Anda di halaman 1dari 48

Hukum Pernikahan dalam Islam

XII – IPA – 3
Nama Kelompok

1. Adelia Lubna Safira Hemaliana (1)


2. Anamika Lingga Anjani Akbari (3)
3. Arda Setyo Wibowo (4)
4. Difa Aulia Majid (6)
5. Ghefira Septina Nur Azizah (8)
6. Marshelyna Yudha Arnanda (16)
7. Naufal Adli Purnama (21)
8. Virra Maulana Ristyowati (28)
Daftar Isi

1. Ila’
2. Li’an
3. Zihar
4. Khulu’
5. Fasakh
Ila’
Pengertian Ila’

• Ila’ merupakan tradisi orang-orang jahiliyah Arab


• sumpah suami bahwa ia tidak akan mencapuri istrinya dalam masa lebih empat
bulan atau dengan tidak menyebut masanya.
• bermaksud untuk menyakiti istrinya dengan cara tidak menggauli dan
membiarkan istrinya menderita berkepanjangan tanpa ada kepastian apakah
dicerai atau tidak.
Pengertian Ila’

• Setelah Islam datang, tradisi tersebut dihapus dengan cara membatasi waktu Ila’
paling lama empat bulan.
• Apabila masa empat bulan itu sudah lewat, suami harus memilih rujuk atau
talak.
• Apabila yang dipilih rujuk, suami harus membayar kafarat sumpah.
• Jika yang dipilih talak, akan jatuh talak sugra.
Dalil mengenai Ila’

Dalam Quran (QS. 2/Al-Baqoroh: 226-227):

"Bagi orang yang meng-ila’ istrinya (yakni bersumpah tidak akan mencampuri
istrinya) harus menunggu empat bulan. Kemudian jika mereka kembali (kepada
istrinya) , maka sungguh Allah Maha Pengampun Maha Penyayang (226) Dan jika
mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh Allah Mendengar,
Maha Mengetahui (227)"
Dalil Ila’

Sumber Hadits:

Artinya : Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah Saw. Telah bersumpah Ila’


diantara istrinya dan mengharamkan berkumpul dengan mereka. Lalu
beliau menghalalkan yang telah diharamkan dan membayar kafarat
bagi yang bersumpah.” (HR. Tirmidzi dan para rawinya dapat
dipercaya)
Kembali dari Sumpah Ila’

Ada tiga pendapat tentang cara kembali dari sumpah ila':

1. memilih campur kembali, namun jika berhalangan boleh secara lisan atau niat
saja.
2. cukup kembali dengan lisan, baik ketika berhalangan atau tidak.
3. mencabut sumpahnya dengan membayar denda sumpah, atau mencampuri
kembali setelah masa ditetapkan. Apabila setelah masa sumpah suami tidak
kembali, maka jatuhlah talaq.
Kifarah Sumpah Ila’

• Merdekakan seorang hamba yang mukmin, atau


• Memberi makan kepada 10 orang fakir miskin sehingga kenyang,
atau
• Memberi pakaian kepada 10 orang fakir miskin, jika tidak mampu
• Berpuasa tiga hari.
Contoh Kasus

Contoh Kasus
1) Apa yang hendaknya dilakukan istri jika –misalnya- suami bersumpah untuk tidak
menyetubuhinya selama tiga bulan?
 
Istri hendaknya bersabar hingga waktu ila’ (dalam kasus di atas tiga bulan) habis. Namun, apabila
dalam masa ila’ itu tiba-tiba suami ingin menyetubuhi dirinya dirinya, hendaknya ia bertanya kepada
suami apakah sudah membayar kaffarah atau belum.
 
 
 

 
 
 
 
Contoh Kasus

2) Jika pada tanggal 15 Muharram 1431 / 1 Januari 2010 M suami bersumpah tidak akan
menyetubuhi istrinya selama dua bulan, lalu pada tanggal 1 Rabi’ul Awal 1431 / 15 Februari 2010 M
ia menyesal dan merasa masih sayang pada istrinya,
a) bolehkah ia menyetubuhi istrinya pada tanggal tersebut?
b) Berdosakah ia bila menyetubuhi istrinya?
c) Apa yang harus dilakukannya bila ia benar-benar tidak tahan untuk mendatangi istrinya?
 
a) Suami tidak boleh menyetubuhi istrinya pada tanggal tersebut.
b) Ya, ia berdosa bila nekat melakukannya.
c) Bila ia ternyata tidak tahan untuk menyetubuhi istrinya, ia harus menggugurkan sumpahnya
dengan cara membayar kaffarah. Setelah itu, ia baru boleh menyetubuhi istrinya.
Contoh Kasus

3) Pada tanggal 15 Muharram 1431/ 1 Januari 2010 M, suami bersumpah tidak akan menyetubuhi
istrinya selama 7 bulan. Apa yang hendaknya dilakukan istri setelah genap 4 bulan masa ila’?
 
Jika sudah sampai habis waktu empat bulan masa ila’, istri hendaknya memberikan dua pilihan
kepada suami, yaitu (a) menyetubuhinya, atau (b) menceraikannya.
• Jika suami memilih point (a), yaitu menyetubuhinya, urusan selesai, istri bisa melanjutkan rumah
tangga bersama suaminya.
• Jika suami memilih point (b), yaitu menceraikannya, jatuhlah cerai dari pihak suami.
• Jika suami tidak memilih kedua pilihan di atas, yaitu ia tidak mau menyetubuhi istri maupun
menceraikannya, jatuhlah talak dengan sendirinya dari pihak suami meskipun suami tidak
mengucapkan lafal cerai. Meskipun hati istri masih ridho dan tidak mengajukan khulu’, tetaplah jatuh
cerai.
Contoh Kasus

 
4) Masih pada kasus nomor (3), jika pada bulan ketiga suami ingin menyetubuhi istrinya,
bolehkan ia langsung “mendatangi” istrinya?
 
Kasus Keempat
• Suami boleh menyetubuhi istrinya setelah ia membayar kafarah, sebelum masa ila’nya mencapai
empat bulan.
Li’an
Pengertian Li’an

Dalam bahasa Arab, kata li’an diambil dari kata al-la’nu, yang berarti laknat. Hal ini karena pada
sumpah yang kelima, suami yang melakukan lian terhadap istrinya berkata

“….bahwa laknat Allah akan menimpanya, jika ia termasuk orang yang berdusta.” (an-Nur [24]: 7)

Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa lian berarti “al-ib’ad”, yaitu penjauhan. Hal ini karena
suami istri yang saling melaknat akan mendapat dosa dan dijauhi dari rahmat Allah swt. Apabila
salah satu dari mereka berbohong maka ia akan mendapat laknat Allah. Ada juga yang mengatakan
bahwa hal itu disebut juga penjauhan karena masing-masing suami istri akan dipisahkan, dan mereka
diharamkan untuk menikah kembali selamanya.
Tata Cara Pengucapan Li’an

Mengenai sifat li’an, pendapat jumhur ulam saling berdekatan dan tidak ada perbedaan tertalu jauh.
Semuanya berpegangan pada lahir pengertian yang dikehendaki oleh ayat-ayat li’an, yaitu suami
bersumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali bahwa sesungguhnya ia telah melihat istrinya
berzina dan anak yang dikandung oleh istrinya bukan hasil hubungan dengan dia. Kemudian ia
mengatakan pada sumpah yang kelima bahwa laknat Allah atas dirinya jika dirinya termasuk orang-
orang yang berdusta. Selanjutnya, istri juga bersumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali
dengan membatalkan apa yang dipersaksikan oleh suami. Kemudian ia mengucapkan sumpah yang
kelima bahwa murka Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. Itu telah
disepakati oleh fuqaha.
Hukum Li’an

Jika suami menuduh istrinya berzina, tetapi istrinya tidak mengakuinya dan suami tidak mau menarik
tuduhannya maka Allah swt. meperbolehkan mereka melakukan li’an. Seperti firman Allah swt:

“Dan orang-orang yang menuduh istrinya(berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
sesungguhnya ia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat
Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman
oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk
orang-orang yang berdusta. Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu
termasuk orang-orang yang benar.” (an-Nur [24]: 6-9)
Dalil Li’an

(an-Nur [24]: 6-9) Pengertiannya:

“Dan orang-orang yang menuduh istrinya(berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
sesungguhnya ia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat
Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman
oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk
orang-orang yang berdusta. Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu
termasuk orang-orang yang benar.” (an-Nur [24]: 6-9)
Zihar
Pengertian Zihar

Secara bahasa Zhihar adalah pecahan dari Zhahrun (punggung). Sedangkan menurut istilah zihar
adalah ungkapan suami yang menyamakan istri dengan ibu kandung atau mahramnya seperti adik
atau kakak perempuannya. Zihar pada zaman jahiliyah merupakan cara untuk menceraikan istrinya.
Setelah Islam datang, Islam melarang perbuatan itu. Apabila zihar terlanjur dilakukan oleh suami, ia
wajib membayar kafarat(denda) dan dilarang mencampuri istrinya sebelum kafarat terbayar. Dan
apabila zihar tersebut ingin ditarik oleh suami, maka ia harus memerdekakan hamba sahaya/budak,
atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan kepada 60 orang miskin.
Dalil Zihar

Surat Al-Mujaadilah ayat 2-4 yang artinya:

“Orang-orang yang menzhihar isterinya diantara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya,
padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang
melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan
yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” (Al-
Mujaadilah: 2)
Dalil Zihar

“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami-isteri itu
bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan * Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak) maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya)
memberi makan enampuluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat
pedih” (Al-Mujaadilah: 3-4)
Rukun Zihar

1. Suami
2. Isteri
3. Perkara yang diserupakan

1. Anggota-anggota yang haram dilihat oleh sesama mahram.


Contoh punggung, perut, kemaluan, tangan, kepala, kaki, rambut, dan
lain-lain
2. Mestilah diserupakan dengan anggota wanita

4. Lafaz zihar
Rukun Zihar

Syarat musyabbah bih (sosok yang dijadikan penyerupaan) ada tiga yaitu:

1. Harus perempuan. Apabila yang dijadikan penyerupaan itu laki-laki baik kerabat dekat atau jauh
maka itu tidak sah alias sia-sia karena mereka bukan tempat untuk istimta‘ (meraih kesenangan)
2. Harus perempuan mahram yang tidak halal dinikah karena nasab seperti ibu, anak permepuan,
atau karena sesusuan (radha'ah) seperti ibu susuan atau yang menyusui ayahnya; atau karena
kemertuaan seperti ibu istrinya atau istrinya.
3. Wanita itu tidak halal sebelumnya. Seperti perempuan yang dinikah oleh ayahnya sebelum atau
bersamaan dengan kelahirannya. Adapun wanita yang dinikah ayahnya setelah lahirnya dia maka
wanita itu halal baginya sebelum dinikah oleh ayahnya. Contoh lain, istri dari anaknya. Maka ia
halal baginya sebelum dinikah oleh anaknya.
Rukun Zihar

Syarat sighat (lafaz) adalah harus berupa kata atau kalimat yang mengandung arti zihar (dhihar).

Sighat (lafaz) Zihar ada dua macam:

(a) Zihar sharih (ekplisit / jelas) yaitu kalimat yang sudah umum diketahui dipakai untuk arti zihar
(dhihar) seperti "Kamu bagiku bagikan punggung ibuku" atau "Kepalamu bagiku seperti
punggung ibuku" atau "... seperti tangan ibuku„

(b) Zihar kinayah (implisit / kiasan / implisit) yaitu kalimat yang tidak umum dipakai untuk zihar.
Seperti "Engkau seperti ibuku" atau "Engkau seperti mata ibuku" dan kalimat lain yang bisa
dipakai untuk zihar dan memuji. Zihar kinayah tidak terjadi kecuali dengan niat.
Contoh Zihar

contoh-contoh dari ungkapan zihar :

1. „Punggungmu sama dengan punggung ibuku.“


2. „Bagiku engkau seperti belakang ibuku, atau padaku engkau seperti
belakang ibuku.“
3. „Bagiku engkau seperti ibu dan adik beradik perempuanku atau,
padaku engkau seumpama emak dan adik perempuanku.“
Hukum setelah Zihar

Setelah cukup syarat jatuh zihar maka berlaku haram untuk menyetubuhi isterinya (yang diziharkan)
kecuali setelah dibayar Kifarah. Ini adalah pandangan jumhur.

Menurut tertibnya Kifarah Zihar adalah:

1. Membebaskan seorang hamba yang mukmin


2. Puasa 2 bulan berturut-turut
3. Memberikan makanan yang mengenyangkan kepada 60 orang fakir atau miskin, setiap orang 1
cupak makanan
4. Jika tak mampu juga makan tetaplah kifarah itu tertanggung keatas dirinya, bila ada kemampuan
wajiblah dia sempurnakan seberapa yang terupaya
Khulu’
Pengertian Khulu’

Khulu` adalah talaq tebus, yaitu talaq yang dijatuhkan oleh suami dengan ‘iwad
(tebusan) oleh istri kepada suami. Contohnya, Suami berkata “Aku talaq kamu
dengan bayaran sekian banyak” atau istri berkata “Aku menebus talaq ke atas
diriku dengan bayaran sekian banyak.”
Khulu’

Khulu` dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan sebagai berikut :

1. Istri sangat membenci suaminya karena sebab-sebab tertentu dan dikhawatirkan


istri tidak dapat mematuhi suaminya.

2. Suami istri dikhawatirkan dapat menciptakan rumah tangga bahagia dan akan
menderita apabila pernikahan dipertahankan.
Dalil Khulu’

Secara definitif, menurut syariat, khuluk ialah pengajuan talak oleh istri,
sebagaimana diungkapkan oleh Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam al-
Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz
IV, hal. 127:

Artinya: “Khuluk ialah talak yang dijatuhkan sebab keinginan dan desakan dari
pihak istri, hal semacam itu disyariatkan dengan jalan khuluk, yakni pihak istri
menyanggupi membayar seharga kesepakatan antara dirinya dengan suami, dengan
(standar) mengikuti mahar yang telah diberikan.”
Hukum Khulu’

1. Mubah

Ketentuannya, sang wanita sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian
dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat
menegakkan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya,
dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hukum Khulu’

2. Haram

a. Dari Sisi Suami.

Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya,


atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri
membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil,
dan tebusannya dikembalikan kepada wanita.
Hukum Khulu’

b. Dari Sisi Isteri

Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan
tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri
tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka
ini dilarang.
Hukum Khulu’

3. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai

Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri
disunnahkan Al-Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal.
 

 
Hukum Khulu’

4. Wajib

Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap orang
yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan.

Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat
menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak
mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu
membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban
bepisah, maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari suaminya tersebut
Al-Khulu walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah tidak patut menjadi isteri
seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur.
 
Syarat Sah Khulu’

1. Suami: Baligh, berakal, mukhtar (bebas) melakukan khulu‘ bukan dipaksa.


2. Isteri: Hendaklah seorang yang boleh menguruskan harta dan mukallaf.
3. Lafaz khulu‘: Hendaklah disebut dengan terang.
4. Bayaran khulu‘: Hendaklah dijelaskan dengan jumlah yang tertentu 
Ikrar Khulu’

 
“Menjatuhkan talak satu khul’i ( nama----------bin---------------) terhadap Penggugat
( nama--------------binti -------------) dengan iwadh berupa uang sejumlah
Rp---------------( tulis dengan huruf----------) .’’
Dampak Khulu’

 
Akibat hukum perceraian dengan khuluk:

1. istri tidak bisa dirujuk, berakhir dengan takak ba’in, kalau ingin rujuk harus
menikah baru lagi, berlaku pasal 161 Kompasi Hukum Islam.

2. tentang akibat hukum terhadap anak atau anak-anaknya sama dengan akibat
hukum yang telah diatur dalam pasal 149 huruf d kompilasi hukuk Islam
(memberikan biaya hadhanah untuk anakanaknya yang belum mencapai umur 21
tahun).
Contoh Khulu’

 suami bilang kepada istrinya, “ Aku menceraikan kamu dengan uang Rp 1.000.000 ”. Istri kemudian menjawab “
Aku menerimanya”. Apabila perkataannya seperti ini, maka istri harus memberikan uang sebanyak Rp 1.000.000
sebagai tebusan kepada si suami. Sedangkan apabila tidak disebutkan tentang berapa jumlah khulu-nya, maka istri
hanya perlu untuk mengembalikan maskawin sebanyak yang pernah diterimanya dahulu.
 
Khulu diperbolehkan bila keduanya sama-sama khawatir tak dapat melakukan aturan Allah.[4] Si istri khawatir,
membuat kedurhakaan karena perbuatan suaminya, misalkan seorang suami tidak mau disuruh shalat, dilarang untuk
bermain judi, ia membangkang dan bersikap kasar.[4] Maka lebih baik bercerai karena takut mendapat dosa dari
Tuhan yang disebabkan karena membiarkan suaminya melakukan dosa terus menerus.[4] Sebaliknya, suami
khawatir kalau istrinya tak mau mengikuti perintahnya, ia berbuat sesuatu ang tak diharapka istrinya itu, seperti
menampar, memukul, dan lain sebagainya.[4] Dalam keadaan seperti itu Khulu diperbolehkan.
Fasakh
Pengertian Fasakh

Fasakh ialah membatalkan atau pembubaran akad nikah disebabkan oleh kecacatan
yang berlaku pada waktu akad atau kecacatan yang mendatang selepas berlakunya
akad nikah yang menghalang kekalnya perkawinan.
Sebab Fasakh

Antara sebab yang boleh menyebabkan berlakunya fasakh yang menghalang perkahwinan tersebut
diteruskan.

1. Sebab yang merusak akad.

1. Perkahwinan antara muhrim, sama ada sebab keturunan, susuan atau persemendaan.
2. Isteri orang, atau isteri yang dalam tempoh ‘iddah talaq suami pertamanya. Pernikahan yang
dilakukan semasa belum baligh (kecil) dan apabila baligh minta difasakhkan akad itu.
3. Wali fasiq atau Saksi fasiq (akad tidak sah sejak diadakan), Murtad salah seorang daripada
keduanya (akad terbatal)
Sebab Fasakh

2. Sebab yang mendatang selepas pernikahan.

1. Salah seorang daripada suami atau isteri itu murtad


2. Pasangan suami isteri bukan Islam semasa bernikah dan salah seorang memeluk Islam.
3. Akad Nikah sah tetapi difasakhkan oleh qadhi atas tuntutan isteri sama ada kerana suami
berpenyakit
4. Suami tidak mampu membayar mahar (pemberian wajib daripada suami kepada isteri) atau
Suami tak mampu beri nafkah (mengeluarkan belanja kepada mereka yang berada di dalam
tanggungan)
5. Kesukaran di pihak isteri kerana suami hilang, suami dipenjara, suami menyakiti isteri
secara keterlaluan (penderaan fizikal dan mental) atau sebagainya.
Sebab Fasakh

Suami atau isteri menganiayai isteri atau suaminya, iaitu antaranya:

1. Lazim menyakiti atau menjadikan kehidupannya menderita disebabkan kelakuan aniaya.


2. Coba memaksa isteri hidup secara lucah.
3. Melupuskan harta isteri atau suami atau melarang isteri atau suami itu daripada menggunakan
hak-haknya di sisi undang-undang terhadap harta itu.
4. Menghalang isteri atau suami daripada menunaikan atau menjalankan kewajipan atau amalan
agamanya.
5. Jika suami mempunyai isteri lebih daripada seorang, dia tidak melayani isterinya secara adil
mengikut kehendak-kehendak hukum syara‘.
Hikmah Fasakh

1. Untuk menjamin hak dan perlindungan kepada kaum wanita sekiranya mereka
teraniaya.
2. Menyadarkan kaum suami bahwa perceraian bukan hanya dimiliki secara mutlak
oleh suami saja.
3. Menunjukkan keunggulan syari‘at Allah subhanahu wata‘ala yang Maha
Mengetahui akan keperluan hambaNya.
Terima Kasih Atas Perhatiannya

Anda mungkin juga menyukai