Metode masuk-pertama dan keluar-pertama (First in First out - FIFO) berasumsi bahwa
persediaan pertama kali dijual adalah persediaan pertama kali dibeli. Maka, hanya ada
persediaan yang dibebankan sebagai HPP berasal dari persediaan yang dibeli pertama kali.
Metode ini, HPP ditentukan dari biaya rata-rata per unit untuk masing-masing persediaan
setiap kali pembelian dilakukan. Pasal 10 ayat (6) UU PPh, penilaian pemakaian persediaan
untuk menghitung HPP menurut pajak hanya boleh dilakukan dengan menggunakan metode
FIFO dan metode Average. Pemilihan metode tersebut harus dilakukan secara taat asas. WP tidak
diperkanankan menggunakan metode penilaian mana yang lebih rendah antara harga perolehan
dengan harga pasar.
Contoh:
Perusahaan pada awal tahun 2011 mempunyai persediaan awal bahan baku 1.000 unit dengan harga satuan Rp.
1.000. Selaama 2011 perusahaan membeli bahan baku 50.000 unit, 75.000 unit, 100.000 unit, dan 125.000 unit
dengan harga per unit Rp. 900, Rp. 1.000, Rp. 1.100, dan Rp. 1.200. Selama 2011 perusahaan mengeluarkan bahan
baku produksinya 45.000 unit, 70.000 unit, 100.000 unit, dan 30.000 unit. Besarnya bahan baku yang digunakan
proses produksi dan besarnya persediaan bahan baku akhir akan dicatat perusahaan, sebagai beriku:
Metode FIFO: Persediaan Akhir (unit) = Persediaan Awal + Pembelian – Produksi
= 1.000 + (50.000 + 75.000 + 100.000 + 125.000) –
(45.000 + 70.000 + 100.000 + 30.000) = 16.000 unit
Persediaan Akhir = 16.000 unit x Rp. 1.200 = Rp. 19.200.000
Persediaan Awal = 1.000 unit x Rp. 1.000 = Rp. 1.000.000
Pembelian = 50.000 unit x Rp. 900 = Rp. 45.000.000
= 75.000 unit x Rp. 1.000 = Rp. 75.000.000
= 100.000 unit x Rp. 1.100 = Rp. 110.000.000
= 125.000 unit x Rp. 1.200 = Rp. 150.000.000
= Rp. 380.000.000
Harga Pokok Produksi = Persediaan Awal + Pembelian – Persediaan Akhir
= Rp. 1.000.000 + Rp. 380.000.000 – Rp. 19.200.000
= Rp. 361.800.000
Metode Average: Persediaan Awal = 1.000 unit x Rp. 1.000 = Rp. 1.000.000
Pembelian = 50.000 unit x Rp. 900 = Rp. 45.000.000
= 75.000 unit x Rp. 1.000 = Rp. 75.000.000
= 100.000 unit x Rp. 1.100 = Rp. 110.000.000
= 125.000 unit x Rp. 1.200 = Rp. 150.000.000
= 351.000 unit = Rp. 381.000.000
Harga per unit = Rp. 381.000.000/351.000 unit = Rp. 1.085 per unit
Persediaan Ahir (Rp) = 16.000 unit x Rp. 1.085 = Rp. 17. 360.000
Harga Pokok Produksi = (45.000 + 70.000 + 100.000 + 30.000) x Rp. 1.085
= 245.000 unit x Rp. 1.085 = Rp. 265.825.000
Tujuan dan Manfaat Harga Pokok Penjualan
Matz Curry dan Frank, dalam J. Sudarsono (2009:174), HPP mempunyai manfaat dan
tujuan sebagai berikut:
1. Menetapkan biaya menurut barang yang di produksi berdasarkan prosesnya, yaitu
pesanan, satuan atau bagian
2. Mengontrol pengeluaran yang berhubungan dengan proses produksi, distribusi atau
administrasi perusahaan
3. Memberi dasar dalam penaksiran biaya suatu barang hasil produksi dan menetapkan
harga jual yang menguntungkan
4. Memberi kemungkinan pada manajemen agar mendasarkan kebijakan operasinya
pada keterangan yang di berikan oleh bagian biaya
Harga pokok penjualan setidaknya memiliki manfaat yaitu, sebagai patokan
untuk menentukan harga jual dan mengetahui laba yang diinginkan perusahaan.
Harga jual yang lebih besar dari harga pokok penjualannya akan memperoleh
laba, dan sebaliknya harga jual yang lebih rendah dari harga pokok penjualan
akan mengalami kerugian.
Perhitungan Harga Pokok Penjualan
Samryn (2012:380), komponen HPP terdiri dari:
1. Persediaan awal barang , jadi yang tersedia pada awal tahun. Datanya diperoleh dari neraca
akhir tahun sebelumnya.
2. Pembelian bersih, pembelian barang dagangan yang akan dijual pada pelanggan, pembelian
bersih merupakan salah satu komponen dalam HPP.
3. Persediaan akhir barang , jadi yang tersisa pada akhir periode. Datanya diperoleh dari hasil
perhitungan fisik barang yang ada digudang pada akhir tahun berjalan. Bagi perusahaan yang
menggunakan metode perpetual dalam sistem akuntansi persediaannya, data seperti ini dapat
diperoleh dari saldo akhir kartu persediaan.
Struktur dasar dalam HPP umumnya terdiri dari tiga elemen besar, yaitu:
1. Persediaan barang atau inventory
2. Tenaga kerja langsung atau direct labour cost
3. Biaya overhead atau overhead cost”.
1. Persediaan barang atau inventory, persediaan barang dagang
menunjukan harga pokok barang dagang yang ada dalam
persediaan dan tersedia untuk dijual. Jenis-jenis persediaan, yaitu
persediaan awal barang dagang dan persediaan akhir barang
dagang.
2. Metode perpetual atau balance, menurut Astuti (2012:208),
metode perpetual setiap terjadi mutasi persediaan barang dagang
dilakukan pencatatan.
3. Biaya Overhead atau Overhead Cost, biaya-biaya yang dari segi
masalah praktis tidak dapat dibebankan kepada tujuantujuan
tersebut secara langsung. Suatu metode alokasi biaya yang
konsisten harus digunakan yang mana dengan beberapa ukuran
menaksir pengorbanan ekonomi yang terjadi
BEBAN OPERASIONAL
Beban yang Boleh Dikurangkan
Dalam akuntansi komersial, semua biaya kerugian (losses) dapat dikurangkan dalam
menghitung penghasilan neto (net income). Untuk tujuan perpajakan, tidak semua
biaya dapat dibuktikan/dikeluarkan dalam usaha memperoleh penghasilan,
ketentuan perpajakan mengakuinya sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan. Pasal 6 ayat (1) UU PPh, beban yang dapat dikurangkan (deductible
expenses) adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan,
termasuk berikut ini:
a. Biaya yang secara langsung/tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 tahun
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan
d. Kerugian karena penjualan/pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan/yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih & memelihara penghasilan.
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
g. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
i. Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencan ansional
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial
l. Sumbangan fasilitas pendidikan
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
Beban yang Tidak Dipebolehkan Pajak
Pasal 9 ayat (1) UU PPh, jenis biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, yaitu:
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen
b. Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu/anggota
c. Pembentukkan atau pemupukan dana cadangan
d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan beasiswa yang dibayar WP
pribadi
e. Penggantian/imbalan sehubungan dengan pekerjaan/jasa diberikan bentuk natura/kenikmatan
f. Jumlah yang melebihi kewajaran dibayarkan kepada pemegang saham/kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan pekerjaan yang dilakukan
g. Harta yang dihibahkan, bantuan/sumbangan dan warisan
h. Pajak Penghasilan
i. Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP/yang menjadi tanggungannya
j. Gaji dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikkan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundangan-undangan di bidang perpajakan
TERIMA
KASIH