
Gizi Buruk 4 12,5%
Gizi Kurang 8 25%
Gizi Baik 20 62,5%
Jumlah 32 100%
4. Usia
Tabel 4.7 Distribusi data usia batita yang mempengaruhi
ISPA pada batita di di wilayah kerja Puskesmas
Tumpang Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang.
Usia
Kategori
∑ %
0-18 bulan 13 41%
19-36 bulan 19 59%
Jumlah 32 100%
5. Jenis Kelamin
Tabel 4.8 Distribusi data jenis kelamin yang
mempengaruhi ISPA pada batita di wilayah kerja
Puskesmas Tumpang Kecamatan Tumpang
Kabupaten Malang
Jenis Kelamin
Kategori
∑ %
Laki-laki 17 53,1%
Perempuan 15 46,9%
Jumlah 32 100%
6. Status Imunisasi
Tabel 4.9 Distribusi data status imunisasi yang
mempengaruhi ISPA pada batita di wilayah kerja
Puskesmas Tumpang Kecamatan Tumpang Kabupaten
Malang.
Status Imunisasi
Kategori
∑ %
Imunisasi tidak
4 12,5%
lengkap
Imunisasi lengkap 28 87,5%
Jumlah 32 100%
7. Pemberian ASI Eksklusif
Tabel 4.10 Distribusi data pemberian ASI Eksklusif
yang mempengaruhi ISPA di wilayah kerja Puskesmas
Tumpang Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang.
Pemberian ASI Eksklusif
Kategori
∑ %
Tidak
memberikan ASI 7 21,9%
eksklusif
Memberikan ASI
25 78,1%
eksklusif
Jumlah 32 100%
8. Pemberian Vitamin A
Tabel 4.11 Distribusi data gambaran pemberian vitamin A
yang mempengaruhi ISPA pada batita di wilayah kerja
Puskesmas Tumpang Kecamatan Tumpang Kabupaten
Malang.
Pemberian Vitamin A
Kategori ∑ %
Tidak mendapatkan
3 9,4%
vitamin A
Mendapatkan
29 90,6%
vitamin A
Jumlah 32 100%
PEMBAHASAN
Gambaran BBLR yang mempengaruhi ISPA pada batita di
wilayah kerja Puskesmas Tumpang Kecamatan Tumpang
Kabupaten Malang
Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan data hampir seluruhnya berat badan bayi lahir pada
batita responden yaitu kategori berat normal sebanyak 25 responden (78,1%) dan
sebagian kecil yaitu 7 responden (21,9%) bayi berat lahir rendah. Pada tabel 4.3
didapatkan data sebagian besar ISPA pada batita yaitu sebanyak 32 responden (60,4%).
Pada bayi dengan riwayat berat badan lahir rendah sangat mudah mendapatkan
infeksi karena imunitas humoral dan seluler masih kurang. Selain itu, karena kualitas dan
selaput lendir membran tidak memiliki perlindungan. Sindroma gangguan pada bayi
berat badan lahir rendah adalah perkembangan imatur pada sitem pernapasan atau
tidak adekuatnya jumlah surfaktan pada paru-paru. Berat badan lahir menentukan
pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi yang lahir
dengan berat badan di bawah normal disebut dengan BBLR (berat badan bayi <2500
gram). Bayi BBLR mudah terserang ISPA, karena bayi dengan BBLR memiliki sistem
pertahanan tubuh yang rendah terhadap mikroorganisme patogen. Dengan infeksi
ringan saja sudah cukup membuat sakit, sehingga bayi BBLR rentan terhadap penyakit
infeksi termasuk penyakit ISPA (Roy, 2019).
Pada data diatas bahwa BBLR beresiko mempengaruhi kejadian
ISPA pada balita. Namun, pada penelitian ini tidak nampak
keterkaitan antara BBLR dengan kejadian ISPA. Berdasarkan data
hanya 7 responden BBLR dari 32 batita yang terkena ISPA. Jadi,
kejadian ISPA yang dialami balita di Puskesmas Tumpang bukan
disebabkan oleh BBLR. Ada faktor lain yang mungkin
mempengaruhi seperti perubahan iklim yang dapat
mempengaruhi kesehatan pada manusia melalui peningkatan
frekuensi kejadian penyakit pernapasan dan kardiovaskuler. Faktor
iklim dan musim merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi (Rismawati, 2015).
4.2.2 Gambaran status gizi yang mempengaruhi ISPA pada batita di
wilayah kerja Puskesmas Tumpang Kecamatan Tumpang Kabupaten
Malang
Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan data sebagian besar batita memiliki status gizi baik
sebanyak 20 responden (62,5%) dan sebagian kecil memiliki status gizi buruk sebanyak 4
responden (12,5%). Pada tabel 4.3 didapatkan data sebagian besar ISPA pada balita yaitu
sebanyak 32 responden (60,4%).
Gizi merupakan salah satu penentu dari kualitas sumber daya manusia. Akibat
kekurangan gizi akan menyebabkan beberapa efek serius seperti kegagalan dalam
pertumbuhan fisik serta tidak optimalnya perkembangan dan kecerdasan. Akibat lain
adalah terjadinya penurunan produktifitas, menurunnya daya tahan tubuh terhadap
penyakit yang akan meningkatkan resiko kesakitan salah satunya adalah infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) (Marimbi, 2010). Prevalensi ISPA akan meningkatkan pada anak
dengan status gizi buruk. Malnutrisi akan menurunkan imunitas seluler, kelenjar timus dan
tonsil menadi atrofik dan jumlah T-limfosit berkurang sehingga tubuh akan lebih rentan
terhadap infeksi. Selain itu, malnutrisi juga dapat mengganggu proses fisiologis saluran
napas dalam hal proteksi terhadap agen penyakit (Koch, 2002).
Kekurangan gizi dapat terjadi dari tingkat ringan sampai dengan tingkat berat dan
terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu yang cukup lama. Balita yang kekurangan
gizi mempunyai resiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang mempunyai
status gizi baik. Masa balita menjadi lebih penting lagi karena merupakan masa yang
kritis dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas (Hadiana,
2013).
Pada data diatas bahwa batita yang memiliki status gizi buruk beresiko akan terjadi
ISPA pada balita. Namun, pada penelitian ini tidak nampak keterkaitan antara status
gizi dengan kejadian ISPA. Berdasarkan data hanya 4 responden yang memiliki status
gizi buruk dari 32 responden. Jadi, kejadian ISPA yang dialami batita di Puskesmas
Tumpang bukan disebabkan oleh status gizi. Ada faktor lain yang mungkin
mempengaruhi seperti kebiasaan merokok anggota keluarga. Merokok merupakan
salah satu faktor penting untuk beberapa penyakit terutama ISPA. Asap rokok dari
orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan batita merupakan bahan
pencemaran dalam rumah. Hal tersebut dapat beresiko akan menimbulkan infeksi
gangguan pernapasan akut. Semakin banyak anggota keluarga yang merokok maka
semakin besar memberikan resiko terjadinya ISPA pada batita (Depkes, 2012).
4.2.3 Gambaran usia batita yang mempengaruhi ISPA pada
batita di di wilayah kerja Puskesmas Tumpang Kecamatan
Tumpang Kabupaten Malang
Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan data sebagian besar batita memiliki usia 19-36 bulan
sebanyak 19 responden (59%) dan sebagian kecil usia 0-18 bulan sebanyak 13 responden
(41%). Pada tabel 4.3 didapatkan data sebagian besar ISPA pada batita yaitu sebanyak 32
responden (60,4%).
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa mempunyai pengaruh yang cukup
besar untuk terjadinya ISPA. Pneumonia pada anak balita sering disebabkan virus
pernapasan dan puncaknyaa terjadi padaumur 2-3 tahun. Kejadian ISPA pada bayi dan
balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih besar dan buruk, disebabkan karena
ISPA pada bayi dan balita umunya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum
terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Selain itu, imunitas anak
belum baik dan lumen saluran napasnya masih sempit. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada
bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa (Sari, 2017).
Jadi, penelitian sesuai dengan berdasarkan
teori bahwa virus pernapasan dan puncaknyaa
terjadi pada umur 2-3 tahun. Diperkuat dengan
data data sebagian besar batita memiliki usia
19-36 bulan sebanyak 19 responden (59%).
ISPA pada bayi dan balita umunya merupakan
kejadian infeksi pertama serta belum
terbentuknya secara optimal proses kekebalan
secara alamiah.
4.2.4 Gambaran jenis kelamin yang mempengaruhi ISPA pada
batita di wilayah kerja Puskesmas Tumpang Kecamatan
Tumpang Kabupaten Malang
Berdasarkan tabel 4.7 didapatkan sebagian besar jenis kelamin laki-laki sebanyak 17
responden (53,1%) dan hampir setengah jenis kelamin perempuan sebanyak 15
responden (46,9%).
Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan data sebagian besar ISPA pada balita yaitu
sebanyak 32 responden (60,4%). Pada teori ini anak laki-laki memiliki resiko lebih tinggi
dari pada anak perempuan terkena ISPA.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa anak laki-laki memiliki resiko lebih
tinggi dari pada anak perempuan terkena ISPA, karena anak laki-laki lebih sering bermain
di luar rumah sehingga keterpaparan udara lebih banyak dari anak perempuan yang lebih
dominan permainannya di dalam rumah (Sari, 2017).
Jadi, penelitian ini selaras dengan teori bahwa sebagian besar anak laki-laki memiliki
resiko lebih tinggi daripada anak perempuan terkena ISPA. Data diperkluat dengan data
sebagian besar jenis kelamin laki-laki sebanyak 17 responden (53,1%).
4.2.5 Gambaran status imunisasi yang mempengaruhi ISPA
pada batita di wilayah kerja Puskesmas Tumpang Kecamatan
Tumpang Kabupaten Malang
Berdasarkan tabel 4.8 didapatkan hampir seluruhnya batita memiliki
imunisasi lengkap sebanyak 28 responden (87,5%) dan sebagian kecil
imunisasi tidak lengkap sebanyak 4 responden (12,5%). Pada tabel 4.3
didapatkan data sebagian besar ISPA pada balita yaitu sebanyak 32 responden
(60,4%).
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi. Salah satu faktor penyebab ISPA
adalah status imunisasi. ISPA berasal dari jenis penyakit yang berkembang dari
penyakit yang dapat dicegah seperti difteri, pertusis, dan campak, maka
peningkatanya cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
pemberantasan ISPA. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan
pemberian imunisasi campak, dan pemberian imunisasi lengkap sebelum anak
mencapai 1 tahun (Putri, 2016).
Pada data diatas bahwa status imunisasi yang tidak lengkap beresiko akan
terjadi ISPA pada balita. Namun, pada penelitian ini tidak nampak keterkaitan antara
status imunisasi dengan kejadian ISPA. Berdasarkan data hanya sebagian kecil
imunisasi tidak lengkap sebanyak 4 responden dari 32 batita. Jadi, kejadian ISPA
yang dialami balita di Puskesmas Tumpang bukan disebabkan oleh status imunisasi
tidak lengkap. Ada faktor lain yang mungkin mempengaruhi seperti kurangnya
ventilasi. Ventilasi yang buruk menyebabkan aliran udara tidak lancar, sehingga
bakteri patogen sulit untuk keluar karena tidak ada aliran udara yang cukup untuk
membawa bakteri keluar rumah. Hal ini akan memepermudah penularan ISPA karena
prinsipnya kuman ISPA ditularkan oleh penderita ke orang lain melalui udara
pernapasan dan percikan ludah penderita. Kuman ISPA yang ada di udara terhisap
oleh penjamu baru dan masuk ke seluruh saluran pernapasan. Dari seluruh
pernapasan kuman menyebar ke seluruh tubuh apalagi bila orang yang terinfeksi ini
rentan, maka ia akan terkena ISPA, terutama batita yang cenderung memiliki sistem
kekebalan tubuh yang lemah (Vovi, 2012).
4.2.6 Gambaran pemberian ASI Eksklusif yang mempengaruhi ISPA
di wilayah kerja Puskesmas Tumpang Kecamatan Tumpang
Kabupaten Malang
Berdasarkan tabel 4.9 didapatkan hampir seluruhnya batita diberikan ASI ekslusif sebanyak
25 responden (78,1%) dan sebagian kecil batita yang tidak diberikan ASI ekslusif sebanyak 7
responden (21,9%). Pada tabel 4.3 didapatkan data sebagian besar ISPA pada balita yaitu
sebanyak 32 responden (60,4%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa ASI sagat dibutuhkan untuk kesehatan bayi.
ASI adalah makanan terbaik untuk bayi. ASI sangat dibutuhkan untuk kesehatan bayi dan
mendukung pertumbuhan dan perkembangan bayi secara optimal. Bayi yang diberi ASI
eksklusif akan memperoleh seluruh kelebihan ASI serta terpenuhi kebutuhan gizinya secara
maksimal sehingga dia akan lebih sehat, lebih tahan terhadap infeksi dan tidak mudah terkena
alergi dan lebih jarang sakit (Sulistiyoningsih, 2011).
Penelitian Elly (2011) menunjukkan bahwa bayi yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif juga
mempunyai resiko menderita ISPA 5,33 kali lebih besar bila dibandingkan bayi yang mendapat
ASI Eksklusif. ASI merupakan minuman alami untuk bayi pada usia bulan-bulan pertama yang di
dalamnya terdapat kolostrum, protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, taurin, DHA, dan
AA. Kolostrum mengandung zat kekebalan terutama IgA juga terdapat sel darah putih yang
terdiri dari antibodi pernapasan, antibodi saluran pernapasan dan antibodi jaringan payudara
(Elly, 2011).
Secara teoritis bayi yang tidak disusui akan lebih mungkin menderita penyakit
infeksi saluran pernafasan akut dengan tingkat kematian 4 kali lebih besar
dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI. Menyusui juga dapat memberikan efek
perlindungan terhadap bakteri Haemophilus tipe B yang merupakan salah satu agent
penyebab infeksi pernapasan. Dapat disimpulkan bahwa bayi yang diberi ASI non
Eksklusif memeiliki resiko unruk terkena penyakit ISPA sebanyak 4 kali daripada bayi
yang diberi ASI Eksklusif (Elly, 2011).
Pada data diatas bahwa status status ASI tidak Eksklusif akan beresiko terkena
ISPA pada balita. Namun, pada penelitian ini tidak nampak keterkaitan antara status
ASI tidak Eksklusif dengan kejadian ISPA. Berdasarkan data hanya sebagian kecil
batita yang tidak diberikan ASI ekslusif sebanyak 7 responden dari 32 batita. Jadi,
kejadian ISPA yang dialami balita di Puskesmas Tumpang bukan disebabkan oleh
status status ASI tidak Eksklusif. Ada faktor lain yang mungkin mempengaruhi seperti
jenis dinding. Balita uang tinggal dengan jenis dinding yang tidak memenuhi syarat
memiliki resiko terjadinya ISPA pada batita dua kali lebih besar dibandingkan dengan
batita yang tinggal di rumah dengan jenis dinding yang memenuhi syarat. Dinding yang
memenuhi syarat yaitu yang terbuat dari beton dan diplester. Jenis dinding yang tidak
diplester dan tidak di cat dapat mengeluarkan partikel debu yang dapat menyebabkan
terjadinya gangguan pernapasan (Nani, 2012).
4.2.7 Gambaran pemberian vitamin A yang mempengaruhi ISPA pada
batita di wilayah kerja Puskesmas Tumpang Kecamatan Tumpang
Kabupaten Malang
Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan hampir seluruhnya batita mendapatkan vitamin A
sebanyak 29 responden (90,6%) dan sebagian kecil batita yang tidak mendapatkan
vitamin A sebanyak 3 responden (9,4%). Pada tabel 4.3 didapatkan data sebagian besar
ISPA pada balita yaitu sebanyak 32 responden (60,4%).
Kadar seng dan vitamin A daspat mempengaruhi kejadian ISPA pada anak. Angka
kejadian ISPA yang mendapat vitamin A saja sesuai dengan program pemerintah
didapatkan 62%. Pada penelitian Asfianti angka kejadian ISPA setelah disuplementasi
selama 6 bulan menurun menjadi 22,7%. Terdapat hubungan bermakna antara kejadian
ISPA pada anak yang tidak mengalami defisiensi seng dan vitamin A dan pada anak
dengan defisiensi seng da vitamin A. Hasil penelitian kami tidak beda jauh9, berbeda
dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Nazir yang menyatakan bahwa terjadi
penurunan kejadian ISPA dan diare pada anak yang disuplementasi seng dan vitamin A.
Menurut Bhandari pemberian suplementasi seng pada anak prasekolah di Dakshinpuri
New Delhi dapat mengurangi kejadian pnemonia dan ISPA (Asfianti, 2013).
Pada data diatas bahwa status status vitamin A yang tidak lengkap
akan beresiko terkena ISPA pada balita. Namun, pada penelitian ini tidak
nampak keterkaitan antara status vitamin A yang tidak lengkap dengan
kejadian ISPA. Berdasarkan data hanya sebagian kecil batita yang tidak
mendapatkan vitamin A sebanyak 3 responden dari 32 batita. Jadi,
kejadian ISPA yang dialami balita di Puskesmas Tumpang bukan
disebabkan oleh status vitamin A yang tidak lengkap. Ada faktor lain yang
mungkin mempengaruhi seperti jenis lantai. Batita yang tinggal di rumah
dengan lantai tidak baik memiliki resiko terkena ISPA tiga kali lebih besar
dibandingkan dengan anak batita yang tinggal di rumah dengan lantai
baik. Jenis lantai yang baik menurut Kemenkes (2011) adalah harus
kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai rumah yang tidak kedap air dan
sulit dibersihkan akan menjadi tempat perkembangan dan pertumbuhan
mikroorganisme di dalam rumah (Nani, 2012).
BAB V
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian hasil penelitian melalui pengumpulan data
yang diperoleh pada 21-26 Oktober 2019 di wilayah kerja Puskesmas
Tumpang Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang dengan jumlah
responden sebanyak 32 orang didapatkan hasil yaitu:
1. Dari 32 responden yang mengalami ISPA sebagian besar pada batita yang
mengalami ISPA responden yaitu sebanyak 32 responden (60,4%) dan
hampir setengahnya yaitu 21 responden (39,6%) batita tidak mengalami
ISPA.
2. Dari 32 responden yang mengalami ISPA hampir seluruhnya berat badan
bayi lahir pada batita responden yaitu kategori berat normal sebanyak 25
responden (78,1%) dan sebagian kecil yaitu 7 responden (21,9%) bayi berat
lahir rendah.
3. Dari 32 responden yang mengalami ISPA sebagian besar batita
memiliki status gizi baik sebanyak 20 responden (62,5%) dan
sebagian kecil memiliki status gizi buruk sebanyak 4 responden
(12,5%).
4. Dari 32 responden yang mengalami ISPA sebagian besar batita
memiliki usia 19-36 bulan sebanyak 19 responden (59%) dan
sebagian kecil usia 0-18 bulan sebanyak 13 responden (41%).
5. Dari 32 responden yang mengalami ISPA sebagian besar jenis
kelamin laki-laki sebanyak 17 responden (53,1%) dan hampir
setengah jenis kelamin perempuan sebanyak 15 responden (46,9%).
6. Dari 32 responden yang mengalami ISPA hampir seluruhnya batita
memiliki imunisasi lengkap sebanyak 28 responden (87,5%) dan
sebagian kecil imunisasi tidak lengkap sebanyak 4 responden
(12,5%).
7. Dari 32 responden yang mengalami ISPA
hampir seluruhnya batita diberikan ASI ekslusif
sebanyak 25 responden (78,1%) dan sebagian
kecil batita yang tidak diberikan ASI ekslusif
sebanyak 7 responden (21,9%).
8. Dari 32 responden yang mengalami ISPA
hampir seluruhnya batita mendapatkan vitamin
A sebanyak 29 responden (90,6%) dan
sebagian kecil batita yang tidak mendapatkan
vitamin A sebanyak 3 responden (9,4%).
Saran
Ada beberapa saran yang perlu disampaikan
sehubungan dengan hasil penelitian ini, antara lain:
1. Bagi tempat penelitian
Diharapkan adanya kerjasama antara pihak
puskesmas dengan masyarakat melalui penyuluhan
kesehatan tentang penyakit-penyakit menular salah
satunya penyakit ISPA, sehingga dapat meningkatkan
pengetahuan, serta memberikan pemahaman kepada
masyarakat.
Saran
2. Bagi responden
Diharapkan responden untuk berpastisipasi dalam kegiatan
penyuluhan agar dapat memeiliki pengetahuan dan
pemahaman tentang penyakit-penyakit menular. Sehingga
angka kejadian ISPA dapat diminimalisir.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
dasar pengembangan penelitian ke arah pemberian
intervensi promosi kesehatan khususnya tentang penyakit-
penyakit menular.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai