Anda di halaman 1dari 33

Analgesik Perioperatif

Theresia Meiske LS Wayne


Prodi Bedah Saraf Stase Bedah Digestif
 Perioperatif  disiplin ilmu kedokteran yang mencakup masalah-masalah
sebelum anesthesia/ pembedahan (preoperatif), selama anesthesia/pembedahan
dan sesudah anesthesia/pembedahan.
 The International for the study of Pain (IASP),
Nyeri  pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, berkaitan
dengan kondisi aktual atau potensial terjadinya kerusakan jaringan.

 timbul ketika melampaui suatu nilai ambang tertentu yaitu nilai ambang nyeri
yang menyebabkan kerusakan jaringan melalui mediator nyeri (histamine,
serotonin, plasmokinin seperti
bradikinin,prostaglandin, dan ion kalium).
Fisiologi Nyeri
 Nyeri terdiri dari :
1. Nyeri akut  onset baru dan durasi cepat
2. Nyeri kronis  berlangsung lama dan tetap bertahan walaupun cedera sembuh
 Nyeri yang dirasa oleh pasien setelah operasi nyeri akut pasca operasi yang terjadi
seharusnya tidak boleh sampai dirasakan oleh pasien
 umumnya disertai respon emosional dan autonomik respons yang menimbulkan fisiologis
yang dapat mengganggu proses penyembuhan pasien seperti menahan sekresi, mengurangi
refleks batuk, takikardia, penurunan fungsi pernafasan, peningkatan konsumsi oksigen, dan
adanya efek endorfin.
 Manajemen nyeri pasca operasi digunakan sebagai monitor ukuran kualitas
 Target dari manajemen nyeri pasca operasi  Mengurangi nyeri dengan tetap menjaga
efek samping yang minimal
 Golongan obat yang sering digunakan untuk mengatasi nyeri pascabedah  OPIOID
 Opioid analgesik penggunaan utamanya  untuk menghilangkan nyeri yang dalam dan
ansietas yang menyertainya, baik karena operasi atau sebagai akibat luka
VAS Score
Jenis Opioid

 memiliki tiga sifat dalam berikatan dengan reseptor ⍺ agonis murni, agonis-antagonis, dan
agonis parsial
 Sifat agonis murni  dalam manajemen nyeri akut karena berikatan penuh terhadap
reseptor ⍺, dan tidak ada batas maksimal analgesia terdapat "batas maksimal klinis"
yang menimbulkan efek samping seperti sedasi, depresi pernapasan, dan sering membatasi
penambahan dosis sebelum mencapai analgesia yang adekuat
 Opioid agonis-antagonis mengaktivasi reseptor ĸ dan antagonis terhadap reseptor ⍺ 
memiliki efek batas maksimal terhadap depresi pernafasan  kurang memberikan sifat
 analgesia jika dibandingkan dengan golongan agonis ⍺  dapat memicu respon
withdrawal akut pada pasien yang sudah menerima agonis ⍺
Cara pemberian obat opioid

Oral Rektal Parenteral


Penggunaanya terbatas Sering digunakan untuk efektif namun harus dalam
mengatasi nyeri kronis dan pengawasan
pasca operasi

DOSIS INTRAVENA OPIOID


OBAT DOSIS
INTRAVENOUS BOLUS INTRAVENOUS INFUSION
MORFIN 0,01 – 0,2 mg/kg 20 - 30 mg/kg/jam
PETIDIN 0,1 – 1,0 mg/kg 200 – 300 mg/kg/jam
FENTANIL 1 – 5 g/kg 0,5 – 2,0 mg/kgBB/jam
TRAMADOL 0,5– 1,0 mg/kgBB 0,1 – 0,2 mg/kgBB/jam
Transdermal Epidural Intratekal

Patien Controlled Analgesia Lebih baik dari PCA atau banyak digunakan secara
(PCA) infus tunggal atau tambahan dalam
terapi nyeri akut

Pharmacologic properties of common opioids used for


intrathecal analgesia
OPIOID USUAL ONSET (min) DURATION (h)
DOSES
RANGE (g)
Morphine 100 – 500 45 -75 18 – 24
Fentanil 5 – 25 5 -10 1-4
Sufetanil 2,5 – 10 5 - 10 2–6
Golongan obat opioid

 Morfin
 Fentanil
 Tramadol
 Hidromorfin
 Meperidin
 Dextropropoxyphene
 Metadon
 Petidin
 Kodein dan oxycodone
Morfin

 Dengan Intravena/PCA/intramuskuler
 Morfin dimetabolisme ke morfin-6-glukuronida dan morfin-3-glukuronida dalam hati
 Morfin-6- glucuronide adalah agonis- ⍺ dan lebih ampuh dari morfin sementara morfin-3-
glukuronida mempunyai afinitas rendah terhadap reseptor opioid dan tidak memiliki
analgesik aktivitas.
 Kedua metabolitnya akan menumpuk dengan adanya disfungsi ginjal,pada dosis yang lebih
tinggi, kelompok usia yang lebih tua dan dengan oral administrasi
Fentanil

 lebih poten, lipofilik, dan mempunyai onset yang lebih cepat dari morfin
 agonis opioid sintetik derivate fenilpiperidin.
 Untuk analgesik mempunyai kekuatan 75 hingga 125 kali dibandingkan morfin
 Dosis tunggal fentanyl yang diberikan secara intravena memiliki onset yang lebih cepat
dan durasi kerja lebih pendek  sekitar 3-5 menit untuk onset dan 30-60 menit untuk
durasi kerjanya
 Depresi pernapasan persisten atau berulang akibat fentanyl adalah masalah yang potensial
pasca operasi
Tramadol

Metadon
 analgetik sintetik  untuk terapi pemeliharaan bagi penderita
 pecandu opioid
efek sampingnya juga relatif lebih sedikit
(mual, muntah, kejang)  potensinya yang tinggi, durasi yang lebih
 lama tindakan, biaya rendah, aktivitas
tidak menyebabkan ketergantungan,
antagonis NMDA dan aktivitas serotonin
 tidak adanya ceiling effect, reuptake inhibitor berguna dalam
 jarang terjadi depresi nafas mengobati sakit kronis
Hidromorfin

Hidromorfin Meperidin
 alternatif yang baik untuk pasien dengan  neurotoksik, normomeperidine, tidak
morfin-intoleran atau mereka yang memiliki efek analgetik
mengalami kegagalan fungsi ginjal  untuk jangka pendek dan dipantau
karena metabolismenya terutama
dengan cermat dan untuk pasien yang
dalam hati dan dieksresikan sebagian
telah menunjukkan intoleransi untuk
metabolit glukoronat yang tidak aktif
semua agonis ⍺ lainnya
 Lebih kuat dari morfin, demand dose 0,2  memiliki potensi 1/10 morfin dan
mg
demand dose 10mg equianalgesic untuk
1 mg morfin
Dextropropoxyphene Petidin
 opioid yang lemah  Opioid sintetis yang memiliki banyak
 kekurangan
Selalu dikombinasikan dengan
parasetamol untuk menghilangkan rasa  Menyebabkan lebih banyak mual dan
sakit muntah  secara parenteral
Kodein dan oxycodone

 secara enteral terutama saat konversi dari suntikan ke oral


 Efek analgetik dan depresi nafasnya sama dengan morfin
 Adanya ceiling effect terhadap depresi respirasi, serta tidak dipengaruhi oleh pupillary sign
 kodein dan oxykodone sering diberikan bersama asetaminofen dan aspirin
 Tablet oxycodone lepas lambat tidak dapat berikan melalui nasogastrik tube karena bila
tablet dihancurkan maka tablet ini akan melepaskan sejumlah besar oxycodone yang akan
diabsorbsi secara sistemik
Non Opioid

 Nonsteroidal anti –inflammatory agents (NSAIDS)


 untuk level nyeri ringan-sedang
 Menghambat COX sehingga memblok produksi prostaglandin menghasilkan respon anti
inflamasi
 Diklasifikasikan selektif COX isoenzimberesiko perdarahan, efek antiplatelet
 Non selektif  contoh Ibuprofen mengurangi efek samping resiko perdarahan dan efek
platelet
Ketorolac Asetaminofen
 obat injeksi NSAID yang termasuk  Pereda nyeri akut dengan onset lambat
COX-1  Paracetamol iv  aman pada pasien
 tambahan untuk pasca operasi colorectal yang memiliki Riwayat peptic ucer atau
 asma
Dosis yang diberikan 30 mg intravena
 Memiliki opioid-sparing effects
 Penelitian 
Pada pasca operasi colorectal, tambahan
ketorolac dengan morfin PCA memiliki
opioid-sparing effect yang menurun pada
pasca operasi ileus
Peripheral nerve blocks

 Transversus abdominis plane (TAP) block memblok nervus peripheral yang


menghasilkan efek anestesia pada dinding abdomen
 Anestesi local disuntikkan pada daerah yang diinsisi
 Memiliki resiko rendah terjadi komplikasi
 Cochrane review 
Pasien dengan TAP block sedikit memerlukan morfin pada 24 – 48 jam disbandingkan yang
tanpa TAP atau saline placebo dan tidak memiliki dampak nausea, muntah atau pada skor
sedasi.
Infiltrasi Lokal

 Digunakan pada pembedahan colon dan rectal--> dapat ditambahkan dengan anestesi local
dan obat sedasi intravena
 Batasan anestesi (xylocaine dan bupivacaine) durasi singkat (beberapa jam)  formulasi
baru dengan liposomal bupivacaine memiliki efek analgesia 72 jam  yang disuntikan
pada daerah pembedahan untuk menghasilkan efek analgesia pasca operasi  juga dapat
dilakukan pada hemorrhoidectomy dan bunienectomy
Kondisi khusus

 Pasien Obesitas
 Manajemen analegesia pasca operasi via epidural (lebih diajurkan)
 Alternatif lain : PCA
 Perlu dimonitor ketat untuk efek sedasi dan SpO2

 Pasien dengan nyeri kronik


 Membutuhkan efek analgesia yang lebih tinggi
 analgesia pasca operasi  regional, infiltrasi local, analgesia sistemik non opioid
Sample multimodality pain management
Abbreviations: IV, intravenously; PCA, patient-controlled anesthesia; PO, by mouth.
G

Preoperative
Acetaminophen (paracetamol) 1,000 mg IV in preop
Ketorolac 800 mg IV in preop
Intraoperative
Liposomal bupivacaine 266 mg wound infiltration
Postoperative
Acetaminophen (paracetamol) 1,000 mg IV every 6 h until patient taking oral meds
Ibuprofen 800 mg IV every 8 h until patient taking oral meds
PCA (morphine or Dilaudid) for severe pain (scale 6-10) until patient taking oral meds
Oxycodone 10 mg PO every 4 h for moderate pain when taking oral medication
KASUS
Tn. AA, 21 tahun
 S/
KU: Luka tusuk di perut sejak 6 jam SMRS

 RPS:
Pasien datang dengan luka tusuk di perut sejak 6 jam SMRS. Pasien mengaku perut ditusuk 2x
dengan pisau orang tidak dikenal. Pisau dikatakan berukuran 10 cm. Pasien dibawa ke RS Atmajaya,
namun karena masalah biaya pasien dibawa ke RSCM. Pasien mengaku ada muntah 4x berisi
makanan. BAB dan BAK tidak ada keluhan, pasien belum buang angin sejak tertusuk.

 RPD: riwayat Ht, DM, dan jantung disangkal


 O/
 Primary Survey
A: clear
B: spontan, RR 20x/menit, SpO2 99% on room air
C: TD 91/61 mmHg, N 120x/menit, akral hangat, CRT < 2 detik, suhu 36,5 c
D: E4M6V5 (GCS 15)

 Secondary survey:
A tidak ada
M tidak ada
P tidak ada
L terakhir makan jam 12 siang
E ditusuk di perut sebanyak 2x
 Kepala: konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
 Thoraks: gerak dada simetris, vesikular bilateral, tidak ada ronki/wheezing
 Abdomen:
I: datar, terdapat vulnus laseratum uk 6x2cm dan 3x1cm, tampak omentum keluar dari luka abdomen
A: bising usus normal
P: supel
P: timpani
 Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik

 A/ Luka tusuk abdomen multipel dengan eviscerasi usus

 P/
Assess dr. Vania SpB(K)BD
- Pro laparotomi eksplorasi s/d stoma cito
- sedia darah PRC 500, FFP 500
- Back Up ICU
- pasang NGT, kateter
- target diuresis 0.5-1cc/kgbb/jam
- cek lab cito
A/
 - Multipel laserasi jejenum sesuai AAST grade 1
 - Multipel laserasi mesojejenum dan mesoileum e.c multipel vulnus scizum regio abdomen dengan
perdarahan grade 2 post laparotomi eksplorasi jahit primer jejenum, mesojejenum dan mesoileum
P/
 Instruksi post op
- Awasi TTV dan KU
- Puasa
- Awasi produksi NGT dan Urine
- Kabiven 1440ml dan Bfluid 1:1 /24jam
- Ketorolac 3x30mg
KASUS
Tn. AA, 21 tahun
A:
Post laparotomi eksplorasi, jahit primer jejunum, mesojejunum dan mesoileum POD 2
a.i Laserasi jejunum multipel AAST grade 1, laserasi mesojejunum dan mesoileum multipel
e.c vulnus scizum multipel regio abdomen anterior dengan eviserasi omentum
S:
nyeri menelan sampai daerah dada, susah tidur karena nyeri daerah luka operasi, tidak ada
demam, tidak ada mual/muntah, belum BAB sejak 2 hari yang lalu, ada flatus, diet susu 6x100
ml, terpasang NGT sudah diklem sejak kemarin, terpasang kateter DC, produksi urine 1200
cc/8 jam, warna kuning kecoklatan jernih
O:
Compomentis
Lab 20/2/2022
Tampak sakit sedang
TD: 120/80 mmHg DPL: 10.6/30.4/15390/210000
HR : 96x/menit, kuat angkat Na/K/Cl: 134/4.0/105.3
T: 36,7OC
VAS 2-3 Albumin: 2.90
PT/APTT: 1x/1.1x
Pulmo: suara napas vesikuler, ronki tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung: BJ I-II regular, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Ur/Cr: 19.3/0.7
Abdomen: SGOT/SGPT: 21/30
Inspeksi : luka operasi terbalut kassa, tidak ada rembesan
PCT: 0.36
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : supel CRP: 13.1
Perkusi : timpani

NGT: diklem, tidak ada produksi


Urine output : 1200 cc/8 jam
Diuresis : 3,0 ml/jam
P:
 Diet lunak 1470 kkal
 Mobilisasi duduk hingga berdiri
 E3 Amikasin 1x1 gram iv
 E3 Metronidazole 3x500 mg iv
 Paracetamol 3x1000 mg IV
 Ketorolac 3x30 mg IV
Referensi
 Siska Permanasari Sinardja, IGN Mahaalit Aribawa: PENATALAKSANAAN NYERI AKUT PADA PASIEN DENGAN PATIENT-CONTROLLED

ANALGESIA,2013,

 Teddy Fe rd inand I, Dju dju k R. Ba suk i, Isnga di: Perbandingan Intensitas Nyeri Akut Setelah Pembedahan Pada Pasien dengan Regional Analgesia

Epidural Teknik Kontinyu dibandingkan dengan Teknik Intermitten, Jurnal Anestesiologi Indonesia 2014;6( 2)114-124

 Suwarman, Tatang Bisri : Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi, Jurnal Neuroanestesi Indonesia 2016;5(1): 68–76

 Wulan Fadinie, Hasanul Arifin, Dadik Wahyu Wijaya: Perbandingan Penilaian Visual Analog Scale dari Injeksi Subkutan Morfin 10 mg dan Bupivakain

0,5% pada Pasien Pascabedah Sesar dengan Anestesi Spinal, Jurnal Anestesi Perioperatif 2016;4(2) 117–23

 Veryne Ayu Permata, Widya Istanto, Yuswo Supatmo: PENGGUNAAN ANALGESIK PASCA OPERASI ORTHOPEDI DI RSUP DR. KARIADI

SEMARANG, JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA,2014

 Dr. Ramkumar Venkateswaran, Dr. Prasad K. N. MANAGEMENT OF POSTOPERATIVE PAIN:Indian,J.Anesth, 50(5),345-354

 Garimella Veerabhadram. 2013. Postoperative pain control. Thieme Medical Publishers. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3747287/. 28

Januari 2021 Jam 18.30


 Anekar AA, Cascella M. WHO Analgesic ladder. NCBI bookshelf. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022

Anda mungkin juga menyukai