Anda di halaman 1dari 6

II

2.1

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Tanaman Biofarmaka Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya genetik yang sangat besar yang

berpotensi dalam pengembangan industri biofarmaka nasional. Diseluruh dunia pada saat ini diperkirakan terdapat 250.000 jenis tumbuhan yang telah digunakan sebagai bahan baku industri, Indonesia menggunakan 250 jenis tumbuhan telah digunakan sebagai bahan baku industri tanaman obat. Tanaman Obat atau Tanaman Biofarmaka adalah tanaman yang bermanfaat sebagai obat-obatan yang dikonsumsi dari bagian tanaman berupa daun, bunga, buah, umbi (rimpang) atau akar (Badan Pusat Statistik, 2005). Disisi lain, jumlah penduduk yang besar dan mempunyai warisan budaya dalam menggunakan produk herbal merupakan potensi yang besar untuk permintaan terhadap obat herbal. Selain itu, dengan adanya pola hidup masyarakat Indonesia kembali ke alam (back to nature) mendorong menigkatnya permintaan akan obat herbal. Harga obat herbal yang relatif murah dan minim efek samping merupakan salah satu faktor meningkatnya permintaan akan obat herbal ini baik permintaan dalam negeri maupun luar negeri. Meningkatnya permintaan terhadap obat herbal atau jamu mendorong meningkatnya jumlah industri dan perusahaan obat tradisional setiap tahunnya. Pada tahun 2005 berdasarkan data Badan POM terdapat 326 pabrik jamu dan 59 diantaranya tergolong industri pabrik sedang besar, yang menggunakan 180 spesies tumbuhan obat dan aromatik dengan total bahan baku segar yang dibutuhkan per tahun 1.021.280 ton (Direktorat Jendral Hortikultura, 2008). Saat ini, produksi tanaman biofarmaka hampir tersebar di wilayah Indonesia dengan produksi tertinggi di daerah Jawa Barat. Tanaman obat dan hasil olahannya mempunyai nilai ekonomi yang sangat signifikan baik dalam skala global maupun skala dalam negeri. Penggunaan obat herbal dari tahun ke tahunya terus meningkat. Volume ekspor tanaman biofarmaka pada tahun 2005 mencapai 8.590,45 ton dengan nilai ekspor US$ 5,12 juta (Direktorat Jendral Hortikultura, 2008). Penggunaan tanaman biofarmaka yang terus meningkat setiap tahunnya juga diikuti dengan pertumbuhan pasar farmasi Indonesia. Pertumbuhan obat farmasi pada tahun 2003 sebesar 17 triliyun 12

rupiah dan tahun 2005 meningkat menjadi 21,3 triliyun rupiah (naik 25,29 persen). Hal ini menggambarkan masih tingginya peluas pasar untuk obat herbal di Indonesia. Pada tahun 2006 Direktorat Jendral Hortikultura menetapkan 13 tanaman utama untuk tanaman biofarmaka. Namun pada tahun 2009, Direktorat Jendral Hortikultura menetapkan tanaman utama dari tanaman biofarmaka menjadi 15 komoditi. Hal ini dikarenakan makin banyaknya tanaman tanaman yang dapat dimanfaatkan menjadi obat. 2.2 Proses Pasca Panen pada Tanaman Biofarmaka Penanganan pasca panen bertujuan agar mutu tanaman obat tetap terjaga dengan baik. Menurut Kitinoja dan Kader (1993) pasca panen dimulai sejak komoditi dipisahkan dari tanaman (dipanen) dan berakhir bila komoditi tersebut dikonsumsi. Menurut Wardana, et al, (2002) pasca panen merupakan kelanjutan dari proses panen terhadap tanaman budidaya. Untuk memulai proses pasca panen perlu diperhatikan cara dan waktu yang dibutuhkan untuk pengumpulan bahan tanaman yang ideal setelah dilakukan pemanenan. Tujuan akhir kegiatan pasca panen adalah agar bahan nabati atau simplisia yang dihasilkan memiliki nilai jual tinggi. Proses pasca panen pada tanaman biofarmaka terdiri dari : a. Penyortiran basah Penyortiran basah dilakukan untuk memisahkan kotoran atau bahan asing lainnya dari bahan tanaman/simplisia, misalnya kotoran atau bahan asing pada simplisia jenis akar adalah tanah, kerikil, rumput, akar yang rusak, bagian tanaman lain selain akar, dan sebagainya. Bahan nabati yang baik memiliki kandungan bahan organik asing tidak lebih dari 2 persen. Proses penyortiran pertaman ini bertujuan untuk menguragi jumlah pengotor yang ikut tertinggal untuk proses selanjutnya. b. Pencucian Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat pada simplisia. Pencucian juga berguna untuk mengurangi mikroba-mikroba yang terdapat pada simplisia. Karena itu, pencucian harus dilakukan dengan menggunakan air bersih seperti air dari mata air, air sumur, dan air PAM. Bila menggunakan air yang kotor akan menambah jumlah mikroba yang ada pada simplisia. Pencucian harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk 13

menghindari larut dan terbuangnya zat yang terkandung dalam simplisia. Pencucian simplisia dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti perendaman bertingkat, penyemprotan, dan penyikatan. c. Perajangan Perajangan pada simplisia dilakukan untuk mempermudah proses selanjutnya seperti pengeringan, pengemasan, dan penyimpanan. Perajangan biasanya hanya dilakukan pada simplisia yang tebal dan tidak lunak seperti akar, rimpang, dan batang. Ukuran perajangan sangat berpengaruh pada kualitas bahan simplisia. Jika perajangan terlalu tipis dapat menambah kemungkinan berkurangnya zat yang terkandung dalam simplisia. Sebaliknya, jika terlalu tebal maka kandungan air dalam simplisia akan sulit dihilangkan. Apabila simplisia sulit dikeringkan atau hanya kering di bagian permukaan maka akan mudah busuk atau rusak. d. Pengeringan Syukur dan Hernani (1999) dan Wardana, et al, (2002) menyatakan bahwa pengeringan merupakan usaha untuk menurunkan kadar air bahan sampai tingkat yang diinginkan sehingga tidak mudah rusak dan dapat disimpan dalan jangka waktu yang lama. Simplisia dinilai cukup aman bila mempunyai kadar air kurang dari 10 persen. Waktu pengeringan biasanya bervariasi tergantung pada jenis simplisia dan metode yang digunakan. Metode pengeringan simplisia dapat dilakukan secara tradisional dengan menggunakan sinar matahari atau secara modern dengan menggunakan alat pengering/oven. Syukur dan Hernani (1999) menyatakan dengan adanya keragaman dalam bentuk bahan baku simplisia maka ada perbedaan cara mengeringkan pada masing-masing bahan tersebut. Ada bahan yang dapat langsung dikeringkan dibawah sinar matahari, dikeringkan di bawah nauangan, dan ada pula pengeringan lambat atau pemeraman terlebih dahulu setelah panen. Berikut cara pengeringan beberapa bahan tanaman obat : - Bahan yang berasal dari daun : pemanen dilakukan pada saat pagi atau sore hari untuk memperkecil kehilangan senyawa-senyawa yang dibutuhkan didalam daun. Daun dilayukan di bawah naungan dan tidak dijemur langsung dibawah sinar matahari. Untuk mencegah terjadinya fermentasi atau berjamur maka sebaiknya daun disimpan dalam keadaan kering pada kondisi dingin.

14

- Bahan yang berasal dari buah : bahan yang berasal dari buah bisa langsung dijemur setelah dipanen. - Bahan yang berasal dari rimpang : simplisia yang berasal dari rimpang terlebih dahulu dilakukan perajangan sebelum dilakukan penjemuran. Pada saat pengeringan dengan sinar matahari harus sering dibolak balik agar tidak terjadi fermentasi yang menyebabkan bahan jadi busuk. e. Penyortiran kering Penyortiran kering bertujuan untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian tanaman yang tidak diinginkan dan benda-benda asing yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Setelah penyortiran selesai, simplisia yang dihasilkan ditimbang untuk menghitung rendemen hasil dari proses pasca panen yang dilakukan. Menurut Rismawati (2010) kriteria penyortiran berdasarkan pada warna, bentuk, berat, kerusakan mekanis, dan busuk, serta derajat kematangan. f. Pengemasan Syukur dan Hernani (1999) dan Wardana, et al, (2002) menyatakan bahwa dalam pengemasan simplisia harus menggunakan bahan yang bersih untuk menghindari terjadinya kontaminasi antara bahan kemasan dengan simplisia. Selain itu, bahan pengemasan sebaiknya kering, dapat menjamin produk bahan yang dikemas, mudah dipakai, tidak mempersulit penanganan selanjutnya, dan dapat melindungi isi pada saat pengangkutan. Untuk pengemasan bahan yang telah dikeringkan dapat digunakan karung plastik, karung goni, dan peti kayu yang kedap udara. g. Penyimpanan Menurut Syukur, Hernani (1999) dan Rismawati (2010) penyimpanan adalah upaya untuk memperpanjang ketersediaan produk sehingga membantu memenuhi kebutuhan pemasaran, distribusi, dan penggunaan. Penyimpanan yang baik dirancang untuk mencegah menurunnya kelembaban, terjadinya pembusukan, dan perkecambahan dini, serta menghilangkan panas akibat respirasi. Wardana, et al, (2002) menyatakan bahwa sumber utama kerusakan simplisia adalah air, kelembaban, sinar matahari langsung, dan hama seperti kutu, rayap, dan tikus. Kondisi penyimpanan yang ideal adalah ruangan yang dilengkapi dengan pengaturan kelembaban dan suhu yang tepat. 15

2.3

Penelitian Terdahulu Analisis Risiko Kegiatan manajemen risiko dapat diawali dengan identifikasi terhadap

sumber-sumber risiko pada pasca panen. Kegiatan indetifikasi risiko pada setiap komoditi dapat dilihat dari sumber sumber risiko yang mungkin akan terjadi dan telah terjadi. Setelah identifikasi sumber-sumber risiko dilakukan maka dapat dilakukan pengukuran risiko yaitu variance, standard deviation, dan coefficient variance. Alat ukur risiko ini digunakan untuk mengukur sejauh mana risiko yang dihadapi dalam menjalankan usaha terhadap hasil yang diperoleh perusahaan. Semakin kecil nilai variance, standard deviation, dan coefficient variation nya maka semakin rendah risiko yang dihadapi. Analisis risiko yang dilakukan oleh Safitri (2009) meneliti tentang Analisis Risiko Produksi Daun Potong Di PT Pesona Daun Mas Asri, Ciawi Kabupaten Bogor Jawa Barat, Silaban (2011) mengenai Analisis Risiko Produksi Ikan Hias pada PT Taufan Fish Farm di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, serta Sianturi (2011) dengan Analisis Risiko Pengusahaan Bunga pada PT Saung Mirwan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Analisis risiko yang dilakukan pada kegiatan spesialisasi pada masingmasing komoditi pada perusahaan tersebut. Analisis risiko yang dilakukan pada masing-masing komoditi dapat melihat berapa besar risiko yang dihadapi pada setiap komoditi yang diusahakan atau dibudidayakan. Metode analisis risiko dengan variance, standard deviation, dan coefficient variaton dilakukan juga untuk usaha diversifikasi. Analisis risiko pada usaha diversifikasi dilakukan terhadap komoditi yang diusahakan secara bersamaan dan nantinya risiko yang dihadapi merupakan risiko gabungan komoditi yang diusahakan atau dibudidayakan. Analisis risiko lain yang dapat dilakukan adalah dengan meniliti risiko portofolio dilakukan oleh Firmansyah (2009) yang meneliti risiko portofolio pemasaran sayuran organik dengan judul penelitian Risiko Portofolio Pemasaran Sayuran Organik pada Perusahaan Permata Hati Organic Farm Kabupaten Bogor Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan metode analisis single-index portofolio dengan bantuan Software SPSS.

16

2.4

Penelitian Terdahulu Penanganan Risiko Penanganan risiko sangat diperlukan dalam mengurangi dampak risiko

yang terjadi. Penangan risiko yang dapat dilakukan pada penelitian Firmansyah (2009), dimana strategi penanganan risiko portofolio pemasaran sayuran organik adalah menjaga kestabilan pesanan produk agar berada pada kondisi penjualan normal atau penjualan tinggi yaitu dengan cara memperbanyak agen atau distributor serta melakukan kerjasama dengan supermarket-supermarket atu tokotoko. Penangan risiko yang berbeda dilakukan dalam penelitian Safitri (2009) mengenai analisis risiko produksi daun potong, didapat penanganan risiko dengan melakukan kegiatan diversifikasi dan pola kemitraan. Penanganan risiko yang sama dilakukan dalam penelitian Silaban (2011) di PT Taufan Fish Farm adalah dengan kegiatan diversifikasi dengan memilih kombinasi komoditi yang paling rendah risikonya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Sianturi

(2011) menggunakan penanganan risiko dengan diversifikasi, penerapan teknologi baru, serta peningkatan manajemen perusahaan yang tepat dan terarah. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu diatas maka terdapat persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu. Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu terdapat pada alat analisis yang digunakan, yaitu dengan variance, standard deviation, dan coefficient variation seperti yang dilakukan pada penelitian Safitri (2009), Silaban (2011) dan Sianturi (2011). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah dari segi komoditi yang diteliti dan tempat penelitian. Penelitian ini meneliti komoditi tanaman biofarmaka khususnya temulawak, pegagan, dan mahkota dewa. Penelitian terdahulu seperti Safitri (2009) meneliti daun potong Asparagus bintang dan Philodendron merble, Firmansyah (2009) meneliti sayuran organik brokoli, wortel, tomat, dan jagung, Silaban (2011) meneliti ikan hias discus, lobster, dan manvis dan Sianturi (2011) melakukan penelitian pada komoditi bunga krisan, kalandiva, kalanchoe, dan kastuba.

17

Anda mungkin juga menyukai