Anda di halaman 1dari 26

Perspektif dan Tujuan Pendidikan IPS

Oleh
Sugeng Sugiharto, S.Pd.SD.,M.Pd
Staima Kota Banjar
3 Tradisi Pembelajaran IPS
 Pendidikan IPS sebagai pendidikan disiplin ilmu dengan bidang kajian eklektik.
Gagasan IPS sebagai pendidikan disiplin ilmu banyak disuarakan oleh Numan
Somantri dalam berbagai forum akademik. IPS memiliki kekhasan sebagai
pendidikan disiplin ilmu, yakni kajiannya bersifat terpadu (integrated),
interdisipliner, dan multidimensional. Pendidikan IPS yang baru dikenalkan dan
dikembangkan dalam kurikulum Indonesia di awal tahun 1970-an, kini semakin
berkembang, sejalan dengan perkembangan pemikiran di negara maju.
 Program pembelajaran IPS harus mampu memberikan pengalaman-
pengalaman belajar yang berorientasi pada aktivitas belajar peserta didik,
Pelibatan peserta didik dalam aktivitas belajar agar mereka memiliki
kemampuan memecahkan masalah dalam lingkungan belajar yang dibuat
sebagaimana realitas yang sesungguhnya.
 Tujuan pendidikan IPS menurut Gross dalam Al Muchtar (2001) adalah
mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik dalam
masyarakat yang demokratis.
Ada tiga tradisi dalam social studies, menurut Robert Bart, James Barth dan
Samuel J. Shermis, yaitu:
1.IPS sebagai transmisi kewarganegaraan (Social Studies taught as
Citizenship Transmission)
2.IPS sebagai ilmu-ilmu sosial (Social Studies taught as Social Science)
3.IPS sebagai penelitian mendalam (Social Studies taught as Reflective
Inquiry)
Terdapat empat kategori strategi pembelajaran IPS sebagai berikut:
Strategi pembelajaran yang menunjang kreativitas guru, di antaranya adalah:
1.      Strategi Sinektik (Synectics)
 Strategi ini berasal dari W.J.J Gordon yang merupakan strategi (teknik) berpikir kreatif menggunakan analogi dan
metafora (kiasan) untuk membantu pemikir menganalisis masalah dan mengembangkannya dari berbagai sudut.
Terdapat tiga jenis analogi yang digunakan dalam sinektik yaitu: (1) analogi fantasi, (2) analogi langsung, (3).
analogi pribadi. Yang paling banyak digunakan dalam pembelajaran adalah analogi fantasi. Dalam analogi fantasi,
siswa mencari pemecahan masalah ideal untuk mencari solusi bahkan yang aneh-aneh, tidak lazim tapi menarik.
2.     Strategi sosiodrama
 Sosiodrama pada hakekatnya merupakan usaha pembelajaran untuk memainkan kembali suatu insiden historis
ataupun peristiwa-peristiwa sejarah.  Sosiodrama juga dapat menggambarkan secara artistik seluruh proses
kehidupan manusia, merefleksikan hidup dalam pertentangan tokoh, gerakan sosial, atau moral yang timbul.
Dalam sosiodrama didasarkan pada karya kreatif untuk menampilkan kehidupan dari gambaran yang tak lengkap
menjadi bentuk yang hidup dan bergairah dalam realitas yang obyektif. Dalam Sosiodrama tedapat komponen-
komponen kegiatan: (1) menentukan tujuan pembelajaran, (2) menentukan topik, (3) menentukan/memilih peran,
(4) pemeranan adegan, (5) diskusi/evaluasi pemeranan. Sosiodrama dapat dikatakan sebagai alat pendidikan
dalam menghayati karakter tokoh/pameran yang dimainkan tentunya tidak lepas dari upaya karakterisasi nilai-nilai
kejuangan yang diperankan siswa, yang pada gilirannya diharapkan adanya transfer of learning pada pribadi
siswa.
3.      Strategi Studi Ekskursi Perjalanan
 Studi Wisata adalah suatu prosedur pembelajaran yang memberikan pengamatan langsung tentang
fenomena dan kumpulan data di tempat sebenarnya. Studi wisata merupakan strategi pembelajaran
dengan datang dan mengamati langsung objek pembelajaran. Hal ini berbeda dengan studi pustaka
atau studi ke perpustakaan. Tujuan dari studi wisata adalah mempelajari sesuatu objek baik objek
sejarah, geografi secara konkret, menggunakan pengalaman sensori dan melatih murid dalam
menerapkan metodologi riset. Melalui studi wisata ini, siswa tidak hanya belajar hafalan semata
melainkan melakukan riset bersama langsung ke tempat yang dituju.
4.     Strategi Inkuiri Sosial
 Strategi inkuiri sosial pada hakekatnya sebagai suatu strategi pengembangan kemampuan siswa untuk
melakukan penyelidikan dan merefleksikan sifat kehidupan sosial terutama sebagai latihan hidup
langsung di masyarakat. Pendekatan strategi ini bertolak dari suatu keyakinan bahwa dalam rangka
pengembangan kemampuan siswa secara independen, penyelidikan masalah-masalah sosial sangat
diperlukan sebagai partisipasi aktif warganegara / warga masyarakat. Siswa dan sekolah sebagai
bagian dari masyarakat juga harus berkontribusi dalam pemikiran dalam menghadapi permasalahan
dalam kehidupan nyata di masayarakat. Sekolah tidak hanya berkewajiban untuk memelihara nilai-nilai
di masyarakat, tetapi juga harus memberikan keaktifan kepada siswa yang secara kritis dalam
menghadapi masalah-masalah sosial yang muncul.
 Perkembangan IPS dalam Kurikulum 2013, untuk jenjang SMP
IPS merupakan mata pelajaran yang mengkaji tentang isu-isu
sosial dengan unsur kajiannya dalam konteks peristiwa, fakta,
konsep, dan generalisasi. Tema yang dikaji dalam IPS adalah
fenomena-fenomena yang terjadi di masa lalu, masa sekarang,
dan kecenderungan di masa mendatang.
 Pada jenjang SMP/MTs mata pelajaran IPS memuat materi
geografi, sejarah, sosiologi, dan ekonomi. Melalui mata pelajaran
IPS, peserta didik diharapkan dapat menjadi warga negara
Indonesia yang demokratis, bertanggung jawab serta warga
dunia yang cinta damai. Materi disajikan terpadu, tidak dipisah
dalam kelompok Geografi, Sejarah, Ekonomi, Sosiologi.
Terdapat empat hal penting dalam perkembangan IPS pada kurikulum 2013 yakni:
a.      Bahwa IPS untuk SMP/MTs objek kajianya merupakan isu-isu sosial, dengan
unsur kajianya dalam konteks peristiwa, fakta, konsep dan generalisasi. Hal ini dapat
dipahami karena isu-isu sosial dalam konteks peristiwa, fakta, konsep dan
generalisasi pada hakikatnya menggambarkan dunia nyata (peristiwa) dan struktur
keilmuan (fakta, konsep dan generalisasi).
b.     Tema yang dikaji dalam IPS adalah fenomena-fenomena yang terjadi di dalam
masyarakat baik masa lalu, masa sekarang maupun kecenderungan masa yang
akan datang. Hal ini maksudnya adalah bahwa dalam kajian pembelajaran IPS tidak
lepas dari proses masa lalu yang berkesinambungan maupun perubahan dengan
masa sekarang serta dapat diprediksi kecenderungan untuk masa depan.
c.      Materi IPS terdiri atas geografi, sejarah, sosiologi dan ekonomi
d.     Tujuan pembelajaran IPS adalah agar peserta didik menjadi warga negara
Indonesia yang demokratis, bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.
IPS Sebagai Pembentukan Kepribadian/
Karakterbangsa
 Dengan mencermati uraian tentang pengertian dan tujuan IPS, akan terlihat
bahwa pendidikan IPS sebenarnya sangat erat kaitannya dengan pendidikan
karakter. Hal ini terlihat pada rumusan tujuannya, bahwa pendidikan karakter
atau pendidikan nilai juga bertujuan agar peserta didik menjadi warga negara
yang baik. Bahkan, secara tegas Gross menyatakan, “Values Education as
social studies “to prepare students to be well-fungtioning citizens in
democratic society” (Darmadi, 2007:8). Secara konseptual, istilah pendidikan
nilai ini sering disamakan dengan pendidikan religius, pendidikan budi
pekerti, pendidikan akhlak mulia, pendidikan moral atau pendidikan karakter
itu sendiri (Samsuri, 2009:1; dan Zuchdi, 2008:5).
 Pendidikan karakter, pendidikan moral, atau pendidikan budi
pekerti itu dapat dikatakan sebagai upaya untuk
mempromosikan dan menginternalisasikan nilai-nilai utama,
atau nilai-nilai positif kepada warga masyarakat agar menjadi
warga bangsa yang percaya diri, tahan uji dan bermoral tinggi,
demokratis dan bertanggung jawab serta survive dalam
kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, pendidikan
karakter merupakan proses pembudayaan dan pemanusiaan.
Pendidikan karakter akan mengantarkan warga belajar
dengan potensi yang dimilikinya dapat menjadi insaninsan
yang beradab, dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai
kemanusiaan, nilai-nilai kehambaan dan kekhalifahan.
 Dalam konteks keindonesiaan pendidikan karakter adalah proses
menyaturasakan sistem nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya
Indonesia dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Pendidikan karakter bangsa merupakan suatu proses
pembudayaan dan transformasi nilainilai kemanusiaan dan nilai-nilai
budaya bangsa (Indonesia) untuk melahirkan insan atau warga
negara yang berperadaban tinggi, warga negara yang berkarakter.
Karakter bangsa adalah sebuah keunikan suatu komunitas yang
mengandung perekat kultural bagi setiap warga negara. Karakter
bangsa menyangkut perilaku yang mengandung core values dan
nilai-nilai yang berakar pada filosofi Pancasila, dan simbol-simbol
keindonesiaan seperti: Sang Saka Merah Putih, semboyan Bhineka
Tunggal Ika, lambang Garuda Pancasila, Lagu Indonesia Raya
(ALPTKI, 2009:3)
 Dengan demikian pendidikan karakter sebenarnya sebagai upaya
kembali ke hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Dijelaskan di
dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Inilah rumusan tujuan pendidikan yang sesungguhnya, tujuan
pendidikan yang utuh dan sejati.
 Ujian Nasional (UN) yang sebenarnya merupakan program
peningkatan kualitas pendidikan, dalam hal-hal tertentu telah
melahirkan budaya nerabas, kurang sistematis yang dapat
membawa dampak pendangkalan nilai-nilai moral dan
kemanusiaan. Begitu juga sertifikasi guru yang sebenarnya
untuk meningkatkan profesionalisme guru dan kualitas
pembelajaran, belum sepenuhnya memenuhi harapan.
Bahkan dengan persyaratan harus memenuhi 24 jam, tidak
jarang memunculkan rasa ketidakadilan, keirihatian dan
kefrustasian bagi guru yang sudah bersertifikat pendidik
tetapi tidak dapat memenuhi 24 jam setelah berbagai upaya
yang dilakukan gagal (misalnya, guru-guru rumpun IPS)
 Pendidikan karakter yang terkait dengan aspek nilai, moral dan
kepribadian, sangat sulit untuk diukur. Sebagai akibat dari kuatnya
pengaruh aliran positivisme, telah membawa kebiasaan bahwa tagihan-
tagihan penyelenggaraan pendidikan lebih bersifat akademik, dapat
dikuantifikasikan, selalu observable, dan dapat diukur secara nyata.
Dengan alasan objektivitas, maka dikembangkan instrumen penilaian
(soal-soal tes) yang juga mendekati “kepastian”, misalnya, soal dengan
pilihan ganda. Menekankan penilaian pendidikan yang semata-mata
pada kemampuan akademik-intelektualistik telah meredusir
keseluruhan proses pendidikan yang hanya pada satu dimensi, dan
sering mengabaikan aspek yang fundamental dalam kehidupan, yakni
pengembangan karakter. Makna pribadi seseorang bagaikan
sekumpulan barang produksi yang dapat dikuantifikasi dan
distandarisasi (Koesoema 2007:120, 277).
IPS Sebagai Proses Decision Making
(Pengambil Keputusan)
 Makna konsep pengambilan keputusan (decision making) berkaitan dengan kemampuan berpikir tentang
alternatif pilihan yang tersedia, menimbang fakta dan bukti yang ada, mempertimbangkan tentang nilai
pribadi dan masyarakat. Apabila seorang dihadapkan pada pilihan-pilihan tersebut maka kemungkinan
jawaban yang muncul adalah pilihan yang tepat atau tidak tepat. Dalam konteks pembelajaran, konsep
pengambilan keputusan sebagai model pembelajaran dalam IPS merupakan salah satu model keterampilan
dalam penentuan pilihan dari alternatif di atas.
 Ada perbedaan antara model pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran pengambilan keputusan.
Banks (1990) menyatakan bahwa tujuan dasar dari inkuiri sosial adalah untuk menghasilkan pengetahuan
dalam bentuk fakta, konsep, generalisasi, dam teori. Tujuan tersebut adalah untuk mengakumulasi
pengetahuan sebanyak mungkin. Dalam hal ini, ilmuwan sosial punya perhatian besar untuk
menghasilkan pengetahuan sedangkan para pengambil keputusan punya perhatian utama dalam hal
bagaimana pengetahuan yang dihasilkan oleh ilmuwan sosial dapat digunakan untuk membantu
memecahkan masalah dan membuat keputusan
 Banks mengatakan bahwa kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan
tidaklah muncul dengan sendirinya. Pengambilan keputusan adalah suatu
keterampilan yang harus dibina dan dilatihkan. Apabila seseorang selalu membina
kemampuan dalam membuat keputusan maka orang tersebut akan memiliki
kemampuan bertindak secara cerdas. Kemampuan ini sangat diperlukan dalam
rangka menuju masyarakat madani (civil society) yang demokratis sebagai
masyarakat harapan Indonesia di masa depan.
 Banyak peluang bagi guru mengajar dan siswa belajar menggunakan model
pembelajaran pengambilan keputusan. Baik guru maupun siswa dapat
memanfaatkan organisasi intra maupun ekstrakurikuler sebagai wadah pembinaan.
Misalnya, sebagai bagian dari upaya membantu mengembangkan keterampilan
berkewarganegaraan, umumnya sekolah-sekolah di Indonesia memiliki wadah
pembinaan untuk siswa, yakni melalui Oganisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Dalam
organisasi ini, guru dapat berperan sebagai pembina dan fasilitator. Organisasi ini
pun dapat dijadikan sebagai laboratorium tempat praktikum bagi siswa dalam
menerapkan langkah-langkah proses pengambilan keputusan
 Proses pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan manakala pengetahuan
orang tentang masalah terkait tidak ada (vacuum). Pengetahuan sosial
merupakan komponen yang sangat penting bagi tercapainya pengambilan
keputusan yang logis. Sebagai contoh, para mahasiswa mengambil
keputusan melakukan demonstrasi turun ke jalan menuntut Soeharto turun
dari jabatan presiden setelah mereka tahu betapa rusaknya sendi-sendi
kehidupan, mental, moral bangsa terutama di bidang hukum, ekonomi, dan
politik. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah merasuk dan
merajalela di mana-mana. Sementara itu, muncul pemikiran-pemikiran kaum
intelektual, cendekiawan, kaum reformis, dan kalangan perguruan tinggi
tentang perlunya reformasi. Untuk melakukan demonstrasi, para mahasiswa
pun telah menyadari bagaimana akibat-akibat yang akan timbul apabila
kondisi bangsa demikian dibiarkan.
 Komponen yang kedua perlu dimiliki oleh orang yang
melakukan pengambilan keputusan (decision maker) adalah
metode atau cara mencapai pengetahuan. Pengetahuan
diperlukan untuk membuat keputusan reflektif. Kerlinger
menyimpulkan bahwa ada empat metode untuk memperoleh
pebgetahuan, yaitu: (a) berpegang pada apa yang telag
diketahui kebenarannya (method of tenacity); (b) mencari
informasi untuk mempercayai (method of authority); (c)
mengetahui sesuatu karena telah disepakati kebenarannya (a
priori methode); dan (d) metode ilmiah (method of science).
Setelah memperoleh pengetahuan dan tahu bagaimana memperoleh
pengetahuan tersebut ada baiknya kita pun mengenal model pembelajaran
pengambilan keputusan menurut Banks. Langkah-langkah yang dianjurkan
dalam melakukan proses pengambilan keputusan secara sekuensial, sebagai
berikut:
a)    Mengenal masalah yang perlu diambil keputusan.
b)   Perolehan pengetahuan melalui inkuiri ilmu sosial.
c)    Mengorganisir masalah dan pengetahuan untuk bahan pembelajaran.
d)   Inkuiri nilai.
e)    Pengambilan keputusan dan tindakan untuk warga negara.
f)    Menentukan urutan tindakan.
g)   Memberi kesempatan kepada warga negara untuk bertindak dan
beradaptasi (di lingkungan masyarakat dan sekolah).
 Model pembelajaran pengambilan keputusan (decision making) merupakan
model pembelajaran yang berkaitan dengan kemampuan berpikir tentang
alternatif pilihan yang tersedia, menimbang fakta dan bukti yang ada,
mempertimbangkan tentang nilai pribadi dan masyarakat. Keterampilan
pengambilan keputusan ini dapat dibina dan dilatihkan kepada siswa, sehingga
apabila keterampilan ini dibina dan dilatihkan kepada siswa secara profesional,
maka siswa akan memiliki kemampuan bertindak dalam pengambilan keputusan
secara cerdas. Selain itu, konsep dan langkah-langkah proses pengambilan
keputusan (decision making process) ini memberikan kesempatan kepada para
siswa dan guru untuk berpikir melalui berbagai alternatif pemecahan masalah.
Guru yang mendorong para siswa berpikir tentang alternatif dan bukti, serta
nilai-nilai yang berkaitan dengan proses pemecahan masalah secara partisipatif
dapat melibatkan diri dengan para siswa. Dengan adanya partisipasi orang
dewasa (guru) maka teknik decision making memperoleh tempat yang baik bagi
pembelajaran IPS, terutama ditingkat SD
Tujuan Pembelajaran IPS di SD

 Mengenai tujuan ilmu pengetahuan sosial, para ahli sering mengaitkannya dengan
berbagai sudut kepentingan dan penekanan dari program pendidikan tersebut.
Waterwroth, (2007: 5) menyebutkan bahwa tujuan social studies (IPS) adalah untuk
mempersiapkan siswa menjadi warga negara  yang baik dalam kehidupannya di
masyarakat, dimana secara tegas ia mengatakan "to prepare students to be well-
functioning citizens in a democratic society". Tujuan lain dari IPS adalah untuk
mengembangkan kemampuan siswa menggunakan penalaran dalam mengambil
keputusan setiap persoalan yang dihadapinya. "We also think that the social studies
should be more concerned with helping student make the most rational decicisions
that they can in their  own personal lives." (NCSS, 2007).
 Melalui pembelajaran IPS diharapkan mampu dikembangkan aspek
pengetahuan dan pengertian (knowledge and understanding), aspek sikap
dan nilai (atitude and value), dan aspek keterampilan (skill) (Skeel, 1995;
Jarolimek, 1993). Untuk skala Indonesia, maka tujuan IPS khususnya
pembelajaran IPS pada jenjang sekolah dasar sebagimana tecantum dalam
Kurikulum IPS-SD Tahun 2006 adalah agar peserta didik mampu
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna bagi
dirinya dalam kehidupannya sehari-hari (Depdiknas, 2006). Ilmu
pengetahuan sosial juga membahas hubungan antara manusia dengan
lingkungannya, yaitu lingkungan masyarakat dimana anak didik tumbuh
dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat, dan dihadapkan pada
berbagai permasalahan yang ada dan terjadi di lingkungan sekitarnya.
 Pembelajaran IPS berusaha membantu siswa dalam memecahkan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi, sehingga akan
menjadikannya semakin mengerti dan memahami lingkungan sosial
masyarakatnya (Cleaf, 1991). Ilmu pengetahuan sosial dibelajarkan di
sekolah dasar, dimaksudkan agar siswa menjadi manusia dan warga
negara yang baik, seperti yang diharapkan oleh dirinya, orang tua,
masyarakat, dan agama (Somantri, 2004). Kosasih (Waterworth,
2007) dengan penekanan yang agak berbeda mengatakan bahwa
pembelajaran IPS di sekolah dasar pada dasarnya dimaksudkan untuk
pengembangan pengetahuan, sikap, nilai-moral, dan keterampilan
siswa agar menjadi manusia yang mampu memasyarakat (civic-
community).
 Pola pembelajaran IPS di SD hendaknya lebih menekankan pada unsur
pendidikan dan pembekalan pemahaman, nilai-moral, dan
keterampilan-keterampilan sosial pada siswa. Untuk itu, penekanan
pembelajarannya bukan sebatas pada upaya mencekoki atau menjejali
siswa dengan sejumlah konsep yang bersifat hapalan belaka, melainkan
terletak pada upaya menjadikan siswa memiliki seperangkat
pengetahuan, sikap, nilai, dan keterampilan agar mereka mampu
menjadikan apa yang telah dipelajarinya sebagai bekal dalam
memahami dan ikut serta dalam melakoni kehidupan
masyarakat  lingkungannya, serta sebagai bekal bagi dirinya untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Disinilah
sebenarnya penekanan misi dari pembelajaran IPS di sekolah dasar.
 Pembelajaran IPS sebagai salah satu program pendidikan yang membina dan
menyiapkan peserta didik sebagai warga negara yang baik dan memasyarakat
diharapkan mampu mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat
sehingga siswa mempunyai bekal pengetahuan dan keterampilan dalam melakoni
kehidupan di masyarakat. Guru di tuntut untuk  mampu mengikuti dan
mengantisipasi berbagai perubahan masyarakat tersebut, sehingga program
pembelajaran yang dilakukannya dapat membantu siswa  dalam mempersiapkan
dirinya sebagai warga masyarakat dan warga negara untuk memecahkan berbagai
persoalan yang dihadapi dalam kehidupannya sehari-hari.
 Guru harus cermat dalam memilih model pembelajaran dan merancang program
serta strategi pembelajaran, sehingga pembelajaran yang dilakukannya menjadi
pembelajaran yang menarik, aktual, dan fungsional bagi siswa. Pemilihan
model  pembelajaran oleh guru mempunyai dampak yang sangat esensial bagi
perolehan belajar siswa.            
 Kondisi pembelajaran IPS di Indonesia dewasa ini lebih diwarnai oleh pendekatan
yang menekankan pada model belajar konvensional yang lebih banyak diwarnai
dengan ceramah, sehingga kurang mampu merangsang siswa untuk terlibat secara
aktif dalam proses belajar-mengajar (Smith, 1999; Suwarma, 1991). Suasana
belajar seperti ini semakin menjauhkan peran IPS dalam upaya mempersiapkan
warga negara yang baik dan mampu bermasyarakat. Kondisi pembelajaran IPS
dewasa ini khususnya pada jenjang  sekolah dasar, menunjukkan indikasi bahwa
pola pembelajaran yang dikembangkan oleh guru cenderung bersifat guru sentris
sehingga siswa hanya menjadi objek pembelajaran.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai