Anda di halaman 1dari 23

BIOFARMAS

I
Revika Rachmaniar, M.Farm., Apt.
Ledianasari, M.Farm., Apt
(2-0) di Semester 5

1
Visi STFI

Visi STFI adalah Menjadi Acuan Perguruan Tinggi


Farmasi Swasta di Jawa Barat pada tahun 2020.
Misi STFI
■ Melaksanakan program pendidikan secara profesional untuk menghasilkan
lulusan yang mampu mengaplikasikan dan mengembangkan ilmunya dengan
berorientasi pada kebutuhan pengguna, berlandaskan pada etika profesi, serta
kepentingan kemanusiaan.
■ Melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan yang dapat
memberikan kontribusi bermanfaat bagi dunia kesehatan, khususnyadalam
lingkup ilmu kefarmasian
■ Melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat di bidang kesehatan,
khususnya bidang ilmu kefarmasian
■ Memperkuat jejaring kerjasama dengan Perguruan Tinggi lain, lembaga
pemerintah ataupun swasta di dalam maupun luar negeri
■ Revitalisasi prasarana dan sarana penyelenggaraan program pendidikan
Kontrak Perkuliahan

■ Maksimal keterlambatan dosen dan mahasiswa 15 menit, lebih


dari 15 menit tidak perlu masuk kelas (kecuali izin langsung)
■ Tugas terlambat per hari – 0.5 / Hari (Kecuali H-sakit dan dispen
kegiatan mahasiswa H-1)
■ Perkuliahan dan ujian
– Sistem ceramah oleh dosen
– Kehadiran, Presentasi, diskusi, dan debat oleh mahasiswa
(30%)
– UTS 35% open book
– UAS 35% open book

4
Tahapan proses obat dalam
tubuh
1. Pelepasan, disolusi, diffusi dan absorpsi
merupakan proses: biofarmasetik.
2. Absorpsi,distribusi ,metabolisme dan ekskresi
merupakan proses: farmakokinetik.
3. Obat berikatan dengan reseptor merupakan proses
farmakodinamik

5
Perkembangan Ilmu Biofarmasi/
Biofarmasetika
1. Akhir Tahun 50
– Bentuk sediaan dan kandungan yang sama dari
suatu obat berkhasiat, tetapi dari pabrik farmasi
berbeda mempunyai kemampuan berbeda  dasar
lahirnya Ilmu Biofarmasi/ Biofarmasetika.
– Obat yang telah larut untuk mencapai tempat kerja
harus melalui membran dulu sehingga dapat
diedarkan oleh cairan tubuh.
– Peristiwa Absorpsi ini merupakan satu peristiwa
dalam perjalanan obat dalam tubuh.

6
2. Kecepatan eliminasi obat dari tubuh sangat ditentukan oleh
parameter Farmakokinetik obat tersebut.
– Dalam mengatur kecepatan pelepasan obat diharapkan
akan dapat tercapai suatu “Blood Level”
– Ada korelasi antara kecepatan melarut dengan
“Bioavailabilitas” (Ketersediaan Hayati)
3. Pada tahun 1975 FDA mensyaratkan bahwa Industri Farmasi
yang “Me too product”, baru boleh mengeluarkan produknya
sesudah menunjukkan bahwa produk yang dibuat telah
memenuhi syarat “Bioekivalen” dengan produk innovator.

7
4. Alasan pengembangan produk baru
a) Transpor trans membran yang buruk
b) tidak stabil dalam lingkungan cerna
c) secara in vivo waktu paruh pendek
d) Mencari usaha untuk meningkatkan efikasi dan
mengurangi efek samping obat
e) Pertimbangan faktor ekonomi
f) usaha memperbanyak bentuk sediaan dan proteksi
nama dagang

8
5. Strategi dari Industri Farmasi untuk mengembangkan
Sistem Penghantaran Obat baru :
a. Tempat pemasukan baru (Entry point) bahan
berkhasiat ke dalam tubuh untuk tujuan
sistemik, misalnya transdermal, pulmonal,
transnasal.
b. Lokasi absorpsi saluran cerna yang selama ini
dianggap kurang prospektif. (“Colonic Delivery
System”), Sistem Penghantaran Obat Koloidal
(“Colloidal Delivery System”)
c. Mengembangkan sistem penghantaran obat
yang responsif terhadap rangsangan (termal,
cahaya, elektrik, magnetic, dll). Obat akan
dilepas setelah menerima rangsangan

9
Mekanisme Kerja Obat:
1. Bekerja secara fisika (misalnya efek perlindungan dari sediaan
salep)
2. Bekerja melalui suatu reaksi kimia (misalnya antasida)
3. Melalui interaksi non kovalen dengan reseptor. Reseptor berada di
seluruh bagian tubuh.
Rute pemberian Obat:
4. Parenteral
5. Oral
6. Rektal
7. Transdermal (pada/melalui kulit)
8. Intranasal/pulmonal
9. dll
Perlu sistem penghantaran sediaan obat. Untuk itu Obat diberikan dalam
bentuk sediaan obat.
10
■ Biofarmasi : suatu cabang Ilmu dalam farmasi yang
mempelajari hubungan antara:
1. Sifat fisiko-kimia zat aktif (kelarutan, keasaman/kebasaan,
ukuran partikel, dan bentuk kristal).
2. Sifat fisiko-kimia sediaan obat (sifat permukaan,
kekerasan, bentuk, ukuran, porositas, dll)
3. Faktor fisiologis (pH, viskositas, keberadaan senyawa-
senyawa endogen tertentu).
■ Sifat fisiko-kimia sediaan obat berhubungan dengan faktor
formulasi dan faktor teknik pembuatan sediaan.

11
PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN ILMU
BIOFARMASI DENGAN ILMU TERKAIT
■ Biofarmasi merupakan ilmu tentang hubungan antara sifat
fisikokimia formulasi obat dengan ketersediaan hayati obat
(Bioavailabilitas).
■ Ketersediaan hayati (Bioavailabilitas) menyatakan kecepatan dan
jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik.
■ Ketersediaan Hayati suatu obat mempengaruhi;
– daya terapetik
– aktivitas klinik, dan
– aktivitas toksik.
■ Tujuan Biofarmasetika untuk mengatur pelepasan obat ke sirkulasi
sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik
tertentu.

12
Skema kedudukan Biofarmasi dengan
Ilmu terkait.
Tablet Disintegrasi Granul Deagregrasi
Partikel
atau atau
halus
Kapsul Agregat

Farmasetika /
Disolusi Disolusi Disolusi (Mayor) Biofarmasetika

Obat dalam larutan (in Vitro atau in Vivo)

Absorpsi (invivo)

Obat dalam darah, cairan dan jaringan lain

distribusi
Metabolisme Farmakokinetika
ekskresi

Kadar obat dalam reseptor

Respon farmakologik
Farmakodinamika

Respon klinik /terapetik

13
■ Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular
dipengaruhi oleh:
1. Sifat2 anatomik dan fisiologik tempat absorpsi.
2. Sifat2 fisikokimia atau produk obat.
■ Dengan mengendalikan variabel2 di atas dapat dirancang produk
obat dgn tujuan terapetik tertentu.

■ Bioavailabilitas obat dapat diubah dari absorpsi yang sangat


cepat dan lengkap menjadi lambat, diperlambat atau sama sekali
tidak terjadi absorpsi sama sekali, dengan cara memilih rute
pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat.
■ Absorpsi obat pada saluran cerna setelah pemberian
ekstravaskular lebih bervariasi, dibandingkan setelah pemberian
parenteral.

14
Fase Biofarmasetika
Liberasi (pelepasan)

■ Tahap pelepasan dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap


pemecahan dan peluruhan
■ Proses pelepasan zat aktif tergantung pada jalur
pemberian dan bentuk sediaan dan dapat terjadi secara
cepat dan lengkap
■ Obat pada mulanya merupakan depot zat aktif yang jika
mencapai tempat penyerapan akan segera diserap (Drug
Delivery System)

15
Fase Biofarmasetika
Disolusi (pelarutan)

■ Pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif, yaitu


pembentukan dispersi molekuler dalam air
■ Pada obat-obatan dalam bentuk larutan zat aktif
dalam minyak proses pelarutan tetap terjadi, tetapi
yang terjadi disini adalah proses ekstraksi (penyarian)

16
Fase Biofarmasetika
Absorpsi (penyerapan)

■ Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetik dan awal


fase farmakokinetik
■ Penyerapan zat aktif tergantung pada berbagai parameter,
terutama sifat fisiko-kimia molekul obat.
■ Proses penyerapan dapat terjadi apabila zat aktif sudah
dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi

17
Penelitian biofarmasetika

■ Tujuan : mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi


profil ketersediaan hayati suatu zat aktif.
■ Penelitian biofarmasetika meliputi :
• Interaksi antara formulasi dan teknologi suatu bentuk
sediaan dengan menentukan sifat-sifat fisiko-kimia
dari obat jadi
• Interaksi antara zat aktif dan organ tubuh yang
menentukan profil bioavailabilitas

18
Biopharmaceutical
Classification system (BCS)
■ The BCS : a scientific framework for classifying drug substances
based on their aqueous solubility and intestinal permeability.
■ When combined with the dissolution of the drug product, the BCS
takes into account three major factors that govern the rate and extent
of drug absorption from IR solid oral dosage forms: (1) dissolution,
(2) solubility, and (3) intestinal permeability.
■ According to the BCS, drug substances are classified as follows:
– Class 1: High Solubility – High Permeability
– Class 2: Low Solubility – High Permeability
– Class 3: High Solubility – Low Permeability
– Class 4: Low Solubility – Low Permeability
■ In addition, some IR solid oral dosage forms are categorized as having
rapid or very rapid dissolution  biowaivers, substituted of BA
19
A. Solubility

■ The solubility class boundary is based on the highest strength of


an IR product that is the subject of a biowaiver request. A drug
substance is considered highly soluble when the highest strength
is soluble in 250 mL or less of aqueous media within the pH
range of 1 - 6.8 at 37 ± 1°C. The volume estimate of 250 mL is
derived from typical BE study protocols that prescribe
administration of a drug product to fasting human volunteers
with an 8 fluid ounce glass of water.

20
B. Permeability

■ The permeability class boundary is based indirectly on the extent of


absorption (fraction of dose absorbed, not systemic BA) of a drug
substance in humans, and directly on measurements of the rate of mass
transfer across human intestinal membrane. Alternatively, other systems
capable of predicting the extent of drug absorption in humans can be
used (e.g., in situ animal, in vitro epithelial cell culture methods).
■ A drug substance is considered to be highly permeable when the
systemic BA or the extent of absorption in humans is determined to be
85 percent or more of an administered dose based on a mass balance
determination (along with evidence showing stability of the drug in the
GI tract) or in comparison to an intravenous reference dose.

21
C. Dissolution

■ An IR drug product is considered rapidly dissolving when a mean


of 85 percent or more of the labeled amount of the drug substance
dissolves within 30 minutes, using United States Pharmacopeia
(USP) Apparatus 1 at 100 rpm or Apparatus 2 at 50 rpm (or at 75
rpm when appropriately justified (see section III.C.) in a volume of
500 mL or less (or 900 mL when appropriately justified) in each of
the following media: (1) 0.1 N HCl or Simulated Gastric Fluid USP
without enzymes; (2) a pH 4.5 buffer; and (3) a pH 6.8 buffer or
Simulated Intestinal Fluid USP without enzymes.
■ An IR product is considered very rapidly dissolving when a mean of
85 percent or more of the labeled amount of the drug substance
dissolves within 15 minutes, using the above mentioned conditions.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdou,H.M, 1989, Disolution, Bioavailability and Bioequivalence, Mark, Publ.co,


Pennyslvania.
2. Banker,GS,an Rhodes,C.T,1996, Modern Pharmaceuties 3rd ed, Marcel Dekkor Inc, New
York.
3. Swarbick J,1975, Current Concept in Pharmaceutical Science: Dosage Form Design and
Bioavaibility, Lea Febiger, Philadelphia
4. Agoes G, 2000, Teori dan Aplikasi Uji Disolusi secara in vitro, Prosiding Forum Temu
Ilmiah Farmasetika, ITB
5. Agoes G,2002, Sistem Penghantaran Obat Pompa Osmotik, Prosiding Seminar Ilmiah
Kefarmasian, BPPT, 23 Jakarta
6. Agoes G.,2008, Sistem Penghantaran Obat Pelepasan Terkendali, ITB
7. Soeib,F.,2000, Peranan Ilmu Biofarmasi dalam Era Globalisasi, Prosiding Forum Temu
Ilmiah Farmasetika, ITB

23

Anda mungkin juga menyukai