Anda di halaman 1dari 99

DASAR

TOKSIKOLOGI
Kelompok: 12 
- Rizkia Fajrianda Yusda (211010220073)     
- Nurul Khaliza (211010220055)
1. Pendahuluan
2. Toksikologi 
3. KERACUNAN
1. PENDAHULUAN
DEFINISI TOKSIKOLOGI
Adalah ilmu pengetahuan mengenai kerja senyawa kimia / interaksi yang merugikan
terhadap organisme hidup

 Toksikologi mempelajari sifat-sifat racun zat kimia terhadap makhluk hidup dan
lingkungan.
 Penggunaan obat selalu akan disertai risiko, walaupun risiko ini telah diusahakan
sekecil mungkin. Hal ini terjadi karena beberapa reaksi toksik atau efek samping timbul
dengan frekuensi kejadian yang amat kecil
 Dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun
 Interaksi pada pemberian obat kombinasi kadang-kadang memberi hasil yang sulit
dievaluasi atau diramalkan toksisitasnya
ILMU MENGENAI RACUN TERMASUK
MENDETEKSI, MENGISOLASI,
MEMISAHKAN DAN MENGANALISIS
SECARA KUALITATIF DAN
KUANTITATIF, CARA KERJA RACUN
DALAM TUBUH DAN BAHAN YANG
DIGUNAKAN
UNTUK MENETRALKAN.
Jenis-jenis Toksikologi
 Toksikologi Deskriptif :
Melakukan uji toksisitas untuk
mendapat informasi yang digunakan
untuk mengevaluasi resiko yang
timbul oleh bahan kimia terhadap
manusia dan lingkungan.

 Toksikologi Mekanistik :
Menentukan bagaimana zat kimia
menimbulkan efek yang merugikan
pada organisme hidup.
 Toksikologi Regulatif :
Menentukan apakah suatu obat mempunyai resiko yang
rendah untuk dipakai sebagai tujuan terapi.

 Toksikologi Forensik :
Mempelajari aspek hukum kedokteran akibat penggunaan
bahan kimia berbahaya dan membantu menegakkan diagnosa
pada pemeriksaan postmortem.

 Toksikologi klinik :
Mempelajari gangguan yang disebabkan substansi toksik,
merawat penderita yang keracunan dan menemukan cara
baru dalam penanggulangannya.
 Toksikologi kerja :
Mempelajari bahan kimia pada tempat
kerja yang membahayakan pekerja
dalam proses pembuatan, transportasi,
penyimpanan maupun penggunaannya
.
 Toksikologi lingkungan :
Mempelajari dampak zat kimia yang
berpotensi merugikan sebagai polutan
lingkungan.

 Ekotoksikologi :
Mempelajari efek toksik zat kimia
terhadap populasi masyarakat.
ASPEK YANG YANG PERLU DIPERHATIKAN

Kerja farmakon (senyawa aktif) Pengaruh organisme


secara biologi pada organisme terhadap zat aktif
(farmakodinamik atau (farmakokinetik atau
toksikodinamik). toksikokinetik).
Fase Kerja Zat Aktif

Fase eksposisi Fase Fase farmaseutik


Fase toksikokinetik toksikodinamik
• Bentuk farmasetik hancur • Absorpsi • Interaksi
• Zat aktif larut • Distribusi farmakontokson –
Efek
• Metaboisme reseptor dalam organ
• Ekskresi efektor
Fase eksposisi 
Merupakan kontak suatuorganisme dengan
xenobiotika, pada umumnya,kecuali radioaktif,
hanya dapat terjadi efek toksik/farmakologi setelah
xenobiotika terabsorpsi. Umumnya hanya tokson
yang berada dalambentuk terlarut, terdispersi
molekular dapatterabsorpsi menuju sistem
sistemik. Dalamkonstek pembahasan efek obat,
fase iniumumnya dikenal dengan fase
farmaseutika.
Fase farmaseutika meliputi hancurnya
bentuksediaan obat, kemudian zat aktif
melarut,terdispersi molekular di tempat
kontaknya .Sehingga zat aktif berada dalam
keadaan siapterabsorpsi menuju sistem sistemik.
Fase inisangat ditentukan oleh faktor-faktor
farmseutikadari sediaan farmasi.
● Fase toksikinetik 
Disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah
xenobiotika berada dalam ketersediaan
farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap
untuk diabsorpsi menuju aliran darah atau
pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut akan
bersama aliran darah atau limfedi distribusikan ke
seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik
(reseptor). Pada saat yang bersamaan sebagian
molekul xenobitika akan
termetabolisme, atau tereksresi bersama urin
melalui ginjal, melalui empedu menuju saluran
cerna, atau sistem eksresi lainnya
Fase toksodinamik 

 Adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat


kerja toksik) dan juga proses-
proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek
toksik/farmakologik. Interaksi tokson-reseptor umumnya
merupakan interaksi yang bolak-balik (reversibel). Hal ini
mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang,
bila xenobiotika tereliminasi dari tempat kerjanya
(reseptor).
FASE EKSPOSISI
 Eksposisi melalui kulit
 Eksposisi melalui jalur inhalasi
 Eksposisi melalui jalur saluran cerna

FASE TOKSOKINETIK
 Absorpsi
Absorpsi ditandai oleh masuknya xenobiotika/tokson dari tempat kontak (paparan)
menuju sirkulasi sistemik tubuh atau pembuluh limfe. Absorpsi didefinisikan sebagai jumlah
xenobiotika yang mencapai sistem sirkululasi sistemik dalam bentuk tidak berubah. Tokson
dapat terabsorpsi umumnya apabila berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi molekular.
Absorpsi sistemik tokson dari tempat extravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan
fisiologik tempat absorpsi (sifat membran biologis dan aliran kapiler darah tempat kontak),serta
sifat-sifat fisiko-kimia tokson dan bentuk farmseutik tokson (tablet, salep, sirop, aerosol,
suspensi atau larutan). Jalur utama absorpsi tokson adalah saluran cerna, paru-paru, dan kulit.
Pada pemasukan tokson langsung ke sistem sirkulasi sistemik (pemakaian secara injeksi),
dapat dikatakan bahwa tokson tidak mengalami proses absorpsi.
 Distribusi

Setelah xenobiotika mencapai sistem peredahan darah, ia


bersama darah akan diedarkan/didistribusikan ke seluruh
tubuh. Dari sistem sirkulasi sistemik ia akan terdistribusi lebih
jauh melewati membran sel menuju sitem organ atau ke
20% jaringan-jaringan tubuh. Distribusi suatu xenobiotika di dalam
tubuh dapat pandang sebagai suatu proses transpor reversibel
suatu xenobiotika dari satu lokasi ke tempat lain didalam
tubuh. Di beberapa buku reference juga menjelaskan, bahwa
distribusi adalah proses dimana xenobiotika secara reversibel
meninggalkan aliran darah dan masuk menuju interstitium
60% (cairan ekstraselular) dan/atau masukke dalam sel dari
jaringan atau organ.
Eliminasi

Metabolisme dan ekskresi dapat dirangkum kedalam


eliminasi. Yang dimaksud proses eliminasi adalah proses
hilangnya xenobiotika dari dalam tubuh organisme. Eliminasi
suatu xenobiotika dapat melalui reaksi biotransformasi
20% (metabolisme) atau ekskresi xenobiotika melalui ginjal,
empedu, saluran pencernaan, dan jalur eksresi lainnya
(kelenjar keringan, kelenjar mamai, kelenjar ludah, dan paru-
paru). Jalur eliminasi yang paling penting adalah eliminasi
melalui hati (reaksi metabolisme) dan eksresi melalui ginjal

60%
Ekskresi

Setelah diabsorpsi dan didistrubusikan di dalam tubuh,


xenobiotika/tokson dapat dikeluarkan dengan capat atau
perlahan. Xenobiotika dikeluarkan baik dalam bentuk asalnya
maupun sebagai metabolitnya. Jalur ekskresi utama adalah
20% melalui ginjal bersama urin, tetapi hati dan paru-paru juga
merupakan alat ekskresi penting bagi tokson tertentu.
Disamping itu ada juga jalur ekskresi lain yang kurang penting
seperti, kelenjar keringan, kelenjar ludah, dan kelenjar mamai.

60%
Metabolisme

Xenobiotika yang masuk ke dalam tubuh akan diperlakukan


oleh sistem enzim tubuh, sehingga senyawa tersebut akan
mengalami perubahan struktur kimia dan pada akhirnya dapat
dieksresi dari dalam tubuh. Proses biokimia yang dialami oleh
20% ”xenobiotika” dikenal dengan reaksi biotransformasi yang
juga dikenal dengan reaksi metabolisme. Biotransformasi atau
metabolisme pada umumnya berlangsung di hati dan sebagian
kecil di organ-organ lain seperti: ginjal, paru-paru, saluran
pencernaan, kelenjar susu, otot, kulit ataudi darah. Secara
umum proses biotransformasi dapat dibagi menjadi dua fase,
60% yaitu fase I (reaksi fungsionalisasi) dan fase II (reaksi
konjugasi).
Interaksi obat-reseptor

Interaksi obat-reseptor umumnya dapat disamakan dengan


 prisip kunci-anak kunci. Letak reseptor neuro (hormon) umumnya di
membran-sel dan terdiri dari suatu protein yang dapat merupakan
komplemen ”kunci” dari pada struktur ruang dan muatan-ionnya dari
hormon bersangkutan ”anak-kunci”.
Setelah hormon ditangkap dan terikat oleh reseptor, terjadilah
interaksi yang mengubah rumus dan pembagian muatannya.
Akibatnya adalah suatu reaksi dengan perubahan aktivitas sel yang
sudah ditentukan (prefixed) dan suatu efek fisiologik.
Mekanisme kerja efek toksik
Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor
(tempat kerja toksik) dan juga proses-proses yang terkait dimana
pada akhirnya muncul efek toksik / farmakologik.
Farmakologi menggolongkan efek yang mencul berdasarkan manfaat
dari efek tersebut, seperti :

 efek terapeutis, efek hasil interaksi xenobiotika dan reseptor yang


diinginkan untuk tujuan terapeutis (keperluan pengobatan),
 efek obat yang tidak diinginkan, yaitu semua efek / khasiat obat
yang tidak diinginkan untuktujuan terapi yang dimaksudkan pada
dosis yang dianjurkan, dan
 efek toksik, pengertian efek toksik sangatlah bervariasi, namun
pada umumnya dapat dimengerti sebagai suatu efek yang
membahayakan atau merugikan organisme itusendiri.
2. Toksikologi Eksperimental

1 2 3 4
Toksikologi eksperimental adalah deteksi dan evaluasi terhadap sifat
perubahan fungsi struktur yang disebabkan oleh zat kimia dan efek-efek
yang ditimbulkan terhadap sel-sel hidup.

Jenis pemeriksaan toksisitas harus didasarkan pada sifat zat (kimia atau
obat) yang akan digunakan serta cara pemakaiannya.
Uji Farmakokineti
Ujikfarmakokinetik pada toksikologi diperoleh
melalui penelitian nasib obat dalam tubuh, yang
menyangkut absorpsi,
distribusi, redistribusi, biotransformasi
(metabolisme) dan ekskresi obat.
 Absorbsi Distribusi
Biotransformasi Ekskresi
Uji Farmakodinamik
Uji farmakodinamik pada toksikologi yaitu sebelum suatu obat dapat
digunakan untuk indikasi tertentu, harus diketahui dahulu efek apa yang
terjadi terhadap semua organ dalam tubuh yang sehat.

Sering kali sifat toksik suatu obat merupakan lanjutan


dari efek farmakodinamik atau elekterapinya.
Menilai Keamanan Zat Kimia
Untuk menilai keamanan zat kimia dengan meramalkan
kemungkinan yang dapat terjadi pada manusia dengan
dosis yang lebih kecil. Selanjutnya, perlu ditentukan suatu
dosis yang terbesar, dinyatakan dalam mg/kgBBl hari,
yang tidak menimbulkan efek merugikan pada hewan
coba; yang disebut No Effect Level (NEL) atau No
Observed Effect Level (NOEL).

Setiap zat kimia, bila diberikan dengan dosis yang


cukup besar akan menimbulkan gejala-gejala toksis

Ditentukan pada hewan coba melalui penelitian toksisitas


akut dansubkronik
Uji Toksikologi
Pelaksanaan uji toksikologi dilakukan dengan memilih
hewan coba, pengelompokan hewan coba, uji toksisitas
akut dengan pemilihan dosis lalu dilakukan
pengamatan mekanisme terjadinya toksisitas.
Hewan Respons berbagai hewan coba terhadap uji toksisitas
Coba
sangat berbeda.

Toksisitas
Percobaan ini meliputi Single
Akut Dose Experiments yang dievaluasi 3-14 hari
sesudahnya. Evaluasi tidak hanya mengenai LD50
tetapi juga terhadap kelainan tingkah laku, stimulasi
atau depresi SSP, aktivitas motorik dan pernapasan
tikus untuk mendapat gambaran tentang sebab
kematian.
Toksisitas Jangka
Lama Percobaan jenis ini mencakup pemberian obat secara
berulang selama 1-3 bulan (percobaan subakut), 3-6
bulan (percobaankronik) atau seumur hewan
(lifelong studles)

Penilaian keamanan obat zat kimia dapat


dilakukan dengan tahapan berikut:
1. Menentukan LD50.
2. Melakukan percobaan toksisitas subakut dan
kronik untuk menentukan no elfect levels.
3. Melakukan percobaan karsinogenisitas,
teratogenisitas dan mutagenisitas yang
merupakan bagian dari penyaringan rutin
mengenai keamanan.
MekanismeTerjadinyaT
oksisitas Obat
Berbagai mekanisme dapat mendasari toksisitas obat,
Biasanya reaksi toksik merupakan kelanjutan dari efek
farmakodinamik.Karena itu, gejala toksik merupakan
elek farmakodinamik yang berlebihan.
Hubungan Antara Hewan Coba
 dan Manusia
Pengalaman membuktikan
bahwa hasil percobaan
toksisitas pada hewan coba
dapat diekstrapolasikan pada
manusia bila beberapa Dalam percobaan toksikologi pada
spesies hewan menunjukan hewan harus digunakan dosis yang
toksisitas yang sama sangat besar karena ingin ditemukan
kelainan jaringan atau efektoksik
yang jelas. Dengan cara ini, reaksi
yang jarang terjadi bisa dibuat lebih
sering
Nilai Prediktif Eksperimen Hewan

Ada empat kombinasi kemungkinan jika hasil penelitian


toksikologi atau farmakologi pada hewan kemudian
dibandingkan dengan hasil klinis pada manusia

Hasil Positif Benar

Hasil Negatif Benar

Hasil Positif Palsu

Hasil Negatif Palsu
BIDANG TOKSIKOLOGI
Ada beberapa kemungkinan untuk menggolongkan toksikologi. Antara lain dapat dibedakan
atas:

• Efek toksik akut, yang langsung berhubungan dengan pengambilan zat toksik dan
• Efek kronis, yang pada umumnya zat dalam jumlah sedikit diterima tubuh dalam jangka
waktu yang lama sehingga akan terakumulasi mencapai konsentrasi toksik dan dengan
demikian menyebabkan terjadinya gejala keracunan.

Yang mempunyai arti penting yaitu toksisitas jangka panjang (kronis), yang dimaksud di sini
adalah efek toksik yang baru dapat dipastikan setelah periode laten yang cukup panjang ,
misalnya kerja mutagenik dan kerja karsinogen. Pembagian lain toksikologi dapat dilakukan
berdasarkan jenis zat dan keadaan pada saat kerja toksik terjadi:
1. Toksikologi Obat
Bagian toksikologi ini mencakup:

 Uji obat yang potensial terhadap toksisitas atau keamanannya dalam fase
praklinik.
 Efek samping (yang tidak diingini) dari obat, kombinasi obat dan kosmetika pada
penggunaan sesuai petunjuk serta
 Keracunan akut dan kronis pada penggunaan pbat berlebih.
2. Toksikologi Bahan Makanan
Toksikologi makanan menguji bahan makanan (termasuk air minum)
terhadap kemungkinan adanya zat berbahaya yang dikandungnya, misal
Toksikologi bahannya zat warna atau zat pengawet, zat pengikat, korigensia
rasa, sisa antibiotika, ion logam berat, zat pelindung tanaman atau zat
pengelantang. Penggunaan tambahan-tambahan semacam ini diperlukan
karena makanan kadang-kadang harus dibawa dalam jarak yang cukup jauh
dan harus disimpan untuk waktu yang lama. Bidang lain dari toksikologi bahan
makanan ini adalah kekurangan atau kelebihan gizi.
3. Toksikologi Pestisida
Untuk menutupi kebutuhan yang amat besar akan bahan makanan tidaklah
mungkin dilakukan tanpa menggunakan pestisida, yaitu senyawa anti gulma,
nemotisida, rodentisida dan insektisida. Dalam hal ini harus disebut juga pupuk
buatan, walaupun ini tidak sama dengan pestisida dalam arti sempit.
Penggunaan yang tak terkontrol misalnya akan menyebabkan pestisida terus
menerus dalam jumlah kecil akan masuk bersama makanan dimana kadang-
kadang pestisida tersebut sulit dieliminasi.
4. Toksikologi Industri

Bagian toksikologi ini mencakup semua jenis keracunan di industri.


Minat akan bidang ini makin meningkat, hal yang sudah tentu
menggembirakan., karena industri kimia modern umumnya meliputi
satuan produksi yang luas, maka tuntutan dalam bidang kedokteran untuk
menghindari keracunan industri sudah amat maju. Dari toksikologi
industri ini yang mempunyai peranan penting, yaitu penyakit pada kulit
dan saluran napas yang dapat disebutkan antara lain eksem karena
pekerjaan berbagai pneumokoniosis, yang bergantung pada jenis debu
yang dihirup, misalnya silikosis, antrakosis dan asbestosis.
5. Toksikologi Lingkungan

Pencemaran lingkungan dapat menyebabkan terjadinya bahaya toksik


pada manusia, dapat mera kinyebabkan perubahan biosfer atau perubahan
lingkungan luar. Haruslah dibedakan antara pencemaran lingkungan secara
kimia dan fisika. Pencemaran secara kimia terjadi jika lingkungan tercemar
akibat kerja kimia dari zat berbahaya, dan pencemaran fisika misalnya
terjadi peningkatan suhu air permukaan akibat statiun listrik dan
peningkatan suara. Aspek lain pencemaran lingkungan secara kimia yaitu
penggunaan pribadi berbagai senyawa kimia yang seringkali yang tidak
benar-benar perlu akan tetapi tak dapat dihindari. Penggunaan atau
penyalahgunaan obat-obatan tanpa resep yang sering terjadi misal merokok,
pemakaian kosmetik secara berlebihan.
6. Toksikologi Kecelakaan

Bagian toksikologi ini berhubungan dengan kecelakaan akibat racun


atau penyalahgunaan zat beracun. Yang juga termasuk toksikologi kecelakaan
ini adalah keracunan dengan maksud bunuh diri. Berbeda dengan keracunan
akut di industri yang berkurang di negara industri karena adanya usaha
pengamanan yang lebih baik serta adanya otomatisasi, keracunan dengan
maksud bunuh diri lebih sering terjadi. Yang terutama yang melonjak adalah
keracunan kecelakaan dengan apa yang dinamakan racun rumah tangga, obat,
atau racun tanaman pada anak-anak merupakan kecerobohan yang amat besar,
jika senyawa kimia untuk kebutuhan rumah tangga dan obat-obatan mudah
dijangkau anak-anak sehingga dapat menyebabkan keracunan.
7. Toksikologi Perang

Toksikologi perang ini merupakan toksikologi pelaksanaan perang dengan


senjata atom (nuklir), biologi dan kimia (senjata NUBIKA atau ABC). Di sini
digunakan senjata yang dapat merusak musuh secara fisik. Mula-mula senyawa
perang ini dimaksudkan untuk digunakan terhadap anggota militer, akan tetapi
dalam perang modern saat ini penduduk sipil pun akan merasakan akibatnya,
seperti penggunaan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Termasuk juga dalam
toksikologi perang ini adalah pemakaian racun tanaman (misalnya zat perontok
daun) untuk tujuan militer.
8. Toksikologi Penyinaran

Penggunaan senjata nuklir tentu saja mengakibatkan kerugian akibat


penyinaran dan ini memaksa para ahli toksikologi untuk membahas masalah
ini. Toksikologi ini juga berperan penting dalam kehidupan rakyat sipil,
sebagai contoh penggunaan reaktor atom untuk mendapatkan energi dan
penggunaan isotop radio aktif yang makin meningkat dalam bidang
kedokteran dan industri.
3. KERACUNAN
Suatu zat dinyatakan sebagai racun jika ia dapat
menimbulkan kerja yang merusak. Dalam prakteknya,
senyawa yang disebut racun hanyalah jika resiko
kerusakan yang ditimbulkan relatif besar. Yang harus
dicamkan adalah: “Semua zat adalah racun dan tidak ada
zat yang bukan racun. Hanya dosislah yang membuat suatu
zat bukan ‘racun’ (Paracelcus). Ini berarti, adanya suatu zat
racun potensial, didalam suatu organisme.
Berbeda dengan dulu, keracunan akut
umumnya terjadi karena logam berat
(timbal, air raksa, thalium) atau
metaloid (misalnya arsen dan
antimon). Secara persentase
keracunan yang sering terjadi saat ini
adalah karena penggunaan obat
terutama obat tidur dan obat
penenang, umumnya dengan maksud
bunuh diri.
Disamping toksisitas akut terdapat
juga toksisitas kronis yang terjadi
karena meningkatnya pencemaran
lingkungan dan penggunaan obat
dalam jangka waktu panjang dengan
konsentrasi kecil. Karena itu
pengetahuan yang terinci tentang sifat
toksikologi zat kimia yang dibuat
amatlah diperlukan.
Klasifikasi Keracunan
Menurut mula terjadinya keracunan :
● Keracunan Akut
Keracunan akut Gejala keracunan muncul dengan cepat segera
setelah korban menelan atau kontak dengan zat racun
misalnya keracunan makanan, sianida dan insektisida (Anonim, 2009).
● Keracunan Kronis
Keracunan kronis mengacu pada efek jangka panjang atau paparan
yang lebih rendah terhadap zat beracun, seperti ketika aplikator pestisida
sering dibasahi dengan semprotan selama praktik penyemprotan yang tidak
aman.[Efek dari paparan kronis tidak segera muncul setelah paparan
pertama namun membutuhkan waktu
Menurut cara terjadinya keracunan :
● Self Poisoning -> Meracuni diri sendiri
Kecelakaan karena kurang hati-hati dalam penggunaan.
Misal: keracunan pestisida atau insektisida

Keracunan oleh toksin tertentu (biasanya dihasilkan oleh mikroba).


Misal : Enterotoksin yang dihasilkan oleh kuman stafilokokus Toksin
botulinum yang yang terdapat dalam makanan kaleng yang sudah
rusak karena pengawetan tidak sempurna,

● Attempted Suicide -> Usaha bunuh diri


● Homicidal Poisoning -> Akibat pembunuhan
Accidental Poisoning -> Tidak disengaja
Anak-anak balita
kebiasaan memasukan benda ke dalam mulut (termasuk
obat-obat yang menarik warna dan rasanya, spt. Tablet
berlapis gula, warna-warni tablet dan sirup, serta
aromanya), minyak tanah dll.
Pada anak muda
biasanya golongan opiat yang disalah gunakan (untuk
mencari kesenangan) Pada orang dewasa
golongan barbiturat, gol. Hipnotik & sedatif lain dan Obat
nyamuk cair merupakan pilihan utama bagi orang yang
mengalami depresi berat untuk bunuh diri.
 Nefrotoksik
Efek toksik dari obat-obatan atau bahan kimia lain yang
bisa yang bisa memberikan pengaruh buruk terhadap
fungsi ginjal.

 Hepatotoksik
Reaksi yang timbul akibat penumpukan zat-zat
berbahaya di dalam hepar. Hepatotoksik akibat bahan-
bahan kimia harus selalu dipertimbangan sebagai
kemungkinan penyebab penyakit hepar (Andrade et
al.,2007).
Menurut organ terkena keracunan
 Neurotoksik
Gangguan fungsional pada saraf, baik SSP
maupun sistem saraf tepi diakibatkan paparan
bahan kimia. Gangguan ini mengakibatkan
perubahan pada memori, perhatian, suasana hati,
disorientasi, penyimpangan berfikir, serta perubahan
somatik, sensorik dan fungsi kognitif.

 Kardiotoksik
Kardiotoksisitas Akibat Terapi Radiasi.
Kejadian kardiotoksisitas 
paling banyak disebabkan oleh penggunaan obat-
obatan kemoterapi. 
Menurut jenis bahan kimia
Gol. Alkohol
Gol. Fenol
Gol. Logam berat

Penyebab Intoksikasi Alhkohol. Alkohol adalah kelompok cairan organik


yang memiliki gugus (OH) dalam struktur kimianya. Alkohol dapat dibagi
menjadi beberapa golongan berdasar panjangnya rantai karbon dalam tiap
struktur dasarnya. Methanol (methyl-alcohol), Ethanol (ethyl-alcohol),
Propanol (propyl-alcohol), Butanol (Butyl-alcohol). Etanol merupakan
golongan alkohol yang paling populer, dan "resmi" diperdagangkan sebagai
minuman keras di Indonesia.Data SEARO menunjukkan bahwa konsumsi
minuman alkohol di Indonesia rata-rata 0,1 L/tahun per orang. Di Negara
maju konsumsi alkohol sering dikaitkan dengan kecelakaan lalu lintas,
namun di negara berkembang seperti Indonesia konsumsi alkohol lebih
sering diberitakan kasus intoksikasi (terutama metanol). Di Amerika Serikat,
konsumsi alkohol diduga "bertanggungjawab" terhadap 15.000 kematian
karena kecelakaan lalu lintas setiap tahun.
PENANGANAN KERACUNAN SECARA
UMUM

Pertolongan pertama:
 Menjaga agar fungsi vital, seperti pernapasan dan sirkulasi tetap ada
 Menghindari adsorpsi racun lebih lanjut. Jika penyebab keracunan diketahui
 20%
dan mungkin dilakukan penanganan dengan antidiot tertentu jikaTHC
zat tersebut
tersedia haruslah segera diberikan.
 Mempercepat eliminasi racun yang sudah masukke dalam organisme
 Menormalkan kembali fungsi tubuh yang terganggu dengan up to 69% THC
penanganan
≤ 10% THC
simptomatik.
Menjaga fungsi vital tubuh

1. Pernapasan
Saluran napas harus dijaga dan dusahakan tetap bebas (pada posisi berbaring pada
sisi diusahakan tidak adanya benda asing sisa makanan, darah, muntah dan gigi
palsu dalam mulut, kalau perlu dilakukan intubasi). Jika pernapasan spontan tidak
mencukupi, harus diberikan pernapasan buatan . Analeptika bukan merupakan
pengganti untuk membebaskan saluran napas serta membantu pernapasan dan obat
ini sudah kadaluarsa. Pada orang yang keracunan udara respirasinya kemungkinan
mengandung racun yang membahayakan (misalnya asam sianida, pelarut, ester asam
fosfat).

2. Sirkulasi
Pada jantung berhenti yang dapat dikenali dari hilangnya pulsa karotid, berhentinya
pernapasan, pucat seperti mayat (kuliat sianotik abu-abu), pingsan, pupil yang
berdilatasi dan tak bereaksi harus dicoba dengan message jantung dari luar untuk
mendapatkan sirkulasi minuman dan mengaktifkan kembali kerja jantung.
3. Kesetimbangan elektrolit, air, dan asam-basa

Dengan kontrol secara terus menerus kesetimbangan elektrolit dan air, dapat
diketahui hilangnya air dan elektrolit dan dikembalikan lagi dengan infus. Pada
asidosis (metabolik) diinfuskan larutan natrium hidrogenkarbonat 8,5% atau
larutan trometamol 0,3 molar, pada alkalosis (metabolik) diinfuskan L-
lisinhidroklorida 1 molar atau L-lisinhidroklorida 1 molar dengan selalu mengawasi
kesetimbanngan asam-basa
Usaha terapeutik lain
 Penanganan pada  Penanganan pada
keracunan eksternal keracunan secara
oral
Keracunan pada kulit, jika racun
• Segera menghilangkan racun
mengenai kulit maka baju yang
dari tubuh dengan melakukan
berkontak dengan racun harus
bilas lambung atau membuat
dibuka. Setelah itu daerah yang
muntah, sebelum adsorpsi racun
terkena dicuci dengan air hangat,
terjadi.
atau pasien diharuskan mandi dan
• Membuat racun tadi juga
jika kulit terluka parah, dicuci
sebelum terjadi adsorpsi
dengan air (yang tak terlalu hangat)
menjadi bentuk yang kurang
dan sabun, atau membersihkan
toksik.
dengan poli etilen glikol 400
• Menghindari adsorpsi sejumlah
(Lutrol).
racun yang masih ada dalam
saluran cerna
PERCEPATAN ELIMINASI RACUN SETELAH
DIABSORPSI
Untuk menghilangkan secepat mungkin racun yang telah diabsorpsi dari organisme
dapat dilakukan :

- diuresis paksa
- pembasaan atau pengasaman urin,
- dialisis peritoneal,
- dialisis ekstrakorporal (hemadialisis, ginjal buatan)
- hemaperfusi atau
- transfusi penukar (penggantian darah)
Antidot
Yang dimaksud dengan antidot dalam arti sempit adalah senyawa yang mengurangi atau
menghilangkan toksisitas senyawa yang diabsorpsi. Antidot yang ada hanya untuk beberapa
racun saja. Terapi dengan antidot juga dilakukan di luar rumah sakit sebagai usaha segera
untuk menyelamatkan jiwa penderita yaitu pada

• Keracunan alkil-fosfat dengan atropin dan rektivator kolinesterase


• Keracunan sianida dengan pembentuk methemoglobin utama

• Keracunan metanol dengan etanol


• Keracunan oleh pembentuk methehemoglobin dengan reduktor, misalnya tionin
Tabel Keracunan
HUBUNGAN DOSIS-RESPONS
Evaluasi hubungan dosis-respons atau dosis-efek sangat penting bagi ahli
toksikologi. Terdapat hubungan dosis- respons yang bertingkat pada seorang individu dan
bungan dosis-respons kuantal dalam suatu populasi (likar Bab 3), Dosis bertingkat suatu
obat yang diberikan kepada individu umumnya menghasilkan respons yang lebih be- sar
bila dosis ditingkatkan. Dalam hubungan dosis-res- pons kuantal, persentase populasi yang
terpengaruh ber- tambah bila dosis ditingkatkan, hubungan bersifat kuantal bila efek
muncul sepenuhnya atau tidak muncul sama sekali pada individu tertentu (lihat Gambar 3-
3). Feno- mena dosis-respons kuantal ini sangat penting dalam toksikologi dan digunakan
untuk menentukan dosis letal median (LD) obat dan zat kimia lainnya.
LD ditentukan secara eksperimental. Bahan kimia yang di- evaluasi umumnya
diberikan pada mencit atau tikus (secara oral atau intraperitoneal) pada beberapa dosis
(biasanya empat atau lima) dalam rentang letal (Gambar 4-1A). Untuk melinierkan data
tersebut, respons (kematian) dapat diubah menjadi satuan deviasi dari mean, atau probit
(singkatan dari probability unit). Probit menandakan deviasi dari median; probit 5
berhubungan dengan respons 50%, dan karena masing-masing probit sama dengan satu
standar deviasi, probit 4 sama dengan 16% dan probit 6 sama dengan 84. Rajah persen
populasi, dalam satuan probit, terhadap log dosis menghasilkan garis lurus (Gambar 4-18
LD ditentukan dengan menarik garis vertikal dari titik pada garis yang memiliki satuan
probit sama dengan 5 50%). Kemiringan kurva dosis-efek juga penting. LD untuk kedua
senyawa yang digambarkan pada Gambar 4-1 adalah sama (10 mg/kg). Namun,
kemiringan kurva dosis- respons sedikit berbeda. Pada dosis yang sama dengan setengah
LD (5 mg/kg), kurang dari 5% hewan yang diberi senyawa B akan mati, tetapi 30% hewan
yang diberi senyawa A akan mati.
Respons kuantal, atau "semua atau tidak sama sekali", tidak terbatas untuk letalitas.
Seperti digambarkan pada Bab 3, kurva dosis-efek serupa dapat dibuat untuk setiap efek
yang dihasilkan oleh bahan kimia.
RISIKO DAN PENILAIANNYA
Terdapat perbedaan nyata pada LDso berbagai bahan kimia. Beberapa menyebabkan
kematian pada dosis dalam fraksi mikrogram (LDs untuk toksin botulinum sama dengan
10 pg/kg): yang lain mungkin relatif tidak ber- bahaya dalam dosis beberapa gram atau
lebih. Walaupun kategori toksisitas praktis telah ditemukan, berdasarkan jumlah yang
diperlukan untuk menyebabkan kematian, sering kali tidak mudah untuk membedakan
antara ba- han-bahan kimia toksik dan tidak toksik. Paracelsus (1493-1541) mencatat
bahwa "Semua zat adalah racun: tidak satu pun yang bukan racun. Dosis yang benar mem-
bedakan racun dan obat". Meskipun masyarakat meng- inginkan ahli toksikologi untuk
membagi seluruh bahan kimia ke dalam kategori bahan aman atau toksik, hal ini tidak
mungkin. Yang menjadi kekhawatiran adalah risiko yang ditimbulkan oleh penggunaan
bahan kimia tersebut, dan bukan apakah suatu bahan kimia toksik atau tidak Dalam
penilaian risiko, harus dipertimbangkan juga efek berbahaya bahan kimia yang bertambah
secara langsung ataupun tidak langsung melalui efek yang merugikan terhadap lingkungan
bila digunakan dalam jumlah dan dengan cara yang dimaksudkan. Tergantung pada
penggu naan dan disposisi suatu bahan kimia, senyawa yang sangat toksik pada akhimya
mungkin lebih tidak berba- haya daripada yang relatif tidak toksik.
Saat ini banyak sorotan mengenai risiko akibat pema janan bahan kimia yang telah
menyebabkan kanker pada hewan-hewan laboratorium. Untuk kebanyakan bahan kimia
ini, tidak diketahui apakah zat tersebut juga me nyebabkan kanker pada manusia. Badan-
badan pengawas menggunakan satu dari tiga pendekatan untuk bahan bahan kimia yang
potensial menyebabkan kanker. Untuk bahan tambahan makanan, FDA sangat berhati-hati,
kare na banyak orang kemungkinan terpajan oleh bahan-bahan kimia tersebut, dan bahan
tersebut kemungkinan tidak memiliki efek yang bermanfaat bagi individu. Untuk obat-
obatan, FDA mempertimbangkan risiko dan manfaat relatif obat-obatan untuk pasien. Jadi,
FDA tidak mungkin akan mengizinkan penggunaan suatu obat yang menye- babkan tumor
pada hewan laboratorium untuk penyakit yang ringan, tetapi mungkin menyetujui
penggunaannya untuk penyakit yang parah. Kenyataannya, kebanyakan obat kemoterapi
kanker juga merupakan karsinogen kimia.
Dalam pengaturan karsinogen lingkungan, EPA beru- saha membatasi pemajanan
seumur hidup sedemikian sehingga insidensi kanker akibat bahan kimia tidak lebih dari satu
dalam sejuta orang. Untuk menentukan pema- janan harian yang dibolehkan untuk manusia,
model-mo- del matematis digunakan untuk mengekstrapolasi dosis bahan kimia yang
menyebabkan insidensi tumor tertentu pada hewan-hewan laboratorium (sering pada rentang
10% sampai 20%) terhadap bahan yang menyebabkan kanker pada tidak lebih dari satu
orang dalam sejuta Model-model yang digunakan bersifat konservatif dan dianggap
memberikan perlindungan yang memadai dari risiko-risiko yang tidak seharusnya akibat
pemajanan karsinogen potensial.

Pemajanan Akut vs Kronis. Efek-efek pemajanan akut terhadap suatu bahan kimia sering
berbeda dengan efek efek pemajanan subakut atau kronis. Pemajanan akut terjadi bila dosis
diberikan hanya satu kali. Pemajanan kronis kemungkinan terjadi dengan sejumlah kecil
suatu zat selama periode waktu yang lama, yang sering kali akumulasi senyawa tersebut
secara perla- han di dalam tubuh. Evaluasi efek-efek toksik kumulatif semakin banyak
mendapat perhatian karena adanya pe- majanan jangka panjang terhadap berbagai zat kimia
alam dan sintetik dalam konsentrasi rendah di lingkungan.
Bentuk Kimia Obat yang Menimbulkan Toksisitas. Obat "induk" yang diberikan
kepada pasien sering berupa bentuk kimia yang menghasilkan efek terapi yang di-
inginkan. Demikian pula, efek-efek toksik obat sering kali merupakan akibat dari efek obat
induk yang berbahaya. Meskipun demikian, efek toksik obat (sama seperti efek terapi) dan
bahan-bahan kimia lainnya juga dapat di- timbulkan oleh metabolit-metabolit obat tersebut
yang di- hasilkan oleh enzim, cahaya, atau spesies oksigen reaktif.

Metabolit Toksik. Metabolit berbagai bahan kimia me- rupakan penyebab toksisitasnya.
Kebanyakan insektisida organofosfat diubah secara hayati (biotransformasi) oleh sistem
sitokrom P450 untuk menimbulkan toksisitasnya; sebagai contoh, paration diubah secara
hayati menjadi paraokson (lihat Gambar 4-2). Paraokson adalah meta- bolit stabil yang
mengikat dan menginaktivasi kolines- terase. Beberapa metabolit obat tidak stabil secara
kimia dan disebut senyawa antara reaktif. Contoh senyawa-
Reaksi Fototoksik dan Fotoalergik. Banyak bahan kimia di- aktivasi menjadi metabolit-
metabolit toksik melalui biotrans- formasi enzimatik di hati. Namun, beberapa bahan
kimia dapat diaktivasi di kulit oleh radiasi ultraviolet dan/atau sinar tampak. Pada
fotoalergi, radiasi diabsorpsi oleh suatu obat, misalnya suatu sulfonamida, mengakibatkan
perubahannya menjadi suatu produk yang merupakan alergen yang lebih kuat daripada se-
nyawa induknya. Reaksi-reaksi fototoksik terhadap obat, ber- beda dengan reaksi
fotoalergi, tidak mempunyai komponen Imunologis. Obat yang diabsorpsi secara lokal ke
dalam kulit ataupun yang mencapai kulit melalui sirkulasi sistemik, mungkin menjadi
objek reaksi-reaksi fotokimia di dalam kulit, hal ini dapat secara langsung menyebabkan
reaksi-reaksi fotosensi- tivitas yang diinduksi secara kimia atau peningkatan efek sinar
matahari dari efek yang biasa. Tetrasiklin, sulfonamida, klorpro- mazin, dan asam
nalidiksat adalah contoh-contoh bahan kimia fototoksik, umumnya, senyawa tersebut tidak
merusak kulit bila tidak terkena cahaya.
Spesies Oksigen Reaktif. Parakuat adalah suatu herbisida yang menyebabkan cedera
paru-paru yang parah. Toksisitasnya bukan disebabkan oleh parakuat atau metabolitnya
tetapi lebih disebab- kan oleh spesies oksigen reaktif yang terbentuk selama reduksi satu-
elektron pada parakuat bersama dengan pemberian elektron ke oksigen.
SPEKTRUM EFEK-EFEK YANG TIDAK
DIINGINKAN
Spektrum efek-efek bahan kimia yang tidak diinginkan bisa luas dan tidak jelas.
Dalam terapi, suatu obat biasanya menghasilkan banyak efek, tetapi biasanya hanya
satu yang diinginkan sebagai tujuan utama terapi, kebanyakan efek lain itu disebut efek-
efek yang tidak diinginkan dari obat itu untuk indikasi terapi tersebut. Efek samping obat
umumnya tidak berbahaya; termasuk efek-efek seperti mulut kering yang terjadi pada
terapi antidepresan trisiklik. Pengkategorian mekanistik efek toksik penting untuk
menghindari hal tersebut atau, jika efek itu terjadi, untuk menangani efek toksik secara
rasional dan berhasil.

Jenis Reaksi Toksik. Efek toksik obat dapat digolongkan sebagai farmakologis, patologis,
atau genotoksik (peru- bahan DNA), serta insidensi dan keparahannya berkaitan. paling
tidak dalam beberapa rentang, dengan konsentrasi bahan kimia toksik di dalam tubuh.
Contoh toksisitas far- makologis adalah depresi berlebihan pada sistem saraf pusat (SSP)
oleh barbiturat; contoh efek patologis adalah luka di hati yang disebabkan oleh
asetaminofen; contoh efek genotoksik adalah neoplasma yang disebabkan oleh mustar
nitrogen.
Apabila konsentrasi bahan kimia di dalam jaringan tidak melebihi kadar kritis, efeknya
bia- sanya akan reversibel. Efek farmakologis biasanya hilang jika konsentrasi obat atau
bahan kimia di dalam jaringan diturunkan oleh biotransformasi atau ekskresi dari tubuh.
Efek patologis dan genotoksik mungkin dapat diperbaiki. Jika efek-efek ini berat,
kematian mungkin terjadi dalam waktu singkat, apabila kerusakan yang tak kentara pada
DNA tidak diperbaiki, kanker dapat muncul dalam bebe- rapa bulan atau beberapa tahun
pada hewan laboratorium atau dalam satu dasawarsa atau lebih pada manusia.

Toksisitas Lokal vs Sistemik. Toksisitas lokal adalah efek yang terjadi pada tempat
pertama kali terjadi kontak antara sistem biologis dan toksikan. Efek lokal dapat
disebabkan oleh ter telannya zat-zat penyebab atau terhirupnya bahan-bahan initan
Toksisitas sistemik memerlukan absorpsi dan distribusi toksikan tersebut: kebanyakan zat,
kecuali spesies kimia yang sanga reaktif, menghasilkan efek toksik sistemik. Kedua
kategori ter sebut tidak terpisah satu sama lain. Sebagai contoh, timbal tractil melukai kulit
pada tempat kontaknya dan merusak SSP setelah diabsorpsi ke dalam aliran darah.
Kebanyakan toksikan sistemik sangat memengaruhi satu atau beberapa organ. Organ
target toksisitas tidak selalu meru- pakan tempat akumulasi bahan kimia tersebut. Sebagai
contoh, timbal terkonsentrasi dalam tulang, tetapi kerja toksik utamanya di jaringan lunak:
DDT (klorofenotan) terkonsentrasi di jaringan adiposa tetapi tidak diketahui menghasilkan
efek toksik di tempat ini.
SSP adalah yang paling sering terlibat dalam toksisitas sis temik, karena banyak
senyawa dengan efek yang menonjol di tempat lain juga ikut memengaruhi otak.
Selanjutnya pada urutan frekuensi keterlibatan dalam toksisitas sistemik adalah sistem
sirkulasi; darah dan sistem hematopoietik: organ visera seperti hati, ginjal, dan paru-paru:
dan kulit. Otot dan tulang paling se- dikit dipengaruhi. Pada zat-zat yang memiliki efek
utama ber- sifat lokal, frekuensi reaksi jaringan terutama tergantung pada tempat
masuknya (kulit, saluran gastrointestinal, atau saluran pernapasan).
Efek Toksik Reversibel dan Ireversibel. Sedapat mungkin, efek obat pada manusia harus
reversibel, jika tidak, obat akan dilarang karena toksik. Apabila suatu bahan kimia melukai
jaringan, kapasitas jaringan tersebut untuk melakukan regenerasi atau perbaikan akan
sangat menentukan reversibilitas efek tersebut. Luka pada jaringan misalnya hati, yang
memiliki kapasitas tinggi untuk beregenerasi, biasanya reversibel, luka pada SSP sebagian
besar ireversibel, karena neuron-neuron yang sangat terdife- rensiasi pada otak memiliki
kemampuan yang sangat terbatas untuk membelah dan beregenerasi.

Toksisitas Tertunda. Kebanyakan efek toksik obat terjadi pada waktu yang dapat
diperkirakan (umumnya tidak lama) setelah pemberian. Namun tidak selalu demikian.
Sebagai contoh, anemia aplastik yang disebabkan oleh kloramfenikol dapat muncul
berminggu-minggu setelah obat dihentikan. Efek karsinogenik bahan kimia biasanya
mempunyai periode laten yang panjang. dan tumor baru teramati 20 sampai 30 tahun
kemudian. Karena efek-efek tersebut tidak dapat dinilai selama periode evaluasi awal yang
untuk suatu bahan kimia, uji-uji jangka pendek yang prediktif dan terandalkan untuk
toksisitas semacam ini sangat diperlukan, demikian pula pengawasan siste matik terhadap
efek-efek jangka panjang obat-obat dan bahan kimia lainnya di perdagangan.
Karsinogen Kimia. Karsinogen kimia diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama,
genotoksik dan nongeno- toksik. Karsinogen genotoksik berinteraksi dengan DNA,
karsinogen nongenotoksik tidak. Karsinogenesis kimia adalah proses banyak tahap.
Kebanyakan karsinogen genotoksik sendiri tidak reaktif (prokarsinogen atau karsinogen
proksimat) tetapi diubah menjadi kar- sinogen utama atau akhir di dalam tubuh. Enzim-
enzim metabolisme obat (fase I dan fase II) sering mengubah karsinogen proksimat
menjadi senyawa-antara yang ke- kurangan elektron reaktif (elektrofil). Senyawa-antara
re- aktif ini dapat berinteraksi dengan pusat-pusat kaya- elektron (nukleofilik) dalam DNA
untuk menghasilkan suatu mutasi. Interaksi semacam itu antara karsinogen akhir dengan
DNA di dalam suatu sel diduga merupakan tahap awal karsinogenesis kimia. DNA dapat
kembali normal apabila mekanisme perbaikan DNA berjalan dengan sukses; bila tidak, sel
yang ditransformasi dapat tumbuh menjadi tumor yang secara klinis.

Karsinogen nongenotoksik, yang juga disebut pro- moter, tidak hanya menghasilkan
tumor saja tetapi juga memperkuat efek karsinogen genotoksik. Promosi ini meliputi
fasilitasi dan perkembangan sel-sel tumor yang dorman atau laten. Waktu sejak inisiasi
sampai berkembangnya tumor kemungkinan tergantung pada adanya promoter tersebut:
untuk banyak tumor manusia. periode laten adalah 15 sampai 45 tahun.
Untuk menentukan apakah suatu bahan kimia ber- potensi karsinogenik terhadap
manusia, dilakukan dua jenis uji laboratorium utama. Satu jenis studi dilakukan untuk
menentukan apakah bahan kimia tersebut bersifat mutagenik, karena banyak karsinogen
adalah juga mu- tagen. Studi-studi ini sering kali merupakan studi in vitro, seperti uji
Ames menggunakan Salmonella typhimurium (Ames et al., 1975), yang dapat diselesaikan
dalam be- berapa hari. Jenis uji ini dapat mendeteksi karsinogen genotoksik, tetapi tidak
dapat mendeteksi promoter. Jenis studi kedua untuk mendeteksi karsinogen kimia terdiri
atas pemberian makan hewan laboratorium (mencit dan tikus) dengan bahan kimia tersebut
pada dosis tinggi untuk seluruh masa hidupnya. Autopsi dan pemeriksaan histo- patologis
dilakukan pada setiap hewan. Insidensi tumor pada hewan kontrol dan hewan yang diberi
bahan kimia yang diuji dibandingkan untuk menentukan apakah bahan kimia tersebut
meningkatkan insidensi tumor. Penelitian yang terakhir ini dapat mendeteksi promoter dan
juga karsinogen genotoksik.
Reaksi Alergi. Alergi kimia adalah suatu reaksi yang me- rugikan akibat sensitisasi
sebelumnya dengan bahan kimia tertentu atau bahan yang strukturnya mirip. Reaksi-reaksi
demikian diperantarai oleh sistem imun. Istilah hipersensitivitas atau alergi obat sering
digunakan untuk menggambarkan keadaan alergi tersebut.
Agar suatu bahan kimia berbobot molekul rendah dapat menghasilkan reaksi alergi,
bahan tersebut atau metabolitnya biasanya bekerja sebagai suatu hapten, bergabung
dengan protein endogen membentuk kompleks antigenik. Antigen-antigen tersebut
menginduksi sintesis antibodi, umumnya setelah periode laten sekurang-kurangnya 1
sampai 2 minggu. Pemajanan berikutnya organisme tersebut dengan bahan kimia
mengakibat kan terjadinya interaksi antigen-antibodi yang menimbulkan manifestasi alergi
yang khas. Hubungan dosis-respons biasanya tidak jelas untuk pencetusan reaksi-reaksi
alergi.
Respons alergi dibagi ke dalam empat kategori umum. berdasarkan mekanisme
keterlibatan imunologis (Coombs and Gell, 1975). Reaksi tipe 1, atau reaksi anafilaktik,
pada manusia diperantarai oleh antibodi IgE. Bagian Fc pada IgE dapat mengikat reseptor
pada sel mast dan basofil. Apabila bagian Fab pada molekul antibodi kemudian mengikat
antigen, berbagai mediator (histamin, leukotrien, prostaglandin) akan dilepaskan dan
vasodilasi, edema, dan respons inflamasi .
Target-target utama jenis reaksi ini adalah saluran gastrointestinal (alergi makanan), kulit
(urtikaria dan dermatitis atopik), sistem pernapasan (rinitis dan asma) dan sistem
pembuluh darah (syok anafilaktik). Respons-respons ini cenderung terjadi dengan cepat
setelah ditantang dengan suatu antigen, yang sebelumnya telah mensensitisasi individu
tersebut, dan disebut reaksi hipersensitivitas segera.
Reaksi tipe II, atau reaksi sitolitik, diperantarai oleh antibodi IgG maupos IgM dan
hanya dihubungkan dengan kemam puan antibodi tersebut untuk mengaktivast sistem
komplemen Jaringan target utama untuk reaksi sitolitik adalah sel-sel dalam sirkulasi
Contoh-contoh respons alergi tipe II meliputi mis bemolink yang dinduksi penisilin,
anemia hemolitik yang diinduksi-metildopa, purpura trombositopenik dinduksi-kuinidin,
dan granulositopenia yang diinduksi-selfonamida. Untungnya, reaksi-reaksi autoimun
terhadap obat ini biasanya resda dalam beberapa bulan setelah senyawa penyebabnya
dihilangkan.
Reaksi tipe III, atau reaksi Arthus, terutama diperantarai oleh IgG, mekanismenya
melibatkan pembentukan kompleks-kom- pleks antigen-antibodi yang kemudian memperbaiki
komple men. Kompleks tersebut disimpan di dalam endotelium vaskular, tempat terjadinya
respons inflamasi destruktif yang disebut se rum sickness. Fenomena ini berlawanan dengan
reaksi tipe II yang respons inflamasinya diinduksi oleh antibodi yang ditu jukan untuk melawan
antigen-antigen jaringan Gejala klinis se rum sickness meliputi erupsi kulit urtikaria, artralgia
atau artritis, Himfadenopati, dan demam. Reaksi ini biasanya berlangsung 67 sampai 12 hari
dan kemudian mereda setelah senyawa pe nyebabnya dieliminasi, Beberapa obat-seperti
sulfonamida, penisilin, antikonvulsan tertentu, dan iodida-dapat mengin duksi serum sickness.
Sindrom Stevens-Johnson, seperti yang disebabkan oleh sulfonamida, merupakan bentuk
vaskulitis imun yang lebih parah Gejala reaksi ini meliputi eritema multiforme, artritis, nefritis,
kelainan SSP, dan miokarditis.
Reaksi tipe IV, atau reaksi hipersensitivitas-tertunda, di- perantarai oleh limfosit T dan
makrofag yang tersensitisasi. Keti- ka sel yang tersensitisasi berkontak dengan antigen, reaksi
infla masi terjadi dengan diproduksinya limfokin yang diikuti dengan influks netrofil dan
makrofag. Contoh tipe IV atau hipersen- sitivitas tertunda adalah dermatitis kontak yang
disebabkan oleh poison ivy.
Reaksi Idiosinkratik. Idiosinkrasi didefinisikan sebagai reaktivitas abnormal terhadap
suatu zat kimia yang didapat secara genetik. Respons yang teramati secara kualitatif mirip
pada semua individu, tetapi respons idiosinkratik dapat berupa bentuk kepekaan ekstrem
terhadap dosis rendah atau ketidakpekaan ekstrem terhadap dosis tinggi bahan-bahan kimia.
Polimorfisme genetik ini dapat dise- babkan oleh perbedaan antarindividu dalam
farmakoki- netik obat, seperti enzim-enzim biotranformasi fase I dan fase II. Contohnya
adalah peningkatan insidensi neuropati perifer pada pasien pasien yang mengalami
defisiensi ase- tilasi bawaan ketika isoniazid digunakan untuk pena- nganan tuberkulosis.
Polimorfisme juga dapat diakibatkan oleh faktor-faktor farmakodinamik seperti interaksi
obat- reseptor (Evans and Relling, 1999). Sebagai contoh, ba- nyak pria negro (sekitar 10%)
mengalami anemia hemo- litik parah ketika menerima primakuin sebagai terapi antimalaria.
Individu seperti itu mengalami defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase eritrositik.
Resistensi secara genetik terhadap kerja antikoagulan war- farin adalah akibat perubahan
pada vitamin K epoksida reduktase. Penggunaan informasi genetik untuk menjelaskan
perbedaan respons obat antarindividu atau untuk mengindividualisasi dosis obat-obat untuk
pasien dengan polimorfisme genetik yang diketahui di- sebut sebagai farmakogenomika.
Interaksi Antarbahan Kimia. Adanya banyak toksikan memerlukan perhatian pada
interaksi potensialnya. Pemajanan yang bersamaan dapat mengubah farmako- kinetika obat-
obat dengan mengubah laju absorpsi, derajat ikatan protein, atau laju biotranformasi atau
ekskresi salah sam atau kedua senyawa yang berinteraksi. Farmakodinamika bahan ki mia
dapat diubah dengan kompetisi pada reseptor tersebut. sebagai contoh, atropin digunakan
untuk menangani toksistas insektisida organofosfat, karena senyawa tersebut memblok
reseptor kolinergik muskarinik dan mencegah perangsangan oleh avetilkolin berlebihan yang
dihasilkan dari penghambatan asetil- kolinesterase oleh insektisida tersebut. Interaksi obat
farmako- dinamik nonreseptor juga dapat terjadi jika dua obat memiliki mekanisme kerja
yang berbeda, sebagai contoh, aspirin dan hep arin yang diberikan bersamaan dapat
menyebabkan perdarahan yang tidak diharapkan. Oleh karena itu, respons terhadap toksi kan
gabungan dapat sama dengan, lebih besar, atau kurang darijumlah efek masing-masing
senyawa.
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KERACUNAN
Banyak keracunan akut akibat obat dapat dicegah apabila dokter memberikan instruksi
jelas tentang penyimpanan obat dan bahan-bahan kimia lain, dan apabila pasien atau orang tua
pasien menerima nasihat tersebut. Instruksi ini di publikasikan secara luas sehingga tidak perlu
diulang disini. Untuk keperluan klinis, semua zat toksik dapat dibagi menjadi dua golongan: zat
toksik yang dapat ditangani se- cara spesifik dengan adanya antidot dan yang tidak memiliki
penanganan spesifik. Untuk kebanyakan obat dan bahan kimia lainnya, tidak ada penanganan
yang spesifik; satu-satunya strategi adalah perawatan medis simtomatik yang menunjang
fungsi-fungsi vital.
Terapi penunjang, seperti pada gawat darurat medis lainnya, adalah aspek paling penting
dalam penanganan keracunan obat. Pepatah "Tangani pasien, bukan racun- nya" tetap menjadi
prinsip dasar dan penting dalam toksi- kologi klinis. Pemeliharaan respirasi dan sirkulasi harus
didahulukan. Pengukuran berturut-turut serta pembuatan grafik tanda-tanda vital dan refleks-
refleks yang penting membantu untuk menilai progres intoksikasi, respons terhadap terapi, dan
perlunya penanganan tambahan. Pemantauan ini biasanya memerlukan rawat inap. Klasifikasi
pada Tabel 4-3 sering digunakan untuk menunjukkan keparahan intoksikasi SSP.
Penanganan dengan dosis tinggi stimulan dan sedatif sering kali dapat menyebabkan
bahaya yang lebih besar daripada racun itu sendiri. Antidot kimia harus digunakan dengan
bijaksana; tindakan ber- lebihan jarang diperlukan.
Penanganan keracunan akut harus cepat. Tujuan uta- manya adalah untuk
memelihara fungsi-fungsi vital bila kerusakannya hampir terjadi. Tujuan kedua adalah
menjaga konsentrasi racun serendah mungkin dalam jaringan-jaringan yang penting
dengan mencegah absorpsi dan meningkatkan eliminasi. Tujuan ketiga adalah untuk
melawan efek farmakologis dan toksikologis pada tempat-tempat efektor.
Pencegahan Absorbsi Racun Lebih Lanjut
Emesis. Meskipun emesis diindikasikan setelah terjadi keracunan karena ingesti oral
sebagian besar bahan kimia, tetapi hal itu merupakan kontraindikasi pada keadaan-
keadaan tertentu: (1) Apabila pasien teringesti racun ko- rosif, seperti asam atau basa kuat
(misalnya pembersih saluran), emesis meningkatkan kemungkinan perforasi lambung dan
nekrosis lebih lanjut pada esofagus. (2) Apabila pasien koma atau dalam keadaan pingsan
atau mengigau, emesis dapat menyebabkan aspirasi isi lam- bung. (3) Apabila pasien
menelan stimulan SSP, perang- sangan selanjutnya yang disertai muntah dapat menye-
babkan konvulsi. (4) Apabila pasien menelan distilat minyak bumi (misalnya kerosin,
gasolin, atau cairan pengkilap mebel dari minyak bumi), hidrokarbon yang dimuntahkan
dapat mudah terhisap dan menyebabkan pneumonitis kimiawi (Ervin, 1983). Sebaliknya,
emesis harus diwaspadai apabila larutan yang tertelan mengan- dung senyawa-senyawa
yang berpotensi bahaya, seperti pestisida.
Terdapat perbedaan yang jelas dalam kemampuan berbagai distilat minyak bumi untuk
menyebabkan pneumo- nia hidrokarbon, yang merupakan proses nekrotisasi he- moragik akut.
Secara umum, kemampuan berbagai hidrokarbon untuk menyebabkan pneumonitis berbanding
terbalik dengan viskositas zat: jika viskositasnya tinggi, seperti minyak dan berlemak, maka
risikonya terbatas; jika viskositasnya rendah, seperti minyak mineral anjing laut yang terdapat
dalam cairan pengkilap mebel, maka risiko aspirasi tinggi.
Muntah dapat diinduksi secara mekanis dengan me- mukul faring bagian belakang.
Namun, teknik ini tidak seefektif pemberian ipekak atau apomorfin.

Ipekak. Emetik rumah tangga yang paling berguna adalah sirup ipekak (bukan ekstrak cairan
ipekak, yang 14 kali lebih kuat dan dapat menyebabkan kematian). Sirup ipe- kak tersedia
dalam wadah 0,5 dan 1 ons-cairan (kira-kira 15 dan 30 ml), yang dapat dibeli tanpa resep. Obat
ini dapat diberikan secara oral, tetapi memakan waktu 15 sampai 30 menit untuk menghasilkan
emesis; perban- dingan ini sesuai dengan waktu yang biasanya diperlukan untuk pembilasan
lambung yang memadai. Dosis oral adalah 15 ml untuk anak-anak dari usia 6 bulan sampai 12
tahun dan 30 ml untuk anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa. Karena emesis tidak
dapat terjadi ketika perut kosong, pemberian ipekak harus diikuti dengan minum air.
Ipekak bekerja sebagai suatu emetik karena efek iritan lo- kalnya pada saluran
enterik dan efeknya pada zone pemicu kemoreseptor (CTZ) pada area postrema di medula.
Sirup ipekak mungkin efektif sekalipun bila obat-obat antiemetik (seperti fenotiazin) telah
ditelan (Thoman and Verhulst, 1966), diduga karena kerja iritasi langsungaya pada saluran.
Ipekak dapat menghasilkan efek toksik pada jantung karna mengandung emetin, tetapi hal
ini biasanya tidak bermasalah dengan dosis yang digunakan untuk emesis (Manno and
Manno, 1977) Apabila emesis tidak terjadi, ipekak harus dihilangkan dengan pembilasan
lambung Penyalahgunaan ipekak secara kronis untuk menurunkan bobot badan dapat
menyebabkan kardiomiopati, fibrilasi ventrikular, dan kematian.

Apomorfin. Apomorfin merangsang CTZ dan menyebabkan emesis. Obat ini tidak stabil
dalam larutan dan harus disiapkan sesaat sebelum digunakan sehingga jarang segera
tenodia D samping itu, apomorfin tidak efektif secara oral dan harus diberikan secara
parenteral, biasanya dengan rute subkutan6 mg untuk dewasa dan 0,06 mg/kg untuk anak-
anak (Goldfrank er al., 1998).
Meskipun demikian, hal ini dapat menjadi keuntungan lebih dibandingkan dengan ipekak karena
dapat diberikan ke pada pasien yang tidak kooperatif dan menyebabkan muntah dalam 3 sampai 5
menit. Karena apomorfin adalah depresan pernapasan, obat ini tidak boleh digunakan bila pasien
telah keracunan depresan SSP, atau bila pernapasan pasien lambat dan sulit. Saat ini, apomorfin
jarang digunakan sebagai emetik.

Pembilasan Lambung. Pembilasan lambung dilakukan dengan memasukkan pipa ke dalam perut
dan mencuci perut dengan air, larutan salin normal, atau larutan salin setengah normal untuk
menghilangkan racun yang tidak terabsorpsi. Prosedur tersebut harus dilakukan sesegera mungkin,
tetapi hanya jika fungsi-fungsi vital memadai atau prosedur-prosedur penunjang diterapkan.
Kontrain dikasi untuk prosedur ini secara umum sama seperti untuk emesis, dan ada potensi
komplikasi tambahan yaitu cedera mekanis pada tenggorokan, esofagus, dan lambung. Pernyataan
tentang penggunaan pembilasan lambung telah dipublikasikan oleh American Academy of Clinical
Tox cology dan European Association of Poison Centres and Clinical Toxicologists (Vale, 1997).
Kelompok-kelompok ini menyimpulkan bahwa pembilasan lambung tidak boleh
digunakan secara rutin dalam penanganan pasien kera- cunan tetapi harus disediakan
untuk pasien yang menelan racun dalam jumlah yang berpotensi mengancam jiwa dan bila
prosedur dapat dilakukan dalam waktu 60 menit se telah racun itu tertelan.Satu-satunya
peralatan yang diperlukan untuk pembilasan lambung adalah pipa dan semprit (syringe)
besar. Pipa hana sebesar mungkin sehingga larutan pencuci, makanan, dan racu (baik
dalam bentuk kapsul, pil, maupun cairan) akan mengali dengan bebas dan pembilasan
dapat diselesaikan dengan cepa Pipa 36-Fr atau lebih besar sebaiknya digunakan untuk
oran dewasa dan pipa 24-Fr atau lebih besar untuk anak-anak Pembilasan orogastrik lebih
disukai daripada nasogastrik, karen pipa yang lebih besar dapat digunakan. Untuk
mencegah asp rasi, pipa endotrakeal dengan manset yang dapat dipompa har dipasang
sebelum pembilasan dimulai apabila pasien dala keadaan koma, kejang, atau kehilangan
refleks menelan.
Antagonisme atau Inaktivasi-Kimia Racun yang
Terabsorpsi
Antagonisme fungsional dan farmakologis efek-efek toksikan yang terabsorpsi telah
dibahas di atas. Bila pasien teracuni dengan suatu senyawa yang bekerja sebagai ago- nis
pada suatu reseptor, dan tersedia senyawa bloker spe sifik untuk reseptor tersebut,
pemberian antagonis reseptor kemungkinan sangat efektif. Antagonis fungsional juga
dapat berguna untuk menunjang fungsi-fungsi vital pa- sien. Sebagai contoh, obat
antikonvulsan digunakan untuk menangani konvulsi yang diinduksi secara kimia. Namun,
obat-obat yang merangsang mekanisme fisiologis anta- gonistik tidak selalu bernilai klinis
dan mungkin bahkan menurunkan insidensi ketahanan hidup, karena sering kali sulit untuk
menyesuaikan efek satu obat terhadap obat lain bila keduanya bekerja pada sistem yang
berlawanan. Salah satu contoh komplikasi semacam ini adalah penggunaan stimulan SSP
untuk mengembalikan depresi pernapasan. Konvulsi adalah komplikasi khas terapi
tersebut, dan du kungan mekanis pada respirasi lebih disukai. Di samping itu, durasi kerja
racun dan antidot mungkin berbeda, kadang-kadang menyebabkan keracunan dengan
antidot tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswarna, Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV  . Bagian Farmakolgi
FakultasKedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Indonesia.

Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat, Farmakologi dan Toksikologi. Edisi V. Bandung:
ITB Press.

Stringer, Janet L. 2009. Konsep Dasar Farmakologi. Edisi III. Jakarta: Buku kedokteran,
EGC.

Syarif Amir. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran, UI.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai