1. Pendahuluan
Lereng adalah permukaan bumi yang membentuk sudut kemiringan tertentu dengan bidang horisontal. Lereng dapat terbentuk secara alamiah karena proses geologi atau karena dibuat oleh manusia. Lereng yang terbentuk secara alamiah misalnya lereng bukit dan tebing sungai, sedangkan lereng buatan manusia antara lain yaitu galian dan timbunan untuk membuat jalan raya dan jalan kereta api, bendungan, tanggul sungai dan kanal serta tambang terbuka. Beberapa contoh lereng buatan diperlihatkan dalam gambar-gambar berikut ini.
Suatu longsoran adalah keruntuhan dari massa tanah yang terletak pada sebuah lereng sehingga terjadi pergerakan massa tanah ke bawah dan ke luar. Longsoran dapat terjadi dengan berbagai cara, secara perlahan-lahan atau mendadak serta dengan ataupun tanpa tanda-tanda yang terlihat.
Setelah gempa bumi, longsoran merupakan bencana alam yang paling banyak mengakibatkan kerugian materi maupun kematian. Kerugian dapat ditimbulkan oleh suatu longsoran antara lain yaitu rusaknya lahan pertanian, rumah, bangunan, jalur transportsi serta sarana komunikasi.
Analisis kestabilan lereng harus berdasarkan model yang akurat mengenai kondisi material bawah permukaan, kondisi air tanah dan pembebanan yang mungkin bekerja pada lereng. Tanpa sebuah model geologi yang memadai, analisis hanya dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang kasar sehingga kegunaan dari hasil analisis dapat dipertanyakan.
2. Lereng Alami
Lereng alami yang telah berada dalam kondisi yang stabil selama puluhan atau bahkan ratusan tahun dapat tiba-tiba runtuh sebagai akibat dari adanya perubahan kondisi lingkungan, antara lain seperti perubahan bentuk topografi, kondisi air tanah, adanya gempa bumi maupun pelapukan. Kadang-kadang keruntuhan tersebut juga dapat disebabkan oleh adanya aktivitas konstruksi seperti pembuatan jalan raya, jalan kereta api, saluran air dan bendungan.
Terdapat beberapa kesulitan yang dihadapi dalam analisis kestabilan lereng alami karena beberapa hal sebagai berikut: kesulitan untuk mendapatkan data masukan, (seperti model geologi, hubungan tegangan-regangan, distribusi tekanan air pori), yang memadai. tingginya tingkat ketidakpastian mengenai mekanisme longsoran yang mungkin terjadi serta proses-proses penyebabnya.
Beberapa pertimbangan yang harus dilakukan dalam analisis kestabilan lereng alami antara lain yaitu menentukan apakah longsoran yang mungkin terjadi merupakan longsoran yang pertama kali atau longsoran yang terjadi pada bidang geser yang sudah ada serta kemungkinan terjadinya longsoran apabila dibuat suatu pekerjaan konstruksi atau penggalian pada lereng.
3. Lereng Buatan
3.1 Timbunan Analisis kestabilan lereng timbunan biasanya lebih mudah dan mempunyai ketidakpastian yang lebih rendah daripada lereng alami dan galian. Hal ini disebabkan karena material yang digunakan untuk timbunan dapat dipilih dan dikontrol dengan baik.
Untuk timbunan dari material yang takberkohesi, seperti kerikil, pasir atau lanau, parameter yang mempengaruhi kestabilan timbunan yaitu: sudut gesek, berat satuan tanah, tekanan air pori dan sudut kemiringan lereng. Longsoran yang terjadi pada timbunan tipe ini biasanya merupakan gelinciran translasional atau gelinciran rotasional yang dangkal. Tekanan air pori yang diakibatkan oleh rembesan akan mengurangi kestabilan timbunan, seringkali dalam analisis diasumsikan muka air tanah berada pada permukaan lereng dan rembesan sejajar dengan permukaan lereng. Kondisi ini biasanya terjadi pada hujan yang sangat deras dan lama.
Kestabilan lereng timbunan dari material yang berkohesi seperti lempung, pasir berlempung, tergantung pada beberapa faktor sebagai berikut: sudut gesek, kohesi, berat jenis tanah, tekanan air pori dan geometri lereng. Longsoran yang biasanya terjadi pada jenis timbunan ini biasanya merupakan gelinciran yang dalam dengan permukaan yang menyentuh bagian atas dari lapisan keras yang berada di bawah timbunan.
Untuk timbunan yang dibuat di atas material yang mempunyai kekuatan geser lemah, selain kekuatan geser material timbunan maka juga harus dipertimbangkan kekuatan geser material pondasi. Timbunan dapat mengalami retakan-retakan tarik pada permukaannya apabila terjadi penurunan pada material pondasi yang diakibatkan oleh penambahan beban. Penurunan juga dapat menyebabkan keruntuhan sebagai akibat dari ketidakcocokan tegangan-regangan diantara timbunan dengan pondasi di bawahnya. Untuk menghindari hal ini dapat dibuat beberapa perkuatan pada timbunan atau jika memungkinan dengan membuang material lunak pada pondasi.
Kestabilan timbunan harus ditentukan untuk beberapa kondisi sebagai berikut: Kestabilan jangka pendek atau akhir konstruksi Kestabilan jangka panjang Penurunan muka air tanah mendadak
Metode analisis dan pengujian untuk menentukan parameter kekuatan geser dari ketiga kondisi tersebut diberikan pada Tabel 1. Kestabilan lereng jangka pendek dapat juga dianalisis dengan menggunakan konsep tegangan efektif jika lereng dapat terdrainase dengan cepat. Tabel 1. Kondisi Kestabilan Lereng Timbunan dan Galian
Kondisi Metode Analisis Pengujian Kekuatan geser Tekan takterkekang (Unconfined compression) Kestabilan jangka pendek atau akhir konstruksi Tegangan total Triaksial takterkonsolidasi-takterdrainase (Unconsolidated-Undrained, UU) Triaksial terkonsolidasi-takterdrainase (Consolidated-Undrained, CU) tanpa pengukuran tekanan air pori Geser langsung (Direct shear) Triaksial terkonsolidasi terdrainase Kestabilan jangka panjang Tegangan efektif (Cconsolidated-Drained ,CD) Triaksial terkonsolidasi-takterdrainase (Consolidated-Undrained, CU) dengan pengukuran tekanan air pori Triaksial terkonsolidasi-takterdrainase Penurunan muka air tanah secara mendadak Tegangan total (Unconsolidated-Undrained, UU) Triaksial terkonsolidasi-terdrainase (Consolidated-Undrained, CU) tanpa pengukuran tekanan air pori
Kestabilan timbunan akan berfluktuasi selama proses kontruksi dilakukan dan juga setelah konstruksi selesai. Hal ini diakibatkan karena perubahan kekuatan geser material pada timbunan yang disebabkan oleh perubahan tekanan air pori dan perubahan beban yang bekerja pada timbunan. Ilustrasi dari kondisi kestabilan timbunan di atas tanah lempung diberikan pada Gambar 5.
Kestabilan lereng timbunan akan berkurang apabila tinggi timbunan dinaikkan karena lereng akan semakin tinggi dan beban pada pondasi juga bertambah. Sebagai akibatnya maka kestabilan jangka pendek atau kestabilan pada akhir konstruksi timbunan biasanya merupakan kondisi kestabilan yang paling kritis dan lebih menentukan daripada kestabilan jangka panjang. Setelah timbunan selesai dibuat maka faktor keamanan akan bertambah seiring dengan bertambahnya umur timbunan karena adanya konsolidasi pada timbunan dan berkurangnya tekanan air pori sehingga kekuatan geser timbunan akan bertambah.
3.2 Galian Tujuan dari rancangan galian adalah untuk menentukan tinggi dan sudut kemiringan lereng yang optimum sehingga lereng tetap stabil dalam jangka waktu yang diinginkan. Lamanya kondisi kestabilan lereng yang harus dipenuhi ditentukan oleh apakah galian bersifat permanen atau sementara, pekerjaan perawatan yang dirancang pada lereng serta pemantauan kondisi kestabilan yang dipasang pada lereng.
Galian dapat dibuat dengan sudut kemiringan tunggal atau menggunakan sudut kemiringan yang bervariasi sesuai dengan tipe material yang digali. Misalnya untuk lereng yang terdiri dari material tanah dan batuan, sudut kemiringan lereng batuan dapat dibuat lebih terjal daripada lereng tanah. Penggalian lereng juga dapat dilakukan secara berjenjang dengan menggunakan berm untuk setiap interval ketinggian. Apabila penggalian dilakukan secara berjenjang maka harus dilakukan analisis untuk kestabilan lereng secara keseluruhan maupun lereng tunggal pada setiap jenjang.
Parameter-parameter yang mempengaruhi kondisi kestabilan lereng antara lain yaitu: Geometri lereng Kekuatan geser material Berat satuan materil Tekanan air pori.
Bentuk longsoran yang terjadi pada galian dengan material yang homogen biasanya berupa sebuah busur lingkaran. Untuk galian pada material yang tidak homogen bentuk longsorannya akan dipengaruhi oleh distribusi kekuatan geser dalam lereng dan biasanya bidang runtuhnya bukan berupa sebuah busur lingkaran.
Kestabilan lereng galian juga harus ditentukan untuk beberapa kondisi sebagai berikut: Kestabilan jangka pendek atau akhir konstruksi Kestabilan jangka panjang Penurunan muka air tanah mendadak
Metode analisis dan pengujian kekuatan geser untuk ketiga kondisi tersebut diberikan pada Tabel 1. Kestabilan lereng jangka pendek dapat juga dianalisis dengan menggunakan konsep tegangan efektif apabila air pada lereng dapat terdrainasi dengan cepat.
Kondisi kestabilan lereng galian akan bervariasi dari waktu ke waktu baik pada saat proses konstruksi maupun setelah pekerjaan konstruksi selesai. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan tekanan air pori, tegangan geser dan pembebanan pada lereng yang mengakibatkan perubahan kekuatan geser material. Variasi kondisi kestabilan ini ditunjukkan pada Gambar 6.
Kestabilan jangka panjang dari lereng galian biasanya lebih menentukan dari pada kestabilan jangka pendek atau pada saat akhir konstruksi. Hal ini karena setelah galian selesai dibuat, tekanan air pori akan meningkat, tanah akan mengembang dan menjadi lebih lemah sehingga kekuatan geser tanah berkurang dan kondisi kestabilan lereng juga berkurang. Apabila galian dibuat pada material yang mempunyai permeabilitas yang tinggi maka kondisi kestabilan lereng pada saat akhir konstruksi dan kestabilan untuk jangka panjang dianggap sama.
4. Tujuan Perhitungan
Tujuan dari analisis kestabilan lereng antara lain adalah sebagai berikut: Membuat desain yang aman dan ekonomis untuk galian, timbunan, bendungan, tanggul. Merupakan dasar bagi rancangan ulang lereng setelah mengalami longsoran. Memperkirakan kestabilan lereng selama konstruksi dilakukan dan untuk jangka waktu yang panjang. Mempelajari kemungkinan terjadinya longsoran, baik pada lereng buatan maupun lereng alamiah. Menganalisis penyebab terjadinya longsoran dan cara memperbaikinya. Mempelajari pengaruh gaya-gaya luar pada kestabilan lereng.
Gelinciran (sliding) merupakan pergerakan massa ke arah bawah dan ke luar yang disebabkan oleh tegangan geser yang bekerja pada permukaan runtuh melebihi
tahanan geser yang dimiliki oleh material pada permukaan runtuh. Dua tipe utama dari longsoran tipe gelinciran yaitu rotasional dan translasional.
Gelinciran rotasional (rotational sliding) merupakan longsoran dengan bidang runtuh yang cekung ke atas. Bentuk bidang runtuh tersebut seringkali dihampiri sebagai busur lingkaran, gabungan dari busur lingkaran dengan bidang planar, atau gabungan dari beberapa garis lurus. Longsoran dengan bidang runtuh berbentuk busur lingkaran biasanya sering terjadi pada tanah yang homogen. Untuk tanah yang tidak homogen, bentuk bidang runtuh yang paling mungkin terjadi adalah bidang runtuh yang bukan busur lingkaran. Gelinciran rotasional juga dapat terjadi pada batuan yang telah mengalami proses pelapukan dan alterasi yang kuat ataupun pada timbunan dari batuan-batuan yang dihasilkan oleh kegiatan penambangan.
Gelinciran translational (translational sliding) yaitu gelinciran yang terjadi dengan bidang runtuh yang berupa bidang planar. Gelinciran translasional antara lain dapat terjadi pada lapisan tanah tipis yang berada di atas material yang sangat kokoh, seperti lereng timbunan dari material takberkohesi. Longsoran translasional juga dapat terjadi pada lereng di mana terdapat bidang lemah yang mempunyai jurus yang sejajar dengan permukaan lereng serta sudut kemiringan yang lebih besar dari pada sudut gesek material.
Runtuhan (fall) merupakan jatuhnya bongkahan batuan yang terlepas dari lereng yang terjal. Bongkahan batuan tersebut dapat jatuh melayang di udara, kemudian setelah menyentuh permukaan bumi memantul ke atas, mengelinding atau kombinasi dari dua pergerakan tersebut. Massa batuan jatuh tersebut mempunyai energi kinetik dan kecepatan yang sangat tinggi. Keruntuhan tipe ini juga dapat didahului oleh tipe keruntuhan lainnya seperti gelinciran dan gulingan.
Gulingan (topple) adalah tergulingnya beberapa blok-blok batuan yang diakibatkan oleh momen guling yang bekerja pada blok-blok batuan tersebut. Longsoran tipe ini biasanya terjadi pada lereng-lereng terjal atau bahkan vertikal yang memiliki bidang takmenerus yang hampir tegak lurus. Momen guling tersebut dihasilkan oleh berat blok batuan dan juga dapat diakibatkan oleh gaya hidrostatik dari air yang mengisi pada bidang takmenerus.
Pada longsoran tipe aliran (flow), material bergerak ke arah bawah lereng seperti suatu cairan. Salah satu contoh bentuk keruntuhan tipe aliran adalah lahar. Longsoran tipe gelinciran dapat berubah secara bertahap menjadi suatu aliran apabila terjadi perubahan kadar air dan kecepatan selama pergerakan material.
Rayapan adalah salah satu bentuk dari longsoran tipe aliran yang lain. Rayapan mempunyai kecepatan pergerakan yang sangat lambat dan dapat terjadi pada semua jenis lereng. Tanda-tanda terjadinya rayapan antara lain yaitu pohon yang melengkung dan miring, tiang listrik yang miring serta jalan atau pagar yang bergeser dari posisi awalnya.
Kadangkala tipe pergerakan massa runtuh merupakan kombinasi dua atau lebih dari tipe longsoran di atas, seperti gelinciran dan gulingan, gelinciran dan jatuhan, gelinciran dan aliran. Kombinasi bentuk keruntuhan terjadi karena adanya perubahan bentuk pergerakan massa runtuh selama massa runtuh ini bergerak dan berpindah ke tempat lain yang lebih rendah.
Klasifikasikan longsoran menurut kecepatan pergerakannya massa runtuhnya. ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 3 adalah daftar dari beberapa kemungkinan kerusakan yang ditimbulkan oleh longsoran.
Tabel 2. Klasifikasi Longsoran Menurut Kecepatan Pergerakan Massa Runtuh (Varnes, 1978)
Berdasarkan hal tersebut, Terzaghi (1950) membagi penyebab-penyebab terjadinya longsoran menjadi dua kelompok yaitu: 1. Penyebab-penyebab eksternal yang menyebabkan naiknya gaya geser yang bekerja sepanjang bidang runtuh, antara lain yaitu: Perubahan geometri lereng Penggalian pada kaki lereng Pembebanan pada puncak atau permukaan lereng bagian atas. Gaya vibrasi yang ditimbulkan oleh gempa bumi atau ledakan. Penurunan muka air tanah secara mendadak 2. Penyebab-penyebab internal yang menyebabkan turunnya kekuatan geser material, antara lain yaitu: Pelapukan Keruntuhan progressive Hilangnya sementasi material, Berubahnya struktur material
Akan tetapi menurut Varnes (1978) terdapat sejumlah penyebab internal maupun eksternal yang dapat menyebabkan naiknya gaya geser sepanjang bidang runtuh maupun menyebabkan turunnya kekuatan geser material, bahkan kedua hal tersebut juga dapat dipengaruhi secara serentak.
Terdapatnya sejumlah tipe longsoran menunjukkan beragamnya kondisi yang dapat menyebabkan lereng menjadi tidak stabil dan proses-proses yang memicu terjadinya longsoran, yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu kondisi
material (tanah/batuan), proses geomorphologi, perubahan sifat fisik dari lingkungan dan proses yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Berikut ini adalah daftar singkat dari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya longsoran.
Kondisi material bukan merupakan penyebab terjadinya longsoran melainkan kondisi yang diperlukan agar longsoran dapat terjadi. Meskipun material pada lereng mempunyai kekuatan geser yang cukup lemah, longsoran tidak akan terjadi apabila tidak ada proses-proses pemicu longsoran yang bekerja.
Proses-proses pemicu longsoran dapat terjadi secara alami, seperti hujan lebat dengan intensitas yang cukup tinggi, gempa bumi, erosi pada kaki lereng, maupun pemicu yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia, seperti penggalian pada kaki lereng, pembebanan pada permukaan lereng bagian atas, peledakan, penggundulan hutan. Untuk beberapa kasus tertentu, longsoran dapat terjadi tanpa proses pemicu yang jelas karena merupakan kombinasi dari beberapa proses, seperti keruntuhan progressif atau pelapukan, yang menyebabkan terjadi longsoran secara perlahan.
Kondisi kestabilan lereng berdasarkan tahapan kondisi kestabilannya dapat dibagi menjadi tiga tahap sebagai berikut: Sangat stabil, pada tahap ini lereng mempunyai tahanan yang cukup besar untuk mengatasi gaya-gaya yang menyebabkan lereng menjadi tidak stabil. Cukup stabil, pada kondisi lereng lereng mempunyai kekuatan yang tahanan yang sedikit lebih besar daripada gaya-gaya yang menyebabkan lereng menjadi tidak stabil serta terdapat kemungkinan untuk terjadi keruntuhan
lereng pada suatu waktu apabila gaya-gaya yang menyebabkan terjadinya longsoran mencapai suatu nilai tertentu. Tidak stabil, lereng dinyatakan berada dalam kondisi tidak apabila telah terdapat pergerakan secara kontinu atau berselang-seling.
Pembagian ketiga tahapan kondisi kestabilan tersebut sangat berguna dalam mempelajari penyebab-penyebab ketidakstabilan lereng dan membaginya menjadi dua berdasarkan fungsinya yaitu: Faktor-faktor penyebab pendahuluan yaitu faktor-faktor yang dapat
menyebabkan lereng menjadi rentan terhadap longsoran sehingga merubah kondisi kestabilan lereng dari sangat aman menjadi cukup aman. Faktor-faktor pemicu longsoran yaitu faktor-faktor yang memicu sehingga terjadi pergerakan pada lereng atau lereng mengalami longsoran. Faktor pemicu akan menurunkan kondisi kestabilan lereng dari cukup aman menjadi tidak stabil.
Tegangan normal total dan tekanan air pori dapat dihitung atau diperkirakan dari berat satuan dan tebal lapisan tanah/batuan dan letak muka air tanah. Tegangan normal efektif tidak dapat diukur, hanya bisa dihitung apabila tegangan normal total dan tekanan air pori diketahui.
Persamaan Mohr-Coulomb
Pada umumnya dalam analisis kestabilan lereng digunakan persamaan Mohr-Coulomb untuk menyatakan kekuatan geser material. Menurut kriteria Mohr-Coulomb, kekuatan geser material terdiri dari dua komponen yaitu kohesi dan sudut gesek.
= c + ' tan dimana: = tegangan geser c = kohesi = tegangan normal efektif = sudut geser
[2]
Faktor keamanan Faktor keamanan (F) didefinisikan sebagai perbandingan dari kekuatan geser yang diperlukan agar setimbang terhadap kekuatan geser material yang tersedia.
F=
a m
a = kekuatan geser material yang tersedia m = kekuatan geser material yang diperlukan agar tepat setimbang.
[3]
dimana:
Kekuatan geser material yang tersedia (a) dihitung dengan menggunakan Persamaan Mohr-Coulomb, sedangkan kekuatan geser yang diperlukan agar tepat setimbang (a) dihitung dengan menggunakan persamaan kesetimbangan.
Kesetimbangan Batas Misalkan suatu blok terletak di atas suatu bidang miring, maka satu-satunya gaya yang bekerja pada blok yaitu gaya gravitasi atau berat blok. Berat blok akan menyebabkan blok di atas bidang runtuh bergerak ke bawah. Gaya berat bekerja pada arah vertikal ke bawah dan dapat diuraikan ke dalam dua komponen yaitu gaya yang searah dengan kemiringan bidang runtuh dan gaya yang tegak lurus terhadap bidang runtuh.
Komponen gaya berat yang searah bidang runtuh akan menyebabkan blok menggelincir ke arah bawah, besarnya gaya ini adalah
WT = W sin
[4]
Sedangkan komponen gaya yang tegak lurus atau normal terhadap bidang miring cenderung mempertahankan kondisi kesetimbangan blok massa, besarnya gaya ini adalah. W N = W cos [5]
Gambar 15. Efek gaya gravitasi terhadap blok massa di atas bidang runtuh.
W cos A
[6]
dimana A adalah luas dasar blok. Sedangkan tegangan geser yang menyebabkan gelinciran yaitu: W sin A
[7]
Dengan mensubstitusikan persamaan [6] ke persamaan Mohr-Coulomb, diperoleh besarnya kekuatan geser yang tersedia untuk menahan gelinciran sebagai berikut: W cos tan A
a = c +
[8]
Kondisi kesetimbangan batas yaitu kondisi dimana blok dalam keadaan tepat setimbang. Kekuatan geser yang diperlukan agar kondisi tepat setimbang (m) adalah sebagai berikut.
m =
a
F
[9]
dimana F adalah faktor keamanan dan a merupakan kekuatan geser yang dimiliki oleh material.
Dengan mengunakan persamaan kesetimbangan didapat bahwa besarnya m sama dengan pada persamaan [7]. Sehingga dengan menggunakan persamaan [7], [8] dan [9] dihasilkan persamaan berikut ini.
W sin 1 W cos = c + tan A F A [10] [11]
F=
Dari persamaan di atas terlihat bahwa kondisi kesetimbangan batas adalah suatu kondisi dimana faktor keamanan lereng sama dengan satu (F = 1). Apabila nilai F lebih besar dari satu (F > 1) maka secara teoritis blok berada dalam kondisi stabil dan apabila nilai F lebih kecil dari satu (F < 1) maka blok akan mengelincir ke bawah.
Topografi.
Supaya penyelidikan lapangan dapat dilakukan dengan baik harus terdapat peta yang cukup akurat yang menunjukkan letak dari lubang-lubang bor untuk penyelidikan, daerah pemetaan struktur geologi serta lokasi dari penampang melintang yang dianalisis.
Geologi
Beberapa kondisi geologi yang diperlukan dalam analisis kestabilan lereng, yaitu: tipe mineral pembentuk material lereng, bidang-bidang diskontinuitas dan perlapisan,
tingkat intensitas pelapukan, kedalaman pelapukan, sejarah dari keruntuhan sebelumnya dan keadaan tegangan di tempat.
Tipe longsoran yang mungkin terjadi sangat dipengaruhi oleh kondisi dari bidangbidang takmenerus pada daerah yang distudi. Berikut ini adalah sketsa dari beberapa bentuk tipe longsoran dan kondisi bidang-bidang takmenerus yang mempengaruhinya. Selama proses pekerjaan penggalian lereng kondisi geologi harus terus dikaji dan desain lereng dapat dimodifikasi ulang apabila ternyata kondisi geologi yang aktual berbeda dengan yang diasumsikan. Pada umumnya data geologi yang tersedia biasanya sangat terbatas sehingga dapat menghasilkan beragam interpretasi. Oleh sebab itu kondisi geologi harus selalu diamati selama pekerjaan berlangsung serta mempertimbangkan kemungkinan adanya perubahan rancangan lereng apabila kondisi aktual di lapangan berbeda dengan kondisi geologi yang diasumsikan.
Sifat material Sifat material yang diperlukan dalam analisis kestabilan lereng yaitu parameter kekuatan geser dan berat satuan material. Parameter kekuatan geser merupakan sifat material terpenting karena faktor keamanan dinyatakan dalam bentuk perbandingan kekuatan geser yang tersedia dan kekuatan geser yang diperlukan, sehingga penentuan parameter kekuatan geser harus seakurat mungkin. Parameter kekuatan geser terdiri dari komponen yaitu kohesi dan sudut geser. Untuk analisis lereng yang telah mengalami longsoran harus diperhatikan tentang kekuatan geser sisa.
Berdasarkan kondisi pengujian di laboratorium atau pengujian di lapangan terdapat dua tipe kekuatan geser material yaitu: kekuatan geser takterdrainase dan kekuatan geser terdrainase. Kekuatan geser takterdrainase digunakan apabila analisis kestabilan lereng dilakukan dengan pendekatan tegangan total, sedangkan kekuatan geser terdrainase digunakan apabila analisis kestabilan lereng dilakukan dengan pendekatan tegangan efektif.
Air tanah Kondisi air tanah merupakan salah satu parameter terpenting dalam analisis kestabilan lereng, karena seringkali terjadi longsoran yang diakibatkan oleh kenaikan tegangan air pori yang berlebih. Tekanan air pori tidak diperlukan apabila dilakukan analisis kestabilan dengan tegangan total. Gaya hidrostatik pada permukaan lereng yang diakibatkan oleh air yang menggenangi permukaan lereng juga harus dimasukkan dalam perhitungan kestabilan lereng, karena gaya ini mempunyai efek perkuatan pada lereng.
Pada umumnya keberadaan air akan mengurangi kondisi kestabilan lereng yang antara lain karena menurunkan kekuatan geser material sebagai akibat naiknya tekanan air pori, bertambahnya berat satuan material, timbulnya gaya-gaya rembesan yang ditimbulkan oleh pergerakan air.
Pembebanan pada lereng Data lain yang diperlukan dalam analisis kestabilan lereng yaitu gaya-gaya luar yang bekerja pada permukaan lereng, seperti beban dinamik dari lalu-lintas, beban statik dari bangunan atau timbuna di atas lereng, peledakan. Gaya-gaya luar ini harus dimasukkan dalam perhitungan karena dapat mempunyai efek mengurangi kondisi kestabilan lereng.
Geometri Lereng Data geometri lereng yang diperlukan yaitu data mengenai sudut kemiringan dan tinggi lereng. Geometri lereng alami dapat ditentukan dengan membuat penampang vertikal berdasarkan peta topografi. Sedangkan untuk lereng buatan, geometri lereng ditentukan dari desain lereng yang akan dibuat.
Dari semua data yang dibutuhkan dalam analisis kestabilan lereng, data mengenai kekuatan geser dan kondisi air tanah merupakan data yang terpenting dan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keakuratan dan keterpercayaan hasil perhitungan analisis kestabilan lereng. Sayangnya penentuan kedua data tersebut secara akurat dan dapat mewakili kondisi yang sebenarnya di lapangan merupakan hal yang sulit untuk dilakukan oleh sebab itu untuk kedua macam data tersebut digunakan pendekatan yang konservatif.
Secara umum analisis kestabilan lereng menggunakan pendekatan dua dimensi cukup memadai untuk perancangan lereng karena memberikan faktor keamanan yang konservatif. Analisis kestabilan lereng dengan menggunakan pendekatan tiga dimensi disarankan dipergunakan dalam analisis balik dari lereng yang mengalami longsoran. Kekuatan geser yang diperoleh dari perhitungan analisis balik selanjutnya dapat dipergunakan dalam perancangan perbaikan lereng yang runtuh maupun untuk perancangan lereng baru pada daerah yang memiliki kondisi yang hampir sama. Apabila efek tiga dimensi tidak dimasukkan dalam analisis balik maka dapat mengakibatkan nilai kekuatan geser yang dihasilkan terlalu tinggi dari nilai yang sebenarnya.
Analisis tiga dimensi juga sangat berguna dalam analisis kestabilan lereng yang mempunyai topografi yang komplek, lereng dengan kondisi air tanah yang cukup komplek, lereng dengan material yang memiliki kekuatan geser yang berbeda cukup significant antara material pada bidang runtuh dan material diatasnya. Hal ini dikarenakan analisis tiga dimensi dapat memasukkan adanya variasi spasial tersebut ke dalam perhitungan faktor keamanan.
Analisis balik dapat menjadi suatu alat yang sangat efektif dalam mengivestigasi parameter kekuatan geser tanah atau batuan. Akan tetapi bagaimanapun juga harus berhati-hati terhadap beberapa kesulitan tersembunyi dalam analisis balik yang
meliputi asumsi dasar yang menganggap massa tanah atau batuan adalah homogen, perkiraan mengenai geometri lereng dan bidang gelinciran serta kondisi tekanan air pori pada saat terjadinya longsoran. Pada umumnya semua hal tersebut jarang dapat dicapai atau dipenuhi.
Gambar 17. Analisis balik pada suatu longsoran di Folkestone Warren, U.K
Lokasi bidang runtuh biasanya hanya diketahui dibeberapa titik saja sehingga harus dilakukan suatu interpolasi untuk mendapat suatu bidang runtuh. Pendekatan ini dapat menimbulkan suatu kesalahan dalam perhitungan analisis balik. Apabila bidang
runtuh yang diperkirakan lebih dalam dari yang sebenarnya maka akan menghasilkan nilai kohesi yang lebih tinggi dan nilai sudut gesek yang lebih rendah dan hasil yang sebaliknya apabila perkiraan bidang runtuh lebih dangkal dari bidang runtuh yang sebenarnya.
Data-data mengenai tekanan air pori biasanya hanya sedikit dan tidak akurat bahkan tekanan air pori pada saat terjadinya keruntuhan hampir selalu tidak diketahui. Apabila tekanan air pori lebih tinggi dari nilai yang sebenarnya maka akan menghasilkan nilai parameter kuat geser yang lebih tinggi juga.
Beberapa pertimbangan khusus harus diberikan dalam penerapan permodelan numerik dalam rekayasa geoteknik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: Material tanah dan batuan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan material teknik lainnya, seperti baja, beton. Persoalan kestabilan lereng merupakan persoalan yang rumit karena terdapat kompleksitas dalam hubungan antara penyebab dan efek yang dapat terjadi dimana kedua hal tersebut dihubungkan oleh beberapa mekanisme pemicu keruntuhan yang mungkin, serta kemungkinan adanya penyebab ganda, misalnya hidro-mekanikal, lihat Gambar 18.
Secara umum analisis kestabilan lereng harus dilakukan dengan sejumlah keterbatasan yang ada, antara lain yaitu data yang tidak mencukupi, pemahaman yang kurang mengenai sifat dan karakteristik dari massa batuan/tanah, deformasi, geologi dan hidrogeologi.
Gambar 18. Skema dari hubungan penyebab dan efek terhadap keruntuhan lereng.
Objektif dari permodelan numerik untuk persoalan kestabilan lereng dapat berupa prediktif atau hanya berupa investigasi dari mekanisme keruntuhan yang mungkin apabila terdapat keterbatasan data. Untuk mengetahui mekanisme keruntuhan yang dapat terjadi, harus dilakukan beberapa model keruntuhan yang mungkin sehingga diperoleh suatu pemahanan yang lebih mendalam.
Langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan dalam permodelan numerik untuk mendapatkan hasil yang memuaskan diberikan pada Gambar 19. Selama permodelan, sebaiknya dimulai dari model yang paling sederhana, kemudian setelah itu baru tingkat kompleksitas dari model dinaikkan. Analisis sensitivitas harus dilakukan pada parameter masukan yang penting. Pengaruh variabilitas data terhadap model atau hasil perhitungan dapat dilakukan melalui analisis probabilitas. Dalam evaluasi model juga harus dipertimbangkan beberapa aspek lainnya seperti kemungkinan perubahan
geometry model, berbagai kondisi batas, tegangan insitu, spasi dan kemenerusan bidang takmenerus.
Apabila memungkinkan hasil permodelan harus divalidasi dengan observasi lapangan dan pengukuran di lapangan. Manfaat validasi ini adalah mengetahui keakuratan data yang digunakan serta untuk menghindari hasil yang tidak realistik maupun hasil yang tidak masuk akal.