Anda di halaman 1dari 41

KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA

PENGAJAR
• Dr. SANUSI, SH.MH
DAFTAR BACAAN/LITERATUR
- Prof. Dr. Muladi: Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum
di Indonesia”,
- -------------, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cetakan II, (Semarang :
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002

- Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH. Beberapa Aspek Kebijakan dan
Penegakan Hukum Pidana, ..
_________________________ “Bunga Rampai Hukum Pidana
- Prof Dr. Nyoman Serikat Putera Jaya,SH.MH Kapita Selekta Hukum Pidana.
- Waluyadi, SH.MH. Hakim, Hukum dan Hukum Pidana.
- Pendidikan Anti Korupsi, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 2011
- Dr. Maroni, SH.MHum, Pengantar Hukum Pidana Administrasi. Bandar
Lampung, CV Anugrah Utama Raharja (AURA) 2015
- Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi
Materi kapita selekta hk pidana
• MATERI.
1 . a.Masalah Asas Legalitas;
- Masalah Retroaktif.
- Masalah Melemah/Bergesernya Asas Legalitas
2. Penggunaan Sanksi Pidana Dalam Hukum Administrasi
a. Pengertian Hukum Administrasi dan Hukum Pidana Administrasi
b. Kebijakan Hukum Pidana Administrasi Dalam Perundang-undangan di Indonesia.
3. Perlindungan Hukum Korban Kejahatan
- Pengertian Korban
- Asas-asas dalam Perlindungan Korban
- Hak dan Kewajiban Korban
-Bentuk-bentuk perlindungan korban Kejahatan
4. Kejahatan Kekerasan
- Pengertian, lingkup dan bentuk kejahatan dengan kekerasan
- Kekerasan dalam Rumah Tangga.
- Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
- Bentuk kekerasan terhadap isteri.
5. Pendidikan Anti Korupsi
-Pengertian Korupsi,
- Faktor Penyebab Korupsi
- Dampak Masif Korupsi
- Nilai dan Prinsip Anti Korupsi
- Upaya Pemberantasan Korupsi
- Delik Korupsi
6. Restorative Justice
Kapita selekta hukum pidana merupakan
kumpulan hukum pidana yang terseleksi,
didasari oleh beberapa pertimbangan :
• Perkembangan hukum pidana formil, materiil
• Perkembangan globalisasi khusus ke pidanaan
• Aktualisasi pada masa sekarang.

Sehingga sub mata kuliah ini tidak statis dengan demikian


subtansi yang akan dibahas selalu mengalami perubahan
sesuai dengan perkembangan dari Hukum Pidana yang ada di
Indonesia
Masalah Asas Legalitas
pasal 1 ayat (1) KUHP:
Asas Legalitas “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum,
melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang, yang ada terdahulu daripada
perbuatan itu”( nullum delictum, noella poena
sine previae lege poenali)

Lex Temporis Delict” (LTD)


atau asas nonretroaktif. Larangan berlakunya hukum/undang-undang
pidana secara retroaktif ini dilatarbelakangi oleh ide
perlindungan hak asasi manusia (HAM). Walaupun
prinsip nonretroaktif dilatarbelakangi oleh ide
perlindungan hak asasi manusia (HAM). Pada Era
Reformasi, justru masalah retroaktif muncul
sewaktu dibicarakan masalah kejahatan Ham dalam
rangka perlindungan HAM
Masalah Retroaktif
Pasal 28I Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun”

Penyimpangan dari asas


non-retroaktif

pasal 1 ayat (2) KUHP, yaitu bahwa suatu hukum yang lebih baru
dapat berlaku surut, sepanjang hukum yang baru itu lebih
menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama. Pasal ini
berlaku apabila seorang pelanggar hukum pidana belum diputus
perkaranya oleh hakim dalam putusan terakhir.
Masalah Retroaktif
pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang menegaskan bahwa:
“Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal
Penyimpangan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia
dari asas non- yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap
retroaktif kemanusiaan.”

pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang


Pengadilan HAM (“UU Pengadilan HAM”):
“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang
ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad
hoc”
Masalah Retroaktif

dilihat dari sudut hukum pidana positif


di Indonesia (KUHP) hal ini patut
dipermasalahkan karena

Menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP,


Masalah berlakunya undang-undang
masalah retroaktif baru ada (muncul)
yang sama sekali baru, termasuk
kalau ada transisi (yaitu kalau ada
ruang lingkup masalah “sumber
perubahan undang-undang), bukan
hukum” yang diatur dalam Pasal 1
dalam hal adanya undang-undang
ayat (1) KUHP (asas legalitas).
baru.
Masalah Melemah/Bergeser asas Legalitas
Bentuk pelunakan/penghalusan atau pergeseran/perluasan asas Legalitas :
1. Bentuk pelunakan/penghaluasan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu
dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP
2.Dalam praktik yuriprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat
melawan hukum yang materiil.
3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia, asas legalitas tidak semata-
mata diartikan sebagai Nullum delictum sine lege, tetapi juga sebagai nullum delictum
sine ius atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas
materiil, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hokum yang hidup atau tidak tertulis
sebagai sumber hokum
4. Dalam dokumen internasional dan KUHP Negara lain juga terlihat
perkembangan/pengakuan kea rah legalitas materiil.
5. Di beberapa KUHP Negara lain (KUHP Belanda, Yunani dan Portugal) ada ketentuan
mengenai pemaafan/pengampunan hakim yang merupakan bentuk judicial corrective to
legality principle
6. Ada perubahan fundamental dalam KUHP Prancis pada tahun 1975 (Undang-Undang
No.75-624, tanggal 11 Juli 1975) yang menambahkan ketentuan mengenai “pernyataan
bersalah tanpa menjatuhkan pidana” (the declaration of guilt without imposing a penalty)
7. Perkembangan perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari cybercrime
merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas lex certa karena dunia maya
(cyberspace) bukan dunia riel/realitas/nyata/pasti.
HUKUM PIDANA ADMINISTRASI
seperangkat hukum yang diciptakan oleh
Hukum Administrative lembaga administrative dalam bentuk
perundang-undangan, peraturan pemerintah
dan kepentingan untuk melaksanakan kekuasaan
dan tugas pengaturan atau mengatur dari
lembaga yang bersangkutan.

Hukum Pidana hukum pidana dalam bidang pelanggaran


Administrative dibidang administrative dengan kata lain hukum
pidana administrasi merupakan hukum yang
dibuat dalam pelaksanaan mengatur atau hukum
pidana dari aturan
• Pada hakikatnya merupakan wujud dari
kebijaksanaan mengunakan hukum pidana
sebagai sarana untuk menegakan atau
melaksanakan hukum administrasi atau
dengan kata lain hukum administrasi
merupakan fungsionalisasi hukum pidana
dibidang hukum administrasi
Pendefinisian tindak pidana administrasi sebagai pendayagunaan hukum pidana untuk
menegakkan hukum administrasi membawa hukum pidana hanya dapat diterapkan pada
suatu peristiwa tertentu tergantung apakah peristiwa tersebut tergolong perbuatan
melawan hukum dalam hukum administrasi atau tidak.

Posisi menyusul hukum pidana setelah hukum administrasi ini kemudian menjadi
dilematis karena terletak antara dua pandangan.
Pandangan pertama yaitu bahwa hukum pidana merupakan ultimum Remidium atau
upaya terakhir dalam penegakan hukum setelah diberikan peluang penyelesaian hukum
lewat cabang hukum lain, misalkan hukum administrasi, perdata, dll.
Pandangan pertama ini senada dengan pengertian hukum pidana administrasi yang
diajukan Barda Nawawie Arief dan senada dengan asas subsidiaritas dalam hukum pidana.
Pandangan kedua yang berorientasi kepada pendayagunaan hukum pidana untuk
tercapainya tujuan publik dari hukum pidana menyatakan bahwa setelah adanya
penegakan hukum administrasi (sanksi administratif) pada suatu tindak pidana
administrasi tidak menghilangkan sanksi pidana atas perbuatan tersebut
Urgensi adanya aspek pidana pada UU administrasi

• untuk terwujudnya masyarakat adil dan makmur (Social Welfare


Policy) sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 diperlukan adanya suatu kebijakan perlindungan
terhadap masyarakat (social defence policy). Untuk itu diperlukan
adanya kebijakan pengaturan (regulative policy) terhadap seluruh
aktivitas kehidupan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan yang menyangkut tugas-tugas negara untuk
mensejahterakan masyarakat berdasarkan hukum administrasi
negara. Agar seluruh ketentuan administrasi negara dapat berlaku
secara efektif maka dikembangkan suatu kebijakan penegakan
hukum (law enforcement policy) dengan melakukan fungsionalisasi
aspek hukum pidana pada peraturan perundang-undangan
administrasi negara yang pada akhirnya memunculkan hukum pidana
administrasi (administrative penal law).
• Muladi menyatakan bahwa kecenderungan
perundang-undangan hukum administrasi
mencantumkan sanksi pidana adalah untuk
memperkuat sanksi administrasi (administrative
penal law). Sanksi pidana tersebut didayagunakan
apabila sanksi administratif sudah tidak mempan
khususnya berkaitan dengan pelaku tindak pidana
yang sudah keterlaluan dan menimbulkan kerugian
besar misalnya dalam bidang perpajakan,
lingkungan hidup, hak cipta dan lain-lain
Karakteristik

1. Kriminalisasinya berkaitan dengan adanya modernisasi dan


perkembangan teknologi;
2. Norma/aturannya menyimpang dari asas umum dalam KUHP;
3. Kejahatannya lebih bersifat terselubung (white collor crime);
4. Pada umumnya tindak pidananya berkualifikasi pelanggaran, namun
ada juga kejahatan;
5. Subjek hukumnya pada umumnya bersifat badan hukum/korporasi
selain manusia pribadi;
6. Sanksinya bisa lebih berat dari sanksi tindak pidana umum karena
bersifat komulatif;
7. Pengaturan hukum pidana materiel dan formilnya dalam satu UU;
Berbagai peraturan perundangan yang mengandung aspek hukum administrasi di
Indonesia: tidak adanya keseragaman pola formulasi kebijakan penal, antara lain:

• Ada yang menganut double track system (pidana dan tindakan) , ada yang single track
system ( hanya sanksi pidana) dan bahkan ada yang semu ( hanya menyebut sanksi pidana,
tetapi mengandung/terkesan sebagai sanksi/tindakan)
• Dalam menggunakan sanksi pidana, ada yang hanya pidana pokok dan ada yang
menggunakan pidana pokok dan tambahan.
• Pidana pokok, hanya satu persatu ( penjara, kurungan atau denda saja )
• Perumusan sanksi pidananya bervariasi ; (ada tunggal, kumulasi, alternatif dan gabungan
kumulasi – alternatif)
• Ada yang menggunakan pidana minimal (khusus) ; ada yang tidak. Ada sanksi administrasi
yang berdiri sendiri tetapi ada juga yang dioperasionalkan dan diintegrasikan dalam sistem
pidana / pemidanaan
• Sanksi administrasi yang berdiri sendiri menggunakan istilah sanksi administratif dan
tindakan administratif
• Sanksi pidana yang dioperasionalkan dalam sistem pidana, disebut sebagai pidana
tambahan atau tindakan tata tertib atau sanksi adminsitratif.
• Ada yang mencantumkan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan ada yang tidak ; dan
ada yang memuat ketentuan pertanggungjawaban pidananya dan ada yang tidak.
• Ada yang menyebutkan kualifikasi deliknya (pelanggaran – kejahatan) dan ada yang tidak.
Pedoman Penggunaan Ketentuan Pidana Dalam PerundangUndangan Administrasi

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pasal 15 ayat (1) UU No. 12 Sedangkan ketentuan umum tentang jenis pidana
Tahun 2011 ditentukan (strafsoort) dan lamanya sanksi pidana (strafmaat) yang
bahwa materi muatan dibolehkan diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi
mengenai ketentuan maupun Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota, menurut
pidana hanya dapat ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 yaitu
dimuat dalam: (a) Undang- berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam)
Undang; (b) Peraturan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00
Daerah Provinsi; (c) (lima puluh juta rupiah).
Peraturan Daerah
Kabupaten/ Kota.
Pengecualian ketentuan tersebut sebagaimana diatur
dalam Pasal 15 ayat (3) UU No.12 Tahun 2011, yaitu
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana
kurungan atau pidana denda selain dimaksud pada Pasal
15 ayat (2), sepanjang ada rujukannya yaitu seperti yang
diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Ketentuan Pidana dalam Perundangan-
undangan administrasi

Undang-Undang Nomor 12 Tahun


2011 tentang Pembentukan Dari Butir 112 sampai dengan
Peraturan Perundang-undangan Butir 126

butir 112: Ketentuan pidana memuat butir 113. Dalam merumuskan ketentuan
rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum
pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan pidana yang terdapat dalam
ketentuan yang berisi norma larangan Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum
atau norma perintah Pidana, karena ketentuan dalam Buku
Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang
dapat dipidana menurut peraturan
perundang-undangan lain, kecuali jika oleh
Undang- Undang ditentukan lain (Pasal 103
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
Perlindungan korban dalam proses
peradilan pidana

Kongres PBB VII/1985 di Milan “The prevention of


crime and the treatment of offenders”
Menyatakan “hak-hak korban seyogyanya dilihat
sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem
peadilan pidana

Korban Org-org, baik scr individual maupun kolektif,


yg menderita kerugian akibat perbuatan (tidak
berbuat) yg melanggar hukum pidana yg
berlaku disuatu negara, termasuk peraturan-
peraturan yg melarang penyalahgunaan
kekuasaan. (Reolusi MU-PBB 40-34)
Pengertian Korban

• Saksi (korban) memegang peranan kunci dalam upaya


mengungkap suatu kebenaran materiil. Maka tidak
berlebihan apabila dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP,
keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama di
atas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat,
petujuk dan keterangan terdakwa.
Saksi menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP, yaitu orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan pengadilan tentang suatu
perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia
alami sendiri.
Arief Gosita
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentinga diri
sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan
hak asasi pihak yang dirugikan

Muladi
orang-orang yag baik secara individual maupun kolektif telah
Korban menderita termasuk kerugia fisik atau mental, emosional,
ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya
yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang
melanggar hukum pidana dimasing-masing Negara, termasuk
penyalahgunaan kekuasaan.

P P No 2 thn 2002 ttg cara perlindungan terhadap korban dan


saksi dlm pelanggaran HAM berat.
perorangan atau kelompok orang yang mengalami peneritaan
sebagai akibat pelanggaran HAM yang berat yang memerlukan
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror
dan kekerasan pihak manapun.
Pasal 1 angka 1 UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban,
Korban seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Pentingnya Perlindungan korban.


a. salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah
keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami
sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan
kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana;
b. penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan
karena tidak dapat menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya
ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu;
c. perlindungan bagi Saksi dan/atau Korban yang sangat penting keberadaannya
dalam proses peradilan pidana;
Pasal 5 ayat (1) UU No. 13 tahun 2006, mengatur beberapa hak yang diberikan
kepada saksi dan korban, yang meliputi :
a. Memperoleh perlinungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang atau telah diberikan.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan
d. Mendapat penerjemah
e. Bebas dari pertanyaan menjerat
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
i. Mendaptkan identitas baru
j. Mendapatkan tempat kediaman baru
k. Memperoleh penggantian biaya tranportasi sesuai dengan kebutuhan
l. Mendapatkan nasihat hukum; dan/atau
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan terakhir.
Perlindungan lain dalam suatu proses pidana adalah :
• Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung
dipengadilan tempat perkara tersebut diperiksa,
tentunya setelah ada izin dari hakim (pasal 9 ayat1)
• Saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara
hukum baik pidana maupun perdata atas laporan,
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan.
Berdasarkan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat terlanggarnya hak asasi
yang bersangkutan, maka dasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari
beberapa teori,

Teori utilitas Teori Tanggung Teori Ganti


jawab rugi/Kompensasi

Konsep pemberian hakikatnya subjek hkm (org


perlindungan pada korban maupun kelompok
kejahatan dapat diterapkan bertanggungjawab thdp sgl perwujudan
sepanjang memberikan perbuatan hkm yg tanggungjawab karena
kemanfaatan yang lebih dilakukannya sehingga kesalahannya
besar dibandingkan dengan apabila seseorang
tidak diterapkannya konsep
terhadap orang lain,
melakukan suatu tindak pelaku tindak pidana
tesebut, tidak saja bagi pidana yg mengakibatkan
korban kejahatan, tetapi dibebani kewajiban
org lain menderita kerugian
juga bagi system penegakan (dlm arti luas), org tsb harus
untuk memberikan
hukum pidana secara bertanggungjawab atas ganti kerugian pada
keseluruhan. kerugian yg ditimbulkannya, korban atau ahli
kecuali ada alasan yg warisnya
membebaskannya.
Asas hukum dalam perlindungan hukum korban kejahatan

Azas
manfaat

Asas
kepastian Asas
hukum keadilan

Asas
keseimba
ngan
Asas-asas Perlindungan Korban Kejahatan
Azas manfaat Asas keadilan
Artinya perlindungan korban tdk hanya Artinya, penerapan asas keadilan dalam
ditujukan bgi tercapainya kemanfaatan (baik upaya melindungi korban kejahatan tidak
materiil maupun spiritual) bg korban bersifat mutlak karena ini dibatasi pula
kejahatan, ttp juga kemanfaatan bg oleh rasa keadilan yag juga harus diberikan
masyarakat secara luas, khususnya dlm pada pelaku kejahatan.
upaya mengurangi jumlah tdk pidana serta
menciptakan ketertiban masyarakat.

Asas kepastian hukum


Asas keseimbangan
dasar pijakan hukum yang kuat bagi
Krn tujuan hkm di samping memberikan
aparat penegak hukum pada saat
kepastian & perlindungan terhadap
melaksanakan tugasnya dalam upaya
kepentingan manusia, jg utk memulihkan
memberikan perlindungan hukum
keseimbangan tatanan masyarakat yg
pada korban kejahatan
terganggu menuju pd keadaan yg semula
(restitution in interim), asas keseimbangan
memperoleh tempat yg penting dlm upaya
pemulihan hak-hak korban.
Kriminalisasi dan dekriminalisasi
Suatu perbuatan yang belum Suatu perbuatan yang dulunya
dikenai tindak pidana lalu tindak pidana lalu tidak lagi
dijadikan sebagai tindak pidana sebagai tindak pidana yang
yang mempunyai sanksi mempunyai sanksi
Jenis-jenis korban, yaitu :
• Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli
terhadap upaya penanggulangan kejahatan
• Latent Victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter
tertentu sehingga cenderung menjadi korban
• Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan
rangsangan terjadinya kejahatan
• Participating victims, yaitu mereka dengan perilakunya
memudahkan dirinya menjadi korban
• False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena
perbuatan yang dibuatnya sendiri. (Muladi)
Menurut Keadaan dan status korban, yaitu “
• Unrelated victims, korban yang tidak ada hubungannya sama
sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat.
Tanggungjawab sepenuhnya terhadap pelaku
• Provocative victims, seseorang yang secara aktif mendorong
dirinya menjadi korban, pada kasus selingkuh, dimana korban
juga sebagai pelaku.
• Participacing victim, seseorang yang tidak berbuat akan tetapi
dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban
• Biologically weak victims, mereka yang secara fisik memiliki
kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban
• Socially weak victims, mereka yang memiliki kedudukan sosial
yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
• Self victimizing victims, mereka yang menjadi korban karena
kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius,
Pengelompokan menurut Sellin dan Wolfgang

• Primary victimization, korban berupa individu atau


perorangan (bukan kelompok)
• Secondary victimization, korban kelompok, mis.
Badan hukum
• Tertiary victimization, korban masyarakat luas
• No victimization, korban yang tidak dapat
diketahui, mis. Konsumen yang tertipu dalam
menggunakan suatu produksi.
Dilihat dari peranan korban menurut Stephen Schafer

• Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap


menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku
• Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu
yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk
tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam
terjadinya kejahatan sehingga keslahan terletak pada pelaku dan
korban
• Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban.
Anak-anak, orang tua, orang cacat yang cacat fisik atau mentl,
orang miskin, gol minoritas dan sebagainya merupakan orang-
orang yang mudah korban. Korban dalam hal ini tidak dapat
dipersalahkan, tetapi masyrakatlah yang harus bertanggungjawab.
Kejahatan Kekerasan

Apakah kekerasan Merupakan Apakah yang dimaksud dengan


suatu kejahatan kekerasan
Kejahatan Kekerasan
Kekerasan/ La violencia (columbia)
Jika dibelakang kata kejahatan,
seolah-olah merupakan suatu
merupakan kejahatan

Kekerasan yang menimbulkan atau mengakibatkan


terjadinya kerusakan baik fisik maupun psikis
adalah kekerasan yang bertentangan dengan
hukum, oleh karena merupakan kejahatan

Tingkah laku yang pertama-tama harus


bertentangan dengan undang-undang, baik berupa
ancaman, tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat
kerusakan terhadap harta, benda atau fisik atau
kematian.
Kejahatan Kekerasan
mempergunakan kekuatan tenaga
Pasal 89 KUHP Kekerasan atau jasmani tidak kecil secara
tidak sah, misalnya memukul
dengan tangan atau degan segala
macam senjata, menyepak,
menendang, dsb.

Istilah Kejahatan dengan kekerasan atau ada yang


menyebut dengan istilah crime of violence hanya
merujuk pada kejahatan tertentu seperti:
1. Pembunuhan (murder)
2. Perkosaan (rape)
3. Penganiayaan yang berat (aggravated assault)
4. Perampokan bersenjata (armed roberry)
5. Penculikan (kidnapping)
Bentuk Kejahatan Kekerasan
1. Emotional and Instrumental Violence
2. Random or individual Violence
3. Collective violence (kadish, sanford, 1983: 1619)

Emotional violence Menunjuk pada tingkahlaku yang bersifat agresif


disebabkan karena amarah atau perasaan takut yang meningkat,
Instrumental Violence menunjuk pada tingkah laku agresif karena
memang dipelajari dari lingkungannya

Random atau individual Violence menunjuk pada tingkah


laku perorangan yang bersifat kekerasan dengan tujuan
tertentu

Collective violence menunjuk pada tingkah laku yang


melibatkan kelompok tertentu yang ditujukan untuk
mencapai tujuan tertentu
Bentuk Kejahatan Kekerasan
Bentuk kekerasan merupakan salah satu perbuatan
kriminologi yang dilakukan oleh individu, keluarga, atau
kelompok Jach D. Douglas dan Frances Chaput Waksler
menyebutkan empat bentuk kekerasan sebagai berikut :

2. Kekerasan tertutup (ccovert),


1. Kekerasan terbuka, yaitu
yaitu kekerasan tersembunyi atau
kekerasan yang dapat dilihat,
tidak dilakukan langsung, seperti
seperti perkelahian.
perilaku mengancam.

3. Kekerasan agresif 4.Kekerasan defensif (defensive),


(offensive), yaitu kekerasan yaitu kekerasan yang dilakukan
dilakukan dengan tidak untuk sebagai tindakan perlindungan diri.
perlindungan, tetapi untuk Baik kekerasan agresif maupun
mendapat sesuatu seperti defensif dapat bersifat terbuka atau
jabatan tetap
Bentuk Kejahatan Kekerasan
Kekerasan itu sendiri terbagi menjadi beberapa jenis yaitu sebagai berikut.

Kekerasan fisik adalah tindakan yang secara fisik menyakiti orang yang menjadi sasaran.
Kekerasan fisik mencakup menampar, memukul dengan alat, menarik rambut, membanting,
mencekik leher, menginjak, dan mendorong kuat-kuat. Terjadinya kekerasan fisik dapat
dilihat dari adanya perlukaan. Bekas luka itu dapat di akibatkan oleh episode kekerasan yang
tunggal atau berulang-ulang, dari yang ringan hingga yang fatal

Kekerasan seksual adalah setiap Kekerasan psikologi dirasakan lebih


penyerangan yang bersifat seksual terhadap menyakitkan daripada kekerasan secara fisik.
perempuan, baik telah terjadi persetubuhan Jenis kekerasan psikologi adalah bentakan,
atau tidak, dan tanpa memperdulikan makian, penghinaan, sikap merendahkan
hubungan antara pelaku dan korban. diri, ancaman untuk menimbulkan rasa
Pembedaan aspek fisik dan seksual dianggap takut, larangan untuk berhubungan dengan
perlu, karena tindak kekerasan terhadap oranglain, atau bentuk-bentuk pembatasan
perempuan yang bernuansakan seksual bergerak lain
tidak hanya melalui perilaku fisik
Bentuk Kejahatan Kekerasan
Kekerasan itu sendiri terbagi menjadi beberapa jenis yaitu sebagai berikut.

Kekerasan ekonomi dialami oleh istri atau pasangan hidup bersama dari pelaku, Memaksa
atau melarang istri bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, sedangkan ia
tidak bekerja serta tidak memberi uang belanja. Ia memakai atau menghabiskan uang istri.

Anda mungkin juga menyukai