Anda di halaman 1dari 22

ETIKA PROFESI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM)

“Somasi Nusa Tenggara Barat”


Teknologi Informasi A
Sub Materi :
01 Carilah informasi tentang LSM anti korupsi lokal yang
ada di daerah tempat kalian tinggal contoh di
lombok,silahkan amati kinerja LSM tersebut,apakaha
lsm tersebut plat merah atau plat kuning atau lsm plat
hitam!

02 Carilah berbagi peraturan perundang undangan yang


mendukung upaya pembrantasan korupsi!

03 Carilah informasi mengenai wartawan yang


diintimidasi dianiaya bahkan sampai di bunuh karna
berusaha menyuarakan kebenaran(terkait kasus
korupsi atau terkait yang lain)!
Sesi Pembahasan
SOMASI NTB

Somasi NTB adalah sebuah organisasi non-pemerintah yang bersifat nirlaba dan independen. Dibentuk pada 23
Mei 1998, dan dideklarasikan pada tanggal 5 Oktober 1998. Somasi NTB didirikan oleh 10 orang yang berlatar
belakang tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi, wartawan, Aktivis mahasiswa, Aktivis NGO, dan praktisi
hukum. Somasi NTB berkedudukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan secara resmi menjadi badan hukum
pada tanggal 23 Nopember 2000 dengan Akte Notaris No. 21 melalui Kantor Notaris Sri Hartati, SH. Somasi
NTB akan memberikan pelayanan kepada kelompok-kelompok tertindas, seperti buruh, petani, rakyat miskin
kota, kelompok perempuan dan individual progresif melalui pendidikan kritis, distribusi informasi,
pengorganisasian, dan pendampingan. Tujuan pelayanan tersebut guna membangun kemandirian rakyat untuk
terlibat dalam dinamika perubahan sosial menuju tatanan sosial yang lebih adil dan sejahtera. Somasi Nusa
Tenggara Barat mempunyai jenis plat kuning dikarenakann Somasi NTB ini bersifat independent dan non-
pemerintah.
VISI DAN MISI
VISI MISI
Terwujudnya tata pemerintahan yang
transparan, partisipatif, dan Somasi NTB sebagai • Penguatan masyarakat sipil untuk advokasi korupsi dan
gerakan rakyat anti korupsi untuk membangun kebijakan publik yang berorientasi kepada peningkatan
tatanan sosial yang adil secara ekonomi, kesejahteraan rakyat miskin dan perempuan.
demokratis secara politik dan setara secara sosial. • Mendorong reformasi kebijakan publik dan perbaikan
pelayanan publik yang berorientasi kebutuhan rakyat miskin
dan perempuan
• Mendorong reformasi hukum yang meningkatkan efektivitas
pemberantasan korupsi dan tersedianya akses keadilan bagi
rakyat miskin dan perempuan
• Mempengaruhi perubahan sistem politik yang lebih
menjamin lahirnya penyelenggara negara yang bersih dan
kapable, serta perbaikan representasi politik dan akuntabilitas
politik kepada rakyat
BENTUK PELAYANAN
1. Bantuan advokasi non-litigasi (lintas isu-
sektor) untuk warga miskin dan perempuan
2. Pengaduan masyarakat, pendampingan dan
konsultasi advokasi kasus korupsi
3. Up-dating informasi perkembangan/trend
korupsi dan kinerja aparat hukum untuk publik
luas
4. Sekolah anggaran dan antikorupsi untuk warga, START
aktivis mahasiswa, NGO,Ormas
5. Pelayanan data dan informasi untuk warga dan
aktivis
6. Pelayanan tenaga asistensi dan monev program
untuk jaringan NGO
7. Pelayanan tenaga fasilitator pendidikan orang
dewasa untuk organisasi mahasiswa, NGO,
ormas
8. Fasilitasi pengembangan kapasitas organisasi
rakyat dan jaringan masyarakat sipil
Analisa Kinerja Somasi NTB
Kinerja dari somasi NTB dalam kontribusi pemberantasan korupsi yaitu sudah efektif namun
kinerja dari beberapa lembaga lain dalam ikut berkontribusi masih belum efektif. Beberapa
kontribusi dari Somasi NTB yaitu, antara lain :
1. Pembentukan posko pemantauan dan pengaduan masyarakat NTB sebagai wadah
pemantauan kinerja pemberantasan korupsi di wilayah NTB.
2. Melakukan pengawasan dalam upaya pengadaan barang dan jasa di NTB.
3. Pemantauan keterbukaan informasi publik
Undang-Undang Yang Mendukung Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi

• UU No. 3 tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang ini
dikeluarkan di masa Orde Baru pada kepemimpinan Presiden Soeharto. UU No. 3 tahun
1971 mengatur pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimal Rp 30 juta
bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.

• Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) Usai rezim Orde Baru tumbang diganti masa
Reformasi, muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas KKN. Sejalan dengan TAP MPR tersebut, pemerintah Presiden
Abdurrahman Wahid membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya
pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi,
Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa
lainnya. Dalam TAP MPR itu ditekankan soal tuntutan hati nurani rakyat agar reformasi
pembangunan dapat berhasil, salah satunya dengan menjalankan fungsi dan tugas
penyelenggara negara dengan baik dan penuh tanggung jawab, tanpa korupsi.
• UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN Undang-undang ini dibentuk
di era Presiden BJ Habibie pada tahun 1999 sebagai komitmen pemberantasan korupsi pasca tergulingnya rezim
Orde Baru. Dalam UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN ini
dijelaskan definisi soal korupsi, kolusi dan nepotisme, yang kesemuanya adalah tindakan tercela bagi
penyelenggara negara. Dalam UU juga diatur pembentukan Komisi Pemeriksa, lembaga independen yang bertugas
memeriksa kekayaan penyelenggara negara dan mantan penyelenggara negara untuk mencegah praktik korupsi.

• UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang di
atas telah menjadi landasan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di tanah air. UU ini menjelaskan bahwa
korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau yang berakibat
merugikan negara atau perekonomian negara. Definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU ini.

• Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian
Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Melalui peraturan ini, pemerintah
ingin mengajak masyarakat turut membantu pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat yang
diatur dalam peraturan ini adalah mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tindak pidana
korupsi.

• UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi pencetus lahirnya KPK di masa Kepresidenan
Megawati Soekarno Putri. Ketika itu, Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak efektif memberantas tindak pidana
korupsi sehingga dianggap pelu adanya lembaga khusus untuk melakukannya.
• UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Pencucian uang menjadi salah satu cara koruptor
menyembunyikan atau menghilangkan bukti tindak pidana korupsi. Dalam UU ini diatur soal penanganan perkara
dan pelaporan pencucian uang dan transaksi keuangan yang mencurigakan sebagai salah satu bentuk upaya
pemberantasan korupsi.
• Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) Perpres ini
merupakan pengganti dari Perpres No 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 yang dianggap sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan pencegahan korupsi.
• Peraturan Presiden No.102/2020 tentang tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Diterbitkan Presiden Joko Widodo, Perpres ini mengatur supervisi KPK terhadap instansi yang berwenang
melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan
Republik Indonesia.
• Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di
Perguruan Tinggi Pemberantasan korupsi bukan sekadar penindakan, namun juga pendidikan dan pencegahan.
Oleh karena itu Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengeluarkan peraturan untuk menyelenggarakan
pendidikan antikorupsi (PAK) di perguruan tinggi. Melalui Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang
Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi, perguruan tinggi negeri dan
swasta harus menyelenggarakan mata kuliah pendidikan antikorupsi di setiap jenjang, baik diploma maupun
sarjana
Analisis Kasus
“Kasus Kematian Wartawan Udin Yang Tak Pernah Terungkap Tuntas”

Kronologi Kasus

Kasus pembunuhan wartawan Fuad Muhammad Syafruddin yang


akrab dipanggil Udin pada 16 Agustus 1996 dan belum terungkap
pelakunya sampai saat ini, menjadi bahan diskusi aktivis Malaysia di
Petaling Jaya, sabtu, 21 Mei 2022.
Ketua aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Shinta Maharani
mengemukakan hal itu saat diskusi “ Media Solidarity Awards 2022:
Sembang Lintas Negara Tantangan Wartawan Melawan” yang
diselengarakan Center For Independent Journalism, Gerakan Media
Merdeka (Geramm) Malaysia dan AJI di The Biblio Cafe. Pada
kesempatan tersebut Shinta mengatakan, sebelum ke Malaysia, dia
terlebih dahulu bertemu dengan istri Udin, Marsi.
“Sebelum ke Malaysia saya telah bertemu mbak Marsi. Dia kecewa karena
polisi gagal mengungkapkan pelaku pembunuhan Udin. Polisi semestinya
mengakui saja kalau tidak mampu. Jangan diambangkan,” ujar Shinta
menirukan Marsi.

Kasus pembunuhan Wartawan Udin ini bermula dari ketika Udin bergergas
pulang menggunakan honda Tiger 2000 berwarna merah hati selepas
merampungkan pekerjaan. Jam menunjukan pukul 21.30, kalender mencatat
tanggal 13 Agustus 1996. Raut wajahnya Nampak tegang dan gelisah. Tidak
nyangka nasib buruk memang menimpanya malam itu. Ia dianiyaya (dipukul,
kepala dihantam, dan perut di tusuk besi) oleh orang tak dikenal disekitar
rumahnya. Udin terluka parah dan tak sadarkan diri. Hal ini yang membuatnya
menderita gegar otak dan dilarikan ke rumah sakit Bethesda untuk menjalani
perawatan intensip. Tiga hari kemudian Jumat, 16 Agustus 1996 pihak RS
Bethesda memberi kabar: operasi tak mampu menghenetikan pendarahan hebat
di kepala. Nyawa Udin tak tertolong. Ia meninggal dunia pukul 16.50
meninggalnya Udin adalah bukti betapa beruntalnya rezim Orde Baru yang tak
menghargai nyawa manusia. Udin tewas tanpa tau siapa yang membunuhnya
dana pa motif dibelakangnya.
Udin, yang punya nama lengkap Fuad Muhammad Syafruddin, adalah wartawan
surat kabar harian asal Yogyakarta, Bernas. Semasa bekerja sebagai wartawan,
Udin sudah banyak menulis laporan yang membikin telinga penguasa panas.
Sebelum meninggal, Udin disibukkan dengan peliputan pemilihan Bupati
Bantul untuk masa jabatan 1996-2001.
Pasalnya, terdapat tiga calon yang maju dan semuanya berlatar belakang militer.
Satu calon yang mencolok ialah sang petahana, Sri Roso Sudarmo.
Keikutsertaan Sri Roso sebetulnya cukup mengejutkan. Pasalnya, menurut
Danrem 072/Pamungkas Kolonel (Inf.) Abdul Rahman Gaffar, Sri Roso bakal
dipindahtugaskan ke daerah lain. Entah mengapa yang terjadi justru sebaliknya.
Masuknya kembali Sri Roso ke gelanggang memicu Udin membongkar borok
pemerintahan. Selama memegang kendali kekuasaan, Sri Roso dianggap tidak
kompeten dan penuh praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Maka,
jadilan laporan-laporan yang sarat kritik macam “Tiga Kolonel Ramaikan Bursa
Calon Bupati Bantul,” “Soal Pencalonan Bupati Bantul: Banyak ‘Invisible
Hand’ Pengaruhi Pencalonan,” “Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT
Hanya Diberikan Separo,” hingga “Isak Tangis Warnai Pengosongan
Parangtritis.” Tak cuma menyerang Suroso, laporan Udin juga menampar Orde
Baru yang kala itu telah berada di senja kala kekuasaan. Laporan paling bikin
gempar adalah soal surat kaleng yang menuturkan ada calon bupati yang diduga
kuat bakal memberikan dana sebesar satu miliar rupiah kepada Yayasan
Dharmais milik Soeharto.
Udin bukannya tak khawatir dengan semua laporan yang ditulisnya. Ia sadar sedang melawan
tiran. Berkali-kali ia sadar tengah diikuti orang tak dikenal yang mengawasi gerak-geriknya.
Namun rasa takut tak menghentikan niatnya untuk menulis dan menyebarkan kebenaran kepada
publik.

Keberanian itu pula yang menuntunnya pada laporan terakhir tentang dugaan kasus korupsi
pembangunan jalan. Tulisan yang kelak diberi judul “Proyek Jalan 2 Km, Hanya Digarap 1,2
Km” tersebut terbit sehari sebelum Udin meninggal. Isi laporannya: memblejeti kejanggalan
proyek peningkatan jalan di ruas Tamantirto- Pengkolan, Kasihan, Bantul.

Kasus Udin menemui jalan buntu. Hal ini disebabkan karena Polisi tak bekerja maksimal
dalam mengusust tuntas kasus pembunuhan Udin ini. Meskipun polisi menangkap “pelaku”
pembunuhan Udin yang bernama Dwi Sumaji alias Iwik yang bekerja sebagai sopir perusahaan
iklan. Akan tetapi, Iwik bukanlah pelaku sebenarnya. Iwik merupakan seorang Tumbal dari
pelaku sebenarnya. Pada persidangan 5 Agustus 1997, Iwik terpaksa mengaku bahwa ia
membunuh Udin. Iwik terpaksa mengaku di bawah ancaman dan pengaku alcohol yang di suplai
Serma Pol Edy Wuryanto alias Franki, Kanitserse Polres Bantu. Iwik dijadikan tumbal demi
melindungi kepentingan bisnis, politik, serta nama baik Sri Roso. Pada November 1997,
pengadilan akhirnya memvonis bebas Iwak. Majelis Hakim berpendapat tidak ada bukti yang
menguatkan Iwik adalah pelaku pembunuhanya.
Penangkapan Iwik merupakan salah satu keganjilan dalam kasus Udin.
Muncul pengakuan lain dari Tri Sumaryani yang mengatakan diiming-imingi
sejumlah uang oleh “oknum tertentu” jika bersedia berkata pada public dan
persidangan bahwa ia berselingkuh dengan Udin. Perseingkuhan tersebut menurut
Tri Sumaryanii, membuat suaminya murka dan akhirnya membunuh Udin.
Akhirnya beberapa rekan Udin membuat tim investigasi pencarian fakta.
Berdasarkan penyelidikan, tim menyimpulkan bahwa tewasnua Udin tak bias
dilepaskan dari berita-beria yang ia tulis. Laporan Udin dipandang memancing
kemarahan penguasa. Dalang di balik pembunuhan Udin mengerucut pada sati
nama yaitu Sri Roso. Tentu Sri Roso menolak hasil penyelidikan. Sepekan setelah
kematian Udin, Sri Roso menggelar konferesi Pers dan menyatakan sama sekali
tak terlibat dalam pembunuhan. Pernyataan Sri Roso dipertegas kepolisian. Di
wakili Kapolres Bantul, Letkol Pol Ade Subardan, polisi mengatakan kasus Udin
tak punya dalang dan pembunuhnya akan ditangkap dalam kurun waktu tiga hari.
Tidak sampai itu. Masalah barang bukti yang dihilangkann juga menjadi salah
satu persoalan. Lagi-lagi yang bertanggung jawab ialah Edy Wuryanto. Edy
melarang sampel darah serta mengambil buku catatan milik Udin. Alasannya demi
“kepentingan penyelidikan dan penyidikan.”. Tindakan Edy digugat oleh istri
Udin pada April 1997, Majelis Hakim menyatakan Edy bersalah dan dianggap
melakukan tindakan melanggar hukum. Namun saat itu Edy hanya dimutasi ke
Mabes Polri, alih-alih dijerat hukuman. Pada 2003 dihukum 10 buan atas kasus
menggelapkan barang bukti.
Belum ada tanda-tanda kasus Udin akan diselesaikan secara tuntas kendati telah
berlalu dua dekade. Apparat masih belum bisa mengungkap siapa dalang yang
membunuh Udin dan apa motif yang melatarisnya. Sri Roso memang dicolok polisi,
namun bukan karena terlibatt dalam pembunuhan melainkan gara-gara kasus suap
kepada Yayasan Dharmais. Orde Baru sudah tumbang dan tergantikan oleh reformasi.
Sayang, kebebasan pers masih punya pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan.
Dan kasus Udin menginngatkan kita akan hal itu.
Undang-Undang
Undang-undang wartawan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
Pasal 2 tentang asas pers menyatakan bahwa, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud
kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi
hukum. Pers merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi masssa yang
melaksanakan tugas-tugas jurnalis//kewartawanan. Tugas tersebut menurut undang-undang
ini yaitu mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dalam bentuk sesuai dengan media publikasi yang digunakan yaitu bentuk teks,
gambar, suara dan gambar, data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya. Tugas wartawan
yaitu menyajikan berita yang menarik, mendalam, actual, padat dan jelas, memiliki daya
Tarik (vitalisasi), disajikan dengan gaya Bahasa yang hidup dan lincah, sederhana atau
lebih dikenal dengan gaya bahasa popular.

Dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 kemerdekaan pers disebut secara ekplisit. Dalam
Pasal 4 ayat (1) menyatakan “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara
adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dana tau penekanan
agar hak masyarakat untukk memperoleh informasi terjamin.”
Dalam Pasal 4 Ayat (1) dinyatakan pers bebas dari tindakan penyensoran dan
pemberedalan. Penyensoran dijabarkan dalam Pasal 1 angka 8 dapat berupa:

• penghapusan secara paksa sebagai atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan
atau disiarkan
• Tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun. Dan
• Kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan
kegiatan jurnalis
Tindakan kekerasan dan perusakan barang bukti jelas telah menghambat
kerja jurnalis unnntuk menyampaikan informasi kepada masyarakat.
Perampasaan, perusakan barang bukti dan kekerasan itu melanggar UU
Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 4 dan 8 tayat 1 “kemerdekaan pers dijamin
sebagai hak asasi warga negara”. Sehingga wartawan dan jurnalis di berikan
kebebasan dalam menyampaikan semua informasi yang dimilikinya, selama
informasi tersebut tidak melanggar aturan yang berlaku lainnya.
Analisis
Dalam Kasus terbunuhnya Wartawan Udin sudah jelas bahwa dia
tidak mendapatkan perlindungan dari hukum. Seperti yang sudah dijelaskan
diatas bahwa seorang jurnalis ataupun wartawan dilindungi oleh Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999. Pada Undang-Undang lain dan Pasal yang
lainnya sudah dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk menyatakan
pendapatnya melalui media yang tersedia, terlebih lagi seorang Jurnalis
ataupun Wartawan tentunya memiliki hak tersebut. Namun banyak kita
dengar dan baca bahwa seorang wartawan atau jurnalis masih banyak
medapatkan kekerasan, terlebih lagi dari pihak yang berkuasan. Seorang
wartawan yang ingin mengungkapkan kepada masyarakat luas mengenai
fakta yang ada, akan tetapi dia mendapatkan tindak kekerasan bahkan
cacian.
Seperti Kasus Wartawan Udin ini, kasus pembunuhannya belum
memiliki titik terang dalam menemukan pelakunya. Sehingga perlu kita
pertanyakan, Undang-Undang perlindungan Pers atau Jurnalis ataupun
Wartawan ini tidak berjalan sesuai dengan bunyi dari Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999. Disini dapat kita perjelas bahwa hukum di Negara
kita belum berjalan secara maksimal.
Kita mengetahui bahwa seorang wartawan sering kali mendapatkan tuntutan
hukum kriminal, akan tetapi mereka seolah-olah melupakan hukum
Kita mengetahui bahwa seorang wartawan sering kali mendapatkan
tuntutan hukum kriminal, akan tetapi mereka seolah-olah melupakan hukum
perlindungan bagi seorang wartawan ataupun jurnalis. Serta dapat kita lihat
juga pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Jadi pada kasus Pembunuhan Wartawan Udin ini sudah banyak
melupakan Undang-Undang yang ada. Sehingga seorang wartawan yang
ingin mengunggkapkan sebuah fakta sering kali mendapatkan ancaman
kekerasan.
KESIMPULAN
LSM telah diatur oleh Intruksi Menteri Dalam Negeri (Inmedagri) No. 8 tahun 1990, LSM dalam Instruksi ini adalah
organisasi/lembaga yang dibentuk oleh warga negara Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri yang berminat serta bergerak di
bidang kegiatan tertentu sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Dari pemaparan materi diatas, Somasi NTB adalah sebuah organisasi non-pemerintah yang bersifat nirlaba dan independen. Somasi
NTB akan memberikan pelayanan kepada kelompok-kelompok tertindas, seperti buruh, petani, rakyat miskin kota, kelompok
perempuan dan individual progresif melalui pendidikan kritis, distribusi informasi, pengorganisasian, dan pendampingan. Tujuan
pelayanan tersebut guna membangun kemandirian rakyat untuk terlibat dalam dinamika perubahan sosial menuju tatanan sosial yang
lebih adil dan sejahtera. Somasi Nusa Tenggara Barat mempunyai jenis plat Merah / GONGO (Government NGO). Plat merah ini
diperuntukan untuk LSM langsung dibentuk oleh pemerintah tetapi dalam beberapa kasus bisa saja organisasinya berdiri dengan
platform independent namun pengurusnya adalah orang-orang titipan pemerintah dengan segala fasilitas yang diberikan oleh
pemerintah.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai