Anda di halaman 1dari 21

Linguistik

Historis
Komparatif
Pekerjaan linguistik historis sebenarnya telah dimulai
pada abad sebelum abad ke-19, tetapi pekerjaan itu
dilaksanakan secara tersebar dan tidak menemukan
satu pola bersama dan sistem tertentu. Penulis-
penulis Eropa telah mulai menulis hubungan antara
bahasa dan kita dapat menyebutkan Dante (1265-
1321) sebagai pelopornya. Ia membuat perbandingan
dari dialek-dialek bahasa daerah di Eropa
umpanyanya Jerman, Latin, dan Yunani dalam
tulisannya De Vulgari Eloquentia.
Masa antara karya-karya Dante dan abad ke-19 pun
tidak dilalui dalam kekosongan linguistik historis
komparatif. Kita dapat mencatat nama-nama seperti J.
J. Schaliger (1540-1609) yang menunjukkan
Muttersprachen dari bahasa-bahasa Roman, Yunani,
Jerman, dan Slavia. Satu abad kemudian kita
ketemukan Leibnitz (1646-1716) yang melakukan
pekerjaan perbandingan bahasa berdasarkan
kenyataan-kenyataan bahasa yang ada / sinkronis
karena ia kurang yakin akan teori monogenesis bahasa.
Dalam pengelompokan bahasa dan penentuan bahasa-
bahasa yang menurunkan bahasa tertentu, A.Schleiger
menciptakan konsepsi Stammbaumtheorie atau kita
sebut saja Teori Pohon. Bahasa yang dikelompokkan
akan ditentukan satu bahasa induk yang menurunkan
bahasa-bahasa tersebut. Dan dari setiap bahasa induk
ditelusur terus kembali sampai ditemukan satu bahasa
purba yang menurunkan bahasa-bahasa tersebut. Hal
ini tentu saja melalui perbandingan-perbandingan
akan bentuk-bentuk bahasa yang berkorespondensi.
J. Schmidt menciptakan satu teori penyebaran
bahasa yang disebut Wellentheorie atau Teori
Gelombang. Dengan teori gelombang ini ingin
ditunjukkan bahwa pembaharuan-pembaharuan
linguistik akan tersebar dalam satu daerah tertentu
dari dialek ke dialek, dari satu bahasa ke bahasa
yang lain selama masih terjadi kontak-kontak
linguistik sebagai akibat letak geografis.
Klasifikasi bahasa secara genetis merupakan
klasifikasi bahasa yang tertua. Klasifikasi genetis
didasarkan pada kriteria korespondensi bunyi dan
makna.

Klasifikasi genetis didasarkan kepada aspek


kesejarahan dan keturunan pemakai bahasa.
Bahasa-bahasa di dunia dikelompokkan atas
rumpun besar, rumpun kecil, dan rumpun
bawahan.
1.
Klasifikasi genetis hanya mempergunakan kriteria
korespondensi bunyi dan makna. Ini berarti
kriteria yang digunakan bersifat nonarbitrary atau
tidak bebas. Dengan demikian, hasil kualifikasi
atau pengelompokan bahasa secara genetis akan
sama.
2.
Klasifikasi genetis merefleksikan hubungan
kesejarahan pemakai bahasa-bahasa tersebut. Oleh
karena itu, bahasa-bahasa yang berkerabat itu
kemungkinan besar terletak dalam satu wilayah
geografis. Walaupun demikian, kesatuan wilayah
geografis tidak menjadi tuntutan mutlak. Sampai
sekarang ini, pada umumnya bahasa-bahasa yang
secara genetis berkerabat atau berserumpun terletak
dalam satu wilayah geografis walaupun wilayah itu
tidak berbatasan secara langsung.
3.
Klasifikasi genetis berusaha mengelompokkan
bahasa-bahasa di dunia sampai tuntas (walaupun
sampai sekarang belum dapat). Akan tetapi, yang
penting satu bahasa hanya masuk dalam satu
rumpun tertentu.
Metode
Kita mengenal tiga metode dalam telaah bahasa, yakni
metode deskriptif atau sinkronis, metode historis,
dan metode komparatif. Penggunaan metode
memengaruhi pula penyebutan bidang telaah linguistik.
Telaah kebahasaan yang menggunakan metode
deskriptif atau sinkronis melahirkan nama Linguistik
Deskriptif atau Linguistik Sinkronis. Telaah
kebahasaan yang menggunakan metode historis
melahirkan nama Linguistik Historis. Dan telaah
kebahasaan yang menggunakan metode komparatif
disebut Linguistik Komparatif.
Telaah kebahasaan komparatif dapat dilaksanakan
secara deskriptif dan secara historis. Telaah kebahasaan
komparatif deskriptif disebut Linguistik Komparatif
Deskriptif atau Linguistik Kontrasif atau Linguistik
Konfrontatif. Telaah kebahasaan komparatif secara
historis melahirkan telaah bahasa dengan nama
Linguistik Historis Komparatif (LHK).
Dalam telaah kebahasaan istilah metode komparatif
dihubungkan dengan telaah historis daripada telaah
deskriptif. Oleh karena itu, lebih tepat jika disebut
Metode Historis Komparatif.
Metode historis komparatif dapat diterapkan pada bahasa
yang telah memiliki naskah tulis dengan aksaranya dan pada
bahasa lisan yang belum mengenal sistem tulis atau aksara.
Untuk dapat melakukan satu telaah historis komparatif yang
cermat, maka pada mulanya kita harus memiliki naskah-
naskah tertulis dari dua atau lebih bahasa yang hendak
dibandingkan secara historis dengan tujuan tertentu, yakni
perumpun bahasa, penemuan dan perekonstruksian bahasa
purba yang menurunkan bahasa-bahasa tersebut, dan jika
mungkin menentukan arah sebaran dan tahun pisah bahasa-
bahasa tersebut. Makin tua sebuah naskah, makin terandalkan
atau terpercaya hasil rekonstruksi bunyi atau bahasa.
Telaah historis komparatif memerlukan naskah
atau bahasa tulis mulai dari awal pengenal sistem
aksara bahasa yang bersangkutan sampai masa
penelitian karena salah satu tujuan dari LHK ialah
merekonstruksi bahasa secara historis. Apa yang
direkonstruksikan harus bersifat alamiah dan
empiris.
Bahasa alamiah dan manusiawi. Ini berarti hasil
rekonstruksi bahasa dari seorang ahli LHK harus benar-
benar menunjukkan bahwa bahasa atau bunyi bahasa
yang direkonstruksikan itu benar-benar ada dan pernah
dituturkan oleh para pemakaianya yang sudah
meninggal. Dan salah satu bukti penggunaan bahasa itu
atau hidupnya bunyi ini di masa lampau adalah
peninggalan-peninggalan tertulis alias bahasa tulis apa
pun bentuknya. Jadi, jika kita tidak memunyai naskah
tulis atau peninggalan tertulis dari masa lampau, maka
telaah historis bandingan hanya sampai pada umur
orang tertua pengguna bahasa tersebut.
Metode historis komparatif yang memanfaatkan
naskah tertulis akan lebih sulit lagi jika sistem
ejaan yang digunakan tidak dapat dibaca dengan
tepat. Penguasaan akan sistem ejaan dan sistem
pengaksaraan bahasa-bahasa yang bernaskah
sangat dituntut dari seorang pakar linguistik
historis komparatif. Salah satu syarat yang lain
ialah adanya kesinambungan naskah tertulis
tersebut, khususnya untuk bahasa-bahasa yang
tidak digunakan lagi dewasa ini.
Tuntutan lain bagi telaah historis komparatif ialah
penguasaan akan fonologi general dan fonologi
khusus bahasa yang dibandingkan karena yang
akan ditilik lebih dahulu adalah korespondensi
bunyi antara bahasa yang dihipotesiskan
berkerabat.
1.
Untuk dapat menentukan apakah korespondensi
bunyi dan makna antara bahasa terbanding,
diperlukan satu studi yang mendalam dan cermat.
Kemiripan bunyi dan makna belum berarti ada
kekerabatan secara historis. Para pakar harus
melakukan satu studi bandingan lagi dengan
bahasa-bahasa yang juga diduga berkerabat.
2.
Perhatian yang kedua dalam bandingan
korespondensi bunyi ialah keterjadian
korespondensi yang kebetulan. Hal yang
kebetulan memang tidak banyak terjadi.
3.
Perhatian yang terakhir ialah keterjadian pinjaman
antara bahasa. Kata Melayu “nama” adalah kata
pinjaman dari Sanskrit. Juga pinjaman pun dapat
terjadi antarbahasa yang dihipotesiskan serumpun,
misalnya antara bahasa Jawa dan Sunda.
Oleh karena itu, langkah yang harus ditempuh
ialah mempersoalkan apakah korespondensi bunyi
dan makna itu terjadi karena (1) berkerabat, (2)
kebetulan, atau karena (3) pinjaman.

Anda mungkin juga menyukai