25000119140382 E 2019 Stunting • Stunting (kerdil/pendek) merupakan keadaan balita yang mana situasi ini didapat dari mengukur panjang badan atau tinggi badan berdasarkan umur anak yang hasilnya (< -2 SD) dari standar pertumbuhan anak World Health Organization (WHO). • Permasalahan gizi kurang yang dialami dalam waktu lama pada masa pertumbuhan dan perkembangan dari awal kehidupan dapat menunjukkan masalah stunting (Kementerian Kesehatan RI, 2011). • Masa depan anak yang mengalami stunting akan kesulitan untuk mencapai perkembangan fisik yang optimal begitu juga dengan perkembangan kognitifnya. Permasalahan Stunting • Menurut WHO (2012), diperkirakan 101 juta balita diseluruh Dunia mengalami masalah berat badan kurang, prevalensi berat badan kurang pada balita terdapat di Afrika (36%) dan Asia (27%). • Sekitar 1 dari 4 balita mengalami stunting (UNICEF, 2013) • Global Nutrition Report Tahun 2014 menunjukkan Indonesia termasuk dalam 17 negara, di antara 117 negara, yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting, wasting dan overweight pada balita. • Secara nasional balita yang memiliki gizi kurang mencapai 14,9%, gizi buruk 3,8%, dan gizi lebih1,5% (Kemenkes RI, 2015). • Indonesia berada pada urutan ketiga Negara dengan prevalensi tertinggi balita stunting sebesar 36,4% pada Tahun 2005 - 2017 • Tren kejadian balita stunting di Dunia Tahun 2017 sebesar 22,2% (World Health Organization, 2018) Faktor-faktor Penyebab Stunting Berat Badan Lahir • Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang anak balita, pada penelitian yang dilakukan oleh Anisa menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat lahir dengan kejadian stunting pada balita di Kelurahan Kalibaru. • Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, bayi dengan berat badan lahir rendah akan mengalami hambatan pada pertumbuhan dan perkembangannya serta kemungkinan terjadi kemunduran fungsi intelektualnya selain itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi hipotermi. • Banyak penelitian yang telah meneliti tentang hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan di Yogyakarta menyatakan hal yang sama bahwa ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian stunting. • Selain itu, penelitian yang dilakukan di Malawi juga menyatakan prediktor terkuat kejadian stunting adalah BBLR dafus • Anisa, Paramitha. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 25-60 Bulan Di Kelurahan Kalibiru Depok Tahun 2012. Jakarta: Universitas Indonesia. • Direktorat Bina Kesehatan Ibu . 2012. Direktorat Bina Kesehatan Ibu Akan Lakukan Assessment Kualitas Pelayanan Kesehatan Ibu di 20 Kabupaten/Kota. Diunduh 20 April 2017, dari Kesehatan Ibu:http://www.depkes.go.id 27. • Sartono. 2013. Hubungan Kurang Energi Kronis Ibu Hamil Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kota Yogyakarta. Tesis. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. • Milman, A., Frongillo, E. A., Onis, M., and Hwang J-Y. 2005. Differential Improvement among Countries in Child Stunting is Associated with Long- Term Development and Specific Interventions. The Journal of Nutrition. Jenis Kelamin • Selama masa bayi dan anak-anak, anak perempuan cenderung lebih rendah kemungkinannya menjadi stunting dan severe stunting daripada anak laki- laki, selain itu bayi perempuan dapat bertahan hidup dalam jumlah lebih besar daripada bayi laki-laki dikebanyakan Negara berkembang termasuk Indonesia. • Anak perempuan memasuki masa puber dua tahun lebih awal daripada anak laki-laki, dan dua tahun juga merupakan selisih dipuncak kecepatan tinggi antara kedua jenis kelamin • Studi kohort di Ethiopia menunjukan bayi dengan jenis kelamin laki-laki memiliki risiko dua kali lipat menjadi stunting dibandingkan bayi perempuan. • Anak laki-laki lebih berisiko stunting dan tau underweight dibandingkan anak perempuan. Beberapa penelitian di sub-Sahara Afrika menunjukan bahwa anak laki-laki prasekolah lebih berisiko stunting dibanding rekan perempuannya. Dalam hal ini, tidak diketahui apa alasannya. • Dalam dua penelitian yang dilakukan di tiga negara berbeda,yaitu Libya. serta Banglades dan Indonesia, menunjukan bahwa prevelansi stunting lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. • Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa jenis kelamin anak adalah faktor prediktor yang kuat dari stunting dan severe stunting pada anak usia 0-23 bulan dan 0-59 bulan. • Anak perempuan memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan anak laki-laki dalam hal ini. Selama masa bayi dan masa kanak-kanak, anak perempuan cenderung lebih rendah kemungkinannya menjadi stunting dan severe stunting, selain itu bayi perempuan dapat bertahan hidup dalam jumlah besar daripada bayi laki-laki di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia. Dafus • Medhin, Gima et al. 2010. Prevalence and Predictors Of Undernutrition Among Infants Age Six and Twelve Months In Butajira, Ethiopia: The P-MaMiE Birth Cohort. Mdhin et al. BMC Public Health, 10:27. Dapat diakses di www.biomedcentral.com. • Lesiapeto, et al. 2010. Risk Factors of Poor Anthropometric Status In Children Under Five Years of Age Living In Rural Districts of The Eastern Cape And Kwazulu-Natal Provinces, South Africa. S Afr J Clin Nutr, 23(4): 202-207. Dapat diakses di www.sajcn.co.za. • Taguri, AE et al. 2008. Risk Factor For Stunting Among Under Five In Libya. Public health nutrition, 12 (8), 1141-1149. Dapat diakses di www.ncbi.nlm.nih.gov. • Semba, et al. 2008. Effect Parental Formal Education On Risk Of Child Stunting In Indonesia And Bangladesh : A Cross Sectional Study. 371 : 322 - 328. www.thelancet.com. • Ramli, et al. 2009. Prevalence and Risk Factor for Stunting and Severe Stunting Among Under Fives in North Maluku Province of Indonesia. BMC Pediatrics. Press, Inc. Florida. Page. 147-198. ASI Eksklusif • Berdasarkan hasil penelitian Litta (2019) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting pada balita di Dusun Cemanggal, Desa Munding. • Anak yang tidak diberikan ASI Eksklusif beresiko 25 kali lebih besar mengalami stunting dibandingkan anak yang diberikan ASI Eksklusif • Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin pada tahun 2012 dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh berat badan saat lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI, riwayat penyakit infeksi, pengetahuan gizi ibu balita, pendapatan keluarga, jarak antar kelahiran namun faktor yang paling dominan adalah pemberian ASI. • Berarti dengan pemberian ASI eksklusif kepada bayi dapat menurunkan kemungkinan kejadian stunting pada balita, hal ini juga tertuang pada gerakan 1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia. dafus • Hasandi, Litta Arsieta, Sugeng Maryanto, Riva Mustika Anugrah. 2019. The Correlation Between Maternal Age, Exclusive Breastfeeding and Stunting on Toddlers in Cemmanggal Munding Village Semarang Regency. Jurnal Gizi dan Kesehatan 11 (25), 29-38 • Arifin, D.Z., Irdasari, S.Y., Sukandar,H. 2012. Analisis sebaran dan faktor resiko stunting pada balita di Kabupaten Purwakarta. Epidemiologi Komunitas FKUP Bandung. Asupan Pangan • Penelitian Novita tahun 2018 menjelaskan Faktor resiko kejadian stunting yang paling dominan adalah keragaman pangan. • Balita yang mempunyai asupan pangan yang tidak beragam memiliki 3,213 kali untuk mengalami stunting jika dibandingkan dengan balita yang mempunyai asupan pangan yang beragam. dafus • Widyaningsih, Novita Nining, Kusnandar, Sapja Anantanyu. 2018. Keragaman Pangan, Pola Asuh makan dan Kejadian Stunting pada Balita usia 24-59 bulan. Jurnal Gizi Indonesia, 7 (1), 22-29 Dampak Stunting Stunting memiliki dampak pada kehidupan balita, WHO mengklasifikasikan menjadi dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang:
• Concurrent problems & short-term consequences atau dampak jangka pendek:
–Sisi kesehatan: angka kesakitan dan angka kematian meningkat –Sisi perkembangan: penurunan fungsi kognitif, motorik, dan perkembangan bahasa –Sisi ekonomi: peningkatan health expenditure, peningkatan pembiayaan perawatan anak yang sakit
• Long-term consequences atau dampak jangka panjang:
–Sisi kesehatan: perawakan dewasa yang pendek, peningkatan obesitas dan komorbid yang berhubungan, penurunan kesehatan reproduksi –Sisi perkembangan: penurunan prestasi belajar, penurunan learning capacity unachieved potensial –Sisi ekonomi: penurunan kapasitas kerja dan produktifitas kerja Upaya Pmecahan Masalah Upaya Pencegahan Stunting • Pemerintah Indonesia melakukan upaya guna menurunkan angka prevalensi stunting diantaranya dengan melakukan sosialisasi 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) sebagai intervensi bagi ibu untuk mencegah terjadinya stunting pada balita. Pencegahan Primer Intervensi gizi spesifik ini dibagi menjdi tiga yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan. Ibu hamil merupakan sasaran pertama, adapun kegiatan yang dilakukan dalam intervensi ini adalah Pemberian makanan tambahan (PMT) untuk mencegah kekurangan energy protein (KEP) dan kekurangan energi krnoik (KEK) pada ibu hamil, mencegah terjadinya kekurangan iodium, mencegah terjadinya kekurangan zat besi dan asam folat memberikan obat cacing untuk mencegah cacingan. Ibu menyusui dan bayi (0-23 bulan) merupakan sasaran kedua, kegiatan yang dilakukan ialah melakukan dorongan berupa promosi kesehatan untuk memberikan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), guna mendukung pemberian kolostrum, pemberian penyuluhan mengenai menyusui yang benar guna tercapainya pemberian ASI secara eksklusif serta melakukan pemantauan status gizi dengan datang ke posyandu setiap bulannya. Ibu menyusui dan bayi (0-23 bulan) merupakan sasaran kedua, kegiatan yang dilakukan ialah melakukan dorongan berupa promosi kesehatan untuk memberikan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), guna mendukung pemberian kolostrum, pemberian penyuluhan mengenai menyusui yang benar guna tercapainya pemberian ASI secara eksklusif serta melakukan pemantauan status gizi dengan datang ke posyandu setiap bulannya. Ibu menyusi dan anak (24-59 bulan) merupakan sasaran ketiga, kegiatan yang dilakukan dalam intervensi ini adalah mengajak ibu agar dapat meneruskan pemberian ASI dan memberikan makanan tambahan pendamping ASI yang berkualitas, memberikan imunisasi lengkap, menyediakan obat cacing, memenuhi kebutuhan zat besi serta melakukan upaya pencegahan terhadap penyakit infeksi dan malaria. Pencegahan Sekunder • Pencegahan stunting pada tingkatan ini adalah dengan meningkatkan kualitas hidup remaja putri melalui intervensi pendidikan dengan meningkatkan pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah – sekolah, memberikan edukasi terhadap kebutuhan gizi pada remaja, membentuk konselor sebaya guna dapat membahas perkembangan pada remaja. • Intervensi kesehatan merupakan intervensi yang dilakukan selanjutnya yaitu dengan memberikan sumplementasi tablet tambah darah pada remaja putri, memberikan obat cacing bagi remaja putri, melakukan promosi kesehatan mengenai gizi serta pengadaan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di Puskesmas Pencegahan Tersier • Melakukan pencegahan dengan melakukan pemberdayaan orang terdekat. Adapun intervensi yang dapat dilakukan yaitu melalui intervensi sosial dan intervensi kesehatan. Intervensi sosial dengan menggerakkan tokoh masyarakat untuk mempromosikan keluarga berencana serta menyediakan bantuan sosial dari Pemerintah daerah. Intervensi kesehatan dengan melakukan diskusi penjadwalan untuk kehamilan mengikutsertakan suami dan keluara, menyediakan pelayanan alat kontraspsi bagi suami, melakukan konseling ke bidan dengan suami guna menentukan dimana akan melakukan persalinan, konseling pra nikah dan edukasi seks reproduksi bagi remaja. Upaya Penanggulangan Stunting Intervensi Spesifik • Intervensi ditujukan kepada ibu hamil dan anak dalam 1000 hari pertama kehidupan dimana bersifat jangka pendek dan hasilnya dicatat dalam waktu relatif singkat. Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan. – Intervensi dengan sasaran ibu hamil: • Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis • Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat • Mengatasi kekurangan iodium • Menanggulangi cacingan pada ibu hamil • Melindungi ibu hamil dari malaria Intervensi Spesifik – Intervensi dengan sasarna ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan: • Mendorong inisiasi menyusu dini • Mendorong pemberian ASI eksklusif – Intervensi dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan: • Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI • Menyediakan obat cacing • Menyediakan suplementasi zink • Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan • Memberikan perlindungan terhadap malaria • Memberikan imunisasi lengkap • Melakukan pencegahan dan pengobatan diare Intervensi Sensitif • Intervensi yang ditujukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan dengan sasaran masyarakat umum, tidak khusus untuk sasaran 1000 hari pertama kehidupan. – Menyediakan dan memastikan akses pada air bersih – Menyediakan dan memastikan akses pada sanitasi – Melakukan fortifikasi bahan pangan – Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB) – Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) – Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal) – Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua – Memberikan pendidikan anak usia dini universal – Memberikan pendidikan gizi masyarakat – Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi pada remaja – Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin – Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi
(Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, 2017)
Upaya Pencegahan Primer • Ibu menyusi dan anak (24-59 bulan) merupakan sasaran ketiga, kegiatan yang dilakukan dalam intervensi ini adalah mengajak ibu agar dapat meneruskan pemberian ASI dan memberikan makanan tambahan pendamping ASI yang berkualitas, memberikan imunisasi lengkap, menyediakan obat cacing, memenuhi kebutuhan zat besi serta melakukan upaya pencegahan terhadap penyakit infeksi dan malaria. Intervensi gizi sensitive lebih ditujukan kepada masyarakat umum. Adapun kegiatan intervensi yang dilakukan adalah peningkatan penyediaan air minum dan sanitasi dengan menyediakan akses air bersih yang aman untuk diminum serta akses terhadap sanitasi yang layak. Peningkatan keterjangkauan dan kualitas pelayanan gizi serta kesehatan dengan menyiapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal), bantuan untuk keluarga kurang mampu (PKH) dan pelayanan keluarga berencana (KB). Peningkatan kesadaran pengasuhan gizi ibu dan anak dengan melakukan pemberian informasi mengenai kesehatan melalui berbagai media, membagikan pendidikan tentang penjagaan kepada orang tua, PAUD, penddikan tentang gizi masyarakat, pendidikan kespro remaja dan perlindungan terhadap anak dan pemberdayaan perempuan. Peningkatan pangan bergizi melalui program bantuan non tunai (BPNT), melakukan fortifikasi bahan pangan pokok, membuat KRPL. • Pencegahan tersier. Melakukan pencegahan dengan melakukan pemberdayaan orang terdekat. Adapun intervensi yang dapat dilakukan yaitu melalui intervensi sosial dan intervensi kesehatan. Intervensi sosial dengan menggerakkan tokoh masyarakat untuk mempromosikan keluarga berencanazserta menyediakan bantuan sosial dari Pemerintah daerah. Intervensi kesehatan dengan melakukan diskusi penjadwalan untuk kehamilan mengikutsertakan suami dan keluara, menyediakan pelayanan alat kontraspsi bagi suami, melakukan konseling ke bidan dengan suami guna menentukan dimana akan melakukan persalinan, konseling pra nikah dan edukasi seks reproduksi bagi remaja Kesimpulan Daftar Pustaka