Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah infeksi atau peradangan dari mukosa sinus paranasal.

1 Sinusitis mungkin hanya terjadi pada beberapa hari (sinusitis akut) atau berlanjut menjadi sinusitis kronis jika tanpa pengobatan yang adekuat.2 Angka kejadian sinusitis akut mendekati 3 dalam 1000 orang, sedangkan sinusitis kronis lebih jarang kira-kira 1 dalam 1000 orang. Bayi di bawah 1 tahun tidak menderita sinusitis karena pembentukan sinusnya belum sempurna, tetapi sinusitis dapat terjadi pada berbagai usia dengan cara lain.2 Infeksi sinus seperti yang kita ketahui kini lebih jarang dibandingkan era pra-antibiotik. Pasien sering kali masih mengaitkan gejala-gejala seperti nyeri kepala, sumbatan hidung, drenase post-nasal, kelemahan, halitosis dan dispepsia dengan disfungsi sinus. Namun demikian, penyakit sinus menimbulkan kumpulan gejala yang agak karakteristik yang hanya bervariasi sesuai beratnya penyakit dan lokasinya. 2 Prinsip utama dalam menangani infeksi sinus adalah dengan drainase sinus, pemberian antibiotik, dan mencegah komplikasi. Sinusitis yang tidak ditangani dan diabaikan dapat menyebabkan berbagai komplikasi, terutama pada organ-organ vital di sekitarnya. Bahaya komplikasi ini bergantung seberapa besar derajat kerusakan jaringan. Komplikasi tersering adalah perluasan penyakit hingga ke orbita, susunan saraf pusat, dan meluas secara sistemik. 2 Mengingat pentingnya manfaat pengetahuan mengenai penyakit sinusitis, maka pada makalah ini akan dipaparkan berbagai hal yang berkenaan dengan sinusitis dan komplikasinya. 2 . 1.2 Batasan Masalah Pembahasan referat ini dibatasi pada komplikasi sinusitis.

1.3 Tujuan Penulisan Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca dan penulis khususnya mengenai komplikasi sinusitis.

1.4 Metode Penulisan Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke berbagai literatur.

1.5 Manfaat Penulisan Referat ini diharapkan bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman mengenai komplikasi sinusitis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.1,2

2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi Terdapat beberapa faktor etiologi dan predisposisi sinusitis, antara lain ISPA akibat virus, bermacam-macam rinitis, polip hidung, kelainan anatomi (seperti septum deviasi atau hipertropi konka), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia (sindroma Kartagener) dan penyakit fibrosis kistik.1,2 Hipertropi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis pada anak, sehingga perlu dilakukan adenoidektomi. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.1,2

2.3 Patofisiologi Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya tekanan negatif dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi yang mula-mula serous. Kondisi ini disebut rinosinusitis non-bakterial yang biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.1,2 Bila kondisi ini berlanjut, sekret yang menumpuk akan menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri, dan sekret akan menjadi purulen. Keadaan ini disebut rinosinusitis bakterial akut dan memerlukan terapi antibiotik.1,2 Jika terapi gagal, inflamasi akan berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan berkembang. Mukosa makin membengkak dan akan terus berlangsung sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertropi, polipoid atau membentuk kista dan polip. Pada keadaan ini dibutuhkan operasi.1,2

2.4 Klasifikasi Menurut Konsensus tahun 2004 sinuitis dibagi atas:1,2 1. Sinusitis akut, bila infeksi berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu

2. Sinusitis subakut, bila infeksi berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan 3. Sinusitis kronik, bila infeksi berlangsung lebih dari 3 bulan. Berdasarkan lokasinya, sinusitis dapat dibagi menjadi:4 a. Sinusitis maksilaris b. Sinusitis frontalis c. Sinusitis etmoidalis d. Sinusitis sfenoidalis

2.5 Diagnosis Diagnosis sinusitis akut bila terdapat gejala/tanda:2 1. Riwayat rinorea purulen yang berlangsung 7 hari 2. Keluhan lain: sumbatan hidung, nyeri tekan wajah, nyeri kepala, demam, post-nasal drip, batuk, anosmia/hiposmia, nyeri periorbita, nyeri gigi, nyeri telinga, dan serangan mengi meningkat pada asma. 3. Rhinoskopi anterior: Sekret purulen di meatus medius dan superior 4. Rhinoskopi posterior: sekret purulen di nasofaring (post-nasal drip)

Diagnosis sinusitis kronis ditegakkan bila gejala yang diderita (pada sinusitis akut) melebihi 12 minggu, dengan ketentuan memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 mayor 2 minor menurut International Consensus on Sinus Disease 2004:2

2.6 Terapi Terapi medikamentosa sinusitis akut berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I, yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan, yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II

selama 7 hari, yakni amoksisilin-klavulanat / ampisilin-sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.2 Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau nasoendoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis, yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.2 Terapi untuk sinusitis kronis: . a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari. 2 b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 1014 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah, yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis. 2 c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit. 2 d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.2 e. Pembedahan Radikal: Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc, Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi, Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian. 2 Non-Radikal: Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal. 2

2.7 Komplikasi Meskipun komplikasi sinusitis sudah jarang dijumpai pada era antibiotik sekarang ini, komplikasi serius masih dapat terjadi. Yang harus diingat komplikasi rinosinusitis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila tidak mendapatkan penanganan yang baik dan

adekuat. Letak sinus paranasal yang berdekatan dengan mata dan kranial sangat berperan pada infeksi rinosinusitis akut ataupun kronik. 2 Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya komplikasi antara lain karena: 2 1. Terapi yang tidak adekuat 2. Daya tahan tubuh yang rendah 3. Virulensi kuman, dan 4. Penanganan tindakan operatif (yang seharusnya) terlambat dilakukan.

Komplikasi dapat terjadi, baik pada sinusitis akut, subakut, atau kronis. Angka kejadian komplikasi yang rendah menyebabkan insidensinya tidak diketahui pasti. Komplikasi biasanya berhubungan dengan area di sekitar sinus. CT-Scan penting dilakukan dalam

menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi. 2 Adapun komplikasi sinusitis yang terjadi dapat berupa komplikasi ringan hingga berat, yang dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu lokal, orbital, intrakranial, dan distansial (jauh). 2

2.7.1 Komplikasi Lokal 1. Mukokel Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul di dalam sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. 2,3 Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya. 2,3 Mukokel primer (atau disebut kista retensi) berkembang akibat hambatan duktus kelenjar saliva mayor, terutama pada sinus maksilaris. Mukokel sekunder disebabkan obstruksi ostium sinus sebagai komplikasi obstruktif dari rinosinusitis, polip, trauma, pembedahan, dan tumor. Nyeri kepala dan berkurangnya visus merupakan gejala tersering pada mukokel di sinus frontal, dimana gejala berlangsung perlahan seiring membesarnya mukokel dalam beberapa tahun. 2,3

Diagnosis ditegakkan bila dijumpai nyeri kepala bagian frontal dan proptosis, serta bergesernya bola mata ke bawah atau ke atas. Nyeri hidung dan periorbita dalam dapat ditemukan. Berbeda dengan sinusitis akut atau kronik, obstruksi nasal dan rinorhea justru jarang didapat. Meskipun diagnosis dapat diduga berdasarkan temuan klinis, pemeriksaan radiografi perlu dilakukan untuk memperkuat analisis dan mengetahui letak dari mukokel. Pada pemeriksaan CT scan, mukokel tampak sebagai massa hipodens. Massa dapat mengisi kavum sinus. Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. 2,3 Terapi umum mukokel adalah dengan mengangkat secara total mukokel, dan umumnya melalui bedah terbuka. Saat ini, teknik endoskopik transnasal digunakan untuk mengatasi komplikasi ini. Marsupialisasi mukokel, dibanding mengangkat total, merupakan konsep terapi yang mementingkan kemampuan mukosa sinus untuk kembali ke kondisi normal atau mendekati normal. 2,3

2. Osteomielitis dan Tumor Pott Penyebaran infeksi melalui anyaman pembuluh darah ke tulang kranium menyebabkan osteitis yang akan mengakibatkan erosi pada bagian anterior tulang frontal. Gejala klinis tampak udem yang terbatas pada dahi di bawah kulit dan penimbunan pus di superiosteum. Berlanjutnya kelainan ini akan menyebabkan terjadinya suatu kondisi yang disebut Potts Tumor. 2,3 Tumor Pott merupakan massa tumor bundar yang tidak nyeri, pertama kali diperkenalkan oleh Percival Pott pada tahun 1760. Infeksi yang masuk ke sinus frontalis dan menyebabkan osteomyelitis progresif di sana, pada akhirnya akan membentuk abses subperiosteal perikranial anterior, abses periorbita, atau abses epidural. Penumpukkan pus subperiosteal pada dahi tersebut akan membentuk struktur berupa benjolan yang fluktuatif dan sembab (tumor Pott). 2,3 Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang yang mendukung adalah CT scan dan MRI. Dapat pula dilakukan bone scanning untuk melihat osteomyelitis. 2,3 Penanganan untuk kasus ini adalah dengan pemberian antibiotik intravena, drainase abses, dan bila perlu debridement tulang. Pada beberapa kasus, dapat dilakukan sinusostomi frontaal. Antibiotik intravena diberikan selama 3 minggu, dilanjutkan dengan pemberian oral 3-5 minggu. 2,3

3. Otitis Media Ruang telinga tengah dihubungkan ke faring melalui tuba Eustachii. Terdapat banyak kesamaan kejadian klinis antara otitis media dan sinusitis. Bila pada telinga tengah, tuba Eustcahii yang berperan penting sebagai ventilasi dan drainase ke faring, maka pada sinus, yang berperan adalah ostium sinus. Kesamaan lainnya adalah tipe mukosa yang sama antara telinga tengah dan sinus, yaitu epitel pseudostratifikasi kolumnar bersilia. Tiga patogen mayor pada otitis media dan sinusitis juga sama, yaitu S. Pneumoniae, H. Influenzae, M catarrhalis. 2 Sinusitis hampir selalu disertai dengan rinitis, sehingga disebut rinosinusitis. Pada keadaan inflamasi, akan terjadi edema mukosa dan hipersekresi mukus, yang menyebabkan penumpukkan sekret di bagian faring. Seringkali keadaan ini menyebabkan oklusi tuba Eustachii, yang selanjutnya menyebabkan fungsi ventilasi dan drainase telinga tengah terganggu. Bila keadaan tersebut menetap, maka akan terjadi efusi telinga tengah yang rentan terinfeksi. Selanjutnya, akan terjadi otitis media sesuai dengan perjalanan penyakitnya. 2 Penanganan awal otitis media adalah dengan membuka sumbatan tuba Eustachii untuk normalisasi ventilasi dan drainase telinga tengah. Penanganan lanjutan disesuaikan dengan sejauh mana proses penyakit berlangsung. Pemberian antibiotik, kortikosteroid, dekongestan, dan antihistamin dapat dilakukan. Tindakan bedah dilakukan pada kasus kronik, dan dilakukan bersamaan atau setelah keadaan sinus diperbaiki. 2

2.7.2 Komplikasi Orbita dan Periorbita Secara anatomi perbatasan daerah mata dan sinus sangat tipis : batas medial sinus etmoid dan sfenoid, batas superior sinus frontal, dan batas inferior sinus maksila. Sinusitis merupakan salah satu penyebab utama infeksi orbita. Pada era pre antibiotik hampir 50 % terjadi komplikasi ke mata, 17 % berlanjut ke meningen dan 20 % terjadi kebutaan. 2 Komplikasi dapat melalui 2 jalur : Direk / langsung : melalui defisiensi kongenital ataupun adanya erosi pada tulang barier terutama lamina papirasea. 2 Retrograde tromboplebitis : melalui anyaman pembuluh darah yang berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita. 2

Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Etmoiditis sering menimbulkan komplikasi ke orbita, diikuti sinusitis tersering. Etmoiditis sering

menimbulkan komplikasi ke orbita, diikuti sinusitis frontal dan maksila. Komplikasi ke orbita dapat terjadi pada segala usia, tetapi pada anak-anak lebih sering. Intervensi tindakan operatif lebih banyak dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita. 2

Menurut Chandler et al, terdapat lima klasifikasi komplikasi orbita dan periorbita pada sinusitis, yaitu: 2,3,5 1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan (selulitis preseptal). Peradangan atau selulitis preseptal menunjukkan infeksi yang terbatas di kulit dan jaringan subkutan palpebra anterior hingga septum orbita. Kelainan ini merupakan komplikasi orbita tersering (70% komplikasi sinusitis secara keseluruhan) dan jarang parah. Kelainan ini dapat menyebabkan sumbatan vena dan drainase limfatik akibat obstruksi sinus. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini. 2,3,5 Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang menunjukkan adanya edem palpebra, eritema, tenderness. Visus, reaksi pupil, dan gerakan bola mata umumnya tidak terganggu. CT scan tidak dianjurkan pada kelainan pada tahap ini, kecuali bila terdapat perubahan visus, gangguan refraksi, ptosis, dan tanda-tanda selulitis post-septal lainnya. 2,3,5 Penatalaksanaan selulitis preseptal adalah dengan pemberian antibiotik oral spektrum luas, elevasi kepala, kompres hangat, dan penanganan penyebab yang mendasari. Meskipun antibiotik intravena merupakan terapi standar untuk anak-anak sebelum adanya vaksinasi H.influenzae, antibiotik oral spektrum luas saat ini lebih dianjurkan karena kasus yang ringan dan lebih aman. Pemberian dekongestan hidung, mukolitik, dan irigasi saline dapat membantu drainase sinus. 2,3,5

2. Selulitis orbita Selulitis orbita ditandai adanya proses infeksi yang meliputi bagian-bagian di belakang septum orbita, termasuk tulang-tulang yang membentuk kavum orbita. Isi orbita terlihat edem difus dengan sel-sel peradangan dan plasma, bakteri telah secara aktif menginvasi

isi orbita namun pus belum terbentuk. Edem orbita disebabkan oleh peningkatan tekanan sinus venosus yang menyebabkan transudasi cairan melalui dinding pembuluh ke orbita.2,3,5 Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya edema palpebra, proptosis ringan, dan kemosis. Nyeri orbita terjadi pada 85% pasien. Pada kasus berat, gerak orbita menjadi sangat terbatas, meskipun visus belum terganggu. Apabila diduga terjadi selulitis orbita, maka konsultasi ke ahli mata dapat dilakukan, untuk meninjau kembali akuisitas visual, reaksi pupil, gangguan lapang pandangan, melihat warna, motilitas ekstraokular, proptosis, posisi bola mata, tekanan intraokular, dan keadaan saraf II. CT scan dengan kontras dapat memperlihatkan adanya sejumlah jaringan edematous orbita. 2,3,5 Penanganan kasus ini adalah dengan pemberian antibiotik intravena dan pemeriksaan imaging dilakukan untuk melihat sejauh mana kelainan mata terjadi. Apabila antibiotik gagal (ditandai dengan hilangnya penglihatan secara progresif, demam menetap selama 36 jam, keadaan klinis yang memburuk dalam 48 jam, atau tidak ada perubahan apa pun selama 72 jam paska pemberian antibiotik), maka terapi drainse bedah dapat dilakukan, yang memenuhi satu dari lima syarat berikut: 2,3,5 CT scan membuktikan adanya pembentukan abses Visus 20/60 (atau lebih buruk) pada evaluasi awal Komplikasi orbita berat (misalnya kebutaan atau hilangnya refleks pupil) pada evaluasi awal Gejala orbita yang semakin berat meskipun mendapat terapi medic Tidak ada perbaikan selama 48 jam paska pengobatan medik.

3. Abses subperiosteal Abses subperiosteal merupakan komplikasi sinusitis yang sering terjadi di orbita superomedial atau inferomedial, yang berhubungan dengan sinusitis etmoidalis. Abses berkembang setelah infeksi menembus lamina papirasea atau melalui foramen etmoidalis anterio/posterior. Terkumpulnya cairan subperiosteal yang meluas dapat menyebabkan kebutaan, yaitu sebagai akibat langsung penekanan saraf II, peningkatan tekanan intraorbita, atau proptosis yang menyebabkan peregangan saraf II. Dengan penanganan medik dan intervensi bedah agresif sekalipun, sekitar 15-30% pasien akan mengalami sekuele gangguan visus. 2,3,5

Diagnosis kelainan ini memerlukan evaluasi oftalmologik. Secara klinis abses subperiosteal dicurigai bila pada pasien dengan selulitis orbita, mengalami proptosis dan gangguan lapang pandang yang semakin berat, akibat peningkatan tekanan intraorbita. Kehilangan persepsi warna merah/hijau dapat mendahului penurunan visus. 2,3,5 Penanganan dan penentuan pendekatan pembedahan masih merupakan kontroversi. Meskipun pemberian antibiotik intravena dapat dimulai pada tahap awal, beberapa ahli THT tetap menganjurkan drainase sinus secepatnya. Beberapa penelitian menunjukkan adanya kasus abses subperiosteal yang responsif terhadap pengobatan konvensional, terutama pada anak-anak yang lebih muda, karena virulensi kuman lebih rendah. Kriteria inklusi untuk pengobatan medikamentosa adalah usia lebih muda dari 9 tahun, tidak terdapat sinusitis frontalis, lokasi abses di medial, tidak terbentuk gas abses, ukuran abses kecil, bukan kasus berulang, tidak terdapat gangguan saraf optik dan retina, dan tidak terdapat infeksi gigi. 2,3,5 Berdasarkan kriteria Oxford, maka tindakan bedah ditunda dan diberikan penanganan konservatif, bila memenuhi seluruh kriteria: 2,5 Visus, reaksi pupil, dan keadaan retina normal Tidak ada oftalmoplegia Tekanan intraokular kurang dari 20 mmHg Proptosis maksimal 5 mm Ukuran abses maksimal 4 mm.

Drainase operatif dilakukan bila terjadi penurunan visus, defek pupil, demam yang berlangsung selama 36 jam, klinis yang memburuk dalam 48 jam, atau tidak ada perbaikan setelah pemberian obat-obatan. Pendekatan bedah yang digunakan pada kasus ini meliputi pendekatan eksternal, endoskopik, dan kombinasi. Etmoidektomi eksternal dapat dilakukan untuk drainase abses. Pada anak-anak, sebaiknya dilakukan pendekatan endoskopik untuk menghindari perdarahan dan inflamasi mukosa akut. Teknik endoskopik meliputi etmoidektomi, skeletonizing lamina papiracea, drainase orbita. Drainase transkarankular merupakan salah satu contoh pendekatan kombinasi yang diperkenalkan oleh Pelton pada tahun 1996. Dengan cara ini, dilakukan insisi di area antara karankula dan lipatan semilunar. Periosteum orbita diinsisi tajam dan dibuka untuk mengeluarkan abses. Pendekatan ini dapat diterapkan pada dinding medial orbita pada sisi lamina papiracea. 2,3,5

4. Abses orbita Terjadinya komplikasi ini menunjukkan sekuele dari sinus paranasal yang berkembang progresif akibat keterlambatan diagnosis dan terapi, atau akibat kondisi imunologi yang buruk. Abses orbita dapat terjadi di dalam atau di luar otot, ketika selulitis orbita berubah menjadi kumpulan pus. Pada keadaan ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah. 2,3,5 Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa proptosis, kemosis, oftalmoplegia total, dan gangguan visus, yang berlangsung progresif menuju tahap kebutaan irreversibel. Substansi purulen dapat keluar secara spontan melalui kelopak mata. CT scan menunjukkan gambaran infiltrasi difus intraconal dan ekstraconal. Gambaran radiologik dapat menunjukkan proptosis masif, dilatasi ekstraokular, dan pembentukan gas. Pada MRI, didapatkan gambaran jaringan nekrotik. 2,3,5 Penanganan abses yang berkembang adalah dengan drainase operatif pada sinus dan abses. Drainase endoskopik abses pada medial orbita dilakukan seperti pada abses subperiosteal. Insisi periorbita dilakukan untuk penyaliran abses intraorbita.

Etmoidektomi posterior diindikasikan bila terdapat kelainan di etmoid posterior dan abses yang meluas hingga ke apeks orbita. Tindakan ini dilakukan dengan kerjasama dengan ahli mata. 2,3,5

5. Trombosis sinus kavernosus Komplikasi ini merupakan akibat perluasan infeksi dari kavum sinonasal (sfenoid > ethmoid > frontal), atau dari bagian sepertiga tengah wajah. Sindrom dapat terjadi sebagai komplikasi dari selulitis orbita. Perluasan ini dipermudah oleh sinus kavernosus yang bebas anastomosis dan tidak terdapat sistem katup vena, sehingga infeksi dapat terjadi secara retrograd dari arah superior dan inferior vena oftalmika. 2,3,5 Diagnosis komplikasi ini relatif sukar, meskipun penting untuk membedakannya dengan selulitis atau abses orbita, karena dalam perjalanan penyakitnya akan terjadi keadaan yang mengancam jiwa. Tanda klinis yang terpenting adalah gangguan orbita bilateral, kemosis dan oftalmoplegia yang progresif, kelainan retina berat, demam melebihi 40oC ,dan protrasi. Tanda klinis yang sering terlihat pada trombosis sinus kavernosus berkaitan dengan struktur anatominya, yaitu adanya kerusakan langsung saraf III hingga VI, dan

gangguan aliran vena dari orbita dan mata. Stasis aliran vena akan menyebabkan papiledema, perdarahan retina, dan kehilangan penglihatan. Perluasan infeksi ke sinus kavernosus kontralateral (melalui sinus interkavernosus) umumnya terjadi dalam 24 48 jam setelah infeksi pertama terjadi. Trombosis karotid dapat mengikuti komplikasi ini, dan berakibat serangan stroke, empiema subdural, abses otak, atau meningitis. 2,3,5

Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari : Oftalmoplegia Kemosis konjungtiva Gangguan penglihatan yang berat Kelemahan pasien Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak Penanganan meliputi pemberian antibiotik intravena dosis tinggi yang mampu melewati sawar darah otak dan secara langsung dapat membunuh sebagian besar kuman patogen. Terapi empiris dapat mencakup pemberian nafcilin, ceftriaxone, metronidazol, atau vankomisin. Pemberian antibiotik biasanya selama 3-4 minggu, atau selama 6-8 minggu bila komplikasi intrakranial terjadi. 2,3,5 Intervensi bedah dilakukan untuk drainase sinus yang terkena. Observasi dilakukan sehubungan dengan risiko terjadinya sepsis, trombosis, dan perluasan infeksi. Pemberian antikoagulansia bertujuan untuk mencegah progresivitas trombosis, mengingat kejadian ini sukar diprediksi. Banyak penelitian membuktikan efektivitas pemberian

antikoagulansia dan jarang sekali pemberian tersebut menyebabkan komplikasi perdarahan. Pemberian heparin bersama antibiotik terbukti menurunkan angka morbiditas secara bermakna. Pemberian kortikosteroid masih belum ditetapkan sebagai terapi tambahan yang efektif. 2,3,5

2.7.3 Komplikasi Intrakranial Sinusitis yang tersering menyebabkan komplikasi intrakranial adalah sinusitis frontalis, diikuti sinusitis ethmoidalis, sfenoidalis, dan maksilaris. Komplikasi intrakranial dapat terjadi pada infeksi sinus yang akut, ekaserbasi akut ataupun kronik. Komplikasi ini lebih sering pada laki-laki dewasa, diduga ada faktor predileksi yang berhubungan dengan pertumbuhan tulang frontal dan meluasnya sistem anyaman pembuluh darah yang terbentuk. Beberapa jalur untuk terjadinya infeksi ini antara lain: 2 Secara langsung melalui defek atau erosi tulang. Secara hematogen melalui anyaman pembuluh darah.

Beberapa tahap komplikasi intrakranial yang dikenal: 1. Meningitis Meningitis merupakan komplikasi intrakranial tersering dari sinusitis. Sinusitis frontal jarang menyebabkan meningitis tetapi seringkali karena infeksi sekunder dari sinus etmoid dan sfenoid. Lapisan arakhnoid pada dewasa relatif lebih resisten terhadap invasi langsung bakteri, namun pada anak-anak infeksi dapat lebih mudah menyebar karena jaringan yang masih immatur. Infeksi dari sinus paranasalis dapat pula menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti melalui dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis. 2 Gejala-gejala tampak jelas: adanya demam, sakit kepala, tanda rangsang meningeal, kejang, diikuti kesadaran menurun sampai koma. Kelemahan saraf kranial sering pula terjadi, dan yang paling menonjol adalah gangguan pergerakan bola mata.
2

Penanganan awal untuk meningitis adalah pemberian antibiotik spektrum luas secara intravena, yang dapat menembus sawar darah otak. Terapi pembedahan dilakukan bila terapi konvensional tidak berhasil dalam 48 jam pengobatan, dengan catatan pasien masih dalam keadaan stabil. Sekuele neurologik dapat terjadi pada pasien ini, berupa gangguan kejang dan kelemahan sensorineural. Kehilangan pendengaran terjadi pada 25% pasien dengan komplikasi meningitis.
2

2. Epidural abses Abses epidural merupakan komplikasi kedua tersering dari sinusitis. Komplikasi ini lebih sering mengikuti sinusitis frontal, yang kemungkinan disebabkan banyaknya komunikasi vena dan renggangnya duramater. Pada kelainan ini didapatkan timbunan pus di antara duramater dan ruang kranium yang sering tampak pada tulang frontal dimana duramater melekat longgar pada tulang dahi. Mikroorganisme tersering yang membentuk abses adalah Staphylococcus aureus dan Streptococci. 2 Gejala sangat ringan, tanpa ada gangguan neurologi, ada nyeri kepala yang makin lama dirasakan makin berat dan sedikit demam. Diagnosis dapat diperkuat dengan pemeriksaan CT scan kepala dan MRI. 2 Penanganan abses epidural adalah dengan pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan drainase sinus dan abses, meskipun beberapa ahli menyatakan pembedahan tidak diperlukan bila abses berukuran kecil. 2

3. Subdural empiema Abses atau empiema subdural merupakan komplikasi intrakranial tersering ketiga dari sinusitis. Apabila komplikasi ini terjadi, maka angka mortalitasnya cukup tinggi, yaitu 25-35%. Sekitar 30% pasien yang sembuh, menunjukkan adanya gangguan neurologik. Abses ini seringkali merupakan komplikasi dari sinusitis frontalis, karena barier anatomi yang kurang baik, maka empiema dapat meluas dengan cepat hingga menyelubungi korteks dan masuk ke area interhemisfer. Kelainan ini umumnya unilateral. Mikroorganisme penyebab tersering adalah Streptococci. 2 Gejala nyeri kepala hebat, ada tanda-tanda iskemik/infark korteks seperti hemiparesis, hemiplegi, paralisis nervus facialis, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, demam tinggi, lekositosis, dan akhirnya kesadaran menurun. Pada keadaan yang mengancam, penanganan bersifat emergensi karena deteriorasi yang begitu cepat. Gejala meningitis dapat terlihat, defisit neurologi fokal dalam berbagai derajat akan muncul sesuai dengan area abses. CT Scan dan MRI dapat membantu menegakkan diagnosis. 2 Penanganan meliputi pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan drainase operatif dari sinus dan abses. Pemberian steroid dan antikonvulsi secara rutin disesuaikan dengan keadaan penderita. 2

4. Abses intraserebral Abses intraserebral dapat terjadi dan paling sering pada lobus frontal dan frontoparietal, karena disebabkan sinusitis frontal yang menyebar secara retrograde, septik emboli dari anyaman pembuluh darah. Namun, dapat pula infeksi menyebar dari sinus ethmoidalis dan sfenoidalis. 2 Gejala umum berupa demam, nyeri kepala, mual-muntah, letargi, dan gejala-gejala lain sehubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Bila abses timbul perlahan, gejala neurologi tak jelas tampak, bila edem terjadi di sekitar otak, tekanan intrakranial akan meningkat, gejala-gejala neurologi jelas tampak, ancaman kematian segera terjadi bila abses ruptur. Diagnosis diperkuat dengan pemeriksaan MRI dan CT scan. 2 Penanganan untuk komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik dosis tinggi dan drainase operatif dari sinus dan abses. Pemberian kortikosteroid dan antikonvulsi dapat dibenarkan. 2

5. Trombosis Sinus Venosus (Sinus Sagitalis Superior dan Sinus Kavernosus) Infeksi yang meluas ke sinus sagitalis superior dan sinus kavernosus dapat terjadi secara retrograd dari tromboflebitis sinus frontalis. Trombosis sinus kavernosus telah dibicarakan pada bahasan sebelumnya. Trombosis sinus sagitalis superior umumnya berkaitan dengan komplikasi lain seperti abses subdural, abses epidural, atau abses intraserebral. 2 Derajat keparahan bergantung pada luasnya trombosis dan sumbatan pembuluh darah. Oklusi akut sinus dural biasanya berimplikasi buruk dan dapat memicu edema serebral masif, kongesti vena, dan infark. Pasien dapat merasa sangat nyeri, demam tinggi yang meningkat tajam, tanda meningeal positif, atau sejumlah komplikasi neurologik serius lainnya. Seringkali, pasien dengan trombosis sinus dural menunjukkan gejala yang ringan, karena oklusi yang inkomplit atau adanya sistem kolateral. Gambaran yang lebih jelas adalah dengan MRI menggunakan kontras gadolinium, MR angiogram dan venogram yang menunjukkan sejauh mana proses berlangsung. 2 Penanganan meliputi pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan drainses sinus paranasal. Pemberian antikoagulansia sistemik diberikan hingga pemeriksaan radiologik yang memadai membuktikan bahwa trombus telah teratasi. Penanganan utama untuk trombosis sinus akut masih kontroversial. Bedah rekonstruksi dilakukan pada kasus yang berat dan luas. Dapat pula dilakukan trombektomi terbuka yang dikombinasikan dengan terapi trombolisis endovaskular, misalnya dengan pemberian urokinase atau streptokinase

ke sinus sagitalis superior melalui kateter yang melewati burr-hole kraniotomi. Teknik serupa yang terbukti efektif adalah dengan pemberian agen trombolitik bersamaan dengan venografi melalui vena femoralis. 2

2.7.4 Komplikasi Distansial 1. Asma dan Bronkhitis Hubungan antara sinusitis dengan eksaserbasi asma dan bronkhitis masih belum jelas, meskipun sejumlah teori telah berupaya menjelaskannya. Hubungan sinusitis dan asma cukup tinggi, bahkan terdapat satu penelitian yang melaporkan 100% respondennya yang mengalami sinusitis, juga mendapat serangan asma. Pada penelitian lainnya, terbukti keterkaitan keduanya dari hasil CT scan sinus, kadar eosinofil serum dan sputum, dan derajat ekshalasi nitrit oksida. Sinusitis berhubungan dengan asma dan bronkhitis, yaitu adanya hiperplasia kronik eosinofilik yang dijumpai pada sinusitis yang turut memperparah dan menginduksi serangan asma. 2 Beberapa mekanisme yang menjelaskan keterkaitan tersebut antara lain, refleks nasofaringeal-bronkhial, aspirasi sel inflamatori dan mediatornya, inhalasi udara kering, dan inflamasi lokal saluran napas atas yang memicu inflamasi pulmonar. Adanya peningkatan sel eosinofil dalam darah tepi dan sputum dapat memediasi berulangnya asma. Hal ini ditambah dengan dilepaskannya berbagai mediator inflamasi dan sitokin, baik ke dalam sirkulasi, maupun per inhalasi ke saluran napas. Keterkaitan keduanya juga diperkuat oleh bukti yang menunjukkan menurunnya gejala asma setelah keadaan sinusitis dikoreksi. 2 Diagnosis asma terkait sinusitis relatif mudah, yaitu dengan anamsesis dan menemukan tanda-tanda sinusitis dan tanda-tanda asma. Tanda asma berupa batuk berdahak, wheezing saat ekspirasi, dan dispnea. 2 Penanganan meliputi pemberian antibiotik dan drainase untuk menangani sinusitis, sedangkan untuk asma dapat diberikan bronkodilator berupa agonis- secara nebulasi. Pemberian kortikosteroid sebanyak 0,5-1 mg/KgBB selama 3 hari dapat diberikan. Bila gejala berat, dapat diberikan oksigen 2-4 liter/menit dan foto thoraks untuk mengetahui komplikasi lanjut dari asma. 2

2. Sepsis Meski relatif jarang, sinusitis yang neglected dapat berkembang dan menimbulkan

komplikasi sepsis. Sepsis adalah keadaan menyebarnya mikroorganisme dan toksinnya ke

dalam sirkulasi, dan selanjutnya menimbulkan respons inflamasi sistemik. Diagnosis ditegakkan bila bukti-bukti adanya infeksi diperkuat dengan dua dari empat gejala SIRS:2 Temperatur oral > 38oC atau < 36oC Frekuensi napas > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg Nadi > 90 kali/menit Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3

Sepsis disebabkan oleh respons imun yang meningkat akibat endotoksin yang dihasilkan mikroorganisme, sehingga merangsang dilepaskannya berbagai mediator inflamasi, terutama TNF-., yang kemudian memicu dilepaskannya berbagai mediator lainnya, seperti IL-1, IFN-, IL-8 yang secara keseluruhan menyebabkan reaksi inflamasi luas berupa vasodilatasi, takikardia, takipnea, DIC, dan syok. 2 Mengingat bahaya yang ditimbulkan dapat berlangsung cepat, maka penanganannya juga harus cepat, yaitu dengan eliminasi infeksi, stabilisasi respirasi dan hemodinamik. Pemberian antibiotik intravena dosis tinggi seperti ceftriaxon (1 gram/12 jam) atau tikarsilin-klavulanat (3 gram/ dibagi 4 dosis). Gentamisin dan tobramisin dapat ditambahkan (5 mg/Kgbb/ setiap 12 jam). Bila terjadi asidosis, diberikan Natrium bikarbonat sesuai kebutuhan. Sedangkan bila telah terjadi syok, maka langkah utama adalah dengan stabilisasi hemodinamik dengan pemberian adrenalin 0,3-0,5 cc dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid. Bila kegawatan telah tertangani, maka drainase sinus harus segera dilakukan untuk mencegah berkembangnya komplikasi. 2

3. Toxic Shock Syndrome Toxic Shock Syndrome merupakan salah satu komplikasi sistemik akibat pelepasan toksin superantigen dan enterotoksin yang dihasilkan oleh koloni bakteri Streptococci dan Staphylococci. Insidensi meningkat pada orang dengan infeksi fokal oleh kedua bakteri tersebut. Komplikasi ini melibatkan multisistem dengan onset cepat. 2 Diagnosis ditegakkan bila memenuhi 6 kriteria mayor menurut CDC: demam tinggi, rash, deskuamasi, hipotensi, gangguan fungsi tiga atau lebih sistem organ

(gastrointestinal, muskular, membran mukosa, renal, hepatik, hematologik, dan SSP), dan tidak ada penyebab lain yang memungkinkan untuk keadaan tersebut. Gejala hipotensi berlangsung dalam 48 72 jam dan terus meningkat. Kerusakan organ dapat disebabkan perfusi jaringan yang buruk dan akibat langsung dari toksikemia. 2

Penanganan komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiorik intravena dosis tinggi yang sensitif untuk kedua kuman penyebab dan drainase fokus infeksi di sinus. Antibiotik yang diberikan dapat penicilin atau seftriakson ditambah klindamisin atau eritromisin. Penanganan suportif dilakukan untuk manajemen kegagalan organ dan hipotensi. Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan selama 3 atau 4 hari. 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI; 2007. 2. Rahmawan A et al. Berbagai Komplikasi Sinusitis dan Penatalaksanaannya. Tinjauan Pustaka. Banjarmasin: FKUNLAM; 2009. 3. Adams GL et al. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Jakarta: EGC; 1997. 4. Sambuda Adi. Korelasi antara Rhinitis dengan Sinusitis pada Pemeriksaan Sinus Paranasalis di Instalasi Radiologi RSUP DR.Moewardi Surakarta. Skripsi. Surakarta: FK Universitas Sebelas Maret; 2008. 5. Elango S et al. Orbital Complications of Acute Sinusitis. Singapore Med J. 1990; 31: 341-344.

Anda mungkin juga menyukai