Anda di halaman 1dari 19

Hello!

Nama: Dioz Darmawan


Nim : S1A122124
Kelas : C

1
Partisipasi politik
analisis politik modern partisipasi politik merupakan suatu
masalah yang penting, dan akhir-akhir ini banyak dipelajari
terutama dalam hubung- annya dengan negara-negara
berkembang. partisipasi politik adalah kegiatan seseorang
atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan
negara dan, secara langsung atau tidak langsung,
memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).

3
Herbert McClosky seorang tokoh masalah partisipasi
berpendapat:

Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga


masya- rakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung,
dalam proses pembentukan kebijakan umum

4
Partisipasi Politik di Negara Demokrasi  
Kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik
menunjukkan pel- bagai bentuk dan intensitas. Biasanya
diadakan pembedaan jenis partisipasi menurut frekuensi dan
intensitasnya. Orang yang mengikuti kegiatan se- cara tidak
intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan
yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri (seperti
memberikan suara dalam pemilihan umum) besar sekali
jumlahnya

5
Suatu penelitian lain yang dilakukan oleh Verba dan Nie menemukan
bahwa dari sejumlah orang Amerika yang diteliti:

✘ Dua puluh dua persen dari masyarakat Amerika ✘ apabila mereka menemui persoalan tertentu.
sama sekali tidak aktif dalam kehidupan politik, Kebanyakan dari mereka memilih, tetapi tidak mau
memberikan suara dalam pemilihan pun tidak. melibatkan diri dalam kampanye pemilihan umum.
✘ Dua puluh satu persen—disebut ”spesialis ✘ Lima belas persen—disebut ”aktivis kampanye”
pemilih” (voting spesialists)— hanya aktif dalam (campaigners)—selalu memberikan suara dalam
memberikan suara, tetapi tidak mengadakan pemilihan dan aktif dalam kampanye pemilih- an.
kegiatan politik lainnya
✘ Sebelas persen—disebut ”aktivis penuh” (complete
✘ Empat persen—disebut ”partisipan parokial” activists).
(parochial participants)— hanya aktif mengontak
pejabat, baik di pemerintahan maupun di partai, .
apabila mereka menemui persoalan tertentu

6
Partisipasi Politik di Negara Otoriter
Di negara-negara otoriter seperti komunis pada masa lampau, partisipasi massa umumnya diakui
kewajarannya, karena secara formal kekuasaan ada di tangan rakyat. Akan tetapi tujuan utama
partisipasi massa dalam masa pen- dek masyarakat adalah merombak masyarakat yang terbelakang
menjadi ma- syarakat modern, produktif, kuat, dan berideologi kuat. Hal ini memerlukan disiplin dan
pengarahan ketat dari monopoli partai politik
Uni Soviet adalah salah satu negara yang berhasil mencapai persentase voter turnout yang sangat
tinggi. Partisipasi politik di luar pemilihan umum dapat juga dibina melalui organisasi-organisasi yang
mencakup golongan pemuda, golongan buruh, serta organisasi-organisasi kebudayaan. Melalui
pembinaan yang ketat potensi masyarakat dapat dimanfaatkan secara terkontrol. Partisipasi yang
bersifat community action terutama di Uni Soviet dan China sangat intensif dan luas, melebihi kegiatan
serupa di negara-negara demokrasi Barat. Hal ini terjadi di Uni Soviet pada tahun 1956 pada saat
Khrushchev melancarkan gerakan ”Garis Baru” dalam rangka ”destalinisasi” kehidupan politik.

7
Partisipasi Politik di Negara Berkembang

Negara-negara berkembang yang non-komunis menunjukkan pengalaman yang berbeda-beda.


Kebanyakan negara baru ini ingin cepat mengadakan pembangunan untuk mengejar keterbelakangannya,
karena dianggap bahwa berhasil-tidaknya pembangunan banyak bergantung pada partisipasi rakyat. Ikut
sertanya masyarakat akan membantu penanganan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan-
perbedaan etnis, budaya, status sosial dan ekonomi, agama, dan sebagainya. Integrasi nasional,
pembentukan identitas nasional, serta loyalitas kepada negara diharapkan akan ditunjang pertum-
buhannya melalui partisipasi politik.
Di beberapa negara berkembang, partisipasi yang bersifat otonom, arti- nya lahir dari diri mereka sendiri,
masih terbatas. Berkaitan dengan gejala itu, jika hal itu terjadi di negara-negara maju sering kali dianggap
sebagai tanda adanya kepuasan terhadap pengelolaan kehidupan politik. Tetapi kalau hal itu terjadi di
negara-negara berkembang tidak selalu demikian halnya. Di beberapa negara yang rakyatnya apatis,
pemerintah menghadapi masalah bagaimana meningkatkan partisipasi itu, sebab jika partisipasi
mengalami jalan buntu, dapat terjadi dua hal yaitu menimbulkan ”anomi” atau justru ”revolusi”.

8
Partisipasi Politik Melalui New Social Movements(NSM) dan Kelompok-
Kelompok Kepentingan

Jika sampai sekarang yang dibicarakan adalah partisipasi yang relatif mudah dapat diukur
berdasarkan hasil pemilihan umum, perlu diperhatikan bahwa ada bentuk partisipasi lain, yaitu
melalui kelompok-kelompokSalah satu sebab adalah bahwa orang mulai menyadari bahwa suara
satu orang (misalnya dalam pemilihan umum) sangat kecil pe- ngaruhnya, terutama di negara-
negara yang penduduknya berjumlah besar. Melalui kegiatan menggabungkan diri dengan orang
lain menjadi suatu kelompok, diharapkan tuntutan mereka akan lebih didengar oleh pemerintah.
Tujuan kelompok ini ialah memengaruhi kebijakan pemerintah agar lebih menguntungkan mereka.
Kelompok-kelompok ini kemudian berkem- bang menjadi gerakan sosial (social movements).

9
T. Tarrow dalam bukunya Power in Movement (1994) berpendapat bahwa:
 Social movements adalah tantangan kolektif oleh orang-orang yang mempunyai tujuan
bersama berbasis solidaritas, (yang dilaksanakan) melalui interaksi secara terus-
menerus dengan para elite, lawan-lawannya, dan pejabat-pejabat (Social movements
are collective challenges by people with common purposes and solidarity in sustained
interaction with elites, opponents and authorities).
Gerakan ini merupakan bentuk perilaku kolektif yang berakar dalam kepercayaan dan
nilai-nilai bersama.
Di samping itu, salah satu definisi lain mengenai kelompok kepentingan adalah:
”Suatu organisasi yang berusaha untuk memengaruhi kebijakan publik dalam suatu
bidang yang penting untuk anggota-anggotanya (an organization that attempts to
influence public policy in a specific area of impor- tance to its members).”

10
Sesudah mempelajari berbagai analisis mengenai NSM, Enrique
Larana, Hank Johnston, dan Joseph R. Gusfield (1994) sampai pada
suatu kesimpulan yang diutarakan secara singkat di bawah ini.

✘ Basis NSM bersifat lintas kelas sosial


✘ Karakteristik sosial mereka sangat berbeda dari ciri gerakan buruh, mau- pun dengan
konsepsi Marxis bahwa ideologi merupakan unsur yang mempersatukan.
✘ Dalam kehidupan sehari-hari, NSM menumbuhkan dimensi identitas, baik NSM yang baru
maupun yang sebelumnya lemah; sifatnya lebih memerhatikan masalah identitas daripada
masalah bidang ekonomi
✘ Hubungan antara individu dan kolektivitas kabur.

11
✘ NSM sering menyangkut hal-hal yang sifatnya pribadi seperti aborsi, antimerokok, dan
pengobatan alternatif.
✘ Taktik mobilisasi yang dipakai oleh NSM ialah melalui antikekerasan dan ketidakpatuhan (civil
disobedience), hal yang jauh berbeda dengan taktik-taktik yang dipakai gerakan-gerakan buruh
tradisional.
✘ Berkembangnya kelompok-kelompok NSM dipicu antara lain oleh timbulnya krisis
kepercayaan terhadap sarana-sarana partisipasi politik, terutama perilaku partai massa
tradisional.
✘ Berbeda dengan birokrasi dari partai-partai tradisional, kelompok-ke- lompok NSM cenderung
tersegmentasi, tersebar luas tanpa fokus, dan tidak sentralistis.

12
Beberapa Jenis Kelompok

Karena beragamnya kelompok-kelompok kepentingan ini Gabriel A. Almond dan


Bingham G. Powell dalam buku Comparative Politics Today: A World View (1992)
yang diedit bersama, membagi kelompok kepentingan dalam empat kategori, yaitu:
a) kelompok anomi (anomic groups), b) kelompok nonasosiasional
(nonassociational groups), c) kelompok institusional (institutional groups), dan d)
kelompok asosiasional (associational groups).

13
Kelompok Anomi Kelompok Asosiasional
Kelompok-kelompok ini tidak mempunyai Terdiri atas serikat buruh, kamar dagang,
organisasi, tetapi individu-individu yang asosiasi etnis dan agama. Organisasi-
terlibat merasa mempunyai perasaan organisasi ini dibentuk dengan suatu tujuan
frustrasi dan ketidakpuasan yang sama. yang eksplisit, mempunyai organisasi yang
baik dengan staf yang bekerja penuh waktu.

Kelompok Nonasosiasional Kelompok Institusional


Kelompok kepentingan ini tumbuh Kelompok-kelompok formal yang berada
berdasarkan rasa solidaritas pada sanak dalam atau bekerja sama secara erat dengan
saudara, kerabat, agama, wilayah, kelompok pemerintahan seperti birokrasi dan
etnis, dan pekerjaan. Kelompok- kelompok kelompok militer
ini biasanya tidak aktif secara politik dan
tidak mempunyai organisasi ketat, walaupun
lebih mempunyai ikatan daripada kelompok
anomi.

14
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia

Di Indonesia LSM sepadan dengan NSM serta kelompok kepentingannya, dan dalam banyak hal terinspirasi
oleh koleganya dari luar negeri. Ideologi serta cara kerjanya pun banyak miripnya. Secara historis di
Indonesia LSM ada sejak awal abad ke-20. Ketika itu umumnya LSM lahir sebagai cerminan dari
kebangkitan kesadaran golongan masyarakat menengah terhadap kemiskin- an dan ketidakadilan
sosial.Sejak Indonesia merdeka, kehadiran LSM pertama kali terjadi pada tahun 1957 dengan berdirinya
PKBI (Persatuan Keluarga Berencana Indonesia). Lembaga yang pada akhirnya menjadi mitra pemerintah
ini menjadikan pem- binaan keluarga yang sehat sebagai fokus kegiatannya.Menjelang 1960-an, lahir juga
LSM-LSM baru. Pada masa ini muncul kesadaran bahwa kemiskinan dan masalah yang berkaitan dengan
itu tak dapat hanya diatasi dengan menyediakan obat-obatan, bahan pangan, dan sejenisnya. Sebaliknya,
perbaikan taraf hidup masyarakat miskin harus dilaku- kan dengan meningkatkan kemampuan mereka
dalam mengatasi masalah. Maka, sejak kurun waktu ini muncul LSM-LSM yang tidak saja merupakan
perwujudan kritik terhadap LSM jenis sebelumnya, tetapi sekaligus juga per- wujudan dari kritik terhadap
strategi pembangunan yang dianut pemerintah yang dikenal sebagai trickle down efect

15
Perkembangan tersebut diperkuat lagi ketika pada 1980-an berkembang kesadaran
bahwa partisipasi masyarakat merupakan faktor penting untuk pembangunan dan
perombakan sosial ekonomi secara damai. Dalam pada itu, para aktivis LSM juga
mulai berpandangan bahwa di dalam sistem politik, sosial, dan ekonomi yang
sudah mapan saat itu upaya membangun masya- rakat dengan skala kecil-kecil
sebagaimana yang dilakukan LSM periode sebelumnya tidaklah banyak berarti.
Diterbitkannya UU No. 8 Tahun 1985 pada pertengahan 1980-an mem-
perlihatkan kehendak dari rezim Orde Baru untuk memperkuat kontrolnya
terhadap organisasi kemasyarakatan, termasuk LSM,. Sebagai akibatnya banyak
ormas atau asosiasi bekerja di bawah kontrol negara. Dharma Wanita (organisasi
para istri pegawai negeri) atau Yayasan PKK (Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga) merupakan contoh ormas yang berkerja di bawah kontrol pemerintah

16
✘ LSM penganut paradigma pertama yaitu kesejahteraan melihat bahwa sebab-sebab kemiskinan dan
keterbelakangan masyarakat adalah kekuatan yang berada di luar kendali manusia, seperti
nasib/takdir dan bencana alam.
✘ Kelompok kedua, yaitu LSM penganut paradigma modernisasi. LSM ini memandang bahwa
keterbelakangan, termasuk kemiskinan, disebabkan oleh rendahnya pendidikan, penghasilan,
keterampilan, dan juga kesehatan, khu- susnya gizi.
✘ Kelompok ketiga adalah yang berparadigma reformasi. LSM kelompok ini berkeyakinan bahwa
sumber dari masalah-masalah sosial adalah lemahnya  pendidikan, korupsi, mismanajemen, dan
inefisiensi.
✘ Jenis LSM keempat adalah kelompok LSM berparadigma liberasi atau pembebasan. LSM kategori
ini berpandangan bahwa penyebab segala ke- terbelakangan, termasuk kemiskinan, adalah
penindasan, pengisapan atau eksploitasi, dan pembodohan rakyat

17
✘ Kelima adalah LSM pemeluk paradigma transformasi. LSM kelompok ini menganggap
bahwa sumber keterbelakangan dan kemiskinan adalah keti- dakadilan tatanan sosial,
ekonomi, dan politik.

18
THANKS!

19

Anda mungkin juga menyukai