Anda di halaman 1dari 33

SKRINING

NurhayatiPrihartono/EpidemiologiFKMUI
DEFINISI: Skrining adalah deteksi dini
dari suatu penyakit pada individu yang
tidak/belum menunjukkan tanda atau
gejala dari penyakit tersebut.

SIFAT SKRINING:
- Merupakan deteksi dini
- Bukan merupakan alat diagnostik
-Tes positif akan ditindaklanjuti tes
diagnostik
Diagnosa vs Skrining

 Test Skrining seringkali dapat dipergunakan


sebagai test diagnosa
 Diagnosa: menyangkut konfirmasi mengenai
ada atau tidaknya suatu penyakit pada
individu yang dicurigai atau ‘at risk’ menderita
suatu penyakit
 Contoh: pemeriksaan gula darah, skrining utk
org sehat, tetapi diagnostik utk penderita DM
 Contoh penyakit yang tepat untuk skrining

 Penyakit yang serius

 Pengobatan pada detectable preclinical phase (DPCP) harus


menghasilkan progonosis yg lebih baik daripada setelah
gejala muncul

 Prevalens penyakit preklinik cukup tinggi pada


populasi yang diskrining
Tahapan pada Riwayat Alamiah Penyakit
Test Skrining
 Test skrining:
 Harus tersedia, tidak mahal, mudah dilakukan,
aman, valid dan reliable
 Ukuran Validitas:
 Sensitivitas
 Spesifisitas
 Performance
 Positive predictive value
 Negative predictive value
Sensitivitas
 Adalah proporsi dari  Dapat
true positive diantara direpresentasikan
semua yang sakit: sebagai:
1- FN%=
a/(a+c) 1 - (c/(a+c))x 100

 FN%= persentasi org


sakit dng test negatif
palsu (False Negative)
Spesifitas
 Adalah proporsi true  Dapat
negative diantara yang direpresentasikan
tidak sakit: sebagai:
1 - FP%=
d/(b+d) 1 - (b/(b+d))x 100
 FP%= persentasi org
dng test positif tetapi
tidak sakit (False
Positive)
Positive Predictive Value
 Proporsi dari true positive (orang sakit
dengan test skrining positif) diantara semua
yang mempunyai test positif:

a/(a+b)
Negative Predictive Value
 Proporsi dari true negative (orang tidak sakit
yang mempunyai hasil test negatif) diantara
semua yang mempunyai hasil test negatif.
 Sulit untuk menentukannya karena
kebanyakan org yang asimptomatis dan
mempunyai hasil test negatif tidak dievaluasi
lebih lanjut status sakitnya.
 Sensitivitas dan Spesifisitas adalah
parameter yang digunakan untuk
melakukan skrining atau tidak. Kedua
parameter ini tidak dipengaruhi oleh
prevalens.

 Predictive values dihitung setelah test


dilakukan, dan digunakan utk menilai hasil
test skrining. Parameter ini dipengaruhi
oleh Sensitivitas, Spesifisitas, dan
Prevalens dari penyakit.
Selecting a Cutoff Point
 There is often an overlap in test results for
diseased and non-diseased population
 Sensitivity and specificity are influenced by
the chosen cutoff point used to determine
positive results
 Example: Immunofluorescence test for HIV
based on optical density ratio (next slide)

13
Low Cutoff
High sensitivity and low specificity

14
High Cutoff
Low sensitivity and high specificity

15
Intermediate Cutoff
moderate sensitivity & moderate specificity

16
Risiko Skrining
 True Positive: labeling effect.
 Org yg mempunyai hasil positif akan
dikategorikan sebagai sakit
 False Positive:
 Pengeluaran uang yg tidak perlu
 Kecemasan
 Takut untuk menjalani test di masa y.a.d
Risiko Skrining
 True Negative:
 biaya yg dikeluarkan dan risiko untuk dilakukan
test.

 False Negative:
 Delayed intervention
 Mengabaikan tanda2 dini dan gejala penyakit
Evaluasi Program Skrining

 Feasibility
 Acceptability of the program
 Prosedur mudah, cepat, tidak sakit, biaya murah
 ∑ orang di skrin / ∑ target populasi
 Performance
 PV+, PV-

 Effectiveness
Effectiveness
 Outcome Measure  Bias
 Morbiditas  Lead time bias
 Disabilitas  Length bias
 Mortalitas  Volunteer bias
Evaluasi Skrining

 Survival tidak dapat dipakai untuk


mengevaluasi skrining karena adanya lead
time bias dan length bias.
 Efektifitas test skrining dapat dinilai dari
cause-specific mortality rate populasi yg di-
skrin dibandingkan dengan mortalitas
populasi yang tidak di-skrin.
Bias yang dapat menyebabkan
overestimasi manfaat Skrining

 Lead Time Bias


 Length Bias
Tahapan Riwayat Alamiah Penyakit
Riwayat Alamiah Penyakit Kanker Paru dan
lead time
Lead time bias
35 40 41 43 46
_____|______|_____|______|_______|______

Biologic disease woman A women A


and
Onset of detecta diagnosed symptoms B both die
Disease ble by at screen develop; from breast
screen woman B cancer
diagnosed
Length Time Bias dan Skrining
Kombinasi Test Skrining

 Ada 2 macam kombinasi test skrining

 Paralel: meningkatkan sensitivitas


 Series = Two-staged screening =
Skrining bertahap: meningkatkan
spesifisitas. Jenis ini yang lebih sering
dipakai.
Skrining Paralel
 Positif, bila individu memberi hasil positif
untuk test yang manapun (salah satu
maupun kedua test skrining).
 Mis: skrining Ca mammae dengan
pemeriksaan fisik (PF) dan mammografi.
Sudah disebut positif bila PF saja (+), atau
mammo saja (+).
Skrining Bertahap (two-stage screening)

 Skrining tahap I: lebih murah, tidak terlalu invasif,


atau tidak terlalu mengganggu.
 Hanya mereka yang positif thd. test skrining tahap I
akan mendapat test skrining tahap II.
 Skrining tahap II diharapkan dapat mengurangi
positif palsu (false positive).
 Contoh:
 Diabetes: test I gula darah, test II glucose
tolerance test (GTT)
 HIV: test I Elissa, test II Western blot
Contoh perhitungan skrining bertahap

Diketahui: Prevalens Diabetes Mellitus (DM) = 5%. Besar


populasi = 10.000

Test I (Gula Darah)

DM Total
Pos (+) Neg (-) SN = 350/500 = 70%
Hasil Pos (+) 350 1900 2250
test Neg (-) 150 7600 7750 SP = 7600/9500 = 80%
500 9500 10000

Test II (Glucose Tolerance Test)

DM Total
Pos (+) Neg (-) SN = 315/350 = 90%
Hasil Pos (+) 315 190 505
Test Neg (-) 35 1710 1745 SP = 1710/1900 = 90%
350 1900 2250

Net SN = 315/500 = 63% (mereka yang betul-betul positif


diantara yang didiagnosa secara klinis
sebagai DM)

Net SP = (7600 + 1710) / 9500 = 98% (mereka yang betul-betul


negatif diantara yang didiagnosa secara
klinis sebagai bukan DM). SP meningkat
Hubungan antara Prevalens dengan PPV

 PPV akan meningkat bila Prevalens penyakit meningkat.


 Artinya: PPV akan meningkat (lebih baik) bila skrining
dilakukan pada populasi yang “high-risk” dibandingkan pada
populasi yang “low-risk”.

Ilustrasi hubungan Prevalens dengan Positive Predictive Value (PPV):

Diketahui SN = 99% dan SP = 95%

Prevalens Hasil test Sakit Tdk Sakit Total PPV


+ 99 495 594 99/594
1% - 1 9405 9406 =17%
Total 100 9900 10000
+ 495 475 970 495/970
5% - 5 9025 9303 =51%
Total 500 9500 10000
Hubungan antara SP dengan PPV
 PPV sangat dipengaruhi oleh SP, tetapi tidak terlalu dipengaruhi
oleh SN dari suatu metoda skrining.
 Makin tinggi SP, maka PPV akan meningkat (lebih baik). Hal ini
terutama terjadi bila Prevalens dari penyakit yg di-skrin rendah.

Ilustrasi hubungan Spesifitas (SP) dengan Positive Predictive Value (PPV):

Diketahui Prevalens = 10% dan SN = 100%

SP Hasil test Sakit Tdk Sakit Total PPV


+ 1000 2700 3700 1000/3700
70% - 0 6300 6300 =27%
Total 1000 9000 10000
+ 1000 450 1450 1000/1450
95% - 0 8550 8550 =69%
Total 1000 9000 10000
 Source: Gerstman
 Page 91: 3.2
 Page 96: 3.20, 3.22, 3.23
 Page 244:

Anda mungkin juga menyukai