Disusun Oleh
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
PENDAHULUAN
Perbandingan antara dua bahasa atau lebih, dapat dikatakan sama usianya dengan
timbulnya ilmu bahsa itu sendiri. Dan memang dalam tahap permulaan timbulnya ilmu bhasa
bandingan itu, penyelidikan atas bahasa-bahasa itu bukan ditujukan kepada usaha
menemukan persamaan, melainkan untuk mencari kekurangan-kekurangan suatu bahasa
apabila dibandingkan dengan suatu bahasa lain yang disenangi atau dikagumi, atau yang
dianggap mempunyai reputasi tinggi, seperti halnya dengan bahsa Yunani kuno, bahasa Latin
klasik, atau Ibrani. Linguistic komparatif atau linguistic bandingan merupakan suatu cabang
dari ilmu bahasa (linguistik) yang berusaha untuk meletakkan dasar-dasar pengertian tentang
perkembangan dan kekerabatan antara bahasa-bahasa di dunia dan mencoba menemukan
unsur-unsur pengaruh timbal balik antara bahasa-bahasa yang pernah mengadakan kontak
dalam sejarah.
Linguistik bandingan historis dibagi atas tiga sub-cabang berdasarkan tujuan dan teknik
perbandingan yang digunakannya. Ketiga sub-cabang tersebut adalah:
a. Linguistik bandingan tipologis, yaitu mempelajari hubungan antara bahasa-bahasa
melalui bentuk dan struktur yang sama-sama dimilikinya.
b. Linguistic bandingan historis, yaitu berorientasi kepada sejarah, khususnya yang
menyangkut kesamaan asal-usul bahasa-bahasa.
c. Linguistic bandingan areal, yaitu menerangkan kontak-kontak yang pernah terjadi
antara bahasa-bahasa pada waktu lampau. Cabang ini mempersoalkan adanya unsur-
unsur dalam suatu bahasa karena pinjaman, interferensi, dan sebagainya.
5. Kalsifikasi Bahasa
Dalam usaha mengadakan perbandingan antar-bahasa sekaligus mengadakan
pengelompokan atasa bahasa-bahasa yang dikenal dengan tiga macam klasifikasi, antara lain:
a. Klasifikasi genetis atau klasifikasi genealogis
b. Klasifikasi tipologis
c. Klasifikasi areal
BAB I
KLASIFIKASI TIPOLOGIS
1. Klasifikasi Tipologis
Dalam tahun 1818, August von Schlegel telah mengusulkan suatu klasifikasi tipologis
morfologis, yang kemudian diterima dan dikembangkan lebih lanjut pada tahun-tahun
berikutnya. Menurut August von Schlegel, bahasa-bahasa di dunia dibagi atas tiga kelas
utama, yaitu:
a. Bahasa analitis atau bahasa isolatif, misalnya bahasa Cina dan Vietnam
b. Bahasa aglutinatif atau bahasa berafiks, misalnya bahasa Turki, atau bahasa-bahasa
Nusantara pada umumnya.
c. Bahasa sintetis atau bahasa fleksi, misalnya bahasa Yunani, Latin, Semit, dan
Sansekerta.
TIPOLOGI FONOLOGIS
1. Konfigurasi Fonem
Konfigurasi fonem adalah gambaran mengenai posisi fonem-fonem yang dimiliki sebuah
bahasa dari posisi alat-alat ucap manusia.
1.1 Konfigurasi vocal
Peta vocal sebuah bahasa dilihat dari posisi alat-alat ucap manusia untuk
menghasilkan vocal.
1.2 Konfigurasi konsonan
Konfigurasi konsonan yang biasanya dinyatakan dengan peta konsonan. Proses
artikulatoris yang sangat menentukan jenis konsonan adalah artikulatoris, titik artikulasi,
jalan udara, dan hambatan udara.
2. Ciri-ciri Distingtif
Menurut buku Fundamentals of Language, ciri distingtif beserta spesifikasinya
didasarkan pada dua hal, yaitu berdasarkan ciri sonoritas dan ciri tonalitas.
2.1 Ciri Sonoritas
Ciri-ciri sonoritas fonem diukur berdasarkan jumlah dan konsentrasi energy dalam
spectrum dan dalam waktu.
- Vokalik >< Nonvokalik
- Konsonantal >< Nonkonsonantal
- Kompak >< longgar
- Tegang >< Kendur
- Bersuara >< Tak bersuara
- Oral >< Nasal
- Kontinu >< Diskontinu
- Lengking >< Lembut
- Hambat >< Taklambat
2.2 Ciri Tonalitas
Berdasarkan ciri-ciri tonalitas yang ditandai oleh dua sisi yang paling jauh dari
spectrum frekuensi, maka dapat dibedakan menjadi.
- Berat >< Tajam
- Sempit >< Lapang
- Tajam >< Taktajam
3. Ciri-ciri Prosodi
Ciri prosodi adalah ciri yang tidak inheren dalamsuatu bunyi, tetapi hanya ditambahkan
saja pada suatu bunyi atau rangkaian bunyi, dengan atau tanpa mempengaruhi kualitas
inherennya.
4. Harmoni Vokal dan Umlaut
Suatu gejala atau peristiwa kebahasaan, di mana suatu kelas fonem vocal tertentu tidak
akan muncul dalam suatu lingkungan dari suatu kelas vocal lainnya.
5. Fonem Distingtif yang Khusus
Klasifikasi tipologi fonologi dapat pula dilakukan dengan mempergunakan fonem-fonem
distingtif yang khusus yang dimiliki bahasa-bahasa tertentu. Fonem distingtif khusus ini
jumlahnya tidak banyak, di samping itu bahasa yang memilikinya juga tidak banyak.
Sehingga itu bahasa yang dijadikan landasan klasifikasi mondial, jumlah anggota kelasnya
terlalu sedikit, semetara kelas lainnya terlalu banyak anggotanya.
6. Relasi Konsonan-Vokal
Sedikit sekali telah dilakukan analisa mengenai relasi sintagmatik antara vocal dan
konsonan pada pelbagai bahasa, sehingga pengetahuan kita mengenai hal itu juga masih
sangat sedikit. Sebaliknya kalau diusahakan mengadakan klasifikasi berdasarkan
keseimbangan keseimbangan antara vocal dan konsonan, mungkin akan diperoleh hasil yang
lebih banyak.
7. Distribusi Fonologis
Sebuah fonem selalu diharapkan dapat muncul dalam posisi awal, tengah, dan akhir.
Tetapi dalam bahasa inggris fonem /r/, dan /h/ hanya muncul pada posisi awal suku kata,
sedangkan fonem /ŋ/ hanya muncul dalam posisi akhir suku kata.
BAB III
Landasan klasifikasinya didasarkan pada morfem dasar atau bentuk-bentuk dasar bahasa
(stem) dan morfem-morfem terikat.
Pada tahun 1808, Friedrich mengajukan klasifikasi bahasa dunia menjadi dua kelompok
besar;bahasa berafiks dan bahasa berfleksi. Bahasa fleksi diartikan dengan adanya
perubahan internal dalam akar kata. Misalnya: write-wrote-written.
Sedangkan bahasa infleksi adalah perubahan yang mencakup perubahan paradigmatis (kata
kerja/konjugasi maupun pada kata benda/deklinasi.
Menurut Bopp, akar kata bahasa Semit harusdari 3 konsonan membentuk 2 suku kata (tidak lebih
tidak kurang). Akar bahasa Latin, Yunani, dan Sanskerta ditentukan oleh akarnya sendiri yang
biasanya hanya 1 suku kata. Menghindari istilah aglutinasi karena istilah itu digunakan untuk
bahasa yang dipertentangkan dengan bahasa-bahasa Arya. Menghindari istilah fleksi karena
istilah itu telah diwarnai oleh kesimpangsiuran, von Schlegel menggunakan hanya untuk
menggambarkan modifikasi intern.
Klasifikasi bahasamenurutFinck:
a. Bahasa Isolatif
Bahasa Isolatif akar, seperti bahasa Cina
Bahasa Isolatif Dasar, seperti bahasa Samoa
b. Bahasa Infleksi
Bahasa Infleksi Akar, seperti bahasa-bahasa Semit
Bahasa Inflesksi Dasar, seperti bahasa Yunani
Bahasa Infleksi Kelompok, seperti bahasa Baskia
c. Bahasa yang menggabungkan komponennya, tetapi tidak diinfleksi
Bahasa Yukstaposing, seperti Subiya
Bahasa Aglutinatif, sperti bahasa Turki
Bahasa Inkorporatif, seperti bahasa Eskimo
Simpulan
a. Kelompok I : Friedrich von Schlegel, August W. Schlegel, Welhelm von Humboldt, A.F.
Pott, A.J. Schleicher, F.N. Finck yang menggunakan bentuk-bentuk morfologis kata,
yaitu memperhatikan penggabungan antara bentuk dasar dengan afiksnya.
b. Kelompok II : Franz Bopp, Max Muller, berusaha mengelompokkan bahasa-bahasa
dengan mempergunakan akar kata.
c. Kelompok III : Heymann Steinthal, Franz Mistelli, mempergunakan bentuk dan relasi.
BAB IV
1. Edward Sapir
a. Parameter I
Bertalian dengan konsep-konsep gramatikal
Ada 4 macam tipe konsep gramatikal, yaitu :
1) Konsep Dasar yang Konkrit ( konsep yang tidak mengandung relasi tertentu)
Konesp ini dinyatakan oelh kata-kata dasar atau unsur akar kata yang menyatakan :
-obyek : rumah, ayah, bulan, dll
-tindakan : tidur, lihat, makan, dll
-sifat : putih, besar, dll
2) Konsep Derivasional
Konsep ini kurang konkrit, dinyatakan oleh pengafiksasian atas kata dasar atau unsur
akar/ modifikasi intern dari kata dasar/akar kata
3) Konsep Relasional Konkrit
Bersifat lebih abstrak. Konsep ini dinyatakan dengan afiksasi dan modifikasi interen,
menyatakan relasi yang konkrit dengan sebuah kata tertentu
4) Konsep Relasional Murni
Bersifat sangat abstrak. Dinyatakan oleh afiksasi atas kata dasar tau akar kata, dengan
modifikasi interen, dengan kata khusus, atau dengan posisi kata.
1) Bahasa yang memiliki tingkat kesulitan segmentasi yang tinggi tetapi sangat mudah
menentukan kelas katanya secara morfologi seperti bahasa Latin, Arab, Yunani,
Sansekerta
2) Bahasa yang sama sekali tidak menimbulkan masalah segmentasi tetapi tidak bisa (sangat
sulit) menentukan kelas katanya secara morfologis, seperti bahasa Cina, Annam
3) Bahasa yang tidak memperlihatkan konflik yang jelas antara segmentasi dan determinasi
kelas, misalnya bahasa-bahasa aglutinatif yang diwakili oleh bahasa Turki.
BAB V
TIPOLOGI SINTAKSIS
1. Pendahuluan
Pada umumnya, ahli-ahli bahasa pada abad XIX lebih tertarik pada klasifikasi yang
didasarkan pada proses-proses dan konsep-konsep morfologis. Pada abad itu sudah ada beberapa
sarjana bahasa yang telah menyinggung beberapa segi dari aspek sintaksis sebagai dasar
klasifikasi, hanya saja tidak berkembang untuk menghasilkan suatu tipologi sintaksis yang
khusus.
Seorang sarjana yang sudah melihat ciri-ciri sintaksis walau belum menggunakannya
dalam suatu klasifikasi bahasa adalah R. Lepsius. Dalam bukunya yang berjudul Nubische
Grammatik (Berlin, 1880) ia sudah mengemukakan gagasan gagasan dasar mengenai tipologi
sintaksis yang didasarkan pada urutan (order).
2. Wilhelm Schmidt
Dalam bukunya yang berjudul Die Sprachfamiliem und Sprachenkreise der Erde (Heidelberg
1928) dan karyanya yang lain, beberapa pendapat dasar Schmidt yang dapat bermanfaat bagi
klasifikasi tipologis adalah sebagai berikut :
1) Preposisi berjalan seiring dengan urutan nominatif - genitif sedangkan postposisi bertalian
dengan urutan genitif - nominatif
2) Urutan nominatif genitif cenderung muncul dengan urutan kata kerja - obyek nominal
sedangkan urutan genitif-nominatif bersamaan dengan urutan obyek nominal-kata kerja.
3) urutan nominatif-genitif biasanya sejalan pula dengan urutan kata benda-adjektif. Sedangkan
urutan genitif nominatif akan muncul bersama-sama dengan urutan adjektif - kata benda.
Dengan mempergunakan hasil temuan Schmidt sebagai dikemukakan di atas, dapat disusun
sebuah skema hubungan antara pelbagai unsur itu sebagai berikut :
Keterangan:
Bahwa bahasa-bahasa di dunia ini dapat dibagi atas tiga kelas besar berdasarkan ketiga kriteria
yang diajukan oleh Schmidt di atas, yaitu:
a. Bahasa-bahasa yang memiliki ciri: Adjektif sebelum kata benda (AN), obyek sebelum kata
kerja (OV), genitif sebelum kata benda penguasa (GN), dan adverbium sebelum adjektif yang
diterangkan (AdA).
b. Bahasa-bahasa yang memiliki ciri: Adjektif sesudah kata benda (NA), obyek sesudah kata
kerja (VO), genitif sesudah kata benda penguasa (NG), dan adverbium sesudah adjektif yang
diterangkan (AAd)
3. Tipologi Greenberg
Dalam tulisannya yang berjudul "Some Universals of Grammar with Particular Reference to the
Order of Meaningful Elements" (dalarn Universals ofLanguage,1966),
J.H. Greenberg mengusulkan suatu tipologi yang disebutnya sebagai Tipologi Urutan Dasar
(Basic Order).
(1) Urutan relatif antara Subyek - Verba - Obyek dalamsebuah kalimat berita, yang
dilambangkan dengan S.
(2) Adanya Adposisi, yaitu preposisi lawan postposisi dalam (Subject), V (Verb), O(Object)
suatu bahasa, yangdilambangkan dengan Pr/Po (Preposition/Postposition).
(3) Posisi Adjektif atributif terhadap Nomina. Bila Adjektif mendahului Nomina maka urutan ini
dilambangkan dengan A, dan bila Nomina mendahului Adjektif maka urutan ini dilambangkan
dengan N
Berdasarkan hasil penalaran atas kriteria yang pertama,maka secara potensial dapat diperoleh
enam pola kalimat,
Dari keenam peluang pola urutan dasar itu, ada tiga pola urutan dasar yang lebih dominan yaitu
SVO, SOV dan VSO.
Dalam kaitannya dengan hasil penelitian Greenberg, Winfred P. Lehman memberi komentarnya
dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam Language (1973, 26: 47-66) berjudul "A Structural
Principle of Language and ItsImplications". Ia membuktikan dua hal berikut:
(1) Urutan subyek tidak relevan dengan tipologi umum sehingga dalam klasifikasi bahasa-bahasa
sebaiknya kita hanya bekerja dengan dua tipe utama bahasa, yaitu: VO dan OV.
(2) Unsur V (Verba) dan C (Obyek) adalah dua unsur yang selalu beriringan, dan bahwa
pembatasnya (modifiernya) ditempatkan pada sisi yang berlawanan dari satu konstituen
perangkat setara lainnya.
Untuk kesimpulan pertama perlu dicatat beberapa hal berikut. Sesuai dengan pola utama
yang diajukan olehGreenberg ada tiga tipe yang dapat disatukan dalam VO.yaitu VSO, VOS, dan
SVO. Ternyata VSO dan VOS dapat disusutkan dalam pola VO, karena sangat tinggi korelasinya
dengan parameter urutan kata yang lain, sedangkan urutan SVO tidak berkorelasi dengan
parameter yang lain.
Bila kita mengetahui bahwa urutan dasar sebuah bahasa adalah VS atau VOS, kita dapat
meramalkan adanya parameter urutan dasar yang lain. Demikian pula dengan mengetahui bahwa
urutan dasar sebuah bahasa adalah SOV kita dapat meramalkan pula parameter urutan kata yang
lain. Tetapi kita tidak bisa meramalkan hal itu dengan urutan SVO.
Untuk menunjukkan hal itu perlu diperhatikan hubungan urutan dasar dengan parameter lain
sebagai diperlihatkan dalam skema berikut :
a. VSO -> Pr - NG - NA
b. VOS -> Pr - NG - NA
d SOV -> Po - GN - AN
Dari skema di atas tampak bahwa VS0 dan VOS lebihbanyak menunjukkan kesamaan
sedangkan SOV berada diujung yang lain. Tipe bahasa SVO memperlihatkan perbedaan dengan
kedua kelompok tadi. Skema di atas sekaligus memperlihatkan bahwa bila sebuah bahasa
memiliki tata urut VSO atau VOS, maka kıta dapat meramalkan urutan parameter yang lain (Pr-
NG-NA), dan kalau sebuah bahasa mempunyai urutan dasar SOV, maka kita dapat meramalkan
pula parameter lain (Po-GN-AN), Tetapi kalau bahasa itu memiliki urutan dasar SVO, kita tidak
dapat meramalkan apa pun.
Kesimpulan kedua dapat dijelaskan sebagai berikut: Dalam bahasa VO, unsur setara V
adalah O yang diletakkansesudah V. Dengan demikian, modifier V (khususnya kata kerja bantu)
akan ditempatkan di sebelah kiri V. Demikian pula, unsur setara O adalah V, yang terletak
sebelum O; dengan demikian modifier O (khususnya adjektif, klausa relatif, dan posesif) akan
ditempatkan sebelah kanan O.
Dalam bahasa OV, unsur setara utama V adalah O yangditempatkan sebelah kiri V; karena
itu, modifier V akanmengikuti V (misalnya kata kerja bantu yang ditempatkan sebelah kanan V):
sebaliknya unsur setara utama dari O adalah V, yang terletak di sebelah kanan O, karena itu
modifier dari O (yaitu adjektif, klausa relatif dan posesif) akan ditempatkan sebeiah kiri O.
Theo Vennemann (1972) juga mengadakan penelitian mengenai hal yang sama. Ia
mengajukan suatu pendapat mengenai hubungan antara semua parameter yang diajukan oleh
Greenberg: VO-Pr-NG-NA dan OV-Po-GN-AN. Ia cukup berhasil memperlihatkan bahwa dalam
tiap konstruksi, relasi antara Verba dan Obysk, antara Nomina dan Adjektif, dan lain lain.
Kelas kata atau kategori kata merupakan unit yang paling kecil dari kalimat secara universal
semua bahasa memiliki apa kelas kata tertentu seperti kelas kata kerja kata benda kata sifat kata
ganti dan kata bilangan dalam hal-hal tertentu terdapat kelas kata dalam beberapa bahasa
sementara bahasa yang lain tidak memilikinya. Misalnya ada memiliki artikula sementara bahasa
yang lain tidak memiliki kelas kata ini berdasarkan kenyataan ini bahasa-bahasa dapat
diklasifikasi atas bahasa yang memiliki artikula dan bahasa yang tidak memiliki artikula.
6.1 Numeri
Yang dimaksud dengan numeri (numerus) adalah kategori gramatikal berujud perubahan-
perubahan bentuk kata un tuk menyatakan jumlah. Ada bahasa yang tidak memiliki bentuk-
bentuk gramatikal yang menyatakan jumlah, ada yang memiliki perubahan bentuk atas tunggai
(singularis), banyak (pluralis), duaan (dualis), dan tigaan (trialis). Ada juga bahasa yang
mengenal empat kategori jumlah tetapi yang berbentuk tunggai, dualis, sedikit (paucal), dan
jamak (multiplex).
Bila dikatakan suatu bahasa memiliki bentuk tunggal dan jamak untuk kata benda, maka
hal it berarti ia memiliki bentuk-bentuk gramatikal untuk menyatakan barang atau hal yang
berjumlah satu atau sebuah, dan juga memiliki bentuk gramatikal untuk menyatakan barang yang
berjum lah banyak (dua atau lebih).
(2) Bahasa yang mengenal dua numeri: singularis (tunggal) dan pluralis (Jamak)
(3) Bahasa yang mengenal tiga numeri: singularis, pluralis dan dualis
(4) Bahasa yang mengenal empat numeri: singularis, pluralis, dualis, dan trialis.
6.2 Gender
Gender (genus) dapat diartikan sebagai sebuah subkategori dalam sebuah kategori
gramatikal (seperti nomina, prono mina, adjektiva) dari sebuah bahasa, yang sebagian bersifat
arbitrer dan sebagian bersifat non-arbitrer, yang didasarkan pada ciri-ciri yang mampu
membedakan (bentuk, tingkat sosial, cara keberadaan, atau seks) dan menentukan kesesuaian
(konkordansi) bentuk gramatikal dengan kata-kata yang lain.
Jumlah gender yang dimiliki bahasa-bahasa berbeda-beda jumlahnya. Ada bahasa yang
memiliki dua gender: maskulin dan feminin, seperti bahasa Perancis, Arab, dan Ibrani. Ada juga
bahasa yang memiliki tiga gender (maskulin, feminin, dan neutrum).
(1) Bahasa yang tidak mengenal gender, seperti bahasa Indonesia, Jawa, dan Batak.
(2) Bahasa yang mengenal dua gender: maskulin dan feminin. Misalnya, bahasa Perancis, Arab,
dan Ibrani.
(3) Bahasa yang mengenal tiga gender: maskulin, feminin, dan neutrum. Misalnya, bahasa Latin,
Jerman, dan Sansekerta
6.3 Konkordansi
Konkordansi adalah suatu kategori gramatikal berupapersesuaian antara kata benda dan
kata sifat, atau antara subyek dan predikat. Seperti halnya dengan numeri dan gender,
konkordansi tidak dijumpai secara universal. Dengan demikian ciri ini dapat dipergunakan untuk
mengadakan klasifikasi bahasa-bahasa.
Konkordansi antara kata benda dan adjektif dapat bertalian dengan gendernya, dapat juga
bertalian dengan numerinya. Bila gender kata benda penguasa adalah maskulin maka kata sifat
yang mengikutinya harus berbentuk maskulin, dan bila kata bendanya feminin, maka kata sifat
yang mengikutinya juga harus feminin. Demikian bila kata bendanya tunggal atau jamak maka
kata sifatnya juga harus tunggal atau jamak.
Demikian pula, bila kata bendanya berubah kasus dari nominatif ke akusatif misalnya,
maka kata sifatnya juga ikut berubah menurut kasus tersebut. Konkordansi antara subyek dan
predikat mengikuti kaidah berikut: bila subyek kalimat singularis, maka katabkerjanya juga
singularis, bila subyek kalimat pluralis, maka kata kerjanya juga pluralis.
Dalam hubungannya dengan konkordansi dan dengan memperhatikan data-data di atas, ada
baiknya diperhatikan beberapa kesimpulan yang diajukan oleh Greenberg mengenai semestaan
bahasa, seperti berikut:
dengan kata kerjanya dalam hal gender, maka adjektifnya juga selalu harus konkordans dengan
kata bendanya dalam hal gender. Bila kaidah di atas benar, dan adanya kenyataan bahwa bahasa
Arab memenuhi persyaratan konkordansi antarasubyek dan kata kerja dalam hal gender, maka
harus dapat disimpulkan pula bahwa adjektif dalam bahasa
Arab juga harus konkordans dengan kata bendanya dalam hal gender.
(2) Bila kata kerja dalam sebuah bahasa konkordans dengan subyek atau obyek nominal dalam
hal gender, maka kata kerjanya harus konkordans pula dengan subyek atau obyek nominalnya
dalam hal numerus.
BAB VI
TIPOLOGI SEMANTIK
1. Pendahuluan
Mengadakan klasifikasi bahasa berdasarkan fonologi, morfologi, dan sintaksis adalah hal
yang dianggap biasa, karena perbedaan fonologi, morfologi, dan sintaksis dalam bahasa sudah
menjadi pengetahuan umum. Sebaliknya, perbedaan dalam bidang semantik antara bahasa yang
satu dengan bahasa yang lain belum banyak diketahui.
Dengan mengakui bahwa terdapat perbedaan fonologi, morfologi, dan sintaksis antar
bahasa, maka secara implisit terkandung pula pengertian bahwa dalam bidang semantik pun
harus ada perbedaan antar bahasa.
Kalau kita menerima kenyataan bahwa ada bahasa yang memiliki bentuk gramatikal
untuk menunjukkan perbedaan gender, perbedaan kasus, dan sebagainya, sedangkan bahasa yang
lain tidak memilikiupaya distinghtif tersebut, maka hal itu juga menunjukkan bahwa ada aspek
semantik yang berbeda. Sekurang-kurangnya seinantik leksikal akan memperlihatkan variasi
antar-bahasa, karena struktur leksikal bahasa tidak selalu seragam.
Tiap bahasa memiliki ciri-ciri yang khas dalam bidang semantik, sesuai dengan
pengalaman-pengalaman ekstralinguistiknya, dan ciri-ciri yang khas yang dipengaruhi oleh
struktur bahasanya masing-masing.
Bila kita menengok sebentar ke sejarah perkembangilmu bahasa, maka relasi antara bunyi
(bentuk) bahasa dan maknanya sudah menjadi bahan perdebatan sejak zaman Yunani Kuno,
sekitar abad IV sebelum Masehi. Ahli-ahli filsafat masa itu sudah mempersoalkan apakah ada
hubungan antara bentuk (kata) dengan barangnya (referennya).
(1) Bahasa-bahasa leksikal yaitu bahasa-bahasa yang hanyamemiliki kata-kata tanpa konsep-
konsep gramatikal,sehingga hanya memiliki pengertian kata yang konvensional.
Misalnya bahasa Cina dan Annam.
(7) Ketergantungan relatif kata dan peranan konteks dalam menentukan makna.
Uraian mengenai klasifikasi tipologis semantik berikut ini dikembangkan dengan memperhatikan
pendapat Ulimann dan beberapa segi lain di bidang semantik. Butir-butir pembahasan itu
menyangkut: Kata transparan dan non transparan, kata khusus dan kata generik, nada emotif, dan
kenyawaan.
Kata-kata transparan adalah kata yang masih mencerminkan asal-usulnya, sedangkan kata non-
transparan (opaque) adalah kata-kata yang tidak mencerminkan asal-usulnya.
Karena kata-kata yang bersifat transparan dapat mencerminkan asal-usulnya, maka kata-kata itu
disebut sebagai kata yang bermotivasi. Sebaliknya, kata-kata non-transparan disebut kata-katá
yang tak bermotivasi. Lebih jauh, kata-kata yang bermotivasi dapat dibagi berdasarkan cara -
cara kata itu memperoleh motivasinya.
Ketiga tipe motivasi di atas akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini dengan melihat
kemungkinan apakah tiap tipe dan sub-tipenya dapat dijadikan landasan klasifikasi.
Kata-kata yang mengandung motivasi fonetis dapat dikelompokkan lagi menjadi dua tipe
utama, tergantung daricara atau penafsiran mengenai asal-usul bunyi yang terkandung dalam
sebuah kata, yaitu kata yang bersifat onomatopoetis primer dan yang bersifat onomatopoetis
sekunder.
Kata-kata yang bersifat onomatopoetis primer atau disebut onomatopoeia, adalah kata-
kata yang dibentuk karena usaha meniru bunyi-bunyi di alam, seperti: kokok, aum, gagak,
ringkik, gonggong, debur, dan sebagainya.
Boleh dikatakan semua bahasa di dunia memiliki kata-kata peniru bunyi ini. Walaupun
sumber bunyi yang ditiru itu identik namun tiap masyarakat bahasa menangkap bunyi-bunyi
alamiah itu dan menirunya dengan cara yang agak berlainan, seperti tercermin dari kata-katanya
yang berbeda-beda itu.
Motivasi fonetis kedua adalah motivasi yang disebut onomatopoeia sekunder atau disebut
juga simbolik bunyi.
Tipe ini berujud nilai bunyi individual. Ada semacam penafsiran atau penilaian yang
mengatakan bahwa tiap bunyi menimbulkan semacam sugesti tertentu, misalnya /i/ dan /e/
mensugestikan sesuatu yang kecil dan tinggi; bunyi /a/, /u/, dan /o/ mensugestikan sesuatu yang
besar, rendah, dan mendalam; bunyi-bunyi sengau mensugestikan sesuatu yang bergaung; bunyi
/p/, /t/, dan /k/ mensugestikan sesuatu yang tajam dan keras; bunyi sibilan mensugestikan sesuatu
yang mendesis; bunyi /r/ menyatakan sesuatu yang bergetar. Dengan demikian, kata-kata yang
dibentuk dengan unsur-unsur bunyi itu dapat mensugestikan sifat-sifat tersebut.
Semua bunyi yang menyatakan 'gaung' mengandung fonem nasal (dengung, gaung, aum),
semua bunyi yang menyatakan desis mengandung fonem sibilan (desas, desus, desis), dan
sebagainya. Walaupun dalam kenyataan terdapat kata-kata yang tidak sejalan dengan pendapat
ini, frekuensi umum cenderung menunjukkan atau membenarkan adanya kesemestaan mengenai
nilai onomatopoeia, terutama onomatopoeia sekunder ini. Tetapi bila diperhatikan secara
cermat,bahasa memiliki frekuensi kata-kata onomatopoetis primer dan sekunder yang berbeda.
Ada bahasa yang lebih banyak memiliki kata-kata onomatopoeia daripada bahasa yang lain.
Motivasi morfologis terjadi bila sebuah bentuk dapat menunjukkan asal-usulnya berdasarkan
bentuk morfologisnya. Kata-kata seperti: rumah, batu, jalan, pohon, dan sebagainya tidak dapat
menunjukkan asal-usul pembentukannya. Dengan kata lain, kata-kata itu tidak bermotivasi.
(1) bahasa-bahasa yang secara relatif memiliki kata bermotivasi yang sangat tinggi, seperti
bahasa Eskimo dan Amerindian;
(2) bahasa-bahasa yang secara relatif memiliki kata bermotivasi yang cukup tinggi, seperti
bahasa-bahasa Indo-Eropa;
(3) bahasa-bahasa yang secara relatif memiliki kata bermotivasi yang sedang sampai sedikit,
seperti bahasa Turki dan Austronesia; dan
(4) bahasa-bahasa yang tidak memiliki kata bermotivasi seperti bahasa Cina dan Annam.
Yang dimaksud dengan motivasi semantik adalah motivasi yang timbul karena
persamaan antara dua hal. Kesamaan antara kedua hal itu dapat bersifat metaforis yang
transparan atau metonomia yang transparan.
Dengan meneliti bahasa-bahasa berdasarkan frekuensi relatif dari kandungan kata-kata
yang bermotivasi semantik ini, kita mendapat pula peluang untuk mengadakan klasifikasi
berdasarkan tipe kebahasaan ini.
Semua bahasa memiliki kata yang disebut kata-kata khusus dan kata generik, dengan frekuensi
yang berbeda-beda dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Yang dimaksud dengan kata khusus adalah kata-kata yang mengacu kepada obyek-obyek
yang sempit luas lingkupnya,
sedangkan kata generik adalah kata-kata yang mengacukepada kelas barang atau
peristiwa yang luas, yang diikat oleh ciri-ciri yang sama-sama dimilikinya.
Kata anjing adalah kata yang khusus bila dibandingkan dengan kata binatang yang mencakup
kata anjing tadi. Tetapi herder adalah kata yang lebih khusus lagi bila dibandingkan dengan kata
anjing yang lebih luas cakupannya.
Kata-kata generik sering dianggap pula sebagai kata yang mengacu kepada sesuatu yang abstrak.
Namun anggapan ini mengandung bahaya, karena kata abstrak dapat dipertentangkan dengan
kata konkrit, yang sama-sama tidak harus mencakup masalah kelas.
Kata-kata khusus dalam pelbagai bahasa dapat terjadi karena beberapa hal berikut:
Keempat hal tersebut akan memberi peluang tersendiri sebagai dasar klasifikasi.
Bila kita mengadakan perbandingan antara bahasa bahasa nusantara akan terlihat pula hal
seperti digambarkan diatas. Ada kecenderungan bahasa Jawa memiliki banyak kata untuk
mendeskripsikan hal hal yang berlainan dalam gerak, perbuatan dan sebagainya.
Bahasa Eskimo memiliki kata-kata yang berbeda-beda untuk tipe-tipe dan kondisi salju
yang berlainan, sementara bahasa Inggris dan banyak bahasa Eropa lainnya, di mana salju
tidak terlalu mempengaruhi hidup mereka, hanya mengenal satu kata saja. Perbedaan
antara jenis-jenis salju cukup dilukiskan dengan memberi keterangan tertentu di belakang
kata salju.
Demikian juga beberapa dialek Arab memiliki kata yang berbeda-beda untuk macam-
macam jenis unta, karena kehidupan yang intim dengan macam-macam unta yang
dikenalnya. Bahasa Indonesia membedakan padi, gabah, beras,nasi, bubur, sawah,
sementara bahasa Inggris hanya mengenal sebuah kata generik rice untuk menyebut
semua kata khusus di atas, serta sawah harus dinyatakan dengan dua kata, yaitu rice field.
Bahasa Lamalera membedakan bermacam-macam ikan pari dan ikan paus dengan istilah-
istilah yang khuşus, karena kehidupan yang intim dengan ikan ikan tersebut. Bagi
mereka, ikan pari bisa berarti: belela, bou, moku, paé, kajolólo, belepa, atau kérakoiā.
Tiap jenis pari di atas masih dibeda-bedakan lagi menjadi beberapa
sub-jenis, yang hanya dapat dikenal oleh mereka yang intim dengan jenis ikan itu. Ikan
paus disebut dengan pe!bagai nama sesuai dengan jenis yang berlainan: lélangaji,
kotekelema, kelaru, seguni, temublä, temubéla, fefakumu, dan sebagainya.
Orang Zulu mempunyai istilah khusus untuk sapi merah, sapi putih, dan sebagainya, dan
tak ada istilah generik untuk sapi.
Penduduk asli Tasmania tidak memiliki kata generik untuk pohon, tetapi ada kata-kata
khusus untuk bermacam-macam pohon karet (para) dan bermacam-macam pohon akasia.
Dalam bahasa Bakairi di Brazilia Tengah, ada kata- kata khusus untuk bermacam-macam
burung kakatua tetapi tak ada kata generik untuk tiap jenis burung itu.
3.3 Kata Kerabat
Kata-kata kerabat sudah menarik perhatian para ahli bahasa dan antropolog, karena sering
membentuk makna yang khusus dalam tiap bahasa. Sebaliknya, ada bahasa yang lebih jauh
membedakab anggota-anggota kerabat yang lebih tua dan lebih muda dari si pembicara atau
berdasarkan penghormatan.
Persepsi warna mencakup tiga parameter, yaitu corak warna, kecerahan warna, dan titik
jenuh. Telaah tradisional mengenai istilah warna menghasilkan kesimpulan bahwa tiap bahasa
memiliki batas warna yang berlainan.
Dalam penelitian lain mengenai warna, B. Berlin dan Kay (1969) memusatkan perhatian
mereka pada istilah warna. Mereka mencatat bahwa ada pola yang jelas mengenai warna:
Walaupun batas warna berlainan antar bahasa, tetapi ada kesepakatan mengenai fokus.
4. Nada Emotif
Bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat
bahasa, tetapi ia juga berfungsi sebagai alat pengungkap perasaan atau emosi, malahan juga
sebagai alat penggerak untuk menimbulkan emosi pada orang-orang lain. Kedua fungsi itu
(fungsi komunikatif dan fungsi emotif) selalu hadir dalam tiap tutur dengan proporsi yang
diperlukan: adakalanya dengan fungsi komunikatif yang lebih dominan, kadangkala dengan
fungsi emotif yang lebih dominan, atau kadang-kadang seimbang. Fungsi komunikatif lebih
menekankan aspek simbolik atau referensial, yang biasanya diungkapkan dalam pernyataan-
pernyataan, sementara fungsi emotif lebih menekankan aspek perasaan dan sikap atau penilaian.
Bila nada emotif dari semua bahasa di dunia, atau sekurang-kurangnya sejumlah bahasa, diteliti
secara cermat, maka dapat diadakan pula klasifikasi berdasarkan aspek ini.
Berdasarkan frekuensi nada emotif yang terdapat dalam tiap bahasa, bahasa-bahasa dapat
diklasifikasi atas:
a. bahasa-bahasa yang secara relatif memiliki banyak kata yang bernilai emotif, dan
b. bahasa-bahasa yang secara relatif memiliki sedikit kata yang mengandung nilai
emotif.
Antara kedua kelas ini, bisa saja terdapat bermacam-macam bahasa dengan frekuensi kata emotif
yang berbeda-beda tingkatnya.
Sumber nada emotif menurut Ullmann adalah antara lain: faktor fonetis, konteks,
slogan, derivasi emotif dan evaluasi. Faktor fonetis yang dapat menimbulkan nilai emotif
adalah penggunaan kata-kata onomatopoeia, penggunaan kata-kata yang mengandung bunyi-
bunyi dengan nilai tertentu (motivasi fonetis sekunder). Sumber nada emotif ini biasa digunakan
para sastrawan dalam puisi. Terlepas dari fungsi bunyi bahasa yang dapat menimbulkan rasa
senang atau tidak senang, ada bahasa yang memiliki struktur kata yang secara umum lebih indah
atau enak didengar dari bahasa lainnya.
Penggunaan kata-kata dalam konteks tertentu dapat juga menimbulkan perasaan tertentu.
Peluang ini juga banyak digunakan para penyair. Slogan slogan yang sering dipakai entah
sebagai moto atau untuk propaganda, memanfaatkan juga kemungkinan-kemungkinan ini.
Upaya-upaya kebahasaan yang dapat meningkatkan nada emotif dapat berbentuk: upaya
fonetis, upaya leksıkal, dan upaya sintaksis. Upaya fonetis, atau sering disebut juga dengan
istiiah fonostilistik, dapat berbentuk tekanan keras yang disertai atau tidak disertai pemanjangan
pada puncak silabis dari suku kata yang ditekan. Upaya leksikal biasanya dilakukan secara
eksplisit melalui perbandingan, atau secara implisit melalui metafora. Dalam bahasa Jawa
terdapat kata-kata khusus yang menyatakan gerak yang cepat: cespleng. plong, ger, dan
sebagainya.
Upaya sintaksis biasanya berbentuk perubahan tata urutan kata dalam kalimat. Gaya
bahasa retorik dapat digunakan secara baik sebagai upaya yang efektif: hiperbol, gaya klimaks,
anastrofa, preterisio, pertanyaan retorik (erotesis) dan sebagainya (lihat Keraf, Diksi dan Gaya
Bahasa).
5. Kenyawaan
Kenyawaan (animacy) adalah suatu hirarki mengenai kehidupan yang terdiri dari
peringkat komponen-komponen dari yang paling tinggi hingga ke paling rendah: manusia
binatang-tak-bernyawa. Ada bahasa yang memiliki upaya kebahasaan yang secara terperinci
membedakan lagi hirarki itu atas: manusia (human) versus non-manusia (non-human), bernyawa
(animate) versus tak bernyawa (inanima) atau dengan cara-cara lain yang lebih terperinci.
Kategori kenyawaan ini sering tidak berdiri sendiri, tetapi dikaitkan dengan kategori-
kategori lain, entah dengan kategori morfologis, leksikal, atau sintaksis.
Bahasa-bahasa yang membedakan gender atas maskulin, feminin, dan neutrum pada
dasarnya bertalian juga dengan kenvawaan. Gender maskulin dan feminin pada dasarnya
bertalian dengan manusia, atau lebih jauh bertalian dengan sesuatu yang bernyawa, baik manusia
maupun binatang serta tumbuh-tumbuhan. Sebaliknya, neutrum bertalian dengan kenyawaan
yang rendah yaitu sesuatu yang tak bernyawa.
Dalam perkembangan lebih lanjut, ada kata-kata benda yang non-manusia diperlakukan
dengan kasus-kasus atau sifat-sifat seperti manusia, namun dalam beberapa kasus tertentu kata-
kata benda yang non-manusia itu tetap diperlakukan seperti sesuatu yang tak-bernyawa, misalnya
mengenai kata ganti. Sistem kata benda dalam bahasa Inggris tidak membedakan manusia dan
non-manusia, atau bernyawa dan tak-bernyawa, tetapi dalam pronomina personalianya
membedakan manusia dan non-manusia: he dan she untuk manusia dan it untuk non-manusia,
tetapi dalam bentuk jamaknya tidak lagi membedakan kategori itu.
Bahasa Indonesia tidak memiliki ciri-ciri morfologis untuk membedakan manusia dan
non-manusia, atau bernyawa versus tak-bernyawa, tetapi dalam frasa penggolong (classifier) ada
kata-kata tertentu yang dipakai untuk membedakan kategori kenyawaan itu.
Untuk manusia digunakan kata orang, untuk binatang digunakan kata ekor, sementara
untuk yang tak-bernyawa dapat digunakan bermacam- macam kata, seperti buah, batang, helai
dan butir. Bila dikaitkan dengan kata ganti, maka semua yang termasuk dalam kategori manusia
dapat mempergunakan kata ganti secara leluasa, sebaliknya untuk binatang (bernyawa tetapi
non-manusia) agak janggal, sementara untuk tak-bernyawa hampir tidak bisa.
BAB VII
TIPOLOGI DAN PERUBAHAN HISTORIS
Tipologi bahasa bukan merupakan suatu hasil perbandingan yang sekali jadi dan akan
lestari sepanjang masa. Klasifikasi tipologis harus dilakukan secara terus-menerus karena
beberapa alasan.
1. Pertumbuhan intern bahasa dengan inovasinya yang menambahkan ciri-ciri baru yang
tidak diwarisi bahasa proto. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya perkembangan
intern bahasa berupa pembaruan kosakata, pemerkayaan atau penghilangan bentuk-
bentuk terikat, pergeseran pola sintaksis, dan sebagainya.
2. Pengaruh bahasa-bahasa lain nonkerabat sehingga sebuah bahasa memperoleh tipe-tipe
lain. Hal ini tampak jelas pada penutur bahasa yang bermukim di Italia, Spanyol, Swiss
bagian selatan, dan Romania yang menerima unsur dari Latin sehingga bahasa asli di
daerah itu membentuk cabang baru yang disebut bahasa Roman.
3. Teknik analisis dan klasifikasi yang lebih baik dari sebelumnya. Misalnya dalam
penelitian awal yang membentuk rumpun Ural-Altai (kerabat genealogis) dengan
memasukkan bahasa-bahasa Ural, Turki, Mongol, dan Tungusk sebagai satu rumpun
bahasa.
Terlepas dari keberatan apakah benar bahasa Indonesia mengambil dari bahasa Mon dan
Palaung, pendapat itu sekurang-kurangnya menunjukkan bahwa imbuhan-imbuhan itu
sebenarnya berasal dari kata penuh yang dilekatkan dengan kata lain.
Perubahan pronominal menjadi perfiks atau sufiks falam bahasa Indonesia dan Melayu
ternyata belum mencapai titik seperti yang telah dicapai bahasa Lamalera. Namun, bentuk kritik
pronominal personalia yang dilekatkan sebelum kata kerja atau sesudah kata benda juga dapat
menjelaskan hal itu.
Bahasa Latin Klasik memiliki urutan SOV (urutan yang dominan) sementara bahasa-
bahasa Roman memiliki urutan SVO. Ada anggapan umum bahwa bentuk klitik pronomen yang
preverbal dalam bahasa-bahasa Roman merupakan buki dari residu urutan bahasa Latin Klasik
yang postverbal. Namun, suatu penelitian yang mendalam mengenai bahasa Latin Tengahan dan
tahap awal bahasa Roman menunjukkan adanya penyimpangan-penyimpangan yang kompleks
sehingga penggunaan bentuk klitik itu tidak dapat dijadikan bukti mengenai SOV itu.
Sekurang-kurangnya dengan beberapa evidensi sinkronis tersebut kita dapat menjelaskan
proses pembentukan prefiks dan sufiks pada masa lampau dan sekurang-kurangnya dapat
menyimpulkan 3 hipotesis:
1. Khususnya pada kata kerja, afiks-afiks persona pada verba secara diakronis berkembang
dari kata-kata bebas berupa pronomia personalia.
2. Morfem-morfem terikat yang lain diturunkan dari kata-kata bebas.
3. Jika serangkaian kata berfungsi satu sama lain sebagai satu rangkaian morfem dalam
sebuah kata, maka setelah itu tata urutan morfem tidak menjadi subjek perubahan.
BAB VIII
SEMESTAAN BAHASA
Basis Data
1. Pandangan Greenberg
Greenberg mengemukakan beberapa pendapat:
a. Ada kesepakatan umum bahwa suatu semestaan yang merupakan generalisasi tidak
dapat dirumuskan secara sederhana hanya untuk bertolak dari satu bahasa.
b. Walaupun basis data harus diambil dari semua bahasa di dunia, dalam kenyataannya
hal itu tidak mungkin dilakukan, karena ada bahasa yang sudah mati, ada bahasa yang
sudah tidak meninggalkan catatan tertulis, ada bahasa yang belum dideskripsi, di
samping itu jumlah bahasa yang terlalu besar sehingga sulit dicatat sampai tuntas.
2. Pandangan Chomsky
Chomsky beranggapan bahwa semestaan harus bertolak dari satu bahasa. Chomsky
berpendapat bahwa dalam analisis bahasa, khususnya dalam bidang sintaksis, bentuk-
bentuk sintaksis atau struktur atas memiliki tataran yang lebih abstrak, yaitu struktur
bawah. Menurut Chomsky, wujud abstrak inilah yang memberi suatu landasan potensial
dalam anaslis bahasa, terutama bila dikaitkan dengan kemampuan anak-anak dalam
mempelajari bahasa pertamanya.
Tingkat Analisis
Parameter yang membedakan dua pendapat di atas adalah menyangkut sifat atau tingkat
analisis. Menurut Chomsky, semestaan bahasa pertama-tama menyangkut relasi antara struktur
abstrak dan struktur yang konkrit. Sebaliknya, pendekatan Grenbeerg bertolak dari tatanan
analisis yang lebih konkrit.
hakikat pragmatik adalah bermacam peluang (cara) untuk menyampaikan informasi yang
sama secara esensial. Sementara dasar pragmatik berarti bahasa merupakan suatu sarana
pemenuhan kebutuhan komunikatif praktis bagi manusia.