Anda di halaman 1dari 22

Selamat datang di Wikipedia bahasa Indonesia [tutup]

Birokrasi di ndonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Birokrasi di Indonesia awalnya sebagaimana diperkenalkan oleh
budaya Eropa di mulai dari masa-masa kolonial antara lain dengan
masa cultuurstelsel, masa desentralisasi dan emansipasi, masa
pemerintah pusat (centraal bestuur), masa Binnenlands Bestuur dan
ambtskostuum binnenlands bestuur, masa pendudukan bala tentara
Jepang dan kemudian masa dimana setelah proklamasi kemerdekaan
17 Agustus 1945 pemerintahan Indonesia melalui Kasman
Singodimedjo ketua KNIP pada 25 September 1945 mengumumkan
bahwa presiden Indonesia memutuskan bagi keseluruhan pegawai-
pegawai pemerintahan terdahulu dari segala jabatan dan tingkatan
ditetapkan menjadi pegawai pemerintahan Indonesia [1]

Daftar isi [sembunyikan]
1 Birokrasi dalam budaya
barat
1.1 Teori-teori dalam
birokrasi
2 Sejarah
2.1 Peran birokrasi
pada masa kolonial
2.2 Awal
kemerdekaan
2.3 Birokrasi dalam
perkembangan
3 Organisasi
4 Korupsi
5 Administrasi publik
6 Akuntabilitas Publik
7 Lihat pula
8 Referensi
9 Pranala luar
10 Pustaka
[sunting]
Birokrasi dalam budaya barat


Contoh diagram dari administrasi publik
Birokrasi (bahasa Inggris:bureaucracy ~ bureaucracy ~ bjrkrs)
(bahasa Perancis: bureaucratie) mempunyai arti bureau + cratie atau
sistem struktur manajemen pemerintahan negara atau administrasi
besar atau organisasi sesuai dengan kebutuhan atau keinginan yang
kompleks yang ditandai dengan otoritas hirarkis di antara banyak kantor
dengan prosedur yang tetap
[sunting]
Teori-teori dalam birokrasi
Max Weber, seorang sosiolog Jerman menulis sebuah alasan yang
menggambarkan bentuk birokrasi [2]sebagai cara ideal mengatur
organisasi pemerintahan melalui prinsip-prinsip bentuk birokrasi antara
lain harus terdapat adanya struktur hirarkis formal pada setiap tingkat
dan di bawah kontrol dan dikendalikan dalam sebuah hirarki formal atas
dasar dari perencanaan pusat dan pengambilan keputusan, manajemen
dengan aturan yang jelas adanya pengendalian melalui aturan yang
memungkinkan agar keputusan yang dibuat pada tingkat atas akan
dapat dilaksanakan secara konsisten oleh semua tingkat di bawahnya,
organisasi dengan fungsional yang khusus pekerjaan yang harus
dilaksanakan oleh mereka yang benar merupakan ahli kemudian
disusun dalam unit-unit berdasarkan jenis pekerjaan yang akan
dilakukan berdasarkan keahlian, mempunyai sebuah misi target yang
akan dituju atau yang sedangkan dilaksanakan dalam upaya agar
tujuan agar organisasi ini dapat melayani kepentingan yang akan
diberdayakan termasuk dalam misi untuk melayani organisasi itu sendiri
harus melalui perhitungan pencapaian pada tujuan, perlakuan secara
impersonal idenya agar memperlakukan semua pelaksana dan
kepentingan diperlakukan secara sama sama dan tidak boleh
dipengaruhi oleh perbedaan individu, bekerja berdasarkan kualifikasi
teknis merupakan perlindungan bagi pelaksana agar dapat terhindar
dari pemecatan sewenang-wenang dalam saat menjalankan tugasnya.
Akan tetapi, menurut Cyril Northcote Parkinson seorang sejarawan
angkatan laut Inggris yang menulis bahwa Weber kurang menyadari
bahwa manajemen dan staf profesional akan cenderung tumbuh
mengikuti pada tingkat yang tidak diprediksi oleh garis organisasi[3]
sedangkan David Osborne dan Ted Gaebler menyarankan bahwa
birokrasi harus berubah menjadi birokrasi yang lebih memperhatikan
partisipasi masyarakat, adanya kerja tim serta kontrol rekan sekerja
(peer group) dan atasan bukan lagi merupakan dominasi atau kontrol
[4]. Berikut rangkuman dari teori-teori birokrasi.
Sistem Birokrasi IRowing (Mendayung/bekerja sendiri)Service
(Melayani)Monopoly (Menguasai sendirian)Rule-driven
(Digerakan oleh aturan)Budgeting inputs (Menunggu
anggaran)Bureaucracy-driven (Dikendalikan birokrat)Spending
(Pengeluaran)Curing (Penyembuhkan)Hierarchy
(Berjenjang)Organization (Organisasi, lembaga)
Sistem Birokrasi IISteering (Menyetir/mengarahkan)Empowering
(Memberdayakan)Competition (Ada persaingan)Mission-driven (Digerakkan oleh
misi)Funding outcomes (Menghasilkan dana)Customer-driven (Dikendalikan
pelanggan/pembayar pajak)Earning (Penghasilan/tabungan)Preventing
(Pencegahan)Teamwork /participation (Pelibatan/kerja kelompok)Market (Pasar,
keseimbangan orang banyak)

[sunting]
Sejarah
[sunting]
Peran birokrasi pada masa kolonial
Kekuatan kolonial di kepulauan Indonesia mempunyai kepentingan
bagaimana mengendalikan seluruh wilayah dengan mempertimbangkan
jarak, daratan dan wilayah antar negeri yang sangat besar agar tidak
menyulitkan dalam melakukan eksplorasi sumber-sumber daya, selain
dari itu perlu adanya partisipasi pasif, partisipasi aktif dari bumiputera
sangat diperlukan, kolaborasi dalam partisipasi aktif ini tentunya dengan
tidak boleh mengorbankan kekuasaan dan pengaruh kolonialisme.
Pemerintahan kolonial dikontrol secara terpusat di Batavia (sekarang
Jakarta) melakukan administrasi secara keseluruhan dan bertindak atas
nama kerajaan Belanda (dengan jabatan setingkat menteri koloni) yang
umum dikenal sebagai gubernur jenderal yang dibantu oleh dewan
Hindia Belanda (raad van Nederlands-Indi), sekretariat umum
(algemene secretarie), departemen administrasi umum (departementen
van algemeen bestuur) dan pemerintahan daerah (het binnenlands
bestuur} dengan birokrasi Eropa yang ruang lingkup kerja terbatas bagi
bangsa Eropa sedangkan bagi bumiputera selalu berada di bawah
pengarahan langsung dari pemerintahan lokal Inlandsche Bestuur
(pangreh praja) yang mencakup bagian besar dari dahulu yang disebut
dengan wilayah Hindia Belanda, pemerintahan sendiri seperti raja,
pangeran dengan melalui kesepakatan politik dengan pemerintah
kolonial namun ada pula daerah yang dikuasai secara langsung dimana
pemerintahan kolonial ikut membentuk birokrasi yang berdampingan
dengan birokrasi pemerintahan lokal seperti yang terlihat pada
administratif pemerintahan di pulau Jawa dan Madura sekitar tahun
1829 bersamaan dengan mulai dikenalkan konsep birokrasi Eropa
terutama dalam sangkutan dengan komoditas ekspor. kebijakan
cultuurstelsel berangsur-angsur berubah dengan demikian sektor
swasta mulai bermunculan antara lain perkebunan dan perindustrian
dengan kedatangan pekerja penduduk Eropa di bidang perkebunan,
perdagangan komersial dan industri bersamaan dengan itu budaya
politik saat itu mulai ikut menumbuhkan gerakan nasionalisme di
Indonesia.
Pada tahun 1905 mulai terbentuk pemerintahan walaupun dengan
kekuasaan terbatas dan tetap di bawah pimpinan pemerintah daerah
Eropa berlanjut pada tahun 1916 terbentuk pula pemerintahan kota-
kota besar dengan pemerintahan sendiri dengan walikota bukan
merupakan bagian dari pemerintah daerah Eropa, pada 1918 mulai
terdapat dewan rakyat yang berbentuk badan perwakilan dari berbagai
kelompok yang diwakili dalam dewan ini. dilanjutkan pada tahun 1925
wilayah dibagi dalam beberapa tingkat administratif baru, provinsi di
pulau Jawa dan Madura dan pemerintah di luar daerah (pulau-pulau di
luar Jawa dan Madura). Di samping itu, di pulau utama Jawa dan
Madura ke pemerintah daerah asli lebih mandiri dengan pengalihan
fungsi tersebut.
[sunting]
Awal kemerdekaan
Pada tanggal 30 Mei 1948 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11
Tahun 1948 pemerintah RI yang berkedudukan di Jogjakarta baru
mendirikan Kantor Urusan Pegawai (KUP) sedangkan pemerintahan
RIS yang berkedudukan di Jakarta untuk masalah kepegawaian
dibentuk melalui Keputusan Letnan Gubernur Jenderal di Hindia
Belanda Nomor 10 tanggal 20 Februari 1946 dengan nama Kantor
Urusan Umum Pegawai (KUUP) yang berada di bawah departemen
urusan sosial namun dengan Keputusan Letnan Gubernur Jenderal di
Hindia Belanda Nomor 13 Tahun 1948 membatalkan keputusan
terdahulu dan membentuk Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP)
yang langsung dibawah Gubernur Jenderal, antara Kantor Urusan
Pegawai (KUP) dan Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) masing-
masing melaksanakan kegiatannya sendiri-sendiri hingga terdapat
dualisme dalam birokrasi di Indonesia, kemudian karena adanya
pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950 dibentuklah
Kantor Urusan Pegawai (KUP) guna menyatukan Kantor Urusan
Pegawai (KUP) dan Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) dan
berada di bawah dan bertanggugjawab kepada perdana menteri akan
tetapi karena suasana perpolitikan saat itu, Kantor Urusan Pegawai
(KUP) yang akan menata birokrasi tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya disusul pada tanggal 17 Agustus 1950, terjadi pergantian
konstitusi RIS berubah menjadi UUDS 1950 yang berakibat terjadinya
perubahan bentuk negara kembali ke negara kesatuan. Tahun 1953
T.R. Smith membantu menyusun laporan untuk Biro Perancang Negara
berjudul Public Administration Training, setahun kemudian dua orang
profesor dari Cornell University, School of Business and Public
Administration Amerika yang diundang ke Indonesia yaitu Edward H.
Lichtfeld dan Alan C. Rankin yang berhasil menyusun laporan
rekomendasi yang berjudul Training for Administration in Indonesia[5][6].
Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 - 9 April 1957)
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1957 dibentuk Panitia
Negara untuk menyelidiki Organisasi Kementerian-kementerian atau
Panitia Organisasi Kementerian (PANOK) sebagai pengganti Kantor
Urusan Pegawai (KUP) serta ikut dibentuk Lembaga Administrasi
Negara (LAN) yang bertugas menyempurnakan administratur negara
atau birokrasi keduanya berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada perdana menteri.
Pada tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkan dekrit presiden yang menyatakan
berlakunya kembali UUD 1945 dan presiden melalui Peraturan
Presiden Nomor 2 Tahun 1959 melarang PNS golongan F menjadi
anggota dari partai politik selanjutnya pada tahun 1961 dikeluarkannya
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok
Kepegawaian dan dibentuk Badan Administrasi Kepegawaian Negara
(BAKN) diikuti dengan lembaga baru bernama Panitia Retooling
Aparatur Negara (PARAN) yang menghasilkan Peraturan Presiden
Nomor 5 Tahun 1962 tentang pokok-pokok organisasi aparatur
pemerintah negara tingkat tertinggi, dua tahun kemudian dikeluarkan
Keppres Nomor 98 Tahun 1964 dibentuk Komando Tertinggi Retooling
Aparatur Revolusi (KONTRAR) merupakan kelanjutan dari Panitia
Retooling Aparatur Negara (PARAN), retooling atau "pembersihan"
dalam dua kepanitian terakhir ini lebih bernuansa politis dengan
penyingkiran birokrat yang tak sehaluan dengan partai yang sedang
memerintah (the ruling party) atau yang dianggap tidak sejalan dengan
kebijakan pemerintahan republik.
[sunting]
Birokrasi dalam perkembangan
Dalam perkembangannya pengorganisasian birokrasi mulai diwarnai
dengan ketidakpastian akibat peranan partai-partai politik yang saling
bersaing dengan sangat dominan, partai-partai politik mulai melakukan
building block kekuasaan melalui pos-pos kementerian strategis di
jajaran pemerintahan sebagai sumber daya kelangsungan partai politik
yang bersangkutan, program rekrutmen birokrasi ikut mengalami spoil
system yang merajalela mulai dari pengangkatan, penempatan,
promosi dan instrumen kepegawaian lainnya tidak didasarkan kriteria
penilaian melainkan berdasarkan pertimbangan politik, golongan serta
unsur-unsur lainnya diluar tugas birokrasi.
Pada tahun 1966 awal pemerintahan Suharto bedasarkan Ketetapan
MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera ditunjuk selaku
presiden dan ketua presidium Kabinet Ampera melalui Keputusan
Presidium Kabinet Ampera Nomor 266 Tahun 1967 kembali
membentuk panitia pengorganisasian birokrasi sebagai pembantu
presidium yang kemudian dikenal dengan nama Tim Pembantu
Presiden untuk Penertiban Aparatur dan Administrasi Pemerintah atau
disingkat menjadi Tim PAAP yang beranggotakan sebelas orang
dengan Menteri Tenaga Kerja selaku ketua didampingi oleh direktur
LANsebagai sebagai sekretaris serta dibantu oleh lima orang
penasehat ahli yang mengusulkan unit kerja baru bernama Sekretariat
Jenderal, Direktorat Jenderal dan Inspektorat tercermin dalam
Keputusan Presidium Kabinet Nomor 75/U/KEP/11/1966 serta dalam
pengorganisasian kembali birokrasi pada kementerian negara melalui
Keputusan Presiden Nomor 44 dan 45 Tahun 1966 dilakukan
pengubahan penggolongan PNS dari golongan A sampai dengan F
menjadi golongan I sampai dengan IV.
Selanjutnya pada tahun 1968 kembali dibentuk Panitia Koordinasi
Efisiensi Aparatur Ekonomi Negara dan Aparatur Pemerintah yang
disebut pula sebagai Proyek 13 disusul dengan Keppres Nomor 16
Tahun 1968 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan
Presiden Nomor 199 Tahun 1968, Proyek 13 ini kemudian berganti
nama menjadi Sektor Penyempurnaan dan Penertiban Administrasi
Negara yang lebih dikenal dengan nama Sektor P' dengan anggota
terdiri dari Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Administrasi
Kepegawaian Negara (BAKN), Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas), Sekretariat Negara, Departemen Keuangan,
Departemen Tenaga Kerja, serta Departemen Transmigrasi dan
Koperasi. yang diketuai oleh Awaloeddin Djamin yang menjabat
sebagai Menteri Tenaga Kerja dengan tugas agar dapat
menyempurnakan administrasi pemerintahan.
Ketika Suharto pertama kali membentuk Kabinet Pembangunan I
dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1968, dibentuk
kementerian nomenklatur baru yaitu Kementerian Negara
Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara bertugas antara
lain melanjutkan pembersihan birokrasi dari unsur-unsur apa yang
disebut dengan berpolitik kepartaian lalu berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 82 Tahun 1971 pada tanggal 29 Nopember 1971
didirikan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) sebagai
organisasi wadah tunggal bagi seluruh pegawai pemerintahan
Indonesia dan dalam perkembangan selanjutnya Tim PAAP dan Proyek
13 akhirnya dilebur kedalam Kementerian Negara Penyempurnaan dan
Pembersihan Aparatur Negara sedangkan Sektor Aparatur Pemerintah
(Sektor P) tetap dan berfungsi meliputi penyusunan kebijaksanaan,
perencanaan, pembuatan program, koordinasi, pengendalian, dan
penelitian dalam rangka menyempurnakan dan membersihkan aparatur
negara dan Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan
Aparatur Negara yang dipimpin oleh seorangan menteri merangkap
menjadi anggota Sektor N (Penelitian dan Pengembangan) dan Sektor
Q (Keamanan dan Ketertiban) dan dengan Keppres Nomor 45/M Tahun
1983 Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur
Negara diubah kembali menjadi Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara yang secara langsung menteri pada kementerian tersebut
merangkap pula sebagai wakil Ketua Bappenas.
Tahun 1995 melalui Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 tanggal
27 September 1995 pemerintah mencanangkan dimulai diterapkan lima
hari kerja yaitu hari kerja mulai hari Senin sampai dengan hari Jumat
yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1995 sebagai
akibat dari sistem pembinaan Karier PNS, pertumbuhan nol pegawai
negeri sipil (PNS) (Zero Growth) seta perampingan organisasi.
Setelah tahun 1998 yang dikenal sebagai gerakan reformasi maka
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 mengenai
keberadaan pegawai negeri sipil (PNS) sebagai anggota partai politik
lalu diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999 yang
membuat pegawai negeri sipil (PNS) kembali tertutup dari kemungkinan
untuk ikut berkiprah sebagai keanggotaan dalam partai politik apapun.
[sunting]
Organisasi


contoh diagram ini menunjukkan kedudukan kementerian dalam struktur administrasi
publik
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kementerian Indonesia
Sejak kemerdekaan 63 tahun yang lalu dan setelah melalui proses yang
panjang, akhirnya Indonesia baru mempunyai pengaturan organisasi
kementerian sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan
kementerian negara.
[sunting]
Korupsi
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Korupsi di Indonesia, Komisi
Pemberantasan Korupsi, dan Indeks Persepsi Korupsi
Usaha rasionalisasi organisasi pemerintah pusat sebenarnya sudah
dimulai sejak masa Kabinet Wilopo (3 April 1952 -1 Agustus 1953) yang
berusia hanya sekitar limabelas bulan kemudian diteruskan oleh kabinet
Ali Sastroamidjojo I (1 Agustus 1953 - 12 Agustus 1955) bernasib sama
berusia dua tahun yang mempunyai program antara lain menyusun
aparatur pemerintah yang efisien serta pembagian tenaga yang rasional
dengan mengusahakan perbaikan taraf kehidupan pegawai serta
memberantas korupsi dalam birokrasi dengan pembentukan Panitia
Negara untuk menyelidiki Organisasi Kementerian-kementerian
(PANOK) yang bekerja antara tahun 1952 sampai dengan 1954.
Pada 2009, bila merujuk pada laporan dari Political and Economic Risk
Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong, Indonesia masih
menunjukan angka yang buruk terutama dalam hal hambatan birokrasi
atau red tape barriers [7]
[sunting]
Administrasi publik
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Undang Undang Pelayanan
Publik dan Ombudsman Republik Indonesia
Wajah birokrasi dari suatu penyelengaraan negara Indonesia akan
tercermin pada hasil produk yang berupa adanya standar pelayanan
terhadap publik atau masyarakat dalam rangka merasionalisasi
birokrasi akan dapat terwujudnya dengan adanya batasan dan
hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan
kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan
pelayanan publik, terdapat sistem penyelenggaraan pelayanan publik
yang layak dan sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan
korporasi yang baik dengan terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan
publik sesuai dengan pengaturan dalam peraturan perundang-
undangan dan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat
dalam memperoleh penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan
pada kepentingan umum serta adanya kepastian hukum dalam
kesamaan hak disamping keseimbangan hak dan kewajiban meliputi
keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif,
keterbukaan, akuntabilitas, penyedian fasilitas dan perlakuan khusus
bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan dan
keterjangkauan.
Sebagai penjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik dan
penanggung jawab adalah pimpinan lembaga negara, pimpinan
kementerian, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, pimpinan
lembaga komisi negara atau yang sejenis, pimpinan lembaga lainnya,
gubernur pada tingkat provinsi dengan kewajiban melaporkan hasil
perkembangan kinerja pelayanan publik kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat sedangkan pada tingkat bupati pada tingkat
kabupaten, walikota pada tingkat kota melaporkan hasil perkembangan
kinerja pelayanan publik masing-masing kepada dewan perwakilan
rakyat daerah provinsi dan menteri atau dewan perwakilan rakyat
daerah kabupaten/kota dan gubernur
[sunting]
Akuntabilitas Publik
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Akuntabilitas (administrasi
publik), Korupsi, Cinta Indonesia Cinta KPK, dan Konfrontasi Cicak dan
Buaya
Pendulum kekuasaan di Indonesia selalu bergulir dari waktu-ke waktu,
bergerak antara eksekutif dan parlemen serta peran kekuatan
bersenjata yang ikut mewarnai kekuasaan para pelaku hampir tidak
mengalami perubahan yakni berputar antara partai politik yang satu
kepada partai politik yang lain, pada kurun waktu tertentu lokus
kekuasaan akan bergeser pada pihak eksekutif dimana partai politik
pemerintah akan lebih kuat dan menunjukkan supremasi kekuasaan
katimbang kelembagaan negara lainnya yang dengan demikian
penggunaan kekuasaan akan terfokus dan bermuara di satu tempat,
saat kurun waktu yang lain, kekuasaan berada pada pihak legislatif,
partai politik lain yang berada di legislatif akan memainkan peran yang
sentral dalam fokus penggunaan kekuasaan membuat stabilitas
pemerintahan tidak bisa tercapai, sementara itu profesionalisme baik
pada pihak legsilatif maupun pihak eksekutif tidak juga pernah bisa
terwujudkan, politik tarik-menarik dari lokus dan fokus penggunaan
kekuasaan akan selalu silih berganti berada di kedua pihak tersebut.
Sementara kepentingan publik tidak pernah merasakan keterwakilan
dalam siklus kekuasaan ini, keperwakilan melalui partai politik yang
seharusnya sebagai mewakili kepentingan publik hanya mengenalnya
pada saat-sat ketika akan diadakan pemilu belaka dan seterusnya
kepentingan publik akan terlupakan kembali dengan kekuasaan ego
partikular dan elite pimpinan partai politik semata.
Dalam Perkembangannya administrasi publik akan cenderung menjadi
instrumen dari kekuasaan dari para elite dengan membuat publik
senantisa kembali berada pada posisi objek dan kepentingan
sedangkan pertanggung jawaban kepada publik mempunyai kadar
amat rendah dan cenderung bisa dikatakan hampir tidak ada sama
sekali akhirnya akan bisa menjadi sebuah ironi di dalam sebuah negara
demokrasi yang tanpa mempunyai akuntabilitas[8][9], negara demokrasi
yang seharusnya dapat melahirkan administrasi publik yang lebih baik
sebagaimana administrasi publik di beberapa negara yang telah
mengikuti sistem demokrasi yang seharusnya menjadi sebuah kekuatan
besar yang dapat dipergunakan untuk meminta pertanggung jawaban
publik dan harus dapat segera dilaksanakan oleh pemerintahan dan
publik dapat pula antara lain dengan menuntut uang pajak yang
dibayarkan kepada pemerintahan agar selalu dipergunakan secara
jelas dan bermanfaat bagi publik melalui tekanan-tekanan publik antara
lain fiskal kepada administrasi publik akan semakin kuat, publik harus
dapat mengetahui setiap aliran penggunakan dan pemanfaatan fiskal
dengan demikian publik tidak lagi akan dapat mentoleransi terhadap
segala macam pemborosan, inkomptensi dan kecerobohan yang
mungkin atau yang dilakukan oleh aparatur administrasi publik yang
berakibatkan kerugian bagi publik.
Efektivitas berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas publik
terdapat faktor yang menentukan antara lain dengan adanya derajat
transparansi penerimaan yang dapat diukur dari peran media massa
dalam memberikan informasi kepada publik meliputi anggaran,
akuntansi publik, dan laporan audit. Tanpa akses terhadap beragai
informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya menyadari apa
yang telah dilakukan dan tidak pernah dilakukan bagi kepentingan
publik serta pendidikan pemahaman hak-hak sipil yang diberikan
kepada para warga negara agar mengetahui hak dan kewajibannya
serta kesiapannya untuk menjalankan. [10]
[sunting]
Lihat pula
Administrasi publik
Pelayanan publik
Pegawai negeri
Kementerian Indonesia
Birokrasi
[sunting]
Referensi
1. ^ Noer, Deliar (2005). KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat : parlemen
Indonesia, 1945-1950. Yayasan Risalah. ISBN 9799770637.
2. ^ Weber, Max (1947). The Theory of Social and Economic Organization.
Collier Macmillan Publishers, London. hlm. 102.
3. ^ Parkinson, Cyril Northcote (1962). Parkinson's law: and other studies in
administration. University of Michigan.
4. ^ (Inggris) Osborne, David (1993). Reinventing government: how the
entrepreneurial spirit is transforming the public sector. Plume.
5. ^ Litchfield, Edward H. (1954). Bureaucracy: Training for Administration in
Indonesia. Ithaca, New York : Cornell University School of Business
and Public Administration.
6. ^ (Jepang) [http://www.cseas.kyoto-u.ac.jp/seas/1/1/010103.pdf PDF Center
for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University
7. ^ Table of Asian corruption scores in PERC survey
8. ^ Democracy without Accountability? Indonesia's Party Cartel in the 2009
Elections
9. ^ Democracy yes, accountability no ?
10. ^ Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi
Sektor Publik
[sunting]
Pranala luar

Wikisource memiliki naskah
sumber yang berkaitan
dengan artikel ini:
Kantor Urusan Pegawai
(KUP)

Wikisource memiliki naskah
sumber yang berkaitan
dengan artikel ini:
Pelayanan Publik
(Belanda) van den Doel, H. W.. De stille macht: het Europese
binnenlands bestuur op Java en Madoera, 1808-1942. University
of Michigan. ISBN 9035114051.
(Belanda) Dutch East Indies (1896). Staatsblad van Nederlandsch-
Indi. A.D. Schinkel.
(Inggris) Weber, Max (1947). The Theory of Social and Economic
Organization. Collier Macmillan Publishers, London.
(Inggris) Marshall, Gordon (1994). The Concise Oxford dictionary of
sociology. Oxford University Press. ISBN 019285237X.
(Inggris) Wilson, James Q. (1989). Bureaucracy: what government
agencies do and why they do it. Basic Books. ISBN 0465007848.
[sunting]
Pustaka
(Inggris) Yannis Papadopoulos, Governance And Democracy :
Comparing National European And International Experiences,
Routledge (2006) ISBN 978-0-415-36291-7
(Inggris) Vivien A Schmidt, Democracy in Europe: The Eu and
National Polities, Oxford University Press (2006), ISBN 0-19-
926698-0
Kategori: Politik di IndonesiaPemerintahan
IndonesiaAdministrasi publikPemerintahan

Buat akun baru
Masuk log
Halaman
Pembicaraan
Baca
Sunting
Versi terdahulu




Halaman Utama
Perubahan terbaru
Peristiwa terkini
Halaman sembarang
Komunitas
Warung Kopi
Portal komunitas
Bantuan
Wikipedia
Cetak/ekspor
Peralatan
Halaman ini terakhir diubah pada 15.23, 7 April 2011.
Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi/Berbagi Serupa Creative
Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan
Penggunaan untuk lebih jelasnya.
Kebijakan privasi
Tentang Wikipedia
Penyangkalan
Tampilan seluler




Teori Birokrasi

08:21 Diposkan oleh Pengetahuan
Label: Sosial Politik
Sedikit tentang birokrasi :

1. Birokrasi harus dicerna sebagai satu fenomena sosiologis. Dan birokrasi
sebaiknya dipandang sebagai buah dari proses rasionalisasi.
2. Konotasi atau anggapan negatif terhadap birokrasi sebenarnya tidak
mencerminkan birokrasi dalam sosoknya yang utuh. Birokrasi adalah salah
satu bentuk dari organisasi, yang diangkat atas dasar alasan keunggulan
teknis, di mana organisasi tersebut memerlukan koordinasi yang ketat, karena
melibatkan begitu banyak orang dengan keahlian-keahlian yang sangat
bercorak ragam.
3. Ada tiga kecenderungan dalam merumuskan atau mendefinisikan birokrasi,
yakni: pendekatan struktural, pendekatan behavioral (perilaku) dan
pendekatan pencapaian tujuan.

Sedikit tentang Max Weber

1. Apa yang telah dikerjakan oleh Max Weber adalah melakukan
konseptualisasi sejarah dan menyajikan teori-teori umum dalam bidang
sosiologi. Di antaranya yang paling menonjol adalah teorinya mengenai
birokrasi.
2. Cacat-cacat yang seringkali diungkapkan sebenarnya lebih tepat dicerna
sebagai disfungsi birokrasi. Dan lebih jauh lagi, birokrasi itu sendiri
merupakan kebutuhan pokok peradaban modern. Masyarakat modern
membutuhkan satu bentuk organisasi birokratik. Pembahasan mengenai
birokrasi mempunyai kemiripan dengan apa yang diamati oleh teori organisasi
klasik.
3. Dalam membahas mengenai otorita. Weber mengajukan 3 tipe idealnya
yang terdiri dari: otorita tradisional, kharismatik dan legal rasional. Otorita
tradisional mendasarkan diri pada pola pengawasan di mana legimitasi
diletakkan pada loyalitas bawahan kepada atasan. Sedang otorita kharismatik
menunjukkan legimitasi yang didasarkan atas sifat-sifat pribadi yang luar
biasa. Adapun otorita legal rasional kepatuhan bawahan di dasarkan atas
legalitas formal dan dalam yurisdiksi resmi.
4. Kelemahan dari teori Weber terletak pada keengganan untuk mengakui
adanya konflik di antara otorita yang disusun secara hirarkis dan sulit
menghubungkan proses birokratisasi dengan modernisasi yang berlangsung
di negara-negara sedang berkembang.
5. Tipologi yang diajukan oleh Weber, selanjutnya dikembangkan oleh para
sarjana lain, seperti oleh Fritz Morztein Marx, Eugene Litwak dan Textor dan
Banks.

Karakteristik Birokrasi

1. Menurut Dennis H. Wrong ciri struktural utama dari birokrasi adalah:
pembagian tugas, hirarki otorita, peraturan dan ketentuan yang terperinci dan
hubungan impersonal di antara para pekerja.
2. Karakteristik birokrasi menurut Max Weber terdiri dari: terdapat prinsip dan
yurisdiksi yang resmi, terdapat prinsip hirarki dan tingkat otorita, manajemen
berdasarkan dokumen-dokumen tertulis, terdapat spesialisasi, ada tuntutan
terhadap kapasitas kerja yang penuh dan berlakunya aturan-aturan umum
mengenal manajemen.
3. Ada dua pandangan dalam merumuskan birokrasi. Pertama, memandang
birokrasi sebagai alat atau mekanisme. Kedua, memandang birokrasi sebagai
instrumen kekusaan.
4. Ada tujuh hal penting yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan
organisasi birokratik.

Max Weber (1864 - 1920)

Birokrasi itu apa ?
Menurut weber, ini menggambarkan konsep ideal atau bentuk rational
penuh dari Organisasi.
Digunakan untuk menggambarkan basis struktur tentang konsep sosiologi
dari rasionalisasi aktivitas Kolektif

Beberapa Ciri utama Birokrasi

Adanya pembagian kerja yang jelas : Setiap tugas yang dilaksanakan oleh
pekerja secara formal di buat dan dikenal sebagai tugas pokok(Milikmu dan
bukan milik orang lain) : Spesialisasi
Adanya hirarki Posisi : setiap posisi bawahan di kontrol dan di awasi oleh
atasan. Rantai Perintah
Aturan Formal dan Regulasi : mengatur perilaku pekerja secara samarata.
Menjamin kelangsungan dan stabilitas lingkungan kerja. mengurangi
ketidakpastian dari Performance kerja.
Hubungan yang Impersonal : Para manejer tidak berkepentingan urusan
personal karyawan. tidak ada ikatan emotional antara atasan dan bawahan.
menjamin kejelasan posisi.
Sepenuhnya memperkerjakan karyawan berdasar kompetensi tehnikal :
kamu memperoleh kerjaan karena memang kau bisa mengerjakan pekerjaan
itu, bukan karena orang yang kau tahu. kriteria seleksi ketat. tak ada
pengankatan dan pemberhentian secara suka-suka.


Menurut Weber, bentuk organisasi birokratik merupakan bentuk yang paling
efisien. Dalam teorinya, Weber mengemukakan sepuluh (10) ciri organisasi1,
yaitu:

1. Suatu organisasi terdiri dari hubungan-hubungan yang ditetapkan antara
jabatan-jabatan. Blok-blok bangunan dasar dari organisasi formal adalah
jabatan-jabatan.
2. Tujuan atau rencana organisasi terbagi ke dalam tugas-tugas, tugas-tugas
tersebut disalurkan di antara berbagai jabatan sebagai kewajiban resmi (job
description).
3. Kewenangan: melaksanakan kewajiban diberikan kepada jabatan (saat
resmi menduduki sebuah jabatan).
4. Garis kewenangan dan jabatan diatur menurut suatu tatanan hierarkhis.
5. Sistem aturan dan regulasi yang umum tetapi tegas yang ditetapkan secara
formal, mengatur tindakan-tindakan dan fungsi-fungsi jabatan dalam
organisasi.
6. Prosedur bersifat formal dan impersonal. Perlu adanya catatan tertulis demi
kontinuitas, keseragaman (uniformitas), dan untuk maksud-maksud transaksi.
7. Adanya prosedur untuk menjalankan disiplin anggota.
8. Anggota organisasi harus memisahkan kehidupan pribadi dan kehidupan
organisasi.
9. Pegawai yang dipilih utk bekerja berdasarkan kualifikasi teknis.
10. Kenaikan jabatan berdasarkan senioritas dan prestasi kerja.

Pentingnya Birokrasi

1. Teori yang lama memandang birokrasi sebagai instrumen politik. Tetapi
dalam perkembangan selanjutnya, teori tersebut ditolak, dengan menyatakan
pentingnya peranan birokrasi dalam seluruh tahapan atau proses kebijakan
publik.
2. Menurut Robert Presthus, pentingnya birokrasi diungkapkan dalam
peranan-nya sebagai "delegated legislation", "initiating policy" dan"internal
drive for power, security and loyalty".
3. Dalam membahas birokrasi ada tiga pertanyaan pokok yang harus
diperhati-kan, (1) bagaimana para birokrat dipilih, (2) apakah peranan birokrat
dalam pembuatan keputusan, dan (3) bagaimana para birokrat diperintah.
Dalam hubungannya dengan pertanyaan kedua, hal pertama yang perlu
disadari adalah ada perbedaan antara proses pembuatan keputusan yang
aktual dengan yang formal. Dalam kenyataan birokrat merupakan bagian dari
para pembuat keputusan.
4. Pentingnya peranan birokrasi amat menonjol dalam negara-negara sedang
berkembang di mana mereka semuanya telah memberikan prioritas kegia-
tannya pada penyelenggaraan pembangunan nasional. Di negara-negara ini

Kelemahan dan Problema dalam Birokrasi

1. Kelemahan-kelemahan birokrasi terletak dalam hal:
a. penetapan standar efisiensi yang dapat dilaksanakan secara fungsional
b. terlalu menekankan aspek-aspek rasionalitas, impersonalitas dan hirarki
c. kecenderungan birokrat untuk menyelewengkan tujuan-tujuan organisasi
d. berlakunya pita merah dalam kehidupan organisasi
2. Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam birokrasi sebenarnya tidak
berarti bahwa birokrasi adalah satu bentuk organisasi yang negatif, tetapi
seperti dikemukakan oleh K. Merton lebih merupakan "bureaucratic
dysfunction" dengan ciri utamanya "trained incapacity''.
3. Usaha-untuk memperbaiki penampilan birokrasi diajukan dalam bentuk
teori birokrasi sistem perwakilan. Asumsi yang dipergunaksn adalah bahwa
birokrat di pengaruhi oleh pandangan nilai-nilai kelompok sosial dari mana ia
berasal. Pada gilirannya aktivitas administrasi diorientasikan pada kepen-
tingan kelompok sosialnya. Sementara itu, kontrol internal tidak dapat
dijalankan. Sehingga dengan birokrasi sistem perwakilan diharapkan dapat
diterapkan mekanisme kantrol internal. Teori birokrasi sistem perwakilan
secara konseptual amat merangsang, tetapi tidak mungkin untuk diterapkan.
Karena teori ini tidak realistik, tidak jelas kriteria keperwakilan, emosional dan
mengabaikan peranan pendidikan.

Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model
bureaucratic polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan
menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan.
Sedangkan Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia
sebagai bureaucratic Authoritarian.
Sementara Hans Dieter Evers melihat, bahwa proses birokrasi di Indonesia
berkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala
Parkinson adalah pola, dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil
dan pemekaran structural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang
birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan
kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik
dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan.



Apa Sajakah Teori Kontrol Birokrasi itu?


Teori kontrol birokrasi adalah sebuah pendekatan terhadap teori administrasi
publik khususnya yang berkaitan dengan masalah persetujuan atau kemauan
untuk bertindak. Pertanyaan ini adalah inti dari teori kontrol birokrasi : Bisakah
birokrasi bertentangan dengan hukum atau keinginan si pembuat hukum atau
pejabat yang terpilih? Untuk menjawab pertanyaan ini, teori kontrol birokrasi
menerima beberapa bentuk dikotomi politik-administrasi (atau kebijakan-
administrasi). Kadang dikotomi bisa dijelaskan dan diterima secara eksplisit,
tapi kadang hanya diasumsikan. Tetapi system kontrol politik dari teori
birokrasi ini sulit, apabila tidak bisa dikatakan tidak mungkin, tanpa
mempertimbangkan perbedaan yang signifikan antara fenomena politik dan
administratif dalam pemerintahan yang demokratis.
Dikotomi politik-administrasi merupakan asal usul administrasi publik modern.
Ketika dokumen pendirian amerika dirumuskan, dikotomi merupakan
pemisahan kekuasaan legislatif dan eksekutif. Alexander Hamilton
menentang pendapat bahwa seorang presiden yang bersemangat mampu
mengontrol jalannya pemerintahan dari hari ke hari, dan Thomas Jefferson
menentang dewan legislatif yang terpilih langsung untuk melakukan
pengawasan yang ketat terhadap presiden (Rohr 1986; Kettl 1993b). Pada
tingkat negara bagian dan lokal pemerintah Amerika, dikotomi politik-
administrasi juga diterapkan melalui kekuasan legislatif (Dewan Kota)
maupun eksekutif (Walikota). Sampai dengan abad ke 20, semua Negara
Bagian menjalankan praktek pemisahan kekuasaan, demikian juga di semua
kota.

Pada semua tingkat federal amerika, pemisahan kekuasaan telah berubah
seiring dengan munculnya layanan sipil yang permanen dan profesional.
Ketika pelayanan public pada awal perkembanganya. Woodrow Wilson
menetapkan secara formal dan tegas model dikotomi dengan dalam makalah
seminar tentang administrasi publik modern yang mana politik seharusnya
tidak mencampuri administrasi, dan administrasi seharusnya tidak
mencampuri politik. (1887/1941). Model dikotomi diterima secara l;uas
Dikotomi dalam administrasi publik Amerika hingga pertengahan-1990, Ketika
Herbert Simon dan Dwight Waldo menantang model dikotomi untuk setiap
alasan yang berbeda-beda (Waldo 1946: Simon 1947). untuk Waldo, Semua
praktik administrasi bersifat politik pada tingkatan yang mendasar. Untuk
Simon, Secara empiris sulit memisahkan politik dari administrasi, dan juga
sebaliknya. sehingga dari tahun 1950 sampai 1970-an itu adalah kearifan
diterima bahwa tidak ada dikotomi. Kemudian, pada 1980-an, dikotomi
muncul kembali dan kini hidup, berkembang dengan baik dan ada didalam
pengendalian teori birokrasi.

pentingnya pengendalian teori birokrasi adalah bahwa ia menyediakan untuk
analisis administrasi publik dengan membuat perbedaan antara politik dan
praktik administrasi dan atau membuat perbedaan antara politik dengan
pelaksana adminuistrasi. Perbedaan ini sangat berguna dalam menganalisis
karena mereka memberikan tonggak variabel dalam dasar-dasar politik
(biasanya variabel independen) dan administrasi (biasanya variabel
dependen). Kami datang, kemudian, dengan asumsi penting kedua dalam
pengendalian teori birokrasi: dalam diri pemerintahan yang demokratis ,
pejabat terpilih, termasuk legislator dan eksekutif (presiden, gubernur,
walikota) harus mengendalikan keputusan dan tindakan(bisanya pegawai
pelayanan public).

Dalam ilmu politik Amerika, bentuk dan karakter kontrol politik atas birokrasi
adalah sebuah perdebatan panjang tentang apa yang seharusnya menjadi
kisaran yang tepat diberikan kebijaksanaan birokrasi dan birokrat (Finer 1941:
Frederich 1940). Di zaman modern, perdebatan ini paling baik dicirikan oleh
pendapat Theodore Lowi: di satu sisi bahwa kita memerlukan demokrasi
yuridis di mana undang-undang dan peraturan yang tepat dan sangat
membatasi bahwa mereka menyangkal kebebasan birokrasi dalam
melaksanakan hukum, dan, di sisi lain , Pendapat Charles bahwa
kebijaksanaan birokrasi yang luas adalah penting untuk mencapai
pemenuhan efektif dan manusiawi dari hukum (Lowi 1979; Goodsell 1983).
Donald Kerd menangkap perbedaan-perbedaan ini dengan baik dan
menempatkan mereka dalam konteks sejarah:

..... pendekatan yang berbeda untuk mempelajari administrasi biasanya
datang dari salah satu dari dua tradisi yang bertentangan dalam tradisi politik
Amerika dan masing-masing mengarah pada perspektif yang sangat berbeda
tentang peran administrasi dalam demokrasi di Amerika.Beberapa Beberapa
siswa administrasi menggubnakan pendekatan subjek dengan paham
Hamilton yang mendasar. Seperti Alexander Hamilton ,mereka mencari
negara yang kuat pertahanannya dengan aparat administrasi yang kuat.
Siswa administrasi lainnya, bagaimanapun, secara paham Madisoniant yang
mendasar. Seperti Madison, mereka melihat dalam keseimbangan kekuasaan
adalah perlindungan terbaik terhadap tirani. Kompetisi kepentingan politik, di
dalam pandanganya, mengurangi risiko bahwa birokrasi dapat
penyalahgunaan kebebasan individu (Kerd 1993b. 407)

Kontrol teori birokrasi sangat menarik dari sumur Madisonian
ketidakpercayaan kekuasaan. Beberapa kontrol administratif teoretis birokrasi
berasal dari bagian-bagian dari ilmu politik Amerika yang pada dasarnya
Madisonian. Ekonom dan teori ekonomi telah terjajah ilmu politik dan
cenderung juga harus menjadi Madisonian; tradisional dan sadar diri
administrasi publik dengan penekanan pada manajemen, keahlian, dan
cenderung profesionalisme, dengan perbandingan, untuk dipoles menjadi
lebih Hamiltonian dan perspektif (Kettl, 1936 )

Properti beberapa judul buku kontemporer dalam administrasi publik adalah
salah satu cara menarik untuk menggambarkan kontrol popularitas teori
birokrasi modern:
Perpecahan Birokrasi oleh Michael Barzelay
Mempertahankan birokrasi Pemerintah yang bertanggung jawab oleh Bernard
Rosen
Pengendalian birokrasi oleh Gruber Judith
Pengendalian Birokrasi oleh Gormley William
Menghadapi Birokrasi: Kehidupan dan Kematian dalam Lembaga Publik oleh
Gerald Garvey
Tanggung Jawab birokrasi oleh John Burke
Birokrasi: Apakah yang akan dilakakukan oleh Instansi Pemerintah dan
Mengapa Mereka melakukannya oleh James Q. Wilson
Ada sedikit pertanyaan bahwa birokrasi dan persoalan tentang kendali
birokrasi saat ini berpusat untuk menjadi teori administrasi public modern.
Karena administrasi modern masyarakat dikotomi politik-administrasi adalah
asumsi utama dalam pengendalian teori birokrasi, bagian berikutnya
mendefinisikan dan menggambarkan logika control birokrasi menggunakan
dikotomi. Ini diikuti dengan upaya untuk menjawab pertanyaan teoritis dan
empiris apakah birokrasi dan birokrat responsif terhadap pimpinan.Apakah
mereka "lepas kendali?" Itu akan diikuti dengan pertimbangan pendekatan
pokok-agen untuk kontrol teori birokrasi.


Dipublikasikan Oleh:
M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang

Anda mungkin juga menyukai