TATA URUTAN NORMA

HUKUM
 PERLUKAH TATA URUTAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DIATUR SECARA
KHUSUS?
TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN KADANG TIDAK DIATUR SECARA KHUSUS DALAM SUATU
SISTEM HUKUM, HANYA SECARA TERSIRAT
MISAL: THE US CONSTITUTION IS THE SUPREME LAW OF THE LAND

KENAPA TIDAK DIATUR SECARA KHUSUS?

ADA KONSEKUENSI APABILA PUU DIATUR DALAM TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
- KARENA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HARUS MENDASARKAN PADA PERATURAN YANG
LEBIH TINGGI TINGGI TINGKATANNYA. JIKA TIDAK MAKA BATAL DEMI HUKUM ATAU DAPAT
DIBATALKAN
- HUKUM TIDAK HANYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERTULIS NAMUN ADA JUGA
YANG TIDAK TERTULIS
 MENGAPA DI INDONESIA DIATUR SECARA
KHUSUS MENGENAI TATA URUTAB
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN?
• ADANYA KEKACAUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN PADA MASA ORDE LAMA BAIK TENTANG
KEWENANGAN, MACAM, ISI, MAUPUN TATA CARA
PEMBUATANNYA
• BANYAK TERDAPAT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
LUAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DIKENAL
• USAHA PENERTIBAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
YANG ADA DALAM PRAKTEK.
 PERLUNYA TATA URUTAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
STIMULAN LAHIRNYA TAP MPRS XX/1966 YANG BERASAL DARI MEMORANDUM
DPRGR ADALAH UNTUK MENERTIBKAN KEKACAUAN SISTEM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN PADA MASA ORDE LAMA, BAIK TENTANG
KEWENANGANNYA, MACAM, ISI, MAUPUN TATA CARA PEMBUATANNYA.

PADA SAAT INI TUJUAN TERSEBUT TETAP DIPERLUKAN KARENA KEKACAUAN

SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERJADI, BANYAK
PERATURAN KEBIJAKAN YANG BERSUMBER PADA ASAS KEBEBASAN
BERTINDAK/DISKRESI/FREIES ERMESSEN YANG MEMPENGARUHI TERTIB
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
SECARA TEORITIK TATA URUTAN PERATURAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT DENGAN AJARAN HANS KELSEN TENTANG STUFENBAU
DES RECHT, BAHWA KAIDAH HUKUM MERUPAKAN SUATU SUSUNAN
BERJENJANG, KAIDAH HUKUM YANG LEBIH RENDAH BERSUMBER PADA YANG
LEBIH TINGGI
AJARAN INI TERKAIT DENGAN TEORI MURNI TENTANG HUKUM BAHWA HUKUM
ADALAH COMMAND OF THE SOVERIGN (KEHENDAK DARI YANG BERKUASA).
HUKUM TIDAK LAIN ADALAH SISTEM HUKUM POSITIF YANG DIBUAT PENGUASA.
HUKUM POSITIF DAPAT BERUPA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(GENERAL NORM) DAN PUTUSAN PENGADILAN (INDIVIDUAL NORM). KARENA
TIDAK MUNGKIN MENEMPATKAN PUTUSAN HAKIM DALAM TATA URUTAN,
MAKA TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ADALAH GENERAL
NORM
PANDANGAN INI DIPERKUAT OLEH KELSEN BAHWA OBJEK KAJIAN HUKUM
ADALAH ISI HUKUM POSITIF
 PENGERTIAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN MENURUT HANS KELSEN YAITU:

KESATUAN NORMA (THE UNITY OF NORMS) YANG TERBENTUK BERDASARKAN

SISTEM ANAK TANGGA DARI SUATU TATA HUKUM (STAIRWAY OF THE LEGAL ORDER),
DIMANA NORMA YANG LEBIH RENDAH DITENTUKAN OLEH NORMA LAIN YANG
DICIPTAKAN OLEH NORMA YANG LEBIH TINGGI (THE NORM-THE LOWER ONE IS
DETERMINED BY ANOTHER-THE HIGHER-THE CREATION OF WHICH OF DETERMINED BY
STILL HIGHER NORM).
PEMBUATAN HIRARKI INI TERMANIFESTASI DALAM
BENTUK REGRESSUS DARI SISTEM HUKUM YANG
LEBIH TINGGI KE SISTEM HUKUM YANG LEBIH
RENDAH. PROSES INI SELALU MERUPAKAN PROSES
KONKRETISASI DAN INDIVIDUALISASI.
 STUFENTHEORIE

• TEORI JENJANG NORMA HUKUM DIKEMUKAKAN HANS KELSEN

• NORMA HUKUM BERJENJANG-JENJANG DAN BERLAPIS-LAPIS
DALAM SUATU HIERARKI TATA SUSUNAN, DIMANA NORMA YANG
LEBIH RENDAH BERLAKU, BERSUMBER DAN BERDASAR PADA
NORMA YANG LEBIH TINGGI; NORMA YANG LEBIH TINGGI
BERLAKU, BERSUMBER, DAN BERDASAR PADA NORMA YANG LEBIH
TINGGI LAGI, DEMIKIAN SETERUSNYA SAMPAI PADA SUATU NORMA
YANG TIDAK DAPAT DITELUSURI LEBIH LANJUT DAN BERSIFAT
HIPOTESIS DAN FIKTIF YAITU NORMA DASAR GRUNDNORM
 PERKEMBANGAN STUFENBAU THEORIE

• OLEH HANS NAWIASKY

SELAIN TERSUSUN SECARA BERJENJANG DAN BERLAPIS DALAM SUATU TATA
SUSUNAN YANG BERSIFAT HIERARKIS, NORMA2 HUKUM JUGA BERKELOMPOK-
KELOMPOK. DALAM SUATU NEGARA TERDIRI DARI 4 (EMPAT) LAPIS
KELOMPOK NORMA HUKUM, YAITU:
1. STAATSFUNDAMENTALNORM;
2. STAATSGRUNDGESETZ;
3. FORMELL GESETZ; DAN
4. VERORDNUNG & AUTONOME SATZUNG.
 STAATSFUNDAMENTALNORM
(NORMA FUNDAMENTAL NEGARA)

 NORMA TERTINGGI SUATU NEGARA YANG TIDAK DIBENTUK OLEH

SUATU NORMA LEBIH TINGGI LAGI
 NORMA INI DITETAPKAN LEBIH DULU OLEH MASYARAKAT
(PRESUPPOSED) DAN MERUPAKAN NORMA TEMPAT BERGANTUNGNYA
NORMA HUKUM DI BAWAHNYA.
 LANDASAN FILOSOFIS BAGI PENGATURAN LEBIH LANJUT
PENYELENGGARAAN NEGARA; DAN
 SUMBER DAN DASAR BAGI PEMBENTUKAN KONSITITUSI ATAU UUD
SUATU NEGARA ( STAATS-GRUNDGESETZ.)
-- INDONESIA: PANCASILA, PEMBUKAAN UUD 1945.
 STAATSGRUNDGESETZ

-- ATURAN DASAR NEGARA

 BERSIFAT GENERAL DAN GARIS BESAR;
 BERBENTUK NORMA HUKUM TUNGGAL;
 ATURAN MENGENAI PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA;
 ATURAN MENGENAI HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
 ATURAN MENGENAI HUBUNGAN ANTARA NEGARA DAN WARGA
NEGARA; DAN
 SUMBER DAN DASAR BAGI PEMBENTUKAN FORMELL GESETZ.
-- INDONESIA: BATANG TUBUH UUD 1945
 FORMELL GESETZ

-- UNDANG-UNDANG FORMAL
 BERSIFAT SPESIFIK DAN RINCI;
 BERBENTUK NORMA TUNGGAL ATAU BERPASANGAN;
 PRODUK DARI KEWENANGAN LEGISLATIF;
 SUMBER DAN DASAR BAGI PEMBENTUKAN VERORDNUNG DAN
AUTONOME SATZUNG.
-- INDONESIA: UNDANG-UNDANG
 VERORDNUNG SATZUNG

-- PERATURAN PELAKSANAAN (BERSUMBER DARI KEWENANGAN

DELEGASI)
PERAT. PER-UU-AN YANG DIBENTUK OLEH LEMBAGA PEMERINTAH
BERDASARKAN KEWENANGAN SUATU ORGAN UNTUK MEMBENTUK
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MERUPAKAN LIMPAHAN
KEWENANGAN DARI PERATURAN YANG LEBIH TINGGI
TUJUAN DARI PELIMPAHAN KEWENANGAN PENGATURAN INI ADALAH
AGAR KETENTUAN2 DALAM UU ATAU PERAT. YANG LEBIH TINGGI ITU BISA
IMPLEMENTATIF.
-- INDONESIA: PERATURAN PEMERINTAH, PERATURAN PRESIDEN,
PERATURAN MENTERI.
 AUTONOME SATZUNG

-- PERATURAN OTONOM (BERSUMBER DARI KEWENANGAN ATRIBUSI)

PERAT. PER-UU-AN YANG DIBENTUK BERDASARKAN KEWENANGAN
ORGAN/LEMBAGA UNTUK MEMBENTUK PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG DIDASARKAN PADA KEKUASAAN YANG ADA PADANYA
YANG DIDASARKAN PADA UUD ATAU UU YANG MEMBENTUKNYA
TUJUAN DARI PEMBERIAN KEWENANGAN PENGATURAN INI ADALAH
SEBAGAI ALAT BAGI LEMBAGA PEMERINTAH TERSEBUT DALAM
MENYELENGGARAKAN KEWENANGAN PEMERINTAHAN YANG DIATUR
DALAM UU ITU.
-- INDONESIA: PERATURAN BI, DAN PERAT. LEMBAGA2
PEMERINTAHAN PENUNJANG LAINNYA.
STUFFENBAU THEORIE (HANS KELSEN &HANS NAWIASKY)
RUANG NOMA (SPATIAL NORM) ATAU DERAJAT
POSISI NORMA DALAM HIRARKI

• NORMA SUPERIOR
• NORMA INFERIOR
 NORMA SUPERIOR

• NORMA YANG MENENTUKAN PEMBENTUKAN NORMA LAIN. NORMA SUPERIOR

INI MENENTUKAN CARA KERJA DOELMATIGE ARBEIDSVERDELING” (TUJUAN
MEMBAGI PEKERJAAN) AKIBAT PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM DAN JUGA
MENENTUKAN SUBSTANSI NORMA LAIN YANG LEBIH RENDAH (NORMA
INFERIOR) TERBENTUK.
• NORMA SUPERIOR MERUPAKAN PEGANGAN ATAU RUJUKAN BAGI NORMA
INFERIOR.
• NORMA INFERIOR MERUPAKAN SUB-ORDINASI TERHADAP NORMA SUPERIOR.
 NORMA INFERIOR

ADALAH NORMA YANG DIBUAT DARI DERIVASI NORMA SUPERIOR. NORMA

INFERIOR INI MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM (RECHTSKRACHT) YANG RELATIF,
KARENA MASA BERLAKUNYA SUATU NORMA (TIJDGEBIED) SUATU NORMA
TERGANTUNG PADA NORMA DI ATASNYA (NORMA SUPERIOR). DALAM HAL HUKUM
YANG DI ATASNYA DICABUT, MAKA NORMA HUKUM YANG ADA DI BAWAHNYA
(NORMA INFERIOR) TERCABUT PULA.
• HANS KELSEN MENYEBUT SISTEM PERJENJANGAN NORMA MEMILIKI KARAKTER
DINAMIS. SEBUAH NORMA HUKUM MENJADI ABASH (VALID) JIKA IA DICIPTAKAN
DENGAN CARA TERTENTU YANG DITENTUKAN OLEH NORMA HUKUM YANG
LEBIH TINGGI. HINGGA PADA AKHIRNYA CARA PEMBENTUKAN NORMA INI DAPAT
KITA TEMUKAN DALAM NORMA DASAR (GRUNDNORM).

• MESKIPUN BERKARAKTER DINAMIS, SEBUAH NORMA HUKUM JUGA MENGANDUNG

KARAKTER STATIS. KARENA ISINYA MERUPAKAN PERLUASAN DARI NORMA HUKUM
DI ATASNYA.
 MAKNA NORMA STATIS

ADALAH SISTEM YANG MELIHAT NORMA PADA ISINYA, SEBUAH NORMA SAH
BERDASARKAN KEKUATAN ISINYA. SUATU NORMA UMUM DAPAT DITARIK
MENJADI NORMA-NORMA KHUSUS.
ISI NORMA YANG KHUSUS/LEBIH RENDAH DAPAT DILACAK KEBENARANYA PADA
NORMA YANG UMUM/LEBIH TINGGI.
PADA INTINYA ASPEK STATIS INI MENGHARUSKAN ISI SEBUAH NORMA MEMILIKI
KESAMAAN DENGAN NORMA DI ATASNYA, BENTUKNYA MERUPAKAN
KEKHUSUSAN DARI NORMA DI ATASNYA YANG MASIH UMUM DAN ABSTRAK.
 MAKNA NORMA DINAMIS

ADALAH SISTEM YANG MELIHAT PADA BERLAKUNYA SUATU NORMA ATAU DARI CARA
PEMBENTUKANYA ATAU PENGHAPUSANYA.

SEBUAH NORMA AKAN MEMBERIKAN SUATU OTORITAS KEPADA YANG AKAN MENCIPTAKAN
NORMA BARU.

PADA INTINYA, DALAM ASPEK DINAMIS INI NORMA DASAR MEMBERIKAN KEWENANGAN KEPADA
SEBUAH ORGAN UNTUK MEMBENTUK NORMA BARU, KEMUDIAN NORMA YANG DIBUAT ORGAN
TERSEBUT MEMBERIKAN KEWENANGAN KEPADA ORGAN DIBAWAHNYA UNTUK MEMBENTUK
NORMA LAGI.
 ASAS-ASAS HIRARKI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

• LEX SUPERIOR DEROGAT LEGE INFERIORI

• LEX SPECIALIS DEROGAT LEGE GENERALI
• LEX POSTERIOR DEROGAT LEGE PRIORI
• RES JUDICATA PRO VERITATE HABETUR (PREASUMTIO IUSTAE CAUSA)
• LEX DURA, SED TAMEN SCRIPTA (UU TIDAK DAPAT DIGANGGU GUGAT)
• DIE NORMATIEVEN KRATF DES FAKTISCHEN

( PERBUATAN BERULANG-ULANG AKAN MEMBERI KEKUATAN NORMATIF)

• NONRETROACTIVE
 SEJARAH PERKEMBANGAN
JENIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA
 JENIS PERATURAN ZAMAN HINDIA BELANDA

1. WET
2. ALGEMENE MAATREGEL VAN BESTUUR (AMVB)
3. ORDONNANTIE
4. REGERINGSVERORDENING

• WET DIBENTUK DI BELANDA OLEH REGERING DAN STATEN GENERAAL

(PARLEMEN) DENGAN NASIHAT RAAD VAN STATE (DPA). BERLAKU DI BELANDA
DAN HINDIA BELANDA
CTH: WETBOEK VAN STRAFRECHT (KUHP); WETBOEK VAN KOOPHANDEL (KUHD);
BURGELIJK WETBOEK (KUH PERDATA)
• ALGEMENE MAATREGEL VAN BESTUUR DIBENTUK DI BELANDA OLEH KROON
(RAJA/RATU) DAN MENTERI DENGAN NASIHAT RAAD VAN STATE. BERLAKU DI
BELANDA DAN HINDIA BELANDA. AMVB SETARA DENGAN UU.
• ORDONNANTIE DIBENTUK DI JAKARTA (BATAVIA) OLEH GUBERNUR JENDERAL
DAN VOLKSRAAD (DEWAN RAKYAT) BERLAKU DI HINDIA BELANDA. CTH:
HINDER ORDONNANTIE (IZIN GANGGUAN). SETARA DENGAN UU
• REGERINGVERORDENING (RV): DIBENTUK DI JAKARTA (BATAVIA) OLEH
GUBERNUR JENDRAL BERLAKU DI HINDIA BELANDA. SETARA DENGAN
PERATURAN PEMERINTAH
 PASCA KEMERDEKAAN DAN MASA ORDE
LAMA
TAHUN 1945-1949
• DI SAMPING UU, PERATURAN PEMERINTAH DAN PERPU TERDAPAT JUGA PERATURAN PRESIDEN
DAN MAKLUMAT YANG PADA HAKEKATNYA ADALAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PADA MASA ORDE LAMA
• DIKENAL PERPRES DAN PENPRES YANG DIBENTUK PRESIDEN

DASAR HUKUM
• SURAT PRESIDEN KEPADA KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT NO. 3639/HK/59, 26 NOVEMBER
1959 TTG PENJELASAN ATAS BENTUK PERATURAN NEGARA; ‘SETELAH DIKELUARKANNYA
DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 PRESIDEN MEMPUNYAI KEWENANGAN LUAR BIASA UNTUK
MENGATUR/BERTINDAK
• PASAL IV AP: SEBELUM MPR, DPR, DAN DPA DIBENTUK KEKUASAAN DILAKSANAKAN OLEH
PRESIDEN
• BENTUK-BENTUL PERATURAN NEGARA MENURUT SURAT PRESIDEN KEPADA KETUA DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT NO. 3639/HK/59, 26 NOVEMBER 1959:
1. UNDANG-UNDANG
2. PERATURAN PEMERINTAH
3. PERPU
4. PENETAPAN PRESIDEN
5. PERATURAN PRESIDEN
6. PERATURAN PEMERINTAH UNTUK MELAKSANAKAN PERATURAN PRESIDEN
7. KEPUTUSAN PRESIDEN
8. PERATURAN/KEPUTUSAN MENTERI
• PENPRES ADALAH UNTUK MELAKSANAKAN DEKRIT 5 JULI 1959
• MERUPAKAN WEWENANG YANG LUAR BIASA BERDASARKAN PASAL IV AP UUD 1945
• PERPRES DIDASARKAN PADA PASAL 4 AYAT 1 UUD 1945 DAN UNTUK MELAKSANAKAN
PENPRES
• TERDAPAT KETIDAKSERAGAMAN DALAM HAL PERATURAN PEMERINTAH (ADA YANG UNTUK
 MASA ORDE BARU
• TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966; SUMBER TERTIB HUKUM REPUBLIK INDONESIA DAN TATA
URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA
• BERTUJUAN UNTUK MENERTIBKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG ADA PADA
MASA ORDE LAMA KHUSUSNYA MENGENAI PENPRES DAN PERPRES
DALAM LAMPIRAN 2 TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966 DINYATAKAN MENGENAI BENTUK DAN TATA
URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN RI YG TERDIRI ATAS:
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. PP
5. KEPPRES
6. PERATURAN PELAKSANA LAINNYA SEPERTI PERATURAN MENTERI; INSTRUKSI MENTERI, DLL
 CATATAN ATAS TAP MPRS XX/1966
• PERISTILAHAN : TATA URUTAN? BENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN?
• INKONSISTENSI PENGGUNAAN PERISTILAHAN (PERATURAN PERUNDANGAN.
PERUNDANG-UNDANGAN, PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN)
• MENGATUR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI TINGKAT PUSAT SAJA
• TAP MPR ADA YANG EENMAHLING ADA YANG DEURHAFTIG?
• KEPPRES: ADA YANG BERSIFAT PENETAPAN ADA YANG BERSIFAT MENGATUR
• INSTRUKSI MENTERI, APAKAH TERMASUK PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN?
• KATA ‘DAN LAIN-LAIN’?
AKIBAT ADANYA KELEMAHAN INI SEJAK TAHUN 1973 MELALUI TAP
MPR NO. V/1973 DAN TAP MPR NO. IX/1978 TELAH ADA KEINGINAN
KUAT DARI MPR UNTUK MENYEMPURNAKAN TAP PMRS NO. XX/1966

PASAL 3 AYAT (1) DAN KONSIDERAN MENIMBANG TAP MPR NO.

IX/1978
“DINYATAKAN TETAP BERLAKU DAN PERLU DISEMPURNAKAN TAP
MPRS NO. XX/1966 TENTANG MEMORANDUM DPR-GR MENGENAI
SUMBER TERTIB HUKUM RI DAN TATA URUTAB PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN RI.”
 TAP MPR NO. III/MPR/2000
• TAP MPR NO. III/MPR/2000 MENCABUT DAN MENYATAKAN TIDAK BERLAKU
KETETAPAN MPRS NO. XX/MPRS/1966 DAN KETATAPAN MPR NO. IX//MPR/1978
• JENIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
1. UUD RI TAHUN 1945
2. KETETAPAN MPR
3. UU
4. PERPU
5. PERATURAN PEMERINTAH
6. KEPUTUSAN PRESIDEN
7. PERATURAN DAERAH
• BAGAIMANA DENGAN JENIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN
SEPERTI PERATURAN MA, PERATURAN BI, KEPUTUSAN MENTERI?
• BERDASARKAN PASAL 4 AYAT (2) PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI ATAS
DIAKUI KEBERADAANNYA SEPANJANG TIDAK BERTENTANGAN DENGAN
KETENTUAN YANG TERDAPAT DALAM TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN INI.
• PERMASALAHAN; DIMANAKAH LETAK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
ATAS DALAM TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN?
 UU NO 10 TAHUN 2014
1. UUD 1945
2. UU/PERPU
3. PP
4. PERPRES
5. PERDA: PERDA PROVINSI; PERDA KABUPATEN/KOTA; PERDES
• BAGAIMANA DENGAN JENIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LAINNYA
SEPERTI PERATURAN MA; PERATURAN BI, PERATURAN BPK, DLL?
• DIAKUI KEBERADAANNYA DAN MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT
SEPANJANG DIPERINTAHKAN OLEH UU YANG LEBIH TINGGI
• PERMASALAHAN? DIMANAKAH LETAK PUU YANG LAIN DALAM TATA URUTAN
UU 12/2011 DALAM PASL 7 AYAT (1) MENETAPKAN, BAHWA
JENIS DAN HIERARKI PERAT. PER-UU-AN TERDIRI ATAS:

a. UUD 1945;
b. KETETAPAN MPR;
c. UNDANG-UNDANG/PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG;
d. PERATURAN PEMERINTAH;
e. PERATURAN PRESIDEN;
f. PERATURAN DAERAH PROVINSI; DAN
g. PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA.
SEMENTARA, PASAL 8 MENENTUKAN,
BAHWA:
• (1) JENIS PERAT. PER-UU-AN SELAIN SEBAGAIMANA
DIMAKSUD DALAM PASAL 7 AYAT (1) MENCAKUP
PERATURAN YANG DITETAPKAN OLEH MPR, DPR,
DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, MENTERI, BADAN,
LEMBAGA, ATAU KOMISI YANG SETINGKAT YANG
DIBENTUK DENGAN UU, DPRD, KEPALA DAERAH, DAN
KEPALA DESA ATAU YANG SETINGKAT.

• (2) PERAT. PER-UU-AN SEBAGAIMANA DIMAKSUD

PADA AYAT (1) DIAKUI KEBERADAANNYA DAN
MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT
SEPANJANG DIPERINTAHKAN OLEH PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI ATAU
DIBENTUK BERDASARKAN KEWENANGAN.