Anda di halaman 1dari 11

Bahan Ajar

Mata Kuliah Budaya Madura

SEJARAH SOSIAL
BUDAYA MADURA
Oleh :
A. Hamzah Fansuri Basar, S.Pd.,M.A.
Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP
TA 2023/2024
Asal-usul Orang Madura
• Penduduk asli Madura mempunyai asal-usul yang tidak jauh
berbeda seperti penghuni pulau-pulau Indonesia lainnya,
yaitu orang proto-Melayu yang telah mendiami pulau ini
sejak sekitar 4000 tahun lalu.
• Kedatangan mereka bersamaan dengan terjadinya
perpindahan besar-besaran di daratan Asia-Tenggara sejak
tahun 2500 S.M. sampai 1500 S.M., sehingga di pulau inipun
masuk pendatang lain yaitu orang-orang Deutero-Melayu.
Salah satu dari kelompok orang inilah yang dengan berbagai
cara oleh ahli antropologi disebut sebagai orang-orang
Indonesia.
• Struktur kesukuan tentang penduduk asli
Pamekasan memang belum ada manuskrip
yang jelas, setidak-tidaknya hanya ada sedikit
data tertulis tentang penduduk asli Madura.
• Fath, dkk, mengatakan bahwa berdasarkan
kertabasa (etimologi rakyat), di kalangan
masyarakat awam Madura dikenal asal-usul
nama Madura sebagai singkatan dari suatu
ungkapan berdasarkan mitologi masyarakat
setempat.
• Di antara ungkapan-ungkapan tersebut yaitu;
maddhuna sagârâ (madu segara), maddhuna nagârâ
(madu negara), maddhu è ra-ara (madu di tanah
lapang), maddhuna dârâ (madu darah), madârâ
(berdarah), paddhu ara (dari bahasa Jawa Kawi padu
ara yang berarti pojok tanah berair, atau tapak di
pojok Jawa), dan lamah dura (juga dari bahasa Kawi
yang berarti tanah di kejauhan).
• Sumber-sumber sejarah yang lebih jelas baru dapat
ditunjukkan dengan menelusuri kedatangan bangsa
India ke Indonesia, sekitar tahun 400 Masehi ketika
sistem monarki mulai dianut.
Masa Kerajaan Madura
• Bukti otentik berupa manuskrip seperti kitab Pararaton, jelas
menunjukkan keberadaan orang Madura beserta sistem
pemerintahannya dengan dinobatkannya Arya Wiraraja
sebagai penguasa Madura Wetan (Sumenep dan Pamekasan)
pada 31 Oktober 1269 M.
• Kata Madura sendiri dapat ditemukan dalam bahasa
Sansekerta yang dituliskan pada prasasti Balawi. Madura
dalam prasasti Balawi tersebut, sebagai perumpamaan Paduka
Jayandradewi (Dyah Dewi Prajna Paramita), salah seorang istri
raja Majapahit yang cantik, indah, lemah lembut, manis tanpa
cela.
• Dyah Dewi Prajna Paramita mempunyai sifat:
gunacarananurupita-satya para’ = yang sangat kaya
raya; anidyeng raras madhura = cantik, indah, manis
tanpa cela. Demikian pula dalam kitab Negara
Kertagama dan kidung Pamancangah menyebut
Madura yang mempunyai arti: manis, cantik ramah
tamah.
• Pada masa pengaruh hegemoni kerajaan Hindu-
Budha tersebut, di Pamekasan sendiri setidaknya
terdapat dua kerajaan yang berada di bawah
pengaruh Majapahit. Dua kerajaan tersebut yaitu
kerajaan Pamellingan dan kerajaan Jamburingin.
• Diceritakan bahwa raja Majapahit, Wikrawadhana
mengangkat salah seorang puteranya bernama Ki
Aria Lembu Petteng menjadi kamitua (raja muda)
di Madekan (Sampang). Lembu Petteng kemudian
hijrah ke Ampel dan memeluk agama Islam. Di
Madekan sendiri, raja Majapahit kemudian
mengukuhkan Ki Aria Menger menjadi kamitua
Madekan sebagai pengganti ayahnya.
• Pada tahun 1530, menurut Fath, dkk, di Pamellingan terjadi
gempa bumi (dalam bahasa Madura: lèndhu) yang cukup
keras. Gempa itu mengakibatkan Nugraha alias Banaraga, raja
Pamellingan wafat. Karena kejadian tersebut, Banaraga
kemudian dikenal dengan sebutan Pangeran Lèndhu.
Sepeninggal Banaraga pada tahun 1530 itu pula,
Ranggasukawati dinobatkan sebagai raja Pamellingan pada
tanggal 12 Rabiul Awwal 937 H atau bertepatan dengan
tanggal 3 Nopember 1530 M. Setelah dinobatkan menjadi raja
di Pamellingan, Ranggasukawati mendirikan keraton baru yang
dinamakan keraton Mandhilaras. Tanggal, bulan dan tahun
dinobatkannya Ranggasukawati itulah yang kemudian
ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Pamekasan. Kutwa
Fath, dkk, 2004, 52-56.
• Pada periode akhir kedua kerajaan di
Pamekasan tersebut, sebenarnya agama Islam
telah lama menyebar di Madura. Rifai
menyebutkan bahwa sekitar satu abad sejak
runtuhnya kerajaan Majapahit tahun 1527,
serta selama kerajaan Demak dan Pajang
belum kuat memaksakan hegemoni, beberapa
kerajaan Islam di Madura telah berjaya.
Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain;
Songenep, Pamekasan, Jamburingin, Bliga,
Palarakan. Mien Ahmad Rifai, 2007, 32.
• Menurut De Graff, runtuhnya kerajaan-kerajaan di Pamekasan
dan Madura pada umumnya, dimulai ketika Sultan Agung
melancarkan kebijakan untuk menyatukan seluruh Jawa di
bawah Mataram. Invasi Mataram pertama, dimulai pada tahun
1623. Seluruh kerajaan di Madura jatuh ke tangan Mataram,
kecuali Pamekasan dan Sumenep. Namun pada tahun
berikutnya, yaitu pada tahun 1624, untuk yang kedua kalinya
Mataram melancarkan kembali invasinya ke Madura yang
mengakibatkan gugurnya semua penguasa kerajaan-kerajaan di
Madura. H.J. De Graff dan Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan
Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan
ke-16. Cetakan Ketiga (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti,
1989), 215-219; Huub de Jonge, 1989, 47-48; Kutwa Fath, dkk,
2004, 68-81; periksa juga Mien Ahmad Rifai, 2007, 34-35.
• Invasi Mataram ke Madura tersebut dikenal sebagai perang
Puputan. Penguasa Madura yang tersisa dari perang puputan
ini adalah Raden Prasena (putra mahkota) di Sampang. Raden
Prasena yang pada saat itu masih muda, dibiarkan hidup dan
diboyong ke Mataram, bahkan dididik menjadi bangsawan
kerajaan Mataram. Setelah dewasa, ia diberi kehormatan untuk
meminpin Madura dengan gelar Cakraningrat (I). Raden
Prasena atau Cakraningrat (I) adalah cikal bakal para penguasa
di Madura sampai dihapuskannya sistem pemerintahan
tradisional di Madura pada pertengahan kedua abad ke-19. H.J.
De Graff dan Th.G.Th. Pigeaud, 1989, 215; Aminudin Kasdi,
Perlawanan Penguasa Madura Atas Hegemoni Jawa: Relasi
Pusat-Daerah pada Periode Akhir Mataram (1726-1745)
(Yogyakarta: Jendela, 2003), 241.

Anda mungkin juga menyukai