SEPSIS Kelompok 8 : Cindi Amelia Lely Pangastuti Lulu Ilmaknun Vivy Pragustila Reggy Satrio P Ni Made Dwiva Y Definisi ■ Peritonitis berarti peradangan pada peritoneum. ■ Peradangan tsb disebabkan oleh agen infeksius (bakteri, virus) dan non-infeksius (bahan kimia: empedu). ■ Peritonitis merupakan suatu kegawatdaruratan yang biasanya disertai dengan bakteremia atau sepsis. ■ Sepsis adalah respon sistemik tubuh terhadap infeksi yang menyebabkan sepsis berat dan syok septik. ■ Komplikasi peritonitis berupa gangguan pembekuan darah, respiratory distress syndrome, dan sepsis yang dapat menyebabkan syok dan kegagalan banyak organ. Etiologi ■ Penyebab terjadinya peritonoitis adalah bakteri, bakteri ini masuk ke rongga peritoneum dan terjadi peradangan. ■ Menurut Muttaqin (2011) bakteri yang sering menyebabkan peritonoitis yaitu Escheria coli (40%), Klebsiella pneumoniae (7%), Streptococcus pneumoniae (15%),Pseudomonas species, Proteu species, dan gram negatif lainnya (20%), Streptoccous lainnya (15%), Staphylococcus (3%). ■ Menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2012) peritonitis juga bisa disebabkam secara langsung dari luar seperti operasi yang tidak steril, terkontaminasi talcum veltum, lypodium, dan sulfonamida, serta trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa, dan ruptur hati. Patofisiologi ■ Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra abdomen dan fibrin karantina dengan pembentukan adhesi berikutnya. ■ Terbentuknya eksudat fibrinosa merupakan reaksi penting pertahanan tubuh, tetapi sejumlah bakteri dapat dikarantina dalam matriks fibrins. ■ Fibrin mungkin berhubungan dengan tingkat kontaminasi bakteri peritoneal. ■ Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi, namun proses ini dapat menyebabkan infeksi paristen dan sepsis yang mengancam jiwa. ■ Awal pembentukan abses melibatkan pelepasan bakteri dan agen potensi abses ke lingkungan yang steril. ■ Tubuh tidak dapat mengeliminasi agen infeksi dan mencoba mengontrol penyebaran melalui sistem kompartemen, bersaman dengan faktor-faktor yang bertugas untuk fagositosis. ■ Kontaminasi transien bakteri pada peritoneal merupakan kondisi umum. ■ Paparan antigen yang mengubah ke insiden peritoneal berulang akan mengakibatkan peningkatan insiden pembentukan abses, perubahan konten bakteri, dan meningkatkan angka kematian. ■ Abses peritoneal menggambarkan pembentukan sebuah kumpulan cairan yang terinfeksi di enkapsulasi oleh eksudat fibrinosa, mentum, dan sebelah organ viseral. Mayoritas abses terjadi pada peritonitis. ■ Pembentukan abses terjadi paling sering di sub hepatik dan panggul, tetapi mungkin juga terjadi di daerah perisplenik, kantong yang lebih kecil, dan putaran usus kecil, serta mesenterium. ■ Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum, maka aktivitas motalitas usus menurun dan meningkatkan resiko ileus peristaltik. ■ Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi dengan cepat dan agresif, maka akan menyebabkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator misal interleukin, dari kegagalan organ. ■ Oleh karena tubuh mencoba untuk mengompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tetapi kemudian akan segera terjadi badikardi begitu terjadi syok hipovolamik. ■ Organ – organ di dalam vakum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami edema. ■ Pengumpulan cairan di dalam rongga peritoneum dan lumen – lumen usus, serta edema seluruh organ intraperitoneal dan edema dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. ■ Hipovolemik bertambah dengan adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di rongga peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen, sehingga pernafasan menjadi sulit dan menimbulkan perfusi. Farmakologi ■ Penggantian cairan, koloid dan elektronik ■ Pemberian analgesik, dan anti emetik ■ Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen. ■ Terapi oksigen. ■ Terkadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator jika diperlukan. ■ Terapi antibiotik masif. ■ Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (appendiks), reseksi, memperbaiki (perforasi), dan drainase (abses). ■ Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal. Diet pada Pasien Peritonitis ■ Berikan makanan yang mengandung protein tinggi, yaitu 1,5 g/kgBB ■ Berikan makanan yang mengandung lemak cukup, 25% dari total kebutuhan per hari. ■ Albumin tinggi. ■ Memberikan makanan sesuai daya terima secara bertahap yaitu dengan pemberian makanan melalui NGT. Proses Keperawatan ■ Pengkajian • Identitas • Riyawat penyakit (sekarang, dahulu, keluarga) • Pemeriksaan fisik • Pengkajian psikososial • Personal hygiene • Pemeriksaan laboratorium • Pemeriksaan radiologi • X-ray ■ Diagnosa keperawatan ■ Intervensi keperawatan Diagnosa keperawatan ■ Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis), kerusakan jaringan, akumulasi cairan dalam rongga abdomen. ■ Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan. ■ Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus. ■ Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena faktor biologis, psikologis atau ekonomi, anoreksia, mual muntah. Intervensi Keperawatan No. Diagnosa perencanaan Tujuan Intervensi 1. Nyeri akut b.d agen NOC : NIC : injuri (biologi, 1. Pain Level, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, kimia, fisik, 2. pain control, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi. psikologis), 3. comfort level 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan. kerusakan jaringan, 3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan. akumulasi cairan Setelah dilakukan tindakan 4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu dalam rongga keperawatan selama 3x24 jam ruangan, pencahayaan dan kebisingan. abdomen. nyeri berkurang, dengan kriteria 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri. hasil: 6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi. - Mampu mengontrol nyeri 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, (tahu penyebab nyeri, kompres hangat/ dingin. mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan). 2. Hipertermia NOC: NIC : b.d proses Thermoregulasi 1. Monitor suhu sesering mungkin. penyakit/infla 2. Monitor warna dan suhu kulit. masi Setelah dilakukan tindakan 3. Monitor tekanan darah, nadi dan RR. keperawatan selama 3x24 jam 4. Monitor penurunan tingkat kesadaran. pasien menunjukkan : 5. Monitor WBC, Hb, dan Hct. Suhu tubuh dalam batas normal 6. Monitor intake dan output. dengan kreiteria hasil: 7. Berikan anti piretik. - Suhu 36 – 36,5 C. 8. Kelola Antibiotik. - Nadi dan RR dalam rentang 9. Selimuti pasien. normal. 10. Berikan cairan intravena. - Tidak ada perubahan warna 11. Kompres pasien pada lipat paha dan aksila. kulit dan tidak ada pusing, 12. Tingkatkan sirkulasi udara. merasa nyaman. 13. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi. 14. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR. 15. Catat adanya fluktuasi tekanan darah. 16. Monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban membran mukosa). Jurnal Rujukan ■ Identitas jurnal • Judul asli artikel : Pengaruh Terapi Relaksasi Autogenik Terhadap Tingkat Nyeri Akut pada Pasien Abdominal Pain di IGD RSUD Karawang 2014 • Penulis / pengarang : Nita Syamsiah, Endang Muslihat • Nama jurnal : Jurnal Ilmu Keperawatan • Nomor, edisi, tahun terbit, DOI/ISBN/ISSN/e-ISSN jurnal : Nomor 2, Volume 3, April 2015, ISSN: 2338-7246 • Jumlah halaman : 7 Metode penelitian jurnal ■ Desain penelitian ini menggunakan rancangan desain eksperimen semu (quasi experiment design) dengan equivalent time sample design. Desain ini bertujuan untuk membandingkan dua kelompok yang diberikan perlakuan dengan yang tidak diberikan perlakuan (Hidayat, 2007). ■ Pada penelitian ini kelompok A (intervensi) diberikan terapi relaksasi autogenik dan analgetik sedangkan kelompok B (kontrol) hanya diberikan terapi analgetik. Hasil penelitian jurnal ■ Dari 15 responden kelompok kontrol bahwa nilai rata-rata pretest dari responden sebelum diberikan terapi analgetik adalah 8,33, dan nilai rata-rata post test setelah diberikan terapi analgetik adalah 3,20. Artinya terdapat penurunan skala nyeri dengan selisih 5,13. ■ Dari 15 responden kelompok intervensi bahwa nilai rata-rata pretest dari responden sebelum dilakukan intervensi terapi relaksasi dan analgetik adalah 8,53, dan nilai rata-rata posttest setelah intervensi adalah 1,00. Artinya terdapat penurunan dengan selisih 7,53. ■ Dapat disimpulkan secara statistik bahwa terdapat perbedaan pengaruh antara skala nyeri sesudah diberikan terapi relaksasi dan analgetik dibandingkan terapi analgetik saja. Artinya bahwa terdapat perbedaan pengaruh antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol terhadap skala nyeri. Dapat disimpulkan bahwa kombinasi terapi relaksasi dengan analgetik lebih efektif menurunkan sekala nyeri pada pasien dengan abdominal pain. THANK YOU...