Anda di halaman 1dari 17

BIOGRAFI TOKOH-TOKOH TERKENAL DAN

BUDAYAWAN DI SUMATERA BARAT

( ROHANA KUDUS DAN TAUFIQ ISMAIL )

OLEH: INDRI FAJRIA MUSFIROH

KELAS: XI IPA 5

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 PADANG

TAHUN PELAJARAN 2008/2009


Biografi Rohana Kudus
Wartawan Perempuan Pertama itu Diusulkan Jadi Pahlawan

TAK banyak yang tahu siapa gerangan Rohana Kuddus. Menyebut


namanya, di tingkat lokal (Sumbar-red), orang hanya tahu nama itu melekat
sebagai nama jalan, nama gedung, nama usaha kripik balado di Kota Padang,
dan sebagainya. Soal kiprahnya? Hanya segelintir yang tahu, itupun mungkin
tidak persis detilnya.

Ternyata, wanita penyandang nama Rohana Kuddus ini, betul-betul


amazing (luar biasa) untuk eranya –dan juga mungkin untuk era sekarang–, bila
melihat kiprah hidupnya.

Rohana Kudus Lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Provinsi


Sumatera Barat, pada tanggal 20 Desember 1884, dari ibunya yang bernama
Kiam dan ayahnya bernama Rasjad Maharaja Soetan. Ia adalah kakak tiri dari
Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Republik Indonesia yang pertama dan juga
Mak Tuo (Bibi) dari penyair terkenal Chairil Anwar. Rohana hidup di zaman
yang sama dengan Kartini, dimana akses perempuan untuk mendapat
pendidikan yang baik sangat dibatasi. Beliau adalah perdiri surat kabar
perempuan/wanita pertama di Sumatera Barat dan Indonesia.

Latar Balakang
Rohana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat
pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Rohana
termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa
diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat
pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan
kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Rohana melawan
ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.

Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun


ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai Pemerintah Belanda yang
selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat
belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai materi yang
diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Rohana sudah bisa
menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar Abjad
Arab, Latin dan Arab Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang,
Rohana bertetanga dengan Pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat
Belanda itu Rohana belajar menyulam, menjahit, merenda dan merajut yang
merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca
majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup dan
pendidikan di Eropa yang sangat digemari Rohana.

Perjuangan dan Pengabdian

Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya setelah kembali ke


kampung dan menikah pada usia 24 Tahun dengan Abdul Kudus yang berprofesi
sebagai notaris. Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan
pada tanggal 11 Februari 1911 yang diberi nama “Sekolah Kerajinan Amai
Setia”. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan,
keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama
dan Bahasa Belanda. Banyak sekali rintangan yang dihadapi Rohana dalam
mewujudkan cita-citanya. Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum
perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan
kebiasaan masyarakat Koto Gadang, bahkan fitnahan yang tak kunjung
menderanya seiring dengan keinginannnya untuk memajukan kaum perempuan.
Namun gejolak sosial yang dihadapinya justru membuatnya tegar dan semakin
yakin dengan apa yang diperjuangkannya.

Selain berkiprah di sekolahnya, Rohana juga menjalin kerjasama dengan


pemerintah Belanda karena ia sering memesan peralatan dan kebutuhan jahit-
menjahit untuk kepentingan sekolahnya. Disamping itu juga Rohana menjadi
perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang
memenuhi syarat ekspor. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri
rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya
semua perempuan yang pertama di Minangkabau.

Banyak petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan dan kiprah


Rohana. Selain menghasilkan berbagai kerajinan, Rohana juga menulis puisi dan
artikel serta fasih berbahasa Belanda. Tutur katanya setara dengan orang
yang berpendidikan tinggi, wawasannya juga luas. Kiprah Rohana menjadi topik
pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar
terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di
Sumatera Barat.

Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan


pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis
berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama
Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat
kabar perempuan pertama di Sumatera Barat dan Indonesia yang pemimpin
redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan.

Kisah sukses Rohana di sekolah kerajinan Amai Setia tak berlangsung


lama pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang telah didiknya
hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester
karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Rohana harus
menghadapi beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi didampingi
suaminya, seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh keluarga.
Setelah beberapa kali persidangan tuduhan pada Rohana tidak terbukti,
jabatan di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, namun dengan
halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi.

Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School”.


Rohana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk
menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali. Rohana
School sangat terkenal muritnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi tapi juga
dari daerah lain. Hal ini disebabkan Rohana sudah cukup populer dengan hasil
karyanya yang bermutu dan juga jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Sunting
Melayu membuat eksistensinya tidak diragukan.
Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Rohana memperkaya
keterampilannya dengan belajar membordir pada orang Cina dengan
menggunakan mesin jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain
belajar membordir Rohana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di
sekolahnya sendiri. Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang
menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Cina.

Dengan kepandaian dan kepopulerannya Rohana mendapat tawaran


mengajar di sekolah Dharma Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya
perempuan tapi ada juga laki-laki. Rohana diberi kepercayaan mengisi
pelajaran keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sini adalah
lulusan sekolah guru kecuali Rohana yang tidak pernah menempuh pendidikan
formal. Namun Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam
melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda,
politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.

Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan


mengajar. Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang
terhadap pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak
perlu menandingi laki-laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak
Rohana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat
perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala
kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus
mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat
jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang
kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”.
Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan
hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah
perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai
perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan
keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.

Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum


pribumi, Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya
yang membakar semangat juang para pemuda. Rohana pun mempelopori
berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia
juga mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke
Bukiktinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam
sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta
api.

Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika


merantau ke Lubuk Pakam dan Kota Medan. Di sana dia mengajar dan
memimpin surat kabar Perempuan Bergerak. Kembali ke Padang, ia menjadi
redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Cina Melayu di Padang dan surat
kabar Cahaya Sumatera. Perempuan yang wafat pada 17 Agustus 1972 itu
mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara, serta menjadi kebanggaan
bagi kaum hawa yang diperjuangkannya.

Demikianlah Rohana Kudus menghabiskan 88 tahun umurnya dengan


beragam kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan
bahkan politik. Kalau dicermati begitu banyak kiprah yang telah diusung
Rohana. Selama hidupnya ia menerima Penghargaan sebagai Wartawati
Pertama Indonesia (1974), pada Hari Pers Nasional ke-3, 9 Februari 1987,
Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis Pers
Indonesia. Dan pada tahun 2008 Pemerintah Indonesia menganugerahkan
Bintang Jasa Utama.

Hal-hal yang menarik dan patut diteladani dari Rohana Kudus

Ada rasa sedih mendapati berbagai media ramai membicarakan RA


Kartini yang hari lahirnya selalu diperingati sebagai momentum kebangkitan
dan emansipasi perempuan di Indonesia dan beliau juga dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional. Bukan apa-apa sih, soalnya di Sumatera Barat ada
beberapa perempuan yang selama hidupnya juga banyak berkiprah untuk
kemaslahatan bersama. Salah satunya adalah Rohana Kuddus, yang dengan
gigih menyuarakan dan menyelenggarakan pendidikan untuk kaum perempuan,
namun bukan untuk menuntut persamaan hak dengan laki-laki, tapi lebih
kepada memantapkan posisi perempuan secara kodrati yaitu sebagai
perempuan.

Rohana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat


pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Rohana
termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa
diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat
pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan
kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Rohana melawan
ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.

Dengan bijak Rohana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan


pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah
perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibanya. Yang harus
berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan
yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak
dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan
terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Emansipasi yang ditawarkan
dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-
laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri
secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati
sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk
itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.

Begitupun dengan R. A. Tjockroadikoesoemo, Rohana Kudus dan Siti


Sundari, mereka adalah pejuang politik perempuan karena feminis bukan lagi
hanya berarti gerakan intelektual akan tetapi gerakan sosial yang bertujuan
membongkar situasi yang tak nyaman dan memungkinkan penindasan terjadi,
selain itu mereka berjuang demi kebebasan berekspresi dan menyuarakan
suara minoritas yang dimiliki oleh perempuan di ruang public hal ini sama
dengan semangat kaum feminism liberal yang menuntut kesempatan yang
diberikan kepada perempuan serta menuntut keterbukaan institusi sosial
untuk dapat diakses secara sama berdasarkan keadilan sosial. Disisi lain bahwa
gerakan perempuan ini bukan hanya menutut hak semata tetapi sebagai sebuah
afirmatif action yang bertujuan untuk membangun kebijaksanaan perempuan
yang bermakna sebagai pemenuhan diri perempuan atau penggunaan
rationalitas perempuan untuk mendapatkan apa yang mereka tuntut.
Hal tersebut diatas memperlihatkan bahwa semangat pikiran perempuan
Indonesia memang dihidupkan melalui pikiran liberal, sehingga dengan
demikian bisa dikatakan bahwa semangat feminism liberal dalam menuntut hak
terjadi dalam siklus perempuan Indonesia, hal ini dikarenakan problem ini
merupakan sebuah problem universal yang dimiliki oleh perempuan, karenanya
agak mengherankan memang jika dikatakan bahwa feminis local tidak pernah
lahir.
Konsepsi tentang nilai penting perempuan yang selama ini seolah
dinegasikan dalam budaya nusantara memang harus dibongkar dalam makna
untuk menghasilkan sebuah cara pandang baru terhadap apa yang disebut
sebagai perempuan, dan melalui gerakan pendidikan serta gerakan sosial
sebagai sebuah kerangka kerja ideologi, kristalisasi nilai dan makna perempuan
dapat dihadirkan.
Karenanya, menjadi sangat penting untuk tetap melakukan tuntutan persamaan
hak dalam segala bidang dengan sebuah tujuan memberikan kesempatan yang
seimbang untuk menghadirkan makna baru tentang arti perempuan itu sendiri,
sebagai contoh jika kesempatan aktualisasi semakin dibatasi maka makna
perempuan itu hanya akan sama tanpa pernah mengalami proses perubahan.
Sehingga disinilah arti penting feminism liberal yang berguna menjaga
stabilitas perempuan untuk menghadirkan sisi lain dari diri perempuan itu
sendiri.
Biografi Taufik Ismail
Taufiq Ismail lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935. Masa kanak-kanak sebelum
sekolah dilalui di Pekalongan. Ia pertama masuk sekolah rakyat di Solo.
Selanjutnya, ia berpindah ke Semarang, Salatiga, dan menamatkan sekolah
rakyat di Yogya. Ia masuk SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, dan kembali ke
Pekalongan. Pada tahun 1956–1957 ia memenangkan beasiswa American Field
Service Interntional School guna mengikuti Whitefish Bay High School di
Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia.

Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan,


Universitas Indonesia (sekarang IPB), dan tamat pada tahun1963. Pada tahun
1971–1972 dan 1991–1992 ia mengikuti International Writing Program,
University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Ia juga belajar pada Faculty
of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, pada tahun
1993. Karena pecah Perang Teluk, Taufiq pulang ke Indonesia sebelum selesai
studi bahasanya.

Semasa mahasiswa Taufiq Ismail aktif dalam berbagai kegiatan. Tercatat, ia


pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil
Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962).

Ia pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-
1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea
(1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan,
Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964). Karena menandatangani
Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia
batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Ia
kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.

Taufiq menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian,


Taufiq bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman
mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra
Horison (1966). Sampai sekarang ini ia memimpin majalah itu.

Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),


Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta
(LPKJ) (1968). Di ketiga lembaga itu Taufiq mendapat berbagai tugas, yaitu
Sekretaris Pelaksana DKJ, Pj. Direktur TIM, dan Rektor LPKJ (1968–1978).
Setelah berhenti dari tugas itu, Taufiq bekerja di perusahaan swasta, sebagai
Manajer Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978-1990).

Pada tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa
dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia.
Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat, baik
di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah
di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti
jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali.

Hasil karya:
1. Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966)
2. Benteng, Litera ( 1966)
3. Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi)
(1972)
4. Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya (1974)
5. Kenalkan, Saya Hewan (sajak anak-anak), Aries Lima (1976)
6. Puisi-puisi Langit, Yayasan Ananda (buklet baca puisi) (1990)
7. Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda (cetak ulang gabungan) (1993)
8. Prahara Budaya (bersama D.S. Moeljanto), Mizan (1995)
9. Ketika Kata Ketika Warna (editor bersama Sutardji Calzoum Bachri,
Hamid Jabbar, Amri Yahya, dan Agus Dermawan, antologi puisi 50 penyair
dan repoduksi lukisan 50 pelukis, dua bahasa, memperingati ulangtahun ke-
50 RI), Yayasan Ananda (1995)
10.Seulawah — Antologi Sastra Aceh (editor bersama L.K. Ara dan Hasyim
K.S.), Yayasan Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus
Istimewa Aceh (1995)
11. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Yayasan Ananda (199 8)
12. Dari Fansuri ke Handayani (editor bersama Hamid Jabbar, Herry Dim,
Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Cecep Syamsul Hari,
dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra Indonesia dalam program SBSB
2001), Horison-Kakilangit-Ford Foundation (2001)
13. Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita
Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), dan Kitab Drama (4) (editor bersama
Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Joni Ariadinata, Herry Dim, Jamal D.
Rahman, Cecep Syamsul Hari, dan Moh. Wan Anwar, antologi sastra
Indonesia dalam program SBSB 2000-2001, Horison-Kakilangit-Ford
Foundation (2002)

Karya terjemahan:
1. Banjour Tristesse (terjemahan novel karya Francoise Sagan, 1960)
2. Cerita tentang Atom (terjemahan karya Mau Freeman, 1962)
3. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (dari buku The
Reconstruction of Religious Thought in Islam, M. Iqbal (bersama Ali Audah
dan Goenawan Mohamad), Tintamas (1964)

Atas kerja sama dengan musisi sejak 1974, terutama dengan Himpunan Musik
Bimbo (Hardjakusumah bersaudara), Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap,
Taufiq telah menghasilkan sebanyak 75 lagu.

Ia pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia,
Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman,
Rusia, dan Cina.

Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannnya, antara lain menjadi pengurus


perpustakaan PII, Pekalongan (1954-56), bersama S.N. Ratmana merangkap
sekretaris PII Cabang Pekalongan, Ketua Lembaga Kesenian Alam Minangkabau
(1984-86), Pendiri Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya (1985) dan kini
menjadi ketuanya, serta bekerja sama dengan badan beasiswa American Field
Service, AS menyelenggarakan pertukaran pelajar. Pada tahun 1974–1976 ia
terpilih sebagai anggota Dewan Penyantun Board of Trustees AFS
International, New York.

Ia juga membantu LSM Geram (Gerakan Antimadat, pimpinan Sofyan Ali).


Dalam kampanye antinarkoba ia menulis puisi dan lirik lagu “Genderang
Perang Melawan Narkoba” dan “Himne Anak Muda Keluar dari Neraka”
dan digubah Ian Antono). Dalam kegiatan itu, bersama empat tokoh
masyarakat lain, Taufiq mendapat penghargaan dari Presiden Megawati
(2002).

Kini Taufiq menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan
konsultan Balai Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah
Horison.

Anugerah yang diterima:


1. Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970)
2. Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977)
3.South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994)
4. Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994)
5. Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor,
Malaysia (1999)
6. Doctor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003)

Taufiq Ismail menikah dengan Esiyati Yatim pada tahun 1971 dan dikaruniai
seorang anak laki-laki, Bram Ismail. Bersama keluarga ia tinggal di Jalan Utan
Kayu Raya 66-E, Jakarta 13120.
Telepon (021) 8504959
Faksimile (021) 8583190

Hal-hal yang menarik dan patut diteladani dari Taufiq Ismail

Meski Taufiq telah menerbitkan banyak kumpulan puisi, dalam


perkembangan terakhir ini hanya dua buku antologi puisi yang dikenal secara
luas, yaitu Tirani dan Benteng serta Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Fakta
ini tampaknya memang berkaitan erat dengan proses kreatifnya. Bahwa ia
memang selalu merevisi atau menulis ulang puisi-puisinya dan kemudian
diseleksi, selanjutnya dimasukkan ke dalam dua buku kumulan puisi tersebut.
Namun, melalui dua kumpulan puisi itu, hamper seluruh perjalanan karya
puisi Taufiq Ismail dalam peta kesusasteraa Indonesia telah terwakili di
dalamnya. Bahkan, tersirat juga disitu perjalanan hidup, serta ketekunan dan
kesungguhanya untuk mengolah potensi diri dalam dunia puisi.
Berkaitan dengan proses kreatifnya dan juga sebagaimana yang sering
disampaikan kepada publik, proses penulisan puisi Taufik Ismail lebih
mementingkan aspek komunikasi. Dampaknya, dengan cepat pesan dan amanat
dapat diterima dan diresapi maknanya oleh pendengar atau pembacanya. Oleh
karena itu, tidak sedikit dari puisinya, selalu direvisi dan diperbaiki kembali
untuk mencapai aspek komunikasi itu secara masimal. Khususnya, ketika puisi-
puisi tersebut hendak dibacakan di hadapan publik, atau dibukukan di dalam
antologi puisi karangganya.
Bagi Taufik Ismail puisi adalah sebuah nyanyian, dan ia berniat
bernyanyi sampai akhir hayat, karena nyanyian yang indah menyenagnkan
pendengaranya. Puisi adalah cinta, yamg uas maknanya. Puisi adalah bagian dar
keimanan, umtuk menginggatkan diri agar tak lekang mengenang hari akhir
yang abadi. Puisi juga merupakan media untuk meratap, menangis, bila
kesedihan tak tertahankan. Puisi adalah cara mengecam kezaliman, penindasan,
dan kesewenang-wenangan yang terasa buruk dan busuk, seekaligus sebagai
saksi dari berbagai peristiwa dalam sejarah. Akhirnya, puisi adalah cara
berdoa, cara untuk mengingat serta mendekatkan diri dengan sepenuh hati
kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Di samping juga karena keterlibatanya
dalam menyusu dan menandatangani pokok-pokok pikiran, cita-cita, dan politik
kebudayaan yang termaktub dalam Manifes Kebudayaan.
Membaca Taufik Ismail dalam konteks pengalaman kreafi adalah
sesuatu yang
kompleks dan menarik. Di samping sebagai penyair protes awalnya, Taufik
berujung pada puisi-puisi imajis. Pengalaman kepenulisan Taufik pada awalnya
digerakkan oleh (a) kepeduliannya pada bangsanya melalui gerakan
kemahasiswaan dan (b) bagaimana keprihatinannya alir ketika melihat
kepincangan sosial di awal persalinan Orde Baru yang pucuknya adalah politik
kesenian Manikebu.
Jika ditelusur hingga tahun 2000-an, maka konsep perubahan
kepenulisannya bergerak pada (a) kisaran imaji konseptual atas kepedihan
realita bangsa yang mengerikan, (b) keprihatan realita baca tulis yang naif di
dunia pendidikan, dan (c) giat-gerak dalam berbagai kegiatan produktif melalui
gerakan baca dan cipta sastra baik di kalangan guru maupun siswa. Pola-pola
pelatihan yang dilakukannya mengingatkan akan pentingnya pelatihan
kepenulisan di satu sisi dan penggalakan tradisi baca di sisi yang lain.
Lebih dari itu, kemudian bagaimana pentingnya tumbuhnya kesadaran
generasi, etos, dan pentingnya empati kemanusiaan. Semua itu membingkai
dalam gerak dan motivasi pendampingan kepenulisan yang diwujudkan dalam
berbagai kegiatan yang melibatkan para sastrawan, Departemen Pendidikan
Nasional, dan sponsor dari luar negeri.
Sosok Taufik lebih dari itu dalam perjalananan sastra Indonesia adalah
fenomena unik yang menarik untuk dijadikan cermin. Paling tidak jika
diidentifikasi akan jadi (i) cermin unik profesi kesastrawanan yang “lintas
bidang”; (ii) cermin sejarah karena dalam karya-karyanya kaya dengan aspek
sosial kemasyarakatan yang menghistoris; (iii) cermin gerakan pemberantas
buta sastra dan rabun novel anak bangsa; (iv) cermin pengucapan yang bersifat
“imaji konseptual” dalam sikapi realita pahit bangsa, (v) cermin pengucapan
puisi yang “komunikatif” tetapi filosofis, (vi) cermin bagaimana arifnya
seorang sastrawan “berbuat” bukan meratap-ratap, dan (vii) cermin bagaimana
konsistensi seorang “nabi yang tanpa wahyu” sehingga layak dianugerahi
doktor honoris causa pada bidangnya.
Profil Taufik Ismail
Nama:
Taufiq Ismail
Lahir:
Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935
Agama:
Islam
Isteri:
Esiyati Ismail (Ati)
Anak:
Abraham Ismail
Ayah:
KH Abdul Gaffar Ismail (almarhum)
Ibu:
Timur M Nur

Pendidikan:
- Sekolah Rakyat di Semarang
- SMP di Bukittinggi, Sumatera Barat
- SMA di Pekalongan, Jawa Tengah
- SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS
- Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan UI, Bogor, 1963

Karir:
- Penyair
- Pendiri majalah sastra Horison (1966)
- Pendiri Dewan Kesenian Jakarta (1968)
- Redaktur Senior Horison dan kolumnis (1966-sekarang)
- Wakil General Manager Taman Ismail Marzuki (1973)
- Ketua Lembaga Pendidikan dan Kesenian Jakarta (1973-1977)
- Penyair, penerjemah (1978-sekarang)
Kegiatan Lain:
- Dosen Institut Pertanian Bogor (1962-1965)
- Dosen Fakultas Psikologi UI (1967)
- Sekretaris DPH-DKI (1970-1971)
- Manager Hubungan Luar PT Unilever Indonesia (1978)
- Ketua Umum Lembaga Kesenian Alam Minangkabau (1985)

Karya:
- Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan: Manifestasi (1963;
bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.)
- Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970)
- Tirani (1966)
- Puisi-puisi Sepi (1971)
- Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971)
- Buku Tamu Museum Perjuangan (1972)
- Sajak Ladang Jagung (1973)
- Puisi-puisi Langit (1990)
- Tirani dan Benteng (1993)
- Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999)

Penghargaan:
- American Field Service International Scholarship untuk mengikuti
Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57)
- Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970
- SEA Write Award (1997)

Alamat Rumah:
Jalan Utan Kayu Raya No. 66 E, Jakarta Timur 13120 Telepon (021)8504959,
881190

Alamat Kantor:
Jalan Bumi Putera 23, Jakarta Timur
DAFTAR PUSTAKA

1. www.google.com
2. www.yahoo.com
3. www.scribd.com
4. www.4shared.com
5. www.wikipedia.com

Anda mungkin juga menyukai