Anda di halaman 1dari 44

MATERI PERKULIAHAN

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
KONTRAK PERKULIAHAN

1. HADIR KULIAH MINIMAL 75 %


2. MENGUMPULKAN TUGAS PADA TEPAT
WAKTUNYA
3. WAKTU KULIAH HP TIDAK DIAKTIFKAN
4. DATANG KULIAH TEPAT WAKTU,
TOLERANSI KETERLAMBATAN PALING
LAMA 15 MENIT
ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

Ilmu pengetahuan perundang-undangan


(Gesetzgebungswissenschaft) merupakan suatu
cabang ilmu yang pada mulanya berkembang di
Eropa Barat, terutama di Jerman.

Tokoh-tokoh utamanya: Peter Noll, Jurgen Rodig,


Burkhardt krems, dan Werner Maihofer. Di Belanda
tokoh-tokohnya antara lain S.O Van Poelje dan
W.G. Van der Velden.
Menurut Burkhardt Krems, Ilmu pengetahuan
perundang-undangan merupakan ilmu yang
interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik
dan sosiologi yang secara garis besar dapat dibagi
menjadi dua bagian besar, yaitu:

1. Teori perundang-undangan (Gesetzgebungstheorie),


yang berorientasi pada mencari kejelasan dan
kejernihan makna, atau pengertian2, dan bersifat
kognitif.

2. Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebunglehre),


yang berorientasi pada melakukan perbuatan dalam
hal pembentukan peraturan perundang-undangan,
dan bersifat normatif.
Istilah perundang-undangan (Legislation, wetgeving, atau
Gesetzgebung) mempunyai dua pengertian berbeda, yaitu:

1. perundang-undangan merupakan proses


pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan
negara, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat
daerah.
2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara,
yang merupakan hasil pembentukan peraturan2, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Apabila kita membicarakan Ilmu perundang-undangan,


maka kita membahas pula proses
pembentukan/pembuatan membentuk peraturan-
peraturan negara, dan sekaligus seluruh peraturan
negara yang merupakan hasil dari pembentukan
peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah.
 Norma adalah Suatu ukuran yang harus dipatuhi seseorang dalam
hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya
atau Suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak
atau bertingkah laku dalam masyarakat.

 Norma/kaidah merupakan pelembagaan nilai -nilai baik dan buruk


dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran atau
perintah . Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang
bersifat negatif atau positif sehingga mencakup norma anjuran
untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan norma
perintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
 Kebolehan atau dalam bahasa arab disebut ibahah, mubah.
 Anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab
disebut sunnah.
 Anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa
arab makruh.
 Perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban.
 Perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu atau dalam bahasa
arab disebut haram atau merupakan sesuatu yang dilarang.
Norma Agama

Norma
Norma Moral
Adat

Norma
Hukum Negara
HALAL, MUBAH, SUNNAH, MAKRUH, WAJIB,
NORMA AGAMA HARAM BERSUMBER DARI KITAB SUCI,
HADIS, IJMA ATAU IJTIHAD

PERINTAH MELAKUKAN SESUATU ATAU


LARANGAN MELAKUKAN SESUATU
NORMA ADAT/KEBIASAAN BERDASARKAN KEBIASAAN DALAM SUATU
KOMUNITAS

BOLEH MELAKUKAN SESUATU, ANJURAN


UNTUK MELAKUKAN SESUATU, ANJURAN
UNTUK TIDAK MELAKUKAN SESUATU
NORMA MORAL/ETIKA
BERDASARKAN PANTAS ATAU TIDAK
PANTAS
 Norma hukum bersifat heteronom sedangkan norma-
norma lainnya bersifat otonom.

 Norma hukum dapat dilekati sanksi pidana atau sanksi


pemaksa fisik lainnya sedangkan norma lainnya tidak
dapat dilekati sanksi pidana.

 Dalam norma hukum sanksi pidana dilaksanakan oleh


aparat negara sedangkan pelanggaran terhadap norma-
norma lainnya sanksi itu datang dari diri kita sendiri.
STUFENBAUTHEORIE (TEORI HIERARKI NORMA HUKUM)

1. Stufentheorie ini dikemukakan oleh Hans Kelsen, yaitu bahwa norma-


norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki tata susunan.

2. Suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai
pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
 Norma dibagi menjadi dua jenis ke dalam beberapa jenjang, yaitu
Grundnorm (sebagai jenjang norma paling tinggi) dan Norm (ke dalam
beberapa jenjang norma secara berlapis sampai pada norma yang paling
rendah).

 Grundnorm adalah sebuah norma yang dianggap sebagai norma tertinggi


dan terakhir. Keberadaannya tidak ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan,
tetapi diandaikan oleh akal budi manusia. Grundnorm tidak termasuk ke
dalam tata hukum positif, akan tetapi berada di luar atau meta-juristic dan
menjadi landasan keberlakuan tertinggi dari sebuah tatanan hukum positif.

 Grundnorm menjadi dasar/landasan keberlakuan tertinggi dari sebuah


tatanan hukum, mengapa hukum itu harus dipatuhi. Sekaligus yang
memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum harus dilaksanakan.
Namun ketidakpatuhan terhadapnya tidak terdapat sanksi. Karena itu nilai
validitas atau keabsahannya sangat abstrak dan diterima masyarakat
sebagai aksioma.
GRUNDNORM

TEORI JENJANG
TEORI ASALNYA
TATA HUKUM
SUMBER HUKUM
(STUFENBAU)
KEDUDUKAN GRUNDNORM MENURUT HANS KELSEN

Grundnorm

Norm

Norm

Norm
Norm

Norm

Norm
Norm
Norm

Norm
Norma
Dasar

Norma Norma

1
Norma Norma
Norma

2
Norma Norma Norma Norma

Norma Norma Norma Norma Norma

Norma Norma Norma Norma


Norma Norma

1. Dinamik Vertikal
2. Dinamik Horizontal
TEORI NORMA HUKUM

1. Menurut Adolf Merkl bahwa suatu norma hukum itu selalu


mempunyai dua wajah dimana suatu norma hukum itu ke atas
ia bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya,
tetapi kebawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber
bagi norma hukum yang dibawahnya sehingga suatu norma
hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang
relatif.

2. Oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu


tergantung pada norma yang berada diatasnya sehingga
apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau
dihapus, maka norma-norma hukum yang berada
dibawahnya tercabut atau terhapus pula.
NORMA
HUKUM

Masa Berlaku Relatif


Rechtskraft

NORMA
HUKUM

Rechtskraft Masa Berlaku Relatif

NORMA
HUKUM
TEORI NORMA HUKUM

1. Hans Nawiasky mengemukakan bahwa suatu norma


hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, dimana norma yang berada
dibawah berlaku, berdasar dan bersumber pada norma
yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang
tertinggi yang disebut norma dasar.

2. Selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang,


norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-
kelompok.
NORMA HUKUM MENURUT HANS NAWIASKY

Staatfundamentalnorm

Staatgrundgesetz

Formele Gesetz

Verordnung
&
Autonome Satzung
KELOMPOK NORMA

Staatsfundamentalnorm (Norma
KELOMPOK I
Fundamental Negara).

Staatsgrundgesetz (Aturan, Norma


KELOMPOK II
Dasar/Pokok Negara).

Formell Gesetz (Undang-undang


KELOMPOK III
‘formal’).

Verordnung & Autonome Satzung


KELOMPOK IV
(Aturan Pelaksana & Aturan Otonom).
 Norma fundamental negara adalah merupakan norma tertinggi
dalam suatu negara yang eksistensinya tidak dibentuk oleh
suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi pre-supposed atau
ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu
negara dan merupakan suatu norma yang menjadi tempat
bergantungnya norma-norma hukum yang berada di
bawahnya.

 Isi Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan


dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar
suatu negara termasuk norma pengubahannya. Hakikat
hukumnya adalah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi.
Staatsfundamentalnorm adalah landasan filosofis bagi suatu
negara yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi
pengaturan lebih lanjut.
 Norma dari Aturan Dasar/Pokok Negara merupakan
aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan
aturan-aturan umum yang masih bersifat garis besar
sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum
disertai norma sekunder.

 Di dalam Staatsgrundgesetz ini biasanya diatur hal-hal


mengenai pembagian kekuasaan negara di puncak
pemerintahan, dan selain itu juga diatur hubungan antara
lembaga-lembaga negara serta diatur juga persoalan
HAM serta hubungan antara negara dan warga
negaranya.
ATURAN DASAR/POKOK NEGARA
(STAATSGRUNDGESETZ)

 Dalam konteks Indonesia maka Aturan Dasar/Pokok


Negara ini tertuang dalam Batang Tubuh Undang-Undang
Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis permusyawaratan
Rakyat, serta dalam Konvensi Ketatanegaraan.

 Isi penting bagi Aturan Dasar, selain garis-garis besar


atau pokok kebijaksanaan negara, juga terutama aturan-
aturan untuk memberlakukan dan memberikan kekuatan
mengikat kepada norma-norma hukum Peraturan
Perundang-undangan, atau dengan perkataan lain
menggariskan tata cara membentuk Peraturan
Perundang-undangan yang mengikat umum.
 Norma-norma dalam suatu undang-undang sudah
merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci
serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat.

 Norma-norma hukum dalam undang-undang ini tidak


saja hanya norma yang bersifat tunggal, tetapi norma-
norma hukum itu sudah dapat dilekati oleh norma
sekunder di samping norma primernya, sehingga suatu
undang-undang sudah dapat mencantumkan norma-
norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana
maupun sanksi pemaksa.
Peraturan Pelaksanaan (Verordnung) dan Peraturan
Otonom (Autonome Satzung) merupakan peraturan yang
terletak di bawah undang-undang yang berfungsi
menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-
undang atau peraturan yang ada di atasnya dalam hirarki
peraturan perundang-undangan.
Produk pengambilan keputusan hukum
yang berisikan norma-norma yang
H Hukum merupakan bersifat umum dan abstrak (general
produk pengambilan and abstract) yang bersifat mengatur
keputusan yg ditetapkan (regeling) disebut peraturan (regel)
oleh fungsi2 kekuasaan
U negara yang mengikat
subjek hukum Produk pengambilan keputusan
hukum yang berisikan norma-norma
yang bersifat individual, final dan
K konkret dapat merupakan keputusan
yang bersifat atau berisi penetapan
administratif berupa ketetapan atau
keputusan (beschikkings).
U Hak dan Kewajiban
dalam substansi Norma
Hukum :
-Larangan (prohibere) Produk pengambilan keputusan
M -Keharusan (obligatere) hukum di Pengadilan atas suatu
perkara hukum yaitu berupa vonnis
-Kebolehan (permittere)
atau putusan hakim
Peraturan Perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan.
Zaman Hindia Belanda

Jenis Peraturan Fungsi/substansi

merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat


oleh Ratu dan menteri-menteri dengan mendapat
ALGEMENE MAATREGEL
nasehat Parlemen di Negeri Belanda yang juga berlaku
van BESTUUR (AMvB)
di Belanda dan Hindia Belanda. AMvB ini di Indonesia
memiliki kedudukan dan fungsi yang sama dengan UU.

merupakan peraturan perundang-undangan yang


ORDONNANTIE
dibentuk oleh Gubernur Jenderal dan Volksraad dan
berlaku bagi wilayah Hindia Belanda.

REGERINGSVERORDENIN merupakan peraturan perundang-undangan yang


G (Rv) dibentuk oleh Gubernur Jenderal dan berlaku di Hindia
Belanda.
JENIS-JENIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Awal Kemerdekaan Era Orde Baru Era Reformasi


Sampai Era Orde Lama

UUD 1945, Maklumat, Dekrit Mengacu kepada TAP Mengacu kepada TAP
Presiden, Supersemar, MPRS No. XX/MPRS/1966 MPR No. III/MPR/2000,
Peraturan Presiden, yaitu UUD 1945, TAP UU No. 10 Tahun 2004,
Penetapan Presiden, UU dan MPR, UU, PERPU, PP, UU No. 12 Tahun 2011,
Peraturan Lainnya KEPPRES, Peraturan yaitu UUD 1945, TAP
Menteri, Instruksi Menteri, MPR, UU, Perppu, PP,
dan lain-lainnya Perpres, Keppres, Perda,
Peraturan Menteri,
Peraturan Gubernur
Peraturan BI, Kapolri,
Peraturan MA, Peraturan
MK, Peraturan Gubernur,
Bupati/Walikota, Peraturan
Desa, dan Peraturan2
Lembaga Negara Lainnya.
TAP MPRS NO. TAP MPR NO. UU NO. 10 TAHUN Pasal 7 ayat (1) UU
XX/MPRS/1966 III/MPR/2000 2004 NO. 12 TAHUN 2011
UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945
TAP MPR TAP MPR UU/PERPU TAP MPR
UU/PERPU UU PP UU/PERPU
PP PERPU PERPRES PP
KEPPRES PP PERDA PERPRES
PERATURAN KEPPRES PERDA PROVINSI
PELAKSANA, PERDA PERDA
- Peraturan Menteri KABUPATEN/KOTA
- Instruksi Menteri
- Dan lain-lainnya
Fungsi Legislasi Orde Lama

1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan membubarkan konstituante dan


pemberlakuan kembali UUD 1945;
2. Penerapan demokrasi terpimpin dan terjadinya praktek penyimpangan dalam
penyelenggaraan pemerintahan yg tidak sesuai dengan UUD 1945:
- Adanya jabatan perdana menteri yang melekat pada diri Soekarno selain
jabatannya sebagai Presiden.
- Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup (TAP MPRS No.
III/1960).
- Mengangkat Ketua MA dan lembaga negara lainnya sebagai penasehat
presiden dengan kedudukan setingkat menteri.
- Membubarkan DPR pada tahun 1960 dengan membentuk DPRGR.
- Menolak penerapan prinsip pemisahan kekuasaan, kesetaraan lembaga
negara dan check and balances.
Fungsi Legislasi Orde Lama

1. Meskipun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri berlakunya UUDS 1950 dan sistem
pemerintahan parlementer, fungsi legislasi tetap dilakukan dalam pola pembahasan
bersama antara presiden dan DPR.

2. Fungsi legislasi dalam praktek sesungguhnya sangat didominasi oleh Presiden


malahan terkait dengan Peraturan Tata Tertib DPR-GR sebagai proses internal
pengaturan dalam pelaksanaan fungsi legislasi ditetapkan melalui Perpres No. 14
Tahun 1960 ttg Tatib DPR-GR.

3. Pasal 103 Perpres No. 14 ttg Tatib DPR-GR :


(1) Keputusan sedapat mungkin dilakukan dengan kata mufakat.
(2) Jika kata mufakat termaksud dalam ayat (1) pasal ini tidak tercapai, maka pendapat-
pendapat yang dikemukakan dalam musyawarah disampaikan kepada presiden.
(3) Presiden mengambil keputusan dengan memperhatikan pendapat-pendapat
termaksud pada ayat (2) pasal ini.

4. Presiden Soekarno banyak menggunakan Peraturan Presiden dan Penetapan


Presiden sebagai instrumen pengaturan penyelenggaraan pemerintahan, padahal
substansi yang diatur sebenarnya merupakan materi muatan UU.
Fungsi Legislasi Orde Baru

1. Menggunakan UUD 1945 yang memiliki karakter “executive


heavy” sebagai “legitimasi” untuk mempertahankan kekuasaan
yang otoriter.

2. Mengedepankan stabilitas politik untuk pertumbuhan ekonomi.

3. Menggunakan dukungan “ABG” dalam menjalankan


kekuasaannya yang sangat sentralistik.
Fungsi Legislasi Orde Baru

1. Warisan proses legislasi sistem pemerintahan parlementer, yaitu


Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
menjalankan legislative power dalam negara”.

2. Sentralisme fungsi legislasi di tangan Presiden dengan menggunakan


pembenaran penafsiran atas Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, yaitu:
“Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan
DPR”.

3. Peran DPR hanya pemberi “stempel setuju” sehingga hak inisiatif


DPR dalam pembentukan UU sebagaimana yang diatur dalam pasal 21
ayat (1) UUD 1945 terabaikan.

4. Pada masa awal kekuasaan Orde Baru ditetapkan TAP MPRS NO.
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber
Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI.
JUMLAH KURSI DUKUNGAN TERHADAP PRESIDEN SOEHARTO DI DPR

Pemilu Golkar PPP PDI ABRI Jumlah

Kursi % Kursi % Kursi % Kursi %

1971 236 51 94 20 30 7 100 22 460

1977 232 50 99 22 29 6 100 22 460

1982 242 53 94 20 24 5 100 22 460

1987 299 60 61 12 40 8 100 20 500

1992 282 62 62 12 56 11 100 20 500

1997 325 65 89 18 11 2 75 15 500


Sebelum Amandemen
UUD 1945
Fungsi Legislasi Era Reformasi

S
I
Purifikasi Sistem Presidensial
A S
M T 1. Pemilihan Presiden/Wkl.
A E Presiden secara langsung (Psl.
1. HISTORIS 6A UUD 1945).
N M
D 2. SUBSTANTIF 2. Menentukan secara tegas
E P periodisasi jabatan (Psl. 7 UUD
3. FILOSOFIS 1945).
M E
E 4. TEORETIS M 3. Memperjelas syarat dan
N E mekanisme “impeachment” (Psl.
5. YURIDIS
R 7A & 7B UUD 1945)
U 6. POLITIK- I
4. Larangan Presiden
U PRAKTIS N membubarkan DPR (Psl. 7C
D T UUD 1945).
A
5. Memperbarui dan menata ulang
H eksistensi MPR (Psl. 2-3 UUD
A 1945).
N
ALASAN MELAKUKAN AMANDEMEN UUD 1945

1. Alasan Historis, sifat kesementaraan UUD 1945 sebagaimana yang dikatakan oleh Soekarno
bahwa: “UUD ini sekedar bersifat sementara/UUD kilat”. Secara yuridis sifat kesementaraan
ini dapat dilihat dalam Ayat (2) Aturan Tambahan UUD 1945.
2. Alasan Substantif, adanya sejumlah kelemahan2 di dalam UUD 1945, seperti struktur
ketatanegaraan yg sangat executive heavy sehingga tidak ada check and balances serta
terdapat sejumlah Pasal2 yang tidak jelas/multitafsir.
3. Alasan Filosofis, pertama, perubahan berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan
baik di tingkat nasional maupun global sehingga membutuhkan pengakomodasian dalam
bentuk perumusan UUD yg baru; kedua, sesuai dengan kodrat manusia yang selalu memiliki
kekurangan, konstitusi sebagai produk pemikiran manusia juga memiliki sejumlah kelemahan2
sehingga membutuhkan perbaikan.
4. Alasan Teoretis, adanya perkembangan praktek ketatanegaraan yang harus diakomodir oleh
UUD karena realitas bernegara harus dapat diikuti dengan pengaturan konstitusi yang dinamis
yang mampu menampung perkembangan yang ada.
5. Alasan Yuridis, setiap UUD memuat pengaturan berkaitan dengan mekanisme
perubahannya, begitu juga di Indonesia, seperti yang diatur dalam Pasal 37 UUD 1945.
6. Alasan Praktis, UUD 1945 ini sebenarnya sudah pernah mengalami perubahan tanpa adanya
pengubahan teks, seperti pernah dikeluarkannya Maklumat No. X yang mengubah kedudukan
KNIP menjadi lembaga legislatif yang sejajar dengan Presiden.
Fungsi Legislasi di Era Reformasi

1. Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan


Perwakilan Rakyat (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 Pasca Amandemen) dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan
undang-undang (Pasal 21 UUD 1945 Pasca Amandemen).

2. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-


undang (Pasal 20 Ayat 1 UUD 1945 Pasca Amandemen). Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 Ayat 2 UUD
1945 Pasca Amandemen).

3. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui


bersama untuk menjadi undang-undang. Dalam hal rancangan undang-
undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan Presiden
dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut
disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang
dan wajib diundangkan (Lihat Pasal 20 Ayat 4 dan Ayat 5 UUD 1945 Pasca
Amandemen).
P Perubahan a. Sebagai hukum dasar
R
dan tertinggi
Penetapan a. Implikasi dari
O UUD b. regeling amandemen UUD 1945
D menyebabkan
tidak lagi
MPR
memiliki
U “kewenangan untuk
K menetapkan peraturan”
di luar melakukan
a. Mengikat ke dalam dan perubahan UUD.
P Ketetapan ke luar majelis.
U MPR
(TAP MPR)
b. Oleh karena itu
T b. Bersifat beschikking dan dilakukan “review”
regeling.
U terhadap status hukum
TAP MPR yang ada.
S
A c. Berdasarkan UU No. 10
N Tahun 2004 keberadaan
TAP MPR dihilangkan
a. Mengikat ke dalam dari hirarki tata urutan
M Keputusan majelis peraturan perundang-
P MPR undangan
R
b. Bersifat beschiking
EKSISTENSI TAP MPR

Dari tahun 1960-2002


ada 139 buah TAP MPR/MPRS

TAP MPR NO. I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap


Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

a. Dasar hukum pembentukan Ketetapan MPR N0. I/MPR/2003 adalah Pasal I Aturan
Tambahan dan, Pasal I dan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang ditetapkan
oleh MPR dalam sidang Tahunan pada bulan Agustus 2002.

b. Tujuan pembentukan TAP MPR No. I/MPR/2003 adalah menentukan hal-hal yang
berhubungan dengan materi dan status hukum setiap TAP MPRS dan TAP MPR
yang masih ada saat ini, serta menetapkan bagaimana eksistensi dari TAP MPRS
dan TAP MPR tersebut untuk saat ini dan masa yang akan datang.
Pengklasifikasian TAP MPR/MPRS
TAP MPR/MPRS yang di “review”
Berdasarkan TAP MPR No. I /MPR/ 2003
Ada 8 Ketetapan yaitu 1 TAP MPRS + 7 TAP MPR,
1. TAP MPRS dan TAP MPR RI yang dicabut dan contoh: TAP MPRS No. X/MPRS/1966 tentang kedudukan
dinyatakan tidak berlaku. (Pasal 1 TAP MPR semua lembaga negara tingkat pusat dan daerah pada
No. I/MPR/2003) posisi dan fungsi yang diatur dalam UUD 1945; TAP MPR
No. III/MPR/1988 Tentang Pemilu.
2. TAP MPRS dan TAP MPR RI dinyatakan
tetap berlaku dengan ketentuan tertentu,
yaitu: TAP MPRS dan TAP MPR yang Ada 3 Ketetapan yaitu 1 TAP MPRS + 2 TAP MPR,
materi dalam pasal-pasalnya belum Contoh: TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang
selesai dilaksanakan secara pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang
keseluruhan, atau terdapat pasal-pasal di seluruh wilayah RI dan larangan setiap kegiatan untuk
yang sifatnya penetapan (beschikking) menyebarkan dan mengembangkan faham atau ajaran
dan yang bersifat pengaturan (regeling) komunis/marxisme-leninisme.
secara bersama-sama. (Pasal 2 TAP
MPR No. I/MPR/2003)
3. TAP MPR RI yang tetap berlaku sampai
Ada 8 Ketetapan MPR,
dengan terbentuknya pemerintahan hasil
Contoh: TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun
Pemilu Tahun 2004. (Pasal 3 TAP MPR No.
1999-2004.
I/MPR/2003)
4. TAP MPRS dan TAP MPR RI yang tetap Ada 11 Ketetapan, yaitu 1 TAP MPRS + 10 TAP MPR,
berlaku sampai dengan terbentuknya UU. Contoh: TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber
(Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003) hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan.
5. TAP MPR tentang peraturan tata tertib MPR RI
Ada 5 Ketetapan MPR,
dinyatakan masih berlaku sampai dengan
Contoh: TAP MPR No. II/MPR/1999 tentang peraturan tata
ditetapkannya peraturan tata tertib yang baru
tertib MPR RI
oleh MPR RI hasil pemilu tahun 2004. (Pasal 5
TAP MPR No. I/MPR/2003)
6. TAP MPRS dan TAP MPR yang tidak perlu
1. TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI, pernyataan
sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah RI dan larangan setiap
kegiatan untuk menyebarkan dan mengembangkan faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme-Leninisme.
2. Ketetapan MPR-RI No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam
Rangka Demokrasi Ekonomi.
3. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan
Ampera.
4. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas KKN.
5. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
6. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
7. Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
8. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Anda mungkin juga menyukai