Anda di halaman 1dari 11

FREQUENCY OF GRANULOMATOUS INVASIVE FUNGAL

SINUSITIS IN PATIENTS WITH CLINICAL SUSPCION OF


CHRONIC FUNGAL RHINOSINUSITIS
Journal Reading

ANDREAS ADIWINATA
406191046

PEMBIMBING:
DR. NURLINA M RAUF, SP. THT-KL
KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT-KL RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH CIAWI
ABSTRAK
 PENDAHULUAN
Satu dari penyebab umum sinusitis kronik adalah infeksi fungal, dan ada berbagai tipe fungal rhinosinusitis (FRS).
Kesalahan diagnosis invasif granulomatosa dari sinusitis fungal sesekali dapat menyebabkan keterlibatan sistem
saraf pusat. Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan frekuensi dari granulomatous invasive fungal sinusisits
(GIFS) pada pasien dengan kecurigaan klinis FRS kronis.
 METODE
Kami melakukan penelitian deskriptive cross-sectional di departemen THT RS Nishtar, Multan dari 1 Januari
2017 sampai 1 July 2018. 81 pasien dengan FRS kronik berpartisipiasi dalam penelitian. Setelah inform consent,
jaringan hidung di biopsi untuk melihat invasi granulomatosa fungal.
 HASIL
Frekuensi GIFS adalah 29,6% (n=24) pada penelitian ini. Faktor resiko yang signifikan meliputi durasi FRS
kronik lebih dari 12 minggu, riwayat DM, dan status hidup di pedesaan.
 KESIMPULAN
GIFS adalah komplikasi umum dari pasien dengan kecurigaan klinis FRS kronis. Biopsi hidung harus menjadi
praktik umum pada setiap pasien FRS kronis yang mempunyai penyakit jangka panjang dan riwayat DM.
PENDAHULUAN

• Penyumbatan hidung
Rhinosinusitis
• Ante/poste nasal
discharge
• Cephalgia
Fungal • Facial Pain
Rhinosinusitis • Anomali penghidu
(FRS)

Invasive Non-Invasive

Akut Fullminan Kronik Invasive Granulomatous FRS Alergi Fungal Ball


PENDAHULUAN

 Sebuah laporan tentang prevalensi FRS oleh Challa et al. mengungkapkan insiden FRS 45,7%, dimana
Granulomatosa intrusive terdapat pada 30%, alergi pada 23,8%, kronik non-invasive di 1,6%, Kronik intrusive di
15,87%, dan akut fulminant di 28,5%.
 tujuan pertama penelitian ini untuk mengevaluasi GIFS pada orang-orang dengan FRS. Berdasarkan pada temuan
kami, kami dapat mengubah kesadaran publik pada tingkat lokal dan nasional dengan menyarankan pasien untuk
segera pergi ke dokter tepat waktu jika terdapat gejala seperti ini, dan terapi yang tepat dapat diberikan pada
mereka untuk meminimalkan penyakit.
METODE

 Penelitian ini adalah penelitian deskriptive cross-sectional dilakukan di departemen THT RS Nishtar, Multan dari
1 Januari 2017 sampai 1 July 2018.
 Kami menggunakan teknik konsekutif non-probability sampling untuk mengumpulkan data. Kami
mengindentifikasi 109 pasien FRS kronik saat periode penelitian. Setelah kehilangan pasien karena kurangnya
persetujuan dan follow up, total dari 81 pasien telah menyelesaikan penelitian. Semua pasien berusia lebih dari 18
tahun.
 Eksklusi : Pasien dengan riwayat trauma sebelumnya di hidung dan wajah atau sebelumnya didiagnosis kasus
sinusitis fungal, pasien lain yang sebelumnya pernah mengalami intervensi atau bedah sinonasal, dan pasien yang
tidak akan mengambil peranan pada penelitian
METODE

 Biopsi massa di hidung diambil oleh konsultan bedah dan dikirim ke tempat pemeriksan histopatologis untuk
memeriksa ada atau tidaknya GIFS.
 Data yang dikumpulkan diuji analisis statistik, rata-rata dan standar deviasi dikalkulasikan untuk variabel
kuantitatif seperti durasi penyakit dan usia pasien, sedangkan frekuensi dan persentasi dikalkulasikan untuk
variabel kategorik seperti jenis kelamin dan frekuensi dari GIFS. Test Chi-square digunakan untuk memeriksa
hubungan antara variabel dan P≤0,05 dianggap signifikan secara statistik.
HASIL

 Dari 81 pasien dengan


FRS kronis, GIFS
didiagnosis pada 24
(29,6%). Ada 16
(66,7%) pasien laki-
laki dan 8 (33,3%)
pasien wanita pada
grup GIFS. Rata-rata
usia dan durasi
penyakit adalah
masing-masing 33 ± 2
tahun dan 10 ± 3
minggu.
PEMBAHASAN

 Jamur dapat mengambil bentuk saprofit yang tidak berbahaya atau dapat menjadi infeksi jamur yang invasif.
 Peningkatan frekuensi infeksi jamur menyebabkan sejumlah besar morbiditas dan mortalitas dikaitkan dengan
penggunaan antibiotik, kemoterapi, terapi immunosupresif, perawatan yang intensif, dan peningkatan jumlah
penyakit immunodefisiensi.
 FRS ditunjukan dalam 5 bentuk klinis. Setiap bentuk FRS ditunjukan dengan kriteria diagnosis, modalitas
tatalaksana, dan prognosis yang berbeda-beda. Ada 3 bentuk invasive: akut fulminan, granulomatosa, dan FRS
invasive kronik. Bentuk FRS non-invasive adalah FRS alergi dan bola fungal (fungal ball).
 Modalitas multipel tersedia untuk tatalaksana FRS kronis, namun angka kekambuhan setelah pengobatan sangat
banyak.
PEMBAHASAN

 Dalam analisis retrospektif dengan 665 kasus rinosinusitis, 42,7% berasal dari jamur; subtipe histologis yang
paling umum adalah FRS alergi non-invasif, dan 16,5% kasus adalah FRS granulomatosa invasif kronis.
 Untuk FRS akut, operasi yang agresif dan terapi antijamur dapat dimulai. Untuk subtipe granulomatosa invasif,
pengangkatan dengan pembedahan dilengkapi dengan pengobatan antijamur. Pembedahan saja sudah cukup untuk
subtipe non-invasif. Subtipe alergi merespon dengan baik terhadap monoterapi kortikosteroid.
 Studi ini telah sangat menekankan perlunya diagnosis histopatologis dari rinosinusitis untuk membantu dalam
manajemen yang tepat.
 Salah satu batasan adalah bahwa kami hanya memasukkan pasien dengan FRS, dan oleh karena itu, kami tidak
dapat memastikan kejadian FRS di antara semua patologi lainnya.
 Kami merekomendasikan skala besar, analisis multisenter dari semua infeksi rinosinusitis untuk menentukan
beban penyebab jamur dan mengevaluasi frekuensi subtipe untuk investigasi di masa depan.
KESIMPULAN

 GIFS sangat sering terjadi di antara pasien dengan kecurigaan klinis FRS kronis.
 Infeksi jamur harus dianggap sebagai diagnosis banding yang mungkin pada pasien dengan rinosinusitis kronis,
bahkan jika pasien imunokompeten.
 Ahli THT harus selalu mengkonfirmasi diagnosis histopatologis rinosinusitis sebelum memulai pengobatan apa
pun.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai