Anda di halaman 1dari 26

POLA ATAU BENTUK

PERSEBARAN PEMUKIMAN
Dosen Pengampu : Drs. Karmalin Pinem,M,Si

Disusun oleh :

1.Febiyola Valentina Lumbanraja


2.Lita Apriliani S
3.Josari Simanjuntak
PEMBAHASAN
Pemukiman Penduduk

Penduduk adalah sekelompok masyarakat yang


tinggal menetap di wilayah tertentu dan dalam jangka
waktu tertentu.
Kita disebut penduduk Indonesia, karena kita tinggal dan
menetap di wilayah Indonesia.
Alasan orang mendirikan permukiman berbeda-beda.
Jika mereka ingin tinggal di tempat yang sepi, mereka
cenderung tinggal jauh dari jalan besar, begitu juga
sebaliknya. Di desa, orang memilih tinggal
berkelompok dengan sanak saudara bertujuan untuk
mempererat tali kekeluargaan. Dengan berbagai alasan
tersebut, tentu terbentuk berbagai pola permukiman
Pola permukiman penduduk adalah bentuk umum sebuah permukiman
penduduk dan terlihat mengikuti pola tertentu. Pola permukiman penduduk
berbeda-beda di setiap daerah. Secara umum saya akan jabarkan faktor-faktor
yang mempengaruhi bentuk pola permukiman penduduk.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bentuk Pola Permukiman Penduduk

 Bentuk permukaan bumi

Bentuk permukaan bumi berbeda-beda, ada gunung, pantai, dataran rendah,


dataran tinggi, dan sebagainya. Kondisi yang berbeda secara otomatis akan
membuat pola kehidupan yang berbeda, misal penduduk pantai bekerja sebagai
petani. Pola kehidupan yang berbeda akan menyebabkan penduduk membuat
permukiman yang sesuai dengan lingkungan tempat penduduk itu berada.
Bentuk muka bumi mempengaruhi pola permukiman penduduk
• Keadaan tanah
Keadaan tanah menyangkut kesuburan/kelayakan tanah ditanami.
Seperti kita ketahui, lahan yang subur tentu menjadi sumber
penghidupan penduduk. Lahan tersebut bisa dijadikan lahan
pertanian atau semacamnya. Karena itu, penduduk biasanya
hidup mengelompok di dekat sumber penghidupan tersebut (ini
jelas terlihat di desa).

• Keadaan iklim
Iklim memiliki unsur-unsur di antaranya curah hujan, intensitas
cahaya matahari, suhu udara, dan sebagainya yang berbeda-beda
di setiap daerah. Perbedaan iklim ini akan membuat kesuburan
tanah dan keadaan alam di setiap daerah berbeda-beda yang tentu
membuat pola permukiman penduduk berbeda pula. Sebagai
contoh penduduk di pegunungan cenderung bertempat tinggal
berdekatan, sementara penduduk di daerah panas memiliki
permukiman yang lebih terbuka (agak terpencar).
• Keadaan ekonomi
Kita tentu ingin beraktifitas sehemat-hematnya. Kita tidak ingin
tinggal jauh dari pusat perkantoran, sekolah, dan pasar. Jika kita memilih
rumah, tentu kita akan memilih tempat yang tepat sebagai salah satu faktor
utama. Kondisi ini jelas berpengaruh terhadap pola permukiman penduduk
(ini jelas terlihat di kota).

• Kultur penduduk

Pola permukiman penduduk sangat bergantung pada kemajuan dan


kebutuhan penduduk itu sendiri. Jika penduduk itu masih tradisional, pola
permukimannya akan cenderung terisolir dari permukiman lain.
Permukiman di daerah tersebut hanya diperuntukkan bagi mereka yang
masih anggota suku atau yang masih berhubungan darah.
Keadaan ekonomi membuat orang cenderung tinggal di kota
Pola / Bentuk Pemukiman Penduduk
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar
kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun
perdesaan yang berfungsi sebagagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan
Penduduk adalah orang-orang yang berada di dalam suatu
wilayah yang terikat oleh aturan-aturan yang berlaku dan
saling berinteraksi satu sama lain secara terus
menerus/kontinu. Dalam sosiologi, penduduk adalah
kumpulan manusia yang menempatiwilayah geografi dan
ruang tertentu.

Pola pemukiman adalah tempat manusia bermukim dan


melakukan aktivitas sehari-hari. Bentuk penyebaran penduduk
dapat dilihat berdasarkan kondisi alam dan aktivitas penduduk.
Faktor yang mempengaruhi perbedaan pola pemukiman Penduduk antara
lain:

1. Relief/Bentuk permukaan bumi terdiri dari relief-relief seperti


pegunungan, dataran rendah, pantai, dan perbukitan.

2. Kesuburan Tanah. Pola pemukiman dipengaruhi juga oleh kesuburan


tanah. Kesuburan tanah berbeda-beda di setiap tempat. Masyarakat
cenderung tinggal di daerah yang memiliki kesuburan tanah, seperti di
daerah pedesaan.

3. Keadaan Iklim. Keadaan iklim juga mempengaruhi pola pemukiman


penduduk. Misalnya intensitas radiasi matahari dan suhu di masing-masing
daerah. Di daerah pegunungan yang bersuhu dingin, pemukiman penduduk
cenderung merapat, sedangkan di daerah pantai yang bersuhu panas,
pemukiman cenderung merenggang.

4. Kultur Penduduk. Budaya penduduk mempengaruhi pola pemukiman


penduduk. Suku Badui di Banten, Suku Dayak di Kalimantan cenderung
memiliki pemukiman berkelompok.
Ada tiga pola pemukiman penduduk dalam hubungannya dengan
bentang alamnya, yaitu sebagai berikut:
Pola Pemukiman Memanjang (Linear).
Pola pemukiman memanjang memiliki ciri pemukiman berupa
deretan memanjang karena mengikuti jalan, sungai, rel kereta api atau
pantai.
1. Mengikuti Jalan. Pada daerah ini pemukiman berada di sebelah
kanan kiri jalan. Umumnya pola pemukiman seperti ini banyak
terdapat di dataran rendah yang morfologinya landai sehingga
memudahkan pembangunan jalan-jalan di pemukiman. Namun
pola ini sebenarnya terbentuk secara alami untuk mendekati
sarana transportasi
2. Mengikuti rel kereta api . Pada daerah ini pemukiman berada di
sebelah kanan kiri rel kereta api. Umumnya pola pemukiman seperti
ini banyak terdapat di daerah perkotaan terutama di DKI Jakarta dan
atau daerah padat penduduknya yang dilalui rel kereta api.
3. Mengikuti Alur Sungai. Pada daerah ini pemukiman
terbentuk memanjang mengikuti aliran sungai. Biasanya pola
pemukiman ini terdapat di daerah pedalaman yang memiliki
sungai-sungai besar. Sungai-sungai tersebut memiliki fungsi
yang sangat penting bagi kehidupan penduduk.

4. Mengikuti Garis Pantai. Daerah pantai pada umumnya


merupakan pemukiman penduduk yang bermata pencaharian
nelayan. Pada daerah ini pemukiman terbentuk memanjang
mengikuti garis pantai. Hal itu untuk memudahkan penduduk
dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu mencari ikan ke
laut.
POLA PEMUKIMAN TERPUSAT

Pola pemukiman ini mengelompok membentuk unit-unit yang kecil dan


menyebar, umumnya terdapat di daerah pegunungan atau daerah dataran tinggi yang
berelief kasar, dan terkadang daerahnya terisolir. Di daerah pegunungan pola
pemukiman memusat mengitari mata air dan tanah yang subur. Sedangkan daerah
pertambangan di pedalaman pemukiman memusat mendekati lokasi pertambangan.
Penduduk yang tinggal di pemukiman terpusat biasanya masih memiliki hubungan
kekerabatan dan hubungan dalam pekerjaan. Pola pemukiman ini sengaja dibuat
untuk mempermudah komunikasi antarkeluarga atau antarteman bekerja.
POLA PEMUKIMAN TERSEBAR

Pola pemukiman tersebar terdapat di daerah dataran tinggi atau daerah gunung api
dan daerah-daerah yang kurang subur. Pada daerah dataran tinggi atau daerah
gunung api penduduk akan mendirikan pemukiman secara tersebar karena mencari
daerah yang tidak terjal, morfologinya rata dan relatif aman. Sedangkan pada
daerah kapur pemukiman penduduk akan tersebar mencari daerah yang memiliki
kondisi air yang baik. Mata pencaharian penduduk pada pola pemukiman ini
sebagian besar dalam bidang pertanian, ladang, perkebunan dan peternakan.
Pemukiman Desa dan Pemukiman Kota
1. Pemukiman Desa
Pemukiman desa model ini biasanya akan dijumpai rumah, lumbung
padi, gudang perkakas, tempat ibadah hingga sekolah. Setiap penduduk
yang hidup disana akan diberikan sebidang lahan atau menyewa lahan
untuk diusahakan. Saat populasi tumbuh semakin pesat maka
pemukiman baru akan dibangun di dekat rumah yang sudah ada. Pola
pemukiman seperti ini membuat kekerabatan diantara penduduk sangat
erat karena jarak yang berdekatan.

Pola Ruang Desa Mengelompok


2. Circular Rural Settlements
Pola pemukiman ini membentuk lingkaran dengan ruang terbuka
di tengah-tengah pemukiman. Pemukiman dibangun mengikuti garis
lingkaran dari pusat daerah terbuka. Pengaturan bangunan biasanya
akan dilakukan sesuai kesepakatan atau hukum adat. Model ini
menyerupai pola ruang Von Thunen karena strukturnya melingkar
dengan titik pusat di tengahnya.

POLA RUANG DESA MELINGKAR


3. Linier Rural Settlements
Pola pemukiman ini berbentuk memanjang mengikuti suatu
kenampakan seperti sungai, rel kereta atau jalan raya. Transportasi
utama mengandalkan sungai atau jalanan sempit jika diantara rel
kereta atau jalan raya. Banjarmasin menjadi salah satu daerah dengan
banyak pemukiman memanjang di pinggir sungai sehingga
menghasilkan budaya sungai.

Pola Ruang Desa Memanjang


4. Dispersed Rural Settlements
Pola pemukiman ini tersebar tidak merata di berbagai titik dan
biasanya berada di wilayah seperti pegunungan karst dan
perbukitan. Para penduduk cenderung terisolasi satu sama lain
dengan kondisi transportasi yang sulit.
Pemukiman Kota
Pemukiman kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan
oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki
berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri.
Ciri fisik kota meliputi hal sebagai berikut:
-Tersedianya tempat-tempat untuk pasar dan pertokoan
-Tersedianya tempat-tempat untuk parkir
-Terdapatnya sarana rekreasi dan sarana olahraga
Ciri kehidupan kota adalah sebagai berikut:
-Adanya pelapisan sosial ekonomi misalnya perbedaan tingkat penghasilan,
tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan.
-Adanya jarak sosial dan kurangnya toleransi social diantara warganya.
-Adanya penilaian yang berbeda-beda terhadap suatu masalahdengan
pertimbangan perbedaan
kepentingan, situasi dan kondisi kehidupan.
-Warga kota umumnya sangat menghargai waktu.
-Cara berpikir dan bertindak warga kota tampak lebih rasional dan berprinsip
ekonomi.
-Masyarakat kota lebih mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan social
disebabkan adanya keterbukaan terhadap pengaruh luar.
Teori  Struktur Ruang Kota

Teori-teori yang melandasi struktur ruang kota yang paling dikenal yaitu:

Teori Konsentris Teori ini menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau
Central Business District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota
dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan
politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota.
DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti
atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan,
perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business
District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala
besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang
supaya tahan lama (storage buildings).

1. Zona pusat daerah kegiatan (Central Business District), yang merupakan pusat
pertokoan besar, gedung perkantoran yang bertingkat, bank, museum, hotel, restoran
dan sebagainya.
2. Zona peralihan atau zona transisi, merupakan daerah kegiatan. Penduduk zona
ini tidak stabil, baik dilihat dari tempat tinggal maupun sosial ekonomi. Daerah ini
sering ditemui kawasan permukiman kumuh yang disebut slum karena zona ini
dihuni penduduk miskin. Namun demikian sebenarnya zona ini merupakan zona
pengembangan industri sekaligus menghubungkan antara pusat kota dengan daerah
di luarnya.
3. Zona permukiman kelas proletar, perumahannya sedikit lebih baik karena dihuni
oleh para pekerja yang berpenghasilan kecil atau buruh dan karyawan kelas bawah,
ditandai oleh adanya rumah-rumah kecil yang kurang menarik dan rumah-rumah
susun sederhana yang dihuni oleh keluarga besar. Burgess menamakan daerah ini
yaitu working men's homes.
4. Zona permukiman kelas menengah (residential zone), merupakan kompleks
perumahan para karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu.
Rumah-rumahnya lebih baik dibandingkan kelas proletar.
5. Wilayah tempat tinggal masyarakat berpenghasilan tinggi. Ditandai dengan
adanya kawasan elit, perumahan dan halaman yang luas. Sebagian penduduk
merupakan kaum eksekutif, pengusaha besar, dan pejabat tinggi.
6. Zona penglaju (commuters), merupakan daerah yang yang memasuki daerah
belakang (hinterland) atau merupakan batas desa-kota. Penduduknya bekerja di
kota dan tinggal di pinggiran.
Teori Sektoral Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki
pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori
Konsentris.

1. Sektor pusat kegiatan bisnis yang terdiri atas bangunan-bangunan


kontor, hotel, bank, bioskop, pasar, dan pusat perbelanjaan.
2. Sektor kawasan industri ringan dan perdagangan.
3. Sektor kaum buruh atau kaum murba, yaitu kawasan permukiman
kaum buruh.
4. Sektor permukiman kaum menengah atau sektor madya wisma.
5. Sektor permukiman adi wisma, yaitu kawasan tempat tinggal
golongan atas yang terdiri dari para eksekutif dan pejabat.
Teori Inti Berganda Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat
kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi
sebagai salah satu growing points. Zona ini menampung sebagian besar
kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat
distrik spesialisasi pelayanan, seperti retailing, distrik khusus perbankan,
teater dan lain-lain. Namun, ada perbedaan dengan dua teori yang disebutkan
di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda terdapat banyak DPK atau
CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk
bundar.
1. Pusat kota atau Central Business District (CBD).
2. Kawasan niaga dan industri ringan.
3. Kawasan murbawisma atau permukiman kaum buruh.
4. Kawasan madyawisma atau permukiman kaum pekerja menengah.
5. Kawasan adiwisma atau permukiman kaum kaya.
6. Pusat industri berat.
7. Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran.
8. Upakota, untuk kawasan mudyawisma dan adiwisma.
9. Upakota (sub-urban) kawasan industri
Terdapat lima tahap kontras yang menunjukkan sikap pemerintah
terhadap penyediaan permukiman kota, antara lain :
1. Tahap I (Tahun 1950 - 1960-an) :
Pemerintah negara berkembang hanya menganggap permasalahan
permukiman informal sebagai akar dari permasalahan ekonomi,
sedangkan pertumbuhan ekonomi semestinya tumbuh dan
pendapatan semestinya meningkat. Pada tahapan ini pemerintah
masih tidak mempunyai aksi, hanya menganggap permasalahan
permukiman informal sebagai akar dari permasalahan ekonomi saja.
2. Tahap II (Tahun 1960-1970-an) :
Pemerintah mulai menyadari bahwa permukiman informal dilihat
sebagai masalah sosial. Pada tahapan ini pemerintah mengerahkan
institusi dan dana untuk pembangunan public housing (misal : rumah
susun) dan permukiman kumuh(slum area) dilenyapkan (salah
satunnya dengan cara penggusuran).
3. Tahap III (Tahun 1970-1980-an) :
Pemerintah mulai menyadari bahwa permukiman informal dapat dianggap sebagai
permukiman permanen dari kota (kondisi ini dianggap bahaya yang jika tidak
ditangani). Pada tahapan ini pemerintah yang pada umumnya ingin eksistensi
negara berkembang menjadi negara maju mengadakan adanya program rumah
inti (site and service program).
4. Tahap IV (Tahun 1980-1990-an) :
Pemerintah sudah sadar bahwa bahwa penduduk yang tinggal di pemukiman
informal telah berkontribusi banyak untuk ekonomi kota dengan apa yang disebut
sebagai sektor informal, seperti penyediaan tenaga kerja (buruh) dan barang murah.
Pada tahapan ini pemerintah lebih meningkatkan program pada tahapan III untuk
merealisasikannya, tidak perlu melalui proses penggusuran.
5. Tahap V (Tahun 1990-sekarang) :
Pemerintah sudah menyadari bahwa perlu adanya institusi atau kelembagaan
khusus yang memikirkan proses di tahap IV agar dapat terakomodasi, salah satunya
yaitu pemerintah harus memberikan tindakan yang berorientasi dalam mendukung
kegiatan/ usaha para penghuni permukiman informal. Pada tahapan ini pemerintah
memastikan adanya sumber daya untuk membangun rumah tersedia dan terjangkau
untuk semua kalangan (khususnya bagi para penghuni perumahan informal yang
tergolong masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah).
Permasalahan Permukiman Kota
Menurut Kirmanto (2002), isu-isu perkembangan permukiman yang ada pada
saat ini adalah (1) perbedaan peluang antar pelaku pembangunan yang
ditunjukkan oleh ketimpangan pada pelayanan infrastruktur, pelayanan
perkotaan, perumahan dan ruang untuk kesempatan berusaha; (2) konflik
kepentingan yang disebabkan oleh kebijakan yang memihak pada suatu
kelompok dalam pembangunan perumahan dan permukiman; (3) alokasi tanah
dan ruang yang kurang tepat akibat pasar tanah dan perumahan yang
cenderung mempengaruhi tata ruang sehingga berimplikasi pada alokasi tanah
dan ruang yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan pembangunan lain dan
kondisi ekologis daerah yang bersangkutan; (4) terjadi masalah lingkungan
yang serius di daerah yang mengalami tingkat urbanisasi dan industrialisasi
tinggi, serta eksploitasi sumber daya alam; dan (5) komunitas lokal tersisih
akibat orientasi pembangunan yang terfokus pada pengejaran target melalui
proyek pembangunan baru, berorientasi ke pasar terbuka dan terhadap
kelompok masyarakat yang mampu dan menguntungkan.
Kirmanto (2002) juga menyebutkankan isu-isu perkembangan
pembangunan permukiman yang akan datang ialah (1) urbanisasi
di daerah tumbuh cepat sebagai tantangan bagi pemerintah untuk
secara positif berupaya agar pertumbuhan lebih merata; (2)
perkembangan tak terkendali daerah yang memiliki potensi untuk
tumbuh; dan (3) marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan
global.Pengertian kota secara sistematis dapat dikelompokkan
menjadi enam tinjauan, yakni dari segi (1) yuridis administratif, (2)
morfologikal, (3) jumlah penduduk, (4) kepadatan penduduk, (5)
jumlah penduduk plus kriteria tertentu, dan (6) fungsi kota dalam
suatu organic region

Anda mungkin juga menyukai