Anda di halaman 1dari 122

POKOK-POKOK

TENTANG
FILSAFAT ILMU

Suatu Pengantar tentang


Pokok-Pokok untuk mengenal
alur pikir keilmuan
Oleh:
E. Koswara Kertapradja
DAFTAR PUSTAKA

• Burhanuddin, Etika Individual, Pola Dasar Filsafat Moral,Rineka


Cipta, Jakarta, 2000.
• Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, PT Gramedia, Jakarta, 1987.
• Hamdani, Filsafat Sains, Pustaka Setia, Bandung, 2011.
• Imam Samroni,Kuasa Ilmu, Medprint Offset, Yogyakarta,
2002.
• Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar
Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001 (Cetakan ke-
14).
• Koswara Kertapradja, Kepemimpinan dan Etika Pemerintahan,
Satyagana University Press, 2004.
• ------, Membangun Karakter dan Kepribadian Pancasila,
Pokok2 Kuliah pada Universitas Satyagama, Jakarta, 2010-
2011
(Bersambung……)
DAFTAR PUSTAKA
(Sambungan ……)

• Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik,


Sumber, Unsur, dan Riwayatnya Dalam Persiapan UUD-
1945,Grafiti, Jakarta, 1994.
• Mikhael Dua, Kebebasan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, Kanisius, Yogyakarta, 2011.
• Peter Madsen and Jay M.Sharilz, Essentials of
Government Ethics, A Meridian Book, Penguin Book,USA
Inc.New York, USA, 1992.
• Sadu Wasistiono dan Fernandes Simangunsong,
Metodologi Ilmu Pemerintahan, Univefrsitas terbuka,
2008.
• Steven Horstz, Filsafat Ilmu, Suatu Pengantar,
CIPress, 2011.
SUATU UNGKAPAN
COGNITIVE, AFFECTIVE AND
PSYCHOMOTORIC

• YOU CANNOT TEACH


A MAN ANYTHING, BUT YOU
CAN ONLY HELP HIM TO FIND
IT WITHIN HIMSELF.
“ …………….Galileo “
• Belajar menghasilkan perubahan perilaku
peserta didik yang permanent. Peran penggiat
pendidikan adalah sebagai change of agent;
• Para peserta didik memiliki potensi dan
dedikasi yang secara alamiah untuk
dikembangkan. Proses belajar-mengajar merpk
optimalisasi potensi diri sehingga akan dicapai
kualitas yang ideal;
• Perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu,
tidak tumbuh secara alami linier, tapi harus
didesain dan ditumbuhkan.
Inilah hakekat proses belajar-mengajar
(Contectual Teaching & Learning\)

4
ILMU DAN FILSAFAT

• ILMU merupakan salah satu buah pemikiran manusia


dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk
memperoleh “Kebenaran”;

• Tetapi ILMU bukan segalanya untuk memperoleh


“Kebenaran”, melainkan kumpulan pengetahuan yang
mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ILMU
dengan pengetahuan lainnya (tiga pertanyaan pokok);

• FILSAFAT adalah cara berpikir yang mendalam,


radikal dan menyeluruh. Menurut Will Durant1), dapat
diibaratkan
Pasukan marinir yang merebut pantai utuk pendaratan
Pasukan infantri, sebagai ilmu yg membelah gunung,
dan merambah hutan. Filsafat = Perintis ilmu.
1)The Story of Philosophy (Simon & Schuster, NY, 1933)
FILSAFAT ADALAH
PIONEER

• FILSAFAT adalah marinir yang merupakan


pioneer, bukan pengetahuan yang bersifat
memerinci;

• FILSAFAT menyerahkan “daerah” yang sudah


dimenangkannya kepada “ilmu pengetahuan”
lainnya;

• Semua ilmu, baik ilmu2 alam, maupun ilmu2


sosial bertolak dari pengembanganya semula
sebagai Filsafat.
PENGEMBANGAN ILMU SEMULA
SEBAGAI FILSAFAT

• Issac Newton (1642-1697) menulis hukum2 fisika


sbg “Philosophia Naturalis Principia
Mathematica” (1686);

• Adam Smith (1723-1790) sebagai Bapak Ekonomi


menulis: The Wealth of Nations (1776) dalam
kedudukannya sebagai Professor of Moral
Philosophy di Universitas Glasgow.

• Nama asal Fisika Alam adalah Filsafat Alam


(Natural Philosophy) dan nama asal Ekonomi
adalah Filsafat moral (Moral Philosophy).
ILMU UNTUK MEMPEROLEH
“KEBENARAN”

Walaupun ILMU berfungsi untuk memperoleh


“Kebenaran”, namun Kebenaran Keilmuan
bukanlah
satu-satunya faktor utk mencari “Kebenaran”;

Terdapat sumber lain yang mendukung


“Kebenaran Keilmuan” , misalnya: AGAMA.

“Science without relegion is blind, and relegion


without science is lame” (Einstein, 1879-1917)
(Lame = unable to walk properly)
PERBANDINGAN PENGARUH
ANTARA “NORMA HUKUM”
DAN “NORMA AGAMA”

• BENARKAH BAHWA “NORMA HUKUM” LEBIH TANGIBLE BILA


DIBANDINGKAN DENGAN “NORMA AGAMA”?
• TIDAKKAH “NORMA AGAMA” JUGA “TANGIBLE”?
• BAGAIMANA MENURUT PANDANGAN ANDA? ADAKAH CONTOH
PEMBUKTIAN TENTANG “TANGIBLE” ATAU “TIDAK TANGIBLE”
TERSEBUT ?
• “Alyaumaa alaa afwaahihim watukallimunaa aidiihim watasyhadu arjuluhum
bimaa kaanuu yaksibuun”. (Surat Yaasiin ayat 65)
• (Pada hari ini Kami bisukan dan Kami tutup mulutnya, yang berbicara itu
tangan mereka, sedangkan kakinya menjadi saksi atas segala
perbuatannya);
• Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yg dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (duapuluh) tahun…………dst. (Pasal 2 ayat 1, UU 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

• Note: Berikan komentar dan pandangan anda !


3 PERTANYAAN POKOK
DALAM ILMU

•ONTOLOGI, UNTUK MENJAWAB PERTANYAAN TENTANG


APA YG INGIN KITA KETAHUI (TEORI TENTANG “ADA”);

•EPISTIMOLOGI, UNTUK MENJAWAB BAGAIMANA KITA


MEMPEROLEH ILMU PENGETAHUAN (TEORI TENTANG
PROCES DAN METODE PENGETAHUAN).

•AXIOLOGI, UNTUK MENJAWAB PERTANYAAN APA


NILAI PENGETAHUAN ITU BAGI KITA (TEORI TENTANG
NILAI)
I. Kebenaran mutlak  Secara kebetulan bersumber pada
keimanan / keyakinan religious
II. Kebenaran relatif :
a. Spekulasi
b. Trial and error
c. Pengalaman pribadi
d. Authority/Kewenangan: - Kewenangan Kelembagaan;
Kewenangan akademik
e. Cara Ilmiah  Melalui Penelitian Ilmiah
(Djadja Saefullah)
Systematic, controlled, empirical, and critical
investigation of hypothetical propositions about
the presumed relations among natural
phenomena;

Investigators can have critical confidence in research


outcomes  research observations are tightly
disciplined.
Bernard S. Phillips dal Social esearch (1971:3):
“The scientific method is a triple synthesis: of ideas or
concepts with other ideas or concepts, of ideas with
experience, and of experience with experience”
James A. Black and Dean J. Champion dalam Methods and
Isues in Social Research (1976:5): “…the scientific
thinking is empirical, rational and abstractive”
Fred R. Kerlinger dalam Foundation of Behavioral Research
(1973:7): “In short, science is even conceived to be a
body of facts. Science, in this view, is also a way of
explaining observed phenomena”
FILSAFAT ILMU MERUPAKAN
BAGIAN DARI
EPISTIMOLOGI

• FILSAFAT ILMU merupakan bagian dari Epistimologi


(Filsafat pengetahuan) yang secara specifik mengkaji
hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah);

• ILMU merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai


ciri-ciri tertentu (objek, proses, methode dan nilai-
values);

• Secara methodologis ilmu tidak membedakan antara


ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, hanya karena
permasalahan2 teknis yg bersifat khas, maka Filsafat
Ilmu sering dibagi menjadi Filsafat Ilmu-ilmu Alam dan
Filsafat ILmu-ilmu Sosial;

• Ilmu berbeda dengan pengetahuan secara filsafat, tapi


tidak ada perbedaan yang prinsipiil antara ilmu2 alam
dan ilmu2 sosial, krn keduanya mempunyai ciri2 keilmuan
yang sama.
FILSAFAT DAN
CABANG-CABANGNYA

• Pada dasarnya pokok permasalahan yang dikaji dalam Filsafat


meliputi lima (lima) aspek:
(1) Apa yang disebut “benar” dan apa yang disebut “salah”
(Filsafat Logika);
(2) Apa yang dipandang ‘baik” dan mana yang dianggap
“buruk” (Filsafat Etika);
(3) Apa yang termasuk “indah” dan apa yang termasuk
“jelek”(Filsafat Estetika);
(4) Tentang teori “ada”, hakekat keberadaan zat, tentang
hakekat fikiran kaitannya keberadaan zat (Filsafat
Metafisika);
(5) Tentang aspek kajian mengenai organisasi
sosial/pemerintahan yang ideal (Filsafat
Politik/Pemerintahan).
CABANG-CABANG
FILSAFAT

(1) Epistimologi (Filsafat Pengetahuan);


(2) Etika (Filsafat Moral);
(3) Estetika (Filsafat Seni);
(4) Metafisika (Filsafat Metafisika);
(5) Politik (Filsafat Pemerintahan);
(6) Filsafat Agama;
(7) Filsafat Ilmu;
(8) Filsafat Pendidikan;
(9) Filsafat Hukum;
(10) Filsafat Sejarah;
(11) Filsafat Matematika.
FILSAFAT PEMERINTAHAN
(Pengertian dan Ruang Lingkup)

• DILIHAT DARI ASPEK PENGERTIAN PRAKTIS, FILSAFAT BERARTI “ALAM BERFIKIR” ATAU
“ALAM FIKIRAN”, SEHINGGA BERFILSAFAT ARTINYA “BERFIKIR”. WALAUPUN DEMIKIAN
TIDAK SEMUA BERFIKIR BERARTI “BERFILSAFAT”. BERFILSAFAT DISINI DIARTIKAN
“BERFIKIR MENDALAM” DAN DENGAN SUNGGUH – SUNGGUH.

• KALAU ADA YANG MENGATAKAN BAHWA “SETIAP MANUSIA ADALAH FOLOSOF”,


SESUNGGUHNYA TIDAK STIAP MANUSIA ADALAH FILOSOF, ARTINYA BAHWA HANYA
ORANG YANG MEMIKIRKAN DENGAN SUNGUH-SUNGGUH DAN MENDALAM TENTANG
HAKEKAT SEGALA SESUATU ADALAH “FILOSOF”.

• “FILSAFAT PEMERINTAHAN” ADALAH PEMIKIRAN MENGENAI HAKEKAT PEMERINTAHAN DAN


KEBENARAN-KEBENARAN YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH DALAM KEHIDUPAN
BERNEGARA, SEHINGGA RUANG LINGKUP PEMIKIRAN ITU MELIPUTI SELURUH KEGIATAN
BERNEGARA

• ATAS DASAR PENGERTIAN TSB APARAT PEMERINTAHAN NEGARA BERBICARA MENGENAI


PEMIKIRAN MENDALAM UNTUK MENENTUKAN/MENILAI DAN MEMILIH BENTUK AJARAN
FILSAFAT PEMERINTAHAN.
(Badan Diklat, Depdagri, 1994:4)

17
ETIKA
PEMERINTAHAN

• ETIKA merupakan cabang dari ilmu filsafat;


• ETIKA PEMERINTAHAN suatu ilmu yang menyelidiki sikap dan
perilaku aparat pemerintah tentang benar dan salah, layak atau
tidak layak yang dilakukan, baik oleh perorangan maupun instansi
pemerintah. Dengan kata lain, “keutamaan” yang harus dilaksanakan
oleh para pejabat pemerintah
• Fokus studinya ditekankan kepada “Hubungan antara behaviour dan
value judgement”, yang dikaitkan dengan kedudukan dan peranan,
serta hak, wewenang, tugas dan kewajibannya.
• Ruang lingkupnya meliputi pemerintahan dalam arti luas, baik
eksekutif maupun legislatif, yudikatif dan badan-badan/lembaga
pemerintah lainnya. (Kalau menyangkut akuntabilitas publik,termasuk
pula swasta dan masyarakat).
(E. Koswara K., 1998)

18
ETIKA PEMERINTAHAN
(Pengertian & Ruang Lingkup)
• ETIKA PEMERINTAHAN MERUPAKAN ETIKA YANG KHUSUS
MEMBAHAS KEUTAMAAN-KEUTAMAAN YANG HARUS
DILAKSANAKAN DAN/ATAU DIHINDARKAN OLEH PARA PEJABAT
DAN PEGAWAI NEGERI DALAM PEMERINTAHAN NEGARA.;
• ETIKA PEMERINTAHAN MEMBAHAS PULA FUNGSI PEJABAT DAN
PEGAWAI NEGERI TSB DALAM MEREALISIR NILAI-NILAI
KONSTITUTIONAL DAN NILAI-NILAI KEPEMERINTAHAN
(CONSTITUTIONAL AND REGIME VALUES);
• PEMBAHASAN ETIKA PEMERINTAHAN DAPAT PULA MENYANGKUT
PERMASALAHAN, DENGAN SOROTAN UTAMA PADA KEKUASAAN
BIROKRASI, SEPERTI MASALAH KORUPSI, KOLUSI DAN
NEPOSTISME, MENGAMBIL KEPUTUSAN DAN/ATAU TIDAK
MENGAMBIL KEPUTUSAN YG MENYANGKUT KEPENTINGAN ATAU
PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT.

19
BEBERAPA PERTANYAAN
MENGENAI HAKEKAT ILMU

(1) Obyek apa yang mendjadi telaahan ilmu? Bagaimana wujud yang
hakiki dari Obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara Obyek
dengan daya tangkap manusia, sepeerti berpikir, me- rasa dan
mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
Pertanyaan2 tsb dalam Filsafat Ilmu disebut “Ontologi”;

(2) Bagaimana proses memperoleh pengetahuan yang berupa “ilmu”?


Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang perlu diperhatikan agar
mendapat pengetahuan yang benar? Apa kebenaran itu? Apa
kriterianya? Cara, teknik dan sarana apa yang diperlukan untuk
memperoleh pengetahuan itu?
Pertanyaan2 tsb dlm Filsafat Ilmu disebut “Epistimologi”;

(3) Untuk apa pengetahuan yg berupa ilmu itu digunakan? Bgm


kaitannya dgn kaidah-kaidah moral? Bgm kaitannya teknik prosuderal
dengan pilihan2 moral? Nilai (values) ?Nilai (values) apa yg terdapat
di dalamnya?
Pertanyaan2 tsb dlm Filsafat Ilmu disebut “Aksiologi”.
FILSAFAT TEORITIS
DAN FILSAFAT PRAKTIS

• FILSAFAT TE0RITIS = Mempertanyakan apa hakekat yang ada, apa


hakekat sesuatu, berkaitan dengan aspek keilmuan yang disebut ONTOLOGI,
yaitu untuk menjawab apa yang ingin kita ketahui (ilmu tentang “apa”);

• FILSAFAT PRAKTIS = Bagaimana manusia harus bersikap terhadap apa yang


“ada” itu.
JADI, FILSAFAT TEORITIS mempertanyakan apa itu manusia, alam,
pemerintahan, apa itu pengetahuan, apa yang dapat kita ketahui tentang
Transendental dsb. dsb.;

• DALAM HAL INI, FILSAFAT TEORITIS MEMPUNYAI MAKSUD PRAKTIS,


KARENA PEMAHAMAN YANG DICARINYA DIPERLUKAN MANUSIA UNTUK
MENGARAHKAN KEHIDUPANNYA;

• SEDANGKAN FILSAFAT YANG LANGSUNG MEMPERTANYAKAN PRAKTIS


MANUSIA ADALAH ETIKA, DIMANA ETIKA MEMPERTANYAKAN
TANGGUNG- JAWAB DAN KEWAJIBAN MANUSIA (Suseno, 2003:12);
MANUSIA AS A HUMAN BEING.

21
KARAKTERISTIK FILSAFAT

• (1) Bersifat “menyeluruh”, seorang ilmuwan tidak puas


lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu
sendiri. Dia ingin melihat hakekat ilmu dalam konstelasi
pengetahuan yang lainnya; tidak bisa memandang ilmu
sbg “dibawah tempurung”;

• (2) Bersifat “mendasar”, seorang ilmuwan tidak begitu


saja percaya bahwa ilmu itu benar, mengapa ilmu disebut
benar, lalu benar itu sendiri apa? Jadi seperti lingkaran
yang tidak berujung;

• (3) Bersifat “spekulatif”, sifat spekulatif tidak bisa ter-


hindarkan karena mencari titik yang tidak berujung
pangkal tersebut. (Jujun S.Suriasumantri, 2001:20)
SOCRATES
(Filusuf Besar Yunani)

• Yang saya tahu, Socrates berkesimpulan, bahwa saya tidak tahu


apa-apa (Jujun S.Suriasumantri, 2001:20);

• “THE WISE MAN IS A MAN WHO KNOWS


THAT HE DOESN’T KNOW”
(Orang yang paling bijaksana adalah orang yang mengetahui bahwa ia
tidak tahu)

• “ASK QUESTION ABOUT ACCEPTED MORAL OPINION,


AND NEVER STOP DOING SO”.
(Socrates, 470SM)

23
MANUSIA SBG MAHLUK
YANG BERAKAL BUDI

• Manusia sebagai “homo loquens” dan “animal


symbolicum”, kemampuan manusia dalam berkomunikasi;

• Manusia sebagai “homo sapiens” (mahluk berfikir) atau


“all men by nature desire to know” yang bersifat selalu
ingin tahu (Socrates);

• Manifestasi desire to know adalah selalu bertanya


tentang sesuatu, karena dengan akal budinya manusia
selalu bertanya. (Hamdani, 2011: 19)
MANUSIA MEMILIKI
RASA KAGUM

• Manusia mrpk mahluk yg memiliki “Rasa kagum” (thauma)


pada alam semesta dan isinya, kagum terhadap bumi,
matahari, gunung-gunung dan lautan, dan termasuk
kagum terhadap dirinya sendiri yang telah diciptakan
oleh Sang Pencipta, Allah SWT.

• Kekaguman ini mendorong manusia untuk berusaha


mengetahui hakekat alam semesta, asal-usulnya, serta
berusaha pula untuk mengetahui dirinya sendiri,
eksistensi, hakekat dan tujuan hidupnya.
(Hamdani, 2011:20)
MANUSIA SENANTIASA
MENGHADAPI MASALAH

• Masalah yang dihadapi manusia (aporia)


adalah faktor yang mendorong timbulnya
filsafat dan ilmu; (Hamdani, 1911:20)

• Kehidupan manusia selalu diwarnai masalah,


sehingga mendorong manusia untuk berbuat
dan mencari jalan keluar untuk
menyelesaikan masalah. Penyelesaian
masalah yang membawa kemaslahatan bagi
kemanusiaan bisa dipandang sebagai inti
daripada ilmu yg bernilai keilmuan.
FILSAFAT MEMPERSOALKAN
MANUSIA

• Sesuai dengan dasarnya yang spekulatif, maka


filsafat selalu menelaah segala sesuatu yang
mungkin difikirkan oleh manusia;

• What is a man?; What is?; What?

• Para ahli Filsafat sejak zaman Yunani Kuno


sampai sekarang tak henti2-nya
mempermasalahkan mahluk “manusia” ini,
sampai kepada asumsi2 tentang manusia. (Jujun
S.Suriasumantri, 2001: 27)
BERASUMSI DAN BERSPEKULASI
TENTANG MANUSIA

• ILMU EKONOMI berasumsi bahwa manusia adalah


mahluk ekonomi yang bertujuan mencari kenikmatan
sebesar-besarnya dan menjauhi ketidak-nyamanan
sejauh mungkin; atau dalam proposisi ilmiah: mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan pengorbanan
yang sekecil-kecilnya;
tujuannya mencari kesenangan atau kenikmatan.

• ILMU MANAJEMEN berasumsi lain tentang manusia


yang menekankan tentang perlunya kerjasama antar
manusia untuk mencapai kinerja yang optimal, untuk
mencapai tujuan yang telah disetujui bersama.Tujuannya
mencari hubungan kerja- sama.
OMNIPRFESENCE PRINCIPLE
DAN
PREVENTIEVE RECHTSZORG

• Dalam ILMU PEMERINTAHAN, “Omnipresence Principle”


secara filsafat, bahwa manusia (Pejabat) hadir dimana-mana,
tidak terikat kepada ruang dan waktu; Dari perspektif
Pemerintah, “Omnipresence-Principle” ini mewajibkan kepada
‘”manusia” (rakyat) untuk mentaati peraturan perundang-
undangan yang sudah ditetapkan. Kalau lampu stopan menyala,
pengemudi wajib berhenti, sekalipun tidak ada polisi yang se-
cara fisik berjaga di perempatan jalan tsb. Tetapi, sebalik-
nya, apabila rakyat memerlukan bantuan/pertolongan, maka
“van zelf bespreken” (van zelf principle), dengan sendirinya
kewajiban bagi pemerintah untuk membantu/menolongnya.

• Preventieve Rechtszorg, tugas utama polisi menjaga agar


setiap warga taat hukum dan tidak melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang2an yg sudah ditetapkan.
PERBEDAAN
ANTARA ASAS SEBAGAI SUATU SISTEM
DENGAN ASAS
SEBAGAI SUATU KEPATUTAN

• ASAS SEBAGAI SUATU SISTEM DIJALANKAN BERDASARKAN PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN; MISALNYA: DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, DAN
SENTRALISASI, SISTEM PRESIDENSIIL, SISTEM PARLEMENTER
DLL.,DIJALANKAN BERDASARKAN UU 32/2004, UU 22/1999 ATAU UU 5/1974;,
UUD-1945;

• ASAS SEBAGAI SUATU KEPATUTAN (BEHOORLIJK BESTUUR) DIJALANKAN


TERGANTUNG KEPADA “BEHAVIOUR AND VALUE JUDGEMENT” DARI AKTOR
PEMERINTAHAN YBS.

• ASAS KEPATUTAN DIJALANKAN TERGANTUNG KEPADA PERILAKU, INTUISI DAN


HATI NURANI DARI AKTOR, PEJABAT, OVERHEID, ATAU SI-PENGAMBIL
KEPUTUSAN (DECISION MAKERS) YBS.,SANGAT BERKAITAN DENGAN MENTAL,
MORAL AND HONESTY; LOYALITAS & DISIPLINE;

• OLEH KARENA ITU, ASAS SEBAGAI SUATU SISTEM DAN ASAS SEBAGAI SUATU
KEPATUTAN, SECARA AKADEMIK BISA DIBEDAKAN, NAMUN SECARA
PSIKOMOTORIK ATAU OPERASIONAL TIDAK BISA DIPISAHKAN.

(Koswara Kertapradja, 2003)


ASAS-ASAS PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN SECARA “KEILMUAN”

1) ASAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DITINJAU DARI ASPEK


“KEPATUTAN PEMERINTAHAN” (BEHOORLIJK BESTUUR):
• VRIJBESTUUR (A. RESIDUAL THEORY; B. NACH FREIES ERMESSEN)
• PREVENTIEVE RECHTSZORG;
• OMNIPRESENCE PRINCIPLE;
• VAN ZELF PRINCIPLE;
• UU 28 TAHUN 1999;
• PASAL 20 AYAT (1) UU 32 TAHUN 2004;
• BESTUUR IS VOORUITZIEN; DLL.

(2) ASAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DITINJAU DARI ASPEK SISTEM


PEMERINTAHAN :
• SISTEM NEGARA KESATUAN, FEDERASI, KERAJAAN DLSB.
• PARLEMENTER ATAU PRESIDENSIL;
• SENTRALISASI;
• DESENTRALISASI;
• DEKONSENTRASI; dll.
(E.Koswara Kertapradja, 2003)
ASAS PEMERINTAHAN
MEMANDANG JAUH KEDEPAN
(Besturen is Vooruitzien)

PEMERINTAHAN DIPANDANG SBG SUATU VISI YAITU SUATU PROSES


PENGLIHATAN JAUH KEDEPAN, SUATU PENGLIHATAN APA YANG AKAN TERJADI
DAN DAPAT TERJADI DI MASA DEPAN;

• PEMERINTAHAN YANG DAPAT MEMANDANG JAUH KEDEPAN, SERING JUGA


DISEBUT SEBAGAI “PEMERINTAHAN VISIONER”
(“VISIONARY GOVERNANCE”);

• PEMERINTAHAN VISIONER ADALAH PEMERINTAHAN YANG MEMPUNYAI VISI


DALAM PENGERTIAN: “THE ACT OR POWER OF SENSING WITH THE EYES”.

• YANG DIMAKSUD DGN “EYES” DISINI BUKAN BERARTI HANYA “MATA KEPALA”
SAJA, TETAPI JUGA “MATA HATI” ATAU INDERA KEENAM;

• PEMERINTAHAN YANG VISIONER INI MEMPUNYAI KEMAMPUAN UNTUK


MENGINDRA HAL-HAL YANG JAUH KEDEPAN, TERSEMBUNYI BAGI ORANG LAIN,
TAPI TERANG-BENDERANG BAGI SEORANG PELAKU PEMERINTAHAN YANG
GENIUS.
(Kibernology 2, 2003: 684)
TEORI PEMISAHAN KEKUASAAN
MENURUT “TRIAS POLITICA”
(Ditinjau dari Filsafat Ilmu)

• TEORI PEMISAHAN MENURUT AJARAN “MONTESQUIEU” DALAM BUKUNYA “L’Sprit


des Lois”, MELIPUTI:
(1) PUVOIR LEGILATIF, YAITU KEKUASAAN UNTUK MEMBUAT UU;
(2) PUVOIR EXECUTIF, YAITU KEKUASAAN UNTUK MELAKSANAKAN APA
YG DIPERINTAHKAN UNDANG-UNDANG;
(3) PUVOIR JUDICATIF , KEKUASAAN UNTUK MENJAGA AGAR UU
DIJALANKAN DGN SEBAIK-BAIKNYA DAN SEADIL-ADILNYA SESUAI
TUJUANNYA;

• ANTARA KETIGA KEKUASAAN TERSEBUT TERPISAH DAN TIDAK ADA HUBUNGAN


SATU SAMA LAIN (Separation of power);

• KEKUASAAN EXECUTIF SEBAGAI PEMERINTAHAN DALAM ARTI SEMPIT, TIDAK


BISA BERBUAT APA2 KALAU BELUM ADA UU YANG MEMERINTAHKANNYA
(PASIVE-STELSEL);

• KEKUASAAN EXECUTIF DISENGAJA PASIVE SEDEMIKIAN RUPA UNTUK


MEMBATASI KEKUASAAN RAJA YANG ABSOLUT PADA ZAMANNYA.
TEORI PEMBAGIAN KEKUASAAN
MENURUT “KUARTO POLITICA”
(Ditinjau dari Filsafat Ilmu)

• TEORI PEMBAGIAN KEKUASAAN MENURUT “KUARTO POLITICA”


DARI VAN VOLLEHNHOVEN DALAM BUKUNYA “STAATSRECHTSOVERZEE”,
MEMBAGI 4 KEKUASAAN SBB:
(1) BESTUUR (Pemerintahan dalam arti sempit, tetapi jangkauannya (lingkupnya jauh lebih luas
daripada hanya Executif menurut teori murni Trias Politica ajaran Montesqueu),dan kegiatannya Pro-
actif (dynamic);
(2) POLITIE; (Untuk menjaga dan memelihara tertib hukum dalam kehidupan masyarakat menurut asas
“Preventieve Rechtszorg”);
(3) RECHTSPRAAK;(Peradilan Yang tidak memihak);
(4) REGELING; (Pengaturan sebagai dasar hukum bagi tindakan bestuur).

• BERBEDA DENGAN TEORI MURNI TRIAS POLITICA AJARAN MONTESQUEU, TEORI PEMBAGIAN
KEKUASAAN MENURUT VAN VOLLENHOVEN INI, LEBIH LUAS, DAN LEBIH PRO-ACTIVE
(ACTIVE-STELSEL), ARTINYA: ADA ATAU TIDAK ADA ATURAN/PERUNDANG-UNDANGAN YANG
MENDASARINYA, BESTUUR TETAP HARUS BERTINDAK ASAL UNTUK KEPENTINGAN UMUM. DARI
SINILAH MULAI MUNCULNYA TEORI “VRIJBESTUUR” (Dari aspek Filsafat Ilmu);

• PENOMENA PEMERINTAHAN (BESTUUR) BEGITU LUAS, TIDAK BISA DIPERINCI, DAN TIDAK
BISA DIPERKIRAKAN (UNPREDICTABLE).. Dalam keadaan apapun “Bestuur” harus tetap berjalan.
ASAS VRIJBESTUUR
DALAM PENYEL PEMERINTAHAN
SEBAGAI ASPEK “KEPATUTAN”
(Behoorlijkbestuur)

• ASAS VRIJBESTUUR SEBAGAI KONSEKUENSI DARI AJARAN VAN VOLLENHOVEN,


YANG MENEKANKAN BAHWA “BESTUUR” ADALAH PRO-ACTIVE, BISA MELAKUKAN
SEGALA TINDAKAN APABILA RAKYAT MEMERLUKAN PERTOLONGAN/BANTUAN;

• ASAS VRIJBESTUUR DITINJAU DARI DUA ASPEK:


(1) ASPEK “RESIDUAL THEORY” ATAU TEORI SISA, YANG MENYATAKAN BAHWA
SEORANG KEPALA WILAYAH BERKEWAJIBAN UNTUK MELAKUKAN SEGALA
TINDAKAN PEMERINTAHAN UTK “KEPENTINGAN UMUM”, APABILA TIDAK ADA
INSTANSI LAIN YANG MENANGANINYA. INILAH YG DALAM KEILMUAN DISEBUT
TEORI SISA ATAU SERING JUGA DISEBUT SEBAGAI “TAMPUNG TANTRA” (Pasal 1
huruf j dan Pasal 81 huruf g, UU 5/74);

(2) ASPEK “NACH FREIES ERMESSEN” (Discreationary power), YAITU SUATU


KEBEBASAN BERTINDAK DARI SEORANG PEJABAT (Kepala Wilayah atau bukan
Kepala Wilayah) UNTUK MENGAMBIL SEGALA TINDAKAN YANG DIANGGAP PERLU
MENURUT INTUISI ATAU HATI NURANI (Berdasarkan Behaviour and Value
Judgement) DEMI KEPENTINGAN UMUM (Pasal 81 huruf e UU 5/74}
ASPEK “TEORI SISA” DAN
ASPEK “NACH FREIES ERMESSEN”
YANG DIANUT SECARA NORMATIP

ASPEK “TEORI SISA” (Residual Theory):

• URUSAN PEMERINTAHAN UMUM ADALAH URUSAN PEMERINTAHAN YANG MELIPUTI BIDANG-


BIDANG KEAMANAN DAN KETERTIBAN, POLITIK, KOORDINASI, PENGAWASAN, DAN URUSAN
PEMERINTAHAN LAINNYA YANG TIDAK TERMASUK DALAM TUGAS SESUATU INSTANSI DAN
TIDAK TERMASUK URUSAN RUMAH TANGGA DAERAH (Pasal 1 huruf j, UU 5/1974);

• MELAKSANAKAN SEGALA TUGAS PEMERINTAHAN YANG TIDAK TERMASUK DALAM TUGAS


SESUATU INSTANSI LAINNYA (Pasal 81, huruf g, UU 5/1974).

ASPEK “NACH FREIES ERMESSEN”:

• PASAL 81 UU 5/1974 MEMUAT JUDUL: WEWENANG, TUGAS DAN KEWAJIBAN KEPALA


WILAYAH:
a.; b.; c.; d.; ……. Dst.
e. MENGUSAHAKAN SECARA TERUS-MENERUS AGAR SEGALA PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DIJALANKAN ……….. DST. , “SERTA MENGAMBIL SEGALA TINDAKAN YANG
DIANGGAP PERLU UNTUK MENJAMIN KELANCARAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN”.
KONSEKUENSI
“RESIDUAL THEORY”
DAN
“NACH FREIES ERMESSEN”

“TEORI SISA” (RESIDUAL THEORY) ADALAH MERUPAKAN “KEWAJIBAN”


(Obligation) BAGI SEORANG KEPALA WILAYAH UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN
UNTUK KEPENTINGAN UMUM, KARENA INSTANSI LAIN TIDAK BERKOMPETEN.
• OLEH KARENA ITU, KONSEKUENSINYA, KALAU IA TIDAK MELAKUKAN ITU, MAKA
IA DITUNTUT SEBAGAI “MELALAIKAN KEWAJIBAN”;

• “NACH FREIES ERMESSEN” ADALAH MERUPAKAN “HAK (RIGHT), WEWENANG


(AUTHORITY) DARI SEORANG PEJABAT (OVERHEIDS), KEPALA WILAYAH ATAU
BUKAN KEPALA WILAYAH, UNTUK MELAKUKAN ATAU TIDAK MELAKUKAN
TINDAKAN SESUATU SESUAI DENGAN KOMPETENSINYA DEMI “KEPENTINGAN
UMUM”;

• OLEH KARENA ITU, KONSEKUENSINYA, KALAU TINDAKANNYA ITU BUKAN


UNTUK KEPENTINGAN UMUM, TETAPI UNTUK KEDPENTINGAN PRIBADI,
KELUARGA, KRONI DLSB, MAKA TINDAKANNYA ITU DIGOLONGKAN KEPADA
“TINDAKAN PENYALAH GUNAAN KEKUASAAN”
(DE TOURNEMENT DU PUVOIR atau ABUSE DE DROIT).
APAKAH SECARA EMPIRIK DAN AKADEMIK BUPATI
DAN/ATAU WALIKOTA
BISA MELAKUKAN TINDAKAN KEPEMERINTAHAN
MELALUI
ASAS “TEORI SISA (“RESIDUAL THEORY”)?

• Bupati dan/atau Walikota yang berkedudukan sebagai “Kepala Daerah”


semata, dan bukan Kepala Wilayah, secara normatif dan akademik, tidak
bisa melakukan tindakan kepemerintahan melalui asas “Teori Sisa” (Residual
Theory);

• Bupati dan atau Walikota dapat melakukan tindakan kepemerintahan


berdasarkan asas “Vrijbestuur” melalui aspek teori “Nach Freies Ermessen”
dengan syarat-syarat atau rambu-rambu: (1) tidak merugikan keuangan
negara; (2) tidak untuk keuntungan diri sendiri, keluarga, kroni, golongan
dlsb; (3) tidak mengganggu kepentingan umum; dan (4) tidak menimbulkan
stagnasi (vaccuum) dalam penyelenggaraan pemerintahan;

• Kalau tidak memenuhi syarat-syarat atau rambu-rambu tersebut, maka


tindakannya itu digololngkan kepada “tindakan penyalah-gunaan kekuasaan”
(de tournement du puvoir).
TINDAKAN PEMERINTAHAN
MENURUT ASAS VRIJBESTUUR
BEBAS DARI TUNTUTAN HUKUM
(Menurut Aspek Keilmuan)

• TINDAKAN PEMERINTAHAN YANG DILAKUKAN ATAS DASAR


VRIJBESTUUR BEBAS DARI TUNTUTAN HUKUM, APABILA MEMENUHI
SYARAT-SYARAT(RAMBU-RAMBU) SEBAGAI BERIKUT:

(1) TIDAK MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA;


(2) TIDAK UNTUK KEUNTUNGAN PRIBADI, KELUARGA, KRONI,
GOLONGAN, PARTAI DLL.
(3) TIDAK MENGGANGGU KEPENTINGAN UMUM;
(4) TIDAK MENIMBULKAN STAGNASI (VACCUUM) DALAM
PEMERINTAHAN;
(5) DIDASARKAN KEPADA”DOELMATIGHEID” UNTUK TERCAPAINYA
“KEPENTINGAN UMUM” (COMMON GOOD).

• TIDAK HANYA DIDASARKAN ATAS PRINSIP-PRINSIP AKADEMIK, TAPI


DIJUSTIFIED OLEH BEBERAPA JURISPRUDENSI.
ALASAN-ALASAN
JURISPRUDENSI

• TINDAKAN VRIJBESTUR BISA BEBAS DARI TUNTUTAN HUKUM, BUKAN HANYA


DIDASARKAN KEPADA PRINSIP-PRINSIP ILMU PENGETAHUAN YANG UNIVERSIL,
TETAPI DIKUATKAN PULA DENGAN BEBERAPA JURISPRUDENSI, A.L.
(1) Putusan Mahkamah Agung No. 42/Kr/1965, tanggal 8 Januari 1965, dalam perkara
terdakwa MACHRUS AFENDI, dimana Mahkamah Agung berpendapat sbb:
“Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum, bukan
hanya berdasarkan asas-asas keadilan atau asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat
umum. Dalam perkara ini : faktor negara tidak dirugikan; kepentingan umum dilayani;
dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung”.
(2) Putusan Mahkamah Agung No. 81/r/1973, dalam perkara terdakwa Ir. MOCH.
OTJO DANAATMADJA. Mahkamah Agung berpendapat bahwa: “terdakwa tidak dapat
dipidana, karena tidak mengambil keuntungan dirinya sendiri, kepentingan umum dilayani,
dan negara tidak dirugikan”.
(3) Walikota Bengkulu yang didakwa melakukan penyalah-gunaan anggaran dengan
menggunakan APBD tanpa pelelangan, pada akhirnya “dibebaskan murni”, karena
penggunaan anggaran tersebut ternyata untuk kepentingan umum, yaitu untuk
menanggulangi bencana alam, gempa bumi”.
(4) Walikota Prabumulih, dinyatakan bebas dalam keputusan pengadilan sekitar tahun
2002, karena “kebijakan” pembebasan tanah untuk perkantoran di luar kota, dinyatakan
sebagai kebijakan untuk kepentingan umum, dimana pembangunan perkantoran diluar
kota adalah untuk jangka panjang, menghindarkan over-crawded di perkantoran. Dengan
demikian yang bersangkutan dibebaskan murni dari tuntutan pengadilan.
KEMAMPUAN MANUSIA
UNTUK MENGEMBANGKAN
PENGETAHUAN

• KEMAMPUAN MANUSIA UNTUK MENGEMBANGKAN


PENGETAHUAN, DIPENGARUHI OLEH DUA HAL:

(1) Manusia mempunyai bahasa yang mampu


mengkomunikasikan informasi; bisa memilih baik-
buruk;benar-salah; indah-jelek dsb.

(2) Kemampuan manusia berfikir menurut alur kerangka


ber- fikir tertentu, yaitu yang disebut
“penalaran”. Tidak hanya untuk kelangsungan hidupnya,
tetapi lebih dari itu untuk mengembangkan nilai-
nilai kemanusiaan.
HAKEKAT PENALARAN

• PENALARAN merupakan suatu proses berfikir dalam menarik


sesuatu kesimpulan yang berupa “pengetahuan”;

• Manusia pada hakekatnya merupakan “mahluk yang berfikir,


merasa, bersikap, dan bertindak”; Sikap dan tindakannya
yang bersumber pada pengetahuan itu, didapatkan lewat
kegiatan “merasa” dan “berpikir. Namun penalaran
menghasilkan ‘pengetahuan” yang dikaitkan dengan kegiatan
“berpikir” bukan dengan “perasaan”;

• Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan


“pengetahuan yang benar”. Apa yang disebut “benar” oleh
seseorang adalah tidak sama dengan apa yang disebut “benar”
oleh orang lain, karena itu proses berfikir untuk menghasilkan
pengetahuan yang benar adalah berbeda-beda.
PENALARAN YANG DIDASARKAN
KEPADA PROSES BERFIKIR

• Perasaan berupa penarikan


• Berfikir Logis (Logika); kesimpulan yang tidak
berdasarkan penalaran;
Artinya, Penalaran
merupa- kan suatu proses
berfikir logis menurut • Perasaan yang tidak
suatu pola tertentu atau berda- sarkan penalaran,
logika tertentu; sering disebut “intuisi”;

• Berfikir Analitik • Intuisi juga merupakan


(Analisis); ber- fikir yang non-
Artinya, suatu kegiatan analitik yang tidak
analisis yang memperguna- mendasarkan diri kpd
kan logika ilmiah; “suatu pola berfikir
tertentu”.
PENALARAN ILMIAH

• Penalaran yang akan dikaji dalam Filsafat Ilmu ini


adalah “Penalaran Ilmiah”;

• Penalaran Ilmiah pada hakekatnya adalah berupa


gabungan antara penalaran deduktif dan induktif;

• Penalaran Deduktif berkaitan dengan Rasionalisme,


sedangkan Penalaran Induktif berkaitan dengan
Empirisme.
LOGIKA

•PENALARAN merupakan suatu proses berfikir yang


membuahkan “pengetahuan”;
•Agar “pengetahuan” yang dihasilkan penalaran itu mempunyai
dasar kebenaran,maka proses berfikir itu harus dilakukan mnrt
suatu cara tertentu;

•Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau


proses penarikan kesimpulan itu dilakukan menurut “cara
tertentu” tersebut.

•Cara penarikan kesimpulan tsb disebut “LOGIKA”. Jadi,


LOGIKA adalah “pengkajian utk berfikir secara sahih”(Jujun
S,Suriasumantri, 2001: 46)
TERDAPAT DUA CARA
PENARIKAN KESIMPULAN

• Pada dasarnya terdapat dua macam cara “Penarikan


Kesimpulan” yang disebut LOGIKA itu (Jujun S.Suriasumantri,
2001:48-49)
(1) Logika Induktif, yaitu suatu penarikan kesimpulan yang
erat hubungannya antara kasus-kasus individual nyata menjadi
“kesimpulan yang bersifat umum”;
**kambing mempunyai mata, singa mempunyai mata, kucing
dan berbagai binatang lainnya mempunyai mata.Jadi, semua
binatang mempunyai mata**

(2) Logika Deduktif, yaitu suatu penarikan kesimpulan dari


hal-hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat
individual (khusus); sering disebut “Silogismus”
**Semua makhluk mempunyai mata Premis mayor); si Polan
adalah seorang makhluk (Premis minor). Jadi si Polan
mempunyai mata (Kesimpulan) **
APAKAH KESIMPULAN SILOGISMUS
ITU BENAR?

• Kesimpulan yang diambil bahwa si Polan mempunyai mata,


adalah sah menurut “penalaran deduktif’, sebab Kesimpulan ini
ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya;

• Pertanyaan, apakah Kesimpulan dalam Silogismus itu benar?


Menurut Jujun S.Suriasumantri, maka kebenaran itu harus
dikembalikan kepada kebenaran premis yang mendukungnya.

• Kalau kedua pendukung premisnya benar,maka dapat


dipastikan, bahwa kesimpulan yang ditariknya adalah benar.
Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya
benar, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah tidak
sah (jujun S.Suriasumantri, 2001: 49)
KETEPATAN PENARIKAN
KESIMPULAN

• Ketepatan penarikan Kesimpulan tergantung


dari tiga hal:

(1) Kebenaran premis mayor;


(2) Kebenaran premis minor; dan
(3) Keabsahan pengambilan Kesimpulan;

• Sekiranya, salah satu dari ketiga unsur tsb


pensyaratannya tidak terpenuhi, maka
Kesimpulan yang ditariknya akan salah (Jujun
S.Suriasumantri, 2001:49).
MATEMATIKA
DISUSUN SECARA DEDUKTIF

• MATEMATIKA adalah pengetahuan yang disusun secara


Deduktif;

• Argumentasi Matematik :

a = b ; bila b = c; maka a = c

• Argumentasi tersebut merupakan “penalaran deduktif”:


a = b (premis mayor); b = c (premis minor); a = c
(kesimpulan) ------- “Kebenaran tautologis”
NILAI DAN ETIKA
ACCOUNTABILITY KIP
(Hubungan antara Human Behaviour dan Value Judgement)

• NILAI PUBLIK:
PEMEGANG KEKUASAAN
RESPONSIBLE DAN ACCOUNTABLE
KEPADA PUBLIK.
• ETIKA PUBLIK:
PENGGUNAAN KEKUASAAN
RASIONAL, RESPONSIF THDP KRITIK
DAN KOMEN PUBLIK; AKUNTABEL
TERHADAP PENGGUNAAN
KEKUASAAN.
• SIKAP DAN TINDAKAN TIDAK ETIS:
AROGANSI KEKUASAAN, TIDAK
RESPONSIF, DAN TIDAK
AKUNTABEL; PENYALAHGUNAAN
KEKUASAAN (“DETOURNEMENT DU
PUVOIR”.)

50
NILAI DAN ETIKA
KEKUASAAN BERDASARKAN HUKUM
ATAU ASAS KEPASTIAN HUKUM
• NILAI PUBLIK:
MENEGAKKAN RULE OF LAW,
MENGGUNAKAN KEKUASAAN
BERDASARKAN HUKUM;
• ETIKA PUBLIK:
MELAKUKAN TINDAKAN SESUAI
UUD/UU, MELAKUKAN TINDAKAN
SESUAI DGN YG DIDELEGASIKAN
OLEH UU ATAU JURIDIKSI
OTORITASNYA; MENGIKUTI
PROSEDUR YG DITETAPKAN DLM
UUD/UU;
• TINDAKAN TIDAK ETIS:
MENGGUNAKAN UUD/U SEBAGAI
TINDAKAN PEMBENARAN
PENGGUNAAN KEKUASAAN;
MENCARI-CARI ”PEMBENARAN
HUKUM”.

51
NILAI DAN ETIKA
HAK-HAK DAN KEBEBASAN
WARGA NEGARA

• NILAI PUBLIK :
KESETARAAN HAK DAN KEBEBASAN
POLITIK WN;
• ETIKA PUBLIK :
MEMPERLAKUKAN SETIAP WN SAMA
DAN MENGHORMATI ORANG LAIN
SEBAGAI MANUSIA;
• SIKAP DAN TINDAKAN YANG TIDAK
ETHIS:
DISKRIMINASI DAN PELECEHAN.

52
NILAI DAN ETIKA
ASAS KETERBUKAAN

• NILAI PUBLIK:
KETERBUKAAN ADALAH ASAS YANG MEMBUKA DIRI TERHADAP HAK
MASYARAKAT UTK MEMPEROLEH INFORMASI YANG BENAR, JUJUR DAN
TIDAK DISKRIMINATIF TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA, DENGAN
TETAP MEMPERHATIKAN PERLINDUNGAN ATAS HAK ASASI PRIBADI,
GOLONGAN DAN RAHASIAH NEGARA.

• ETIKA PUBLIK:
MEMBERIKAN INFORMASI YANG JUJUR DAN BENAR, TIDAK MENUTUP-
NUTUPI YANG SEHARUSNYA DIKETAHUI OLEH PUBLIK, DAN TIDAK
MENGADA-ADA INFO YANG HANYA UNTUK MENYENANGKAN PUBLIK, DAN
TIDAK MELAKUKAN TINDAKAN2 YANG MERUPAKAN KEBOHONGAN PUBLIK.

• TINDAKAN YANG TIDAK ETIS:


MEMBERIKAN INFO YANG TIDAK BENAR, MENUTUPI KEADAAN YG
SEBENARNYA, DENGAN MAKSUD UNTUK MENYENANGKAN PUBLIK, DENGAN
TIDAK BENARI MEMBERIKAN AKUNTABLE KEPADA PUBLIK, MELAKUKAN
TINDAKAN KEBOHONGAN PUBLIK.
NILAI DAN ETIKA
ASAS PROFESSIONALS

• NILAI PUBLIK:
ASAS YANG MENGUTAMAKAN KEAKHLIAN DALAM MELAKUKAN
PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERLANDASKAN KODE ETIK
DAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
BERLAKU.
• ETIKA PUBLIK:
DALAM MNENTUKAN JABATAN-JABATAN PUBLIK SYARAT2
KEAKHLIAN DIUTAMAKAN, MERIT SISTEM MENJADI KUNCI
UTAMA, FIT AND PROPER TEST DILAKUKAN DENGAN SE-
JUJUR2NYA.
• TINDAKAN YANG TIDAK ETIS:
MENGANGKAT DAN MENETAPAKAN JABATAN2 TERTENTU DENGAN
SPOIL SISTEM DAN DENGAN CARA2 NEPOTISME, TIDAK
MENGGU- NAKAN MERIT SYSTEM TETAPI MELALUI
KEKERABATAN, KRONI, DAN SESAMA GOLONGAN DLSB.
PARTISIPASI MASYARAKAT
(PARTICIPATION)

• NILAI PUBLIK
Setiap warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan
keputusan, baik langung atau melalui perwakilan; atas dasar
kebebasa berasosiasi, berbicara, serta berpartisipasi secara
aktif dan konstruktif.
• ETIKA PUBLIK
Mengikut sertakan warga masyarakat secara aktif dan
konstruktif dalam ikut serta mengambil keputusan, mulai dari
proses perencanaan sampai kepada pelaksanaan.
• PERILAKU YANG TIDAK ETIK
Menutup keikut-sertaan warga masyarakat dalam setiap tahap
proses pengambilan keputusan; tidak memberi kesempatan
kepada masyarakat untuk mengikuti proses pengambilan
keputusan; tindakan golput dalam pemilihan dlsb.
ASAS RESPONSIVENESS
(NILAI PUBLIK, ETHIKA PUBLIK DAN
TINDKAN TIDAK ETIK)

• NILAI PUBLIK
Process try to serve all institution and stakeholders;
Kepedulian terhadap situasi dan kondisi masyarakat yang
memprihatinkan.
• ETIKA PUBLIK
Menjalankan prinsip omnipresence and van zelf principles;
Memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat yang memerlukan
pertolongan dan bantuan;
Pro-active terjun aktif kepada kantong-kantong kemiskinan, sehingga
menguasi lapangan yang sesungguhnya.
• TINDAKAN YANG TIDAK ETIK
Pasive, tidak perduli terhadap kejadian disekitarnya, acuh terhadap
situasi dan kondisi masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya;
mengutamakan hal-hal yang bersifat administatif daripada penguasaan
di lapangan.
ASAS CONCENSUS ORIENTATION
(Nilai Publuk, Ethika Publik dan Tindakan
tidak Etik)

• NILAI PUBLIK
Mediates differences interest to reach a broad concensus on what is in
the best interest of the group, and where possible on politics and
procedures.
• ETHIKA PUBLIK
Menengahi dan memelihara perbedaan2 kepentingan kelompok,
sehingga dapat membangun suatu kumpulan pendapat yang positif
bagi kepentingan kelompok tsb.;
Mencegah terjadinya perbedaan menjadi konflik yang merusak
kekompakan kelompok;
• TINDAKAN TIDAK ETHIK
Membiarkan perbedaan pendapat menjadi ekstreem dan berlarut
menjadi konflik yang berkepanjangan, sehingga menimbulkan
perpecahan dalam kelompok, dan anarkis.
ASAS EQUITY
(Nilai Publik, Ethika Publik, dan Tindakan
yang Tidak Etik)

• NILAI PUBLIK
All men and women have maintain their well-being;
Yang utama adalah kesamaan dan persamaan.

• ETIKA PUBLIK
Dalam tindakan dan perbuatan, mengutamakan persamaan dan
tidak diskriminatif, tidak membedakan hak-hak dan kewqajiban
antara laki2 dan prempuan, tidak membedakan ras, agama suku
dlsb.

• TINDAKAN TIDAK ETIK


Tindakan dan perbuatan diskriminatif, membeda2kan ras, agama
suku dll.
SIKAP PASSING THE BUCK
(Nilai Publik, Ethika Publik, dan Tindakan
yang Tidak Ethik)

• NILAI PUBLIK
Sesorang merasa dan menyadari bahwa segala tindakannya patut
dipertanggungjawabkan.

• ETIKA PUBLIK
Seseorang merasa dan menyadari bahwa segala perbuatannya
itu membawa konsekuensi tanggung jawab.

• TINDAKAN TIDAK ETIK


Sikap dan perilaku yang mengela terhadap sesuatu keputusan
yang seharusnya menjadi tanggung jawab dirinya, dan
cenderung menyalahkan orang lain atas perbuatannya.
KEDUDUKAN NKRI DALAM KONTEKS
FAHAM “NEGARA INTEGRALISTIK”
(Dilihat dari aspek Filsafat Ilmu)

• Negara Kesatuan RI memandang faham


“Negara Integralistik”, sebagai varian dari
“Negara Organis-Statis”;
• Disebut “Organis”, karena dalam ajaran ini
totalitas dari satu system lebih diutamakan
daripada “komponen-komponen” yang
merupakan bagian darinya;
• Kata “Statis” tidak diartikan sbg ketiadaan
dinamika, melainkan menunjuk kepada “Negara
yang aktif dan kuat”;
• Dalam “Negara Organik” peranan Negara
sangat kuat;
• Negara memiliki kemauan dan kepentingan yg
sering berbeda dgn kepentingan warganya, dan
dapat melakukan intervensi kedalam kehidupan
masyarakat, sekalipun intervensi tsb utk
kepentingan masyarakat sendiri.
60
PRINSIP-PRINSIP DASAR NEGARA
ORGANIS-STATIS
(Ditinjau dari aspek Filsafat Ilmu)

• Negara pada dasarnya mempunyai tujuan utama,


yaitu “moral”;
• Tujuan moral itu merupakan “kebaikan bersama”
(common good) yang diarahkan dan diwujudkan
kedalam “komunitas politik” (political
community);
• Common good merupakan prinsip yang berlaku
dalam mengontrol setiap kepentingan yang ada;
• Negara memiliki sifat yang kuat dan
interventions, Negara mempunyai peran yang
relatif otonom dalam proses-politik;
• Walaupun negara merupakan yang paling utama
dalam komunitas politik, namun komponen negara
seperti: individu; keluarga; asosiasi pribadi
mempunyai fungsi sendiri didalam organisasi-
negara secara keseluruhan.
61
(Alfred Stepan, 1978).
PERBEDAAN PENDAPAT DALAM
SIDANG BPUPKI 31 MEI 1945
(Ditinjau dari aspek Ontologi)

• Faham “Integralistik” yang dikemukakan Soepomo


tidak sesuai dengan semangat kekeluargaan.
• Karena, menurut dia dalam faham Integralistik
negara memiliki kekuasaan mutlak, “Kedaulatan
Negara” mengatasi “Kedaulatan Rakyat”. Semua
bagian-bagian dalam keseluruhan diarahkan kepada
persatuan dan kesatuan; dalam Negara yang
terpenting adalah “keseluruhan” bukan “bagian-
bagian”;
• Ini menonjolkan sifat totalitarian dari Negara
yang tidak selaras dengan ide kekeluargaan yang
bersifat “egalitarian”;
• Ide kekeluargaan menghendaki posisi sejajar antar
fihak-fihak yang berinteraksi, termasuk antara
negara dan masyarakat.
(Marsilam Simanjuntak, 1994)

62
PENGARUH FAHAM INTEGRALISTIK
TERHADAP
KONSEP DASAR DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH DI
INDONESIA
(Ditinjau dari aspek Aksiologi)

• Faham “Negara
Integralistik” menjadi dasar
pemikiran lahirnya
serangkaian konsep
“desentralisasi dan otonomi”
di Indonesia;
• Dalam Sidang BPUPKI 31-
05-1945 Soepomo
mengajukan tiga pilihan
(faham):
(1) Individualisme;
(2) Kolektivisme;
(3) Integralistik.
63
SIKAP
SIKAPPARA
PARAPENDIRI
PENDIRINEGARA
NEGARA
(THE FOUNDING FATHERS)
(THE FOUNDING FATHERS)
(Tinjauan
(Tinjauandari
dariaspek
aspekOntologi)
Ontologi)

• The Founding Fathers menolak gagasan


Soepomo, terlihat dalam pasal-pasal
dalam UUD-1945 yang tidak sefaham dgn
gagasan Soepomo (mis. Pasal 28: yang
menjamin hak-hak azasi manusia ditolak
Soepomo; Pasal 18: yang masih
menghormati sifat khusus dari daerah-
daerah yang ada di Indonesia );
• Semangat UUD-1945 yang dituangkan
oleh para Pendiri Negara (the Founding
Fathers) berusaha mengatur
keseimbangan antara individualism dan
kolektivisme; yang dianut adalah faham
“kedaulatan rakyat”, dan bukan
“kedaulatan negara.”
(Jimly Asshidique, 1993)
64
HUBUNGAN NEGARA - MASYARAKAT
DALAM NEGARA ORGANIS-STATIS
(Tinjauan dari aspek Aksiologis).

• Hubungan negara dan masyarakat bersifat


fungsional, bukan politis-ideologis;
• Negara berfungsi dalam hal pengaturan,
sedangkan masyarakat berfungsi mengisi
ruang-ruang yang diciptakan oleh aturan -
aturan yang sudah ditetapkan;
• Hubungan fungsional antara negara dan
masyarakat bersifat timbal-balik, namun
hubungan keduanya sangat tidak seimbang,
ruang gerak masyarakat secara efektif dapat
diperluas atau dipersempit yang diwujudkan
oleh aturan-aturan yang dibuat oleh negara;
• Memunculkan format-politik yang timpang,
sebab ada dominasi satu fihak terhadap
lainnya.

(Gwynn A. Williams, 1980)

65
PENGGUNAAN FAHAM INTEGRALISTIK
LEBIH BERSIFAT POLITIS DARIPADA
HUKUM TATA NEGARA
(gtinjauan dari aspek Aksiologis)

• Penggunaan faham
“Integralistik” lebih banyak
bersifat politis daripada
Hukum Tata Negara;
• UUD-1945 berusaha mengatur
keseimbangan antara
individualisme dan kolektivisme
dengan menganut faham
Kedaulatan Rakyat, dan bukan
Kedaulatan Negara;
• Fenomena ini mempengaruhi ide
desentralisasi dan otda.

66
MOTIVASI DAN URGENSI
MEMBANGUN KARAKTER DAN
KEPRIBADIAN PANCASILA
(Dilihat dari aspek Aksiologis)

• SEMANGAT DAN RASA NASIONALISME MENURUN DRASTIS, mis.


Terpengaruh oleh ajaran “The Four I’snya Kenichi Ohmae”, terutama yang
berkaitan dengan Individual consument ;

• PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT,


BERBANGSA DAN BERNEGARA, SECARA NORMATIF DAN EMPIRIK SUDAH
HAMPIR TERLUPAKAN;

• NILAI-NILAI LUHUR BANGSA DAN KEKELUARGAAN SUDAH MEMUDAR;

• ETIKA DAN MORAL SUDAH SANGAT MEROSOT;

• SUPREMASI HUKUM MEROSOT TAJAM, KARENA TIDAK LAGI MENGIKUTI


PARADIGMA “POLITICS FOLLOWS LAW”, TETAPI LEBIH LEBIH MENGIKUTI
PARADIGMA “LAW FOLLOWS POLITICS;

• GLOBALISASI MERASUK KE WILAYAH KEHIDUPAN DAN KEPRIBADIAN


BANGSA;

• GLOBALISASI HARUS DIWASPADAI, JANGAN TERORIENTASI KEPADA


LIBERALISME DAN ATAU NEO-LIBERALISME.
DASAR-DASAR PENDIDIKAN
(Kognitif, Afektif, and Psikomotorik)

• UUD-1945 Pasal 31 dan Pasal 32, tentang Pendidikan dan Kebudayaan;

• UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pemdidikan Nasional;

• UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;

• PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;

• KEPUTUSAN DIRJEN PERGURUAN TINGGI No. 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-


Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian;

• Visi dan Misi membangun dan memantapkan Kepribadian Manusia Indonesia;


Kemampuan Mahasiswa mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila dalam kehidupan sehari-
hari, dalam rangka kesadaran perubahan sosial, globalisasi dan perkembangan IPTEK.
DASAR, FUNGSI DAN
TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
(Tinjauan komprehensif : Ontologi, Epistimologi dan
Aksiologi)

PENDIDIKAN NASIONAL adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan


Undang-undang Dasar 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan
nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan zaman;

• PENDIDIKAN NASIONAL berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk


watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa;

• TUJUANNYA adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi


manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab;

• Oleh karena itu, prinsip pendidikan nasional diselenggarakan secara demokratis


dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak azasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DALAM UUD-1945
(Sambungan ……….)

Pasal 32 UUD-1945:

• (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di


tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya;

• (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah


sebagai kekayaan budaya nasional;
DASAR, FUNGSI DAN
TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
(Tekanan kepada aspek Aksiologi)

PENDIDIKAN NASIONAL adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan


Undang-undang Dasar 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan
nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan zaman;

• PENDIDIKAN NASIONAL berfungsi mengembangkan kemampuan dan mementuk


watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa;

• TUJUANNYA adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi


manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab;

• Oleh karena itu, prinsip pendidikan nasional diselenggarakan secara demokratis


dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak azasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
MEMAHAMI PENGERTIAN
FILSAFAT PANCASILA
(Aspek2 Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi)

• FILSAFAT PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT,


BERBANGSA DAN BERNEGARA, PERLU DIFAHAMI DAN DIKEMBANGKAN SECARA
ILMIAH, MELALUI ASPEK COGNITIF, AFEKTIF DAN PSIKOMOTORIK;

• SETELAH DICAPAI KONSENSUS NASIONAL UNTUK MENJADIKAN PANCASILA


SEBAGAI SATU-SATUNYA ASAS DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT,
BERBANGSA DAN BERNEGARA, MAKA SUDAH SAATNYA UNTUK SECARA TERUS-
MENERUS MEMBUDAYAKAN DAN MENGAMALKAN NILAI-NILAI YANG
TERKANDUNG DALAM IDEOLOGI PANCASILA TERSEBUT;

• SALAH SATU DIMENSI GERAKAN PEMBUDAYAAN ITU, YANG SECARA IMPLISIT


ADALAH JUGA PENGAMALANNYA DALAM KEHIDUPAN SECARA NYATA, ADALAH
PENGEMBANGAN PEMIKIRAN TENTANG NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD-1945
YANG RELEVANT DENGAN KEBUTUHAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT DAN
TUNTUTAN REFORMASI, TETAPI TETAP BERADA DALAM KERANGKA PARADIGMA
DAN KANDUNGAN HAKEKAT YANG SESUNGGUHNYA.
ARTI “PANDANGAN HIDUP”
BAGI
SUATU BANGSA
(Tekanan lebih kepada “Aksiologi”)
• “PANDANGAN HIDUP” sangat diperlukan bagi setiap Bangsa yang ingin berdiri
kokoh dan mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya;

• Dengan “PANDANGAN HIDUP” inilah sesuatu Bangsa akan memandang persoalan-


persoalan yang dihadapinya dan menentukan arah serta cara bagaimana bangsa
itu memecahkan persoalan-persoalan tadi;

• Tanpa memiliki “PANDANGAN HIDUP”, maka sesuatu Bangsa akan merasa terus
terombang-ambing dalam menghadapi persoalan-persoalan besar yang pasti
timbul, baik persoalan-persoalan di dalam masyarakatnya sendiri, maupun
persoalan-persoalan besar umat manusia dalam pergaulan masyarakat bangsa di
dunia;

• Dengan “PANDANGAN HIDUP” yang jelas sesuatu Bangsa akan memiliki pegangan
dan pedoman bagaimana ia memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, sosial
dan budaya yang timbul dalam gerak-masyarakat yang semakin maju;

• Dengan berpedoman pada ‘PANDANGAN HIDUP” itu pula sesuatu Bangsa akan
membangun dirinya.
(Bersambung
……..)
ARTI “PANDANGAN HIDUP”
(Sambungan……….)

• Dalam ‘PANDANGAN HIDUP” ini terkandung:


(1) Konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh sesuatu Bangsa;
(2) Pikiran-pikiran yang paling dalam dan gagasan sesuatu Bangsa mengenai wujud
kehidupan yang dianggap baik;
(3) Dari kedua hal tsb., timbullah suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki
oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya, dan menimbulkan tekad pada
bangsa itu untuk mewujudkannya.

• Oleh karena itu, dalam melaksanakan “pembangunan” misalnya, kita tidak dapat
begitu saja mencontoh atau meniru model pembangunan yang dilakukan oleh
bangsa lain, tanpa menyesuaikan dengan “Pandangan Hidup” dan kebutuhan-
kebutuhan bangsa itu sendiri. Suatu corak pembangunan yang mungkin baik dan
memuaskan bagi sesuatu Bangsa, belum tentu baik atau memuaskan bagi bangsa
yang lain;

• Oleh karena itu pula, “Pandangan Hidup” suatu Bangsa


merupakan masalah yang sangat azasi bagi kekuatan dan
kelestarian suatu Bangsa.
PANCASILA
MERUPAKAN
JIWA, KEPRIBADIAN, PANDANGAN HIDUP DAN
DASAR NEGARA

• Kita bersyukur bahwa “The Founding Fathers”, para Pendiri Republik


ini, dapat merumuskan secara jelas apa sesungguhnya “Pandangan
Hidup” Bangsa kita ini, yang kemudian kita namakan “PANCASILA”;

• Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 menetapkan PANCASILA sebagai:


>> jiwa seluruh rakyat Indonesia;
>> kepribadian bangsa Indonesia;
>> pandangan hidup bangsa Indonesia;
>> dasar Negara Indonesia.

• Disamping itu, PANCASILA sebagai Pandangan Hidup, kesadaran dan


cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berurat-
akar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia adalah suatu kebudayaan
yang mengajarkan bahwa hidup manusia itu akan mencapai
“kebahagiaan”, jika dapat dikembangkan “keselarasan” dan
“keseimbangan”, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam
hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan
alam, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam
mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohaniah.
POSISI NEGARA INDONESIA
DALAM BARISAN
NEGARA-NEGARA DI DUNIA

• Negara Republik Indonesia tergolong muda dalam barisan negara-negara di


dunia, namun bangsa Indonesia lahir dari sejarah dan kebudayaannya yang cukup
tua, melalui cemerlangnya dan gemilangnya Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan
Mataram. Kemudian mengalami masa penderitaan penjajahan sepanjang tiga
setengah abad, sampai pada akhirnya bangsa Indonesia memproklamirkan
Kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945;

• Sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan, sama tuanya


dengan sejarah penjajahan itu sendiri;

• Berbagai babak sejarah telah dilampaui, dan berbagai jalan telah ditempuh
dengan gaya yang berbeda-beda:
> mulai dengan cara-cara yang lunak sampai dengan cara-cara yang keras;
> melalui gerakan cendikiawan terbatas sampai kepada gerakan menghimpun
kekuatan rakyat banyak; mulai dari gerakan pendidikan, kesenian daerah,
perdagangan sampai kepada gerakan-gerakan politik.
PANCASILA BUKAN LAHIR
SECRA MENDADAK
(Bersambung………….)

• Bahkan dalam 4 kali Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dalam era Pemerintahan
Orde Reformasi, yaitu Perubahan Pertama Tahun 1999, Perubahan Kedua Tahun 2000,
Perubahan Ketiga Tahun 2001, dan Perubahan Keempat Tahun 2002, rumusan
PANCASILA tetap tidak berubah dan tercantum dalam Pembukaan (Preambule) Undang-
Undang Dasar-1945;

• PANCASILA yang selalu dikukuhkan dalam kehidupan Konstitusional, PANCASILA yang


selalu menjadi pegangan bersama pada saat-saat terjadi krisis nasional dan ancaman
terhadap eksistensi Bangsa, maka merupakan bukti sejarah bahwa PANCASILA memang
selalu dikehendaki oleh Bangsa Indonesia sebagai Dasar Kerohanian Negara, dan
dikehendaki sebagai Dasar Negara;

• Dengan demikian, Dasar Negara ini jelas dikehendaki oleh seluruh rakyat Indonesia,
karena sebenarnya telah tertanam dalam kalbu rakyat Indonesia, dan oleh karenanya
pula ia (PANCASILA) merupakan Dasar Negara yang mampu mempersatukan seluruh
Rakyat Indonesia.
PANCASILA PERLU
DIFAHAMI, DIHAYATI DAN
DIAMALKAN
(Tekanan lebih kepada “Aksiologi”)

• Kalau kita simpulkan, maka PANCASILA yang telah kita gali dari bumi Indonesia
sendiri, adalah merupakan posisi dan peran yang sangat penting, sebagai berikut:
(1) Dasar Negara Republik Indonesia, yang merupakan sumber dari segala sumber
hukum yang berlaku di Indonesia;
(2) Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, yang dapat mempersatukan Bangsa, serta
memberi petunjuk dalam mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan bathin
dalam masyarakat Bangsa kita yang beraneka ragam sifatnya;
(3) Jiwa dan Kepribadian Bangsa Indonesia, karena PANCASILA memberikan corak yang
khas kepada Bangsa Indonesia, dan tidak dapat dipisahkan dari Bangsa Indonesia, serta
merupakan ciri khas yang membedakan Bangsa Indonesia dari Bangsa lain.
Misalnya, terdapat kemungkinan bahwa tiap-tiap Sila dari PANCASILA – bisa terlepas
dari Sila yang lain – bersifat Universil yang juga dimiliki oleh Bangsa-bangsa lain di
dunia, namun kelima Sila yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah-pisahkan,
itulah yang menjadi ciri khas Bangsa Indonesia;
(4) Tujuan yang akan dicapai oleh Bangsa Indonesia, yakni suatu masyarakat yang adil
dan makmur yang merata, materiil dan spiritual berdasarkan PANCASILA, di dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan
berkedaulatan rakyat, dalam suasana berkehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib
dan dinamis, serta dalam pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

(Bersambung ………)
PANCASILA PERLU
DIFAHAMI, DIHAYATI DAN
DIAMALKAN
(Sambungan ……….)

• (5) Perjanjian Luhur Rakyat Indonesia, yang disetujui oleh wakil-wakil Rakyat Indonesia
menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan yang kita junjung tinggi, bukan sekadar
karena ia (PANCASILA) ditemukan kembali dari kandungan kepribadian dan cita-cita
Bangsa Indonesia yang terpendam sejak berabad-abad yang lalu, melainkan karena
PANCASILA itu telah mampu membuktikan kebenarannya setelah diuji oleh sejarah
perjuangan Bangsa;

• Oleh karena itu, bagaimanapun juga memahami, menghayati dan mengamalkan


PANCASILA itu adalah merupakan keniscayaan (conditio sine qua non) dalam segala segi
kehidupan Bangsa.

• Kalau tidak, maka ia (PANCASILA) itu, hanya akan merupakan rangkaian kata-kata
indah yang terlukis dalam Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar-1945, yang
akan merupakan rumusan yang beku dan mati yang pada gilirannya tidak akan bermakna
sama sekali bagi kehidupan Bangsa Indonesia.
(Bersambung………..)
PANCASILA PERLU
DIFAHAMI, DIHAYATI DAN
DIAMALKAN
(Sambungan ……….)

• Kalau PANCASILA tidak menyentuh kehidupan nyata dan tidak kita rasakan
wujudnya dalam kehidupan sehari-hari, maka lambat laut pengertian dan
maknanya akan kabur dan pada gilirannya kesetiaan kita kepada PANCASILA
akan menjadi luntur;

• Kalau demikian, mungkin PANCASILA akan hanya tertinggal dalam buku-buku


sejarah saja;

• Kalau itu terjadi, maka segala dosa dan noda akan melekat pada kita yang
hidup pada masa kini, yang pada gilirannya pula itu berarti bahwa kita sudah
mengkhianati generasi yang dahulu yang sudah begitu gigih banyak berkorban
untuk menegakkan dan membela PANCASILA serta membebaskan Bangsa
Indonesia dari belenggu penjajahan kolonial yang berabad-abad lamanya.
MEMAHAMI URUTAN PANCASILA
SEBAGAIMANA TERMUAT DALAM
PEMBUKAAN UUD-1945
(Tinjauan Komprehensif: Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi)

• Yang dimaksud dengan PANCASILA adalah rumusan PANCASILA yang


urutannya sebagaimana termuat dalam Pembukaan (Preambule) Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Kemanusiaaan yang adil dan beradab:
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan;
5. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

• Rumusan PANCASILA yang terdapat dalam Pembukaan (Preambule) UUD-


1945 itu adalah yang dietapkan oleh wakil-wakil Bangsa Indonesia pada
tanggal 18 Agustus 1945 dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia;
(Bersambung……………..)
MEMAHAMI URUTAN PANCASILA
SEBAGAIMANA TERMUAT DALAM
PEMBUKAAN UUD-1945
(Sambungan………….)

• PANCASILA dari ke-5 Silanya sebagaimana rumusan diatas adalah


merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dikatakan demikian, karena
masing-masing Sila dari kelima PANCASILA itu, tidak dapat difahami dan
diberi arti secara sendiri-sendiri terpisah dari keseluruhan Sila-sila lainnya.

• Dengan kata lain, memahami atau memberi arti setiap Sila secara terpisah
dari Sila-sila lainnya, akan mendatangkan pengertian yang keliru tentang
PANCASILA.

• Memahami dan mengartikan PANCASILA sebagai satu kesatuan yang bulat


dan utuh itulah yang merupakan ciri khas Bangsa Indonesia yang membedakan
dengan Bangsa-bangsa lain.
PRINSIP-PRINSIP
PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN
PANCASILA
(Tinjauan Komprehensif: Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi)

• URUTAN 5 SILA DALAM PANCASILA SEBAGAIMANA TERCANTUM DALAM


PEMBUKAAN UUD-1945, MERUPAKAN KESATUAN YANG BULAT DAN UTUH DARI
KELIMA SILA TERSEBUT, YAITU: Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil
dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

• PANCASILA YANG BULAT DAN UTUH TERSEBUT, MEMBERI KEYAKINAN KEPADA


RAKYAT DAN BANGSA INDONESIA BAHWA Kebahagiaan hidup akan tercapai apabila
didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai
pribadi dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan
alam dan lingkungan, dalam hubungan bangsa dengan bangsa lain, dalam hubungan
manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan
rohaniah;

• DENGAN KEYAKINAN AKAN KEBENARAN PANCASILA, maka manusia ditempatkan


pada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai Machluk Tuhan Yang Maha Esa, dengan
kesadaran untuk mengemban kodratnya sebagai machluk pribadi dan sekaligus sebagai
makhluk sosial;
• (Bersambung ……….)
PRINSIP-PRINSIP
(Sambungan…………)

• DENGAN BERTITIK TOLAK DARI KODRAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK


TUHAN YANG MAHA ESA, YANG MERUPAKAN MAKHLUK PRIBADI DAN
SEKALIGUS SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL, maka pengertian, penghayatan,
pemahaman dan pengamalan Pancasila, akan sangat ditentukan oleh kemauan
(willingness) dan kemampuan (ability) seseorang dalam mengendalikan diri dan
kepentingannya, agar dapat melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara
dan warga masyarakat (attitude and behaviour, and individual value
judgement);

• OLEH KARENA ITU, untuk memenuhi kewajibannya, baik sebagai warga


negara, maupun sebagai warga masyarakat, manusia Indonesia perlu
mengerti, menghayati, memahami dan melaksanakan/mengamalkan prinsip-
prinsip atau asas-asas tentang kebulatan dan keutuhan Sila-sila dari kelima
Pancasila tersebut, yang merupakan rangkaian sistem yang tidak terpisahkan
satu sama lain.
PRINSIP-PRINSIP PANCASILA
SEBAGAI
SUATU KESATUAN YANG BULAT DAN UTUH
(Tinjauan Komprehensif: Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi)
• SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA:
(1) Dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa dan manusia Indonesia
menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan
oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut
dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab;
(2) Didalam kehidupan masyarakat Indonesia, dikembangkan sikap hormat-
menghormati dan bekerjasama antara pemeluk-pemeluk agama dan penganut-
penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga dapat selalu dibina
kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan berkepercayaaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
(3) Oleh karena itu, sadar bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi dengan
Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan diyakininya, maka sebagai
konsekuensinya, dikembangkanlah sikap saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayannya, dan tidak memaksakan
suatu agama dan kepercayaan itu kepada orang lain.
(Bersambung ………………..)
PRINSIP-PRINSIP PANCASILA
(Sambungan ……………)

• SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB:


(1) Dengan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak-hak dan
kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama
dan kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dlsb;
(2) Oleh karena itu, dikembangkanlah sikap saling mencintai sesama
manusia, sikap tenggang rasa dan “tepa-selira”, serta sikap tidak
semena-mena terhadap orang lain;
(3) Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menunjung tinggi nilai-
nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan,
dan berani membela kebenaran dan keadilan;
(4) Sadar bahwa manusia itu sederajat, maka konsekuensinya bangsa
Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umnat manusia,
karena itu dikembangkanlah sikap hormat-menghormati dan kerjasama
dengan bangsa-bangsa lain.

(Bersambung……………)
PRINSIP-PRINSIP PANCASILA
(Sambungan ……………..)

• SILA PERSATUAN INDONESIA:


(1) Dengan Sila Persatuan Indonesia, menusia Indonesia menempatkan persatuan,
kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan Negara di atas
kepentingan pribadi atau golongan (Faham Negara Integralistik);

(2) Menempatkan kepentingan Negara dan Bangsa di atas kepentingan pribadi,


berarti bahwa manusia Indonesia sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan
Negara dan Bangsa, apabila diperlukan;

(3) Oleh karena sikap rela berkorban untuk kepentingan Negara dan Bangsa itu
dilandasi oleh rasa cinta kepada Tanah Air dan Bangsanya, maka
dikembangkanlah rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia,
dalam rangka memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial;

(4) Persatuan dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dengan memajukan
pergaulan demi kesatuan dan persatruan Bangsa.
(Bersambung ………………..)
PRINSIP-PRINSIP PANCASILA
(Sambungan ………………..)

• SILA KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIUKMAT KEBIJAKSANAAN


DALAM PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN:
(1) Dengan Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, manusia Indonesia sebagai warga negara dan
warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewaajiban yang
sama. Dalam menggunakan hak-haknya ia menyadari perlunya selalu
memperhatikan dan mengutamakan kepentingan Negara dan kepentingan
masyarakat;
(2) Karena mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, maka pada
dasarnya tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain.
Sebelum diambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama, terlebih
dahulu diadakan musyawarah. Keputusan diusahakan secara mufakat.
Musyawarah untuk mencapai mufakat ini diliputi oleh semangat kekeluargaan
yang merupakan ciri khas Bangsa Indonesia;
(3 Manusia Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi setiap hasil
keputusan musyawarah, karena itu semua pihak yang bersangkutan harus
menerimanya dan melaksanakannya dengan itikad baik dan rasa tanggung
jawab.
(Bersambung ………………..)
PRINSIP-PRINSIP PANCASILA
(Sambungan ………………..)

• Disini kepentingan bersamalah yang diutamakan di atas kepentingan


pribadi dan golongan;

(4) Pembicaraan dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan


sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang
diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, serta
nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan
kesatuan, demi kepentingan bersama;

(5) Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepercayaan diberikan


kepada wakil-wakil yang dipercayainya.

(Bersambung…………….)
PRINSIP-PRINSIP PANCASILA
(Sambungan …………….)

• SILA KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA:


(1) Dengan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, manusia Indonesia
menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkanlah
perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
kegotong-royongan;
(2) Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga
keseimbangan antar hak dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang
lain;
(3) Demikian pula perlu dipupuk sikap suka memberikan pertolongan kepada
orang-orang yang memerlukan agar dapat berdiri sendiri. Dengan sikap yang
demikian, ia tidak menggunakan hak-miliknya untuk usaha-usaha yang
bersifat pemerasan terhadap orang lain, juga tidak untuk hal-hal yang
bersifat pemborosan dan hidup bergaya mewah, serta perbuatan-perbuatan
lain yang bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum;

(Bersambung …………..)
PRINSIP-PRINSIP PANCASILA
(Sambungan ………………..)

• (4) Demikian juga dipupuk sikap suka bekerja keras dan sikap menghargai
hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan
kesejahteraan bersama. Kesemuanya itu dilaksanakan dalam rangka
mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.
• (5) Prinsip-prinsip ini merupakan pedoman atau panduan bagi terlaksananya
pemahaman dan penghayatan, serta pengamalan Pancasila, yang pada Era
Orde Baru dinamakan Ekaprasetia Pancakarsa;
• (6) Disebut Ekaprasetia, karena Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila ini, bertolak dari tekad yang tunggal, janji yang luhur, kepada diri
sendiri bahwa sadar akan kodratnya sebagai makhluk pribadi dan sekaligus
sebagai makhluk sosial, manusia Indonesia merasa harus mampu
mengendalikan diri dan kepentingannya agar dapat melaksanakan kewajibannya
sebagai warga negara dan warga masyarakat;
• (7) Kesadaran akan kodratnya dan kemampuan mengendalikan diri dan
kepentingannya itu, merupakan modal serta mendorong tumbuhnya karsa
pribadi untuk menghayati dan mengamalkan kelima Sila dari Pancasila itu,
yang karenanya dinamakan Pancakarsa.

(P4, TAP MPR No. II/MPR/1978)


POKOK-POKOK PIKIRAN
TENTANG PEMERINTAHAN NEGARA
(ESENSI PEMBUKAAN UUD-1945)

• “Negara” melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh


tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan;
• Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat
Indonesia, artinya “Negara” hendak mewujudkan “keadilan
sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia (faham negara
integralistik?);
• “Negara” yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas ke-
rakyatan dan permusyawaratan perwakilan;
• “Negara” berdasar atas Ke-Tuhanan YME menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
***oo0oo***
POKOK-POKOK PIKIRAN
TENTANG PEMERINTAHAN NEGARA
(ESENSI PEMBUKAAN UUD-1945)

• “Negara” melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh


tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan;
• Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat
Indonesia, artinya “Negara” hendak mewujudkan “keadilan
sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia (faham negara
integralistik?);
• “Negara” yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas ke-
rakyatan dan permusyawaratan perwakilan;
• “Negara” berdasar atas Ke-Tuhanan YME menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
***oo0oo***
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN
PENYELENGGARA NEGARA LAINNYA

Berdasarkan Pokok-Pokok
pikiran dalam pembukaan
UUD tsb.:
• UUD mewajibkan kepada
Pemerintah dan Penyeleng
gara Negara lainnya,
untuk memelihara budi
pekerti kemanusiaan yang
luhur dan memegang teguh
cita-cita moral rakyat
yang luhur.(Dasar Etika,
Kepemimpinan dan Moral
pemerintahan)
DASAR-DASAR
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA RI

• Indonesia adalah Negara yg • Presiden adalah pemegang


berdasarkan atas Hukum kekuasaan yang tertinggi
(Rechtsstaat),artinya: Nega- atas Angkatan Darat,
ra Indonesia berdasar atas Angkatan Laut dan Angkatan
Hukum, tidak berdasarkan Udara;
atas kekuasaan belaka • Presiden tidak dapat
(Machtsstaat); membekukan dan/atau
• Pemerintahan berdasar atas membubarkan DPR;
sistem Konstitusi (Hukum da- • Presiden bersumpah atau
sar); tidak bersifat absolut- berjanji dihadapan MPR atau
isme (Kekuasaan yang tidak DPR;
terbatas); • Menteri Negara sebagai
• Presiden memegang pembantu Presiden tidak
Kekuasaan Pemerintahan bert.jawab kpd DPR;
Negara berdasarkan UUD; • Kekuasaan Kepala Negara
tidak tak terbatas.
PADA HAKEKATNYA
PEMERINTAHAN NEGARA ADALAH
“SEBUAH KOMITMEN”
(Tekanan kpd Aksiologi)

• Pemerintahan Negara
adalah sesuatu yang
“abstrak”;
• Wujudnya tergantung dari
“komitment” rakyatnya;
• “Komitmen” hanya bisa
dipegang, kalau rakyatnya
merasa bahwa “pemerin-
tahan” diperlukan untuk
melindungi rakyatnya, me-
lalui: penegakan keteratu-
ran dan penciptaan suasa-
na yang adil.(Ryaas,1998)
PENGERTIAN, KEDUDUKAN DAN
SIFAT UUD-1945
(Tinjauan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi)

• Yang dimaksud dengan ‘UNDANG-UNDANG DASAR 1945” adalah


Keseluruhan Naskah Undang-Undang Dasar yang terdiri dari : (1)
Pembukaan; (2) Batang Tubuh UUD-1945 yang berisi Pasal 1 s/d 37
yang dikelompokkan dalam 16 Bab, Aturan Peralihan dan Aturan
Tambahan, dan (3) Penjelasan UUD-1945;

• Naskahnya yang resmi telah dimuat dan disiarkan dalam “Berita


Republik Indonesia” -----suatu penerbitan resmi Pemerintah RI– yang
terbit pada tanggal 15 Pebruari 1946;

• UNDANG-UNDANG DASAR-1945 telah disahkan oleh Sidang Panitia


Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan mulai berlaku untuk pertama kali
pada tanggal 18 Agustus 1945;

• Yang dimaksud dengan undang-undang dasar dalam UNDANG-UNDANG


DASAR-1945 adalah HUKUM DASAR YANG TERTULIS.
SEBAGAI HUKUM, UUD-1945
ADALAH MENGIKAT
(Tinjauan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi)

• Dari pengertian tsb, sebagai hukum, maka Undang-Undang Dasar adalah


mengikat, yaitu: mengikat pemerintah, mengikat setiap lembaga negara
dan lembaga masyarakat, dan juga mengikat setiap warga negara
Indonesia di mana saja, dan setiap penduduk yang ada di wilayah negara
Indonesia;

• Sebagai hukum, undang-undang dasar berisi norma-norma, aturan-


aturan atau ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati;

• Undang-Undang Dasar bukanlah hukum biasa, melainkan hukum dasar.


Sebagai hukum dasar, maka undang-undang dasar itu sendiri merupakan
sumber hukum;

• Oleh karena itu, setiap produk hukum, seperti: undang-undang,


peraturan atau keputusan pemerintah, bahkan juga setiap tindakan
kebijakan pemerintah, haruslah berlandaskan dan bersumberkan pada
peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya dapat
dipertanggungjawabkan pada ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar
1945;
(Bersambung……..)
MENGAPA
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
BERSIFAT SINGKAT

• Dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan oleh


Pembentuk Undang-Undang Dasar mengapa UUD 1945 itu bersifat
singkat, yaitu hanya memuat 37 pasal, ditambah dengan empat pasal
Aturan Peralihan dan dua ayat Aturan Tambahan;

• Sifat yang singkat dari UUD 1945 tersebut lebih lanjut dikemukakan
dalam Penjelasan sebagi berikut:
a. UUD itu sudah cukup apabila telah memuat aturan-aturan pokok
saja, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepadaerintah
dan lain-lain penyelenggara negara untuk menyelenggarakan tugasnya;
b. UUD yang singkat itu menguntungkan bagi negara seperti Indonesia,
yang masih harus berkembang, harus terus hidup secara dinamis,
dimana masih terus akan mengalami perubahan-perubahan. Dengan
aturan-aturan yang tertulis, yang hanya memuat aturan-aturan pokok
itu, UUD akan merupakan aturan yang luwes, kenyal, tidak mudah
ketinggalan zaman.
(Bersambung……..)
SEBAGAI HUKUM, UUD 1945
ADALAH MENGIKAT
(Sambungan………)

• Dengan demikian, UUD 1945 bukanlah hukum biasa, melainkan “hukum


dasar”, dan sebagai hukum dasar, maka UUD itu sendiri merupakan
“sumber hukum”, dan karenanya setiap produk hukum, seperti undang-
undang, peraturan pemerintah atau keputusan pemerintah, bahkan
setiap tindakan kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan dan
bersumberkan kepada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya
dipertanggungjawabkan kepada ketentuan-ketentuan UUD 1945;

• Dalam kedudukan yang demikian itu, Undang-Undang Dasar dalam


kerangka tata-urutan atau tata tingkatan norma hukum yang berlaku,
merupakan hukum yang menempati kedudukan tertinggi.

• FUNGSI UUD 1945. Dalam hubungan diatas, UUD 1945 adalah juga
berfungsi sebagai “alat kontrol”, yaitu alat untuk mengecek apakah
norma hukum yang lebih rendah yang berlaku itu, sesuai atau tidak
dengan ketentuan Undang-Undang Dasar.
UUD 1945 BUKANLAH
SATU-SATUNYA HUKUM DASAR

• UUD-1945 bukanlah satu-satunya atau keseluruhan “hukum dasar”,


melainkan ia (UUD-1945) hanya merupakan sebahagian dari hukum
dasar, yaitu berupa hukum dasar yang tertulis;

• Disamping itu, masih ada hukum dasar yang lain, ialah hukum dasar
yang tidak tertulis, yaitu: “aturan-aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara”, meskipun tidak
tertulis. Aturan-aturan semacam itu umumnya disebut “konvensi”.

• Oleh karena iu, dengan sendirinya konvensi itu, tidak bertentangan


dengan ketentuan-ketentuan dalan Undang-Undang Dasar itu sendiri,
dan biasanya merupakan aturan-aturan sebagai “pelengkap” atau
pengisi kekosongan yang timbul dalam praktek kenegaraan, karena
aturan tersebut tidak terdapat dalam Undang-Undang Dasar.
MENGAPA
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
BERSIFAT SINGKAT
(Sambungan…………)

• Hal tersebut tidak berarti, bahwa UUD itu tidak lengkap atau tidak
sempurna, sehingga mengabaikan kepastian. Keluwesan dan Kekenyalan
itu justru tetap menjamin kejelasan dan kepastian hukum yang sudah
dipenuhi, apabila dengan aturan-aturan pokok itu sudah cukup untuk
dapat menyerahkan pengaturan-pengaturan lebih lanjut sebagai
penyelenggaraan aturan pokok itu dengan hukum dalam tingkat yang
lebih rendah, yang lebkih nmudah membuat dan merubahnya, jika
dibanding dengan undang-undang;

• Disamping itu, Penjelasan UUD 1945 menekankan bahwa yang


terpenting adalah semangat para penyelenggara negara. Jadi, dengan
kata lain, setiap penyelenggara negara disamping harus mengetahui
teks UUD 1945, harus juga menghayati semangat UUD 1945, sebab
dengan semangat penyelenggara negara yang baik, maka pelaksanaan
dari aturan-aturan pokok yang tertera dalam UUD 1945 –meskipun
hanya singkat—akan baik dan sesuai dengan maksud dan jiwa
ketentuan-ketentuan tersebut.
MEMAHAMI MAKNA
ALINEA-ALINEA UUD 1945
(Tinjauan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi)

• ALINEA PERTAMA:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan
dan perikeadilan”.

Alinea Pertama ini setidak-tidaknya mengandung makna 3 (tiga) hal ssebagai berikut:
(1) menunjukan keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia menghadapi masalah
kemerdekaan melawan penjajahan.Dengan pernyataan itu, bangsa Indonesia bukan saja
bertekad untuk merdeka, tetapi bangsa Indonesia akan tetap berdiri di barisan paling
depan untuk menentang dan menghapuskan penjajahan di atas dunia;
(2) mengungkapkan suatu dalil obyektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai dengan
perikema nusiaan da n perikeadilan, dan oleh karenanya harus ditentang dan dihapuskan
agar semua bangsa di dunia dapat menjalankan hak kemerdekaannya yang merupakan
hak asasinya. Ini adalah merupakan moral luhur dari pernyataan kemerdekaan
Indonesia;
(3) mengandung pula penyataan subyektif, yaitu menunjukkan aspirasi bangsa Indonesia
sendiri untuk membebaskan diri dari penjajahan.

Jadi, dalil tersebut meletakkan tugas kewajiban kepada bangsa dan pemerintah
Indonesia untuk senantiasa berjuang melawan setiap bentuk penjajahan dan mendukung
kemerdekaan setiap bangsa, sehingga ini men jadikan landasan pokok dalam
mengendalikan poliotik luar negeri bangsa Indonesia.
(Bersambung……….)
MEMAHAMI MAKNA
PEMBUKAAN UUD 1945 BAGI PERJUANGAN
BANGSA INDONESIA
(Tinjauan Aksiologi)

• Kalau UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi dari hukum yang
berlaku di Indonesia, maka Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber
motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad bangsa Indonesia, yang
merupakan “sumber dari cita hukum dan cita moral yang ingin
ditegakkan, baik dalam lkingkungan nasional, maupun dalam hubungan
pergaulan bangsa-bangsa di dunia”.

• Pembukaan UUD 1945 telah dirumuskan secara padat dan khidmat


dalam 4 (empat) alinea, dan setiap alinea dan kata-katanya
mengandung arti dan makna yang sangat dalam, serta mempunyai nilai-
nilai yang universal dan lestari;

• Disebut Universal, karena mengandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi


oleh bangsa-bangsa beradab di seluruh dunia; dan disebut Lestari,
karena ia mampu menampung dinamika masyarakat,dan akan tetap
menjadi landasan perjuangan bangsa dan negara selama bangsa
Indonesia tetap setia kepada Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
MEMAHAMI MAKNA
ALINEA-ALINEA UUD 1945
(Sambungan………)

• ALINEA KEDUA:
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur”.

• Alinea kedua ini menunjukkan kebanggaan dan penghargaan kita atas perjuangan bangsa
Indonesia selama itu. Hal itu juga berarti adanya kesadaran bahwa keadaan sekarang
tidak dapart dipisahkan dari keadaan kemarin dan langkah yang kita ambil sekarang,
akan menentukan keadaan yang akan datang.

• Dalam alinea kadua ini jelas apa yang dikehendaki atau diharapkan oleh para
“pengantar” klemerdekaan, ialah Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur. Nilai-nilai inilah yang selalu menjiwai segenap bangsa Indonesia dan
terusa berusaha untuk mewujudkannya.

• Dalam alinea kedua ini menunjukikan adanya ketepatan dan ketajaman penilaian,
setidaknya dalam 3 (tiga) hal sbb:
(1) bahwa perjuangan pergerakan di Indonesia telah sampai pada tingkat yang
menentukan;
(2) bahwa momentum yang telah dicapai tsb harus dimanfaatkan un tuk menyatakan
kemerdekaan;
(3) bahwa kemerdekaan tsb bukan merupakan tujuan akhir, tetapi masih harus diisi
dengan mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.
MEMAHAMI
ALINEA-ALINEA UUD 1945
(Sambungan ………)

• ALINEA KETIGA:
“Atas berkat Rachmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan diorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Kalimat ini bukan saja menegaskan lagi apa yang menjadi motivasi riil dan
materiil bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga
menjadi keyakinan/kepercayaannya, menjadi motivasi spiritualnya, b ahwa
maksud dan tindakannya menyatakan kemerdekaan itu diberkati oleh Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Dengan ini digambarkan bahwa bangsa Indonesia mendambakan kehidupan yanag
berkesimbangan, keseimbangan kehidupan matiriil dan spiritual, keseimbangan
kehidupan di dunia dan di akhirat.

• Jadi, alinea ini memuat dua hal pokok pikiran, yaitu:


(1) memuat motivasi spiritual yang luhur serta suatu pengukuhan dari Proklamasi
Kemerdekaan;
(2) menunjukkan ketakwaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa,
berkat rido-NYAlah bangsa Indonesia berhasilo dalam perjoangan mencapai
kemerdekaannya.
MEMAHAMI MAKNA
ALINEA-ALINEA UUD 1945
(Sambungan …………)

• Rumusan alinea keempat yang panjang dan padat ini, bisa disimpulkan
bahwa alinea keempat itu menegaskan hal-hal sebagai berikut:
(1) Negara Indonesia mempunyai fungsi yang sekaligus menjadi
tujuannya, yaitu: a. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia; b. memajukan kesejahteraan umum; c.
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan e. ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial;
(2) Negara Indonesia berbentuk Republik dan berkedaulatan Rakyat;
(3) Negara Indonesia mempunyai dasar falsafah Pancasila, yaitu:a.
Ketuhanan Yang Maha Esa, b. Kemanusiaan yang adil dan beradab, c.
Persatuan Indonesia, d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan dan e. Keadilan Sosial
bagi seluruh Rakyat Indonesia.
MEMAHAMI MAKNA
ALINEA-ALINEA UUD 1945
(Sambungan …………)

• ALINEA KEEMPAT:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesioa
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indinesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan
Yang Maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.

• Alinea keempat ini merumuskan dengan lengkap/padat tujuan dan prinsip-


prinsip dasar untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia setelah nmenyatakan
dirinya merdeka.
• (Bersambung……….)
POKOK-POKOK PIKIRAN
YANG TERMUAT
DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1945
(Tinjauan komprehensif: Ontologi, Epistimologi, dan
Aksiologi)
• Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang mempunyai fungsi atau
hubungan langsung dengan Batang Tubuh UUD 1945 mengandung
“Pokok-Pokok Pikiran”, yang kemudian Pokok-Pokok Pikiran tersebut
diciptakan dan dijelmakan dalam Pasal-Pasal di dalam Batang Tubuh
UUD 1945 tersebut;

• Terdapat empat Pokok-Pokok Pikiran yang sifat dan maknanya sangat


dalam, yaitu:

(1) POKOK PIKIRAN PERTAMA:


“Negara” –begitu bunyinya- “melindungi segenap bangsa Indonesaia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ini
merupakan “aliran pengertian negara persatuan”, yaitu negara yang
melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Maknanya, negara
mengatasi segala faham golongan, mengatasi segala faham perorangan.
Negara, menurut pengertian dalam “pembukaan” itu menghendaki
persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Jadi,
rumusan ini menunjukkan Pokok Pikiran Persatuan.
POKOK-POKOK FIKIRAN
(Sambungan ………)

(2) POKOK FIKIRAN KEDUA:


“Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”.
Ini merupakan pokok fikiran “keadilan sosial”. Pokok fikiran yang hendak
diwujudkan oleh negara bagi seluruh rakyat ini didasarkan kepada kesa-
daran bahwa manusia Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama
untuk menciptakan “keadilan sosial” dalam kehidupan masyarakat.

(3) POKOK FIKIRAN KETIGA:


Seperti terkandung dalam Pembukaan UUD-1945 ialah Negara yang
berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyaratan/perwa-
kilan. Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam UUD-1945
harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan/
perwakilan. Pokok fikiran ini merupakan aliran pokok fikiran “kedaulatan
rakyat” yang menyatakan bahwa kedaulatan rakyat yang menegaskan bahwa
kedaulatan rakyat itu di tangan rakyat, yang sebelum amandemen kedaulatan
itu dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(Bersambung……….)
POKOK-POKOK FIKIRAN
(Sambungan………)

• (4) POKOK PIKIRAN KEEMPAT:


Pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD-1945 adalah
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut kemausiaan
yang adil dan beradab”. Oleh karena itu, UUD harus mengandung isi
yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk
memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh
cita-cita moral rakyat yang luhur. Ini artinya, menegaskan pokok
pikiran Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan
beradab.

Kesimpulan: Kesimpulan dari keempat pokok pikiran itu, menunjukkan


bahwa Pokok-pokok pikiran ini tidak lain adalah pancaran dari falsafah
negara Pancasila.
BAGAIMANA HUBUNGAN PEMBUKAAN
DENGAN BATANG TUBUH UUD-1945
(Tekanan kepada aspek Epistimologi)

• Karena Pokok-Pokok Pikiran yang telah diuraikan tadi,--menurut


Penjelasan Undang-UIndang Dasar 1945—”meliputi suasana kebathinan
dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, serta mewujudkan cita-
cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis”, sedangkan Pokok-Pokok Pikiran itu
dijelmakan dalam Pasal-pasalnya oleh UUD-1945, maka dapatlah
disimpulkan bahwa “Suasana kebathinan UUD- 1945 serta cita-cita
hukum UUD-1945, tidak lain adalah bersumber atau di-jiwai oleh
dasar falsafah Pancasila”.

• Disinilah arti dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negar.

• Dengan demikian, Pembukaan UUD-1945 mempunyai fungsi dan


hubungan langsung dengan Batang Tubuh UUD-1945 sendiri, yaitu
bahwa: Pembukaan UUD-1945 mengandung Pokok-Pokok Pikiran, dimana
Pokok-Pokok Pikiran itu diciptakan dan diwujudkan oleh UUD-1945
dalam Pasal-pasalnya.
MAKNA BATANG TUBUH
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
(Tinjauan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi)

• UUD-1945 yang terdiri dari 37 Pasal ditambah dengan 4 Pasal Aturan


Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan, yang mengandung semangat
dan merupakan perwujudan dari Pokok-Pokok Pikiran yang terkandung
dalam Pembukaan UUD-1945, adalah juga merupakan rangkaian
kesatuan Pasal-Pasal yang bulat dan terpadu;

• Di dalamnya berisi materi yang pada dasarnya dapat dibedakan dalam


dua bagian sebagai berikut:
(1) Pasal-pasal yang berisi materi pengaturan sistem pemerintahan
negara, yang didalamnya termasuk pengaturan tentang kedudukan,
tugas dan wewenang yang saling berhubungan dengan masing-masing
kelembagaan negara;
(2) Pasal-pasal yang berisi materi hubungan negara dengan warga
negara dan penduduknya, serta berisi konsepsi negara di berbagai
bidang: politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam dan lain-lain, yang
menunjukkan kearah mana negara, bangsa dan rakyat Indonesia akan
bergerak mencapai cita-citanya.
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA RI
MENURUT UUD-1945
(Tinjauan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi)

• Terdapat 7 buah Kunci Pokok tentang Sistem Pemerintahan Negara yang dengan
jelas dan sistimatis diuraikan dalam Penjelasan UUD-1945, sbb:
(1) Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat).
Ini mengandung arti bahwa negara, termasuk Pemerintah dan lembaga-lembaga
negara lainnya, dalam melakukan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum,
atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Tekanan pada hukum
(recht) disini, dihadapkan sebagai lawan dari kekuasaan (macht).
Prinsip dari sistem ini, disamping akan tampak dalam rumusan pasal-pasalnya,
jelas sejalan dan merupakan pelaksanaan dari Pokok-Pokok Pikiran yang
terkandung dalam Pembukaan UUD-1945 yang diwujudkan oleh cita-cita hukum
(Rechtsidee) yang menjiwai UUD-1945 dan hukum dasar yang tidak tertulis.
Sesuai dengan semangat dan ketegasan dalam Pembukaan UUD-1945, jelas
bahwa negara hukum yang dimaksud, bukanlah sekedar negara hukum dalam arti
formal, tetapi juga dalam arti luas (material).
Dengan landasan sebagai negara hukum dalam arti formal dan material, maka
setiap tindakan negara harus mempertimbangkan dua kepentingan, yaitu landasan
hukum dalam arti rechtsmatiheid (dasar hukumnya dalam arti formil), dan
landasan hukum dalam arti doelmatigheid (kemanfaatannya) atau untuk
tercapainya tujuan, dimana negara bukan saja “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, melainkan juga harus memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA RI
MENURUT UUD-1945
(Sambungan …….)

• (2) Pemerintahan Negara RI berdasarkan Sistem Konsitutional


Pemerintahan Negara Indonesia berdasarkan sistem Konstitusi (hukum dasar),
dan tidak bersifat Absolutisme (Kekuasaan yang tidak terbatas).
Sistem ini memberikan ketegasan bahwa cara pengendalian Pemerintahan dibatasi
oleh ketentuan-ketentuan Konstitusi, yang berarti juga dibatasi oleh ketentuan-
ketentuan hukum lainnya yang merupakan produk dari Konstitusi, seperti Undang-
undang, Peraturan Pemerintah dll. Dengan demikian, sistem ini menegaskan dan
memperkuat sistem Negaa Hukum seperti tsb diatas.

• (3) Kekuasaan Negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.


Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan yang disebut Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN), mengangkat Kepala Neegara (Presiden) DAN wWakil
Kepala Negara (Wakil Presiden); Majelis inilah yang memegang kekuasaan yang
tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis
besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Dengan demikian, Presiden yang
diangkat oleh Majelis tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis, ia wajib
menjalankan keputusan-keputusan Majelis. Kedudcukan Presiden tidak “neben”.
Akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis. Catatan: Kedudukan kesemuanya
itu,adalah kedudukan menurut UUD-1945 yang lama, sebelum terjadinya 4 kali
Perubahan UUD-1945.Kedudukan MPR sekarang akan diuraikan lebih lanjut.
(Bersambung……….)
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA RI
MENURUT UUD-1945
(Sambungan…………..)

• Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, MPR (sebelum Amandemen)


mempunyai tugas dan wewenang yang sangat menentukan jalannya
negara dan bangsa, yaitu:
--meneetapkan Undang-Undang Dasar;
--menetpkan Garis-Garis Besar Haluan Negafra;
--mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.

• Dengan kewenangan yang sedemikian luasnya itu, yaitu menetapkan


UUD dan
GBHN, maka kekuasaan MPR itu adalah luas sekali. Ini adalah logis,
karena MPR adalah pemegang kedaulatan rakyat, sebagai badan yang
merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat, maka segala keputusan yang
diambil haruslah mencerminkan keinginan dan aspirasi seluruh rakyat.

(Bersambung………..)
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA RI
MENURUT UUD-1945
(Sambungan………….)

• (4) Presiden ialah penyelenggara negara tertinggi di bawah Majelis


Penjelasan UUD-1945 menyatakan: “Di bawah Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelengara pemerintahan
negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara,
kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration
of power and esponsibility upon the President)”;

• Sistem ini logis, karena Presiden diangkat oleh Majelis.Presiden bukan


saja diangkat oleh Majelis, tetapi ia dipercaya dan diberi tugas untuk
melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-garis Besar
Haluan Negara ataupun ketetapan-ketetapan lainnya.

• Oleh karena itu, Presiden adalah Mandataris Majelis. Presiden-lah


yang memegang tanggung jawab atas jalannya pemerintahan yang
dipecayakan kepadanya dan mempertanggungjawabkannya kepada
Majelis, buka n kepada badan lain.
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA RI
MENURUT UUD-1945
(Sambungan………)

• (5) Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat


Dalam Penjelasan UUD-1945 ditegaskan: “Di samping Presiden adalah
Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk menetapkan Undang-Undang
(Gesetzgebung) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (Staatsbegrooting) Presiden harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.

• Oleh karena itu, Presiden harus bekerja bersama-sama dengan Dewan


Perwakilan Rakyat, akan tetapi Presiden tidak bertanggung jawab
kepada Dewan, artinya Kedudukan Presiden tidak tergantung dari
Dewan.

• Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti pada sistem


Parlementer, namun DPR-pun tidak dapat menjatuhkan Presiden,
karena Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.

(Bersambung………..)
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA RI
MENURUT UUD-1945
(Sambungan……….)

• (6) Menteri Negara ialah Pembantu Presiden, Menteri Negara tidak


ber-
tanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Penjelasan UUD-1945 menyatakan: “Presiden mengangkat dan
memberhentikan Menteri-Menteri Negara. Menteri-Menteri itu tidak
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya
tidak tervgantung dari Dewan, akan tetapi tergantung dari Presiden.
Mereka adalah Pembantu Presiden.

• Pengangkatan dan pemberhentian Menteri-Menteri Negara adalah


sepenuhnya wewenang Presiden.Ia tidak bertanggung jawab kepada
Dewan, tetapi bertanggung jawab kepada Presiden.

• Menteri-Menteri Negara itu bukanlah pegawai tinggi biasa, oleh karena


dengan petun juk dan persetujuan Presiden, Menteri-Menteri inilah
dalam kenyataaanya menjalankan kekuasaan pemerintahan di bidangnya
masing-masing. Inilah yang disebut sistem Kabinet Presidensiil.

(Bersambung……..)
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA RI
MENURUT UUD-1945
(Sambungan………)

• (7) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas


Penjelasan UUD-1945 menyatkan: “Meskipun Kepala Negara tidak
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan “diktator”,
artinya kekuasaan itu tidak tak terbatas.

• Seperti telah ditegaskan diatas, bahwa ia (Presiden) bertanggung jawab


kepada Majelis Permusyawaratan rakyat. Kecuali itu, ia harus memperhatikan
sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat;

• Kunci sistem ini: --Kekuasaan Presiden tidak tak terbatas--, ditegaskan lagi
disamping sudah tegas dalam Kunci Sisten yang ke-2, bahwa sistem
pemerintahan negara Indonesia adalah sistem Pemerintahan Konstitusional,
bukan bersifat “absolut”, dengan menunjukan peranan/fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat dan fungsi/peranan para Menteri sebagai Pembantu
Presiden, yang dapat mencegah kemungkinan kekuasaan pemerintahan di
tangan Presiden kearah “kekuasaan mutlak” (absoluitisme).
KEDUDUKAN
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
(Tinjauan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi)

• Menurut Pasal 2 ayat (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih
melalui pemilihan umum, dan diatur lebih lanjut dengan UU;

• Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat, setelah perubahan keempat,


meliputi:
(1) Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
(2) Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
(3) Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatanny
menurut Undang-Undang Dasar;
(4) Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan Presiden, dalam hal
terdapat kekosogan Wakil Presiden;
(5) Memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden meraih suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sampai berakhir masa
jabatannya, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan secara bersamaan.
(Bersambung…………)
KEDUDUKAN
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
(Sambungan………)

• Apa dampak ekologis terhadap penyelenggraan pemerintahan negara, dengan dirubahnya status
Majelis Permusyawaratan Rakyat?
(1) MPR tidak lagi menjadi pemegang kekuasaan tertinggi negara,kedudukannya sama dengan
lembaga2 negara lainnya, dan tidak lagi sebagai Pemegang Kedaulaan Rakyat sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia;
(2) Terdapat kekosongan (vaccuum) dalam menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara,
sebab MPR tidak lagi sebagai lembaga negara tertinggi yang berfwenang menetapkan GBHN;
(3) Karena MPR tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi, maka tidak berwenang untuk
mengharuskan Presiden menjalankan GBHN;
(4) Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, dan tidak lagi diangkat oleh MPR, maka
Presiden tidak tunduk dan tidak bertanggung jawab kepada MPR, sedangkan MPR hanya
berwenang memberhentikan dalam masa jabatannya,karena alasan2 sebaai terurai dalam Pasal
7A UUD-1945;
(5) Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, setelah empat kali perubahan UUD, secara
konstitutional tidak jelas lagi kepada siapa Presiden bertanggung-jawab dan bagaimana proses
pertanggungjawaban tsb. Karena ia (Presiden) tidak lagi sebagai “mandataris” MPR dan tidak
wajib menjalankan ketetapan2 MPR;
(6) Kalau sebelum perubahan UUD-1945, kedudukan Presiden tidak “neben” melainkan
“untergeordnet” kepada MPR, sekarang tidak jelas lagi, karena tidak secara eksplisit
ditegaskan dalam Pasal-pasal UUD-1945 tsb.
(7) Dalam kedudukan Presiden dan MPR seperti itu, pertanyaannya: Atas dasar apa Presiden
menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut UUD, dan kepada siapa, serta bagaimana proses
pertanggungjawaban itu?

Anda mungkin juga menyukai