Anda di halaman 1dari 40

LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF

Tugas Merangkum Buku “Linguistik Bandingan Tipologis”

oleh Gorys Keraf

Disusun Oleh

PUTI KHARISMA NING S111908010

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
PENDAHULUAN

1. Pengertian Linguistik Bandingan

Perbandingan antara dua bahasa atau lebih, dapat dikatakan sama usianya dengan
timbulnya ilmu bahsa itu sendiri. Dan memang dalam tahap permulaan timbulnya ilmu bhasa
bandingan itu, penyelidikan atas bahasa-bahasa itu bukan ditujukan kepada usaha
menemukan persamaan, melainkan untuk mencari kekurangan-kekurangan suatu bahasa
apabila dibandingkan dengan suatu bahasa lain yang disenangi atau dikagumi, atau yang
dianggap mempunyai reputasi tinggi, seperti halnya dengan bahsa Yunani kuno, bahasa Latin
klasik, atau Ibrani. Linguistic komparatif atau linguistic bandingan merupakan suatu cabang
dari ilmu bahasa (linguistik) yang berusaha untuk meletakkan dasar-dasar pengertian tentang
perkembangan dan kekerabatan antara bahasa-bahasa di dunia dan mencoba menemukan
unsur-unsur pengaruh timbal balik antara bahasa-bahasa yang pernah mengadakan kontak
dalam sejarah.

2. Pembagian Linguitsik Bandingan

Linguistik bandingan historis dibagi atas tiga sub-cabang berdasarkan tujuan dan teknik
perbandingan yang digunakannya. Ketiga sub-cabang tersebut adalah:
a. Linguistik bandingan tipologis, yaitu mempelajari hubungan antara bahasa-bahasa
melalui bentuk dan struktur yang sama-sama dimilikinya.
b. Linguistic bandingan historis, yaitu berorientasi kepada sejarah, khususnya yang
menyangkut kesamaan asal-usul bahasa-bahasa.
c. Linguistic bandingan areal, yaitu menerangkan kontak-kontak yang pernah terjadi
antara bahasa-bahasa pada waktu lampau. Cabang ini mempersoalkan adanya unsur-
unsur dalam suatu bahasa karena pinjaman, interferensi, dan sebagainya.

3. Tujuan Linguistik Bandingan


Tujuan dan manfaat linguistic bandingan adalah sebagai berikut.
a. Mengadakan perbandingan dengan menunjukkan hubungan dan tingkat kekerabatan
antara bahasa satu dengan bahsa lain. Bidang-bidang yang digunakan adalah bidang
fonologi, morfologi, dan sintaksis.
b. Mengadakan rekonstruksi
c. Mengadakan pengelompokan
d. Menemukan pusat-pusat penyebaran bahasa-bahasa proto
e. Menemukan kesamaan tipe bahasa untuk diklasifikasi berdasarkan kesamaan tipe
tersebut.
f. Menemukan pengaruh-pengaruh dari bahasa sekitar yang tidak masuk dalam
kelompok atau rumpun bahasa.

4. Lingustik Bandingan sebagai Ilmu Bantu


Linguistik bandingan bertindak sebagai ilmu bantu bagi cabang-cabang ilmu pengetahuan
lainnya. Linguistik bandingan dapat dipergunakan untuk membantu filologi untuk
menafsirkan geja;a-gejala bahasa dlam naskah-baskah kuno melalui bahasa tertulis.
Arkeologi mempergunakan linguistic bandingan dalam epografi, yang menafsir atau
membaca tulisan-tulisan kuno serta menafsirkan unsur dan pengaruh-pengaruh yang terdapat
pada batu-batu tertulis atau inskripsi-inskripsi.

5. Kalsifikasi Bahasa
Dalam usaha mengadakan perbandingan antar-bahasa sekaligus mengadakan
pengelompokan atasa bahasa-bahasa yang dikenal dengan tiga macam klasifikasi, antara lain:
a. Klasifikasi genetis atau klasifikasi genealogis
b. Klasifikasi tipologis
c. Klasifikasi areal
BAB I

KLASIFIKASI TIPOLOGIS

1. Klasifikasi Tipologis
Dalam tahun 1818, August von Schlegel telah mengusulkan suatu klasifikasi tipologis
morfologis, yang kemudian diterima dan dikembangkan lebih lanjut pada tahun-tahun
berikutnya. Menurut August von Schlegel, bahasa-bahasa di dunia dibagi atas tiga kelas
utama, yaitu:
a. Bahasa analitis atau bahasa isolatif, misalnya bahasa Cina dan Vietnam
b. Bahasa aglutinatif atau bahasa berafiks, misalnya bahasa Turki, atau bahasa-bahasa
Nusantara pada umumnya.
c. Bahasa sintetis atau bahasa fleksi, misalnya bahasa Yunani, Latin, Semit, dan
Sansekerta.

2. Struktur dan Sistem

2.1 Tipe dan Tanda


Setiap unsur (item) dalam tiap bahasa dapat diperlakukan sebagai sebuah tipe (type)
atau sebagai sebuah tanda (token). Sebuah unsur, yang berkedudukan sebagai sebuah
tipe, merupakan sebauh objek yang dapat diperbanyak oleh tatabahasa seberapa yang
diinginkan untuk pemakaian tertentu.
2.2 Pengertian Kalsifikasi Tipologis
Klasifikasi tipologis adalah suatu klasifikasi bahasa yang didasarkan atas ciri-ciri atau
tipe-tipe yang dominan dalam bahasa itu. Tipe bahasa yang dipakai sebagai dasar
klasifikasi neliputi tipe fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantik unutk
menghasilkan bahasa isolatif, aglutinatif, dan fleksi.

3. Struktur dan Sitem


3.1 Struktural dan Sistematik
Secara umum struktur berarti suatu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang
secara fungsional bertalian satu sama lain, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik. Sebaliknya, sistem dalam pengertian yang diangap bersinonim dengan
pengertian struktur adalah perangkat kaidah-kaidah yang ditaati oleh penutur-penutur asli
suatu bahasa tanpa disadari, pada saat ia mempergunakan bahasa itu. Jadi, sistem lebih
menekankan aturan atau kaidahnya.
Kata struktur dan sistem sering dipergunakan sebagai istilah yang bersinonim. Karena
dianggap bersinonim, kedua istilah itu sering dipakai secara timbal balik dengan
pengertian yang tumpang-tindih. Ketumpang-tindihan itu terutama terjadi ketika
digunakan dalam analisa bahasa sebagai suatu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.
Karena hal tersebut, tipe bahasa mempunyai struktu dan sistem tersendiri dan biasanya
digunakan sebagai objek penelitian.
3.2 struktural dan sistematik: relasi sintagmatik dan relasi paradigmatic
Relasi sintagmatik adalah relasi yang teradapt antara sebuah konstruksi dengan
konstituen-konstituennya, atau antara konstituen-konstituen yang membentuk konstruksi
itu. Relasi paradigmatik dapat dibatasi sebagai relasi antara suatu unsur (fonem, morfem,
atau kata) yang terdapat dalam sebuah konstruksi. Relasi antara suatu perangkat unsur
yang menunjukkan kesamaan tertentu dalam beberapa aspek, di samping adanya
perbedaan tertentu.
3.3 Hubungan antara Relasi Sintagmatik dan Relasi Paradigmatik
Hubungan antara relasi sintagmatik dan relasi paradigmatic dapat dinyatakan pula
dengan cara-cara lain seperti berikut.
a. Relasi sintagmatik merupakan hasil segmentasi, sedangkan relasi paradigmatic
merupakan hasil klasifikasi atau subklasifikasi.
b. Dalam mengadakan pengelompokan unsur-unsur bahasa, maka kedua macam
relasi itu dapat tercakup dalam sebuah kelompok unsur.
c. Menurut Fredinand de Saussure dan L. Hjelmslev, hubungan paradigmatic
bersifat independen dan secara logis lebih dahulu ada dari relasi sintagmatik, yang
bersifat dependen.
4. Ciri-ciri Klasifikasi Tipologis
Kriteria structural dan sistemis untuk klasifikasi tipologis ini memiliki ciri-ciri sebagai
berikut.
4.1 Kearbitreran
Disebut ciri mana saja, arbitrer dapat digunakan karena memang untuk mengadakan
klasifikasi ini, kriteria structural mana saja dapat dipergunakan.
4.2 Keekhsaustifan
Dengan mempergunakan sebuah tipe atau kriteria yang terpilih maka semua bahasa di
dunia harus dapat dimasukan dalam kelompok-kelompok bahasa tertentu.
4.3 Keunikan
Dengan mempergunakan tipe tertentu sebagai dasar klasifikasi, setiap bahasa di dunia
hanya boleh masuk dalam satu kelas bahasa, atau hanya memiliki keanggotaan yang
tunggal.
5. Hubungan Klasifikasi Tipologis dan Klasifikasi Latin
Karena kriteria yang digunakan mencakup semua tingkatan analisa bahasa, maka
klasifikasi tipologis ini di satu pihak mempunyai pertalian dengan klasifikasi genealogis.
Kalsifikasi genealogi pertama-tama didasarkan pada kesamaan leksikal atau kriteria leksikal,
karena warisan dari bahasa-bahasa proto yang sama. Kesamaan leksikal biasanya mencakup
kesamaan fonologis, gramatikal, dan semantic, sehingga bahasa kerabat juga memiliki
kesamaan tipe fonologis, morfologis, dan semantis. Malahan sering kriteria sintaksisnya juga
sama. Tetapi antara kedua klasifikasi ini terdapat perbedaan karena kalsifikasi tipologis tidak
hanya membicarakan bahasa-bahasa yang memiliki kesamaan secara genetis, melainkan
memasukan juga semua bahasa lain yang non-kekerabat asal memiliki tipe atau sistem yang
sama.

6. Prinsip-prinsip Klasifikasi Tipologis


a. Prinsip I: dalam kenyataan bahasa dapat memperlihatkan kesamaan tipe-tipe tertentu,
bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya.
b. Prinsip II: kesamaan-kesamaan tipe bahasa pada kelompok-kelompok itu, mencakup
kesamaan di bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
c. Prinsip III: kesamaan-kesamaan tipe bahasa yang ada dalam kelompok-kelompok itu
menjadi landasan untuk mengadakan kalsifikasi tipologis.
d. Prinsip IV: untuk mengadakan kalsifikasi itu, harus ditemukan kesamaan-kesamaan
tipe tersebut.
e. Prinsip V: di samping perbedaan-perbedaan antar kelompok, bahasa-bahasa di dunia
memperlihatkan pila kesamaan-kesamaan tertentu pada setiap tataran yang disebut
semesta bahasa.
f. Prinsip VI: semesta bahasa tidak dapat dijadikan landasan untuk mengadakan
kalsifikasi, kecuali kalau digabungkan dengan tipe-tipe tertentu dalam tiap kelompok
bahasa.
BAB II

TIPOLOGI FONOLOGIS

1. Konfigurasi Fonem
Konfigurasi fonem adalah gambaran mengenai posisi fonem-fonem yang dimiliki sebuah
bahasa dari posisi alat-alat ucap manusia.
1.1 Konfigurasi vocal
Peta vocal sebuah bahasa dilihat dari posisi alat-alat ucap manusia untuk
menghasilkan vocal.
1.2 Konfigurasi konsonan
Konfigurasi konsonan yang biasanya dinyatakan dengan peta konsonan. Proses
artikulatoris yang sangat menentukan jenis konsonan adalah artikulatoris, titik artikulasi,
jalan udara, dan hambatan udara.
2. Ciri-ciri Distingtif
Menurut buku Fundamentals of Language, ciri distingtif beserta spesifikasinya
didasarkan pada dua hal, yaitu berdasarkan ciri sonoritas dan ciri tonalitas.
2.1 Ciri Sonoritas
Ciri-ciri sonoritas fonem diukur berdasarkan jumlah dan konsentrasi energy dalam
spectrum dan dalam waktu.
- Vokalik >< Nonvokalik
- Konsonantal >< Nonkonsonantal
- Kompak >< longgar
- Tegang >< Kendur
- Bersuara >< Tak bersuara
- Oral >< Nasal
- Kontinu >< Diskontinu
- Lengking >< Lembut
- Hambat >< Taklambat
2.2 Ciri Tonalitas
Berdasarkan ciri-ciri tonalitas yang ditandai oleh dua sisi yang paling jauh dari
spectrum frekuensi, maka dapat dibedakan menjadi.
- Berat >< Tajam
- Sempit >< Lapang
- Tajam >< Taktajam
3. Ciri-ciri Prosodi
Ciri prosodi adalah ciri yang tidak inheren dalamsuatu bunyi, tetapi hanya ditambahkan
saja pada suatu bunyi atau rangkaian bunyi, dengan atau tanpa mempengaruhi kualitas
inherennya.
4. Harmoni Vokal dan Umlaut
Suatu gejala atau peristiwa kebahasaan, di mana suatu kelas fonem vocal tertentu tidak
akan muncul dalam suatu lingkungan dari suatu kelas vocal lainnya.
5. Fonem Distingtif yang Khusus
Klasifikasi tipologi fonologi dapat pula dilakukan dengan mempergunakan fonem-fonem
distingtif yang khusus yang dimiliki bahasa-bahasa tertentu. Fonem distingtif khusus ini
jumlahnya tidak banyak, di samping itu bahasa yang memilikinya juga tidak banyak.
Sehingga itu bahasa yang dijadikan landasan klasifikasi mondial, jumlah anggota kelasnya
terlalu sedikit, semetara kelas lainnya terlalu banyak anggotanya.
6. Relasi Konsonan-Vokal
Sedikit sekali telah dilakukan analisa mengenai relasi sintagmatik antara vocal dan
konsonan pada pelbagai bahasa, sehingga pengetahuan kita mengenai hal itu juga masih
sangat sedikit. Sebaliknya kalau diusahakan mengadakan klasifikasi berdasarkan
keseimbangan keseimbangan antara vocal dan konsonan, mungkin akan diperoleh hasil yang
lebih banyak.
7. Distribusi Fonologis
Sebuah fonem selalu diharapkan dapat muncul dalam posisi awal, tengah, dan akhir.
Tetapi dalam bahasa inggris fonem /r/, dan /h/ hanya muncul pada posisi awal suku kata,
sedangkan fonem /ŋ/ hanya muncul dalam posisi akhir suku kata.
BAB III

TIPOLOGI MORFOLOGIS ABAD XIX

1. Tipologi von Schlegel


Friedrich von Schlegel dan August Wilhelm von Schlegel membuat sebuah landasan
tipologi morfologis pada abad XIX.

Landasan klasifikasinya didasarkan pada morfem dasar atau bentuk-bentuk dasar bahasa
(stem) dan morfem-morfem terikat.

Pada tahun 1808, Friedrich mengajukan klasifikasi bahasa dunia menjadi dua kelompok
besar;bahasa berafiks dan bahasa berfleksi. Bahasa fleksi diartikan dengan adanya
perubahan internal dalam akar kata. Misalnya: write-wrote-written.

Sedangkan bahasa infleksi adalah perubahan yang mencakup perubahan paradigmatis (kata
kerja/konjugasi maupun pada kata benda/deklinasi.

August Wilhelm (kakaknya) mengembangkan klasifikasinya menjadi; bahasa tanpa struktur


gramatikal (bahasa Cina), bahasa yang mempergunakan afiks (bahasa Turki), dan bahasa
yang berfleksi (Indo-Eropa). Ia juga membagi bahasa fleksi menjadi dua; bahasa sintetis dan
bahasa analitis. Klasifikasinya didasarkan pada dua hal, yaitu; segmentabilitas dan invariasi.

2. Tipologi von Humboldt


Humboldt mengemukakan empat kelas bahasa; bahasa isolative, aglutinatif, fleksi, dan
inkorporatif.
3. Franz Bopp (1791-1867)
Franz Bopp menolak pembagian bahasa-bahasa yang di kemukakan oleh von
Humboldt, dia lebih menerima pembagian 3 kelas bahasa oleh von Schlegel.
Berdasarkan akar kata bahasa-bahasa dibagi atas:
a. Bahasa dengan akar monosilabis
Kelas bahasa ini tidak mempunyai kemampuan untuk berkomposisi, sehingga tidak
memiliki grammar. Bahasa yang termasuk kelompok ini : bahasa Cina dan bahasa
Vietnam ( relasi gramatikalnya hanya berdasarkan posisi atau urutan kata
b. Bahasa dengan akar kata yang mampu berkomposisi Memiliki grammar karena
kemampuannya yang berkomposisi. Pembentukan katanya adalah pertalian akar
verbal dan pronominal. Bahasa yang termasuk kelompok ini : bahasa Indo-Eropa,
dan semua bahasa yang tidak termasuk kelompok I dan III
c. Bahasa dengan akar disilabis. Akar bahasa ini ditandai oleh 3 konsonan dasar
pembentukan katanya, yang sekaligus menjadi pendukung makna kata. Bahasa-
bahasa yang termasuk kelas ini adalah bahasa-bahasa Semit (Arab, Ibrani). Bentuk
gramatikalnya mampu berkomposisi dan modifikasi intern

Menurut Bopp, akar kata bahasa Semit harusdari 3 konsonan membentuk 2 suku kata (tidak lebih
tidak kurang). Akar bahasa Latin, Yunani, dan Sanskerta ditentukan oleh akarnya sendiri yang
biasanya hanya 1 suku kata. Menghindari istilah aglutinasi karena istilah itu digunakan untuk
bahasa yang dipertentangkan dengan bahasa-bahasa Arya. Menghindari istilah fleksi karena
istilah itu telah diwarnai oleh kesimpangsiuran, von Schlegel menggunakan hanya untuk
menggambarkan modifikasi intern.

4. August Friedrich Pott (1802-1887)


Pott (1848) memperkuat klasifikasi Humboldt, dan membagi bahasa-bahasa menjadi :
a. bahasa-bahasa isolatif (Cina dan Indo-Cina)
bahasa isolatif adalah bahasa infranormal
b. bahasa-bahasa aglutinatif (Tartar, Turki, dan Finn)
Bahasa aglutinatif adalah bahasa infranormal
c. bahasa-bahasa fleksional (Indo-Eropa)
Bahasa fleksional adalah bahasa yang normal
d. bahasa-bahasa inkorporatif (Amerindian)
bahasa inkorporatif adalah bahasa yang bersifat transformal

5. August J.Schleicher (1821-1868)


August J mengemukakan klasifikasi berdasarkan keturunan (Stammbaum Theorie). Ia
juga mengusulkan pola suatu klasifikasi berdasarkan struktur morfologis. August
J.Schleicher berasumsi bahasa-bahasa memiliki makna (Bedeutung) dan relasi
(Beziehung). Ia memperinci klasifikasi proses-proses morfologis dengan unsur-unsur
sebagai berikut :
R = Akar (Radix)
r= akar kedua, bersifat yuksta positif dan terpisah, dan berfungsi menyatakan relasi
tertentu dengan R
s = surfiks
p = perfiks
i = infiks
x = variasi teratur yang ditulis sebagai superscript
Unsurs, p, I, dan x membentuk bagian dari kata dan berfungsi menyatakan relasi bukan
makna

Schleicher mengajukan tipologinya sebagai berikut :


a. Bahasa monosilabis (einsylbig)
Makna dalam bahasa ini merupakan satu-satunya aspek yang dinyatakan oleh bunyi
atau bentuk. Relasi antara kata tidak dinyatakan secara terbuka (eksplisit), hanya di
sugestikan oleh posisi kata. Kelas bahasa ini memiliki kata-kata yang berbentuk : R
atau R + r, kalimatnya terdiri dari R + R + R
Misal : bahasa Cina, bahasa Annam, bahasa Siam, bahasa Birma
b. Bahasa aglutinatif (agglutinirend;anleimend)
Relasi dinyatakan secara fonologis atau morfologis, diafiksasi secara longgar kepada
bunyi makna yang tidak berubah.
Terbagi atas kelas bahasa sebagai berikut :
1) Bahasa aglutinatif yang sitetis
Memiliki kata-kata yang berstruktur :
Rs :seperti bahasa Finno-Ugris
Ri :seperti bahasa Tush
pRs :seperti bahasa Indonesia
2) Bahasa aglutinatif yang analitis
Memiliki kata-kata yang berstruktur :
Rs + r :seperti bahasa Tibet
pR + r
c. Bahasa fleksi
Makna dan relasi dinyatakan oleh bunyi, relasi yang teratur antara bunyi-makna
dinyatakan dengan perubahan-perubahan akar kata atau afiksnya. Terbagi menjadi 2
sub-kelas yaitu :
1) Bahasa fleksi yang sintetis
Kata-katanya mengandung struktur :
Rx :
pRx: bahasa Arab dan Ibrani
Rxsx: bahasaYunani, Latin, Sansekerta
2) Bahasa fleksi yang analitis
Kata-katanya mengandung struktur :
Rxsx+ r :bahasa Perancis, Jerman, Inggris

6. Heymann Steinthal (1823-1898)


Klarifikasi berdasarkan tipe-tipe afiks dan fleksi dalam sebuah bahasa. Landasan
pertama menggunakan bentuk sintaksis relasi antara kata yang membentuk sebuah kalimat.
Landasan kedua pembedaan antara kolokasi (nebensetzend) : kata-kata yang tidak
mengalami perubahan dan derivasi (abwandelend). Berikut ini klasifikasinya :
a. Bahasa-bahasa yang Tak-berbentuk
1) Bahasa kolokatif (misalnya bahasa Indo-Cina)
2) Bahasa derivative
-Memiliki reduplikasi dan prefiks (Polinesia)
-Memiliki sufiks (Turki)
-Memiliki korporasi (Amerindian)
b. Bahasa-bahasa Berbentuk
1) Bahasa kolokatif (misalnya bahasa Cina)
2) Bahasa derivatif
-Dengan yuksta posisi unsur gramatikal (Koptis)
-Dengan perubahan pada akar kata (bahasa Semit)
-Dengan sufiks sebenarnya (Latin, Sansekerta)
7. Max Muller (1823-1900)
Dasar klasifikasi menggunakan akar kata, berikut klasifikasinya :
a. Bahasa Tahap Radikal
Akar kata dipakai sebagai kata, tidak memiliki perubahan fonetis.
Misalnya :bahasa Cina
b. Bahasa Tahap Terminasional
Dua akar bahasa ini dapat disatukan untuk membentuk kata, dan salah satu akar akan
kehilangan kebebasannya.
Misalnya :bahasa-bahasa Amerika dan Eropa kecuali bahasa Arya, Semit, Cina
c. Bahasa Tahap Infleksional
Dua akar dapat disatukan untuk membentuk kata, kedua akar dapat kehilagan
kebebasannya.
Misalnya :bahasa-bahasa Indo-Eropa, bahasa Semit
8. Franz Mistelli
Kriteria utama yang diterapkan pada klasifikasi morfologis ini sebagai berikut :
a. Relasi kata dengan kalimat, kata kerja sebagai inti kalimat.
b. Strukur kata itu sendiri.

Ia membagi bahasa-bahasa di dunia ke dalam enam kelas bahasa, dengan membentuk


dua kelompok besar empat sub kelompok, yaitu :

I. Bahasa-bahasa yang Tak-berbentuk


a. Bahasa dengan kata berbentuk kalimat(Ein-Wort_Satze), misal : bahasa Amerindian
b. Bahasa Tanpa Kata (Nichtwortige Sprache).
Bahasa isolatif akar, misalnya bahasa Cina.
Bahasa isolatif dasar, misalnya bahasa Indonesia.
Bahasa yuksta posing, misalnya bahasa Koptis.
c. Bahasa dengan kata yang jelas, misalnya Turki.

II. Bahasa-bahasa yang berbentuk


a. Bahasa dengan kata yang sesungguhnya, misalnya bahasa-bahasa Indo-Eropa dan
Semit
9. Franz NicolausFinck
Bahasa manusia terdiri dari dua proses, yaitu :
a. Proses penyatuan situasi-situasi riil ke dalam suatu kesatuan
b. Untuk mendapatkan ciri fragmenter (komponen) tersebut harus dilakukan pemulihan ke
dalam suatu kesatuan melalui kata-katanya

Klasifikasi bahasamenurutFinck:
a. Bahasa Isolatif
Bahasa Isolatif akar, seperti bahasa Cina
Bahasa Isolatif Dasar, seperti bahasa Samoa
b. Bahasa Infleksi
Bahasa Infleksi Akar, seperti bahasa-bahasa Semit
Bahasa Inflesksi Dasar, seperti bahasa Yunani
Bahasa Infleksi Kelompok, seperti bahasa Baskia
c. Bahasa yang menggabungkan komponennya, tetapi tidak diinfleksi
Bahasa Yukstaposing, seperti Subiya
Bahasa Aglutinatif, sperti bahasa Turki
Bahasa Inkorporatif, seperti bahasa Eskimo

Simpulan

a. Kelompok I : Friedrich von Schlegel, August W. Schlegel, Welhelm von Humboldt, A.F.
Pott, A.J. Schleicher, F.N. Finck yang menggunakan bentuk-bentuk morfologis kata,
yaitu memperhatikan penggabungan antara bentuk dasar dengan afiksnya.
b. Kelompok II : Franz Bopp, Max Muller, berusaha mengelompokkan bahasa-bahasa
dengan mempergunakan akar kata.
c. Kelompok III : Heymann Steinthal, Franz Mistelli, mempergunakan bentuk dan relasi.
BAB IV

TIPOLOGI MORFOLOGI ABAD XX

1. Edward Sapir
a. Parameter I
Bertalian dengan konsep-konsep gramatikal
Ada 4 macam tipe konsep gramatikal, yaitu :
1) Konsep Dasar yang Konkrit ( konsep yang tidak mengandung relasi tertentu)
Konesp ini dinyatakan oelh kata-kata dasar atau unsur akar kata yang menyatakan :
-obyek : rumah, ayah, bulan, dll
-tindakan : tidur, lihat, makan, dll
-sifat : putih, besar, dll
2) Konsep Derivasional
Konsep ini kurang konkrit, dinyatakan oleh pengafiksasian atas kata dasar atau unsur
akar/ modifikasi intern dari kata dasar/akar kata
3) Konsep Relasional Konkrit
Bersifat lebih abstrak. Konsep ini dinyatakan dengan afiksasi dan modifikasi interen,
menyatakan relasi yang konkrit dengan sebuah kata tertentu
4) Konsep Relasional Murni
Bersifat sangat abstrak. Dinyatakan oleh afiksasi atas kata dasar tau akar kata, dengan
modifikasi interen, dengan kata khusus, atau dengan posisi kata.

Membagi bahasa-bahasa di dunia menjadi 4 kelas bahasa, bahasa-bahasa yang


memiliki konsep, yaitu :

1) Bahasa Relasional Murni Sederhana (Simple Pure Relational Languages)


2) Bahasa Relasional Murni Kompleks (Complex Pure Relational Languages)
3) Bahasa Relasional Campuran Sederhana (Simple Mixed Relational Languages)
4) Bahsa Relasional Campuran Kompleks (Complex Mixed Relational Languages)
b. Parameter II
Menyangkut proses gramatikal atau teknik.
1) Bahasa Isolatif (bahasa yang mengidentifikasi kata dengan akar kata). Tidak memiliki
afiks atau moodifikasi interen. Relasi sintaksis dinyatakan dengan posisi kata dalam
kalimat
2) Bahasa aglutinatif (bahasa yang dapat menambahkan unsur-unsur afiks pada akar
kataya, seperti sufiks, prefiks, infiks, konfiks, tanpa mengalami fusi)
3) Bahasa Fusional (bahasa yang menambahkan afiks tertentu pada unsur akar, tetapi
dalam proses afiksasi itu terjadi fusi pada unsur akar atau unsur afiksnya)
4) Bahasa Simbolism
Merupakan kasus yang lebih ekstrim dari bahasa fusional yang teratur, unsuur
afiksnya tidak jelas, hanya tampak perubahan interen kata
c. Parameter III
Menyangkut tingkat penggabungan morfemik bahasa, dapat menhasilkan 3 tingkat
penggabungan, yaitu :
1) Bahasa Analitis (bahasa yang tidak menggabungkan suatu konsep pada suatu kata,
misalnya bahasa Cina
2) Bahasa Sintetis (bahasa-bahasa yang menggabungkan unsur-unsur/konsep-konsep
tetapi terbatas jumlah penggabungan, misalnya bahasa Latin, bahasa arab, bahasa Finn
3) Bahasa Polisintetis (bahasa-bahasa yang menggabungkan konsep-konsep secara
melimpah berpusat pada satu akar kata, misalnya bahasa Eskimo, bahasa Amerindian
2. J.H.Greenberg
a. Parameter I
Didasarkan pada jumlah morfem, hanya terdiri 1 indeks yaitu indeks Sintetis.
Misal :
“Petani itu bekerja seorang diri dengan sekuat tenaganya di kebun”
Maka dapat dihitung indeks sintetisnya sebagai berikut :
Jumlah morfem : 15 buah
Jumlah kata : 11 buah
Jadi, indeks sintetisnya adalah 15:11 = 1,36
b. Parameter II
Didasarkan pada konstruksi aglutinatif. Menghasilkan indeks Aglutinatif.
Indeks Aglutinatif sebuah bahasa dirumuskan sebagai A/J (A= Aglutinative
contruction,kontruksi aglutinatif dan J=junture/sendi, yang terdapat dalam konstruksi
tadi). Sebuah konstruksi aglutinatif adalah sebuah konstruksi yang terbentuk dari
penggabungan antara dua morfem atau lebih menjaddi sebuah kata, dengan asumsi
aglutinatif diperoleh dengan membagi jumlah konstruksi yang ada dengan jumlah sendi
yang terdapat dalam konstrruksi. Jumlah sendi atau juncture dalam sebuah konstruksi
adalah jumlah morfem dikurangi satu.
Misal :
“Petani itu bekerja seorang diri dengan sekuat tenaganya di kebun”
Kata petani membentuk sebuah kontruksi aglutinatif terdiri dari 2 morfem pe+tani, jungtur
kata pe+tani adalah 2-1 = 1.
Dengan demikian, jungtur dalam kalimat diatas adalah :
(2-1)+(1-1)+(2-1)+(2-1)+(1-1)+(1-1)+(2-1)+(2-1)+(1-1)+(1-1)=
1+0+1+1+0+0+1+1+0+0=5
Jumlah konstruksi aglutinatifnya adalah 5 juga, yaitu : petani, bekerja, seorang, sekuat,
tenaganya.
Indeks Aglutinasinya adalah 5:5 =1
c. Parameter III
Mempersoalkan kelas morfem.
Diperinci menjadi 3 indeks :
1) Indeks Akar per Kata/indeks komposisional
Dirumuskan sebagai R/W (Root/Word) yaitu jumlah morfem dasar/morfem akar dalam
sebuah konstruksi dibagi jumlah kata yang ada.
Misalnya:
“Petani itu bekerja seorang diri dengan sekuat tenaganya di kebun”
Indeks komposisionalnya sebagai berikut :
(1+1+1+1+1+1+1+2+1+1):11=1
2) Indeks Derivasi per Kata/indeks derivasional
Dirumuskan sebagai D/W (Derivation/Word) yaitu jumlah derivasi yang ada dalam
sebuah konstruksi yang dibagi dengan jumlah kata yang ada dalam konstruksi itu.
Derivasi adalah kelas-kelas morfem yang bersama sebuah morfem akar dapat
membentuk sebuah konstruksi baru, dan selalu dapat diganti dengan suatu morfem
akar tertentu, tanpa menimbulkan perubahan dalam konstruksi itu.
Misalnya:
“Petani itu bekerja seorang diri dengan sekuat tenaganya di kebun”

Mengandung bentuk derivasi petani, seorang, sekuat = sebanyak 3 morfem derivasi.


Sehingga indeks Derivasinya adalah 3:11 = 0,27.

3) Indeks infleksi per Kata


Dirumuskan dengan I/W (Inflection/Word), yaitu jumlah infleksi yang ada dibagi
jumlah kata yang ada dalam suatu konstruksi.
Misalnya:
“Petani itu bekerja seorang diri dengan sekuat tenaganya di kebun”
Mengandung indeks infleksi 1:11 = 0,09.
d. Parameter IV
1) Indeks Prefiks per Kata
Indeks ini dirumuskan sebagai P/W (Prefix/Word), yaitu jumlah prefiks yang ada
dalam konstruksi per kata.
Misalnya:
“Petani itu bekerja seorang diri dengan sekuat tenaganya di kebun”
Prefiksnya pe-, be-, se-, se-, sehingga 4:11=0,36
2) Indeks Sufiks per Kata
Indeks ini dirumuskan sebagai S/W (suffix/Word), yaitu rasio antara sufiks dan kata
yang terdapat dalam sebuah konstruksi.
Misalnya:
“Petani itu bekerja seorang diri dengan sekuat tenaganya di kebun”
Kalimat diatas tidak menganduk sufiks, sehingga 0:11=0
e. Parameter V
Mempersoalkan upaya untuk menghubungkan kata-kata satu sama lain dalam sebuah
konstruksi, yaitu dalam sebuah kalimat. Hubungan antara kata-kata dalam kalimat ini
membentuk neksus (nexus), nexus adalah serangkaian kata-kata yang berhubungan dalam
kalimat berdasarkan suatu prinsip.
1) Indeks urutan per neksus/indeks isolasional
Rasio antara jumlah urutan yang penting (order utama) dengan jumlah neksus,
dirumuskan O/N (Order/Nexus). Urutan penting dalam kalimat bahasa Indonesia
adalah SVO (subyek-verb-obyek)
2) Indeks infleksi murni per neksus
Dirumuskan sebagai Pi/N (pure Inflecion/Nexus), Infleksi murni adalah perubahan
bentuk kata sesuai dengan fungsinya dalam kalimat
3) Indeks konkordansi per neksus
Indeks ini diperhitungkan sebagai rasio jumlah morfem infleksi konkordansi (co) yang
ada dalam sebuah kalimat dengan jumlah neksus yang ada, dirumuskan dengan Co/N
(Concordance/Nexus). Sistem konkordinasi adalah kesesuaian bentuk, ender, dan
numerus antara kata benda dan adjektifnya, subjek dan predikatnya.

3. Tipologi C.E. Bazell


Bahasa di klasifikasikan berdasarkan tingkat kesulitan dalam hal :
1) Segmentasi
2) Determinasi kelas
3) Tidak memperihatkan konflik yang jelas antara segmentasi dan determinasi kelas
Terdapat 3 kelas bahasa menurut Bazell :

1) Bahasa yang memiliki tingkat kesulitan segmentasi yang tinggi tetapi sangat mudah
menentukan kelas katanya secara morfologi seperti bahasa Latin, Arab, Yunani,
Sansekerta
2) Bahasa yang sama sekali tidak menimbulkan masalah segmentasi tetapi tidak bisa (sangat
sulit) menentukan kelas katanya secara morfologis, seperti bahasa Cina, Annam
3) Bahasa yang tidak memperlihatkan konflik yang jelas antara segmentasi dan determinasi
kelas, misalnya bahasa-bahasa aglutinatif yang diwakili oleh bahasa Turki.
BAB V

TIPOLOGI SINTAKSIS

1. Pendahuluan

Pada umumnya, ahli-ahli bahasa pada abad XIX lebih tertarik pada klasifikasi yang
didasarkan pada proses-proses dan konsep-konsep morfologis. Pada abad itu sudah ada beberapa
sarjana bahasa yang telah menyinggung beberapa segi dari aspek sintaksis sebagai dasar
klasifikasi, hanya saja tidak berkembang untuk menghasilkan suatu tipologi sintaksis yang
khusus.

Seorang sarjana yang sudah melihat ciri-ciri sintaksis walau belum menggunakannya
dalam suatu klasifikasi bahasa adalah R. Lepsius. Dalam bukunya yang berjudul Nubische
Grammatik (Berlin, 1880) ia sudah mengemukakan gagasan gagasan dasar mengenai tipologi
sintaksis yang didasarkan pada urutan (order).

2. Wilhelm Schmidt

Dalam bukunya yang berjudul Die Sprachfamiliem und Sprachenkreise der Erde (Heidelberg
1928) dan karyanya yang lain, beberapa pendapat dasar Schmidt yang dapat bermanfaat bagi
klasifikasi tipologis adalah sebagai berikut :

1) Preposisi berjalan seiring dengan urutan nominatif - genitif sedangkan postposisi bertalian
dengan urutan genitif - nominatif

2) Urutan nominatif genitif cenderung muncul dengan urutan kata kerja - obyek nominal
sedangkan urutan genitif-nominatif bersamaan dengan urutan obyek nominal-kata kerja.

3) urutan nominatif-genitif biasanya sejalan pula dengan urutan kata benda-adjektif. Sedangkan
urutan genitif nominatif akan muncul bersama-sama dengan urutan adjektif - kata benda.

Dengan mempergunakan hasil temuan Schmidt sebagai dikemukakan di atas, dapat disusun
sebuah skema hubungan antara pelbagai unsur itu sebagai berikut :

a. Bahasa yang memiliki preposisi berkorelasi dengan:-> NfG -> VO -> NA

b. Bahasa yang memiliki postposisi berkorelasi dengan:-> GNf -> OV -> AN

Keterangan:

Nf= Nominatif, G= Genitif, V = Verba transitif, O = Obyek, Nomina, A =Adjektif.


Schmidt sama sekali tidak menyebut bagaimana relasiantara subyek dan predikat. Kesimpulan-
kesimpulan yang diturunkan Lepsius dan Schmidt cukup menggugah para sarjana bahasa,
sehingga akhirnya diterima suatu kesimpulan umum,

Bahwa bahasa-bahasa di dunia ini dapat dibagi atas tiga kelas besar berdasarkan ketiga kriteria
yang diajukan oleh Schmidt di atas, yaitu:

a. Bahasa-bahasa yang memiliki ciri: Adjektif sebelum kata benda (AN), obyek sebelum kata
kerja (OV), genitif sebelum kata benda penguasa (GN), dan adverbium sebelum adjektif yang
diterangkan (AdA).

b. Bahasa-bahasa yang memiliki ciri: Adjektif sesudah kata benda (NA), obyek sesudah kata
kerja (VO), genitif sesudah kata benda penguasa (NG), dan adverbium sesudah adjektif yang
diterangkan (AAd)

c. Bahasa-bahasa yang memiliki kriteria campuran darikedua kelompok di atas.

3. Tipologi Greenberg

Tipologi Greenberg sebenarnya bukanlah sebuah tipologi yang baru. Ia sekadar


mengembangkan apa yang telahdikemukakan oleh Lepsius dan Schmidt dan ahli-ahli lain yang
menerima pendapat kedua ahli tadi. Greenberg mencoba mengembangkan suatu sistematik baru
dengan memperhitungkan tiga unsur (tipe dan sistem) secara bersama-sama, yang disebutnya
dengan istilah Urutan Dasar (Basic Order, yang menyangkut: Urutan relatif antara Subyek, Verb,
dan Obyek; Adposisi; dan Posisi Adjektif atributif terhadap Nomina).

Dalam tulisannya yang berjudul "Some Universals of Grammar with Particular Reference to the
Order of Meaningful Elements" (dalarn Universals ofLanguage,1966),

J.H. Greenberg mengusulkan suatu tipologi yang disebutnya sebagai Tipologi Urutan Dasar
(Basic Order).

Tipologi urutan dasar ini ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu:

(1) Urutan relatif antara Subyek - Verba - Obyek dalamsebuah kalimat berita, yang
dilambangkan dengan S.

(2) Adanya Adposisi, yaitu preposisi lawan postposisi dalam (Subject), V (Verb), O(Object)
suatu bahasa, yangdilambangkan dengan Pr/Po (Preposition/Postposition).

(3) Posisi Adjektif atributif terhadap Nomina. Bila Adjektif mendahului Nomina maka urutan ini
dilambangkan dengan A, dan bila Nomina mendahului Adjektif maka urutan ini dilambangkan
dengan N
Berdasarkan hasil penalaran atas kriteria yang pertama,maka secara potensial dapat diperoleh
enam pola kalimat,

yaitu: SVO, SOV, VSO, VOS, OSV, dan OVS.

Dari keenam peluang pola urutan dasar itu, ada tiga pola urutan dasar yang lebih dominan yaitu
SVO, SOV dan VSO.

4. Tipologi Lehmann dan Vennemann

Dalam kaitannya dengan hasil penelitian Greenberg, Winfred P. Lehman memberi komentarnya
dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam Language (1973, 26: 47-66) berjudul "A Structural
Principle of Language and ItsImplications". Ia membuktikan dua hal berikut:

(1) Urutan subyek tidak relevan dengan tipologi umum sehingga dalam klasifikasi bahasa-bahasa
sebaiknya kita hanya bekerja dengan dua tipe utama bahasa, yaitu: VO dan OV.

(2) Unsur V (Verba) dan C (Obyek) adalah dua unsur yang selalu beriringan, dan bahwa
pembatasnya (modifiernya) ditempatkan pada sisi yang berlawanan dari satu konstituen
perangkat setara lainnya.

Untuk kesimpulan pertama perlu dicatat beberapa hal berikut. Sesuai dengan pola utama
yang diajukan olehGreenberg ada tiga tipe yang dapat disatukan dalam VO.yaitu VSO, VOS, dan
SVO. Ternyata VSO dan VOS dapat disusutkan dalam pola VO, karena sangat tinggi korelasinya
dengan parameter urutan kata yang lain, sedangkan urutan SVO tidak berkorelasi dengan
parameter yang lain.

Bila kita mengetahui bahwa urutan dasar sebuah bahasa adalah VS atau VOS, kita dapat
meramalkan adanya parameter urutan dasar yang lain. Demikian pula dengan mengetahui bahwa
urutan dasar sebuah bahasa adalah SOV kita dapat meramalkan pula parameter urutan kata yang
lain. Tetapi kita tidak bisa meramalkan hal itu dengan urutan SVO.

Untuk menunjukkan hal itu perlu diperhatikan hubungan urutan dasar dengan parameter lain
sebagai diperlihatkan dalam skema berikut :

a. VSO -> Pr - NG - NA

b. VOS -> Pr - NG - NA

c. SVO -> Po - GN - NA atau

Pr - NG - AN dan lain lain

d SOV -> Po - GN - AN
Dari skema di atas tampak bahwa VS0 dan VOS lebihbanyak menunjukkan kesamaan
sedangkan SOV berada diujung yang lain. Tipe bahasa SVO memperlihatkan perbedaan dengan
kedua kelompok tadi. Skema di atas sekaligus memperlihatkan bahwa bila sebuah bahasa
memiliki tata urut VSO atau VOS, maka kıta dapat meramalkan urutan parameter yang lain (Pr-
NG-NA), dan kalau sebuah bahasa mempunyai urutan dasar SOV, maka kita dapat meramalkan
pula parameter lain (Po-GN-AN), Tetapi kalau bahasa itu memiliki urutan dasar SVO, kita tidak
dapat meramalkan apa pun.

Catatan kedua adalah mengenai istilah yang digunakanoleh Lehmann. Ia menggunakan


urutan VO dan OV juga sebagai bahasa-bahasa VO dan bahasa-bahasa OV. Namun sebagai
sudah dikatakan di atas tidak semua bahasa OV misalnya memiliki parameter lain, yakni
memiliki juga Po-GN-AN. Sehingga adalah lebih baik menggunakan istilah lain untuk menyebut
kelas bahasanya daripada mengguna kan urutan dasar untuk menyebut kelas bahasanya.

Kesimpulan kedua dapat dijelaskan sebagai berikut: Dalam bahasa VO, unsur setara V
adalah O yang diletakkansesudah V. Dengan demikian, modifier V (khususnya kata kerja bantu)
akan ditempatkan di sebelah kiri V. Demikian pula, unsur setara O adalah V, yang terletak
sebelum O; dengan demikian modifier O (khususnya adjektif, klausa relatif, dan posesif) akan
ditempatkan sebelah kanan O.

Dalam bahasa OV, unsur setara utama V adalah O yangditempatkan sebelah kiri V; karena
itu, modifier V akanmengikuti V (misalnya kata kerja bantu yang ditempatkan sebelah kanan V):
sebaliknya unsur setara utama dari O adalah V, yang terletak di sebelah kanan O, karena itu
modifier dari O (yaitu adjektif, klausa relatif dan posesif) akan ditempatkan sebeiah kiri O.

Theo Vennemann (1972) juga mengadakan penelitian mengenai hal yang sama. Ia
mengajukan suatu pendapat mengenai hubungan antara semua parameter yang diajukan oleh
Greenberg: VO-Pr-NG-NA dan OV-Po-GN-AN. Ia cukup berhasil memperlihatkan bahwa dalam
tiap konstruksi, relasi antara Verba dan Obysk, antara Nomina dan Adjektif, dan lain lain.

5. Tipologi Berdasarkan Kelas Kata

Kelas kata atau kategori kata merupakan unit yang paling kecil dari kalimat secara universal
semua bahasa memiliki apa kelas kata tertentu seperti kelas kata kerja kata benda kata sifat kata
ganti dan kata bilangan dalam hal-hal tertentu terdapat kelas kata dalam beberapa bahasa
sementara bahasa yang lain tidak memilikinya. Misalnya ada memiliki artikula sementara bahasa
yang lain tidak memiliki kelas kata ini berdasarkan kenyataan ini bahasa-bahasa dapat
diklasifikasi atas bahasa yang memiliki artikula dan bahasa yang tidak memiliki artikula.

6. Numeri, Gender, Konkordansi

Walaupun merupakan kategori gramatikal, numeri (jumlah), gender (genus), dan


konkordansi, baru beroperasidalam bidang sintaksis, atau beroperasi dalam kaitannva dengan
kata-kata lain. Karena alasan tersebut, maka ketiga kategori gramatikal tersebut dimasukkan
dalam tipologi sintaksis, bukan dalam tipologi morfologis.

6.1 Numeri

Yang dimaksud dengan numeri (numerus) adalah kategori gramatikal berujud perubahan-
perubahan bentuk kata un tuk menyatakan jumlah. Ada bahasa yang tidak memiliki bentuk-
bentuk gramatikal yang menyatakan jumlah, ada yang memiliki perubahan bentuk atas tunggai
(singularis), banyak (pluralis), duaan (dualis), dan tigaan (trialis). Ada juga bahasa yang
mengenal empat kategori jumlah tetapi yang berbentuk tunggai, dualis, sedikit (paucal), dan
jamak (multiplex).

Bila dikatakan suatu bahasa memiliki bentuk tunggal dan jamak untuk kata benda, maka
hal it berarti ia memiliki bentuk-bentuk gramatikal untuk menyatakan barang atau hal yang
berjumlah satu atau sebuah, dan juga memiliki bentuk gramatikal untuk menyatakan barang yang
berjum lah banyak (dua atau lebih).

Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, maka bahasa-bahasa dapat diklasifikasi atas:

(1) Bahasa yang tidak mengenal numeri

(2) Bahasa yang mengenal dua numeri: singularis (tunggal) dan pluralis (Jamak)

(3) Bahasa yang mengenal tiga numeri: singularis, pluralis dan dualis

(4) Bahasa yang mengenal empat numeri: singularis, pluralis, dualis, dan trialis.

6.2 Gender

Gender (genus) dapat diartikan sebagai sebuah subkategori dalam sebuah kategori
gramatikal (seperti nomina, prono mina, adjektiva) dari sebuah bahasa, yang sebagian bersifat
arbitrer dan sebagian bersifat non-arbitrer, yang didasarkan pada ciri-ciri yang mampu
membedakan (bentuk, tingkat sosial, cara keberadaan, atau seks) dan menentukan kesesuaian
(konkordansi) bentuk gramatikal dengan kata-kata yang lain.

Jumlah gender yang dimiliki bahasa-bahasa berbeda-beda jumlahnya. Ada bahasa yang
memiliki dua gender: maskulin dan feminin, seperti bahasa Perancis, Arab, dan Ibrani. Ada juga
bahasa yang memiliki tiga gender (maskulin, feminin, dan neutrum).

Dengan mempergunakan gender sebagai dasar klasifikasi,

bahasa-bahasa dapat dibagi menjadi:

(1) Bahasa yang tidak mengenal gender, seperti bahasa Indonesia, Jawa, dan Batak.
(2) Bahasa yang mengenal dua gender: maskulin dan feminin. Misalnya, bahasa Perancis, Arab,
dan Ibrani.

(3) Bahasa yang mengenal tiga gender: maskulin, feminin, dan neutrum. Misalnya, bahasa Latin,
Jerman, dan Sansekerta

6.3 Konkordansi

Konkordansi adalah suatu kategori gramatikal berupapersesuaian antara kata benda dan
kata sifat, atau antara subyek dan predikat. Seperti halnya dengan numeri dan gender,
konkordansi tidak dijumpai secara universal. Dengan demikian ciri ini dapat dipergunakan untuk
mengadakan klasifikasi bahasa-bahasa.

Konkordansi antara kata benda dan adjektif dapat bertalian dengan gendernya, dapat juga
bertalian dengan numerinya. Bila gender kata benda penguasa adalah maskulin maka kata sifat
yang mengikutinya harus berbentuk maskulin, dan bila kata bendanya feminin, maka kata sifat
yang mengikutinya juga harus feminin. Demikian bila kata bendanya tunggal atau jamak maka
kata sifatnya juga harus tunggal atau jamak.

Demikian pula, bila kata bendanya berubah kasus dari nominatif ke akusatif misalnya,
maka kata sifatnya juga ikut berubah menurut kasus tersebut. Konkordansi antara subyek dan
predikat mengikuti kaidah berikut: bila subyek kalimat singularis, maka katabkerjanya juga
singularis, bila subyek kalimat pluralis, maka kata kerjanya juga pluralis.

Konkordansi yang berlangsung antara subyek kalimat dengan predikat kalimat


menyangkut persona dan semua bentuk kata kerjanya, baik menyangkut kala, modus, maupun
diatesisnya.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan dalam bahasa-bahasa sebagai diuraikan di atas, maka bahasa-


bahasa dapat diklasifikasi atas:

(1) Bahasa yang tidak mengenal konkordansi

(2) Bahasa yang mengenal konkordansi

Dalam hubungannya dengan konkordansi dan dengan memperhatikan data-data di atas, ada
baiknya diperhatikan beberapa kesimpulan yang diajukan oleh Greenberg mengenai semestaan
bahasa, seperti berikut:

(1) Jika subyek atau obyek nominal harus konkordans

dengan kata kerjanya dalam hal gender, maka adjektifnya juga selalu harus konkordans dengan
kata bendanya dalam hal gender. Bila kaidah di atas benar, dan adanya kenyataan bahwa bahasa
Arab memenuhi persyaratan konkordansi antarasubyek dan kata kerja dalam hal gender, maka
harus dapat disimpulkan pula bahwa adjektif dalam bahasa
Arab juga harus konkordans dengan kata bendanya dalam hal gender.

(2) Bila kata kerja dalam sebuah bahasa konkordans dengan subyek atau obyek nominal dalam
hal gender, maka kata kerjanya harus konkordans pula dengan subyek atau obyek nominalnya
dalam hal numerus.
BAB VI

TIPOLOGI SEMANTIK

1. Pendahuluan

Klasifikasi tipologi semantik memberi peluang yang cukup besar,walaupun situasinya


jauh lebih sulit. Hal ini terjadi karena bidang semantik lebih banyakmemperlihatkan kemiripan
antar-bahasa. Perbedaan-perbedaan antara bahasa lebih cenderung menunjukkan derajat atau
tingkat kuantitas unsur-unsur semantis pada tiap bahasa. Prinsip-prinsip umum klasifikasi bahasa
tetap beroperasi di tataran ini, namun tak memberi hasil yang jelas dan pasti. Dalam tipologi
sintaksis dikemukakan juga aspek semantiknya yaitu unsur yang disebut struktur bawah.

Mengadakan klasifikasi bahasa berdasarkan fonologi, morfologi, dan sintaksis adalah hal
yang dianggap biasa, karena perbedaan fonologi, morfologi, dan sintaksis dalam bahasa sudah
menjadi pengetahuan umum. Sebaliknya, perbedaan dalam bidang semantik antara bahasa yang
satu dengan bahasa yang lain belum banyak diketahui.

Dengan mengakui bahwa terdapat perbedaan fonologi, morfologi, dan sintaksis antar
bahasa, maka secara implisit terkandung pula pengertian bahwa dalam bidang semantik pun
harus ada perbedaan antar bahasa.

Kalau kita menerima kenyataan bahwa ada bahasa yang memiliki bentuk gramatikal
untuk menunjukkan perbedaan gender, perbedaan kasus, dan sebagainya, sedangkan bahasa yang
lain tidak memilikiupaya distinghtif tersebut, maka hal itu juga menunjukkan bahwa ada aspek
semantik yang berbeda. Sekurang-kurangnya seinantik leksikal akan memperlihatkan variasi
antar-bahasa, karena struktur leksikal bahasa tidak selalu seragam.

Tiap bahasa memiliki ciri-ciri yang khas dalam bidang semantik, sesuai dengan
pengalaman-pengalaman ekstralinguistiknya, dan ciri-ciri yang khas yang dipengaruhi oleh
struktur bahasanya masing-masing.

Bila kita menengok sebentar ke sejarah perkembangilmu bahasa, maka relasi antara bunyi
(bentuk) bahasa dan maknanya sudah menjadi bahan perdebatan sejak zaman Yunani Kuno,
sekitar abad IV sebelum Masehi. Ahli-ahli filsafat masa itu sudah mempersoalkan apakah ada
hubungan antara bentuk (kata) dengan barangnya (referennya).

Ferdinand de Saussure (1857-1913) daiam bukunya Cours de Linguistique Générale,


menganggap kearbitreran hubungan antara kata dan referennya sebagai suatu prinsip yang
fundamental dalam bahasa. Dengan penegasan ini, ia memasukkan dirinya dalam kelompok
konvensionalis atau anomalis. Sementara itu, aliran naturalis mempertahankan hubungan
alamiah itu dengan mengajukan onomatopoeia sebagai bukti.
Namun onomatopoeia, sangat sedikit jumlahnya. Sebab itu, pendapat konvensionalis
yang mengatakan bahwa bahasa itu pada prinsipnya merupakan konvensi, tetapi dalam hal-hal
tertentu bisa bersifat alamiah, lebih dapat diterima.

De Saussure melihat adanya peluang untuk membagi bahasa-bahasa atas:

(1) Bahasa-bahasa leksikal yaitu bahasa-bahasa yang hanyamemiliki kata-kata tanpa konsep-
konsep gramatikal,sehingga hanya memiliki pengertian kata yang konvensional.
Misalnya bahasa Cina dan Annam.

(2) Bahasa-bahasa gramatikal, yaitu bahasa-bahasa yang memiliki konsep-konsep gramatikal


yang dipadukan pada bentuk dasar. Konsep gramatikal itu dapat berupakategori kala,
numeri, gender, pelaku, bentuk, hal, dansebagainya. Misalnya bahasa-bahasa Indo-Eropa,
Semitdan Austronesia.

Di samping F. de Saussure yang mengusulkan klasifikasi semantik yang menghasilkan bahasa-


bahasa leksikal danbahasa-bahasa gramatikal, seorang sarjana lain, Stephen Ullmann (1981:
257), juga menyarankan tipologi semantik berdasarkan beberapa tipe berikut

(1) Frekuensi relatif dari kata-kata transparan dan nontransparan.

(2) Frekuensi relatif kata khusus dan kata generik

(3) Upaya-upaya khusus untuk meningkatkan efek emotif.

(4) Pola-pola sinonim.

(5) Frekuensi relatif polisemi

(6) Frekuensi relatif homonim.

(7) Ketergantungan relatif kata dan peranan konteks dalam menentukan makna.

Uraian mengenai klasifikasi tipologis semantik berikut ini dikembangkan dengan memperhatikan
pendapat Ulimann dan beberapa segi lain di bidang semantik. Butir-butir pembahasan itu
menyangkut: Kata transparan dan non transparan, kata khusus dan kata generik, nada emotif, dan
kenyawaan.

2. Kata Transparan dan Non-transparan

Kata-kata transparan adalah kata yang masih mencerminkan asal-usulnya, sedangkan kata non-
transparan (opaque) adalah kata-kata yang tidak mencerminkan asal-usulnya.

 Kata-kata onomatopoetik termasuk kata transparan, karena ia menggambarkan pada kita


mengenai asal-usulnya, yaitu sebagai peniru bunyi yang ada di alam ini. Kata-kata
lainnya, terutama kata dasar bersifat non-transparan karena tidak dapat memantulkan
asal-usulnya.

 Kata-kata turunan, seperti pekerjaan, perumahan, keadaan, dan sebagainya termasuk


kata-kata transparan karena komponen-komponennya dapat menggambarkan asal-
usulnya, sementara masing-masing komponen bersifat non-transparan.

Karena kata-kata yang bersifat transparan dapat mencerminkan asal-usulnya, maka kata-kata itu
disebut sebagai kata yang bermotivasi. Sebaliknya, kata-kata non-transparan disebut kata-katá
yang tak bermotivasi. Lebih jauh, kata-kata yang bermotivasi dapat dibagi berdasarkan cara -
cara kata itu memperoleh motivasinya.

Ada tiga tipe motivasi, yaitu:

(1) Motivasi Fonetis

(2) Motivasi Morfologis

(3) Motivasi Semantis

Ketiga tipe motivasi di atas akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini dengan melihat
kemungkinan apakah tiap tipe dan sub-tipenya dapat dijadikan landasan klasifikasi.

2.1 Motivasi Fonetis

Kata-kata yang mengandung motivasi fonetis dapat dikelompokkan lagi menjadi dua tipe
utama, tergantung daricara atau penafsiran mengenai asal-usul bunyi yang terkandung dalam
sebuah kata, yaitu kata yang bersifat onomatopoetis primer dan yang bersifat onomatopoetis
sekunder.

Kata-kata yang bersifat onomatopoetis primer atau disebut onomatopoeia, adalah kata-
kata yang dibentuk karena usaha meniru bunyi-bunyi di alam, seperti: kokok, aum, gagak,
ringkik, gonggong, debur, dan sebagainya.

Boleh dikatakan semua bahasa di dunia memiliki kata-kata peniru bunyi ini. Walaupun
sumber bunyi yang ditiru itu identik namun tiap masyarakat bahasa menangkap bunyi-bunyi
alamiah itu dan menirunya dengan cara yang agak berlainan, seperti tercermin dari kata-katanya
yang berbeda-beda itu.

Motivasi fonetis kedua adalah motivasi yang disebut onomatopoeia sekunder atau disebut
juga simbolik bunyi.

Tipe ini berujud nilai bunyi individual. Ada semacam penafsiran atau penilaian yang
mengatakan bahwa tiap bunyi menimbulkan semacam sugesti tertentu, misalnya /i/ dan /e/
mensugestikan sesuatu yang kecil dan tinggi; bunyi /a/, /u/, dan /o/ mensugestikan sesuatu yang
besar, rendah, dan mendalam; bunyi-bunyi sengau mensugestikan sesuatu yang bergaung; bunyi
/p/, /t/, dan /k/ mensugestikan sesuatu yang tajam dan keras; bunyi sibilan mensugestikan sesuatu
yang mendesis; bunyi /r/ menyatakan sesuatu yang bergetar. Dengan demikian, kata-kata yang
dibentuk dengan unsur-unsur bunyi itu dapat mensugestikan sifat-sifat tersebut.

Semua bunyi yang menyatakan 'gaung' mengandung fonem nasal (dengung, gaung, aum),
semua bunyi yang menyatakan desis mengandung fonem sibilan (desas, desus, desis), dan
sebagainya. Walaupun dalam kenyataan terdapat kata-kata yang tidak sejalan dengan pendapat
ini, frekuensi umum cenderung menunjukkan atau membenarkan adanya kesemestaan mengenai
nilai onomatopoeia, terutama onomatopoeia sekunder ini. Tetapi bila diperhatikan secara
cermat,bahasa memiliki frekuensi kata-kata onomatopoetis primer dan sekunder yang berbeda.
Ada bahasa yang lebih banyak memiliki kata-kata onomatopoeia daripada bahasa yang lain.

Sehingga berdasarkan kenyataan ini bahasa-bahasa dapat diklasifikasi menjadi:

(1) bahasa yang memiliki motivasi fonetis yang tinggi, dan

(2) bahasa yang memiliki motivasi fonetis yang rendah.

2.2 Motivasi Morfologis

Motivasi morfologis terjadi bila sebuah bentuk dapat menunjukkan asal-usulnya berdasarkan
bentuk morfologisnya. Kata-kata seperti: rumah, batu, jalan, pohon, dan sebagainya tidak dapat
menunjukkan asal-usul pembentukannya. Dengan kata lain, kata-kata itu tidak bermotivasi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahasa-bahasa dapat diklasifikasi atas:

(1) bahasa-bahasa yang secara relatif memiliki kata bermotivasi yang sangat tinggi, seperti
bahasa Eskimo dan Amerindian;

(2) bahasa-bahasa yang secara relatif memiliki kata bermotivasi yang cukup tinggi, seperti
bahasa-bahasa Indo-Eropa;

(3) bahasa-bahasa yang secara relatif memiliki kata bermotivasi yang sedang sampai sedikit,
seperti bahasa Turki dan Austronesia; dan

(4) bahasa-bahasa yang tidak memiliki kata bermotivasi seperti bahasa Cina dan Annam.

2.3 Motivasi Semantik

Yang dimaksud dengan motivasi semantik adalah motivasi yang timbul karena
persamaan antara dua hal. Kesamaan antara kedua hal itu dapat bersifat metaforis yang
transparan atau metonomia yang transparan.
Dengan meneliti bahasa-bahasa berdasarkan frekuensi relatif dari kandungan kata-kata
yang bermotivasi semantik ini, kita mendapat pula peluang untuk mengadakan klasifikasi
berdasarkan tipe kebahasaan ini.

Dalam hal ini, kita dapat membedakan bahasa-bahasa atas:

(1) bahasa-bahasa yang bermotivasi semantik tinggi,

(2) bahasa-bahasa yang bermotivasi semantik sedang, dan

(3) bahasa-bahasa yang bermotivasi semantik rendah

3. Kata Khusus dan Kata Generik

Semua bahasa memiliki kata yang disebut kata-kata khusus dan kata generik, dengan frekuensi
yang berbeda-beda dari satu bahasa ke bahasa yang lain.

 Yang dimaksud dengan kata khusus adalah kata-kata yang mengacu kepada obyek-obyek
yang sempit luas lingkupnya,

 sedangkan kata generik adalah kata-kata yang mengacukepada kelas barang atau
peristiwa yang luas, yang diikat oleh ciri-ciri yang sama-sama dimilikinya.

Kata anjing adalah kata yang khusus bila dibandingkan dengan kata binatang yang mencakup
kata anjing tadi. Tetapi herder adalah kata yang lebih khusus lagi bila dibandingkan dengan kata
anjing yang lebih luas cakupannya.

Kata-kata generik sering dianggap pula sebagai kata yang mengacu kepada sesuatu yang abstrak.
Namun anggapan ini mengandung bahaya, karena kata abstrak dapat dipertentangkan dengan
kata konkrit, yang sama-sama tidak harus mencakup masalah kelas.

Kata-kata khusus dalam pelbagai bahasa dapat terjadi karena beberapa hal berikut:

(1) sifat bangsa,

(2) kondisi yang berlainan,

(3) kata kerabat, dan

(4) sistem warna.

Keempat hal tersebut akan memberi peluang tersendiri sebagai dasar klasifikasi.

3.1 Sifat Bangsa


Bila diadakan perbandingan antara beberapa keta bahasa Perancis, Jerman, dan Inggris,
maka akan tampak bahwa orang Perancis lebih senang menggunakan kata-kata abstrak
dibandingkan dengan orang Jerman dan Inggris, yang lebih senang mengadakan spesifikasi bagi
hal yang dinyatakan dengan satu kata saja dalam bahasa Perancis.

Bila kita mengadakan perbandingan antara bahasa bahasa nusantara akan terlihat pula hal
seperti digambarkan diatas. Ada kecenderungan bahasa Jawa memiliki banyak kata untuk
mendeskripsikan hal hal yang berlainan dalam gerak, perbuatan dan sebagainya.

3.2 Kondisi yang Berlainan

 Bahasa Eskimo memiliki kata-kata yang berbeda-beda untuk tipe-tipe dan kondisi salju
yang berlainan, sementara bahasa Inggris dan banyak bahasa Eropa lainnya, di mana salju
tidak terlalu mempengaruhi hidup mereka, hanya mengenal satu kata saja. Perbedaan
antara jenis-jenis salju cukup dilukiskan dengan memberi keterangan tertentu di belakang
kata salju.

 Demikian juga beberapa dialek Arab memiliki kata yang berbeda-beda untuk macam-
macam jenis unta, karena kehidupan yang intim dengan macam-macam unta yang
dikenalnya. Bahasa Indonesia membedakan padi, gabah, beras,nasi, bubur, sawah,
sementara bahasa Inggris hanya mengenal sebuah kata generik rice untuk menyebut
semua kata khusus di atas, serta sawah harus dinyatakan dengan dua kata, yaitu rice field.

 Bahasa Lamalera membedakan bermacam-macam ikan pari dan ikan paus dengan istilah-
istilah yang khuşus, karena kehidupan yang intim dengan ikan ikan tersebut. Bagi
mereka, ikan pari bisa berarti: belela, bou, moku, paé, kajolólo, belepa, atau kérakoiā.
Tiap jenis pari di atas masih dibeda-bedakan lagi menjadi beberapa

 sub-jenis, yang hanya dapat dikenal oleh mereka yang intim dengan jenis ikan itu. Ikan
paus disebut dengan pe!bagai nama sesuai dengan jenis yang berlainan: lélangaji,
kotekelema, kelaru, seguni, temublä, temubéla, fefakumu, dan sebagainya.

 Orang Zulu mempunyai istilah khusus untuk sapi merah, sapi putih, dan sebagainya, dan
tak ada istilah generik untuk sapi.

 Penduduk asli Tasmania tidak memiliki kata generik untuk pohon, tetapi ada kata-kata
khusus untuk bermacam-macam pohon karet (para) dan bermacam-macam pohon akasia.

 Dalam bahasa Bakairi di Brazilia Tengah, ada kata- kata khusus untuk bermacam-macam
burung kakatua tetapi tak ada kata generik untuk tiap jenis burung itu.
3.3 Kata Kerabat

Kata-kata kerabat sudah menarik perhatian para ahli bahasa dan antropolog, karena sering
membentuk makna yang khusus dalam tiap bahasa. Sebaliknya, ada bahasa yang lebih jauh
membedakab anggota-anggota kerabat yang lebih tua dan lebih muda dari si pembicara atau
berdasarkan penghormatan.

3.4 Sistem Warna

Persepsi warna mencakup tiga parameter, yaitu corak warna, kecerahan warna, dan titik
jenuh. Telaah tradisional mengenai istilah warna menghasilkan kesimpulan bahwa tiap bahasa
memiliki batas warna yang berlainan.

Dalam penelitian lain mengenai warna, B. Berlin dan Kay (1969) memusatkan perhatian
mereka pada istilah warna. Mereka mencatat bahwa ada pola yang jelas mengenai warna:
Walaupun batas warna berlainan antar bahasa, tetapi ada kesepakatan mengenai fokus.

4. Nada Emotif

Bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat
bahasa, tetapi ia juga berfungsi sebagai alat pengungkap perasaan atau emosi, malahan juga
sebagai alat penggerak untuk menimbulkan emosi pada orang-orang lain. Kedua fungsi itu
(fungsi komunikatif dan fungsi emotif) selalu hadir dalam tiap tutur dengan proporsi yang
diperlukan: adakalanya dengan fungsi komunikatif yang lebih dominan, kadangkala dengan
fungsi emotif yang lebih dominan, atau kadang-kadang seimbang. Fungsi komunikatif lebih
menekankan aspek simbolik atau referensial, yang biasanya diungkapkan dalam pernyataan-
pernyataan, sementara fungsi emotif lebih menekankan aspek perasaan dan sikap atau penilaian.

Bila nada emotif dari semua bahasa di dunia, atau sekurang-kurangnya sejumlah bahasa, diteliti
secara cermat, maka dapat diadakan pula klasifikasi berdasarkan aspek ini.

Berdasarkan frekuensi nada emotif yang terdapat dalam tiap bahasa, bahasa-bahasa dapat
diklasifikasi atas:

a. bahasa-bahasa yang secara relatif memiliki banyak kata yang bernilai emotif, dan

b. bahasa-bahasa yang secara relatif memiliki sedikit kata yang mengandung nilai
emotif.
Antara kedua kelas ini, bisa saja terdapat bermacam-macam bahasa dengan frekuensi kata emotif
yang berbeda-beda tingkatnya.

4. Sumber Nada Emotif

Sumber nada emotif menurut Ullmann adalah antara lain: faktor fonetis, konteks,
slogan, derivasi emotif dan evaluasi. Faktor fonetis yang dapat menimbulkan nilai emotif
adalah penggunaan kata-kata onomatopoeia, penggunaan kata-kata yang mengandung bunyi-
bunyi dengan nilai tertentu (motivasi fonetis sekunder). Sumber nada emotif ini biasa digunakan
para sastrawan dalam puisi. Terlepas dari fungsi bunyi bahasa yang dapat menimbulkan rasa
senang atau tidak senang, ada bahasa yang memiliki struktur kata yang secara umum lebih indah
atau enak didengar dari bahasa lainnya.

Penggunaan kata-kata dalam konteks tertentu dapat juga menimbulkan perasaan tertentu.
Peluang ini juga banyak digunakan para penyair. Slogan slogan yang sering dipakai entah
sebagai moto atau untuk propaganda, memanfaatkan juga kemungkinan-kemungkinan ini.

4.2 Upaya Nada Emotif

Upaya-upaya kebahasaan yang dapat meningkatkan nada emotif dapat berbentuk: upaya
fonetis, upaya leksıkal, dan upaya sintaksis. Upaya fonetis, atau sering disebut juga dengan
istiiah fonostilistik, dapat berbentuk tekanan keras yang disertai atau tidak disertai pemanjangan
pada puncak silabis dari suku kata yang ditekan. Upaya leksikal biasanya dilakukan secara
eksplisit melalui perbandingan, atau secara implisit melalui metafora. Dalam bahasa Jawa
terdapat kata-kata khusus yang menyatakan gerak yang cepat: cespleng. plong, ger, dan
sebagainya.

Upaya sintaksis biasanya berbentuk perubahan tata urutan kata dalam kalimat. Gaya
bahasa retorik dapat digunakan secara baik sebagai upaya yang efektif: hiperbol, gaya klimaks,
anastrofa, preterisio, pertanyaan retorik (erotesis) dan sebagainya (lihat Keraf, Diksi dan Gaya
Bahasa).

5. Kenyawaan

Kenyawaan (animacy) adalah suatu hirarki mengenai kehidupan yang terdiri dari
peringkat komponen-komponen dari yang paling tinggi hingga ke paling rendah: manusia
binatang-tak-bernyawa. Ada bahasa yang memiliki upaya kebahasaan yang secara terperinci
membedakan lagi hirarki itu atas: manusia (human) versus non-manusia (non-human), bernyawa
(animate) versus tak bernyawa (inanima) atau dengan cara-cara lain yang lebih terperinci.

Kategori kenyawaan ini sering tidak berdiri sendiri, tetapi dikaitkan dengan kategori-
kategori lain, entah dengan kategori morfologis, leksikal, atau sintaksis.
Bahasa-bahasa yang membedakan gender atas maskulin, feminin, dan neutrum pada
dasarnya bertalian juga dengan kenvawaan. Gender maskulin dan feminin pada dasarnya
bertalian dengan manusia, atau lebih jauh bertalian dengan sesuatu yang bernyawa, baik manusia
maupun binatang serta tumbuh-tumbuhan. Sebaliknya, neutrum bertalian dengan kenyawaan
yang rendah yaitu sesuatu yang tak bernyawa.

Dalam perkembangan lebih lanjut, ada kata-kata benda yang non-manusia diperlakukan
dengan kasus-kasus atau sifat-sifat seperti manusia, namun dalam beberapa kasus tertentu kata-
kata benda yang non-manusia itu tetap diperlakukan seperti sesuatu yang tak-bernyawa, misalnya
mengenai kata ganti. Sistem kata benda dalam bahasa Inggris tidak membedakan manusia dan
non-manusia, atau bernyawa dan tak-bernyawa, tetapi dalam pronomina personalianya
membedakan manusia dan non-manusia: he dan she untuk manusia dan it untuk non-manusia,
tetapi dalam bentuk jamaknya tidak lagi membedakan kategori itu.

Bahasa Indonesia tidak memiliki ciri-ciri morfologis untuk membedakan manusia dan
non-manusia, atau bernyawa versus tak-bernyawa, tetapi dalam frasa penggolong (classifier) ada
kata-kata tertentu yang dipakai untuk membedakan kategori kenyawaan itu.

Untuk manusia digunakan kata orang, untuk binatang digunakan kata ekor, sementara
untuk yang tak-bernyawa dapat digunakan bermacam- macam kata, seperti buah, batang, helai
dan butir. Bila dikaitkan dengan kata ganti, maka semua yang termasuk dalam kategori manusia
dapat mempergunakan kata ganti secara leluasa, sebaliknya untuk binatang (bernyawa tetapi
non-manusia) agak janggal, sementara untuk tak-bernyawa hampir tidak bisa.

BAB VII
TIPOLOGI DAN PERUBAHAN HISTORIS

Tipologi bahasa bukan merupakan suatu hasil perbandingan yang sekali jadi dan akan
lestari sepanjang masa. Klasifikasi tipologis harus dilakukan secara terus-menerus karena
beberapa alasan.
1. Pertumbuhan intern bahasa dengan inovasinya yang menambahkan ciri-ciri baru yang
tidak diwarisi bahasa proto. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya perkembangan
intern bahasa berupa pembaruan kosakata, pemerkayaan atau penghilangan bentuk-
bentuk terikat, pergeseran pola sintaksis, dan sebagainya.
2. Pengaruh bahasa-bahasa lain nonkerabat sehingga sebuah bahasa memperoleh tipe-tipe
lain. Hal ini tampak jelas pada penutur bahasa yang bermukim di Italia, Spanyol, Swiss
bagian selatan, dan Romania yang menerima unsur dari Latin sehingga bahasa asli di
daerah itu membentuk cabang baru yang disebut bahasa Roman.
3. Teknik analisis dan klasifikasi yang lebih baik dari sebelumnya. Misalnya dalam
penelitian awal yang membentuk rumpun Ural-Altai (kerabat genealogis) dengan
memasukkan bahasa-bahasa Ural, Turki, Mongol, dan Tungusk sebagai satu rumpun
bahasa.

Tipologi dan Perkembangan Histori


Perbandingan historis, perbandingan tipologis, maupun perbandingan areal bertolak dari
kesamaan atau kemiripan antarbahasa. Kemiripan ini terjadi karena beberapa hal.
1. Proses pewarisan dari bahasa proto yang sama yang diturunkan secara berantai ke
bahasa-bahasa pantulannya sekarang (divergensi).
2. Terjadi kontak areal, yaitu adanya saling pengaruh oleh bahasa-bahasa dalam
perkembangan sejarah sebagai akibat hubungan timbal balik antarmasyarakat bahasa
(konvergensi).
3. Kesamaan yang terjadi karena kebetulan.
4. Adanya semestaan bahasa, baik berupa semestaan absolut maupun semestaan statistik
atau tendensi (adanya suatu kecenderungan umum yang ada pada semua bahasa).
Kemiripann sahih bagi perbandingan genetis adalah kemiripan karena warisan.
Kemiripan Karena kontak areal tidak dapat digunakan karena berasal dari bahasa nonkerabat
sehingga tidak akan menggiring seseorang untuk sampai kepada sebuah bahasa proto. Walaupun
tujuan utama perbandingan tipologis adalah klasifikasi bahasa-bahasa secara sinkronis,
perbandingan ini juga dapat menghasilkan teknik-teknik baru untuk studi historis.
Karena linguistik historis berbicara mengenai prehistori bahasa, maka pinjaman
antarbahasa kerabat yang tidak memiliki naskah akan sangat sulit ditetapkan. Kita tidak tahu
pasti apakah unsur yang sama itu merupakan warisan nenek moyang atau sebuah inovasi
kemudian dipinjam oleh bahasa kerabat yang lain.
Bila unsur inovasi ini diterima oleh semua bahasa kerabat, maka kita tidak mampu
mendeteksi apakah unsur tersebut merupakan unsur pinjaman atau tidak. Tetapi jika inovasi
tersebut hanya terbatas pada beberapa bahasa kerabat yang secara geografis berdekatan, maka
akan lebih mudah untuk menetapkannya sebagai pinjaman.

Tipologi dan Variasi Bahasa


Semestaan yang mempunyai peluang besar untuk ditelusuri kembali adalah semestaan
tendensi dan implikasional. Semestaan absolut tidak dapat digunakan karena semua bahasa
memiliki ciri itu. Semestaan tendensi memberi peluang baik karena berasumsi bahwa ada
sejumlah tipe utama dan beberapa tipe lainnya yang distribusinya tidak meluas. Sebaliknya,
semestaan implikasional dapat dipakai karena suatu implikasi biasanya bertolak dari sejumlah
variabel untuk menurunkan suatu kesimpulan yang umum.
Perubahan semestaan yang lain untuk menentukan asal-usul bahasa secara diakronis
adalah adanya nada fonemis dalam bahasa-bahasa tonal. Perubahan yang sangat radikal yang
dapat dicatat dalam sejarah perkembangan bahasa, yang sekaligus mengubah kelas tipologis
bahasanya adalah perubahan yang dialami oleh bahasa Inggris.

Tipologi dan Kelompok Areal


Linguistik areal bertolak dari suatu asumsi bahwa bahasa-bahasa yang secara geografis
berdekatan, tentu pernah mengadakan kontak dalam perjalanan sejarahnya. Bahasa-bahasa
kerabat selalu berada dalam daerah yang secara geografi berdekatan. Akibatnya, bila salah satu
cabang mengadakan inovasi, maka unsur inovasi itu juga dapat diserap oleh bahasa kerabat
lainnya. Dalam hal ini, jika mayoritas bahasa-bahasa kerabat menyerap unsur-unsur tersebut,
maka sangat sulit untuk menetapkan apakah unsur inovasi itu merupakan unsur serapan atau
tidak.
Bahasa-bahasa nonkerabat memiliki unsur-unsur yang sama sebagai hasil dari kontak
antarbahasa, membentuk sebuah klas bahasa yang diebut Sprachbund. Dengan membandingkan
unsur tertentu kita akan lebih mudah untuk menetapakan unsur serapan itu.
Kelompok areal Balkan adalah semua bahasa yang digunakan di kawasan Yunani
Modern, Bulgaria, Makedonia, Albania, dan Romania. Terlepas dari ciri-ciri khusus yang
dimiliki tiap bahasa sejalan dengan naskah-naskah kuno atau bahasa kerabatnya, kelima bahasa
ini memiliki ciri-ciri khas yang sama, yang bukan berasal dari bahasa lain yang menjadi kerabat
genetis mereka masing-masing. Ciri khas yang dimiliki bahasa-bahasa ini antara lain.
1. Sinkretisme dari kasus genetif dan datif.
2. Artikel yang ditempatkan di belakang kata.
3. Hilangnya bentuk infinit pada kata kerja.

Tipologi Urutan Kata


Lehmann dan Venneman secara terpisah berusaha mengadakan rekonstruksi urutan kata.
Pendekatan yang dilakukan keduanya hampir sama, kecuali dalam beberapa hal. Sasaran
rekonstruksi ini adalah bahasa Proto-Indo-Eropa, namun metodenya dapat diterapkan pada
beberapa bahasa lain.
Menurut Lehmann dan Vennemann, bahasa Proto-Indo-Eropa adalah bahasa yang
konsisten mempertahankan urutan operator-operand (OV). Jika saat ini inkonsistensi sebagai
hasil penyimpangan pada awal perkembangan bahasa Indo-Eropa, maka timbul pertanyaan
mengapa terjadi penyimpangan tersebut. Hal ini disebabkan adanya beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama, suatu anggota meminjam struktur lain dari bahasa tetangga nonkerabat,
atau kemungkinan kedua penuturnya sendiri mengubah pola tersebut karena tujuan tertentu.
Perubahan tersebut kemudian diwariskan pada bahasa-bahasa pantulannya yang akhirnya
menimbulkan inkonsistensi dari bahasa-bahasa yang awalnya konsisten.
Urutan Kata dan Morfem
Dalam bahasa Indonesia ada beberapa petunjuk jelas bahwa sufiks –kan dalam beberapa
hal merupakan bentuk singkat dari kata akan yang dilekatkan pada kata kerja yang
mendahuluinya. Misalnya:
mengharap akan  mengharapkan
berhias akan  berhiaskan
bertabur akan  bertaburkan

Terlepas dari keberatan apakah benar bahasa Indonesia mengambil dari bahasa Mon dan
Palaung, pendapat itu sekurang-kurangnya menunjukkan bahwa imbuhan-imbuhan itu
sebenarnya berasal dari kata penuh yang dilekatkan dengan kata lain.
Perubahan pronominal menjadi perfiks atau sufiks falam bahasa Indonesia dan Melayu
ternyata belum mencapai titik seperti yang telah dicapai bahasa Lamalera. Namun, bentuk kritik
pronominal personalia yang dilekatkan sebelum kata kerja atau sesudah kata benda juga dapat
menjelaskan hal itu.
Bahasa Latin Klasik memiliki urutan SOV (urutan yang dominan) sementara bahasa-
bahasa Roman memiliki urutan SVO. Ada anggapan umum bahwa bentuk klitik pronomen yang
preverbal dalam bahasa-bahasa Roman merupakan buki dari residu urutan bahasa Latin Klasik
yang postverbal. Namun, suatu penelitian yang mendalam mengenai bahasa Latin Tengahan dan
tahap awal bahasa Roman menunjukkan adanya penyimpangan-penyimpangan yang kompleks
sehingga penggunaan bentuk klitik itu tidak dapat dijadikan bukti mengenai SOV itu.
Sekurang-kurangnya dengan beberapa evidensi sinkronis tersebut kita dapat menjelaskan
proses pembentukan prefiks dan sufiks pada masa lampau dan sekurang-kurangnya dapat
menyimpulkan 3 hipotesis:
1. Khususnya pada kata kerja, afiks-afiks persona pada verba secara diakronis berkembang
dari kata-kata bebas berupa pronomia personalia.
2. Morfem-morfem terikat yang lain diturunkan dari kata-kata bebas.
3. Jika serangkaian kata berfungsi satu sama lain sebagai satu rangkaian morfem dalam
sebuah kata, maka setelah itu tata urutan morfem tidak menjadi subjek perubahan.

Kecenderungan Isolatif dan Aglutinatif


Jika bahasa Latin dibandingkan dengan bahasa-bahasa Roman dewasa ini, tampak bahwa
bahasa kuno lebih kompleks struktur gramatikalnya daripada bahasa modern. Kenyataan-
kenyataan ini menunjukkan bahwa dalam perkembangannya ada kecenderungan perubahan
umum dari bahasa yang bersifat fusional ke tipe bahasa yang lebih bersifat isolatif. Kategori-
kategori gramatikal yang tadinya bersifat kompleks berubah menjadi lebih sederhana, lebih
sedikit tipe morfologisnya, dan kurang banyak variasinya. Perkembangan baru itu lebih
meletakkan tekanan pada hubungan sintaksis dengan mempergunakan susunan kata (order).
Melihat perkembangan bahasa Indo-Eropa, ada yang beranggapan bahwa bahasa Cina
yang isolatif merupakan hasil dari suatu perkembangan bertingkat dari bahasa fusional. Tentu
saja pendapat ini bertentangan dengan pendapat yang dilontarkan pada abad XIX yang
mengatakan bahwa bahasa isolatif merupakan bahasa yang baru berada dalam taraf
perkembangan awal. Dalam bahasa Indonesia juga terdapat sejumlah gejala yang
memperlihatkan bahwa telah terjadi proses fusional antara beberapa kata, yang sering tidak
disadari betul kejadiannya.

BAB VIII
SEMESTAAN BAHASA

Semestaan bahasa (universals of language) adalah ciri-ciri kebahasaan yang terdapat


pada hampir semua bahasa yang ada di dunia ini. Semestaan bahasa memiliki ciri fonologis,
morfologis, sintaksis, dan semantik. Sejauh ini, sekurang-kurangnya dapat dicatat dua
pendekatan utama mengenai semestaan bahasa, berdasarkan parameter berikut.
1. Basis data yang dipakai untuk menetapkan semestaan itu, apakah perlu mempergunakan
basis data dari banyak bahasa atau cukup dari satu bahasa saja.
2. Tingkat analisis konkret atau abstrak
3. Sebab-sebab semestaan bahasa, yakni faktor-faktor mana yang menyebabkan adanya
semestaan pada bahasa-bahasa di dunia ini.

Basis Data
1. Pandangan Greenberg
Greenberg mengemukakan beberapa pendapat:
a. Ada kesepakatan umum bahwa suatu semestaan yang merupakan generalisasi tidak
dapat dirumuskan secara sederhana hanya untuk bertolak dari satu bahasa.
b. Walaupun basis data harus diambil dari semua bahasa di dunia, dalam kenyataannya
hal itu tidak mungkin dilakukan, karena ada bahasa yang sudah mati, ada bahasa yang
sudah tidak meninggalkan catatan tertulis, ada bahasa yang belum dideskripsi, di
samping itu jumlah bahasa yang terlalu besar sehingga sulit dicatat sampai tuntas.
2. Pandangan Chomsky
Chomsky beranggapan bahwa semestaan harus bertolak dari satu bahasa. Chomsky
berpendapat bahwa dalam analisis bahasa, khususnya dalam bidang sintaksis, bentuk-
bentuk sintaksis atau struktur atas memiliki tataran yang lebih abstrak, yaitu struktur
bawah. Menurut Chomsky, wujud abstrak inilah yang memberi suatu landasan potensial
dalam anaslis bahasa, terutama bila dikaitkan dengan kemampuan anak-anak dalam
mempelajari bahasa pertamanya.
Tingkat Analisis
Parameter yang membedakan dua pendapat di atas adalah menyangkut sifat atau tingkat
analisis. Menurut Chomsky, semestaan bahasa pertama-tama menyangkut relasi antara struktur
abstrak dan struktur yang konkrit. Sebaliknya, pendekatan Grenbeerg bertolak dari tatanan
analisis yang lebih konkrit.

Sebab Terjadinya Semestaan


Aliran generatif-transformasional mengemukakan masalah batiniah sebagai dasar
terjadinya semestaan, namun hal itu agak sulit dibuktikan dengan cara-cara lain.
1. Dasar Monogesis
Semua bahasa di dunia berkembang dari suatu bahasa nenek moyang yang sama (bahasa
proto dunia). Semestaan bahasa adalah ciri-ciri kebetulan yang ada pada bahasa proto
yang kemudian diwariskan secara beruntun kepada bahasa-bahasa sekarang. Perbedaan-
perbedaan yang sekarang ada merupakan inovasi individual dari bahasa turunan yang
kemudian berkembang, yang nantinya kembali diwariskan kepada bahasa-bahasa
turunannya.
2. Faktor Batin
Aliran psikologi menegaskan bahwa jika ada penjelasan lain maka masalah kejiwaan
merupakan satu-satunya penjelasan yang dapat dipertimbangkan, walaupun tetap ada
kesulitan untuk mengadakan verifikasi mengenai hal itu.
3. Dasar Fungsional dan Pragmatik
Bahasa memiliki fungsi sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat. Banyak juga
sarjana yang menolak karena menurut mereka ada banyak hal yang memperlihatkan
bahwa bahasa tidak selalu bersifat fungsional. Hakikat penjelasan mengenai dasar
fungsional dalam kalimat adalah bahwa semestaan tertentu akan memungkinkan
penemuan kembali isi semantik sebuah struktur kalimat. Sebaliknya, bila semestaan itu
dirusak akan sulit menemukan semestaan itu kembali.

hakikat pragmatik adalah bermacam peluang (cara) untuk menyampaikan informasi yang
sama secara esensial. Sementara dasar pragmatik berarti bahasa merupakan suatu sarana
pemenuhan kebutuhan komunikatif praktis bagi manusia.

Macam-Macam Semestaan Bahasa


Semestaan bahasa dapat dibedakan menjadi beberapa parameter.
1. Semestaan Substantif dan Semestaan Formal
Semestaan substansif adalah semestaan yang berbentuk kategori-kategori yang terdapat
dalam tiap tataran pada semua bahasa di dunia. Dalam tataran fonologi misalnya
semestaan substantifnya adalah semua bahasa memilik vokal.
Semestaan substansi membatasi kelas-kelas bahasa dalam 2 cara, yaitu.
a. Suatu semestaan merupakan kategori yang harus ada dalam tiap bahasa, misalnya
vokal merupakan suatu peluang yang baik.
b. Perangkat semestaan substantif yang terdapat dalam suatu wilayah tertentu mungkin
menunjukkan suatu perangkat kaidah, kalau dilihat secara bersama-sama pada semua
bahasa di wilayah itu.
Semestaan formal adalah semestaan yang berwujud kaidah-kaidah bentuk
tatabahasa. Kaidah-kaidah itu ada yang bersifat diperlukan, ada yang mungkin ada, dan
ada yang sama sekali tidak mungkin.
2. Semestaan Implikasional dan Semestaan Non-Implikasional
Semestaan implikasional secara kasar dapat dibatasi sebagai semestaan yang merupakan
kesimpulan dari hasil penalaran atas kehadiran suatu ciri lain yang dianggap ciri standar.
Sedangkan semestaan non-implikasional adalah semestaan yang berkaitan langsung
dengan ada tidaknya ciri-ciri tertentu dalam bahasa, tanpa mengaitkannya dengan ciri-ciri
yang lain dalam bahasa. Pernyataan yang menegaskan bahwa semua bahasa memiliki
vokal oral secara absolut, dengan tidak mengaitkannya dengan topik apapun, merupakan
suatu semestaan yang bersifat non-implikasional.
3. Semestaan Absolut dan Semestaan Tendensi
Semestaan absolut adalah semestaan tanpa kecuali, sedangkan semestaan tendensi adalah
semestaan yang mencerminkan keadaan terbanyak di samping masih mengakui adanya
pengecualian. Jika kedua semestaan ini dikorelasikan dengan semestaan yang lain, maka
akan diperoleh semestaan absolut yang implikasional di samping semestaan absolut non-
implikasional, dan semestaan tendensi yang implikasional di samping semestaan tendensi
yang non-implikasional.
Tipologi dan Semestaan
Teori mengenai semestaan bahasa menyangkut ciri-ciri mana yang diperlukan dalam
bahasa manusia, ciri mana yang tidak mungkin, serta ciri mana yang yang mungkin tapi tidak
diperlukan. Dengan kata lain, semestaan bahasa berusaha membentuk batas-batas variasi bahasa,
sebaliknya tipologi bahasa berhubungan langsung dengan telaah mengenai variasi ini, sehingga
keduanya berjalan sejajar.
1. Semestaan Implikasional dan Tipologi
Semestaan implikasional memiliki hubungan yang jelas dengan tipologi. Dalam
klasifikasi tipologis, Greenberg menyimpulkan bahwa dalam urutan dasar subjek
cenderung mendahului objek. Dengan menggunakan konstituen S, O, V, maka ada 6
kemungkinan logis bagi struktur urutan dasar kalimat, yaitu SOV, SVO, VSO, VOS,
OVS, dan OSV.
2. Vokal
Sebuah hasil tipologi yang dipakai untuk menyusun sebuah semestaan absolut adalah
semua bahasa memiliki vokal. Jika bahasa-bahasa diklasifikasi sebagai bahasa yang
memiliki vokal dan bahasa yang tidak memiliki vokal, maka semua bahasa di dunia akan
masuk kelas pertama. Secara tipologis hasilnya tidak bermakna, tetapi jika diukur dari
sudut semestaan bahasa, maka simpulan itu merupakan generalisasi empiris yang sahih.
3. Urutan Dasar
Dalam hubungan dengan urutan dasar, Greenberg merumuskan 2 hipotesis, yaitu.
a. Semua bahasa memiliki urutan dasar.
b. Dalam struktur sintaksis, tipe bahasa yang berwujud kategori subjek, predikat, dan
objek merupakan faktor yang relevan.
4. Warna
Persepsi warna mencakup 3 parameter, yaitu corak warna, kecerahan warna, dan titik
jenuh. Telaah tradisional mengenai istilah warna menghasilkan kesimpulan bahwa tiap
bahasa memiliki jumlah warna yang berbeda dan memiliki batas warna yang berlainan.
Dalam penelitian mutakhir yang dilaukan Berlin dan Kay, disimpulkan bahwa ada pola
yang jelas mengenai warna, walaupun batas warna berlainan antarbahasa, ada
kesepakatan mengenai fokus.

Anda mungkin juga menyukai