Anda di halaman 1dari 71

Journal Reading

An Official ATS Statement:


Hepatotoxicity of Antituberculosis
Therapy
02 Agustus 2021
Table of Contents

01 Abstract 06 Dili During Treatment Of


Latent TB Infection

02 Methods
07 Recommmendations regarding TB
DILI
03 The Liver: Structure and
Function 08 Priorities for Research of
Hepatotoxicity in Treatment of
04 Drug-Induced Liver LTBI and of TB Disease
Injury: General Concepts
09 Conclusion
05 Hepatotoxicity During
Treatment of TB Disease
Abstrak
• Drug-Induce Liver Injury (DILI) adalah masalah dari infeksi tuberculosis dengan peningkatan
yang signifikan, namun telah mendapat perhatian yang cukup lama dalam pengobatan infeksi
tuberkulosis (TB).
• Penelitian ini menyajikan data mengenai:
- Pathogenesis dan tipe DILI terkait adaptasi organ hati hingga cedera hepatoseluler.
- Pengetahuan tentang metabolisme obat anti-TB dan mekanisme TB DILI tidak lengkap.
- Pemahaman tentang TB DILI yang mengalami hambatan sebab perbedaan populasi dalam
penelitian, definisi hepatotoksisitas, dan praktik pemantauan serta pelaporan
- Data kejadian dan tingkat keparahan TB DILI secara keseluruhan pada kelompok demografis
tertentu, dan pada pasien yang koinfeksi dengan HIV atau virus hepatitis B atau C.
- langkah-langkah pencegahan dan pengelolaan secara sistematis terhadap TB DILI.
- Beberapa ahli merekomendasikan pemantauan biokimia untuk pasien yang berusia lebih dari 35
tahun.
- Pengobatan harus dihentikan dan, umumnya, rejimen yang dimodifikasi atau alternatif yang
digunakan untuk mereka dengan peningkatan ALT lebih dari tiga kali batas atas normal (ULN)
dengan adanya gejala hepatitis dan/atau penyakit jaundice, atau lima kali ULN tanpa adanya
gejala.
Metode

• Materi penelitian ini disajikan dari hasil simposium


multidisiplin mengenai tuberkulosis (TB), farmakologi, dan
hepatology yang dilengkapi oleh literature dari PubMed dengan
beberapa istilah pencarian.
• bibliografi juga ditinjau untuk referensi tambahan.
• Publikasi dievaluasi dari jumlah pasien yang diobati, rejimen
yang digunakan, kejadian dan tingkat keparahan
hepatotoksisitas, dan jenis publikasi.
Hati: Struktur dan Fungsi

• Hati terletak di antara saluran pencernaan dan sirkulasi sistemik


yang berfungsi untuk memaksimalkan proses penyerapan nutrisi
dan untuk meminimalkan paparan racun dan bahan kimia asing
terhadap tubuh.
• Hati dapat terpapar oleh konsentrasi yang besar dari zat eksogen
dan metabolitnya.
Metabolisme obat dalam hati: Transporter,
Enzim, dan Ekskresi
• Sirkulasi splanknikus membawa obat  langsung ke hati "lintasan pertama" melalui
hati.
• Enzim metabolik mengubah bahan kimia melalui beberapa jalur, seperti:
- jalur fase 1; oksidasi, reduksi, atau hidrolisis (terutama oleh enzim sitokrom P450).
- Jalur fase 2 meliputi glukuronidasi, sulfasi, asetilasi, dan konjugasi glutathione 
membentuk senyawa yang siap dikeluarkan dari tubuh.
- lainnya seperti deasetilasi dan deaminidasi.
- Jalur alternative
- Jalur fase 3, protein transport sel mengeksresi ke dalam empedu atau sirkulasi
sistemik.

(Perbedaan toksisitas antar individu)


Metabolisme obat dalam hati: Transporter,
Enzim, dan Ekskresi

• Transporter dan aktivitas enzim dipengaruhi oleh faktor endogen seperti


irama sirkadian, hormon, sitokin, letak gangguan, faktor genetik, jenis
kelamin, etnis, usia, dan status gizi, serta oleh obat-obatan zat eksogen
atau bahan kimia
• Empedu adalah ekskresi utama untuk metabolit hati. Senyawa yang
diekskresikan dalam empedu dapat mengalami sirkulasi enterohepatik,
direabsorbsi di usus halus dan kembali masuk ke sirkulasi portal
Drug-Induced Liver Injury: Konsep Umum

Definisi
• Drug-Induce Liver Injury (DILI) merupakan diagnosis klinis
eksklusi.
• Onset cedera hati akut terjadi dalam beberapa bulan setelah
memulai pengobatan.
• Pengulangan pemberian obat dengan peningkatan serum alanine
aminotransferase (ALT) lebih dari dua kali lipat, dan
penghentian obat yang menyebabkan penurunan ALT, adalah
diagnosis konfirmasi yang paling kuat.
Drug-Induced Liver Injury: Konsep Umum

• DILI 7% karena efek samping obat; 2% karena kasus jaundice di RS;


Sekitar 30% karena kegagalan fungsi hati fulminan
• DILI telah menggantikan posisi hepatitis virus sebagai penyebab dari
gagal hati akut
• Lebih dari 700 obat dengan hepatotoksisitas digunakan di Amerika
Serikat
• Dengan perkiraan tingkat latar belakang gagal hati idiopatik 1 dalam
1.000.000
• Food and Drug Administration (FDA) AS telah menarik obat atau
memberi label ulang karena menyebabkan cedera hati berat atau fatal
melebihi 1 dari 50.000 orang
Drug-Induced Liver Injury: Konsep Umum
Patogenesis DILI
• Toksisitas dari senyawa primer, metabolit, atau dari respons yang dimediasi secara
imunologis memengaruhi hepatosit, sel epitel bilier, dan / atau pembuluh darah
hati (teorinya masih kurang dipahami).
• Radikal bebas nekrosis hepatosit
• Reaksi tak terduga atau idiosinkratik terdiri dari sebagian besar jenis DILI.
Hipersensitivitas atau reaksi metabolik ini terjadi sebagian besar tidak tergantung
pada dosis obat, dan dapat menyebabkan cedera hepatoseluler dan/atau kolestasis.
Pada reaksi hipersensitivitas, obat imunogenik atau metabolitnya mungkin bebas
atau terikat secara kovalen dengan protein hati, membentuk hapten atau
“neoantigen”. Sitotoksik yang bergantung pada antibodi, sel T, dan kadang- kadang
dapat menimbulkan respons hipersensitivitas eosinofilik. Reaksi metabolik
idiosinkratik dapat terjadi akibat variasi genetik atau didapat dari jalur
biotransformasi obat, dengan sintesis atau detoksifikasi metabolit hepatotoksik yang
lambat secara abnormal.
Drug-Induced Liver Injury: Konsep Umum
• Peningkatan serum ALT “serum glutamat piruvat transaminase (SGPT)” sebagai
penanda cedera hepatoseluler yang lebih spesifik dari AST (SGOT)
• Konsentrasi serum transaminase hati cenderung lebih tinggi pada laki-laki, pasien
dengan indeks massa tubuh yang besar
• Konsentrasi serum transaminase hati cenderung lebih rendah pada anak-anak dan
dewasa tua
• ↑ alkalin fosfatase dan / bilirubin dengan sedikit atau tanpa ↑ ALT
mengindikasikan kolestasis.
• ↑ konsentrasi serum-glutamyl transpeptidase untuk membedakan ↑ alkaline
phosphatase yang berhubungan dengan hati dan ↑ alkaline phosphatase yang
berhubungan dengan organ
• bilirubin serum melebihi 3,0 mg/dl. Menandakan ikterus
Drug-Induced Liver Injury: Konsep Umum

Pengukuran Enzim Hati


• Peningkatan serum ALT “serum glutamat piruvat transaminase (SGPT)” sebagai
penanda cedera hepatoseluler yang lebih spesifik dari AST (SGOT)
• Konsentrasi serum transaminase hati cenderung lebih tinggi pada laki-laki, pasien
dengan indeks massa tubuh yang besar
• Konsentrasi serum transaminase hati cenderung lebih rendah pada anak-anak dan
dewasa tua
• ↑ alkalin fosfatase dan / bilirubin dengan sedikit atau tanpa ↑ ALT
mengindikasikan kolestasis.
• ↑ konsentrasi serum-glutamyl transpeptidase untuk membedakan ↑ alkaline
phosphatase yang berhubungan dengan hati dan ↑ alkaline phosphatase yang
berhubungan dengan organ
• bilirubin serum melebihi 3,0 mg/dl. Menandakan ikterus
Drug-Induced Liver Injury: Konsep Umum

Pemantauan Laboratorium

• Manfaat pemantauan ALT dan/atau bilirubin dalam mencegah atau mengurangi


cedera hati akibat obat belum diuji lebih teliti, serta dapat menurunkan keparahan
dari pyrazinamide-induced liver injury.
• Kerugian pemantauan laboratorium berdasarkan efektifitas biaya, ambang batas
enzim yang tidak jelas untuk penghentian obat
• Pemantauan dan penggunaan rejimen yang berpotensi mengurangi hepatotoksik
umumnya direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hati sebelumnya
dengan harapan bahwa DILI yang berlebihan dapat dideteksi secara praklinis.
• Peningkatan transaminase selama terapi anti-TB mungkin dalam beberapa kasus
benar-benar mewakili hepatitis A, B, atau C
Tipe Drug-Induce Liver Injury (DILI)

• Hepatic adaptation. Paparan obat tertentu dapat membangkitkan respon


adaptif fisiologis. Induksi gen; dapat mengatur jalur antioksidan, antiinflamasi,
dan antiapoptosis, dapat melemahkan toksin, dapat merangsang proliferasi
hepatosit dan adaptasi protektif.
• Racun tertentu, seperti etanol, mungkin mengganggu respons protektif adaptif
tersebut.
• Respon adaptif yang persistensi dan berlebihan, dalam beberapa kasus,
membuat hepatosit lebih rentan. Induksi mikrosomal enzim hati (cytochrome
P450), mampu memetabolisme obat yang menginduksi adalah bentuk lain dari
adaptasi hati.
Tipe Drug-Induce Liver Injury (DILI)
• Cedera hepatoseluler atau Hepatitis akut yang diinduksi obat.
• Pasien yang menggunakan fenitoin sering mengalami peningkatan
transaminase hingga tiga kali ULN, tetapi biopsi hati tidak mengungkapkan
patologi yang signifikan.
• Namun, pada pasien rawat inap karena rheumatoid arthritis dengan
methotrexate, bukti mikroskopis cedera hati telah ditemukan untuk setiap
transaminase ketinggian di atas ULN.
• Pasien dengan cedera hepatoseluler akut mungkin asimtomatik atau prodromal
demam dan gejala konstitusional, diikuti oleh mual, muntah, anoreksia, dan
kelesuan.
• Histopatologi gambaran nekrosis hati fokal, dengan bridging
• Peningkatan konsentrasi transaminase yang nyata diikuti oleh jaundice
menyiratkan penyakit hati yang parah dengan kemungkinan 10% kegagalan
hati fulminan,
• Koagulopati yang bertahan lebih dari 4 hari adalah tanda prognostik yang
buruk pada hepatotoksisitas terkait acetaminophen
Tipe Drug-Induce Liver Injury (DILI)

• Hepatitis granulomatosa.Sebab reaksi hipersensitivitas terhadap


obat-obatan, seperti allopurinol, quinidine, sulfonamides, dan
pyrazinamide.
• Efek samping: demam, lesu, mialgia, ruam, limfadenopati,
hepatosplenomegali dengan peningkatan konsentrasi serum ALT,
dan bahkan vaskulitis.
Tipe Drug-Induce Liver Injury (DILI)
• kolestasis. Bland Cholestasis, riwayat pengobatan estrogen, gejala
asimtomatik, reversibel, peningkatan serum alkali fosfatase dan konsentrasi
bilirubin, yang disebabkan oleh kegagalan transportasi bilirubin. Lesi
inflamasi pada jaringan hati
• Kofaktor kimia untuk DILI. Etanol menginduksi sitokrom P450 2E1, yang
meningkatkan metabolisme etanol, asetaminofen, dan lain-lain.
Metabolisme etanol menghasilkan asetaldehida, yang berkontribusi
terhadap penipisan glutathione, konjugasi protein, pembentukan radikal
bebas, dan peroksidasi lipid. Penyalahgunaan etanol kronis mengaktifkan
sel-sel sinusoidal (stelata) penghasil kolagen hati, yang berpotensi
berkontribusi terhadap fibrosis. Beberapa obat, seperti penghambat saluran
kalsium, dapat mempengaruhi metabolisme sitokrom P450 dari obat yang
berpotensi hepatotoksik, seperti simvastatin, yang dapat menyebabkan
DILI.
Tipe Drug-Induce Liver Injury (DILI)


Nonalcoholic fatty liver disease. Steatosis, atau perlemakan hati sederhana,
paling sering disebabkan oleh obesitas, resistensi insulin, dan mungkin
perubahan dalam metabolisme trigliserida. Etanol, steroid, dan highly active
antiretroviral therapy (HAART) terkait dengan perkembangan dan eksaserbasi
penyakit hati berlemak non alkohol. Sebagian besar kasus yang diinduksi obat
steatosis bersifat reversibel, jika penyebab dihentikan. Cedera steatotik yang
menetap dapat berkembang menjadi steatohepatitis, yang secara histopatologis
ditandai dengan inflamasi hati dan perlemakan hati. infiltrasi, dan dengan risiko
sirosis yang lebih tinggi.
Tipe Drug-Induce Liver Injury (DILI)

Preexisting liver disease. Transaminase awal yang abnormal merupakan


faktor risiko independen untuk DILI. Pasien dengan HIV dan hepatitis C
tampaknya mengalami peningkatan frekuensi DILI terkait pengobatan
antiretroviral.
Drug-induced liver injury (DILI) Selama
Pengobatan Infeksi TB Laten

• Drug-induced liver injury (DILI) dapat terjadi pada semua rejimen yang
saat ini direkomendasikan untuk pengobatan infeksi TB laten (LTB)
termasuk isoniazid selama 6 – 9 bulan, rifampisin selama 4 bulan, atau
isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan.
• Hal tersebut juga terjadi pada rejimen dua obat yaitu pirazinamid dan
etambutol atau fluoroquinolone yang digunakan untuk mengobati
kontak kasus TB resisten terhadap banyak obat (multidrug-
resistant/MDR).
• Reaksi metabolik idiosinkratik bertanggung jawab terhadap sebagian
besar DILI dari obat anti-TB pilihan pertama dan fluoroquinolone.
Isoniazid
Metabolisme
• Isoniazid dibersihkan sebagian besar oleh hati, terutama oleh asetilasi
N-asetil transferase 2 (NAT-2).
• Asetil-isoniazid dimetabolisme terutama menjadi mono-asetil hidrazine
(MAH) dan menjadi diasetil hidrazine yang non-toxic, serta metabolit
minor lainnya.
• Perbedaan antar individu dalam waktu paruh (t ½) eliminasi plasma,
dosis obat bebas, dan konsentrasi, dipertimbangkan.
• Polimorfisme genetik NAT-2 berkorelasi dengan fenotip asetilasi cepat,
lambat, dan sedang.
• Enzim mikrosomal (misalnya sitokrom P450 2E1), selanjutnya
memetabolisme perantara isoniazid melalui jalur fase 1.
Isoniazid
Status asetilator
• Pada asetilator cepat, lebih dari 90% obat dieksresikan sebagai asetil-isoniazid,
sedangkan pada asetilator lambat, 67% obat dieksresikan sebagai asetil-isoniazid
dan persentase yang lebih besar dari isoniazid dieksresikan sebagai obat yang
tidak berubah ke dalam urin.
• Pengaruh laju asetilasi pada hepatotoksisitas isoniazid masih kontroversial.
• Penelitian awal menunjukkan bahwa asetilator cepat berisiko lebih tinggi untuk
cedera hati karena menghasilkan lebih banyak asetil-isoniazid, yang selanjutnya
dapat dimetabolisme menjadi perantara toksik lainnya.
• Asetilator cepat membersihkan mono-asetil hidrazine (MAH) lebih cepat.
• Genotip NAT-2 oleh reaksi berantai polimerase menunjukkan bahwa asetilator
lambat mengalami peningkatan transaminase lebih dari tiga kali batas atas normal
(ULN) lebih sering daripada asetilator cepat (26% : 11%).
• Asetilator lambat juga memiliki puncak ALT yang lebih tinggi daripada asetilator
cepat, ketika diberikan lagi isoniazid terjadi peningkatan transaminase yang lebih
sering setidaknya tiga kali batas atas normal (ULN).
Isoniazid
Mekanisme cedera
• Metabolit reaktif mono-asetil hidrazine (MAH) yang mungkin beracun
bagi jaringan melalui pembentukan radikal bebas.
• Pada tikus, radikal bebas scavenger glutathion terkait tiol, dan
antioksidan glutathion peroksidase dan aktivitas katalase, berkurang
oleh isoniazid, meskipun aktivitas reduktase meningkat.
• Antioksidan N-asetil-sistein, suatu substrat untuk sintesis glutathion,
menghambat cedera hati yang diinduksi isoniazid pada tikus namun
belum diketahui kaitannya pada manusia.
Histopatologi
• Perubahan nonspesifik mirip hepatitis virus dengan nekrosis nonzonal
pada 10% kasus berat.
• Nekrosis hati subakut terjadi pada 30% kasus.
Isoniazid
Interaksi obat
• Isoniazid menghambat aktivitas beberapa enzim sitokrom P450 2E dan
2C, yang berpotensi meningkatkan konsentrasi plasma obat lain yang
berpotensi hepatotoksik, seperti fenitoin dan karbamazepin.
• Rifampisin tampaknya meningkatkan metabolik hepatoseluler reaksi
idiosinkratik pada pasien yang menerima isoniazid, kemungkinan
dengan menaikkan pembentukan metabolik toksik isoniazid.
Adaptasi hepatik
• Hingga 20% individu yang diobati hanya dengan isoniazid untuk infeksi
TB laten mengalami penurunan sementara peningkatan transaminase
asimptomatik yang sebagian besar menunjukkan adaptasi hepatik.
Isoniazid
Laporan klinis dari hepatotoksisitas
• Beberapa individu mungkin asimptomatik, sedangkan individu yang lainnya
mungkin mengalami hepatotoksisitas yang simptomatik pada berbagai
konsentrasi serum transaminase.
• Gejala umum dapat terlihat pada awal hepatotoksisitas berat, dan mungkin
berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu.
• Mual, muntah, dan sakit perut terjadi pada 50-70% pasien dengan penyakit berat,
sedangkan demam terjadi pada 10% pasien dan ruam terjadi pada 5% pasien.
• Jaundice (penyakit kuning), urin yang berwarna gelap, dan tinja yang berwarna
pucat seperti tanah liat merupakan tanda akhir dari perburukan klinis.
• Koagulopati, hipoalbuminemia, dan hipoglikemia menandakan disfungsi hati
yang dapat mengancam nyawa.
• Pemulihan dari hepatotoksisitas isoniazid biasanya membutuhkan waktu
beberapa minggu.
• Perbaikan sempurna terjadi pada sebagian besar individu setelah penghentian
isoniazid.
Isoniazid
Tingkat hepatotoksisitas secara keseluruhan
• Pada akhir 1960-an, kemampuan isoniazid untuk menyebabkan
peningkatan asimptomatik pada transaminase hepatik dan hepatitis yang
signifikan secara klinis telah diakui.
• Pada 1970, 19 dari 2.321 pekerja Capitol Hill yang diobati dengan
isoniazid menunjukkan tanda-tanda klinis penyakit hati dan 2 dari 19
pekerja meninggal akibat komplikasi.
• Penelitian dari 3.788 pasien yang dirawat karena infeksi TB laten
dengan isoniazid di San Diego, California, melaporkan bahwa
peningkatan transaminase tiga kali batas atas normal (ULN) pada
individu yang simptomatik dan lima kali batas atas normal (ULN) pada
individu yang asimptomatik terjadi pada 0,3% kasus.
Isoniazid
Waktu
• Umumnya hepatotoksisitas terjadi dalam waktu beberapa minggu
hingga beberapa bulan dari onset dengan reaksi hipersensitivitas.
• Sekitar 60% dari kejadian hepatotoksisitas pada penelitian USPHS
terjadi dalam 3 bulan pertama pengobatan dan 80% dari kejadian
tersebut terjadi dalam 6 bulan pertama.
• Berdasarkan kasus fatality retrospektif menemukan bahwa jarak rata-
rata dari pengobatan awal sampai terjadinya onset gejala berlangsung
selama 16 minggu.
Isoniazid
Usia
• Sebagian besar hepatotoksisitas terkait isoniazid berhubungan dengan
usia.
• Penelitian di Seattle mengenai peningkatan transaminase yang
simptomatik menunjukkan 0% pada individu yang berusia lebih muda
dari 14 tahun hingga 0,28% pada individu yang berusia lebih tua dari 65
tahun.
• Penelitian di San Diego melaporkan kecenderungan hepatotoksisitas
yang berkaitan dengan usia pada 15% dari populasi penelitian berusia
35 tahun atau lebih.
• Tingkat keparahan hepatitis terkait isoniazid juga telah dilaporkan
meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dengan mortalitas yang
tinggi pada individu yang berusia lebih dari 50 tahun.
Isoniazid
Perbedaan ras
• Dalam penelitian USPHS, pria ras Afrika-Amerika tampaknya memiliki
risiko drug-induced liver injury (DILI) yang lebih kecil dibandingkan
dengan pria berkulit putih, sedangkan pada wanita tidak terdapat
perbedaan dari ras apapun.
• Pria ras Asia tampaknya memiliki kemungkinan hepatitis isoniazid
hampir 2 kali lipat dibandingkan dengan pria berkulit putih dan hampir
14 kali lipat dari pria berkulit hitam.
• Pada penelitian di Tennesse, tidak ditemukan hubungan antara
kelompok ras atau subkelompok demografis dan hepatotoksisitas.
• Tampaknya tidak ada risiko berdasarkan ras yang konsisten untuk
hepatotoksisitas derajat tinggi.
Isoniazid
Jenis kelamin
• Saat ini tidak ada bukti yang jelas untuk menunjukkan perbedaan terkait
dengan jenis kelamin dalam kejadian hepatotoksisitas.
• Wanita hamil pada trimester ketiga dan dalam 3 bulan pertama
postpartum mungkin lebih berisiko tinggi terkena hepatitis.
• Dalam penelitian USPHS, tidak terdapat perbedaan secara keseluruhan
antara wanita dan pria dalam kemungkinan hepatotoksisitas isoniazid.
• Penelitian di Seattle, menemukan kecenderungan yang tidak signifikan
terhadap hepatotoksisitas terkait isoniazid yang lebih tinggi pada wanita
dibandingkan dengan pria, meskipun kejadian hepatotoksisitas berat
relatif rendah pada pria dan wanita.
• Penelitian di Memphis dan San Diego, menemukan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan hepatotoksisitas.
Isoniazid
Kematian
• Beberapa penelitian retrospektif dan tinjauan dengan keterbatasan
metodologis menunjukkan bahwa keparahan dari hepatotoksisitas yang
diinduksi isoniazid, jika terjadi mungkin lebih buruk pada wanita.
• Dalam penelitian USPHS, terdapat 8 kematian diantara 13.838 subjek
yang terdaftar (0,57 per 1.000 yang diobati), 5 diantaranya adalah
wanita Afrika-Amerika, dengan 7 dari 8 kematian terjadi di Baltimore,
Maryland.
• Sebagian besar dari mereka yang meninggal memiliki potensi kofaktor
untuk hepatotoksisitas, termasuk alkoholisme yang berat atau konsumsi
obat-obatan hepatotoksik lainnya.
• Tinjauan lain dari kasus-kasus fatality juga menunjukkan bahwa wanita
mungkin berisiko lebih tinggi terhadap kematian akibat hepatitis yang
berkaitan dengan isoniazid.
Isoniazid
Kofaktor
• Dalam penelitian surveilans USPHS, konsumsi alkohol tampaknya 2
kali lipat meningkatkan kemungkinan hepatitis isoniazid, dengan
konsumsi harian yang meningkat lebih dari 4 kali.
• Dalam beberapa kasus, peningkatan transaminase mungkin berkaitan
dengan penggunaan etanol yang kronis.
• Hepatotoksisitas selama pemberian obat hepatotoksik lainnya, seperti
acetaminophen, methotrexate, sulfasalazine, atau carbamazepin, serta
yang lainnya, juga telah dilaporkan.
Isoniazid
Individu yang terinfeksi HIV
• Individu yang terinfeksi HIV tampaknya mengalami hepatotoksisitas terkait isoniazid dalam
kisaran yang sama dengan penderita HIV, meskipun tidak ada perbandingan langsung
melalui uji klinis.

Hepatitis B
• Pada penelitian terhadap imigran Vietnam yang dirawat karena infeksi TB laten dengan
isoniazid di Iowa dan Illinois dibedakan antara karier hepatitis B dan hepatitis B tanpa
antigen “e” (HBeAg), penanda replikasi virus hepatitis B aktif dan peradangan hati.
• Tiga dari 21 individu (14%) degan HBeAg mengalami peningkatan transaminase
simptomatik lebih dari 5 kali batas atas normal (ULN) saat menggunakan isoniazid,
sedangkan tidak satupun dari 121 tanpa HBeAg mengalami peningkatan risiko hampir 8 kali
lipat.
• Meskipun dibutuhkan data tambahan, penelitian tersebut menunjukkan bahwa hepatitis
dapat menjadi faktor risiko meningkatnya kejadian hepatotoksisitas isoniazid.
Isoniazid
Hepatitis C
• Dua penelitian menunjukkan tidak terdapat risiko yang tidak bergantung pada
hepatotoksisitas isoniazid yang berhubungan dengan infeksi hepatitis C.
• Pada penelitian kohort di Baltimore, Maryland, dari 146 pengguna injeksi obat
positif uji kulit tuberkulin, 95% diantaranya terinfeksi hepatitis C, dengan
konsentrasi serum transaminase awal kurang dari 3 kali batas atas normal (ULN)
dan 25% diantaranya terinfeksi HIV, menerima isoniazid untuk infeksi TB laten.
• Diamati dengan tes darah bulanan, 32 pasien (22%) mengalami peningkatan
konsentrasi transaminase hingga lebih dari 5 kali batas atas normal (ULN). Hasil
abnormal dihubungkan dengan penggunaan alkohol, bukan karena ras, usia,
infeksi hepatitis B kronis, atau infeksi HIV.
• Penelitian di Spanyol menemukan bahwa hanya konsumsi alkohol yang
berlebihan dan konsentrasi ALT awal yang tinggi berhubungan dengan
hepatotoksisitas isoniazid.
Isoniazid
Peningkatan transaminase dasar
• Penelitian retrospektif Tennessee, menemukan bahwa AST awal lebih
besar daripada batas atas normal (ULN) merupakan faktor risiko untuk
mengembangkan peningkatan transaminase lebih besar dari lima kali
batas atas normal (ULN), seperti yang dilakukan penelitian lain diantara
pengguna obat intravena.

Faktor lain yang meningkatkan frekuensi atau keparahan hepatotoksisitas


• Pengobatan bersamaan dengan rifampin, malnutrisi, hepatotoksisitas
yang terkait isoniazid sebelumnya, dan penggunaan isoniazid secara
terus-menerus selama simptomatik berkontribusi pada hepatotoksisitas
isoniazid derajat tinggi.
Rifampisin

• Rifampisin dan begitupun rifapentine, kadang-kadang dapat


menyebabkan gangguan yang ketergantungan dosis pada re-uptake
bilirubin, yang menyebabkan hiperbilirubinemia subklinis,
hiperbilirubinemia tidak terkonjungasi atau ikterus tanpa kerusakan
hepatoseluler.
• Hal tersebut mungkin sementara dan terjadi pada awal pengobatan atau
pada beberapa individu dengan penyakit hati yang sudah ada
sebelumnya.
• Rifampisin kadang-kadang dapat menyebabkan cedera hepatoseluler
dan meningkatkan hepatotoksisitas obat anti TB lainnya.
Rifampisin
Mekanisme hepatotoksisitas
• Hiperbilirubinemia terkonjugasi mungkin disebabkan oleh rifampisin
yang menghambat pompa pengekspor garam empedu utama.
• Peningkatan bilirubin asimptomatik juga dapat dihasilkan dari
persaingan yang bergantung pada dosis dengan bilirubin klirens pada
membran sinusoidal atau dari hambatan sekresi pada tingkat kanalikuli.
• Cedera hepatoseluler yang jarang tampaknya merupakan reaksi
hipersensitivitas, dan mungkin lebih sering terjadi pada dosis besar dan
intermiten.
• Reaksi hipersensitivitas telah dilaporkan berkombinasi dengan disfungsi
ginjal, anemia hemolitik, atau flu-like syndrome.
Rifampisin

Interaksi obat
• Rifampisin mengaktifkan reseptor X hepatotocyte pregnane, yang
menyebabkan induksi sitokrom.
• Rifampisin juga menginduksi uridine diphosphate-glucuronosyl-
transferases dan P-glycoprotein transport, yang terlibat dalam
metabolisme obat-obatan lainnya.
• Rifampisin berinteraksi dengan banyak obat yang dimetabolisme oleh
enzim tersebut dan enzim hati lainnya, termasuk warfarin, prednison,
digitoxin, quinidine, ketoconazole, itraconazole, propanolol, clofibrate,
sulfonilurea, fenitoin, HIV protease inhibitors, dan HIV non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitors
Rifampisin

Karakteristik klinis dari hepatotoksisitas


• Kolestasis mungkin berbahaya.
• Reaksi hipersensitivitas idiosinkratik terhadap rifampsin, bermanifestasi
sebagai anoreksia, mual, muntah, malaise, demam, sedikit peningkatan
ALT, dan peningkatan bilirubin, biasanya terjadi pada bulan pertama
awal pengobatan.
Rifampisin
Hepatotoksisitas secara keseluruhan
• Empat penelitian terkait TB yang telah dipublikasikan menilai hanya rifampisin sebagai
pengobatan untuk infeksi TB laten.
• Sebuah penelitian oleh Hong Kong Chest Service, terjadi peningkatan transaminase diatas
batas atas normal (ULN) lebih umum pada pasien-pasien yang menerima regimen isoniazid
daripada 77 dari 172 pasien yang diobati dengan rifampisin saja yang telah follow-up
analisis enzim liver.
• Dalam penelitian kedua, tidak satupun dari 49 individu, 20% yang menggunakan alkohol
dan 8% yang menggunakan injeksi obat-obatan, yang diobati dengan rifampisin selama 6
bulan memiliki gejala kerusakan hati.
• Diantara 157 remaja yang diobati dengan rifampisin, 4 (2,5%) mengalami peningkatan ALT
setidaknya 2 kali batas atas normal (ULN), yang mana pengobatan tersebut dihentikan
secara permanen.
• Sebuah penelitian acak antara isoniazid dibandingkan dengan rifampisin untuk pengobatan
infeksi TB laten di Montreal, Kanada, menemukan bahwa diantara 53 pasien yang
menyelesaikan 80% dari4 bulan pengobatan dengan rifampisin untuk infeksi TB laten, tidak
ada yang mengalami peningkatan transaminase secara signifikan.
Isoniazid & Rifampisin

• Sebuah penelitian di Kanada, menemukan bahwa tingkat hepatitis sama


pada pasien yang diobati dengan isoniazid dan rifampisin secara
intermiten dibandingkan dengan subjek riwayat kontrol yang menerima
isoniazid setiap hari selama 12 bulan.
• Tingkat gejala hepatitis dengan kombinasi isoniazid dan rifampisin telah
diperkirakan sekitar 2,55% dalam meta-analisis yang melibatkan pasien
dengan penyakit TB, insiden tertinggi daripada rejimen yang
mengandung satu atau obat lainnya.
Pirazinamid
• Pirazinamid telah digunakan dengan rifampisin, etambutol, atau fluorokuinolon
untuk pengobatan infeksi TB laten.
• Peningkatan transaminase lebih dari 4 kali batas atas normal (ULN) terlihat pada
7 dari 12 (58%) kasus infeksi TB laten yang diobati dengan pirazinamid dan
etambutol.
• Tiga dari 17 pasien (18%) yang diresepkan levofloksasin dan pirazinamid untuk
pengobatan infeksi TB laten setelah terpapar TB MDR mengalami peningkatan
transaminase lebih dari 4 kali batas atas normal (ULN).
• Sembilan dari 22 pasien (41%) yang diobati dengan ofloksasin dan pirazinamid
mengalami peningkatan transaminase setidaknya lima kali batas atas normal
(ULN).
• Karena fluorokuinolon dan etambutol saja jarang menyebabkan hepatotoksisitas,
pirazinamid diyakini sebagai agen penyebab dalam kebanyakan kasus
hepatotoksisitas.
Pirazinamid
Metabolisme
• Waktu paruh (t ½) pirazinamid lebih panjang daripada isoniazid atau
rifampisin, sekitar 10 jam.
• Pada pasien dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, waktu
paruh (t ½) meningkat menjadi 15 jam.
• Pirazinamid, derivat asam nikotinik, dideaminasi menjadi asam
pirazinoat di hati dan selanjutnya dimetabolisme menjadi asam 5-
hidroksi-pirazinoat oleh xantin oksidase, aldehida oksidase, dan xantin
dehidrogenase.
• Selain itu, 5-hidroksi-pirazinamid dapat dihasilkan selama metabolisme.
• Ginjal membersihkan metabolit pirazinamid, membutuhkan dosis
intermiten pada pasien dengan insufiensi ginjal.
Pirazinamid
Mekanisme cedera
• Pirazinamid dapat menunjukkan ketergantungan dosis dan
hepatotoksisitas idiosinkratik.
• Beberapa dekade yang lalu, dosis harian pirazinamid pada 40-50 mg/kg
umumnya menyebabkan hepatotoksisitas.
• Pirazinamid mengubah tingkat nicotinamide acetyl dehydrogenase pada
hati tikus, yang mungkin menghasilkan generasi spesies radikal bebas.
• Mungkin ada mekanisme cedera yang bersamaan untuk isoniazid dan
pirazinamid, karena ada beberapa kesamaan dalam struktur molekul.
• Pasien yang sebelumnya mengalami reaksi hepatotoksik dengan
isoniazid mengalami reaksi yang lebih parah dengan rifampisin dan
pirazinamid yang diberikan untuk infeksi TB laten.
• Pirazinamid dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas terhadap
eosinofilia dan cedera hati atau hepatitis granulomatosa.
Pirazinamid

Interaksi obat
• Allopurinol saja atau dengan pirazinamid dapat menjadi hepatotoksik.
• Allopurinol menghambat xantin oksidase, yang memetabolisme
pirazinamid, menurunkan klirens.
Rifampisin & Pirazinamid
• Rejimen rifampisin dan pirazinamid selama 2 bulan tidak lagi direkomendasikan
karena hepatotoksisitasnya.

Populasi HIV
• Beberapa penelitian pada pasien dengan infeksi HIV menunjukkan bahwa rifampisin
dan isoniazid memiliki hepatotoksisitas yang kurang atau sama dengan isoniazid.
• Sebuah uji coba dilaporkan hepatotoksisitas yang kurang mengancam nyawa dan
pembatasan pengobatan diantara subjek penelitian yang menggunakan rifampisin
dan pirazinamid dibandingkan dengan subjek yang menggunakan isoniazid selama 12
bulan, dan tidak ada perbedaan dalam kejadian peningkatan AST yang signifikan.
• Rifampisin dan pirazinamid dua kali seminggu ditoleransi dengan baik seperti
isoniazid pada 2 penelitian di Haiti dan Zambia.
• Dua kematian terkait rifampisin dan pirazinamid dilaporkan diantara individu yang
terinfeksi HIV di Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pengamatan
retrospektif.
Rifampisin & Pirazinamid
Populasi Non-HIV
• Dalam sebuah penelitian terhadap 168 narapidana pria yang sebgaian besar diobati dengan
rifampisin dan pirazinamid, sebagian besar menoleransi rejimen dengan baik, tetapi dua (1,2%)
mengalami peningkatan serum enzim hati setidaknya 5 kali batas atas normal (ULN).
• Diantara 589 pasien yang diobati dengan rifampisin dan pirazinamid atau isoniazid, 7,8% pasien
dengan rifampisin dan pirazinamid memiliki peningkatan transaminase tingkat tinggi
dibandingkan 1% dari pasien yang diobati dengan isoniazid selama 6 bulan.
• Di North Carolina, 7,3% pasien dari 110 orang dewasa diobati dengan rifampisin dan
pirazinamid mengalami peningkatan transaminase yang signifikan, sedangkan tidak satupun dari
114 yang diobati dengan isoniazid mengalami peningkatan transaminase yang signifikan.
• Dua tinjauan retrospektif tambahan, menemukan bahwa rifampisin dan pirazinamid lebih sering
menyebabkan hepatotoksisitas yang berat daripada isoniazid.
• Kesimpulannya, sebagian besar penelitian menunjukkan tingkat hepatotoksisitas sedang hingga
berat dengan dosis harian rifampisin dan pirazinamid.
• Tingkat hepatotoksisitas rifampisin dan pirazinamid untuk pasien yang tidak terinfeksi HIV
mungkin lebih besar daripada pasien yang terinfeksi HIV, tetapi perbedaan alasan tersebut tidak
ditentukan.
• CDC dan American Thoracic Society (ATS) telah merekomendasikan bahwa rifampisin dan
pirazinamid tidak boleh diberikan secara umum untuk pengobatan infeksi TB laten.
Rifabutin

• Pada dosis biasa (150-300 mg/hari), jarang terjadi hepatotoksisitas.


• Peningkatan transaminase telah dilaporkan pada pengobatan rifabutin dosis
tinggi (600 mg/hari) dalam kombinasi dengan makrolida.
• Dalam dua penelitian rifabutin untuk profilaksis primer mycobacterium
avium complex (MAC) pada pasien dengan AIDS, sekitar 3-6,4%
mengalami peningkatan AST tingkat 3 atau lebih tinggi.
• Pada pasien dengan AIDS dengan MAC diseminata yang diobati dengan
rifabutin dan rejimen yang mengandung makrolida, terjadi hepatotoksisitas
sekitar 8%.
Etambutol

• Terdapat satu laporan mengenai etambutol yang terkait penyakit kuning


kolestasis hati, dengan keadaan yang tidak jelas.
Fluorokuinolon
• Beberapa fluorokuinolon (ciprofloxacin dan moxifloxacin) dimetabolisme sebagian
oleh hati, sedangkan yang lain (gatifloxacin, levofloxacin, ofloxacin) sebagian besar
diekskresikan tidak berubah oleh ginjal.
• Peningkatan transaminase reversibel diantara fluorokuinolon dapat terjadi hingga 2-
3% kasus.
• Cedera hepatoseluler yang berat dan kolestasis telah dilaporkan terjadi pada kurang
dari 1% dari semua penerima fluorokuinolon, tidak termasuk trovofloxacin, yang
ditarik karena hepatotoksisitas.
• Hepatotoksisitas yang signifikan secara klinis telah dilaporkan dengan ciprofloxacin,
trovafloxacin, norfloxacin, ofloxacin, enoxacin, levofloxacin, dan gatifloxacin,
dengan populasi yang besar.
• Diantara fluorokuinolon yang lebih baru, peningkatan transaminase terkait
moxifloxacin setidaknya 1,5 kali batas atas normal (ULN) telah dilaporkan pada
0,9% kasus.
• Untuk levofloxacin, tingkat hepatotoksisitas yang berat dilaporkan kurang dari 1 per
1.000.000/
Fluorokuinolon

• Mekanisme hepatotoksisitas fluorokuinolon diyakini sebagai reaksi


hipersensitivitas, sering dimanifestasikan oleh eosinofilia.
• Mengenai hepatotoksisitas diantara kasus kontak MDR-TB yang diobati
dengan fluorokuinolon dan pirazinamid, agen penyebab umumnya
dianggap yang terakhir.
Hepatotoksisitas Saat Pengobatan TB

Penggunaan beberapa regimen, perbedaan populasi penelitian,


berbagai definisi hepatotoksisitas, dan perbedaan pemantauan dan
laporan praktik menyebabkan sulitnya mencapai kesimpulan
definitif mengenai resiko regimen per individu. Secara keseluruhan,
resiko terjadinya TB DILI (Drug-Induced Liver Injury) dalam
penelitian yang beragam ini terjadi sekitar 5 sampai 33%.
Usia diatas 35 tahun
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya usia merupakan faktor
resiko untuk TB DILI. Satu penelitian melaporkan adanya resiko TB DILI seiring
bertambahnya usia meningkat mulai dari 2 hingga 8%. Penelitian lain melaporkan
bahwa hepatotoksisitas terjadi sekitar 22-33% pada usia > 35 tahun dan hanya 8-17%
pada usia < 35 tahun.

Anak-anak
● Pada suatu penelitian retrospektif, TB DILI berat terdiagnosis pada 8% pasien
pediatri, dan berhubungan dengan umur yang lebih muda yaitu < 5 tahun, TB
ekstrapulmonal, dan penggunaan pirazinamid.
● Pada penelitian lain, pasien anak yang rata-rata berumur 4.5 tahun yang sedang
dalam pengobatan isoniazid dan rifampin sebanyak 82% mengalami
peningkatan ALT >100 IU/L dan sebanyak > 40% mengalami hepatitis disertai
gejala kuning.
● Beberapa data menunjukkan dosis isoniazid lebih dari 15-20 mg/kg dapat
meningkatkan resiko terjadinya hepatotoksisitas.
Jenis Kelamin
Pada wanita, beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan resiko terjadinya hepatotoksisitas. Satu penelitian
menunjukkan resiko terjadinya hepatotoksisitas meningkat sebanyak 4 kali
namun dengan keseluruhan insiden hanya 2%. Dua penelitian lain tidak
menunjukkan adanya peningkatan resiko pada wanita.

Ko-faktor
Beberapa penelitian mengindikasikan penggunaan alkohol merupakan
prediktor signifikan terhadap TB DILI.

Kadar Transaninase Abnormal


Satu penelitian menemukan bahwa terdapat peningkatan resiko
hepatotoksisitas selama pengobatan TB pada individu yang memiliki kadar
transaminase yang abnormal.
Faktor Lainnya
● Suatu penelitian di India, menunjukkan bahwa malnutrisi atau hipoalbuminemia
berhubungan dengan resiko TB DILI. Adanya gen HLA-DQB1 yang merupakan
faktor independen dalam perkembangan TB DILI. Gen polimorfik pada lokus
gen yang mengkode sitokrom P450 2E1 dan glutathione S-transferase juga
berhubungan dengan hepatotoksisitas.
● Pasien TB dengan transplantasi hati memiliki resiko yang lebih tinggi terjadinya
hepatotoksisitas.

Regimen
● Pada meta-analisis, penggunaan rifampin pada pengobatan regimen
meningkatkan insidensi yang signifikan pada pasien dewasa yaitu dari 1.6
sampai 2.55% dan pada pasien anak yaitu dari 1.0 sampai 6.9%.
● Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan pirazinamid pada TB DILI hanya
sedikit atau tidak ada sama sekali menyebabkan peningkatan resiko
hepatotoksisitas.
Individu dengan Infeksi HIV
● Uji klinis di Eropa yang mendaftarkan pasien dengan TB-AIDS dari
tahun 1989 hingga 1994 dengan penggunaan obat intravena
menunjukkan bahwa sebanyak 13-15% pasien mengalami peningkatan
kadar transaminase 3 kali lipat dari kadar normal dalam 2 bulan
pertama.
● Hepatotoksisitas dikaitkan dengan penggunaan isoniazid pada 55%
penderita hepatitis. Dalam uji klinis di AS pada tahun 1993-1997,
pasien dengan TB-AIDS yang dalam pengobatan regimen yang
mengandung isoniazid, rifampisin,dan pirazinamid memiliki tingkat
klinis sekitar 4.4% yang menunjukkan hepatotoksisitas signifikan.
● Pada penelitian retrospektif pasien dengan TB-AIDS yang dalam
pengobatan TB pada 6 kota di US pada tahun 1989-2000 terdapat
peningkatan kadar transaminase 5-10 kali lipat dari kadar normal pada
5-13% pasien. Sekitar 2% pasien mengalami penyakit kuning.
● Sebaliknya, pada penelitian mengenai HIV, hepatitis C, dan pengobatan
TB, infeksi HIV sendiri dapat menyebabkan peningkatan serum
transaminase 4 kali lipat (120 IU/L) atau bilirubin total minimal 1,5
mg/dL. Sekitar 27% orang yang terinfeksi HIV mengembangkan
hepatotoksisitas dibandingkan dengan 12% orang yang tidak terinfeksi
HIV.
● Hubungan dari keseluruhan infeksi HIV dengan TB DILI sulit untuk
dinilai namun pada satu studi terdapat pengecualian yaitu didapatkan
penyebab lain dari hepatotoksisitas seperti penggunaan narkotika
injeksi, alkohol, HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy), dan
virus hepatitis.
Hepatitis B
● Di Taiwan, sebnayak 42 pasien (2,4%) dari 1.783 pasien TB yang
diobati dengan isoniazid, rifampisin, dan ethambutol menyebabkan
gejala hepatitis. Lima belas pasien merupakan hepatitis carrier dan 7
dari 15 pasien tersebut meninggal karena gagal hati. Tingkat
keparahan hipertoksisitas tampaknya meningkat pada populasi
hepatitis B carrier.
● Dalam sebuah penelitian di Hong Kong, sebanyak 16% pasien TB
dengan hepatitis B carrier mengembangkan gejala hepatitis
dibandingkan dengan pasien TB tanpa infeksi hepatitis B (4.7%).
Pasien dengan hepatitis B carrier juga beresiko kegagalan fungsi hati
yang lebih parah dan penghentian pengobatan secara permanen.
● Sebuah studi case-control di Seoul, Korea dari 110 pasien dengan
hepatitis B carrier ditemukan kecenderungan peningkatan kadar
transaminase 5 kali lipat dari kadar normal dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
Hepatitis C
Satu penelitian telah mengevaluasi dampak infeksi HCV terhadap kejadian
DILI selama pengobatan TB pada 128 pasien rawat inap di florida. Selama 5 hari,
seluruh pasien menerima isoniazid, rifampisin atau rifabutin, pirazinamid, dan
tidak dibawah pengaruh obat-obatan ataupun alkohol minimal 10 hari sebelum
mulai terapi OAT. Sekitar 30% dari individu yang terinfeksi hepatitis C
meningkatkan resiko hepatotoksisitas dibandingkan dengan 11% individu yang
tidak terinfeksi hepatitis C. infeksi hepatitis C dapat meningkatkan resiko
peningkatan transaminase setidaknya 5 kali lipat atau serum bilirubin minimal 1,5
mg/dL. Koinfeksi antara hepatitis C dan HIV dapat meningkatkan resiko
hepatotoksisitas sebanyak 14 kali lipat.

DILI dengan OAT Lini Kedua


Hepatotoksisitas terjadi sekitar 2% dari pasien yang mendapat pengobatan
ethionomide atau prothionamide, dan sebanyak 0.3% pada pasien dengan
pengobatan asam para-aminosalisilat.
Rekomendasi mengenai Drug-induced Liver
Injury (DILI)
Program Infrastruktur
1. Komunikasi yang jelas dan menggunakan bahasa yang disukai oleh
pasien.
2. Evaluasi, perawatan, dan pemantauan medis.
3. Akses mudah ke perawatan dan respons cepat terhadap dugaan efek
samping obat.
Rekomendasi mengenai Drug-induced Liver
Injury (DILI)
Penyedia Pendidikan dan Sumber Daya
1. Prosedur TB DILI dicantumkan dalam manual klinik dan pelatihan
staf.
2. Petugas layanan kesehatan lain harus diberi tahu tentang diagnosis
dan pengobatan TB.
3. Petugas tanpa pengalaman dalam pengobatan TB harus
mempertimbangkan rujukan ke klinik khusus.
Evaluasi Klinis Praperawatan
1. Direkomendasikan formulir riwayat standar, yang mencakup faktor
risiko hepatotoksisitas.
2. Pemeriksaan fisik, mencakup evaluasi tanda-tanda penyakit hati.
3. Nilai laboratorium sebelumnya harus ditinjau.
4. Skrining virus hepatitis untuk individu yang narkoba, terinfeksi HIV,
pernah melakukan kontak seksual dengan individu yang terinfeksi
kronis, pasien hemodialisis kronis, Bayi yang lahir dari ibu yang
terinfeksi.
5. Konseling dan tes HIV untuk semua pasien dengan penyakit TB.
Edukasi Pasien
1. Menyimpan nomor telepon klinik
2. Pasien segera menghentikan obat apabila mual, muntah, perut tidak
nyaman, atau kelelahan yang tidak dapat dijelaskan dan dapat
menghubungi klinik untuk evaluasi lebih lanjut.
3. Pasien diberi informasi tentang enggunaan obat, alkohol dan
hepatotoksik.
4. Pasien memberi tahu penyedia layanan kesehatan tentang obat antiTB
yang diresepkan.

Administrasi Obat dan Apotek


Membatasi dosis yang dikeluarkan untuk persediaan 1 bulan.
Label kemasan obat.
Identifikasi Risiko TB DILI
• Konsumsi etanol kronis? Evaluasi
• Virus hepatitis? hepatologi
• Penyakit hati yang sudah ada
sebelumnya?
• Post partum dalam 3 bulan?
• Menggunakan obat tunda pengobatan dan
hepatotoksik? evaluasi ulang
• ALT atau bilirubin abnormal?

Tunda YES YES


pengobatan LTBI NO Periksa ALT, ALT > 3 x ULN,
Bilirubin Bilirunin >2
Pengobatan LTBI LOW Atau
 Pemilihan pasien Menilai Pregnant
Koaglopati Hati
dan regimen risiko TB ?
YES
NO
HIGH NO

Pemilihan regimen sesuai indikasi dan resiko TB DILI


• Isoniazid x 9 bulan
• Rifampisin x 4 bulan
 jika alt 2-3 x ULN, resistensi isoniazid atau hepatotoksisitas
• Isoniazid dan rifampisin x 4 bulan

rencana pemantauan dalam Edukasi


rekam medis kepada pasien
Identifikasi Risiko TB DILI
• Konsumsi etanol kronis? Mual, muntah,
• Virus hepatitis? nyeri abdominal,
• Penyakit hati yang sudah ada Lanjutkan
penyakit kuning,
sebelumnya? pengobatan
• Post partum dalam 3 bulan?
kelelahan yang
• Obat hepatotoksik lain? NO tidak dapat NO
• ALT/AST atau bilirubin dijelaskan
abnormal?
NO
• Kondisi medis kronik?

NO, umur >35 tahun


YES Baseline: ALT >3 x Pilihan
ULN
pengobatan
Pengobatan Tunda :
LTBI YES Pengobat
Selama pengobatan:
- ALT 5 x ULN
 Pemantaua an - ALT 3 x ULN YES Rifampisin
dengan mual, x 4 bulan
n Klinis muntah, nyeri
Periksa:
abdominal,
ALT (AST, Bilirubin) penyakit kuning Pemberian
• IgM anti-HAV
setiap 2-4 minggu. • atau kelelahan isoniazid (jika
HepBsAg (Jika +
HBeAg) yang tidak dapat ALT <2 x
Jika ingin • IgM HepBcAb dijelaskan YES ULN)
monitoring biokimia, • Anti-HCV (jika +
maka pada bulan YES Atau
HCV RNA)
ke 1, 3, 6 • Menyingkirkan Menghentika
- Perubahan 2- 3 x
masalah hati baseline, jika terakhir n
lainnya > 3x ULN YES pengobatan
Identifikasi Risiko TB DILI
• IgM anti-HAV
• Konsumsi etanol kronis? ALT, Bilirubin, • HepBsAg (Jika + HBeAg)
• Virus hepatitis? Alkaline • IgM HepBcAb
• Penyakit hati yang sudah phosphatase, • Anti-HCV (jika + HCV RNA)
ada sebelumnya? kreatinin, skrining • Menyingkirkan masalah hati
• Post partum dalam 3 bulan? hepatitis
NO lainnya
• Obat hepatotoksik lain?
• ALT/AST atau bilirubin
abnormal?
• Infeksi HIV?
Menghentikan Rifampisin
Mual, muntah,
Pengobatan LTBI nyeri abdominal, YES atau evaluasi (+etambuto
 Pengujian dan YES penyakit kuning,
ulang l)
NO, pengobatan
pemantauan >35th
kelelahan yang
tidak dapat
dasar dijelaskan YES
Periksa:
ALT (AST, Bilirubin)
ALT 5 x ULN +
setiap 2-4 minggu. NO
atau isoniazid
- ALT 3 x ULN
Jika ingin
dengan mual,
monitoring Lanjutkan muntah, nyeri
biokimia, maka pengobatan NO abdominal,
pada bulan ke 1, 3, & monitoring penyakit kuning Fluoroquinolone,
6
atau kelelahan ethambutol,
yang tidak cycloserine
dapat (Aminoglycoside)
dijelaskan
PRIORITAS PENELITIAN
HEPATOTOKSISITAS DALAM PENGOBATAN
LTBI DAN PENYAKIT TB
Mekanisme dasar TB DILI. Pemahaman lebih lanjut diperlukan
mengenai mekanisme kerusakan obat, variasi genetik enzim yang terlibat
dalam metabolisme dan transportasi obat TB, agen hepatoprotektif
potensial, dan pengaruh hepatitis virus.
Program infrastruktur dan modifikasi pendidikan. Dapat mengurangi
dampak TB DILI.
Pemilihan regimen dan obat hepatotoksik lainnya.
Pemantauan. Pemantauan ALT mengurangi kejadian atau keparahan TB
DILI.
Penilaian risiko hepatotoksisitas.
Administrasi obat dan farmasi. Rute pemberian dapat mengurangi
hepatotoksisitas harus dikembangkan untuk uji klinis.
KESIMPULAN
• Pada penelitian ini banyak pertanyaan belum terjawab mengenai TB
DILI pada populasi yang menua, karena lingkungan medis yang
semakin kompleks, dengan demografi yang berkembang untuk infeksi
TB dan pengobatan baru untuk TB sedang dikembangkan.
• Penelitian tentang TB DILI perlu di uji ulang seiring dengan adanya
data baru.
• Pemilihan pasien yang tepat untuk pengobatan
• Pemilihan regimen harus hati-hati
• Pemantauan dapat mengurangi risiko.
• Adaptasi dengan lingkungan medis yang selalu berubah sangat penting dalam
melanjutkan pengobatan yang aman dan efektif untuk TB.
Daftar Pustaka

J.Saukkonen, J. et al., 2006. An Official ATS


Statement: Hepatotoxicity of Antituberculosis
Therapy. American Journal of Respiratory and
Critical Care Medicine, Volume 174, pp. 935-952.
Thanks!

CREDITS: This presentation template was created


by Slidesgo, including icons by Flaticon,
infographics & images by Freepik.

Please keep this slide for attribution.

Anda mungkin juga menyukai