Anda di halaman 1dari 24

KOMUNIKASI DALAM KELUARGA UTUH

Komunikasi dalam keluarga utuh dapat dengan baik dimengerti melalui pola komunikasi
keluarga. Pola komunikasi keluarga berasal dari suatu proses dimana keluarga saling berbagi
relitas sosial dan secara luas menetapkan empat tipe keluarga. Setiap jenis keluarga digolongkan
oleh sikap komunikasi (yang terlihat/ jelas) yang memungkinkan setiap jenis pola komunikasi
untuk berfungsi dengan baik, meskipun setiap tipe memiliki kelebihan dan kekurangan dalam
aspek berbeda di kehidupan keluarga, seperti dalam resolusi konflik atau pembuatan kebijakan.
Dikarenakan otoritas orangtua cukup kuat dalam keluarga utuh, pola pernikahan dan pola
pengasuhan orangtua memiliki pengaruh yang sangat besar dalam suatu keluarga yang utuh jika
dibandingkan dengan keluarga yang tidak utuh.
MENDEFINISIKAN KELUARGA UTUH
Secara historis, terdapat tiga perspektif yang mendefinisikan keluarga (Wamboldt & Reis, 1991).
Definisi Struktural didasarkan pada kehadian atau ketidakhadiran anggota keluarga misalnya,
orangtua atau anak dan membedakan antara, keluarga asal, keluarga dari ayah/ berpenghasilan,
dan perluasan keluarga. Definisi Psychosocial task (tugas psikososial) didasarkan pada kelompok
atau orang-orang yang menyelesaikan tugas tertentu bersama-sama, sebagai contoh memperbaiki
rumah, mendidik anak, dan saling memberikan dukungan materi dan moril terhadap satu sama
lain. Definisi Transactional (tanggapan) didasarkan pada sikap kelompok atau teman karib/
pasangan intim yang menciptakan identitas sosial dengan ikatan emosional dan pengalaman dari
suatu sejarah dan masa depan (secara lebih detail lihat Fitzpatrick dan Ritchie, 1993).
Mendefinisikan suatu keuarga sebagai utuh, member kesan, hanya berasal dari perspektif
struktural, yang berfokus pada siapa bagian dari keluarga dan dimana keutuhan bergantung pada
keluarga yang seluruh anggotanya berasal dari mereka, sebagai contoh, orangtua dan anak dalam
Keluarga yang berpenghasilan/ mengkasilkan. Dua perspektif lainnya, secara kontras, berfokus
pada apa yang dilakukan oleh suatu keluarga dan bagaimana cara mereka melakukannya, yang
sedikit memungkinkan perspektif- perspektif ini mendefinisikan keluarga sebagai utuh. Dari
perspektif-perspektif ini, keluarga dapat berasal dari sekumpulan manusia manapun yang
memenuhi fungsi masing-masing sebagai satu keluarga, tanpa menghiraukan stuktur dari
kelompok tersebut. Sebagai tambahan, keutuhan merupakan atribut yang pasti (mesti ada),

mengingat keberadaan fungsi tergantung pada rangkaian kesatuan. Keutuhan adalah binominal
(utuh vs. tidak utuh) mengingat fungsi dapat dilihat/ dinilai berdasarkan kisaran nilai-nilai mulai
dari sama sekali tidak berfungsi ke berfungsi dengan sempurna. Sesuai dengan judul dalam bab
ini, pada bab ini kita akan membahas mengenai definisi struktural dalam keluarga.
Pernyataan ini lebih dari sekedar permasalahan teknis, dikarenakan ketika peneliti atau orang
awam pada umumunya memikirkan dan menulis tentang keluarga. Ketiga pandangan teoritis
seringkali tercampur (Fitzpatrick & Caughlin, 2002). Maka dari itu, kebanyakan orang akan
memperdebatkan mengenai definisi yang didasarkan pada (hanya) satu dari ketiga perspektif
yang dapat mencakup secara keseluruhan konsep teoritis mengenai keluarga. Sebagai contoh,
satu keluarga yang terdiri dari 2 orangtua dan anak biologis mereka, penjelasan tersebut bisa
dianggap memenuhi suatu definisi struktural keluarga, tetapi, jika orangtua jarang berbicara/
berkomunikasi dengan anak-anaknya, maka, keluarga tersebut dianggap tidak mengembangkan
identitas bersama dan sebagai suatu kelompok, mereka dianggap tidak memiliki atribut mendasar
sebagai satu keluarga. Sama halnya dengan dua orang tua tunggal (hidup berdekatan), yang
membesarkan anak mereka bersama-sama juga dianggap tidak memiliki beberapa dari atribut
satu keluarga, meskipun mereka memiliki persyaratan psikososial atau definisi transaksional.
Dengan kata lain, meskipun secara teoritis dianggap mungkin untuk mendefinisikan keluarga
dari hanya satu perspektif, dalam praktek keluarga biasanya didefinisikan dari keseluruhan tiga
perspektif secara bersamaan. Dampaknya, dalam konteks komunikasi keluarga, utuh biasanya
menyiratkan berfungsi dengan baik, dan berfungsi dengan baik sebagai utuh.
Menyamakan arti utuh dengan berfungsi baik, bagaimanapun, dapat menjadi permasalahan bagi
sarjana komunikasi, khususnya jika hubungan antara struktur dan fungsi hanya bersifat tersirat
dan tidak dibuat secara eksplisit. Sebagaimana dibahas sebelumnya, definisi tugas psikososial
dalam keluarga (psychosocial task) ataupun definisi transaksional tidak hanya membutuhkan
keutuhan struktural, tapi juga mempersyaratkan agar satu kelompok memenuhi fungsi tertentu.
Di saat yang sama, definisi struktural hanya didasarkan pada keanggotaan kelompok dan tidak
mempersyaratkan fungsi tertentu. Secara teoritis, secara struktur suatu keluarga secara definisi
tidak perlu berfungsi dengan baik, dan secara fungsional yang didefinisikan sebagi suatu
keluarga tidak perlu memiliki keutuhan struktural. Berasumsi bahwa struktur yang utuh adalah
keluarga berfungsi dengan baik dapat menyemarkan faktor penyebab yang penting dari fungsi

keluarga. Faktanya, terdapat banyak alasan yang memberi kesan bahwa secara struktural
keluarga utuh dapat berfungsi lebih baik dibandingkan dengan keluarga tidak utuh. Dalam
keluarga utuh, ikatan antara orangtua dan anak biasanya lebih kuat dan dekat dikarenakan lebih
tahan dan tidak terganggu oleh peristiwa seperti perceraian atau kematian orangtua (Noller &
Fitzpatrick, 1993). Keluarga utuh pada umumnya menagalami lebih sedikit konflik dan stress
dibandingkan dengan keluarga dimana orangtua mengalami perceraian, tinggal terpisah, atau
menjanda (Gano-Philips & Fincham, 1995). Lebih lanjut, keluarga utuh biasanya memiliki
sumberdaya ekonomi dan sosial yang lebih dan tersedia bagi mereka (Gringlas & Weinraub,
1995; Kissman & Allen, 1993). Meski tidak ada satupun dari faktor-faktor tersebut ditujukan
untuk peran keluarga, jika digabungkan, faktor-faktor tersebut memberikan keluarga utuh
keunggulan signifikan (serta kemungkinan untuk berfungsi dengan baik) terhadap keluarga yang
tidak utuh.
Utuh biasanya menyiratkan berfungsi baik dalam pikiran banyak peneliti dan pembaca
dikarenakan konstruksi teoritis keluarga didefinisikan berdasarkan pada kompetisi dan
pendekatan independen terhadap struktur ataupun fungsi. Sebagai tambahan, melalui sejumlah
variabel mediasi, kedekatan dan fungsi secara empiris berkorelasi. Meskipun korelasi empiris
antara keutuhan dan fungsi memberikan kesan bahma meminimalisir dampak buruk dapat
dilakukan melalui penyeragaman satu dengan lainnya, dari sudut pandang teoritis, penting untuk
mengenali definisi tersendiri dan berfokus pada variabel mediasi yang menghubungkan struktur
dan fungsi.
Agar dapat lebih berfungsi , faktor penting lainnya yang membedakan mereka dari keluarga tidak
utuh adalah kestabilan hubungan orangtua (biasanya pernikahan ). Karena biasanya, pada kondisi
normal, anak-anak tidak dapat meninggalkan orangtuanya, kestabilan dalam hubungan orangtua
lah yang menentukan keutuhan keluarga. Fakta yang tampak tidak berbahaya ini memiliki
implikasi penting dalam komunikasi keluarga, secara khusus dalam hal kekuatan ikatan orangtua
dan anak dalam keluarga.
Hubungan orangtua yang kuat mengindikasikan bahwa orangtua dalam suatu keluarga utuh
memiliki hubungan keintiman yang lebih baik dibandingkan dengan keluarga tidak utuh1, yang
1 Tentu saja, tidak semua orangtua yang tetap mempertahankan pernikahannya
memiliki hubungan yang memuaskan. Terdapat banyak sekali jumlah orangtua yang

mana seharusnya memiliki dampk positif terhadap kepuasan pribadi mereka dan, sebagai
lanjutan, untuk hubungan mereka dengan anak mereka (Gano- Phillips & Fincham, 1995; Noller
& Fitzpatrick, 1993). Sebagai tambahan, pasangan-pasangan tersebut memiliki hubungan yang
intim dan saling memenuhi yang memiliki sejarah dan kebebasan masa depan dari anak-anak
mereka. Individu dalam pasangan ini juga mampu untuk membentuk koalisi bersama pasangan
mereka dalam kondisi konflik dengan anak mereka dan untuk mendukung satu sama lain dalam
kondisi menantang dan tertekan. Sebagai suatu konsekuensinya, orangtua dalam keluarga utuh
dapat menggantungkan diri satu sama lain untuk mendapatkan dukungan moral. Sebaliknya,
orangtua dalam keluarga tidak utuh biasanya kurang mendapatkan hubungan yang mendukung
dengan orang dewasa lainnya (Burrel, 1995). Konsekuensinya, para orangtua ini seringkali
merasa lebih bergantung dengan anak-anak mereka.
Kesimpulan, , meskipun memberikan label satu keluarga sebagai utuh pada awalnya adalah , satu
pernyataan mengenai keluarga, untuk kedua alasan teoritis dan empiris. Sebagai tambahan,
dalam keluarga utuh biasanya orangtua memiliki posisi yang lebuh kuat dalam keluarga jika
dibandingkan dengan keluarga tidak utuh dank arena itu orangtua dalam keluarga utuh memiliki
pengaruh yang lebih kuat dalam sikap komunikasi keluarga.
Keluarga Utuh dalam Masyarakat Amerika
Meskipun peningkatan kelahiran anak di Amerika Serikat terus bertambah pada pola keluarga
non-tradisional, berdasarkan sensus terakhir, sebagian besar mayoritas anak-anak (71%) tinggal
dalam keluarga yang dikepalai oleh dua orang dewasa (heteroseksual). Anak-anak dalam
keluarga ini, 78% tinggal bersama kedua orangtua biologis mereka, 19% tinggal dalam keluarga
dengan salah satu orangtua angkatnya, dan 3% tinggal dalam keluarga yang dikepalai oleh dua
orang dewasa yang tidak menikah (Fields, 2001). Keluarga utuh yang dipimpin oleh dua orang
dewasa (heteroseksual) masih merupakan bentuk keluarga yang paling dominan dalam
masyarakat Amerika, dan memahami komunikasi dalam keluarga utuh merupakan hal yang
berada dalam kondisi pernikahan yang kurang memuaskan tetapi tetap bersama
karena beberapa alasan, mencakup ekonomi, agama, dan untuk kepentingan anak.
Dalam waktu yang besamaan, beberapa orangtua tunggal ataupun yang mengalami
perceraian mendapatkan hubungan keintiman yang dianggap memuaskan dari
pasangan yang tidak mereka nikahi.

sangat penting bagi para saejana dan orang awam yang tertarik mengenai permasalahan
komunikasi keluarga.
Meskipun keluarga utuh seringkali dianggap sebagai cara yang paling alami dan sangat normatif
untuk membesarkan anak-anak, tetapi peneliti memberi perhatian lebih dalam melakukan
investigasi terhadapa keluarga yang tidak utuh (liat bab 10-13), komunikasi dalam keluarga utuh
dianggap tidak memiliki masalah dan juga menantang. Padahal sebaliknya, jauh dari kesan
sebagai kelompok homogeny yang menghasilkan sikap serupa dan mengarah hanya pada hasil
positif bagi keluarga, individu anggota keluarga, dan masyarakat secara luas, keluarga utuh
menunjukkan rentang yang luas dalam sikap komunikasi yang berhubungan dengan dampak
positif dan negatif bagi keluarga dan anggotanya. Sebagai tambahan, tidak ada satu pola dalam
komunikasi keluarga yang bisa digunakan untuk seluruh keluarga. Faktanya, sebagaimana dalam
penelitian kami mengenai tipe kelurga dalam beberapa dekade, telah menunjukkan tipe-tipe yang
berbeda dari fungsi keluarga yang menghasilkan pola komunikasi yang sangat berbeda.
Oleh karena itu, tidak ada cara yang mudah untuk menggambarkan komunikasi keluarga dalam
keluraga utuh. Lebih baik lagi, pemahaman mengenai komunikasi dalam keluarga utuh
membutuhkan pertimbangan dari tipe-tipe keluarga utuh yang berbeda, setiap dari mereka
memiliki pola komunikasinya sendiri dan kekurangan serta kelebihan dari setiap pola. Sampai
disini, kita akan membahas akar dari pola komunikasi dan bagaimana pola komunikasi
menetapkan berbagai tipe yang berbeda dalam keluarga. Kemudian, kita akan melihat dampak
yang sangat besar yang pola komunikasi keluarga yang memiliki hasil berbeda terhadap keluarga
dan menyimpulkan dengan satu ringkasan faktor-faktor yang mempengaruhi pola komunikasi
keluarga.
POLA KOMUNIKASI KELUARGA DALAM KELUARGA UTUH
Akar dari Pola Komunikasi Keluarga
Pola komunikasikeluarga menggambarkan kecenderungan keluarga untuk mengembangkan cara
yang stabil dan dapat dimengerti untuk berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Pola
komunikasi ini tidak hanya memungkinkan peneliti untuk menentukan perbedaan antara berbagai
tipe dalam keluarga, tetapi, sebagaimana ringkasan selanjutnya akan ditunjukkan, mereka juga

memprediksikan sejumlah proses keluarga yang penting dan hasil psikososial dari keluarga dan
individu anggota keluarga.
Pola komunikasi keluarga bukannlah sestuatu yang tidak disengaja. Tetapi, pola komunikasi
keluarga berasal dari suatu proses dimana keluarga menciptakan dan membagi realitas sosial
mereka. Karena itu, mereka sangat terhubung dengan fungsi dasar sosial dalam keluarga. Secara
spesifik, pola komunikasi keluarga dihasilkan dari proses co-orientasi dimana interaksi manusia
secara umum, dan komunikasi keluarga secara khusus, tidak memungkingkinkan. Proses dari cooreintasi dan perannya dalam menciptakan realitas sosial digambarkan secara detail oleh <cLeod
dan Chaffee dan rekan-rekannya (1972, 1973; Kim, 1981). Karena penting untuk memehami
pola komunikasi keluarga, untuk itu, kami akan mengulas argument utama disini.
Proses Co-orientasi. Konsep co-orientasi merupakan salah satu konsep dasar dari kesadaran
sosial dan dipopulerkan oleh, diantaranya, Newcomb (1953) dan Heider (1946, 1958). Coorientasi merujuk pada dua atau lebih orang yang berfokus, dan mengevaliasi, objek yang sama
dalam lingkungan pernikahan dan sosial mereka. Dalam kelompok yang lebih besar, proses coorientasi menghasilkan dua pengertian untuk setiap orang yang terlibat. Pengertian pertama
merupakan sikap dari objek yang diobservasi, dan pengertian kedua adalah persepsi dari sikap
orang lain mengenai objek. Pengertian yang berbeda ini menentukan 3 atribut dari kelompok
yang di co-orientasi: persetujuan, akurasi, dan kesesuaian. Persetujuan merujuk pada kemieripan
anatara sikap orang terhadap objek. Akurasi merujuk pada kemiripan antara persepsi seseorang
terhadap sikap orang lain dan sikap aktual orang lain. Terakhir, Kesesuaian merujuk pada
kemiripan antara sikapnya sendiri terhadap objek dan persepsi orang lain terhadap sikap orang
lain terhadap objek. Ketiga atribut dalam kelompok ini secara linear bergantung satu sama lain.
Karena itu, pernyataan dari salah satu atau dua atribut ini akan menentukan atribut ketiganya.
Sebagai contoh, persetujuan dan kesesuaian berarti terdapat akurasi (+ * + = +), kesesuaian dan
ketidak akuratan berarti ketidaksetujuan (+

=), dan ketidakakuratan dan ketidaksetujuan

berarti tidak terdapat kesesuaian ( * = +).


Co-orientasi dan Berbagi Realitas Sosial. Keluarga dan kelompok sejenisnya yang mengalam
co-orientasi tidak perlu berbagi realitas sosial. Realitas sosial dibagi hanya jika sistem keluarga
memiliki persetujuan, akurasi, dan kesesuaian (McLeod @ Chaffee, 1972). Terdapat faktor
psikologis dan pragmatis, tetapi, yang lebih mementingkan kesesuaian dan akurasi, juga di

hargai, dan dikarenakan ketergantungan linear antara kesesuaian, akurasi, dan persetujuan
sebagaimana yang digambarkan sebelumnya, maka hal tersebut dapat diterima. Sebagaimana
akan kita bahas selanjutnya, dikarenakan faktor-faktor ini, co-orientasi dalam keluarga biasanya
berujung pada berbagi realitas sosial.
Faktor

psikologis

yang

lebih

mengutamakan

kesesuaian

digambarkan

dalam

Teori

Keseimbangan Heider (1946, 1958). Teori Keseimbangan didasarkan pada asumsi umum yang
mereka perjuangkan untuk konsistensi diantara berbagai pengertian, termasuk sikap mereka
terhadap objek dalam lingkungan dan sikap mereka terhadap orang lain. Sebagai contoh, jika
orang A memiliki sikap positif terhadap orang B dan sikap positif terhadap objek X.
pengertian orang A akan seimbang jika orang A merasa orang B unutk juga memiliki
sikap positif terhadap objek X. Jika, dilain pihak, orang A merasa orang B memiliki sikap
buruk terhadap objek X, pengertian orang A akan tidak seimbang. Karena itu, dalam kasus
dimana orang-orang memiliki sikap positif terhadap orang lain yang mereka saling berhubungan
(contoh, anggota keluarga), pengertian yang seimbang didapatkan ketika seseorang memiliki
kesesuaian, dimana dalam kasus hubungan interpersonal negatif, pengertian seimbang
didapatkan ketika orang-orang yang memiliki sikap yang sama menyangkut objek di lingkungan
mereka. Dengan kata lain, hubungan interpersonal yang positif mendukung kesesuaian.
Alasan mengapa akurasi diutamakan diantara anggota keluarga adalah sangat pragmatis. Untuk
menopang diri mereka sebagai fungsi dari sistem sosial, keluarga harus mengkoordinasikan
banyak kegiatan dan kebiasaan mereka. Hal ini menuntut mereka untuk prediksi yang akurat
mengenai satu sama lain dengan memandang bagaimana mereka berperilaku dan berkomunikasi
(Fitzpatrick & Ritchie, 1993; Koerner & Fitzpatrick, 2002b). Tanpa kemampuan anggota
keluarga untuk memprediksi perilaku orang lain dan reaksi mereka terhadap perilaku seseorang,
maka secara sederhana keluarga tidak berfungsi. Oleh karena itu, kebutuhan untuk
mengkordinasikan perilaku berujung pada akurasi.
Sebagai kesimpulan, dalam hubungan interpersonal tertutup seperti hubungan keluarga,
kebutuhan psikologis untuk pengertian konsisten (kesesuaian) dan kebutuhan pragmatis untuk
memprediksi perilaku orang lain dengan benar (akurasi) menciptakan kondisi sosial yang juga
mengarah kepada persetujuan. Kesesuaian yang tinggi, akurasi yang tinggi, dan persetujuan yang

tinggi , merupakan, karakteristik dari kelompok sosial yang saling berbagi realitas sosial. Dengan
kata lain, alasan psikologis dan pragmatis menjadikan keluarga saling berbagi realita sosial.
Strategi Co-orientasi dalam Keluarga
Anggota keluarga bisa berbagi realita sosial bersama dalam dua cara yang berbeda. Satu cara
diperuntukkan bagi individu untuk melihat dengan jelas sikap anggota keluarga lainnya. Karena
proses ini menekankan hubungan antara anggota keluarga terhadap hubungan mereka dengan
konsep, McLeod dan Chaffee (1972) menyebut proses ini sebagai socioorientation (orientasi
sosial). Cara lain untuk dapat berbagi realitas sosial dalam keluarga adalah dengan
menpercakapanakan objek co-orientasi dan perannya dalam realitas sosial masyarakat dan
sampai pada persepsi yang sama mengenai objek. Dikarenakan proses ini menekankan
bagaimana anggota keluarga mengonseptualisasikan objek dari hubungan interpersonal mereka,
Mcleod dan Chaffee menyebut proses ini sebagai concept orientation (orientasi konsep).
Concept orientation dan Socioorientation, tidak hanya penting karena dapat menggambarkan
proses dimana keluarga samapai pada berbagai realitas sosial bersama. Tetapi lebih penting lagi
karena dapat menentukan perilaku komunikasi dan prakteknya dalam keluarga dankaarena itu
dihubungkan dengan sejumlah besar hasil penting untuk keluarga tidak memiliki kaitan dengan
realitas sosial bersama. Concept orientation dan Socioorientation memiliki dampak pada
komunikasi dan fungsi keluarga, karena proses untuk menciptakan realitas sosial bersama bagi
keluarga biasanya bukanlah proses yang terjadi secara disadari atau sengaja dilakukan karena
tujuan tertentu. Setiap interaksi keluarga turut berkontribusi dalam konstruksi realita keluarga,
meskipun alasan setiap individu anggota keluarga terikat dalam interaksi ini berbeda-beda.
Keluarga dalam roses menciptakan realita sosial bersama berimplikasi penting untuk pemahaman
kita terhadap komunikasi keluarga. Sebagai contoh, seseorang dapat mengira bahwa sejumlah
kesalahpahaman dalam keluarga dan masalah yang berasal dari kesalahpahamann tersebut,
adalah konsekuensi langsung dari seberapa baik keluarga berbagi realita sosial mereka (Koerner
& Fitzpatrick, 2002b). Hal serupa, pada tahap dimana keluarga berbagi realita sosial sangatlah
berbeda dari realita sosial orang lain dalam lingkungan sosial keluarga., keluarga dapat
mengalami sosiopatologis atau berkontribusi dalam sikopatologis anggota individu (Reiss,
1981). Lebih penting lagi untuk mempelajari fungsi normal keluarga, merupakan suatu fakta

bahwa keluarga mengembangkan pilihannya untuk bagaimana mereka dapat berbagi realita
sosial. Karena itu, beberapa keluarga lebih memilih socioorientation, sedang beberapa lainnya
memilih concept orientation.
Pola Komunikasi Keluarga
Meskipun kedua proses dalam co-orientasi secara khusus terjadi dalam pikiran individu anggota
keluarga, hal itu juga mempunya dampak besar terhadap perilaku anggota keluarga. Mengenali
pilihan keluarga pada berbagai strategi yang berbeda untuk dapat berbagi realita sosial memiliki
dampak besar bagi perilaku berkomunikasi mereka, Fitzpatrick dan Ritchie (1994; Ritchie, 1991,
1997; Ritchie & Fitzpatrick, 1990) merekonseptualisasi orientasi konsep milik McLeod dan
Chaffee dengan cara menempatkan tekanan yang lebih besar pada perilaku komunikasi yang
memiliki ciri-ciri dari kedua orientasi tersebut. Mereka merekonseptualisasi Socioorientation
sebagai orientasi yang sesuai karena perilaku komunikasi yang khas dari Socioorientation
merupakan salah satu yang menekankan kesesuaian dalam keluarga. Concept orientation
direkoseptualisasi

menjadi

Conversation

orientation

(orientasi

percakapan/percakapan),

dikarenakan perilaku komunikasi yang khas dari Concept orientation merupakan salah satu yang
menekankan percakapan keluarga.
Sebagai tambahan, terhadap tekanan yang lebih besar pada perilaku komunikasi, Revisi Pola
Komunikasi Keluarga / Revised Family Communication Patterns (RFCP) menemukan
pengukuran yang lebih baik dari kedua orientasi (Ritchie & Fitzpatrick, 1990). Akhirnya,
Fitzpatrick dan koleganya melanjutkan menyaring teori dari pola komunikasi keluarga. Dalam
formulasi terbaru, teori dari pola komunikasi keluarga menagatakan bahwa kedua dimensi dari
orientasi kesesuaian dan percakapan (conformity dan conversation) merupakan bagian dari dasar
struktur kepercayaan keluarga mengenai perilaku komunikasi keluarga yang menentukan skema
komunikasi keluarga (Koerner & Fitzpatrick, 2002a). hasil kerja terbaru dari Fizpatrick dan
koleganya menunjukkan pengaruh pola komunikasi keluarga pada berbagai outcome bagi
keluarga, termasuk konflik dan resolusi konflik (Koerner & Fitzpatrick, 1997), kegembiraan
anak-anak (Koerner & Fitzpatrick, 1996), masa depan hubungan percintaan anak-anak (Koerner
& Fitzpatrick, 2002c), kepandaian komunikasi anak-anak (Elwood & Schrader, 1998),
pemanfaatan dari pengendalian diri dan perilaku menarik diri dari lingkungan sosial (Fitzpatrick,

Marshall, Leutwiler, & Kremar, 1996), pembuatan ritual keluarga (Baxter & Clark, 1996), dan
dampak dari lingkungan kerja orangtua pada komunikasi keluarga (Ritchie, 1997).
Conversation Orientation. Dimensi pertama dalam komunikasi keluarga, Orientasi Percakapan,
didesinisikan sebagai kadar yang mana keluarga menciptakan suatu iklim diamana seluruh
anggota keluarga mendukung untuk berpartisipasi dalam interaksi terbuka mengenai berbagai
topik. Dalam keluarga dalam dimensi yang paling tinggi, anggota keluarga secara bebas, sering,
dan spontan berinteraksi dengan satu sama lain tanpa batasan-batasan yang terlalu banyak
dengan tujuan untuk meluangkan waktu dalam interaksi dan percakapan. Keluarga tersebut
menggunakan banyak waktu untuk berinteraksi dengan yang lainnya. Dalam keluarga ini,
tindakan atau aktivitas yang direncanakan keluarga untuk turut terlibat di dalamnya, merupakan
keputusan keluarga. Sebaliknya, pada dimensi paling rendah dari orientasi percakapan, intensitas
interaksi para anggota menjadi berkurang dan hanya terdapat beberapa topik yang
dipercakapankan secara terbuka dengan seluruh anggota keluarga. Terjadi sedikit sekali
pertukaran pemikiran, perasaan, dan aktivitas. Dalam keluarga ini, aktivitas yang dilakukan oleh
keluarga sebagai satu kesatuan, tidak selalu dipercakapankan secara detail, dan juga tidak ada
input pandangan untuk keputusan keluarga.
Berhubungan dengan orientasi percakapan yang tinggi, adalah keyakinan bahwa komunikasi
yang sering dan terbuka merupakan hal yang penting untuk kehidupan yang baik. Keluarga yang
memegang nila-nilai ini akan menghargai pertukaran ide, dan orangtua yang memegang
keyakinan ini melihat frekuensi komunikasi dengan anaknya sebagai bahan utama untuk
mendidik dan mensosialisasikan mereka. Sebaliknya keluarga yang rendah dalam orientasi
percakapan meyakini bahwa frekuensi pertukaran ide, opini, dan nilai-nilai tidaklah penting
untuk fungsi keluarga secara umum dan untuk pendidikan dan sosialisasi anak secara khusus.
Conformity Orientation. Dimansi lain dari komunikasi keluarga adalah orientasi kesesuaian.
Orientasi kesesuaian merujuk pada tingkatan yang mana komunikasi keluarga berfokus
mengenai homogenitas perilaku, nilai-nilai, dan kpercayaan. Keluarga pada dimensi yang tinggi
digolongkan oleh interaksi yang menekankan keseragaman kepercayaan dan sikap. Interaksi
mereka secara khusus berfokus pada harmoni, menghindari konflik, dan kesaling bergantungan
antar anggota keluarga. Dalam pertukaran generasi, komunikasi dalam keluarga ini

mencerminkan kepatuhan terhadap orangtua dan orang dewasa lainnya. Keluarga pada dimensi
yang lebih rendah dari orientasi kesesuaian digolongkan oleh interaksi yang berfokus pada sikap
dan kepercayaan yang beragam sama halnya pada individualitas anggota keluarga dan
kemerdekaan mereka dari keluarganya. Dalam pertukaran antar generasi, komunikasi
menggambarkan kualitas dari seluruh anggota keluarga; sebagai contoh, anak-anak biasanya ikut
masuk dalam pembuatan keputusan.
Berhubungan dengan orientasi kesesuaian yang tinggi merupakan keyakinan yang disebut
sebagai struktur keluarga tradisional. Dalam pandangan ini, keluarga bersifat kohesif dan hirarki.
Karena itu, anggota keluarga lebih memilih hubungan antar mereka dibandingkan dengan
hubungan eksternal terhadap keluarga dan mereka mengharapkan bahwa sumber sumber
seperti ruang dan uang dibagikan diantara anggota keluarga, Keluarga yang memiliki otientasi
kesesuaian tinggi meyakini bahwa perencanaan individu harus dikoordinasikan diantara anggota
keluarga dengan tujuan untuk memaksimalkan waktu bagi keluarga, dan mereka mengharapakan
anggota keluarga untuk mendahulukan kepentingan keluarga diatas kepentinga pribadi. Orangtua
diharapkan untuk dapat membuat keputusan dalam keluarga, dan anak-anak diharapkan untuk
bertindak sesuai dengan harapan orangtua mereka. Sebaliknya, keluarga yang rendah dalam
orientasi kesesuian tidak menganut struktur kelluarga tradisional. Sebaliknya, mereka meyakini
pengaturan keluarga yang tidak bersifat kohesif dan hirarki. Kelluarga dengan akhir rendah pada
dimensi kesesuaian, meyakini bahwa hubungan diluar keluarga sama pentingnya dengan
hubungan dalam keluarga dan bahwa keluarga sebaiknya mendukung pertumbuhan individu
anggota keluarga, meskipun hal tersebut dapat berujung pada melemahnya struktur keluarga.
Mereka percaya pada kebebasan anggota keluarga, mereka menghargai ruang pribadi, dan
mendahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan keluarga.
Dampak yang didapat dari kedua dimensi utama dalam komunikasi keluarga terhadap
komunikasi keluarga aktual, biasanya bergantung satu sama lain. Karena itu, lebih dari sekedar
dampak sderhana pada komunikasi keluarga, kedua dimensi ini sering berinteraksi satu sama
lain, seperti dampak dari orientasi percakapan pada hasil/ outcome keluarga dilunakkan oleh
tingkat orientasi kesesuaian dalam keluarga, dan begitupunsebaliknya. Oleh karena itu, untuk
memprediksikan pengaruh pola komunikasi keluarga pada outcome keluarga , cukup jarang
meneliti hanya satu dimensi tanpa memasukkan dimensi lainnya (Koerner & Fitzpatrick, 2002b).

Karena dua dimensi dari orientasi kesesuaian dan orientasi percakapan berinteraksi secara
berkesinambungan satu sama lain, sebagai dampaknya, mereka menciptakan 4 tipe keluarga yang
berbeda satu sama lain dari sudut pandang kualitatif. Untuk membedakan tipe-tipe tersebut
dalam arti teoritis dan bukan saja cara yang konvensional untuk menggambarkan keempat tipe
keluarga yang diciptakan dengan menyilangkan kedua dimensi tersebut.
Komunikasi dan Tipe Keluarga
Consensual Families (keluarga konsensual). Keluarga yang tinggi dalam orientasi kesesuaian
dan percakapan desebut sebagai konsensual. Komunikasi mereka ditandai oleh ketegangan
diantara tekanan untuk setuju dan untuk menjaga hirarki yang ada dalam keluarga di satu pihak,
dan ketertarikan terhadap eksplorasi ide-ide baru dan dalam komunikasi terbuka, di pihak
lainnya. Karena itu, orangtua dalam keluarga ini sangat tertarik dengan anak mereka dan
terhadap apa yang anak mereka katakan, tetapi pada saat yang bersamaan juga meyakini bahwa
mereka, sebagai orangtua, harus membuat keputusan untuk keluarga dan anak-anak mereka.
Mereka menyelesaikan ketegangan dengan cara mendengarkan anak-anak mereka dan
meluangkan waktu dan tenaga untuk menjelaskan keputusan mereka terhadap anak-anak, dengan
harapan anak mereka akan mengerti, meyakini, dan menghargai alasan dibalik keputusan
orangtua. Anak-anak dalam keluarga ini biasanya belajar mengahrgai percakapan keluarga dan
cenderung mengadopsi nilai-nilai dan kepercayaan orangtua mereka. Dalam keluarga ini, konflik
pada umumnya dilihat sebagai suatu hal yang negative dan berbahaya bagi keluarga, tetapi
karena konflik yang tidak terselesaikan dianggap sebagai potensi ancaman bagi hubungan dalam
keluarga, keluarga ini juga menghargai dan terikat dalam resolusi konflik (Koerner & Fitzpatrick,
1997).
Pluralistic Families (keluarga pluralistik). Keluarga yang tinggi dalam orientasi percakapan
tetapi rendah dalam orientasi keseesuaian, disebut sebagai Pluralistik. Komunikasi dalam
keluarga pluralistik ditandai dengan percakapan terbuka, tidak terbatas yang mencakup seluruh
anggota keluarga. Oranngtua dalam keluarga ini tidak merasa harus untuk mengendalikan anakanak atau membuat seluruh kebijakan bagi mereka. Perilaku orangtua ini berujung pada
percakapan keluarga dimana evaluasi opini didasarkan pada manfaat dari argumen dibandingkan
pada yang mana didukung oleh anggota keluarga. Karena itu, orangtua bersedia menerima opini

anak-anak mereka dan mebiarkan mereka ilut berpatisipasi secara adil dalam pembuatan
keputusan keluarga, Dikarenakan perhatian mereka terhadap pertukaran ide secara bebas dan
ketidakhadiran tekanan untuk menyesuaikan atau mematuhi, keluarga ini secara terbuka
membicarakan konflik diantara mereka, mereka juga jarang sekali melakukan usaha menghindari
konflik, terikat pada strategi resolusi konflik yang positif, dan selalu menyelesaikan
permasalahan mereka. Anak-anak dalam keluarga ini belajar untuk menghargai percakapan
keluarga dan, pada saat yang bersamaan, belajar untuk mandiri dan berotonomi, yang mana
membantu perkembangan kompetensi komunikasi dan percaya diri terhadap kemampuan mereka
untuk membuat keputusan sendiri.
Protective Families (keluarga protektif). Keluarga yang rendah dalam orientasi percakapan taoi
tinggi pada orientasi kesesuaian disebut sebagai Protektif. Komunikasi dalam keluarga protektif
dicirikan dengan menekankan kepatuhan kepada otoritas orangtua dan memiliki seditkit
perhatian terhap permasalahan konseptual atau untuk komunikasi terbuka dalam keluarga.
Orangtua dalam keluarga ini merasa bahwa mereka harus menentukan kebijakan bagi keluarga
dan anak-anaknya, dan menilai tidak begitu penting untuk menjelaskan kepada anak-anak alasan
dibalik keputusan yang diambil. Konflik dalam keluarga ini ditanggappi secara negatif karena
kelurga ini menekankan pada persesuaian dan tidak menganggap penting komunikasi terbuka
(Koerner @ Fitzpatrick, 1997). Anggota keluarga diharapkan untuk tidak berkonflik satu sama
lain dan untuk berperilaku sesuai dengan kepentingan dan norma-norma dalam keluarga.
Dikarenakan kemampuan berkomunikasi tidak begitu dihargai dan tidak banyak dilatih, keluarga
ini biasanya kurang memiliki kemampuan tertentu untuk dapat bertindak produktif dalam
resolusi konflik. Anak-anak dalam keluarga ini belajar bahwa terdapat sedikit sekali penghargaan
dalam percakapan keluarga dan mereka juga belahjar untuk tidak mempercayai bahwa mereka
memiliki kemampuan untuk pengambilan keputusan.
Laissez Faire Families. Keluarga yang rendah pada kedua aspek orientasi disebut sebagai
Laissez Faire. Komunikasi mereka dicirikan dengan beberapa dan biasanya tidak menyertakan
interaksi diantara keluarga yang dibatasi hanya kepada sejumlah kecil topik. Orangtua dalam
kelaurga ini meyakini bahwa selurh angora keluarga dapat menentukan keputusan mereka
sendiri, tetapi tidak seperti dalam kelaurga prularistik , mereka memiliki sedikit ketertarikan pada
keputusan anak-anak mereka. Sebagian besar anggota dari keluarga ini secara emosional

diceraikan oleh keluarganya. Keluarga Laissez Faire tidak terlalu menghargai persesuaian
ataupun komunikasi. Hasilnya, mereka tidak merasakan keluarga mereka sebagai satu hal yang
memaksa kepentingan individu; Karenea itu, konflik merupakan satu hal yang langkah (Koerner
& Fitzpatrick, 1997). Keluarga ini tidak banyak melakukan percakapan dan karenanya cenderung
untuk menghindari konflik. Anak-anak dari keluarga ini akan belajar bahwa terdapat sedikit
sekali nilai-nilai dalam percakapan keluarga dan sehingga itu mereka harus membuat keputusan
sendiri. Karena mereka tidak menerima banyak dukungan dari keluarga, bagaimanapun, mereka
kemudian mempertanyakan kemapuan untuk membuat keputusan.
Pola Komunikasi Keluarga dan Tipologi Keluarga lainnya
Tipologi keluarga yang berasal dari pola komunikasi keluarga berbeda dari tipologi keluarga
lainnya dalam sejumlah cara penting. Pertama, tidak seperti tipologi lainnya, tipologi ini tidak
didasarkan pada perbedaan antara fungsi tinggi dan rendah keluarga. Karena itu, tipologi ini
melihat bahwa keluarga dapat berfungsi baik berdasarkan tipe-tipe perilaku yang sangat berbeda.
Apa yang berfungsi dalam konteks salah satu tipe keluarga mungkin saja tidak berfungsi dalam
konteks tipe keluarga lainnya. Jadi, tidak ada tipe keluarga yang dianggap ideal dan tidak ada
cara yang ideal dalam berkomunikasi dalam keluarga. Kedua, tipologi bukan saja sekedar cara
yang tepat untuk menggambarkan berbagai tipe dari perilaku yang bisa diteliti, tetapi ini
didasarkan pada satu model teoritis yang menjelaskan bagaimana keluarga menciptakan relaitas
sosial. Demikian, hal itu membutuhkan jawaban yang memuaskan dari pertanyaan etiologi
mengenai perbedaan tipe keluarga dibandingkan dengan hanya merujuk kembali sebagai satu
cara memverifikasi keberadaannya. Terakhir, tipologi ini, tidak seperti yang lainnya,
dihubungkan dengan pengukuran yang kuat dan dapat dipercaya, yaitu instrumen Revised
Family Communication Pattern (RFCP) (Ritchie & Fitzpatrick, 1990).
Banyak tipologi keluarga dikembangkan oleh para sarjana yang tertarik pada pertanyaan: apa
yang membedakan keluarga yang berfungsi dengan baik dengan keluarga yang tidak berfungsi
dengan baik? Jadi, bukanlah suatu hal yang mengejutkan bahwa mereka akan sering
membedakan keluarga yang berfungsi dan tidak berfungsi dengan baik. Sebagai contoh, Kantor
dan Lehr (1975) membedakan antara keluarga terbuka, tertutup, dan random/ berganti-ganti,
yang didasarkan pada perilaku komunikasi dan pada seberapa baik keluaga ini berfungsi untuk

menjauhi organisasi. Keluarga terbuka memiliki perilaku yang paling fungsional, keluarga
tertutup cukup fungsional, dan keluarga random merupakan keluarga yang paling tidak
fungsional dalam tipologi ini. Serupa dengan ini, Olson (Olson, Sprenkle, & Russel, 1979;
Olson, Sprenkle, & Russel, 1983) Model Cilcumplex dari fungsi keluarga, yang merupakan
tambahan utnuk perilaku komunikasi didasarkan pada kesatuan dan kemampian adaptasi
keluarga, membedakan antara tipe keluarga yang berfungsi baik (keluarga seimbang), moderat
(keluarga pertengahan), dan kurang baik (keluarga ekstrim).
Tidak seperti tipologi tersebut, tipologi yang berdasarkan pada pola komunikasi keluarga tidak
berasumsi bahwa hanya karena keluarga berkomunikasi dengan cara yang berbeda, maka bereka
juga berfungsi dengan berberda. Lebih dari itu, seperti halnya tipologi pernikahan Fitzpatrick
(1988) dan tipologi dari jenis konflik milik Gottman (1994), tipologi ini melihat bahwa keluarga
yang berbeda berfuungsi dengan baik dengan menganut perilaku yang berbeda. Pada model ini,
perilaku tertentu ikut berkontribusi atau dialihkan dari fungsi keluarga, bukan dikarenakan
mereka merupakan fungsi yang melekat/ menjadi bawaan ataupun kaena diangap tidak berfungsi,
tetapi lebih dikarenakan cara mereka berinteraksi dengan konteks komunikasi yang berbeda
diciptakan oleh tipe-tipe keluarga. Jadi, tipologi ini mengarahkan para peneliti untuk berfokus
pada vagaimana perilaku berinteraksi dengan lingkungan komunikasi tertentu untuk menjelaskan
dampak yang diterima pada fumgsi keluarga.
Tipologi yang berdasarkan pada pola komunikasi keluarga memiliki keunggulan diantara tipologi
lainnya, karena didasarkan pada model penjelasan yang dikembangkan dengan baik, menjelaskan
bagaimana keluarga menciptakan realitas sosial bersama melalui proses orientasi. Hasilnya, itu
tidak hanya didasarkan pada perbedaan penelitian perilaku dari tipe keluarga yang berbeda tetapi
juga menjelaskan sumber dari perbedaan tersebut. Tipologi lainnya yang berdasar pada observasi
perbedaan dalam perilaku tipe-tipe berbeda yang mereka gambarkan hanya mendapatkan kritik,
karena mereka hanya mengulang-ulang pernyataan mereka dengan berargumen bahwa keluarga
berbeda-beda dikarenakan mereka berperilaku berbeda dan mereka berperilaku berbeda karena
mereka berbeda. Sesungguhnya, tipologi yang berdasar pada pernyataan yang kurang tautolois,
secara teoritis kuat.

Kekuatan akhir dari tipologi keluarga yang berdasarkan pada pola komunikasi adalah bahwa
tipologi ini berhubungan dengan pengukuran empiris yang kuat dari dimensi yang digarisbawahi
dan hasil tipe keluarga (Koerner & Fitzpatrick, 2002b). 26 jenis RFCP merupakan kuesioner
yang sangat mudah diadministrasikan dengan properti psikometris. FCP milik McLeod dan
Chaffe (1972) , telah digunakan dalam studi yang tidak terhitung jumlahnya dan telah terbukti
valid dan dapat dipercaya. Jadi, RFCP menawarkan kepada peneliti yang tertarik pada
komunikasi keluarga suatu yang tepat untuk mengukur perilaku komunikasi keluarga.
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POLA KOMUNIKASI KELUARGA
PADA KELUARGA UTUH
Pola Komunikasi Keluarga dan Tipe Pernikahan
Keluarga berbagooi kepercayaan mengenai komunikasi keluarga,adalah, bukan satu-satunya
keyakinan yang mempengaruhi bagaiaman keluarga berkomunikasi. Pada keluarga utuh secara
khusus, hubungan antara orangtua sangatlah penting, dikarenakan hal itu biasanya berdampak
pada hubungan antara orangtua dan anak dan antara saudara. Sebagai tambahan, anak-anak akan
cenderung meniru model perilaku orangtuanya. Jadi, kepercayaan yang dimiliki oleh orangtua
mengenai hubungan pernikahannya dan mengenai bagaimana mereka berkomunikasi satu sama
lain, memiliki pengaruh yang besar terhadap bagimana satu keluarga sebagai kesatuan
berkomunikasi. Lebih jauh, orangtua mengambil peran aktif untuk mensosialisasikan anak-anak
mereka dan memandang ini sebagai suatu perilaku komunikasi, memberikan hadiah untuk
beberapa perilaku dan menghukum untuk perilaku yang lain. Konsekuensinya, disana
seharusnnya terdapat korelasi positif antara pernikahan dan skema keluarga dan, sebagai
kelanjutannya, antara pernikahan dan komunikasi keluarga. Melakukan investigasi terhadap
koneksi ini, Fitzpatrick dan Ritchie (1994) telah menghubungkan tipologi keluarga RFCP dengan
tipologi pernikahan milik Fitzpatrick (1988).
Berdasarkan pada penelitian teoritis dan empiris dari kepercayaan dalam pernikahan dan
perilaku, Fitzpatrick (1988) mengidentifikasikan tiga jenis yang berbeda dari orang yang
menikah, yang disebut dengan tradisional, independen (mandiri), dan berpisah. Ketiga tipe
pernikahan ini berdasarkan pada tiga dimensi dari hubungan pernikahan yang diukur dengan
Relation Dimension Inventory (RDI) : ideology (konvensional vs nonkonvensional),

interdependence (saling bergantung vs mandiri), dan communication (menghindari vs terlibat


dalam konflik). Ketiga dimemensi tersebut secara teoritis menghasilkan delapan tipe pernikahan
(2 2 2 = 8), dalam penelitiannya Fitzpatrick (1988) menunjukkan bahwa sebagian besar
orang masuk kedalam 3 tipe pernikahan, yang dia kategorikan sebagai tradisional, independen,
dan berpisah. Penelitian Fitzpatrick selanjutnya menemukan bahwa sekitar 2/3 dari seluruh
pernikahan kedua pasangan berasal dari tipe pernikahan yang sama, yang dihasilkan dari
pernikahan dari tipe murni. 1/3 dari seluruh pernikahan, pasangan adalah tipe pernikahan yang
berbeda, yang menghasilkan tipe pernikahan campuran. Diantara tipe pernikahan campuran, tipe
yang menggabungkan suami yang berpisah dengan istri tradisional merupakan yang paling
sering ditemukan (Fitzpatrick, 1988).
Pasangan tradisional memegang nilai-nilai ideologi konvensional dalam hubungan pernikahan
(contoh, istri memakai nama belakang suaminya; ketidaksetiaan tidak dapat diterima), saling
bergantung (contoh, berbagi waktu, ruang, dan persahabatan), dan menggambarkan komunikasi
mereka sebagai sesuatu yang tidak melambangkan ketegasan tetapi tetap ikut serta,dibandingkan
menghindari, konflik pernikahan mengenai isu-isu penting. Pasangan independen memegang
nilai-nilai nonkonvensional dalam hubungan pernikahan (sebagai contoh, pernikahan tidak harus
menekan prestasi individu; istri tetap menggunakan nama belakang mereka), memperlihatkan
kadar yang tinggi dari kebersamaan dan persahabatan sementara tetap menghargai pemisahan
jadwan dan ruang pribadi (contoh, pasangan memiliki kamar mansi pribadi dan ruang kerja
pribadi), dan juga cenderung untuk ikut serta , dibandingkan menghindari konflik pernikahan.
Pasangan yang berpisah memegang nilai-nilai konvensional dalam hubungan dan keluarga, tetapi
disaat yang sama menghargai kebebasan melalui pemeliharaan hubungan, secara signifikan
kurang dalam hal berbagi dan perkawanan, dan menggambarkan komunikasi mereka secara
persuasif, menghindari dibandingkan ikut serta dalam konflik pernikahan.
Untuk mengenali kemiripan antara kepercayaan dalam pernikahan dan kepercayaan yang
berhubungan dengan pola komunikasi keluarga, Fitzpatrick dan Ritchie (1994)

meneliti

hubungan antara tipe pernikahan tipe keluarga dalam keluarga utuh, Berdasarkan pada kuesioner
dari 196 keluarga yang berisikan FRCP untuk seluruh anggota keluarga dan menggunakan RDI
milik Fitzpatrick khusus untuk orangtua, Fitzpatrick dan Ritchie mampu untuk menemukan
hubungan antara tipe pernikahan dan tipe keluarga. Anggota dari keluarga yang dipimpin oleh

orangtua tradisional ataupun orangtua yang berpisah menggambarkan keluaraga mereka tinggi
dalam orientasi kesesuaian dan anggota keluarga yang dipimpin oleh orangtua tradisisonal dan
independen menggambarkan keluarganya tinggi dalam orieantasi percakapan . Dengan kata lain,
keluarga konsensual sebagian besar dipimpin oleh orangtua yang masuk kedalam kategori
tradisional milik Fitzpatrick. Orangtua yang memimiliki keluarga pluralistis biasanya masuk
kedalam tipe independen milik Fitzpatrick. Keluarga protektif biasanya dipimpin oleh orangtua
dari tipe berpisah Fitzpatrick, dan Orangtua yang memimpin keluarga laissez-faires biasanya
berpisah/ independen atau dikatehorikan sebagai jenis campuran dari tipologi Fitzpatrick. Suami
istri dari pasangan campuran mengartikan pernikahan mereka secara berbeda, yang membuat
mereka sulit untuk menyetujui bahkan pada nilai-nilai fundamental dan kepercayaan yang
berhubungan dengan keluarga mereka dan untuk membentuk unit keluarga yang bersatu.
Pola Komunikasi Keluarga dan Gaya Mengasuh Orangtua
Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, orangtua memiliki pengaruh besar terhadap abagaimana
keluarga berkomunikasi tidak hanya karena anak-anak mengikuti perilaku mereka tetapi juga
karena mereka mensosialisasikan anak mereka dengan secara aktif mengajarkan mereka cara
berkomunikasi. Burleson, Delia, dan Applegate (1995) menpercakapankan pengaruh sosialisasi
orangtua pada aya berkomunikasi anak mereka dan mengidentifikasi dua strategi komunikasi
yang kontras utnuk mengatur perilaku anak-anak: pendekatan berpusat pada orang atau berpuat
pada posisi. Pada pendekatan person-centered (berpusat orang), orangtua menyampaikan displin
kepada anak mereka dengan perhatian orang lain yang dipengaruhi oleh perilaku anaknya.
Sebaliknya, pendekatan pisistion-centered (berpusat pada posisi) menekankan pada norma dan
aturan-aturan yang diberlakukan berdasarkan pada pertanyaan apakan atau bagaimana orang lain
dipengaruhi oleh perilaku, Dengan kata lain, perndekatan yang berpusat pada orang membantu
anak-anak untuk mengembangkan kemampuan komunikasi yang meningkatkan kemapuan
mereka agar memiliki empati dan untuk mengambil pandangan orang lain sebagai perilaku
mereka. Secara kontras, pendekatan berpusat pada posisi mendukung anak-anak untuk
mengembangkan kemampuan komunikasi yang meningkatkan kemampuan mereka untuk
mengidentifikasi aturan hubungan yang bersangkutan tetapi tidak mengharuskan mereka untuk
secara sadar mengambil sudut pandang seseorang.

Penemuan dalam konteks keluarga mengatakan baghwa orientasi kesesuaian dihubungkan


dengan pernggunaan strategi yang berfokus pada posisi. Ritchie (1991) menemukan bahwa
kekuatan ornangtua untuk memaksakan penyesuaian dicerminkan melalui kemampuan orangtua
untuk meyakinkan anak menerima keputusan dan informasi dengan sedikit atau tidak
membutuhkan sama sekali penjelasan. Karena itu, dalam keluarga yang memiliki keseuaian
tinggi, anak-anak disosialisasikan untuk mengikuti aturan dibandingkan dengan turut serta dalam
pemilihan pandangandenagn tujuan utnuk mengatur perilaku. Sama halnya dengan Baxter dan
Clark (1996) menemukam korelasi positif antara orientasi kesesuaian dan meningkat menjadi
patokan normatif. Terakhir, Koerner dan Cvancara (2002) menemukan bahwa orientasi
kesesuaian berhubungan dengan empati yang lebih sedikit dalam komunikasi keluarga.
Digabungkannya, studi ini mengatakan bahwa gaya pengasuhan yang berfokus pada posisi
dihubungkan dengan oriantasi kesesuaian keluarga.
Sejauh ini, kita telah menpercakapankan 4 tipe yang bebeda dalam keluarga yang berdasarkan
pada pola komunikasi yang secara khusus berasal dari perbedaan dalam orintasi kesesuaian dan
percakapan. Kita juga membahas mengenai bagaiamana tipe keluarga yang berbeda berhubungan
dengan perbedaan signifikan tidak hanya dalam pola komunikasi mereka tetapi juga dengan
bagaiaman pola komunikasi keluaraga berkaitan dengan tipe pernikahan dan pengasuhan.
Selama percakapan ini, kita telah memperlakukan pola komunikasi keluarga sebagai suatu
variabel sementarayang berubah-ubah diantara keluarga, tetapi tidak didalam, dan hal tersbut
secara luas ditentukan oleh orangtua.
Pengaruh Anak-anak pada Pola Komunikasi Keluarga
Meskipun tiper pernikahan orangtua memiliki pengaruh yang luas padapola komunikas keluarga,
khususnya dalam keluarga utuh, kita sudah bisa menebak bahwa pola komunikasi keluarga
secara eksklusif ditentukan oleh orangtua. Tentu saja, anak-anak memiliki pengaruh terhadap
pola komunikasi keluarga, meskipun kemungkinan kecil pada keluarga utuuh dimana terdapat
hubungan yang lebih kuat diantara orangtua dibandingkan dalam keluarga tidak utuh, dimana
orangtua tunggal biasanya lebih bergantung pada anak mereka. Anak-anak mempengaruhi
komunikasi orangtua sejak usia dini. Bahkan bayi diketahui telah menunjukkan memiliki
pengaruh yang besar terhadap bagaimana orang dewasa bekomunikasi dengan mereka, dan

orangtua mengadaptasi perilaku meraka terhadap anak-anak mereka. Ketika anak-anak tumbuh
makin dewasa, pengaruh mereka bertambah. Dengan tujuan untuk pola komunikasi keluarga ,
Saphir dan Chaffee (2002) menemukan dalam studi longitudinal pengaruh pelajaran
kewarganegaraan di sekolah pada remaja yang memulai percakapan keluarga tentang politik
yang anak remaja kemungkinan gunakan unuk mempengaruhi pola komunikasi keluarga.
Pengaruh ini mengalami kemunduran seiring bertambahnya waktu, tetapi bertahan bahkan 6
bulan setelah evaluasi terhadap pola komunikasi keluarga oleh kedua orangtua dan anak mereka.
Variabel lainnya yang berhubungan dengan anak-anak yang sejauh ini belum pernah
diinvestigasi secara empiris, memiliki dampak sama terhadap pola komunikasi keluarga. Secara
umum, kita akan mengharapkan anak-anak yang ekstrovert, mempercayai, dan merasa dekat
dengan orangtua dan saudaranya agar dapat lebih sering melakukan percakapan dengan orangtua
mereka, dan saudar-saudaranya dan berkontribusi pada orientasi percakapan keluaraga yang
lebih besar. Sebaliknya, Kita akan mengharapkan anak-anak yang introvert, kurang
mempercayai, dan lebih jauh dari orangtua dan saudanya agar dapat menghindari mengindari
percakapan keluarga dan berpartisipasi dalam orientasi percakapan keluarga yang lebih rendah.
Sama halnya, anak-anak yang percaya diri, memiliki kepercayaan, dan memiliki pengalaman
sebagai sebagai satu komponen dalam perjanjian diluar keluarga (contoh, sekolah dan pers) agar
dapat menolak tekanan orangtua untuk menyesuaikan diri dan berkontribusi pada orientasi
kesesuaian yang lebih rendah pada keluarga. Sebaliknya, anak-anak dengan keberanian dan
percaya diri yang rendah yang menrasakan dirinnya kurang kompeten dalam hubungan diluar.
Perbedaan Persepsi pada Pola Komunikasi Keluarga oleh Anggota Keluarga
Bahkan dalam keluarga yang sangat dekat, setiap individu keluaraga memiliki sejarah dan
pengalaman per individu yang tidak mereka bagi satu sama lain, sangat masuk akal jika anggota
keluarga memiliki persepsi yang berbeda terhadap keluarga dan perilaku komunikasi keluarga.
Tentu saja, terdapat bukti empiris dimana persepsi seseorang dari keluarganya tergantung
setidaknya pada peran mereka dalam keluarha (Ritchie & Fitzpatrick, 1990). Ritchie dan
Fitzpatrick mendapatkan data dari sampel acak 169 keluarga yang terindikasi, sebagai contoh,
ibu mengatakan bahwa keluarga mereka lebih tinggi dalam orientasi percakapan dibandingkan
dengan keluarga lain dan anak laki-lakinya melaporkan bahwa keluarga mereka lebih tinggi

dalam orientasi kesesuaian debandingkan dengan keluarga lain. Alasan yang memungkinkan
untuk temuan ini adalah ibu lebih perhatian terhadap komunikasi dengan anggota keluarga
lainnyadan lebih menghargai komunikasi antar keluarga. Hasilnya, baik kedua perilaku
komunikasi mereka juga sebagai standar individual untuk komunikasi keluarga membiaskan
persepsi mereka. Hal serupa, anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan lebih peduli
mengenai kemandirian dari keluarga mereka dank arena itu mengalami tekanan yang lebih besar
untuk melakukan penyesuaian terhadap keluarga dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya.
Richie dan Fitzpatrick (1990) juga menemukan perbedaan persepsi diantara keluarga yang tidak
berkaitan dengan peran keluarga mereka. Karena itu, Meskipun persepsi anggota keluarga
terhadap orientasi kesesuaian dan percakapan, secara positif berhubungan satu sama lain,
korelasinya tidak begitu besar. Dengan kata lain, terdapat beberpa perbedaan dalam keluarga
mengenai bagaimana individu anggota keluarag menampilkan pola komunikasi keluarganya.
Beberapa perbedaan tersebut dapat dijelaskan oleh umur anak-anak. Dalam studi mereka, Ritche
dan Fitzpatrick (1990) membandingkan orangtua orientasi kesesuaian dan percakapan terhadap
cucu mereka yang berada di kelas 7, 9, dan 11. Mereka menemukan bahwa ketika kelas 7,
persepsi dari orientasi percakapan keluarga mereka secara lebih dekat berhubungan dengan ibu
dibandingkan dengan bapak, setelah kelas 11 pola telah berubah dan persepsi anak-anak akan
lebih cenderung terhadap bapak dibandingkan ibu. Anak yang lebih muda lebih setuju terhadap
persepsi ayahnya dan anak yang lebih tua setuju terhadap persepsi ibunya. Meskipun alasan tepat
untuk perubahan menarik dalam perjanjian antara ayah dan anak, ibu dan anak tidaklah jelas ,
mereka menemukan bahwa orangtua dari waktu ke waktu akan lebih memperhatikan opini
anaknya dala pola komunikasi keluarga. Dikarenakan orientasi kesesuaian menjadi lebih penting
ketika terdapat konflik, penemuan ini mengatakan bahawa anak yang lebih muda mengalami
lebih banyak konflik dengan ayahnya, sedangkan anak yang lebih tua mengalami lebih banyak
konflik dengan ibunya. Hal serupa, dikarenakan orientasi percakapan menjadi lebih penting
ketika orangtua berkomunikasi dengan anak-anak, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
ibu lebih banyak berkomunikasi dengan anak yang lebih muda, sedangkan ayah lebih banyak
berkomunikasi dengan anak yang lebih tua.

Meskipun bagian besar dari keyakinan dan perilaku yang membentuk skema komunikasi
keluarga telah lengkap, maka hal itu lebih banyak dilakukan keetimbang dibicarakan, beberapa
keyakinan dan perilaku juga menjadi topik dalam pembicaraan keluarga. Hasilnya, keluarga yang
tinggi dalam orientasi percakapan, yang menghargai dan mendukung diskusi seperti itu, biasa
akan menyetujui norma komunikasi keluarganya dibandingkan dengan keluarga yang rendah
dalam orientasi percakapan. Dalam studi yang dilakukan Fitzpatrick dan Ritchie (1990), sebagai
contoh, keluarga yang tinggi dalam orientasi percakapan akan dua kali lebih mudah sepakat
dalam persepsi mereka terhadap tipe keluarga dibandingkan dengan keluarga yang rendah dalam
orientasi percakapan. Hal yang menarik, Pola ini secara garis besar menjadi hak ayah dalam
perjanjian dengan istri dan anak-anak yang dilakukan hanya pada keluarga yang memiliki
orientasi percakapan tinggi. bagi ibu, tingkat orientasi percakapan tampak tidak mempengaruhi
perjanjian mereka dengan anggota keluarga lainnya terkait pola komunikasi keluarga mereka.
Penjelasan yang masuk akal untuk perbedaan gender diantara orangtua adalah, ibu
berkomunikasi lebih sering dengan seluruh keluarga tanpa memandang orientasi percakapan
keluarga, sedangkan ayah sering berkomunikasi dengan anak-anak merekahanya pada orientasi
percakapan tinggi keluarga. Hasilnya, hanya pengalaman ayah terhadap komunikasi keluarganya
yang dipengaruhi oleh orientasi percakapan.
KESIMPULAN
Keluarga utuh berhak mendapatkan perhatian dari peneliti keluarga untuk setidaknya dua alasan.
Pertama, mereka sejauh ini merupakan tipe keluarga yang paling seing ditemukan pada
masyarakat Amerika, dan sebagian besar anak-anak Amerika tumbuh dalam keluarga utuh.
Kedua, perilaku komunikasi keluarga dari keluarga utuh mengalami perubahan dengan cepat,
sebagai suatu konsekuensi yang dimiliki oleh pola komunikasi keluarga untuk keluarga dan
individu anggota keluarga. Meskipun label utuh biasanya mengindikasikan pandangan bahwa
keluarga ini sangat fungsional, normatif, dan tidak menarik, pada realitasnya komunikasi pada
keluarga utuh berbeda-beda, kadang mengejutkan, dan cukup menarik.
Selain alasan-alasan baik untuk percaya bahwa keluarga utuh cuga berfungsi lebih baik
dibandingkan keluarga tidak utuh, juga memiliki bukti empiris yang menopang asumsi ini, kita
harus berhati-hati utnutk tidak menyamakan anatar menjadi utuh dengan menjadi sangat

fungsional. Sebagaimana diargumentasikan sebelumnya, istilah tersebut berakar dari pendekatan


teoritis yang berbeda untuk mendefinisikan keluarga dan secara teori tidak bergantung satu sama
lain. Peneliti hasur fokus terhadap variabel yang membedakan antara keluarga utuh dan yang
tidak utuh dan yang secara khusus bertanggungjawab untuk fungsi keluarga, seperti kualitas
hubungan antar orangtua, kemampuan dari anak-anak untuk terikat pada orangtua, dan kekuatan
dinamika antara orangtua dan anak-anak.
Pendekatan teoritis yang ditawarkan untuk meneliti komunikasi keluarga adalaha salah satu yang
berfokus pada pola komunikasi keluarga. Pola komunikasi keluarga berasala dari proses dasar
psokologis dari anggota keluarga tersebut dan melalui perilaku komunikasi mereka menciptakan
realitas sosial bersama. Pola komunikasi keluarga tidak hanya berpijak pada satu model teoritis
tetapi juga memiliki validitas empiris. Selanjutnya, pola komunikasi keluarga memiliki validitas
ekologis yang lebih besar dibandingkan tipologi keluarga yang secara dasar hanya memisahkan
keluarga yang berfungsi baik dan tidak berfungsi baik, hal tersebut dikarenakan mereka
menyadaribahwa perilaku tidak terpisahkan dari penilaian hanya posistif atau hanya negatif.
Perilaku yang sama dapat menghasilkan sesuatu yang berbeda, tergantung dari konteks
komunikasi dimana itu terjadi. Terakhir, pola komunikasi keluarga berdasarkann pada dua
dimensi yang berkelanjutan tetapi juaga menciptakan tipologi keluarga dengan empat tipe
berbeda yang menarik. Jadi, pendekatan cukup fleksibel untuk mengakomodasi perbedaan besar
dalam metode penelitian, dari perbandingan singkat pada kelompok yang diajukan sebagai
pemodelan kausal. Karena pola komunikasi keluarga memasukkan pola komunikasi dan proses
kognitif, mereka juga memungkinkan peneliti untuk menggunakan mereka untuk meneliti
pertanyaan menarik termasuk fenomena psikologis dan perilaku.
Meskipun didasarkan pada proses kognnitif dari individual, pola komunikasi keluarga dan skema
komunikasi keluarga yang dihubungkan dengannya secara khusus merupakan proses sosial. Jadi,
mereka merupakan subjek untuk mempengaruhi seluruh anggota keluarga, meskipun orangtua
dari keluarga utuh memiliki pengaruh yang lebih besar pada pola komunikasi keluarga
dibandingkan dengan keluarga tidak utuh. Sebagai konsekuensinya, tipe dari pernikahan yang
dimiliki orangtua dan gaya gaya pengasuhan orangtua memiliki pengaruh besar terhadap pola
komunikasi keluarga dari keluarga utuh. Pola komunikasi keluarga, juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti sifat anak, hubungan antara orangtua dan saudara, usia, dan bahkan

bagaimana mereka merespon terhadap pengaruh eksternal yang kecil, seperti pelajaran
kewarganegaraan. Karena itu, pola komunikasi keluarga pada keuluarga utuh dapat dikatakan
stabil, hal ini karena berdasaarkan pada hubungan orangtua yang kuat, mereka juga dapat dengan
mudah menerima perubahan dan menjadi cukup dinamis dalam merespon perubahan sekitar.
Dinamika ini tidak membuat pola komunikasi keluarga kurang berguna untuk paneliti,
sebaliknyam dikarenakan sebagian besar dari dinamika ini bersifat sistematis dan terprediksi, hal
itu justru meningkatkan kekuatan penjelasan dari pola komunikasi keluarga. Sebagai contoh,
mengetahui bahwa anggota keluarga yang berbeda memiliki orientasi percakapan dan kesesuaian
yang juga berbeda, memungkinkan prediksi mengenai pola komunikasi keluarga dapat berubah
ketika anggota keluarga tertentu tidak hadir dalam diskusi keluarga. Jadi, pada keluarga yang
ayah lebih berorientasi kesesuaian debandingkan dengan ibu, interaksi keluarga yang hanya
memasukkan ayah atau ibu mungkin saja lebih berorientasi kesesuaian, sedangkan interaksi yang
memasukkan anak dan ibu saja kemungkinan dapat dikatan lebih berorientasi percakapan.
Pada bab ini, kita hanya menggambarkan ;amdasan dari substansial badan penelitian komunikasi
keluarga yang berdasarkan pada model teoritis dari pola komunikasi keluarga. Penelitian yang
berdasarkan pada pola komunikasi keluarga digunakan lebih dari 30 tahun setelah McLeod dan
Chaffee (1972, 1973) pertamakali memperkenalkan model tersebut dan lebih dari 10 tahun
setelah Fitzpatrick dan Ritchie (1993, 1994) merekonseptualisasikannya sebagai teori yang lebih
didasarkan pada perilaku yang menjadi bukti untuk terus melanjutkan sautu model yang dapat
menjelaskan dengan baik perilaku keluarga.

Anda mungkin juga menyukai