Anda di halaman 1dari 13

Struktur Kelembagaan Media Masa

Pengelolaan Jurnalistik dan Kode Etik


Jurnalistik

By Kelompok 3 :
Acing Latupono ( 201931005 ) |Eka Diana Bugis ( 201931055) |Ratu
Wasti Seiteraya ( 201931033) | Elpin Hitimala (201931085) | Muhammad
Junaldi Jufri (201931027) |Salweli Borut | EPA (202031014) | Putri
nglimy (202031018) |Rio V Latuihamalo (202031022) | Shara Venesia
Ubra ( 202031020 ) |Ansyari Yahya hatuwe (202031006)
 
Pengertian Kode Etik Jurnalistik

Ditinjau dari segi bahasa, kode etik berasal dari dua bahasa,
yaitu “kode” berasal dari bahasa Inggris “code” yang berarti
sandi, pengertian dasarnya dalah ketetuan atau petunjuk yang
sistematis. Sedangkan “etika” berasal dari bahasa Yunani
“ethos” yang berarti watak atau moral. Dari pengertian itu,
kemudian dewasa ini kode etik secara sederhana dapat
diartikan sebagai himpunan atau kumpulan etika.

Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Wartawan selain dibatasi
oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus
berpegang kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah agar wartawan bertanggung jawab
dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyajikan informasi.
Di Indonesia terdapat banyak Kode Etik Jurnalistik. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyaknya
organisasi wartawan di Indonesia, untuk itu kode etik juga berbagai macam, antara lain Kode
Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI), Kode Etik Wartawan Indonesia
(KEWI), Kode Etik Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen (KEJ-AJI), Kode Etik Jurnalis
Televisi Indonesia, dan lainnya.
Struktur Organisasi Media
POAC
PLANING : PERENCANAAN
ORGANIZIATION: ORGANISASI
ACTUATING: PELAKSANAAN
CONTROLLING : PENGAWASAN

1. Planning (Perencanaan) 
Perencanaan adalah proses kegiatan rasional dan sitemik dalam menetapkan
keputusan, kegiatan atau langkah-langkah yang akan dilaksanakan di kemudian
hari dalam rangka usaha untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

Adapun perencanaan dalam media meliputi :


a. Penetapan visi dan misi, dengan menggunakan bahsa yang ringkas agar mudah
dipahami oleh semua komponen yang berada di organisasi.
b. Penetapan nama media dan motto, nama media ini nantinya akan membranding dari
produk jurnalistik di sekolah tersebut, maka sebisa mungkinnama media ini
menujukkan image yang baik dan menunjukkan visi yang ingin dicapai orang-orng
didalamnya.
c. Rubrikasi
d. Editorial policy yaitu kebijakan tentang karakteristik naskah layak muat
2. Organizing (Pengorganisasian)
Menurut George R. Terry,
pengorganisasian adalah menyusun Adapun pengorganisasian dalam jurnalistik sekolah meliputi :
hubungan perilaku yang efektif 1. Pembentukan Struktur Organisasi Redaksi
antarpersonalia, sehingga mereka dapat Biasanya, struktur pengurus dan redaksi dalam media pendidikan terdiri dari :
bekerja sama secara efisien dan a. Pelindung, yaitu kepala sekolah.
memperoleh keputusan pribadi dalam b. Penanggungjawab, yaitu terdiri dari wakil kepala bidang kesiswaan dan bidang
melaksanakan tugas-tugas dalam situasi humas.
lingkungan yang ada guna mencapai c. Pembina, yaitu pembina jurnalistik atau guru bahasa dan siswa.
d. Dewan redaksi, yang meliputi pemimpin redaksi, sekretaris, bendahara, dan redaksi
tujuan dan sasaran tertentu.
pelaksana. Jika dibutuhkan redaksi ditambahi dengan redaksi yang mengurusi
masalah rubrik tertentu, misalnya ada redaksi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
sebagainya.
2. Pembagian Tugas atau Gambaran Kerja
Pembagian kerja ini mencakup rincian tugas yang diemban oleh setiap individu
dalam organisasi. Rincian tugas ini menjadi tanggung jawab dari masing-masing
individu. Agar tidak saling tumpang tindih, rincian tugas ini dibatasi sesuai dengan
kebutuhan organisasi disetiap divisi.
Agar pembagian kerja menjadi lebih mudah dipahami dan dilakukan oleh para
individu-individu dalam organisasi maka dibuatlah job description (deskripsi pekerjaan).
Deskripsi pekerjaan ini berisi paparan kerja yang harus dilakukan dan menjadi tanggung
jawab dari setiap posisi organisasi.
3. Rekrutmen dan Kaderisasi
Yaitu proses seleksi anggota yang biasanya terdiri dari tes tertulis dan wawancara,
lalu jika telah terpilih maka dilakukan kaderisasi atau pengukuhan anggota baru, biasanya
dengan diadakan diksar dan lain sebagainya.
3. Actuating (Pelaksanaan)
 Pelaksanaan atau penggerakan dapat didefinisikan sebagai
keseluruhan usaha, cara, teknik, dan metode untuk mendorong para
anggota organisasi agar mau dan ikhlas bekerja sebaik mungkin
demi tercapainya tujuan organisasi yang efisien, efektif dan
ekonomis.
Adapun kegiatan-kegiatan yang termasuk didalam pelaksanaan jurnalistik sekolah
meliputi :
a. News Planning, yaitu perencanaa isi atau proyeksi dan rapat redaksi.
b. News Gathering, yaitu reportase yang terdiri dari wawancara, peliputan, peristiwa dan
studi literatur.
c. News Editing, yaitu penyutingan naskah berdasarkan hasil dari peliputan dan
wawancara yang telah dilakukan.
d. Graphic Design, yaitu proses pemberian layout dan ilustrasi agar terlihat lebih jelas
dan menarik.
e. Printing, yaitu proses pencetakan media yang sudah dibuat.
f. Marketing, yaitu proses mendistribusikan hasil yang sudah dibuat.
g. Evaluating, yaitu melakukan rapat evaluasi.
4. Controlling (Pengawasan)
 
Pengawasan dapat didefinisikan sebagai proses untuk
“menjamin” bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen
tercapai. Fungsi pengawasan pada dasarnya mencakup empat
unsur : (a) penetapan standar, (b) penentuan ukuran-ukuran
pelaksanaan, (c) pengukuran pelaksanaan nyata dan
membandingkannya dengan standar yang telah ditetapkan, dan
(d) pengambilan tindakan koreksi yang diperlukan bila
pelaksanaan menyimpang dari standar.
 
Sejarah Kode Etik Jurnalistik 
Sejarah Kode Etik Jurnalistik di Indonesia
1. Periode Tanpa Kode Etik Jurnalistik
Periode ini terjadi ketika Indonesia baru lahir sebagai bangsa yang merdeka tanggal 17 Agustus
1945.[4] Meski baru merdeka, di Indonesia telah lahir beberapa penerbitan pers baru.[4]
Berhubung masih baru, pers pada saat itu masih bergulat dengan persoalan bagaimana dapat
menerbitkan atau memberikan informasi kepada masyarakat pada era kemerdekaan, maka
belum terpikir soal pembuatan Kode Etik Jurnalistik.[4] Akibatnya, pada periode ini pers
berjalan tanpa kode etik.[4]

2. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 1


Pada tahun 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di Solo,
tapi ketika organisasi ini lahir pun belum memiliki kode etik.[4] Saat itu
baru ada semacam konvensi yang ditungakan dalam satu kalimat, inti
kalimat tersebut adalah PWI mengutamakan prinsip kebangsaan. Setahun
kemudian, pada 1947, lahirlah Kode Etik PWI yang pertama.
3. Periode Dualisme Kode Etik Jurnalistik PWI dan Non PWI
Setelah PWI lahir, kemudian muncul berbagai organisasi wartawan lainnya.[4] Walaupun
dijadikan sebagai pedoman etik oleh organisasi lain, Kode Etik Jurnalistik PWI hanya berlaku
bagi anggota PWI sendiri, padahal organisai wartawan lain juga memerlukan Kode Etik
Jurnalistik. Berdasarkan pemikiran itulah Dewan Pers membuat dan mengeluarkan pula Kode
Etik Jurnalistik.[4] Waktu itu Dewan Pers membentuk sebuah panitia yang terdiri dari tujuh
orang, yaitu Mochtar Lubis, Nurhadi Kartaatmadja, H.G Rorimpandey, Soendoro, Wonohito,
L.E Manuhua dan A. Aziz.[4] Setelah selesai, Kode Etik Jurnalistik tersebut ditandatangani oleh
Ketua dan Sekretaris Dewan Pers masing-masing Boediarjo dan T. Sjahril, dan disahkan pada 30
September 1968.[4] Dengan demikian, waktu itu terjadi dualisme Kode Etik Jurnalistik.[4] Kode
Etik Jurnalistik PWI berlaku untuk wartawan yang menjadi anggota PWI, sedangkan Kode Etik
Jurnalistik Dewan Pers berlaku untuk non PWI.

4. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 2


Pada tahun 1969, keluar peraturan pemerintah mengenai wartawan. Menurut pasal 4
Peraturan Menteri Penerangan No.02/ Pers/ MENPEN/ 1969 mengenai wartawan,
ditegaskan, wartawan Indonesia diwajibkan menjadi anggota organisasi wartawan
Indonesia yang telah disahkan pemerintah. Namun, waktu itu belum ada organisasi
wartawan yang disahkan oleh pemerintah. Baru pada tanggal 20 Mei 1975 pemerintah
mengesahkan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. Sebagai
konsekuensi dari pengukuhan PWI tersebut, maka secara otomatis Kode Etik Jurnalistik
yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia adalah milik PWI.
5. Periode Banyak Kode Etik Jurnalistik
Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru, dan berganti dengan era Reformasi,
paradigma dan tatanan dunia pers pun ikut berubah. Pada tahun 1999, lahir Undang-
Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers yaitu Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang ini
membebaskan wartawan dalam memilih organisasinya. Dengan Undang-Undang ini,
munculah berbagai organisasi wartawan baru. Akibatnya, dengan berlakunya
ketentuan ini maka Kode Etik Jurnalistik pun menjadi banyak. Pada tanggal 6
Agustus 1999, sebanyak 25 organisasi wartawan di Bandung melahirkan Kode Etik
Wartawan Indonesia (KEWI), yang disahkan Dewan Pers pada 20 Juni 2000.
Kemudian pada 14 Maret 2006, sebanyak 29 organisasi pers membuat Kode Etik
Jurnalistik baru, yang disahkan pada 24 Maret 2006 .
Kode Etik Jurnalistik
1. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan
tidak beritikad buruk.
2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik.

3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak


mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
4. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
5. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahata n susila dan
tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
7. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia
diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar
belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
8. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau
diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis
kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa
atau cacat jasmani.
9. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali
untuk kepentingan publik.
10. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak
akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
11. Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
D. Fungsi Kode Etik Jurnalistik

Kode Etik Jurnalistik menempati posisi yang sangat vital bagi wartawan,
bahkan dibandingkan dengan perundang-undangan lainnya yang memiliki
sanksi fisik sekalipun, Kode Etik Jurnalistik memiliki kedudukan yang sangat
istimewa bagi wartawan.M. Alwi Dahlan sangat menekankan betapa
pentingnya Kode Etik Jurnalistik bagi wartawan. Menurutnya, Kode Etik
setidak-tidaknya memiliki lima fungsi, yaitu:
a. Melindungi keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya;
b. Melindungi masyarakat dari malapraktik oleh praktisi yang kurang
profesional;
c. Mendorong persaingan sehat antarpraktisi;
d. Mencegah kecurangan antar rekan profesi;
e. Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber
E. Asas Kode Etik Jurnalistik.

Asas Kode Etik Jurnalistik


Kode Etik Jurnalistik yang lahir pada 14 Maret 2006, oleh
gabungan organisasi pers dan ditetapkan sebagai Kode Etik
Jurnalistik baru yang berlaku secara nasional melalui keputusan
Dewan Pers No 03/ SK-DP/ III/2006 tanggal 24 Maret 2006,
misalnya, sedikitnya mengandung empat asas, yaitu:
 

Asas Demokratis

Asas Profesionalitas

Asas Moralitas

Asas Supremasi Hukum

Anda mungkin juga menyukai