Anda di halaman 1dari 24

TRANSAKSI-

TRANSAKSI YANG
DILARANG DALAM
ISLAM
PENDAHULUAN

• Dalam bidang muamalat, hukum asalnya adalah


“semua boleh kecuali ada yang melarangnya”.
Artinya semua transaksi dibolehkan kecuali ada ayat
Al Qur’an atau Sunnah yang melarangnya.
• Sedangkan dalam ibadah, hukum asalnya adalah “
semuanya haram kecuali ada dalil yang
menyuruhnya”.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
TERLARANGNYA TRANSAKSI

A. Haram zatnya (Haram li-dzatihi)


B. Haram selain zatnya (Haram li ghairihi)
C. Tidak Sah (Tidak lengkap akadnya)
Haram selain
Haram Tidak sahnya akad
zatnya
zatnya

1. Tadlis
2. Taghrir (Gharar) 1.Tidak terpenuhi
1.Babi
3. Ikhtikar rukun & syarat
2.Khamr
4. Bai’ najasy 2.Terjadi Ta’aluq
3.Bangkai
5. Riba 3.Terjadi “2 in 1”
4.Darah
6. Maysir
7. Risywah

3
A. HARAM ZAT-NYA
Transaksi ini dilarang karena objek (barang
dan/atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang.
Seperti minuman keras, bangkai, daging babi, darah
dsb. Jadi transansksi jual beli minuman keras adalah
haram, walaupun akad jual beli-nya sah.
B. HARAM SELAIN ZAT-NYA
1. Melanggar Prinsip An Taradhim minkum
• Tadlis (Unknown to one party)
Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip
kerelaan antara kedua belah pihak. Kerelaan ini dibangun atas
dasar mempunyai informasi yang sama (complete information).
Sehingga tidak ada antara pihak yang tidak mengetahui informasi
dipihak lain. Unknown to one party dalam bahasa fiqh disebut
tadlis. Tadlis terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni dalam:
1. Kuantitas
2. Kualitas
3. Harga, dan
4. Waktu Penyerahan
1. TADLIS
1.Kuantitas
Pedagang yang mengurangi takaran/timbangan barang yang dijualnya.

2.Kualitas
Penjual yang menyembunyikan cacat barang yang ditawarkannya.

3.Harga
Seorang tukang becak yang menaikkan tarif becak 10 kali lipat dari tarif
normalnya kepada turis karena ketidak tahuhannya terhadap harga
pasaran.

4.Waktu Penyerahan
Seorang konsultan yang berjanji untuk menyelesaikan proyek
dalam waktu 2 bulan untuk memenangkan tender, padahal konsultan
tersebut tahu bahwa proyek itu tidak dapat diselesaikan dalam waktu
tersebut.
B. HARAM SELAIN ZAT-NYA

2. Melanggar Prinsip La Tazhlimu wa la tuzlamu


1) Gharar (Taghrir)
2) Rekayasa Pasar dalam supply (Ikhtikar)
3) Rekayasa Pasar dalam demand (Ba’i Najasy)
4) Riba
2. GHARAR
• Gharar adalah situasi di mana terjadi incomplete
information karena adanya uncertainty to both parties
(ketidak pastian antara kedua belah pihak yang
bertransaksi). Gharar terjadi bila terjadi perubahan dari
yang bersifat pasti (certain) menjadi tidak pasti
(uncertain). Gharar dapat terjadi dalam 4 hal :
• Kuantitas: Jual beli Ijon
• Kualitas: Menjual anak sapi dalam kandungan
• Harga: ada dua harga dalam satu kontrak
• Waktu Penyerahan: Menjual barang yang sedang dicari/hilang
Bila terjadi salah satu atau lebih dari faktor-faktor di atas di
ubah dari certain menjadi uncertain, maka terjadi gharar.
3. REKAYASA PASAR DALAM SUPPLY
• Rekayasa pasar dalam supply terjadi bila seorang
produsen/penjual mengambil keuntungan diatas keuntungan
normal dengan cara mengurangi supply agar harga produk
yang dijualnya naik. Dalam istilah fiqh dikenal dengan Ikhtikar.
Ikhtikar biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier,
yakni menghambat produsen/penjual lain masuk pasar, agar ia
menjadi pemain tungal di pasar monopoli. Karena itu biasanya
orang menyamakan ikhtikar dengan monopoli dan
penimbunan, padahal tidak selalu seorang monopolois
melakukan ihtikar. Ikhtikar terjadi bila syarat-syarat di bawah
ini terpenuhi:

• Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara


menimbun stock atau mengenakan entry barriers.
• Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan
harga sebelum munculnya kelangkaan.
• Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan
keuntungan sebelum komponen 1 dan 2 dilakukan.
4. REKAYASA PASAR DALAM DEMAND (BAI’ NAJASY)

• Rekayasa pasar dalam demand terjadi bila


produsen/pembeli menciptakan permintaan palsu,
seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu
produk sehingga harga jual produk itu akan naik.
Biasanya terjadi dalam bursa saham.
5. RIBA
Dalam Fiqh dikenal ada 3 jenis riba:
1. Riba Fadl, disebut juga dengan riba buyu’ yaitu riba yang timbul akibat
pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya
(mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu
penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran ini menimbulkan ketidakjelasan
(gharar) bagi kedua belah pihak akan nilai masing-masing barang yang
dipertukarkan. Ketidakjelasaan ini menimbulkan kezaliman kepada salah satu
pihak.
Hadits Rasulullah:
Dari Abu Said Al Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda: Transaksi pertukaran
emas dengan emas harus sama takaran, timbangan dan tunai, kelebihannya adalah
riba: perak dengan perak harus sama takaran, timbangan dan tunai, kelebihannya
adalah riba: gandum dengan gandum harus sama takaran, timbangan dan tunai,
kelebihannya adalah riba, tepung dengan tepung harus sama takaran, timbangan
dan tunai, kelebihannya adalah riba, korma dengan korma harus sama takaran,
timbangan dan tunai, kelebihannya adalah riba: garam dengan garam harus sama
takaran, timbangan dan tunai, kelebihannya adalah riba. (Riwayat Muslim)

Diluar keenam jenis barang tersebut dibolehkan asal dilakukan


penyerahannya pada saat yang sama

Contoh: Dalam perbankan, riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli
valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai (spot)
2. Riba Nasi’ah
1. Riba ini disebut juga dengan riba duyun yaitu riba yang timbul akibat hutang-
piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko ( al
ghummu bi ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya ( al kharaj bi
dhaman). Transaksi seperti ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung
beban, hanya karena berjalan waktu.
2. Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
3. Imam Sarkhzi mengatakan:
‫الربا هو الفضل الخالي عن العوض المشروط في البيع‬ •
• “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut).
4. Dalam perbankan konvensional, riba nasi’ah dapat ditemui dalam pembayaran
bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan dan lain-lain. Bank
sebagai kreditur yang memberikan pinjaman mensyaratkan bunga yang
besarnya tetapn dan ditentukan terlebih dahulu diawal transaksi (fixed and
predetermined rate). Padahal nasabah yang mendapatkan jaminan itu tidak
mendapatkan keuntungan fixed and predetermined juga. Sesuatu yang bersifat
uncertain dipaksakan menjadi certain.
3. Riba Jahiliyah
1. Riba jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi dari pokok
pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman
pada waktu yang telah ditetapkan.
2. Riba jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah : ”kullu
qardin jarra manfa’ah fahuwa riba” (setiap pinjaman yang mengambil
manfaat adalah riba)
3. Dari segi penundaan waktu, riba jahiliyah digolongkan riba nasi’ah,
dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan tergolong riba fadl.
4. Tafsir Qurtuby menjelaskan:
1. “Pada zaman jahilyah para kreditur, apabila hutang telah jatuh tempo,
akan berkata kepada para debitur:”Lunaskan hutang anda sekarang, atau
anda tunda pembayaran itu dengan tambahan”. Maka pihak debitur
harus menambah jumlah kewajiban pembayaran hutangnya dan kreditur
menunggu waktu pembayaran kewajiban tersebut sesuia dengan ketentuan
baru”. (Tafsir qurtubi 2/1157)
5. Dalam perbankan konvensional, riba jahilyah ini dipraktekkan dalam
transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
6. MAYSIR (PERJUDIAN)
• Permainan yang menempatkan salah satu pihak harus
menanggung beban pihak lain akibat permainan tersebut.
• Suatu permainan atau pertandingan harus menghindari
kondisi yang menempatkan salah satu atau beberapa
pemain harus menanggung beban pemain yang lain.
• Contoh : pertandingan sepak bola, dana partisipasi dari
dana para peserta tidak boleh dialokasikan untuk
pembelian hadiah atau bonus para juara.
7. RISYWAH
• Risywah adalah perbuatan yang memberi sesuatu
kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang
bukan haknya atau disebut juga suap menyuap. Suatu
perbuatan akan dapat dikatakan sebagai risywah jika
dilakukan kedua belah pihak secara suka rela.
• Jika hanya salah satu pihak yang meminta suap dan
pihak yang lain tidak rela atau dalam keadaan terpaksa
atau hanya untuk memperoleh haknya, hal tersebut tidak
termasuk kategori risywah, melaikan pemerasan.
C. TIDAK SAH
• Suatu transaksi dapat dikatakan tidak sah dan/atau tidak
lengkap akadnya, bila terjadi salah satu atau lebih dari
faktor-faktor berikut:
• Rukun dan Syarat tidak terpenuhi
• Terjadi Ta’alluq
• Terjadi “two in one”
RUKUN DAN SYARAT
• Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu
transaksi (necessary condition). Pada umumnya, rukun
dalam mu’amalah iqtishadiyyah ada tiga:
1. Pelaku
2. Objek
3. Ijab-Qabul
• Aqad menjadi batal bila terdapat:
1. Kesalahan dan kekeliruan objek
2. Paksaan (ikrah)
3. Penipuan
• Bila rukun di atas terpenuhi, maka transaksi yang
dilakukan sah. Namun bila rukun tidak terpenuhi (baik
satu atau lebih), maka transaksi menjadi batal
RUKUN DAN SYARAT
• Syarat adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi
rukun (sufficient condition). Contohnya adalah bahwa
pelaku transaksi haruslah orang yang cakap hukum
(mukallaf).
• Bila rukun sudah terpenuhi tetapi syarat tidak terpenuhi,
maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi
tersebut menjadi fasid (rusak). Demikian menurut mazhab
Hanafi.
• Syarat tidak boleh:
• Menghalalkan yang haram
• Menharamkan yang halal
• Menggugurkan hukum
• Bertentangan dengan rukun; atau
• Mencegah berlakunya hukum
TA’ALLUQ
• Ta’alluq terjadi bila kita dihadapakan pada dua akad
yang saling dikaitkan, dimana berlakunya akad 1
tergantung dengan akad ke 2.

• Contoh: misalkan A menjual barang X seharga Rp 120


juta secara cicilan kepada B, dengan syarat bahwa B
harus kembali menjual barang X tersebut kepada A
secara tunai seharga Rp 100 juta. Transaksi seperti ini
haram, karena akad satu dikaitkan dengan akad yang
lain.
• Dalam terminolagi fiqih, kasus di atas disebut bai’ al
inah.
TWO IN ONE
• Two in one adalah kondisi di mana suatu transaksi diwadahi
oleh dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian
(gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan/berlaku.
Dalam terminologi fiqih, kejadian ini disebut dengan
shafqatain fi al shaqah.
• Two in one terjadi bila semua ketiga faktor di bawah ini
terpenuhi:
• Objek sama
• Pelaku sama
• Jangka waktu sama
• Bila satu saja dari faktor diatas tidak terpenuhi, maka two in
one tidak terjadi, dengan demikian akad menjadi sah
• Contoh: dari two in one adalah transaksi lease and purchase
(sewa-beli). Dalam transaksi ini, terjadi gharar dalam akad,
karena ada ketidakjelasan akad mana yang berlaku: akad beli
atau akad sewa. Karena itulah maka transaksi sewa-beli ini
diharamkan.
CONTOH KASUS
Seorang pegadang minyak goreng mengetahui bahwa
kebutuhan minyak pada hari raya akan meningkat. Oleh
karena itu jauh sebelum hari raya, pedagang tersebut telah
menyimpan sebagian minyaknya. Walaupun ia menyimpan
minyaknya, ia tetap menjualnya pada harga pasar.
CONTOH KASUS
Sebagai pemilik ruko pak Agung mempersilahkan pak
Bondan untuk memanfaatkan ruko tersebut tanpa dipungut
biaya sewa. Di tengah jalan pak Agung meminta pak
Bondan untuk membayar sewa pemanfaatan ruko tersebut
sebesar 25% dari keuntungan bisnisnya.
CONTOH KASUS
Seorang pedagang menawarkan dagangannya dengan dua
cara, kalau dibayar cicilan 1 tahun harganya Rp 100 ribu
per bulan, tapi kalau dibayar cash Rp 1 juta. Kemudian
konsumen membeli barang tersebut.

Anda mungkin juga menyukai