Anda di halaman 1dari 12

PENDIDIKAN INKLUSI DI

PERGURUAN TINGGI
SUNARYO
Dasar pemikiran
 Implementasi pendidikan inklusif membutuhkan perubahan
mindset warga sekolah
 Semua calon guru perlu memiliki persepsi, pengetahuan,
sikap, dan perilaku yang sama dalam rangka mewujudkan
sekolah yang bermutu dan berperspektif inklusif
 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Pasal 44 menegaskan bahwa “ Perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan keguruan wajib memasukkan
mata kuliah tentang pendidikan inklusif dalam kurikulum”
 Berdasarkan pemikiran tsb, di LPTK perlu mengembangkan
kurikulum pendidikan yang memberikan bobot kajian khusus
tentang pendidikan inklusif
Asumsi

 Hampir semua program studi di LPTK belum mengakomodasi subtasi materi


pendidikan inklusi ke dalam kurikulum dan pembelajaran. Hal ini disebabkan
karena isu pendidikan inklusif termasuk ke dalam tema multidispliner.
 Hanya program studi tertentu yang dianggap memiliki korelasi langsung
terhadap layanan pendidikan bagi disabilitas.
 Sementara, program studi yang lain dianggap tidak perlu memasukkan mata
kuliah pendidikan inklusif , karena tidak bersentuhan langsung dalam praktik
pendidikan di lapangan’
 Asumsi keliru
Karena ke depan jika pendidikan inklusif telah diberlakukan di semua sekolah
regular, semua guru dan calon guru wajib memiliki kompetensi dalam
menangani peserta didik yang beragam termasuk pemahaman tentang
diasbilitas
Perkembangan Pendidikan Inklusif
 Tren Perkembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia sejak tahun 2004
mengalami peningkatan signifikan. ( Sunardi 2009 )
 Pemerintah telah mengambil berbagai strategi untuk terus
mengembangkan Pendidikan Inklusif baik melalui :
- Diseminasi ideology Pendidikan Inklusif
- Mengubah peran SLB yang ada menjadi pusat sumber
- Penataran bagi guru – guru SLB maupun Guru – Guru Sekolah regular
- Reorientasi Pendidikan guru LPTK
- Desentralisasi dalam implementasi Pendidikan Inklusi
- Pembentukan Kelompok Kerja pendidikan inklusif ( Yusuf 2014 )
Kendala
 Masih memahami pendidikan inklusi secara dangkal, yaitu semata-
mata memasukkan ABK ke sekolah regular tanpa upaya untuk
mengakomodasi kebutuhan khusus (anak tetap tereklusi dari
lingkungan )
 Muncul lebel-lebel khusus yang sengaja diciptakan oleh pemerintah,
maupun masyarakat yang cendrung membentuk sikap eklusivisme,
seperti sekolah unggulan, sekolah percontohan, kelas akselerasi
(imam subkhan 2009)
 Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam
mempersiapakan pendidikan inklusif secara matang dan
komprehensif, baik dari aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya,
maupun uji coba metode pembelajaran, sehingga terkesan program
eksperimental (Cak Fu 2015)
Kendala (lanjutan)

 ( Penelitian Yusuf 2017 ), Kendala terbesar yang dirasakan oleh


sekolah :
- Terbatasnya sarana dan prasarana khusus untuk pembelajaran
bagi ABK
- Kurangannya pemahaman guru dalam pembelajaran khusus ABK
- Dukungan orang tua ABK yang kurang dan
- Tidak tersedianya buku panduan pedoman pendidikan inklusif
Jadi sebenarnya Perkembangan Pendidikan Inklusif di Negara kita cukup
menggembirakan dan mendapat apresiasi dan antusiasme dari berbagai
kalangan, terutama para praktisi pendidikan
Pendidikan Inklusif di Perguruan Tinggi
 Pada tahun 2014 diterbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
nomor 46 tahun 2014 tentang Pendidikan Khusus, Pendidikan layanan khusus,
dan/atau pembelajaran layanan khusus di Perguruan Tinggi
 Di Perguruan Tinggi Program studi dimungkinkan untuk melaksanakan
pendidikan layanan khusus dan/atau pembelajaran khusus.
 Pendidikan khusus karena hambatan fisik, emosi, mental, social, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
 Pembelajaran Layanan Khusus pada pendidikan Tinggi adalah Pelaksanaan
pembelajaran di perguruan tinggi bagi mahasiswa yang berasal dari daerah
terdepan, terluar, dan tertinggal, mahasiswa yang mengalami bencana alam
atau bencana social, serta mahasiswa yang tidak mampu dari segi ekonomi
 Meningkatnya perguruan tinggi yang membuka akses pendidikan bagi Anak
Berkebutuhan Khusus,
Layanan ABK di Perguruan Tinggi
 Pasal 4 ayat 1 Permendikbud nomor 46 Tahun 2014 : Pendidikan
Khusus di Perguruan Tinggi yang diselenggarakan secara inklusif
terbuka bagi mahasiswa penyandang disabilitas tunanetra, tunarungu,
tunadaksa, dan sindrom autistik
 Pada pasal 7. Dosen dan tenaga kependidikan harus memperoleh
pembekalan khusus tentang layanan pembelajaran dan adminitrasi
bagi mahasiswa berkebutuhan khusus
 Akses layanan pendidikan bagi nahasiswa berkebutuhan khusus sudah
dibuka oleh beberapa perguruan tinggi, tetapi umumnya perguruan
tinggi masih belum dapat memberikan plelayanan dan fasilitas sesuai
kebutuhan
Layanan (lanjutan)

 Pasal 5 . Perguruan Tinggi wajib menyediakan sarana dan prasarana bagi


mahasiswa berkebutuhan khusus , antara lain :
a. Lift pada gedung berlantai dua atau lebih
b. Pelebelan dengan tulisan braille dan informasi berbentuk suara
c. Lerengan (ramp) bagi pengguna kursi roda
d. Jalur pemandu (guiding block) di jalan atau koridor lingkungan kampus
e. Peta atau denah kampus timbul
f. Toilet atau kamar mandi khusus bagi pengguna kursi roda
Media dan sumber belajar, antara lain buku braille, buku bicara.
computer bicara, mesincetak braille dan materi perkuliahan elektronik
g. Pustaka yang mudah diakses
h. Informasi visual dan layanan berbasis web yang memenuhi standar
aksesibilitas.
Hasil Penelitian Sunardi dkk (2017)
 Penelitian terhadap 12 PTN dengan hasil sebagai berikut :
a. Proses Rekruitmen Mahasiswa : bahwa implementasi dari Permenrintekdikti
terkait pendidikan khusus pendidikan layanan khusus dan/atau pembelajaran
layanan khusus pada pendidikan tinggi belem terlaksana dengan baik
b. Sarana Prasana : sebanyak 12 PTN belum memiliki sarana dan prasarana yang
memadai atau baik bagi mahasiswa berkebutuhan khusus
c. Pengembangan SDM : Pengembangan SDM yang memiliki kompetensi untuk
memberikan layanan pendidikan khusus di perguruan tinggi sudah baik
d. Evaluasi Pembelajaran : evaluasi pembelajaran yang dilakukan belum
mengakomodasi kondisi dan kebutuhan mahasiswa berkebutuhan khusus
e. Pembiayaan : bahwa pembiayaan masing-masing PTN masih belum memadai,
bahkan ada beberapa PTN belum mengalokasikan dan khusus dalam rangka
memberikan layanan pendidikan inklusi di PT
Catatan : penelitian dilakukan 2017. Sekarang sudah berkembang, seperti UPI
Pembudayaan Pendidikan Inklusi

Setiap Kampus atau Perguruan Tinggi memiliki kondisi atau tahapan yang
berbeda dalam mewujudkan kampus inklusif. Paling tidak ada tiga
tahapan proses menuju kepada terwujudnya kampus inklusif :
1. Tahap pengenalan : adalah suatu tahap atau kondisi dimana
masyarakat kampus baru mulai mengenal atau memahami konsep dan
filosofi pendidikan inklusif.
2. Tahap Pengembangan : Masyarakat kampus atau stake holders sudah
mulai melakukan aktivitas kongkrit untuk melaksanakan pendidikan
inklusif.
3. Tahap Pembudayaan : adalah suatu tahap dimana ide, ciri atau
karakteristik pendidikan inklusif sudah dijalankan secara sistemik,
konsisten dan melekat dalam kehidupan aktivitas kampus dan semua
elemen kampus memiliki cara pandang, sikap dan perilaku yang
inklusif
Perinsip

1. Kolaborasi : membudayakan pendidikan inklusif harus dilaksanakan kerja


sama antara elemen yang ada di kampus atau perguruan tinggi.
2. Bertahap dan berkelanjutan : Jangan tergesah-gesah untuk menginginkan
hasil yang baik dalam waktu yang cepat, karena ini terkait dengan upaya
pembaharuan cara berpikir dan kultur.
3. Kemauan dan Komitmen : harus adanya kemauan dan komitmen untuk peduli
memberikan kesempatan kepada mahasiswa berkebutuhan khusus untuk
memperoleh pendidikan supaya mereka dapat mengembangkan potensinya
secara optimal, sebagai bekal hidup di masyarakat.
4. Fleksibel : Pembudayaan pendidikan inklusif harus dilaksanakan secara
fleksibel sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing Perguruan
Tinggi.
5. Right-based : Harus dari pemikiran bahwa mahasiswa-mahasiswa
berkebutuhan khusus memiliki kebutuhan dan hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan sebagaimana mahasiswa lainnya,

Anda mungkin juga menyukai