Anda di halaman 1dari 13

Bank Indonesia Pastikan Uang Palsu Mudah

Diidentifikasi Awam

Ekonomi Uang & Bank


Kelompok Aldhi Indra Setiawan (10221132)

4 Desty Khoirunnisa (10221526)

Fara Diba Rinjani (10221690)

Kelvin Widyansyah Putra (11221005)

Rangga Wijaya Perkasa (11221684)


Latar Belakang

Uang memiliki peranan penting dalam kegiatan perekonomian sebagai


alat pembayaran untuk transaksi jual beli. Penting untuk memahami
pengertian, sejarah, syarat terbentuknya, jenis, dan fungsi uang dalam
kehidupan sehari-hari. Bank memiliki peran signifikan dalam lalu lintas
uang dan surat berharga, serta berfungsi sebagai tempat meminjam
uang dan menerima berbagai bentuk pembayaran seperti listrik, air, dan
telepon.
Jelang pemilihan umum, fenomena uang palsu makin
santer terdengar. Bank Indonesia memastikan bahwa uang
palsu yang beredar mudah dibedakan dengan yang asli.
Hal ini terlihat pula dari rasio temuan yang rendah antara
uang yang diragukan keasliannya dan uang yang

Fenomena Uang diterbitkan secara resmi.


Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI Marlison Hakim

Palsu
mengungkapkan, peredaran uang palsu terjadi kapan saja,
tak bergantung pada momen tertentu. Namun, ia mengakui
bahwa kejahatan itu bisa terjadi mendekati pemilu.
BI menghitung berdasarkan rasio temuan jumlah
uang palsu berbanding dengan uang yang dikeluarkan.
Setiap 1 juta lembar, berapa uang palsu yang
ditemukan. Dalam tiga tahun terakhir, trennya
menurun.

Fenomena Uang Pada 2020, uang palsu yang ditemukan 8 lembar per 1
juta lembar uang yang dikeluarkan. Angkanya
menyusut menjadi 4 lembar per 1 juta lembar pada

Palsu 2021-2022. Rasionya terus menurun menjadi 3 lembar


per 1 juta lembar hingga Agustus 2023.
Dalam kasus yang sedang ramai saat ini, Marlison
menambahkan, uang ”mutilasi” yang menggabungkan
uang palsu dan asli diproduksi dengan cara
konvensional. Hal itu mudah untuk diidentifikasi
masyarakat.
Dari segi fisik, uang palsu diproduksi dengan kertas
biasa. Uang asli yang kumal, masih bertekstur kasar,
sedangkan uang palsu cenderung licin. Teknik cetak uang

Fenomena Uang pun berbeda. Pelaku kejahatan hanya menggunakan mesin


yang dijual di pasar, sedangkan uang asli dicetak mesin
khusus yang tak dijual sembarang tempat dengan
Palsu teknologi tertinggi dan terkini.
Marlison mengatakan, mayoritas masyarakat yang tertipu
uang palsu biasanya karena ditransaksikan pada malam
hari. Pelaku memanfaatkan kelengahan seseorang untuk
mengidentifikasi uang. Targetnya biasanya orang yang
kurang awas, orang tua, dan masyarakat daerah pesisir.
Namun, pemalsuan uang sebenarnya terjadi di mana pun,

Fenomena Uang hanya rasionya yang berbeda-beda.


BI bekerja sama dengan kepolisian terus melakukan
tindakan preventif dan represif. Pencegahan dilakukan

Palsu dengan penguatan keamanan dan desain. Rata-rata


masyarakat sudah memahami bahwa uang yang
dipalsukan biasanya pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000.
Alhasil, kedua nominal itu jadi fokus utama dalam
pengamanannya. Secara represif, pihak kepolisian
memberi sanksi hukum tegas pada pelaku
Politik Uang

Peredaran uang palsu yang mulai marak saat ini bukanlah kali pertama terjadi. Jelang pemilu,
pembagian uang tunai pada masyarakat meningkat. Hal ini berkaitan dengan politik uang
(money politic). Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira
menuturkan, peredaran uang pada masa pemilu perlu diwaspadai. Tindakan ini biasanya
dimanfaatkan untuk membeli suara masyarakat yang sering dikenal ”serangan fajar”.

”Itu masalahnya yang menerima uang masih dalam bentuk uang tunai adalah masyarakat
miskin, yang bahkan kemampuan membedakan uang asli dan palsu sering kali lemah,” ujar
Bhima. Fenomena uang palsu ini dilatarbelakangi pula faktor ekonomi. Tekanan biaya hidup
yang makin tinggi menyebabkan masyarakat rentan tertipu. Selain itu, digitalisasi di daerah
yang masih rendah turut jadi pemicu.
Politik Uang
Data Bank Dunia dalam laporan ”Melampaui Unicorn: Memanfaatkan Teknologi Digital untuk Inklusi di Indonesia”
menunjukkan kelompok rumah tangga yang makin miskin memiliki akses internet untuk keperluan berbisnis makin
rendah pula. Dalam risetnya, dari 20 persen penduduk termiskin, hanya 1 persen yang memanfaatkan internet untuk
menjalankan usahanya. Sejumlah celah yang terbuka, kata Bhima, digunakan pihak-pihak tertentu untuk menipu
masyarakat sebab sasarannya kelompok menengah ke bawah. Dampaknya, ada potensi kehilangan ekonomi yang cukup
besar. Peredaran uang palsu banyak digunakan untuk transaksi pada kalangan usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM), warung kecil, serta pasar tradisional.

”Artinya, nilai peredaran barang juga berkurang secara nilai karena adanya uang palsu. Selain itu, masalah ini juga
menurunkan tingkat kepercayaan (masyarakat) dalam transaksi,” ujar Bhima. Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara
Research Institute Piter Abdullah beranggapan, selama BI tak merespons khusus peredaran uang palsu, dapat dikatakan
fenomena ini tak berdampak signifikan bagi sektor keuangan.

”Dari dulu kalau dilihat dari angkanya, uang palsu itu masih sangat kecil sehingga tidak mengganggu dari peredaran
uang kita, apalagi (sampai) berdampak pada inflasi,” ujar Piter. Ia mengatakan, pengamanan pada tiap nominal uang
pecahan berbeda-beda. Makin tinggi nominalnya, maka pengamanannya makin ketat. Alhasil, uang pecahan Rp 50.000
dan Rp 100.000 yang berisiko dipalsukan akan makin sulit karena harus melewati pengamanan yang ketat pula.
Biasanya karakteristik uang dipalsukan mudah terlihat secara kasatmata.
Rekomendasi

Seiring berjalannya waktu, modus peredaran uang palsu makin beragam.


Meski BI melakukan pencegahan, sejumlah upaya lain dapat dilakukan.
Bhima berharap, BI dapat menyediakan sarana pengaduan yang mudah,
bahkan melakukan jemput bola langsung ke masyarakat. Uang kertas kerap
dipalsukan karena warna yang kurang mencolok antarnominal. Salah satunya
pada pecahan Rp 2.000 dan Rp 20.000 yang tampak serupa sehingga
membuka celah aksi kejahatan. BI dapat melakukan diferensiasi warna yang
lebih kontras guna memperkecil modus peredaran uang palsu. Program
Director Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Esther
Sri Astuti menambahkan, BI perlu terus melakukan sosialisasi pada berbagai
media sosial. Media tersebut dianggap lebih banyak penggunanya
dibandingkan media konvensional.
Selain itu, BI dapat menciptakan uang yang
tak mudah dipalsukan. Biaya produksi uang
bisa lebih tinggi dibandingkan nilai uang itu
sendiri. ”Bahan dasar lebih mahal daripada
nilai uang itu sendiri sehingga orang tidak
mau cetak uang palsu karena biaya produksi
lebih mahal,” katanya. Terakhir, pembayaran
transaksi digital perlu terus didorong. Hal itu
akan menekan angka pemalsuan uang meski
tantangannya adalah ekosistem tersebut yang
belum terbangun.
Kesimpulan
Bank Indonesia memiliki peran penting dalam mengidentifikasi dan mencegah
peredaran uang palsu, terutama menjelang pemilihan umum. Dengan fenomena
peredaran uang palsu yang semakin marak, Bank Indonesia bekerja sama dengan
kepolisian untuk mengatasi masalah ini. Rekomendasi yang diberikan termasuk
diferensiasi warna uang dan sosialisasi melalui media sosial sebagai langkah
pencegahan. Dengan demikian, langkah-langkah ini diharapkan dapat membantu
dalam mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap transaksi keuangan.
Terima Kasih
Semoga kamu bisa mendapatkan ilmu yang
bermanfaat dari presentasi ini. Have a nice day!

Anda mungkin juga menyukai