Anda di halaman 1dari 90

NAMA LENGKAP : ZUMAROH

TEMPAT / TGL LAHIR : SURABAYA, 11 APRIL 1989

ASAL DINAS / INSTANSI : DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA


TIMUR

JABATAN : STAFF SEKSI SURVEILANS DAN IMUNISASI


(EPIDEMIOLOG KESEHATAN AHLI PERTAMA)

RIWAYAT PENDIDIKAN :

S1-ILMU KESEHATAN MASYARAKAT (UNIVERSITAS


AIRLANGGA)
PENEMUAN DAN TATALAKSANA KASUS
PD3I

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
OUTLINE
LATAR BELAKANG

SURVEILANS AFP

SURVEILANS CAMPAK-RUBELLA

SURVEILANS DIFTERI

SURVEILANS TN

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
dr. Cornelia Hesadarma 3
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
LATAR BELAKANG

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 4
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
GLOBAL TARGET

ERADIKASI POLIO
01 2014 : SEARO bebas polio ELIMINASI CAMPAK &
(Indonesia) RUBELA/CRS
2023 : DUNIA bebas polio 02 2023 : INDONESIA Eliminasi Campak &
Rubela/CRS
2023 : SEARO Eliminasi Campak &
Rubela/CRS

ELIMINASI
TETANUS NEONATORUM
03 2015 : Tetanus Neonatorum Eliminasi di PENGENDALIAN DIFTERI
Seluruh Region 04
TARGET NASIONAL INDONESIA SAAT INI
SAAT INI INDONESIA MEMPERTAHANKAN
STATUS ELIMINASI TN

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
Eradikasi, Eliminasi, Reduksi
• Eradikasi: Memberantas suatu penyakit hingga tidak ada lagi
kasus tersebut di muka bumi. Contoh: Cacar
• Eliminasi: Menekan angka kejadian penyakit sehingga tidak lagi
menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Contoh: Tetanus Neonatorum (<1/1000 kelahiran hidup
di suatu daerah)
• Reduksi: Mengurangi angka kejadian suatu penyakit

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
TARGET ERADIKASI POLIO

Tidak ada lagi Indikator


kasus polio surveilans AFP
yang adekuat:
Dibuktikan • Non Polio AFP
dengan minimal 2 per
Tidak ada transmisi surveilans 100.000
virus polio liar AFP yang penduduk usia
adekuat <15 tahun
• Persentase
setiap tahun
Spesimen
Tidak ada transmisi
Adekuat minimal
virus polio vaksin
80%
(VDPV) DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TARGET ELIMINASI CAMPAK & RUBELA/CRS

Indikator
surveilans
Dibuktikan campak-rubela/CR
dengan S yang adekuat:
Tidak ada surveilans • Discarded rate
campak- bukan campak-
transmisi
rubela/CRS bukan rubela
virus campak & yang adekuat ≥2/100.000
rubela MINIMAL penduduk
SELAMA 3 THN • Reporting rate
berturut-turut suspek CRS
≥1/10.000 KLH
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
PENGENDALIAN DIFTERI

Setiap suspek difteri


dilakukan penyelidikan Penyediaan ADS dan Profilaksis
oleh pemerintah ( Pusat dan
Daerah)
Pemeriksaan spesimen dapat
di laboratorium provinsi /
BBTKLPP/ Nasional
Pelaporan kasus pada
form W1 dan form DIF-1

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
MENCAPAI & MEJAGA ELIMINASI TMN

Persalinan bersih Imunisasi Tetanus


rutin
TT /Td
Surveilans tambahan/WUS pd
daerah risti
Eliminasi TN

Validasi Eliminasi TMN

Menjaga Eliminasi TMN

TT tambahan/WUS
Persalinan bersih Imunisasi Tetanus
Surveilans
rutin Imunisasi anak
sekolah

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
07/12/2022
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
PRINSIP UMUM

Pelaksanaan surveilans PD3I yaitu surveilans AFP (Lumpuh Layuh Akut) dan
surveilans Polio-Lingkungan, surveilans Campak-Rubela, surveilans Difteri,
surveilans CRS (Congenital Rubella Syndrome), surveilans Pertussis dan
surveilans Tetanus Neonatorum HARUS TETAP DILAKSANAKAN SECARA
RUTIN

Komponen pelaksanaan surveilans PD3I dapat dipertimbangkan untuk


DI-INTERGRASI-KAN dengan surveilans COVID-19 yang telah berjalan

Memastikan penerapan upaya Pencegahan dan Pengendalian infeksi (PPI)


COVID-19 termasuk didalamnya terkait dengan penggunaan Alat Pelindung
Diri (APD)  sesuai dengan
DIREKTORAT SURVEILANS protokol kesehatan
DAN KARANTINA pada SAAT PELAKSANAAN
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEGIATAN SURVEILANS PD3I
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
SURVEILANS LUMPUH LAYUH
MENDADAK
ACUTE FLACCID PARALYSIS (AFP)

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
Eradikasi Polio Global
KENAPA ITU APA
MUNGKIN? KESULITANNYA?
• Tidak ada reservoir binatang • Asymptomatic infection
• Vaksin OPV efektif (efikasi • Banyak penyakit punya
>90 %, mudah pemberian) gejala sama dg polio
• Virus polio idak tahan lama • Anak yang sudah punya
di lingkungan 1- 2 hari imunitas masih bisa jadi
• Tidak ada long term carier sumber penularan
• Tingginya mobilitas
penduduk dunia
POLIO 8
Tonggak Sejarah Kesehatan Masyarakat
Sertifikasi Bebas Polio
SEAR 27 Maret 2014

INDONESIA mendapat
sertifikat bebas dari virus
polio liar tahun 2014 
namun Tahun 2019 ditemukan
KASUS POLIO di kab
Yahukimo

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 14
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
LOGO
Poliomyelitis
 Poliomyelitis (polio) adalah penyakit yang disebakan oleh virus,
menular dan biasanya menjangkiti anak-anak. Virus polio disebarkan
dengan cara kontak orang-orang lewat rute fekal oral atau
air/makanan yang terkontaminasi dan kemudian memperbanyak diri
di saluran cerna (usus) dan dari situ menyebar ke sistem saraf dan
menyebabkan paralisis (lumpuh layu akut)
(sumber: https://www.who.int/topics/poliomyelitis/en/)
LOGO
Gejala Klinis Poliomyelitis

 Hanya 1 % yang menimbulkan


kelumpuhan
 Lumpuh yang bagaimana?

SURVEILANS
AFP/LUMPUH LAYUH
AKUT
Poliomyelitis
(POLIO c

) Polio: Tipe 1, Tipe 2 (eradikasi), Tipe 3 (eradikasi)


• Virus
• Gejala awal: seperti flu (demam, lemas), pada 1% kasus dapat
menyebabkan kelumpuhan permanen.
Vaksin Jenis vaksin Perlindungan Jadwal
tOPV (s/d April 2016) Virus dilemahkan 1, 2, 3 -
bOPV Virus dilemahkan 1, 3 1, 2, 3, 4 bulan (interval 4
minggu)

IPV Virus dimatikan 1, 2, 3 4 bulan (1x)

• Surveilans AFP: penemuan kasus lumpuh layuh untuk dibuktikan bahwa


bukan diakibatkan oleh virus Polio  >2/100.000 penduduk <15 tahun
CAPAIAN GPEI: Penurunan Secara Signifikan Jumlah
Kasus Lumpuh akibat Virus Polio Liar, 1988-2018*
1800
1604
1600
400 1953, Salk memberikan vaksin
1400 1352
Polio pertama pada keluarganya (IPV).
1960, OPV 1200

1968, IPV 1000

300
1988, GPEI 800
650
Jumlah kasus (ribuan)

600
369 359
400
230
200 74 37 22 30
200
0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Kasus terakhir Kasus terakhir


100 Virus polio liar 2 Virus polio liar 3

17 Oktober
2019, eradikasi
0 virus polio liar
tipe 3
1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2012

2013
2011
*as of 7 Aug. 2018; case count will be updated regularly (current numbers:
http://www.polioeradication.org/Dataandmonitoring/Poliothisweek.aspx 2014, Sertifikasi Bebas Polio
2015, Eradikasi Polio Liar 2
STRATEGI ERADIKASI POLIO

 Imunisasi Rutin dengan cakupan tinggi,


(sweeping dan backlog fighting )
 Imunisasi Tambahan :
- PIN 1995, 1996 dan 1997, 2002
- Sub PIN (1998-1999-2000). Daerah
berisiko tinggi (fokus)
- Mopping Up
 Surveilans AFP sesuai standar sertifikasi
 Pengamanan Virus Polio di Laboratorium
Imunisasi Polio
• Imunisasi rutin :
– Memberikan perlindungan kepada individu terhadap virus polio

• Outbreak Response Immunization (ORI) :


– memberikan perlindungan segera pada anak di daerah high risk
min 72 jam setelah kasus dilaporkan yang bertujuan mengurangi
jumlah anak yang lumpuh.

• Moping –Up :
– Memutus transmisi, dilakukan sesegera mungkin setelah ditemukan
virus polio, sebagai Out Break response.

• PIN :
– Memutus transmisi virus polio, dilakukan serentak, pada saat transmisi
rendah.

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 21
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
Milestones
• Virus polio liar asli indonesia (indigenous) terakhir dilaporkan
tahun 1995.
• Surveilans AFP dimulai tahun 1995 dan diintensifikasi tahun
1997
• 1999: Kasus polio akibat VPL tipe 2 dilaporkan terakhir kali di
India.
• 2005: Terjadi KLB polio akibat importasi virus polio liar: 305
kasus di 3 provinsi, 47 kab/kota. Kasus terakhir: April 2006.
• 2011: Kasus polio terakhir di SEAR (dari India)
• 2014: SEARO mendapat sertifikasi bebas polio.
• Sept. 2015: VPL tipe 2 resmi dinyatakan telah musnah.
• April 2016:
Seksi Surveilans dantOPV diganti menjadi
Imunisasi-Bidang bOPV dandan
Pencegahan IPV Pengendalian
diintroduksi. Penyakit
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 22
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
VPL, VAPP & VDPV
VPL: Virus polio liar yang hidup di alam dan menyebabkan polio

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 23
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
TANTANGAN INDONESIA atau
POTENSI MASALAH
Walaupun virus polio liar tdk ditemukan lagi di Indonesia, tapi
masih punya risiko :

– Virus polio import

– VDPV (Vaccine Derived Polio Virus) di daerah cakupan


imunisasi rendah

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 24
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
KASUS AFP

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 27
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
MINIMAL 2/100.000
ANAK USIA<15 THN

NON POLIO AFP

POLIO
POLIO (VACCINE
(WILD POLIO
KASUS AFP
VIRUS)
DERIVED
POLIOVIRUS)

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 28
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
Definisi LUMPUH LAYUH MENDADAK atau
AFP (Acute Flaccid Paralysis)
• Semua anak UMUR kurang dari 15 THN
• LUMPUH yang sifatnya LEMAS/LAYUH
(flaccid)
• Terjadi MENDADAK dalam 1 – 14 HARI
• Bukan disebabkan trauma

Bila ada keraguan LAPORKAN


sebagai kasus AFP
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
29
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
PETUNJUK KEARAH AFP
Lumpu
h tiba-
tiba

Tungka Kelemaha
i lemas n

AFP
Tidak bisa
Tidak
menggerakka
n kaki/tangan
bisa
bangun
Tidak
DIREKTORAT SURVEILANS bisa DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL jalan
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
PENEMUAN KASUS AFP

RUMAH SURVEILANS
RUMAH
BERBASIS
MASYARAKAT
SAKIT RUMAH SAKIT

SURVEILANS PUSKESMAS
Tugas Puskesmas untuk PRAKTEK
SWASTA
BERBASIS meyakinkan
SIAPAbahwa
SAJA YANG semua kasus
MENEMUKAN
MASYARAKAT AFP yang datang
KASUS ke unit ini
sudah dilaporkan.
FASYANKES
PKK LAIN

KEPALA
DESA
BIDAN
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
APAKAH KASUS AFP ITU ADALAH POLIO ?
 Kasus AFP BELUM TENTU POLIO
 Untuk menentukan bukan polio  TINJA kasus harus diambil:
 Diambil 2 kali dengan jarak tinja pertama
dan tinja kedua minimal 24 jam AGAR SPESIMEN
 Diambil dalam 14 hari sejak anak ADEKUAT
mulai lumpuh

Mengapa harus segera ditindaklanjuti


dengan pengambilan spesimen tinja?

Virus Polio kemungkinan besar


ditemukan di tinja dalam 14 hari
pertama setelah mulai lumpuh

DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN


DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
DAFTAR DIAGNOSIS KASUS AFP YANG DILAPORKAN DALAM SURVEILANS AFP
17 MONONEURITIS
1 . ANEMIA APLASTIC DENGAN AFP 18 MONOPARESIS
2 . ARTHRITIS 19 MYALGIA
20 MYELITIS
3 . BRAIN TUMOR
21 MYELOPATHY
4. BRONCHOPNEUMONIA DENGAN AFP
22 MYOSITIS
5. CEREBRALPALSY 34 S.L.E
23 NEURALGIA
6. DIARHEA DENGAN AFP 24 NEURITIS
35 SPINALMUSCULARATROPHY
7. DUCHENE MUSCULAR DYSTROPHY 36 SPONDILITISTB
25 NEUROBLASTOMA
37 TETRAPARESIS
8. ENCEPHALITIS DENGAN AFP 26 NEUROPPATHY
38 VIRALINFECTIONDENGANAFP
9. FEBRIS DENGAN AFP 27 PARALYSIS
10. HEMIPARESIS 28 PARAPARESIS
11. HYPOKALEMIA 29 PARESISNVII
12. LEUKEMIA 30 POLIOMYELITIS
31 POLYNEUROPATHY
13. MALARIA DENGAN AFP
32 RADICULITIS
14. MALNUTRITION
DIREKTORAT SURVEILANS 33 RHEUMATICFEVER
DAN KARANTINA KESEHATAN
15. MENINGITIS DENGAN AFP
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
16. MENINGOENCEPHALITIS DENGAN AFPKEMENTERIAN KESEHATAN RI
DAFTAR KODE DIAGNOSIS ICD-10 KASUS AFP
1 G. 54 Nerve root and plexus disorder G. 73 Disorders of Myoneural junction and muscle in diseases classified
2 G. 56 Mononeuropathies of upper limb 21 G. 73.4 Myopathy in infectious and parasitic diseases classified
22 G. 73.5 Myopathy in endocrine diseases
3 G. 57 Mononeuropathies of lower limb Hyperparathyroidism
G. 61 Inflamatory Polyneuropathy Hypoparathyroidism
4 G. 61.0 Guillain - Barre Syndrome (Thyrotoxic Myopathy)
5 G. 61.8 Other Inflamatory Polyneuropathy 23 G. 73.6 Myopathy in Metabolic diseases
G. 62 Other Polyneuropathies Glycogen storage diseases
6 G. 62.0 Drug - induce Polyneuropathy Lipid storage disorders
7 G. 62.1 Alcoholic Polyneuropathy 24 G. 73.7 Myopathy on other diseases classified
8 G. 62.2 Polyneuropathy due to other toxic agents Rheumatoid arthritis
9 G. 62.8 Radiation - induce Polyneuropathy Scleroderma
10 G. 62.9 Polyneuropathy, unspecified Sicca syndrome
Systemic Lupus Erythematosus
G. 63 Polyneuropathy in diseases clssified
11 G. 63.0 Polyneuropathy in infectious and parasitic diseases G. 81 Hemiplegia
Diptheria 25 G. 81.0 Flaccid Hemiplegia
Lyme disease G. 82 Paraplegia and Tetraplegia
Mumps 26 G. 82.0 Flaccid Paraplegia
Posterpetic 27 G. 82.3 Flaccid Tetraplegia
G. 70 - 73 Diseases of Myoneural junction annd muscle G. 83 Other Paralytic Syndrome
12 G. 70.0 Myasthenia gravis 28 G. 83.0 Diplegia of Upper Limbs
13 G. 70.1 Toxic Myoneural disorders 29 G. 83.1 Monoplegia of Lower Limb
30 G. 83.2 Monoplegia of Upper Limb
G. 71 Primary disorders of muscle OTHERS
14 G. 71.0 Muscular dystrophy 31 Myelitis Transversa
(Autosomal ressive, Becker, Duchenne) 32 Neuritis Traumatic
G. 72 Other Myopathies 33 Myelopathy
15 G. 72.0 Drug - induce Myopathy 34 A.80 Acute Poliomyelitis
16 G. 72.1 Alcoholic Myopathy  A80.0  Acute paralytic poliomyelitis, vaccine-associated
17 G. 72.3 Periodic Paralysis  A80.1  Acute paralytic poliomyelitis, wild virus, imported
Hyperkalaemic  A80.2  Acute paralytic poliomyelitis, wild virus, indigenous
Hypokalaemic  A80.3  Acute paralytic poliomyelitis, other and unspecified
Myotonic A80.30  Acute paralytic poliomyelitis, unspecified
Normokalaemic A80.39  Other acute paralytic poliomyelitis
18 G. 72.4 Inflamatory Myopathy  A80.4  Acute nonparalytic poliomyelitis
19 G. 72.8 Other Specipied Myopathies  A80.9  Acute poliomyelitis, unspecified
20 G. 72.9 Myopathy, bunspecified
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
SPESIMEN ADEKUAT
1. Spesimen diambil 2 KALI dengan jarak tinja pertama dan tinja kedua MINIMAL 24 JAM
2. Spesimen diambil dalam waktu 14 HR SEJAK LUMPUH
Apabila
3. Spesimen salahCUKUP:
dalam kondisi satu kriteria tersebut tidak terpenuhi maka
Volume spesimen ± 8 gram dikategorikan sebagai
(1 ruas ibu jari dewasa)
SPESIMEN
atau 1 sendok makan bila penderita diareTIDAK ADEKUAT
4. Spesimen pada saat diterima di laboratorium dalam keadaan :
• 2 spesimen tidak bocor
Bila spesimen tidak adekuat  Kasus harus dikaji oleh Tim Ahli 
• 2 spesimen volumenya cukup
maka Puskesmas
• 2 spesimen tidak rusakharus melakukan Kunjungan Ulang 60 hari &
mengisi Form.
• Suhu dalam KUcarrier
specimen 60 hari & Form. Resume Medik  dikirim ke
2-8⁰C
Dinkes Provinsi

DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN


DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
Rumah pasien
Penyebab Spesimen Tidak Adekuat

Rumah Sakit Puskesmas Cek!

DinKes DinKes
Cek! Cek!
Propinsi Kabupaten

Terlambat lapor
Kurir
Kurang dingin

Kurang volume

Bocor

Kering/busuk
Lab/BBLK
PENANGANAN SURVEILANS KASUS AFP OLEH PUSKESMAS

Kelumpuhan
Kelumpuhan Kelumpuhan
14 hari-2
≤ 14 hari > 2 bulan
bulan
Isi FP1 Isi FP1
Isi FP1 Ambil spesimen
TINJA Lakukan KU
Lakukan KU 60 60 hari
Ambil hari
spesimen Buat Form. KU 60 hr &
Buat Form. KU 60
TINJA Resume Medis
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
hr & Resume Medis
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
37
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
Tujuan Surveilans AFP

1. Mengidentifikasi daerah berisiko transmisi


virus-polio liar.
2. Memantau perkembangan program eradikasi
polio.
3. Membuktikan Indonesia bebas polio.

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 38
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
Kegiatan Utama Surveilans AFP
• Mencari kasus secara pasif dan aktif
• Melakukan pelacakan
• Mengambil dan mengirim spesimen
• Memeriksa spesimen di laboratorium yg terakreditasi WHO
• Jika spesimen tidak adekuat :
– Melakukan Kunjungan ulang 60 hr dan meminta resume medis
– Jika memenuhi kriteria hot case, ambil spesimen kontak
• Jika kasus <3th dan imunisasi polio tidak lengkap :
– Lakukan survei imunisasi 20 – 50 rumah sekitar kasus
• Meningkatkan kelengkapan & ketepatan zero report
puskesmas
• Kajian data dan pelaporan

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 39
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
KRITERIA “HOT CASE”:
Kasus AFP dengan SPESIMEN TIDAK ADEKUAT dengan kriteria sbb :

1. USIA < 5 TAHUN


A 2. DEMAM
3. KELUMPUHAN TIDAK SIMETRIS

1. DOKTER MENDIAGNOSA
Atau B SUSPEK POLIOMYELITIS

Atau C 1. KLUSTER ( 2 Kasus ATAU > )


INTERPRETASI HASIL

BILA ADA KONTAK (SATU ATAU LEBIH)


YANG HASIL LAB POSITIF Virus Polio
Liar, MAKA “HOT CASE” YANG
BERSANGKUTAN DIKLASIFIKASIKAN
SEBAGAI “CONFIRMED POLIO”

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 41
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
JAWA TIMUR BEBAS POLIO !!
Caranya:
1. TEMUKAN dan LAPORKAN sebanyak-
banyaknya kasus lumpuh layuh mendadak
 melalui surveilans AFP (Acute Flaccid
Paralysis)
2. PERIKSA TINJA kasus AFP di
laboratorium untuk membuktikan polio atau
bukan DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 42
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
SURVEILANS
CAMPAK - RUBELA

DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN


DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 43
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TARGET ELIMINASI CAMPAK-RUBELLA:
TAHUN 2023

Tidak ditemukan wilayah endemis


campak-rubella selama >12 bulan

Dibuktikan dengan surveilans campak-rubella


yang adekuat.

Discarded rate campak CBMS 100%


≥2/100.000 penduduk (bertahap sejak 2014)

Ditetapkan secara bertahap per regional

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 44
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
ELIMINASI CAMPAK DAN RUBELLA INDONESIA
• Eliminasi campak-rubella akan dicapai secara bertahap per
regional, ditetapkan berdasarkan kajian imunisasi & surveilans
CAKUPAN KAMPANYE MR
≤ 50%
2022 >51 – 95%
>95%

DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN 2023


DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 2021 dr. Cornelia Hesadarma 45
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
Suspek Campak  setiap kasus dg
gejala minimal DEMAM DAN RUAM DEFINISI
maculopapular, kecuali sudah terbukti
secara laboratorium disebabkan oleh
penyebab lain

CBMS (Case Based Measles Surveillance) /


Surveilans Campak Berbasis Kasus Individu 
setiap kasus SUSPEK CAMPAK dilaporkan,
dilakukan investigasi dalam waktu 48 jam setelah
laporan diterima, diambil spesimen serum dan
dicatat secara individual (form MR01).
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
46
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
PERJALANAN KLINIS CAMPAK

DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN


DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
47
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
SUSPEK CAMPAK-RUBELA

LAMA BARU

DEMAM RUAM DEMAM RUAM


BATUK, BATUK,
PILEK PILEK
DAN ATAU DAN ATAU
CONJUNG CONJUNG
TIVITIS TIVITIS

SUSPEK CAMPAK-RUBELA SUSPEK CAMPAK-RUBELA

DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN


DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
07/12/2022 dr.Cornelia Hesadarma 48
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
JENIS RUAM

✘ ✘
MACULAR ATAU Petechiae atau
Papulovesicular
MACULOPAPULAR Purpura
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
07/12/2022 dr.Cornelia Hesadarma 49
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
DIAGNOSIS

DENGUE CAMPAK
HAEMOR
RUBELA
RHAGIC-

BANDING
FEVER

DEMAM
DAN RUAM
✘VARICELLA
Epstein-
Barr virus


DEMAM
Roseola
HFMD DAN Infantum
RUAM

Other
Viral Scarlet
Exanthem Fever
a
Meningoc
Kawasaki Early occal
disease Rocky infection
Mountain (early)
spotted
fever
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
07/12/2022 dr.Cornelia Hesadarma 50
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
SUSPEK CAMPAK-RUBELA

DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN


DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
07/12/2022 dr.Cornelia Hesadarma 51
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
MINIMAL 2/100.000
PENDUDUK INDIKATOR

BUKAN CAMPAK – BUKAN RUBELA =


DISCARDED

CAMPAK RUBELLA
SUSPEK CAMPAK-RUBELLA

DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN


DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
07/12/2022 dr.Cornelia Hesadarma 52
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
KILAT-CAMPAK 3. TINDAKAN AWAL
1. KENALI 2. LAPORKAN 1. Konsultasi dengan dokter terkait perawatan
SUSPEK CAMPAK SEGERA medis.
JIKA: 2. Siapkan obat turun panas dan vitamin A (jika
diperlukan), berikan sesuai dosis.
PUSKESMAS 3. Dipakaikan masker untuk menghindari
penularan (minimal selama 4 hari sejak
munculnya ruam).
4. Jika muncul komplikasi seperti sesak nafas,
SURVEILANS demam tetap tinggi atau diare rujuk ke Rumah
DINAS Sakit.
KESEHATAN PENGAMBILAN SPESIMEN:
DEMAM, BINTIK-BINTIK KAB/KOTA 5. Koordinasi dengan petugas laboratorium
MERAH/RUAM 6. Satu spesimen serum sebanyak 1 mL (dari 3-
5cc darah) diambil pada hari ke-4 sampai 28
KLB SUSPEK sejak munculnya ruam.
CAMPAK JIKA: SURVEILANS 7. Satu spesimen urine diambil 60 mL /spesimen
>5 KASUS SUSPEK CAMPAK DALAM DINAS
apus tenggorok pada hari ke-0 sampai 4 sejak
WAKTU 4 MINGGU BERTURUT- KESEHATAN
TURUT, MENGELOMPOK (dalam
muncul ruam (pada kasus suspek campak yang
PROVINSI
satu daerah tertentu) DAN ADA DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA disertai dengan
KESEHATAN batuk/pilek/konjungtivitis)
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
BUKTI KONTAK 8. Segera
KEMENTERIAN KESEHATAN RI dikirimkan dalam suhu 2-8O C.
Spesimen
Adekuat
• Spesimen serum : diambil 4 - 28 hari sejak muncul ruam
(rash) sebanyak 1 cc serum ( 3 -5 cc darah), dikirim ke
laboratorium menggunakan rantai dingin (suhu 2-8
C)harus tiba di laboratorium maksimal 5 hari dari waktu
pengambilan
(pada kasus tidak punya alat sentrifus, maka dapat
didiamkan pada suhu 2-8 C selama 24 jampisahkan
serumnya)
• Spesimen urin : diambil <5 hari sejak muncul
ruam+pilek/mata merah/batuk sebanyak minimal 60 cc,
dikirim ke laboratorium menggunakan rantai dingin (suhu
2-8 0 c)harus tiba dilab dalam 24 jam (tidak boleh
dibekukan)
beri label minimal: nama pasien, no.epid,
waktu pengambilan)
CAMP
AK
Penularan tinggi 4 hari sebelum
dan sesudah muncul
rash/ruam

Virus dikeluarkan Pengambilan serum s.d hari


via urin ke-28

Ruam Hari setelah muncul ruam


Infeksi muncul
Jika tidak memiliki alat sentrifus, maka serum dapat diperoleh dengan mendiamkan darah pada posisi tegak
selama 24 jam pada suhu 2-8 derajat celcius

61
Surveilans Campak di Puskesmas

Petugas lab
Kss Campak Klinis Ambil spesimen serum 1cc, kirim ke kabupaten

Puskesmas
Petugas Surveilans
Dokter poliklinik
Catat di form MR01
Case manajemen & Vit A

Cari kasus tambahan di sekitar kasus, ditemukan 5 kss,


Penyelidikan Epidemiologi KLB.
Pelajari cakupan imunisasi
SURVEILANS CAMPAK-RUBELLA
DI RUMAH SAKIT
Perlu ditetapkan tim surveilans RS yang bertanggung jawab terhadap penemuan dan pelaporan kasus melalui Surat
Keputusan Direktur RS.

Tim surveilans RS sebaiknya terdiri dari koordinator surveilans RS dan kontak person surveilans di setiap unit
yang yang berpotensi menemukan kasus suspek campak-rubella atau PD3I lainnya.

PENEMUAN KASUS 1. Kontak person menemukan setiap kasus campak-rubela di semua unit yang
berpotensi seperti Instalasi Rawat Inap dan Instalasi Rawat Jalan; Instalasi Rawat
Darurat; NICU/PICU/ICU; dan Instalansi Rekam Medis
2. Kontak person di bangsal, poliklinik dan rekam medis menelusuri setiap kasus
atau kematian yang disebabkan oleh bronchopneumonia, diare, ensefalitis, dan
lainnya apakah merupakan komplikasi dari penyakit campak. Jika merupakan
komplikasi dari penyakit campak maka, kasus tersebut harus dicatat dan
dilaporkan sebagai kasus campak.

PENGAMBILAN SPESIMEN 1. Petugas RS mengambil spesimen serum dan memasukkan kedalam tabung yang
telah diberi label: nama, umur dan tanggal ambil.
2. Simpan spesimen serum ke dalam refrigerator, Laporkan ke Dinkes kab/kota dan
diambil oleh petugas kabupaten/kota dan selanjutnya dikirim langsung ke
Laboratorium Campak Rubela
DIREKTORAT SURVEILANS NasionalKESEHATAN
DAN KARANTINA atau melalui provinsi dengan disertai form
MR-04.
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 59
3. Mencatat data kasus KEMENTERIAN KESEHATAN
ke dalam RI
buku khusus sebagai dokumen di lab RS yang
Click icon to add picture

KLB CAMPAK
KLB Suspek Campak : Adanya 5 atau lebih kasus suspek
campak dalam waktu 4 minggu berturut-turut dan ada
hubungan epidemiologi.
KLB Campak Pasti : Apabila minimum 2 spesimen positif IgM DEFINISI
campak dari hasil pemeriksaan kasus pada KLB suspek
campak ATAU atau hasil pemeriksaan kasus pada CBMS
ditemukan minimum dua (2) spesimen positif IgM campak
dan ada hubungan epidemiologi.
KLB Rubela Pasti : Apabila minimum 2 spesimen positif IgM
rubela dari hasil pemeriksaan kasus pada KLB campak ATAU
atau hasil pemeriksaan kasus pada CBMS ditemukan
minimum dua (2) spesimen positif IgM rubela dan ada
hubungan epidemiologi.

KLB dinyatakan berhenti apabila tidak ditemukan kasus baru


dalam waktu dua kali masa inkubasi atau rata-rata satu bulan
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
setelah kasus terakhir.
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
61
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI MENYELURUH
(FULL INVESTIGATION)
 Semua SUSPEK CAMPAK & KLB SUSPEK CAMPAK

• Kunjungan rumah ke rumah: Setiap 1 kasus suspek campak


dilacak, cari kasus tambahan di lingkungan rumah & di
sekolah/tempat kerja kasus  ≥5 kasus: KLB
• Pencatatan secara individual menggunakan form MR01
• Pengambilan 10 spesimen serum dan 5 spesimen urin. Jika kasus
suspek campak/rubela tersebut <10  semua kasus diambil
serumnya.
• Identifikasi status imunisasi pada kasus dan anak sehat yang ada di
wilayah KLB
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
Penanggulangan
KLB
• Berdasarkan hasil rekomendasi penyelidikan KLB
1. Imunisasi Selektif: jika cakupan imunisasi
campak daerah tersebut >90% atau jumlah
balita rentan <20% cohort bayi 1 tahun.
imunisasi campak anak 6-59 bulan yang belum
diimunisasi campak di daerah tersebut; perkuat
imunisasi rutin.
2. Imunisasi Campak Masal: jika cakupan imunisasi
rendah <90% atau jumlah balita rentan >20%
cohort bayi 1 tahun, banyak gizi buruk, daerah
padat-kumuh, mobilitas penduduk tinggi.
SURVEILANS
CONGENITAL RUBELLA
SYNDROME (CRS)

DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN


DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 65
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
PETA RUMAH SAKIT SENTINEL SURVEILANS CRS:
18 RS SENTINEL DI 15 PROVINSI
Aceh
RSU Dr. Zainoel Abidin

Sumatera Utara Sulawesi Utara


RSUP H. ADAM MALIK Kalimantan Timur RSUP Prof. Dr.
RSUD H A Wahab R. D. KANDOU
Riau Sjahranie
RSUD Arifin Achmad

Sumatera Selatan
RS Moh. Hoesin

Sumatera Barat Jawa Barat


RSU Dr. M.Jamil • RS Hasan Sadikin Sulawesi Selatan
• RS Mata Cicendo Kalimantan RSUP dr. WAHIDIN
DKI Jakarta Selatan SUDIROHUSODO
• RSUPN CIPTO RSUD Ulin
MANGUNKUSUMO
• RSAB HARAPAN KITA

Jawa Tengah
RSUP dr. KARIADI Jawa Timur
• RSUD dr. SOETOMO
• RSU Dr. Saiful Anwar
Yogyakarta
RSUP DR. SARDJITO
Bali CRS Surveillance provinces
RSUP SANGLAH
Sentinel Hospital
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
Reference Lab
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
Congenital Rubella Syndrome
(CRS)
• Congenital Rubella Syndrome (CRS) • Infeksi pada awal
adalah suatu kumpulan gejala yang kehamilan paling
merupakan akibat infeksi virus rubela berbahaya (<12 mg)
selama kehamilan. • Weeks 1- 10 – 90% CRS*
• Bila infeksi rubela terjadi pada masa • Weeks 11-12– 33%
awal kehamilan akan menyebabkan • Weeks 13-14– 11%
abortus atau lahir mati • Weeks 15-16– 24%
• Apabila bayi tetap hidup akan terjadi • Weeks > 17– 0%
cacat berat (birth defect).
• Manifestasi klinis/organ yg
• Risiko infeksi dan cacat congenital terserang tergantung usia
paling besar terjadi selama trimester kehamilan saat infeksi.
pertama kehamilan
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
DEFINISI KASUS CRS
1. Suspek CRS : Bayi usia <12 bln dengan
minimal satu gejala klinis pada kelompok A
2. CRS klinis: Bayi usia < 12 bln dengan: Manifestasi klinis CRS
• Dua manifestasi klinis kelompok A; ATAU Kelompok A
• Satu manifestasi klinis kelompok A DAN satu manifestasi
• Gangguan pendengaran
klinis kelompok B
• Penyakit jantung kongenital
Yang TIDAK dilakukan pemeriksaan LAB • Katarak kongenital ATAU Glaukoma kongenital
3. CRS Pasti : • Pigmentary retinopathy
Kasus suspek CRS dengan hasil pemeriksaan LAB salah satu
diantara berikut:
• jika usia bayi <6 bulan: IgM rubela (+) Kelompok B
• jika usia bayi 6 - <12 bulan: • Purpura
 IgM dan IgG rubela (+); atau • Splenomegali
 IgG dua kali pemeriksaan dengan selang waktu 1 bulan (+) • Microcephaly
• Retardasi mental
• Meningoensefalitis
4. Bukan CRS (Discarded CRS) : • Penyakit “Radiolucent bone”
Suspek CRS yang tidak memenuhi kriteria CRS klinis dan tidak • Ikterik yang muncul dalam waktu 24 jam setelah lahir
memenuhi kriteria CRS pasti
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
SURVEILANS CRS
• Pengamatan terus menerus secara sistematis
terhadap kasus CRS  bukan sebuah
penelitian JIKA MEMUNGKINAN
RUJUK KE:
• Sasaran anak usia <12 bulan yang menderita
salah satu kelainan grup A (kelainan bawaan: • RSUD SOETOMO,
jantung, tuli, katarak, glaukoma, pigmentari SURABAYA
retinopati) • RSUD SYAIFUL ANWAR,
• Dilakukan penyelidikan/pemeriksaan lebih MALANG
lanjut adanya kelainan tambahan (grup A dan
atau grup B) Konsul ke Unit Anak, THT dan
Mata
• Dilakukan pengambilan serum dan pemeriksaan
spesimen di BBLK SURABAYA
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
JAWA TIMUR ELIMINASI
CAMPAK-RUBELLA !!
Caranya:
1. TEMUKAN dan LAPORKAN sebanyak-banyaknya kasus demam dan
ruam maculopapular  melalui surveilans campak-rubela  minimal
1 suspek campak / puskesmas/ bulan
2. PERIKSA SERUM SEMUA kasus suspek campak di BBLK Surabaya
untuk membuktikan CAMPAK PASTI atau RUBELA PASTI atau
BUKAN campak BUKAN rubela (DISCARDED)
3. LIBATKAN MASYARAKAT & SELURUH FASYANKES 
PUSKESMAS, RS & FASYANKES SWASTA  untuk menemukan &
melaporkan SETIAP KASUS DEMAM & RUAM MAKULOPAPULAR

DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN


DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
07/12/2022 dr.Cornelia Hesadarma 70
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
SURVEILANS DIFTERI

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022
12/07/2022 dr.
dr.Cornelia
Cornelia Hesadarma
Hesadarma 71
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
Kasus Observasi Difteri
seseorang dengan gejala adanya infeksi saluran pernafasan atas dan
pseudomembran
Skrining Komite Ahli Difteri

Suspek Difteri
seseorang dengan gejala:
faringitis, tonsilitis, laringitis, trakeitis, atau kombinasinya;
demam atau tanpa demam;
adanya pseudomembran putih keabu-abuan yang sulit lepas,
mudah berdarah apabila dilepas atau dilakukan manipulasi.
Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang
DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022
12/07/2022 dr.
dr.Cornelia
Cornelia Hesadarma
Hesadarma 72
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
SURVEILANS DIFTERI
 Setiap satu kasus suspek difteri harus segera dilaporkan dalam 1 x 24 jam
 Setiap suspek difteri dilakukan penyelidikan epidemiologi dalam 2 x 24 jam:
 Deteksi dini kasus secara klinis dan laboratorium serta tatalaksana kasus untuk mencegah kematian
(ADS) dan penularan (Antibiotika) sesuai dengan protokol pengobatan difteri;
 Mencari kasus tambahan dalam radius 50 m (Ro/reproductive nomor 6-7);
 Menelusuri kontak erat;
 Tatalaksana kontak erat (contact tracing)  Memutus penularan melalui pemberian obat profilaksis kpd
kontak erat;
 Melakukan kajian faktor resiko untuk penanggulangan dan menghentikan penularan.

 Setiap suspek difteri diambil spesimen dan dilakukan pemeriksaan laboratorium kultur
 Suspek difteri dengan hasil kultur positif dilanjutkan dengan pemeriksaan toksigenisitas
menggunakan ELEK test.
 Setiap KLB difteri dilakukan Outbreak Response Immunization (ORI) dengan cakupan minimal
90%  luas ORI 1 kab/kota (ATAU minimal 1 kecamatan); interval ORI 0-1-6 bulan; tanpa
mempertimbangkan cakupan imunisasi di wilayah KLB
Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang
DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022
12/07/2022 dr.
dr.Cornelia
Cornelia Hesadarma
Hesadarma 74
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
KONTAK ERAT
Semua orang yang pernah kontak (secara fisik: berbicara atau terkena
percikan ludah saat batuk/bersin) dengan kasus suspek difteri
Sejak 10 hari sebelum timbul gejala sakit menelan sampai 2 hari setelah
pengobatan (masa penularan).
Yang termasuk dalam kategori kontak erat adalah:
Kontak erat satu rumah: tidur satu atap
Kontak erat satu kamar di asrama
Kontak erat teman satu kelas, guru, teman bermain
Kontak erat satu ruang kerja
Kontak erat tetangga, kerabat, pengasuh yang secara teratur mengunjungi rumah
Petugas kesehatan di lapangan dan di RS
Pendamping kasus selama dirawat
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 75
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
KLB DIFTERI
BATASAN
1. Ditemukan satu Suspek Difteri dengan konfirmasi laboratorium kultur positif
ATAU
2. Ditemukan satu Suspek Difteri yang mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus
kultur positif
 Satu suspek difteri dilakukan penanganan lebih dini untuk mencegah penyebaran difteri yang lebih
luas.
 Semua kasus suspek difteri tetap ditatalaksana sesuai dengan penanganan KLB (dilakukan PE dan
penanggulangan sesuai SOP)
PENETAPAN
 Kepala Dinas Kab/Kota, Provinsi, atau Menteri Kesehatan
PENCABUTAN
Tidak ditemukan kasus suspek difteri baru selama 4 minggu sejak timbulnya gejala kasus terakhir.
Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang
DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022
12/07/2022 dr.
dr.Cornelia
Cornelia Hesadarma
Hesadarma 76
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
BAGAN PENANGGULANGAN DIFTERI
Manajemen Kasus
(Rujuk ke RS)
Deteksi Dini Kasus dilaporkan
(dg Format W1)
Ambil spesimen, Pengobatan Pengawasan minum obat
Kasus (AB & ADS), dan imunisasi (PMO) thdp ESO dan pencegahan
setelah 1 bln ADS DO

Membunuh
Penyelidikan Kontak Erat Kasus kuman
Epidemiologi Profilaksis dan menghentikan
Penelusuran Imunisasi
(Form PE) penularan !!

Identifikasi Faktor Resiko:


-Status imunisasi kasus & kontak
Deteksi kasus -Cakupan imunisasi di wilayah terjangkit,
tambahan secara berdasarkan laporan rutin maupun survei.
dini di komunitas dan -Manajemen cold chain
fasilitas kesehatan.

Melindungi Kelompok Rentan  memberi kekebalan


populasi !!
SEGERA , jenis vaksin sesuai umur sasaran, minimal
satu wilayah kecamatan, sampai usia tertinggi kasus ,
Outbreak Response
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
3 putaran
Immunization (ORI)
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN
(tergantung PENGENDALIAN
kajian epidemiologi)PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
Langkah-Langkah
Penyelidikan Epidemiologi
Kumpulkan informasi dasar: tempat, orang, waktu kejadian.
1. Konfirmasi KLB awal: apakah sesuai dengan definisi
Difteri klinis/suspek
2. Pelaporan segera berjenjang: Puskesmas-Kab-Prov-Pusat
3. Persiapan investigasi: tim, data dasar, bahan KIE, form
investigasi, media amis, antibiotic, APD, lapor ke
pemerintah setempat,
4. Investigasi kasus termasuk kontak dengan penderita
difteri, pengambilan specimen, pemberian antibiotic
profilaksis,
5. Telaah/analisis data hasil investigasikebijakan ORI
Pengumpulan
Spesimen
• Dua sampel untuk setiap kasus menggunakan
stik swab (kapas ) di tepi-tepi lapisan putih.
1. Sampel dari nasal/rongga hidung
2. Sampel dari tenggorokan/faring
• Spesimen ideal-nya diambil sebelum
pemberian antibiotik. Jika antibiotik sudah
diberikan tetap ambil spesimennya.
• Ujung kapas harus tertanam dalam agar pada
media amis
• Transport spesimen pada suhu 2-8C, segera
kirimkan dan idealnya sudah sampai di
laboratorium dalam 2 hari setelah
pengumpulan spesimen.
• Untuk kasus difteria non-respiratorik,
perlakuan sampel sama dengan difteria
respiratorik.
Tatalaksana Pasien
1. Difteri
Penderita dirujuk ke RS dan dirawat dalam ruangan terpisah dengan
penderita lain.
2. Penderita diberikan antibiotik (eritromicin) dengan dosis 40 - 50 kg/BB/hari
maksimal 2 gram/hari yang dibagi dalam 4x1 hari diberikan selama 14 hari.
Sedangkan kontak diberikan antibiotik yang sama sebagai profilaksis selama
7-10 hari.
3. Penderita diberikan Anti Difteri Serum (ADS) didahului dengan test sensitifitas
4. Berikan penjelasan cara minum obat dan efek samping obat, obat diminum
setelah makan untuk menghindari iritasi lambung yang merupakan efek
samping obat.
5. Pada saat PE: langsung berikan imunisasi difteri pada kontak erat
6. Diperlukan 1 orang yang akan memantau dalam minum obat untuk setiap
kelompok kontak erat (PMO).
7. Maksimalkan PMO pada hari 1 dan ke 2 untuk profilaksis menurunkan
penularan kuman (PMO hari ke 1-2 dan hari ke-7  formulir DIF-2)
Perhatian !!!!!
Penanganan klinis maupun
Hasil Lab Negative intervensi lapangan kasus
TIDAK BERARTI bukan dengan hasil lab positive
kasus Difteri maupun negatif adalah
SAMA

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022
12/07/2022 dr.
dr.Cornelia
Cornelia Hesadarma
Hesadarma 83
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
TETANUS NEONATORUM

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 84
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
TETANUS NEONATORUM

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis,


o Tetanus pada bayi baru lahir yaitu pada awalnya bayi dapat
o BBL tanpa kekebalan pasif menetek/mengisap selama 2 hari, pada hari 3
- 28 muncul gejala antara lain:
o Angka kematian sangat tinggi tanpa
• Tiba2 tidak bisa menetek/mengisap
pengobatan
• Mulut Mencucu
• Kejang rangsang (bunyi,sinar,sentuh)
• Kejang tonik-klonik umum
Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang
DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 85
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
EPIDEMIOLOGI TETANUS NEONATORUM
Etiologi : Clostridium Tetani yang mengeluarkan eksotoksin
Sifat Clostr.Tetani : hidup anaerob, berbentuk spora, tersebar di tanah, dalam feses
binatang dan kadang-kadang feses manusia. Spora dapat bertahan hidup bertahun-
tahun di lingkungan.
Port d’ entry : tali pusat bayi
Masa inkubasi : 3 –21 hari (rata-rata 6 hari)
Kematian > 95 % jika tidak diterapi, sedangkan jika diterapi kematian juga masih 25
% - 90 %.
Faktor resiko:
1.Persalinan tidak steril (3 Bersih: alat, tempat, tangan)
2.Perawatan tali pusat tidak bersih
3.Ibu Bayi tidak mempunyai kekebalan yang memadai (imunisasi)

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 86
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 87
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 88
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang
DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022
12/07/2022 dr.
dr.Cornelia
Cornelia Hesadarma
Hesadarma 89
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
PERTUSIS
• Pertusis (Batuk rejaning cough/batuk rejan/batuk seratus hari) adalah
penyakit menular pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri
Bordetella pertussis.
• sering menyerang anak-anak (khususnya usia dibawah 5 tahun) dan
tersebar di seluruh dunia, tidak tergantung etnis, cuaca ataupun lokasi
geografis.
• Penularan: manusia ke manusia
• Pertusis memiliki tingkat penularan yang tinggi dan menular melalui
droplet kecil (aerosolized droplet) terutama yang keluar pada saat batuk
atau bersin.

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022
12/07/2022 dr.
dr.Cornelia
Cornelia Hesadarma
Hesadarma 90
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
• Penderita yang tidak diobati bisa menularkan selama 3 minggu atau lebih
sejak mulai timbulnya gejala pertusis meskipun setelah stadium catarrhal
potensi penularan menurun. Sedangkan penderita yang mendapatkan
pengobatan antibiotika yang efektif masih bisa menularkan hingga 5 hari
sejak pengobatan dimulai.
• Masa inkubasi pertusis umumnya 9-10 hari (dengan kisaran 6-20 hari).
• Tanda dan gejala:
• Gejala timbul pada umumnya dalam waktu 9-10 hari setelah terinfeksi.
demam,
• biasanya disertai batuk dan keluar cairan hidung yang secara klinik
sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa.
• Pada minggu ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali
sebagai pertusis.
• Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau lebih.

Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang


DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 91
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
DIREKTORAT SURVEILANS DAN KARANTINA KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang
DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 93
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang
DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 94
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur
KESIMPULAN
Surveilans PD3I menjadi kunci untuk melakukan pemantauan risiko KLB

Kegiatan surveilans rutin PD3I yang ada tetap dilaksanakan untuk mencegah timbulnya KLB PD3I di
tengah pandemi COVID-19

Meningkatkan deteksi dini melalui sistim SKDR dan segera laporkan dalam 24 jam jika ada suspek
PD3I atau indikasi KLB

Melelakukan sosialisasi dan pelatihan bagi petugas surveilans Kab/kota di seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan (termasuk swasta), agar meningkatkan penemuan kasus dan melaporkan

Melaporkan kasus PD3I lengkap dan tepat waktu


Seksi Surveilans dan Imunisasi-Bidang
DIREKTORAT SURVEILANS Pencegahan
DAN KARANTINA dan Pengendalian Penyakit
KESEHATAN
DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
12/07/2022 dr. Cornelia Hesadarma 98
Dinas Kesehatan Provinsi
KEMENTERIAN Jawa
KESEHATAN RI Timur

Anda mungkin juga menyukai