Diidentifikasi Awam
Palsu
mengungkapkan, peredaran uang palsu terjadi kapan saja,
tak bergantung pada momen tertentu. Namun, ia mengakui
bahwa kejahatan itu bisa terjadi mendekati pemilu.
BI menghitung berdasarkan rasio temuan jumlah
uang palsu berbanding dengan uang yang dikeluarkan.
Setiap 1 juta lembar, berapa uang palsu yang
ditemukan. Dalam tiga tahun terakhir, trennya
menurun.
Fenomena Uang Pada 2020, uang palsu yang ditemukan 8 lembar per 1
juta lembar uang yang dikeluarkan. Angkanya
menyusut menjadi 4 lembar per 1 juta lembar pada
Peredaran uang palsu yang mulai marak saat ini bukanlah kali pertama terjadi. Jelang pemilu,
pembagian uang tunai pada masyarakat meningkat. Hal ini berkaitan dengan politik uang
(money politic). Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira
menuturkan, peredaran uang pada masa pemilu perlu diwaspadai. Tindakan ini biasanya
dimanfaatkan untuk membeli suara masyarakat yang sering dikenal ”serangan fajar”.
”Itu masalahnya yang menerima uang masih dalam bentuk uang tunai adalah masyarakat
miskin, yang bahkan kemampuan membedakan uang asli dan palsu sering kali lemah,” ujar
Bhima. Fenomena uang palsu ini dilatarbelakangi pula faktor ekonomi. Tekanan biaya hidup
yang makin tinggi menyebabkan masyarakat rentan tertipu. Selain itu, digitalisasi di daerah
yang masih rendah turut jadi pemicu.
Politik Uang
Data Bank Dunia dalam laporan ”Melampaui Unicorn: Memanfaatkan Teknologi Digital untuk Inklusi di Indonesia”
menunjukkan kelompok rumah tangga yang makin miskin memiliki akses internet untuk keperluan berbisnis makin
rendah pula. Dalam risetnya, dari 20 persen penduduk termiskin, hanya 1 persen yang memanfaatkan internet untuk
menjalankan usahanya. Sejumlah celah yang terbuka, kata Bhima, digunakan pihak-pihak tertentu untuk menipu
masyarakat sebab sasarannya kelompok menengah ke bawah. Dampaknya, ada potensi kehilangan ekonomi yang cukup
besar. Peredaran uang palsu banyak digunakan untuk transaksi pada kalangan usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM), warung kecil, serta pasar tradisional.
”Artinya, nilai peredaran barang juga berkurang secara nilai karena adanya uang palsu. Selain itu, masalah ini juga
menurunkan tingkat kepercayaan (masyarakat) dalam transaksi,” ujar Bhima. Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara
Research Institute Piter Abdullah beranggapan, selama BI tak merespons khusus peredaran uang palsu, dapat dikatakan
fenomena ini tak berdampak signifikan bagi sektor keuangan.
”Dari dulu kalau dilihat dari angkanya, uang palsu itu masih sangat kecil sehingga tidak mengganggu dari peredaran
uang kita, apalagi (sampai) berdampak pada inflasi,” ujar Piter. Ia mengatakan, pengamanan pada tiap nominal uang
pecahan berbeda-beda. Makin tinggi nominalnya, maka pengamanannya makin ketat. Alhasil, uang pecahan Rp 50.000
dan Rp 100.000 yang berisiko dipalsukan akan makin sulit karena harus melewati pengamanan yang ketat pula.
Biasanya karakteristik uang dipalsukan mudah terlihat secara kasatmata.
Rekomendasi