Anda di halaman 1dari 263

STABILITAS LERENG

dan

DINDING PENAHAN TANAH

Untuk Mahasiswa dan Sarjana Teknik Sipil

i=n
n-1
n-2

3
i=1

Dr. Abdul Hakam

Stabilitas Lereng
dan

Dinding Penahan Tanah


Untuk Mahasiswa dan Sarjana Teknik Sipil

Untuk Yang tercinta:


Heka , Dinda, Dewo, Brama dan AManda

Stabilitas Lereng
dan

Dinding Penahan Tanah

Untuk Mahasiswa dan Sarjana Teknik Sipil

oleh:
Dr. Abdul Hakam
Penyuting:
Heka Putri Andriani, ST
Design cover dan setting:
Penerbit
Penerbit:
Univesitas Andalas Press

Dilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi


buku ini tanpa izin penulis (by law)

BAB I

PENGANTAR ANALISIS
STABILITAS LERENG

Lereng pada dasarnya merupakan struktur geoteknik yang dapat terjadi


oleh alam maupun buatan manusia. Lereng merupakan struktur yang
terbuat dari material geoteknik berupa tanah dan batuan. Dalam analisis
kestabilannya lereng harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang
didasarkan pada rekayasa geoteknik yang umumnya dipelajari dalam
bidang mekanika tanah dan batuan. Namun demikian, mengingat
material geoteknik pada umumnya lebih mempunyai tahanan yang
lemah terhadap gesernya, maka penerapan ilmu mekanika tanah lebih
banyak dalam melakukan analisis dan rekayasa di lereng.
Lereng yang mengalami keruntuhan, secara teknis dikatakan telah
kehilangan kestabilannya. Sebelum mengalami keruntuhan, lereng
tersebut dapat dipastikan mempunyai nilai keamanan yang rendah.
Sedangkan lereng yang dalam kondisi stabil dianggap tidak mengalami
pergerakan baik ke arah bawah maupun ke atas lereng. Namun lereng
yang stabil juga dapat mempunyai nilai keamanan yang kecil sehingga
pada suatu saat akan dapat mengalami keruntuhan.
Dalam buku ini akan dijabarkan berbagai hal mengenai analisis
stabilitas lereng dan penstabilan lereng. Pada bagian awal akan
diperkenalkan tentang keruntuhan-keruntuhan yang terjadi pada lereng

(Bab 2). Jenis keruntuhan atau pergerakan yang terjadi pada lerenglereng ini diakibatkan oleh faktor-faktor luar dan dalam dari lereng.
Mekanisme yang dapat menimbulkan keruntuhan pada lereng juga akan
dijelaskan pada buku ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut
akan dibahas pada bagian berikutnya (Bab 3). Dengan pemahaman
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas lereng, maka akan
dimengerti tindakan untuk mengurangi penyebab keruntuhan dan
memperkokoh lereng.
Untuk mengantarkan pada analisis stabilitas dan penstabilan lereng,
maka pada bagian selanjutnya dijabarkan mengenai ilmu mekanika
tanah yang terkait (Bab 4 dan 5). Pada bagian ini akan dijelaskan
mengenai parameter-parameter fisik dan mekanik tanah yang
dipergunakan. Dengan paraneter-parameter tersebut, analisis stabilitas
lereng dapat diestimasi (Bab 6). Beberapa tipe keruntuhan lereng
sebagaimana dijelaskan pada bagian awal, merupakan asumsi awal
dilakukannya analisis stabilitas pada sebuah lereng. Selanjutnya
penggunaan grafik-grafik untuk mempersingkat perhitungan yang
berulang juga dijabarkan pada Bab 7. Mengingat lereng adalah struktur
yang besar dan umumnya terkembang di alam terbuka, maka sering
sekali pengaruh air merupakan faktor utama yang mempengaruhi
kestabilan lereng. Pengaruh air terhadap kestabilan lereng ini dijabarkan
pada Bab 8.
Selanjutnya penjelasan mengenai tegangan-tegangan yang terjadi pada
massa tanah pada berbagai kondisi (diam, aktif dan pasif) akan
dijelaskan (Bab 9). Bagian ini merupakan pengetahuan dasar untuk
melakukan analisis penstabilan lereng atau pencegahan kelongsoran.
Penanggulangan kelongsoran didasarkan pada mekanika kesetimbangan
gaya-gaya yang bekerja. Berbagai metoda untuk menanggulangi
kelongsoran akan dijelaskan pada ini. Dinding penahan tanah graviti
dan kantilever yang merupakan dinding penahan tanah yang sering
digunakan pada aplikasi lapangan biasanya terbuat dari beton bertulang.
Pembahasan mengenai dinding-dinding beton bertulang berikut tatacara
perkuatannya dan perencanaanya dijelaskan pada Bab 10.

Pada bagian akhir buku ini (Bab 11), dikhususkan pada pembahasan
mengenai stabilitas dinamis lereng. Metoda yang dijelaskan pada bagian
ini merupakan metoda yang paling ampuh namun sederhana untuk
diaplikasikan dalam bidang rekayasa.
Pembahasan tentang perpaduan antara metoda-metoda empiris dan
analitis dalam analisis dinamis untuk dinding penahan tanah dilakukan
pada Bab 12. Secara rinci pada bagian ini dijelaskan dasar pengambilan
metoda perhitungan dari hasil test terhadap model dinding penahan
tanah. Selanjutnya untuk mengaplikasikan teori, diberikan contohcontoh kasus perhitungan. Meskipun sering terjadi pada daerah yang
rawan terhadap seismik, pembahasan tentang bagian dinamik ini sangat
jarang dijumpai pada buku-buku referensi.

BAB II

KERUNTUHAN PADA LERENG

2.1. Jenis Keruntuhan Lereng


Pada lereng yang stabil dianggap tidak mengalami pergerakan
baik ke arah bawah maupun ke atas lereng. Namun untuk lereng yang
bergerak secara perlahan, dikatakan sebagai lereng yang tidak stabil.
Terdapat berbagai jenis pergerakan yang terjadi pada lereng-lereng yang
tidak stabil. Umumnya pergerakan-perhgerakan ini diakibatkan oleh
keruntuhan baik yan secara tiba-tiba maupun perlahan. Pergerakan
lereng yang diakibatkan oleh keruntuhan dari sistem lereng dapat dibagi
menjadi enam (6) bentuk/tipe sebagaimana dijabarkan pada bagian ini.

a. Keruntuhan batu dan batuan (Rock falls or topples)


Keruntuhan jenis ini berlangsung sangat cepat. Pada saat terjadi
keruntuhan umumnya diikuti oleh jatuhnya batuan yang terlepas
ikatannya. Batuan yang runtuh tidak hanya bergerak dengan posisi
yang tetap akan tetapi dapat menggelinding dan berlompatan
sebagaimana sebuah bola yang sedang dimainkan di tanah lapang
yang miring (Gambar 2.1).
Keruntuhan batuan bukan hanya terjadi pada lereng-lereng yang
terbuat dari batu saja, tetapi juga terjadi pada lereng tanah yang
mengandung batuan besar didalamnya. Bila batuan tersebut lepas
ikatannya, maka pergerakan secara menggeser, menggelinding
ataupun roboh dapat terjadi.

a. Menggeser

b.Menggelinding

c. Terlontar (jatuh)

Gambar 2.1. Beberapa contoh runtuhan batu


Karakteristik dari runtuhan batuan tergantung pada keheterogenan
dan dis-kontinuitas dari lapisan batuan. Ukuran dari masingmasing batuan yang runtuh sangat dipengaruhi oleh perilaku
batuan, bentuk batuan dan distribusi dari susunan batuan.
Keruntuhan batuan umumnya diakibatkan oleh lepasnya ikatan
(geser) antar batuan dan menurunnya kekuatan batuan akibat
pelapukan dan faktor eksternal lainnya.

a. Geser antar Batuan

b. Lepas atau Pelemahan

Gambar 2.2. Beberapa contoh runtuhan lereng batuan

Hal-hal yang menyebabkan keruntuhan lereng dari batuan adalah


beberapa diantara berikut:
1. Bentuk geometri dari lereng.
2. Sistem sambungan dari joint-joint pada batuan dan hubungan
antara sistem sambungan dengan kemungkinan timbulnya
permukaan runtuh,
3. Kekuatan geser dari joint (kontak) dan diskontinuitas pada
sistem batuan, dan
4. Gaya luar yang menyebabkan ketidak-stabilan seperti resapan
air diantara joint (sambungan sistem batuan), beban tambahan
dan getaran (seperti akibat kendaraan, mesin dan gempa
bumi).
Untuk mencegah kelongsoran (runtuhan) dari lereng terbuat dari
batuan, hal yang harus diperhatikan adalah dengan mengalihkan
(membuang) kumpulan batuan yang besar kemungkinan
mempunyai potensi untuk longsor. Cara ini dapat dilakukan
dengan membuat dimensi lereng yang secara teknik dapat dijamin
keamanannya.
Selain itu, untuk mencegah kemungkinan runtuh dari lereng batuan
dapat dilakukan dengan menutupnya (covering) menggunakan
shotcrete misalnya. Lapisan tersebut setidaknya akan mencegah
kemungkinan meresapnya air diantara lapisan betuan dan join yang
dapat menimbulkan gaya tekan air yang merenggangkan dan
melemahkan ikatan antar batuan. Untuk batuan yang cukup masih
dalam ukuran yang besar, penggunaan anchor, baut atau dowel
dapat pula dilakukan.
Selanjutnya, untuk mencegah kerugian yang lebih besar akibat
runtuhan batuan, pada bagian yang beresiko tinggi dapat dilakukan
penutupan tirai (curtain) dengan menggunakan jaring dari kawat,
atau pagar kawat dan tembok untuk menahan hantaman dari batuan
yang menggelinding.

b. Keruntuhan permukaan lereng (Surfacial slope failure)


Keruntuhan permukaan lereng ini diakibatkan pergerakan geser
pada bidang runtuh (slip surface). Sebagaimana namanya,
keruntuhan ini hanya melibatkan bagian permukaan dari lereng
dengan kedalaman yang relative dangkal ( hingga 0 sampai 2 m
saja). Pada beberapa kasus yang terjadi, bidang runtuh (slipsurface)
sejajar dengan permukaan lereng. Namun dapat pula terjadi bidang
runtuh yang tidak sejajar dengan permukaan lereng.
Mekanisme yang dapat menimbulkan keruntuhan lereng
permukaan pada lereng yang terbuat dari lempung adalah sebagai
berikut.
o

Mulanya lereng dalam keadaan stabil (saat lereng baru


dibentuk). Dengan perubahan cuaca, pada musim kering/panas
maka air tertangkap pada lempung akan menguap. Sesuai
dengan sifat lempung yang dapat berkembang dan susut sesuai
dengan kadar air yang dikandungnya, maka pada musin kering
akan menyebabkan susut pada lapisan lempung terutama yang
terdapat dipermukaan. Kedalaman retak yang diakibatkan
susut tergantung dari beberapa factor antara lain suhu,
kelembaban, vegetasi dan jenis lempung.
Saat terjadinya hujan, maka air akan masuk di antara retakanretakan pada lapisan lempung permukaan. Masuknya air ini,
seperti halnya yang terjadi pada batuan, akan memperlemah
kekuatan geser diantara retakan lempung (effektif stress akan
berkurang dan kohesinya menurun). Selain itu, air meresap
akan mengakibatkan lempung pada bagian dasar retakan akan
mengembang. Mulanya air akan terus mengalir diantara
retakan lempung kering hingga menuju aliran bebas.
Dengan mengembangnya dan jenuhnya lapisan lempung
bagian luar dari lereng (hingga kedalaman retakan tertentu),
terbentuklah saluran-saluran diantara retakan-retakan lempung
yang paralel dengan kemiringan lereng. Saluran-saluran ini

makin lama makin bertambah besar dengan tererosinya


beberapa partikel lempung.
Dengan mengembangnya tanah, penjenuhan, terbentuknya
saluran dan hilangnya kekuatan geser efektif pada lempung,
maka terjadilah kelongsoran pada permukaan lereng pada
kedalaman tertentu (kedalaman retakan lempung).

a. Mengering dan susut

b. Resapan air dan mengembang

c. Pelemahan

d. Runtuh permukaan

Gambar 2.3. Mekanisme keruntuhan lereng lempung

c. Keruntuhan lereng keseluruhan (Gross slope failure)


Berlainan dengan keruntuhan lereng permukaan, pada keruntuhan
lereng jenis ini melibatkan hampir keseluruhan lereng. Pada
keruntuhan ini, tidak hanya terjadi pada lapisan tertentu dari
lereng, tetapi melibatkan badan dari lereng tersebut yang bergerak
secara gravitasi pada bidang geser tertentu.

Gambar 2.3. Keruntuhan seluruh lereng


d. Gelincir (Landslide)
Keruntuhan lereng (utama) dapat diartikan sebagai lereng yang
tergelincir. Namun pada lereng tergelincir (landslide) umumnya
melibatkan keruntuhan lereng yang besar yang memiliki beberapa
lereng yang berbeda (bukan hanya satu lereng saja).

tuh

un
ar

zon

n
zon puka
um

bidang runtuh

Gambar 2.4. Gelincir pada lereng

Gelincir dan keruntuhan lereng keseluruhan hanya berbeda


mekanismenya saja. Dalam analisis untuk menilai kestabilannya,
keduanya tidak dibedakan secara gamblang. Mengenai analisis
stabilitas lereng akan dibahas secara khusus.
e. Aliran tanah (Debris flow)
Aliran tanah adalah pergerakan dari tanah yang telah bercampur
dengan air dan udara (serta sampah) yang bergerak secara cepat
atau perlahan tapi pasti (seolah-olah mengalir). Aliran tanah ini
terjadi pada lereng-lereng yang relative tidak curam. Sehingga
banyak tersedia waktu untuk bercampurnya tanah dengan air.
Sehingga mekanisme mengalir zat cair lebih berperan dibanding
mekanisme geseran pada tanah. Dalam banyak kejadian aliran
tanah ini, dapat melibatkan batang-batang kayu, batu besar,
ranting-ranting dan kotoran lainnya.
Terminologi lain (sebutan lain) yang juga digunakan untuk aliran
tanah adalah aliran lumpur (mud flow, debris slide, mud slide,
earth flow). Dalam bahasa daerah banyak dikenalkan istilah
mengenai pergerakan tanah ini misalnya: galodo, lahar dingin dan
banjir bandang. Kandungan partikel lumpur dan lempung yang
terlibat pada keruntuhan ini memiliki peran yang sangat penting.

lokasi runtuh

lokasi tujuan

Gambar 2.5. Aliran Tanah

10

f. Pergeseran (Creep):
Pergeseran lereng yang dimaksud disini adalah pergerakan
perlahan dari lereng yang terjadi terus menerus kearah kaki lereng.
Pergeseran ini disebabkan dari pergeseran tanah yang
mengakibatkan perpindahan yang permanen akan tetapi tidak
merupakan pergerakan akibat keruntuhan (failure). Namun
demikian, pergeseran ini pada gilirannya akan mempengaruhi
lereng yang dapat mengakibatkan keruntuhan permukaan ataupun
keruntuhan keseluruhan lereng.
Pergeseran ini akan mengakibatkan retakan-retakan pada
bangunan-bangunan (jalan, gedung, dinding penahan tanah atau
jembatan). Namun penanganan pergeseran ini terkadang
memerlukan biaya yang sangat besar dibandingkan kerugian
material akibat pergeseran itu sendiri. Pada keadaan tersebut maka
anggaran tetap untuk tindakan pemeliharaan terkadang lebih murah
dibanding menahan pergerakan tanah itu sendiri.

Gambar 2.6. Pergeseran Tanah

11

2.2. Bentuk Keruntuhan lereng


Berdasarkan bentuk dari bidang runtuhnya, keruntuhan lereng dibagi
menjadi beberapa tipe yaitu: Keruntuhan datar, lingkaran dan tak teratur
(kombinasi). Bentuk keruntuhan tersebut nantinya akan terkait dengan
metoda analisis stabilitas lereng dan metoda memperkuatnya.
Bentuk-bentuk keruntuhan dapat terjadi secara tunggal ataupun
bersamaan pada suatu lereng. Sehingga dalam analisis stabilitas lereng,
keseluruhan jenis keruntuhan tersebut harus dianalisis. Nilai keamanan
yang terkecil dari hasil analisis selanjutnya menjadi pertimbangan
dalam mengambil keputusan teknis.
a. Keruntuhan bidang datar
Tipe keruntuhan ini adalah bentuk yang paling sederhana untuk
dianalisis. Kelongsoran jenis ini juga dikenal dengan kelongsoran
translasi. Keruntuhan jenis ini umumnya terjadi pada tanah yang
memiliki lapisan yang melereng/miring seperti halnya bentuk
keruntuhan tersebut. Keruntuhan slip (dangkal) termasuk salah satu
bentuk keruntuhan tipe datar. Tipe kelongsoran jenis ini biasanya
terjadi dengan melibatkan massa tanah yang tidak terlalu besar.

Massa
yang
Runtuh

Bidang
Runtuh

Gambar 2.7. Keruntuhan bidang datar

12

b. Keruntuhan lingkaran
Kelongsoran jenis lingkaran ini juga sering disebut sebagai
kelongsoran rotasi. Kelongsoran jenis ini lebih bersifat global dan
melibatkan massa tanah yang besar. Biasanya kelongsoran jenis ini
akan diikuti oleh kelongsoran-kelongsoran kecil dalam massa
tanah yang bergerak.

Bidang
Runtuh
Massa
yang
Runtuh

Gambar 2.8. Keruntuhan lingkaran

Dalam analisisnya kestabilan lereng, hanya satu bidang


kelongsoran (bidang utama) saja yang akan diperhitungkan.
Sehingga nilai keamanan yang diperoleh hanya untuk satu bidang
lonsor saja. Selanjutnya bidang-bidang lain dianalisis terpisah
dengan cara yang sama.

13

c. Keruntuhan tak-teratur
Keruntuhan tidak teratur dapat merupakan kombinasi dari
keruntuhan datar dan lingkaran serta bentuk lain yang bukan
keduannya. Jenis keruntuhan ini juga sering terjadi pada tanah
yang tidak homogen dan mempunyai beberapa lapisan tanah yang
berbeda dalam lereng yang sama.

Massa
yang
Runtuh

Bidang
Runtuh

Bidang
Runtuh
Datar
Massa
yang
Runtuh

Bidang
Runtuh
Lingkara

Gambar 2.9. Keruntuhan Irregular dan Kombinasi

14

BAB III

GANGGUAN PADA LERENG


Pada umumnya lereng baik yang terbuat dari tanah maupun batuan
merupakan struktur alam yang terbuka. Dengan keadaan yang demikian,
maka terdapat banyak faktor-faktor di alam terbuka yang dapat
mempengaruhi (mengganggu) kestabilan lereng tersebut (Hakam,
2004b). Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan pada lereng dapat
berupa faktor alami (seperti panas matahari, air hujan, kelembaban dan
sebagainya) maupun faktor akibat aktivitas manusia (seperti getaran
kendaraan, ledakan, beban bangunan dan sebagainya). Dalam bagian ini
akan dibahas mengenai faktor-faktor yang dapat mengganggu lereng
sehingga berakibat pada keruntuhan.
3.1. Faktor Penyebab Keruntuhan Lereng
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya keruntuhan pada lereng
dapat dibagi menjadi dua faktor utama yaitu disebabkan adanya
gangguan luar dan gangguan dari dalam. Namun secara teknik
penyebab tersebut pada gilirannya akan meningkatkan gaya
penyebab runtuh atau menurunkan kekuatan tanah sedemikian rupa
sehingga faktor keamanan / stabilitas lereng menurun.
a. Gangguan luar
Gangguan luar adalah semua gangguan dari luar struktur lereng
baik diakibatkan oleh alam maupun buatan. Gangguan luar yang
dapat menurunkan faktor keamanan (stabilitas) lereng adalah:
1.

Getaran yang dapat diakibatkan oleh aktivitas manusia (lalulintas, ledakan dll) dan gempa bumi. Getaran arah horizontal
mengakibatkan gaya lateral tambahan pada gaya-gaya yang
telah ada dalam keadaan statis (gaya aktif dan pasif).

15

Sedangkan getaran vertikal menyebabkan berkurangnya berat


tanah sehingga tahanan geser pada bidang kontak menjadi
berkurang.

Wh = m.ah

Wg- = m.av
av

ah

Gambar 3.1. Gaya tambahan akibat getaran


2.

Beban tambahan terutama yang diakibatkan aktivitas manusia


seperti pembuatan gedung (bangunan) dan penimbunan
benda-benda diatas lereng. Dengan meningkatnya beban
tambahan, maka gaya yang mendorong tanah untuk bergerak
(longsor) akan meningkat pula. Walaupun pada sisi lain gaya
penahan juga akan meningkat, akan tetapi perbandingan dari
keduanya tidak memberikan effek yang meningkatkan
stabilitas lereng akan tetapi malah sebaliknya.

Gambar 3.2. Gaya tambahan akibat beban

16

3.

Hilangnya penahan lateral pada kaki lereng yang dapat


disebabkan oleh pengikisan (erosi), penggalian dan aktivitas
lainnya. Hilangnya penahan lateral ini secara lebih mudah
dapat dianalisis dengan menggunakan metoda perhitungan
stabilitas lereng dengan membandingkan antara lereng dengan
dan tanpa penahan horizontal.

Gambar 3.3. Gaya tambahan dikaki lereng


4.

Hilangnya pelindung (tumbuhan penutup) pada badan lereng


yang pada gilirannya memudahkan penyebab lain merusak
stabilitas. Dengan hilangnya pelindung seperti tumbuhan
rumput, maka aliran air pada lereng dapat mengikis
(mengerosi) permukaan dan membuat alur aliran. Akumulasi
dari hal tersebut dapat membuat gerakan tanah berupa aliran
tanah.

Gambar 3.4. Pengaruh cuaca pada lereng tak terlindung

17

b. Gangguan dalam
Gangguan dalam yang dapat mengakibatkan kurangnya stabilitas
lereng adalah:
1.

Penurunan dan peningkatan kadar air dalam tanah. Pada


tanah lempung, berkurangnya kadar air dapat menyebabkan
meningkatnya ikatan antar butiran. Akan tetapi bila kadar air
terus berkurang hingga batas susut, maka akan terjadi retakanretakan dalam tanah (fissure). Namun juga sebaliknya
peningkatan kadar air yang berlebihan akan melemahkan
kekuatan tanah dan juga dapat menurunkan tegangan efektif
tanah dimana dapat memperlemah kekuatan lereng.
Sedangkan kadar air pada tanah pasir tidak banyak merubah
kekuatan dari tanah namun merubah berat dari pasir yang
membentuk lereng.

2.

Naiknya massa tanah akibat terisinya rongga (pori) tanah


oleh air. Dengan naiknya massa tanah pada lereng maka gaya
pendorong yang cenderung menggerakkan lereng akan
meningkat pula. Tanah yang dalam keadaan basah akan
meningkat beratnya sehingga terjadi perubahan tekanan
dorong dan tahanan pada lereng secara keseluruhan.

3.

Larutnya zat perekat pada butiran pasir (cemented agent)


yang menyebabkan hilangnya ikatan antar butiran pasir.
Dalam mekanika, hilangnya rekatan ini digambarkan sebagai
hilangnya parameter kekuatan tanah (kohesi), sehingga
kekuatan lereng hanya berdasarkan tegangan normal yang
dikaitkan dengan parameter sudut geser dalam tanah ()

4.

Naiknya muka air tanah yang menyebabkan berkurangnya


tekanan efektif tanah. Kekuatan tanah secara umum selalu
dihitung berdasarkan kekuatan antar butir tanah (tegangan
efektif = tegangan total tekanan air). Sehingga dengan
meningkatnya muka air tanah akan meningkatkan tekanan air
dalam pori tanah dan mengurangi kekuatan efektif tanah.

18

5.

Pengembangan tanah (terutama tanah lempung) yang berada


pada lapisan bawah yang dapat menyebabkan ketidak-stabilan
pada bagian atasnya. Peristiwa pengembangan ini akan terkait
dengan peristiwa penyusutan yang juga menyebabkan
perubahan gaya-gaya dalam massa tanah secara parsial.
Peristiwa kembang susut ini terjadi pada tanah yang terbuat
dari lempung.

6.

Surutnya muka air yang cepat terutama pada lereng yang


bersentuhan langsung dengan air seperti waduk. Surut yang
yang lebih cepat dari aliran dalam tanah menyebabkan
perubahan stabilitas lereng secara keseluruhan. Pada kondisi
itu tekanan pori tanah masih sama dengan keadaan
sebelumnya tetapi gaya apung air pada lereng telah
menghilang. Perubahan kesetimbangan ini signifikan dapat
menyebabkan perubahan kestabilan sehingga menyebabkan
kelongsoran lereng.

Gambar 3.5. Perubahan posisi muka air pada lereng


7.

Liquifaksi pada pasir halus akibat gempa. Likuifaksi


diakibatkan meningkatnya tekanan air dalam tanah oleh
gerakan seismik. Bila tegangan ini tidak segera dilepaskan
melalui aliran air dari dalam pori tanah, maka tekanan efektif
akan berkurang. Bila tekanan efektif mencapai harga nol,
maka tanah akan berperilaku seperti cairan (air). Dalam
keadaan ini maka hilanglah tahanan tanah secara keseluruhan.
Peristiwa ini disebut dengan likuifaksi yang dapat terjadi pada
pasir halus jenuh air. Pasir halus memiliki pori-pori yang kecil
sehingga tidak dapat meluluskan air dengan cepat.

19

3.2. Identifikasi Faktor Pengganggu Lereng


Dengan mengelompokkan gangguan berdasarkan pengaruhnya
dari luar dan dalam, selanjutnya dapat diidentifikasi faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya gangguan tersebut. Sejumlah faktorfaktor tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan asal dan jenis
sumber penyebabnya, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Topografi
Geologi
Air dalam tanah
Cuaca
Getaran
Sejarah waktu

Faktor-faktor diatas dapat saja menganggu sebuah lereng dalam


waktu dan posisi yang sama namun dapat pula secara berbeda.
Dapat pula pengaruh tersebut terjadi dalam waktu yang tidak
bersamaan namun memberi effek yang saling menunjang.
Misalnya adalah terik matahari siang yang menyebabkan
terbentuknya retakan pada lereng dan tekanan air hujan yang
melemahkan ikatan pada retakan-retakan, keduanya terjadi pada
waktu yang berbeda namun memberi effek pada tempat yang sama.
Dalam analisis sebuah lereng, untuk mengestimasi keamanannya
terhadap faktor-faktor pengganggu, dapat dilakukan sejumlah
kombinasi. Keputusan untuk menentukan keamanan lereng
selanjutnya harus selalu diambil berdasarkan kemungkinankemungkinan yang cukup ekstrim. Selain itu pertimbangan biaya
konstruksi dan resiko akibat kelongsoran juga tetap
dipertimbangkan.
Pada Tabel 3.1 berikut dicantumkan hal-hal yang mesti
diidentifikasi terkait dengan stabilitas sebuah lereng.

20

Tabel 3.1. Hal-hal yang perlu diidentifikasi terkait keruntuhan lereng


Jenis faktor
Keterangan
Faktor yang
diidentifikasi
Topografi
Peta ketinggian
Pertimbangkan hal-hal tentang bentuk dari muka tanah
(Topography)
yang tidak menentu seperti bergelombang, coakkan,
bagian yang menggelembung.
Saluran permukaan
Evaluasi kondisi keteraturan dan kelancaran draenase
serta ketidakteraturan (irregular) yang terjadi.
Profil Lereng
Dievaluasi sepanjang kontur dan peta geologi.
Sejarah lereng
Geologi
(Geology)

Formasi batuan dan tanah


pada lereng

Struktur lereng

Pelapukan

Seperti durasi dari perubahan terhadap waktu dan


hubungannya dengan air tanah, cuaca serta getaran.
Pertimbangkan urut-urutan dari formasi, colluvium
(bidang kontak bedrock dengan tanah residual), formasi
dari pengalaman yang lalu yang menandakan sesuatu
yang perlu dicurigai, pergantian jenis batuan.
Evaluasi bentuk tiga dimensi dari geometri, stratigrafi,
lipatan geologi, patahan geser dan patahan vertikal .Juga
perlu diperhatikan bagian sesar besar disekitar yang
berkaitan dengan lereng.
Pertimbangkan karakter penyebab (kimiawi, mekanika
dan larutan) serta keseragamannya (kemiripan or
bervariasi).

21

Jenis faktor
Hal yang diidentifikasi
Air Tanah
Elevasi Piezometric
(Groundwater) sepanjang lereng
Variasi tekanan air

Indikasi muka air tanah

Efek dari aktifitas manusia

Kimiawi air tanah


Cuaca
(Weather)

Data curah hujan


Temperatur
Tekanan Udara
(Barometri )

Keterangan
Perbedaan tekanan air di dalam lereng, seperti level
normal, level tepat pada sisi muka lereng dan level
artesis dalam kaitannya dengan formasi dan struktur.
Variasi level peizometrik yang disebabkan perubahan
cuaca, getaran dan sejarah perubahan kemiringan
lereng. Faktor lain yang terkait adalah curah hujan,
fluktuasi musim dari tahun ke tahun.
Indikasi dari muka air tanah dapat dilihat dari keadaan
permukaan yang dipengaruhi air tanah seperti aliran
air di permukaan, perbedaan vegetasi dan sebagainya.
Efek dari kegiatan manusia yang dapat mempengaruhi
air-tanah seperti penggunaan air tanah, penambahan
air tanah, perubahan lapisan dari permukaan,
kemungkinan peresapan permukaan dan perubahan
pada air yang ada dipermukaan.
Kimiawi air tanah seperti larutan, kadar garam, ion-ion
yang terkandung dll.
Pertimbangkan curah hujan dari harian, bulanan atau
tahunan.
Perhatikan perubahan suhu baik harian, perubahan
mendadak siang malam dan sebagainya.
Perbedaan yang terjadi pada tekanan udara. Dapat saja
hal ini mempengaruhi secara tidak langsung.

22

Jenis faktor
Getaran
(Vibration)

Hal yang diidentifikasi


Alami
Buatan manusia

Sejarah Lereng
(History of slope)

Proses alami

Buatan manusia

Laju perubahan

Keterkaitan faktor

Keterangan
Peristiwa getaran alam (gempa, gunung api dll).
Getaran yang diakibatkan ledakan, alat transportasi,
mesin-mesin.
Seperti perubahan geologi yang perlahan, erosi, buktibukti pergerakan masa lalu, bekas rekahan dan
sebagainya.
Kegiatan manusia termasuk galian, urugan,
pemotongan permukaan tanah dengan alat berat,
paving, pengosongan reservoir dan banjir. Juga
kegiatan manusia yang menyebabkan perubahan air
tanah, air muka tanah dan perubahan pada vegetasi
diatas lereng.
Laju perubahan dapat ditentukan dengan bukti visual
berupa bukti keragaman dan tata letak pada jenis
vagetasi. Bila terdapat instrumentasi terpasang, juga
perhatikan data dari alat-alat yang terpasang seperti
vertical changes, horizontal changes dan internal
strains dan tilt, termasuk riwayat waktu dari catatan
tersebut.
Hubungan antara pergerakan dengan air tanah, cuaca,
getaran dan aktivitas manusia serta faktor lainnya.

23

3.3. Pemilihan Metoda Analisis Kestabilan Lereng


Identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
gangguan pada lereng, sangat bermanfaat dalam tindakan lanjutan
dalam analisis kestabilan lereng. Berdasarkan sejumlah faktorfaktor yang menyebabkan keruntuhan lereng, maka dapat dipilih
metoda analisis stabilitas lereng untuk mengetahui keamanan
lereng tersebut terhadap gangguan yang ada.
Sejumlah metoda analisis kestabilan lereng telah dikembangkan
berdasarkan perilaku lereng, parameter-parameter, asumsi-asumsi
dan penyederhanaan tertentu. Untuk dapat memilih dan
menggunakan metoda yang sesuai dengan kasus yang dihadapi,
maka identifikasi masalah terhadap lereng harus cukup lengkap
dan disesuaikan dengan hal-hal yang dipertimbangkan dalam
pengusulan metoda analisis. Sebagai contoh, metoda analisis
lereng yang menggunakan parameter c u misalnya, sangat tidak
sesuai dengan lereng yang terbuat dari tanah berbutir kasar.
Tindakan selanjutnya adalah meningkatkan stabilitas lereng dengan
faktor keamanan terterntu dengan dasar faktor-faktor yang
mengganggu dan hasil analisis kestabilannya. Berbagai metoda
stabilitas lereng telah dikembangkan. Dari sejumlah metoda yang
telah dikembangkan dapat dipilih beberapa metoda yang mungkin
dilakukan berdasarkan data-data yang ada. Selanjutnya dari
sejumlah yang mungkin dilakukan, dipilih metoda yang sesuai
berdasarkan kriteria biaya, waktu, alat, keahlian, umur penanganan,
keindahan dan sebagainya.

24

BAB IV

SIFAT FISIK TANAH


UNTUK LERENG

Tanah merupakan material geologi yang berada pada bagian kerak bumi
sebagaimana halnya batuan. Secara kimiawi, batuan dan tanah dapat
mempunyai unsur yang sama, namun keduanya dibedakan berdasarkan
sifat fisiknya. Untuk membedakan antara tanah dengan batuan yang
bersifat keras dan solid, maka tanah dapat didefinisikan sebagai material
geologi yang mempunyai butiran-butiran yang lepas (tidak solid) dan
mempunyai kekuatan tekan kurang dari 250 kg/cm2.
Propertis tanah yang dimaksud pada bagian ini adalah parameterparameter tanah yang dapat diukur atau dihitung dan digunakan untuk
berbagai keperluan dalam bidang teknik sipil. Secara prinsip dapat
dikatakan bahwa setiap tanah yang terdapat pada lokasi dan kondisi
yang berbeda mempunyai nilai parameter yang berbeda. Dengan
pengertian tersebut maka dapat diartikan berbalik, bahwa untuk
membedakan atau membandingkan satu tanah dengan yang lain dapat
dilakukan dengan membandingkan parameter-parameter yang
dimilikinya sesuai dengan keperluan dari pembandingan tersebut.
Dalam menentukan propertis tanah harus diperhatikan satuan yang
digunakan untuk mengukur besarannya. Sebab dalam beberapa hal,
satuan yang digunakan dapat menjadi hal yang menambah pengertian
atau bahkan sebaliknya dapat mengaburkan arti dari paramater tanah
tersebut.

25

Secara mendasar tanah dibedakan berdasarkan gradasi butirannya


menjadi dua bagian besar yaitu tanah berbutir halus dan tanah berbutir
kasar. Tanah berbutir halus yang utama adalah lempung (clay
dilambangkan C), dan terkadang juga lanau (silt dengan lambang M
dari kata Mud). Sedangkan tanah berbutir kasar adalah pasir (sand
dengan lambang S) dan kerikil ( gravel dilambangkan G ). Walaupun
secara mendasar dibedakan dari ukuran butirannya, namun secara
perilakunya, kedua jenis tanah tersebut menunjukkan perbedaan yang
sangat mencolok.
Sebagai contoh, tanah lempung mempunyai kekuatan yang sangat
dipengaruhi dengan kandungan air yang ada di dalamnya, sedangkan
tanah pasir perilakunya tidak banyak dipengaruhi oleh air yang
dikandungnya. Perilaku yang terkait dengan air pada tanah lempung
yang berkaitan dengan pekerjaan praktis antara lain adalah sifat
mengembangnya (swelling) dan penurunan akibat konsolidasi yang
keduanya tidak dipelajari untuk tanah pasir.

Vv

Va

Gas (Air)

Vw

Air (Water)

Ww

Vs

Butir Tanah
(Solid)

Ws

Wa ~ 0

Vtot
Wtot

Pembagian
Volume

Pembagian
Berat

Gambar 4.1. Susunan unsur material sampel tanah

26

4.1. Partikel Tanah


Ukuran partikel tanah adalah beragam mulai dari yang besar hingga
yang terkecil yang dapat melayang di dalam air. Pada selang ukuran
tertentu, telah diberikan nama-nama bagi ukuran partikel yang berguna
untuk dapat berkomunikasi dan saling memahami. Dalam bagian ini
akan diberikan beberapa istilah atau nama-nama sedimen tanah yang
didasarkan pada ukurannya.
Lapisan Batuan (Bedrock)
Nama ini diberikan pada lapisan batuan yang biasanya terdapat
di dalam lapisan tanah. Bedrock biasanya terbentuk akibat
pendinginan magma (batuan beku) yang akhirnya membeku dan
dilapisi diatasnya oleh lapisan tanah yang mengeras (batuan
sedimen).
Singkapan lapisan batuan dapat muncul ke permukaan bumi
akibat proses-proses geologi membentuk lereng-lereng dan
tebing-tebing. Walaupun secara nominal berukuran besar dan
keras, kelongsoran pada tebing/lereng batuan dapat juga terjadi
akibat pelemahan ikatan dan hal-hal lain yang mengganggunya.
Batu (Boulder, cobble)
Nama-nama tersebut adalah pecahan atau fragmentasi dari batuan
(rock) atau hasil pembekuan mineral letusan gunung berapi yang
mempunyai ukuran dari satu meter (atau lebih sedikit) hingga 75
mm. Dalam bahasa sehari-hari, ukuran Boulder disebut batu besar
sedangkan cobble adalah batu yang biasanya digunakan sebagai
bahan bangunan (untuk pasangan batu). Pada lereng tanah yang
mengandung batu-batu ini, dapat terjadi lontaran batu secara
tunggal ataupun bersamaan.
Kerikil (Gravel, pebble)
Gravel dan pebble adalah ukuran butiran yang lebih besar dari
pasir yang biasa disebut dengan kerikil. Kerikil digunakan

27

sebagai agregat kasar dalam pencampuran beton. Ukuran kerikil


adalah diantara 75 mm hingga 2 (atau 5) mm.
Pasir (Sand)
Ukuran butiran tanah yang berada dibawah kerikil disebut dengan
pasir. Dalam kegiatan praktis di lapangan dan juga disebabkan
beberapa perilakunya, terkadang pasir juga dibagi menjadi pasir
kasar dan pasir halus. Ukuran butiran pasir berkisar antara 5 (atau
2) mm hingga 0.074 mm. Dalam susunan saringan berdasarkan
kode klasifikasi Unified, pasir berada pada saringan nomor 4
hingga nomor 200.
Lanau (Silt)
Partikel tanah yang lolos saringan nomor 200 dan mempunyai
ukuran 0.074 hingga 0.002 mm disebut dengan lanau. Dengan
ukurannya yang sangat kecil ini, antar partikel lanau mempunyai
bidang kontak yang kecil sehingga tahanan gesernya sangat
rendah. Berbeda dengan lempung (clay), lanau tidak bersifat
kohesif (lengket). Namun dengan adanya kandungan lempung
yang cukup rendah (5% hingga 8%) saja, dapat memberikan nilai
kohesif yang berarti pada lanau.
Lampung (Clay)
Lempung adalah fraksi terkecil dari tanah. Ukuran butiran
lempung antara 0.002 hingga 0.001 mm. Berbeda dengan sifat
butiran tanah sebelummnya, lempung mempunyai sifat kohesif
yang tinggi. Sifat kohesif (lengket) lempung ini disebabkan
mineral yang membentuk lempung tersebut sedemikian rupa
sehingga terjadi dua kutub listrik statis pada permukaannya.
Mineral lempung berbentuk seperti lempengan-lempengan kecil
(seperti lembaran-lembaran keras tebal) yang bermuatan listrik
negatif pada bidang pemukaan dan bermuatan positif pada sisisisinya. Dari bentuk dan muatan listrik negatifnya inilah maka
lempung bersifat kohesif dan menarik molekul air.

28

Molekul air terdiri dari satu atom oksigen dan dua atom hidrogen
yang membentuk sudut 105o. Secara skematik dapat terlihat
bahwa molekul air memiliki dua kutub yang berbeda (dipole).
Kutub positif air tertarik pada bidang/permukaan lempung yang
negatif, sedangkan kutub negatifnya mengarah pada bagian yang
berlawanan. Kutub negatif tersebut selanjutnya menarik kutub
positif molekul air yang lain dan seterusnya. Ikatan-ikatan ion
inilah yang menjelaskan mengapa partikel lempung sangat
mengikat air dalam jumlah yang banyak.

Muatan +
Muatan -

O2--

H+

H+
Molekul air (dipole)

Gambar 4.2. Partikel Lempung dan Molekul Air

Terdapat tiga jenis mineral lempung yang sangat dikenal dalam


mekanika tanah. Montmorillonite adalah mineral lempung yang
paling aktif dalam berinteraksi dengan air. Mineral ini dapat
mempunyai indeks plastis lebih dari 150%. Ini menunjukkan
bahwa mineral ini dapat menyerap air lebih banyak dari beratnya
sendiri. Dengan sifat yang demikian, lempung ini dapat

29

digunakan untuk beberapa keperluan antara lain adalah sebagai


lapisan penyekat air. Tetapi dengan sifatnya yang demikian,
konstruksi yang berinteraksi langsung dengan lempung
montmorillonite harus mendapat perlakuan khusus antara lain
dalam mengatasi massalah kembang susut akibat rembesan air.
Mineral lempung yang lain adalah Illite dengan indeks plastis 30
hingga 50 dan Kaolinite dengan indeks plastis 10 hingga 20.
Kaolinite banyak digunakan dalam industri sebagai bahan
keramik dan untuk pembuatan batu bata.
Sifat lempung yang sangat atraktif terhadap air ini menjadi bagian
yang menarik untuk diteliti. Penelitian tentang perilaku tersebut
telah dan masih akan banyak dilakukan. Batas-batas kadar air
pada mineral lempung yang memberikan sifat cair, plastis dan
padat dari beberapa mineral lempung dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Batas konsistensi mineral lempung (Mitchell, 1976)
Nama mineral

Batas
Cair

Montmorillonite

100900

Illite

60120

Kaolinite

30110

Nontronite

3772

Hallosysite

3555

Attapulgite

160230

30

Chlorite

4447

Allophane

200250

4.2. Klasifikasi Tanah


Secara garis besar, tanah dibedakan menjadi dua golongan utama, yaitu
tanah berbutir kasar dan tanah berbutir halus. Penggolongan ini
didasarkan atas ukuran butirannya. Yang termasuk tanah berbutir halus
adalah tanah lempung dan lanau, sedangkan yang berukuran besar dari
lanau digolongkan sebagai tanah berbutir kasar. Pada tanah berbutir
kasar, pembagian lebih ditailnya didasarkan pada ukuran seperti pasir
halus, sedang dan kasar. Selain itu, berdasarkan keragaman gradasinya,
dapat digolongkan menjadi bergradasi seragam (poor-graded), gradasi
berlobang dan bergradasi baik/lengkap (well-graded). Tanah dengan
gradasi yang lengkap umumnya mempunyai tahanan geser yang baik
dibanding dengan tanah bergradasi seragam. Hal ini dikarenakan pada
gradasi yang lengkap, partikel tanah saling mengisi rongga dan saling
mengunci hingga mempunyai kontak antar butir yang lebih banyak dan
baik.
Selain itu, tanah dapat pula digolongkan menjadi dua bagian
berdasarkan sifat kerekatannya, yaitu tanah kohesif (lempung) dan
tanah non-kohesif. Pada penggolongan ini, tanah kohesif masih
digolongkan berdasarkan kesensitivannya terhadap gangguan dari luar.
Tanah yang mempunyai perobahan perilaku yang lebih mencolok
dengan adanya gangguan, dikatakan lebih sensitif dan sebaliknya.
Selain itu, mengingat tanah lempung mempunyai perilaku yang sangat
terpengaruh dengan air, maka khusus untuk tanah ini, penggolongannya
didasarkan pada perilakunya terhadap air. Untuk keperluan tersebut,
maka kadar air yang ada di dalam sampel lempung, dijadikan patokan
untuk mengklasifikasikannya.

31

Kandungan organik dalam tanah juga sebagai salah satu hal yang
dijadikan alternatif untuk menggolongkan tanah. Kandungan organik
yang ada didalam tanah, dinyatakan dalam persentase berdasarkan berat
(seperti halnya kandungan air). Walaupun warna dan bau tanah organik
cukup mencolok untuk dibedakan, tetapi hal tersebut tidak menjadi
patokan dalam mengidentifikasi kandungan organik dalam tanah.
Kandungan organik dalam tanah dinyatakan dalam dua golongan utama
yaitu banyak/tinggi (Organic High-OH) dan sedikit/rendah (Organic
Low-OL).
Untuk keperluan teknik sipil secara umum, terdapat banyak cara
(termasuk ketentuan/prosedur) yang dapat digunakan untuk
menggolongkan tanah seperti cara Unified (diusulkan Casagrande, 1948
dan diadopsi oleh ASTM) yang sudah cukup populer. Untuk keperluan
yang berlainan, misalnya pertanian, jalan raya atau lapangan udara,
maka penggolongan (klasifikasi) tanah dan prosedurnya akan berbeda.
Walaupun penggolongan tanah tidak merupakan hal yang sangat
penting dalam rekayasa geoteknik termasuk stabilitas lereng, namun hal
tersebut masih tetap diperlukan antara lain untuk:
-

Memperkirakan perilaku yang akan terjadi pada sebuah


bangunan lereng dan struktur geoteknik yang diperlukan.
Beberapa metoda perhitungan hanya dapat dipergunakan
untuk jenis tanah tertentu seperti lempung misalnya, sehingga
dengan mengetahui jenis tanah yang membentuk lereng,
maka untuk analisis rekayasa geotekniknya dapat dipilih
metoda yang sesuai.

Untuk membuat peta perilaku yang umum dari sebuah deposit


tanah pada suatu daerah yang sempit atau luas. Peta tersebut
dapat digunakan untuk kepentingan dalam mengambil
keputusan terhadap eksplorasi geoteknik yang diperlukan
pada suatu wilayah tertentu.

Untuk dapat mengerti dengan baik perilaku tanah dan


bangunan
diatasnya
berdasarkan
catatan
kejadian

32

sebelumnya. Hal tersebut dapat digunakan untuk


memperkirakan dan mengambil keputusan teknis pada daerah
lain dengan klasifikasi tanah yang serupa.

4.3. Propertis tanah untuk lereng


Terdapat sejumlah propertis fisik pada tanah yang sering dipelajari pada
mekanika tanah. Namun tidak semuanya dipergunakan dalam analisis
kestabilan lereng yang lingkupnya terbatas. Terdapat beberapa propertis
yang perlu diketahui dan sering dipergunakan dalam kaitannya dengan
pembahasan stabilitas lereng seperti yang akan dijabarkan pada bagian
berikut.
a. Berat-volume tanah ()
Berat volume tanah (berat satuan=unit weight) adalah besarnya
satuan berat tanah tiap satuan volume. Berat satuan tanah
ditentukan dengan membandingkan berat tanah dengan volume
yang diisinya. Berbeda dengan spesific gravity yang merupakan
perbandingan massa butiran tanah dengan volume butiran saja,
berat satuan tanah meliputi perbandingan seluruh berat termasuk
butiran, air dan udara pada tanah tersebut dengan keseluruhan
volumenya.

Wtot
Vtot

4.1

Berat satuan tanah sangat penting dalam mengestimasi gaya-gaya


yang bekerja pada tanah akibat berat sendiri. Selain itu, beban
lateral akibat berat tanah juga ditentukan oleh berat satuan dari
tanah. Dalam bagian selanjutnya akan diperlihatkan bahwa
parameter berat satuan ini menjadi sangat penting dalam analisis
gaya-gaya dan tekanan dalam tanah.

33

Selain berat satuan juga terdapat parameter tanah berupa berat


volume kering ( d ), yaitu merupakan nilai perbandingan dari
berat tanah dalam keadaan kering (butiran tanah) dengan
volumenya pada saat basah (volume total). Berat kering
merupakan parameter tanah yang sering digunakan dalam
rekayasa pemadatan tanah dan perbaikan tanah dengan bahan
tambahan. Berat volume kering akan selalu lebih rendah dari
berat volume tanah basahnya. Dalam proses pemadatan tanah
tertentu, akan dijumpai/terdapat berat volume kering maksimum
dengan kadar air tertentu (optimum).

d =

Ws
Vtot

4.2

b. Spesific gravity (Gs)


Spesific gravity adalah salah satu parameter tanah yang sering
diuji di laboratorium yang merupakan perbandingan massa
butiran tanah dengan volume dari butiran tanah tersebut. Untuk
menghilangkan satuannya, perbandingan berat/massa dan volume
butiran tersebut dibandingkan (dibagi) dengan berat/massa satuan
air pada suhu 4oC (yaitu 1 t/m3 atau 9.81 kN/m3).

Gs =

Ws 1
.
Vs w

4.3

Spesific gravity digunakan untuk menghitung angka pori dari


sedimen tanah yang selanjutnya digunakan sebagai data dalam
perhitungan penurunan tanah akibat beban. Untuk berbagai jenis
partikel tanah, nilai spesific gravity mempunyai rentang yang
tidak besar seperti ditampilkan dalam Tabel 4.2.

34

Tabel 4.2. Nilai spesific gravity beberapa jenis tanah (Das, 1990)
Jenis
Nilai
Tanah
Gs
Keriki
l
(Gravel)

2.65

2.68

Pasir
(Sand)

2.65

2.68

Lanau
(Silt)

2.62

2.68

Lemp
ung
Organik
(O-Clay)

2.58

2.65

Lemp
ung Nonorganik
(Clay)

2.68

2.75

Dalam analisis aplikasi mekanika tanah, nilai Gs=2.67 sering


digunakan dalam perhitungan untuk tanah berbutir (cohesionless)
dan Gs=2.70 untuk lempung in-organik. Sebagai patokan, nilai Gs
lebih dari 3.0 dan kurang dari 2.5 sangat jarang untuk tanah.
c. Kadar air (w)
Kadar air adalah propertis tanah yang menggambarkan
perbandingan dari berat air yang ada dalam sampel tanah dengan
berat dari partikel tanah kering. Nilai kandungan air ini dalam
berbagai pengujian sampel tanah hampir selalu dilakukan. Kadar

35

air mempunyai satuan persen (%), namun dalam pemakaiannya


terkadang satuan persen tersebut tidak dituliskan.
Parameter kadar air tidak dipakai secara langsung dalam analisis
stabilitas lereng. Tetapi nilai kadar air sangat berguna bagi
praktisi dalam menentukan keputusan terhadap situasi yang ada.
Nilai kadar air menjadi patokan dalam menentukan kekuatan dan
perilaku tanah terutama tanah berbutir halus.
Dalam bentuk persamaan matematis kadar air dapat dituliskan
sebagai berikut:

w=

Ww
.100%
Ws

4.4

Pengujian kadar air sangat penting dalam mempelajari sifat


lempung (aktivitas) terhadap pengaruh air. Nilai keaktivan
lempung dalam berinteraksi dengan air sering dinyatakan sebagai
indeks plastis (I p ) yang merupakan selisih dari kadar air dalam
kondisi di batas perilaku cairnya (Liquid Limit, w LL ) dengan
kadar air dalam kondisi di batas keplastisannya (Plastic Limit,
w PL ). Sedangkan, untuk tanah dalam keadaan aslinya di lapangan,
kadar air yang dikandungnya dikenal dengan kadar air
asli/natural (w N ).
Dalam kegiatan praktis, nilai kadar air sangat berguna seperti
dalam kegiatan pemadatan tanah dan perbaikan tanah (soil
improvement) dengan bahan tambahan. Selain itu, untuk tanah
lempung yang berada dibawah muka air tanah, kadar air pada
tanah tersebut memberikan beberapa pengertian dalam
memprediksi perilaku lempung tersebut. Bila kadar air asli (w N )
hampir (mendekati atau sekitar) kadar air batas cair (w LL ), maka
umumnya tanah tersebut dalam keadaan tidak terkonsolidasi

36

(normally consolidated). Pada keadaan ini, maka kegiatan


(gangguan, seperti pemadatan atau pemancangan tiang) terhadap
tanah tersebut akan mengubah tanah berperilaku seperti cairan
kental (viscous). Sedangkan tanah dibawah muka air tanah
dengan kadar air mendekati batas plastis, menunjukkan tanah
tersebut telah terkonsolidasi (over consolidated) sebelumnya.
d. Derajat kejenuhan
Derajat kejenuhan (S r ), merupakan persentase dari perbandingan
volume air dengan volume pori. Pada tanah dalam keadaan jenuh,
seluruh porinya akan terisi dengan air, atau derajat kejenuhannya
S r =100% dan pada tanah yang kering dimana tidak mengandung
air, derajat kejenuhannya adalah 0%.

Sr =

Vw
. 100%
Vv

4.5

e. Angka pori dan porositas


Angka pori (e), adalah angka yang menunjukkan perbandingan
volume dari pori tanah dengan volume dari butiran tanah. Angka
pori (void ratio) sering dipakai dalam analisis penurunan akibat
konsolidasi.

e=

Vv
Vs

4.6

Porositas (n), adalah nilai perbandingan volume pori dengan


volume dari tanah keseluruhan. Tanah dengan gradasi yang
seragam, memiliki pori antar butir yang banyak sehingga
porositasnya akan besar pula. Dibandingkan dengan tanah yang
bergradasi rapat dimana pori-pori antar butiran besar diisi oleh

37

butiran yang lebih kecil, akan memiliki porositas yang kecil pula.
Tanah yang poros (berpori) akan mengalirkan air lebih cepat dan
banyak dibanding tanah yang tidak poros.

n=

Vv
Vtot

4.7

f. Kerapatan relatif
Kerapatan relatif (D r ), merupakan parameter yang diturunkan
dari beberapa sifat fisik tanah lainnya. Kerapatan relatif sering
dipergunakan untuk tanah-tanah berbutir kasar. Kerapatan relatif
adalah persentase dari perbandingan beberapa nilai berat volume
tanah pasir atau angka porinya. Nilai ini menunjukkan kepadatan
tanah berbutir seperti dalam Tabel 4.3. berikut:
Tabel 4.3. Nilai Kerapatan dan berat volume beberapa jenis tanah
(Das, 1985)

38

Jenis
Kerapatan
Tanah

Nilai
Dr

Sangat
lepas
(very
loose)

0
15

lepas
(loose)

15
50

Sedang
(medium)

50
70

Padat
(dense)

70
85

Sangat
padat
(very
dense)

85

100

39

BAB V

MEKANIKA TANAH
UNTUK LERENG
5.1 Sifat Mekanik Tanah
Untuk mempelajari mekanika tanah, maka dikenalkan parameter atau
propertis mekanik tanah yang nilainya dapat diukur atau dihitung dan
digunakan untuk berbagai keperluan dalam bidang teknik sipil. Setiap
jenis tanah yang berada pada lokasi dan kondisi yang berbeda
mempunyai nilai parameter yang berbeda. Maka untuk menentukan
propertis mekanik tanah harus dilakukan dengan mengukur parameterparameter yang dimaksud sesuai dengan keperluan dari pengukuran
tersebut. Banyak referensi yang dapat digunakan untuk pembahasan
mengenai mekanika tanah diantaranya adalah Hakam (2008)a.
Tanah merupakan material geologi yang mempunyai mekanisme
tertentu dalam mengantisipasi atau merespon gangguan yang diberikan
padanya. Respon yang diberikan tanah dapat berbentuk peningkatan
tegangan (tegangan total dan effektif) ataupun dalam bentuk pergerakan
(perpindahan, geser, longsor atau penurunan). Setiap respons dari tanah
mengikuti mekanisme yang dapat dipelajari sebagaimana halnya yang
terjadi pada material-material lainnya.
Tegangan yang terjadi dalam massa tanah umumnya diakibatkan
perubahan kesetimbangan gaya-gaya pada sistem tanah. Bila tegangan
yang terjadi masih dalam batas kekuatan tanah, maka tidak terjadi
keruntuhan pada sistem tersebut. Kekuatan tanah dirumuskan dengan
persamaan khusus berikut parameter-parameter yang digunakan. Selain
itu, dengan adanya perubahan tegangan pada tanah, akan terjadi

40

deformasi sesuai dengan peningkatan tegangan tersebut. Estimasi


besarnya deformasi pada sistem tanah pada cara analitis dilakukan
terpisah dengan kekuatan tanah. Namun untuk metoda yang lebih lanjut
dengan bantuan metoda numerik, kekuatan dan deformasi dianalisis
secara simultan.
Pada mekanika tanah dikenal dengan adanya deformasi yang
diakibatkan oleh proses transfer tegangan dari tegangan pada pori tanah
ke tegangan pada partikel tanah yang disebut dengan konsolidasi.
Proses konsolidasi terjadi umumnya pada tanah berbutir halus yang
memiliki kemampuan untuk memampat.
Pada pekerjaan praktis di lapangan, sering terdapat permasalahan yang
tidak menguntungkan dalam pemanfaatan kekuatan tanah dan sifat
deformasinya. Untuk itu maka diperlukan inovasi rekayasa geoteknik
dengan memanfaatkan pengetahuan tentang mekanika tanah dan
teknologi yang sedang berkembang. Sebagai contoh, pada permasalahan
rekayasa stabilitas lereng timbunan diatas tanah lunak, maka hal yang
paling mudah untuk meningkatkan kuat geser tanah adalah
menggantikan tanah tersebut dengan material lain yang memiliki daya
dukung lebih baik. Namun hal tersebut biasanya dibatasi oleh masalah
besarnya dana yang tidak realistis. Dalam kasus tersebut, maka metoda
penimbunan dan penggunaan jenis konstruksi pondasi yang cocok untuk
digunakan perlu dipertimbangkan. Selain itu, kemungkinan penggunaan
bahan aditif untuk meningkatkan kekuatan tanah juga merupakan
alternatif yang mungkin dilakukan disamping penggunaan bahan
perkuatan geosintetis.
5.2. Kuat geser tanah
Dalam kaitannya dengan analisis stabilitas lereng dan analisis
penstabilan lereng, menentukan kuat geser tanah adalah merupakan hal
terpenting. Keamanan lereng akan ditentukan oleh nilai perbandingan
antara kekuatan tanah yang menahan beban geser dengan tegangan yang
dapat menyebabkan pergerakan.

41

Kekuatan tanah (strength) dinyatakan dalam kekuatannya menahan


tekanan dan geseran. Kekuatan geser tanah adalah bagian yang lemah
dari tanah untuk menahan beban. Artinya adalah bahwa butir-butir
tanah lebih cenderung lepas bergeser ketimbang hancur tertekan. Selain
itu tanah adalah merupakan material berbutir yang saling lepas dimana
bila diberi tekanan, masing-masing butir akan lebih mudah untuk saling
bergeser.
Sebenarnya selain terjadi geser antar butiran tanah, terjadi pula tekanan
pada butiran itu sendiri. Namun biasanya akibat beban yang bekerja,
tahanan geser antar butir tanah akan terlampaui dahulu sebelum
butirannya hancur tertekan. Oleh sebab itu, dalam ilmu mekanika tanah,
ada kecenderungan untuk menggunakan sifat geser tanah untuk
menyatakan kekuatan tanah terhadap beban-beban yang bekerja.
Tahanan geser tanah adalah nilai tegangan geser tanah (), yang
merupakan penjumlahan dari sifat rekat tanah (c = kohesi) dengan
perkalian dari koefisien geser tanah (tan ) dengan tegangan normal ()
yang bekerja, ditulis sebagai:

= c + tan

5.1

Persamaan diatas bila diplotkan dalam bidang tegangan normal


tegangan geser, adalah merupakan persamaan garis lurus yang
dinyatakan sebagai garis batas keruntuhan (failure line/envelope). Nama
lain dari garis tersebut adalah garis Mohr-Coulomb.
Dalam ilmu mekanika di bidang lainnya, nilai tan dikenal dengan
koefisien geser material dari sebuah bidang geser. Namun telah menjadi
kebiasaan di bidang mekanika tanah, bahwa koefisien geser tanah tidak
disebutkan secara langsung akan tetapi disebutkan sudut yang dibentuk
garis keruntuhan terhadap bidang horizontal (seperti pada Gambar 5.1).

42

Tegangan geser,

Tegangan normal,

Gambar 5.1. Garis keruntuhan di bidang tegangan normal-geser


Parameter kuat geser tanah dinyatakan dalam bentuk kerekatan (c =
kohesi) antar partikel tanah dan sudut geser dalam tanah (). Kohesi
yang ada di dalam tanah diakibatkan oleh kekuatan tarikan ion-ion yang
membentuk mineral tanah. Kohesi ditentukan sebagai kekuatan geser
tanah tanpa adanya tegangan normal yang bekerja atau perpotongan
garis keruntuhan dengan sumbu tegangan geser.
Sudut geser dalam tanah adalah sudut yang dibuat di atas kertas dalam
menggambarkan tegangan-tegangan yang terjadi pada tanah. Sudut
geser dalam tanah adalah sudut yang dibentuk oleh garis batas
keruntuhan (failure envelope) dengan sumbu mendatar (tegangan
normal). Perkembangan ilmu mekanika tanah telah didasarkan pada
penggunaan garis keruntuhan tersebut.
Garis keruntuhan pada Gambar 5.1 dapat dijelaskan sebagai batasan
dari kombinasi tegangan-tegangan (geser dan normal) yang bekerja di
dalam tanah. Kombinasi tegangan yang berada diantara garis
keruntuhan dengan sumbu tegangan normal (yang berarsir pada
gambar) masih mampu ditahan oleh tanah (atau tidak terjadi keruntuhan
geser). Kombinasi tegangan yang berada tepat di garis keruntuhan akan

43

mengakibatkan terjadinya keruntuhan (geser) pada tanah. Sedangkan


kombinasi tegangan geser dan normal yang berada diatas garis
keruntuhan dan sumbu tegangan geser, secara teoritis tidak mungkin
terjadi sebab tahanan geser tanah telah terlampaui sebelumnya.
Kuat geser tanah tergantung beberapa hal dan kondisi:
1. Materi yang membentuk tanah (mineral tanah)
2. Ukuran butiran tanah (termasuk bentuk permukaan butiran)
3. Kadar air (terutama tanah berbutir halus)
4. Tegangan yang terjadi (termasuk sejarah pembebanan)
5. Cara pengujian (pemberian beban)

5.3. Pengujian kuat geser tanah


Untuk tujuan analisis stabilitas lereng dan analisis penstabilan lereng,
menentukan kuat geser tanah dapat dilakukan secara langsung di
lapangan ataupun di laboratorium. Pemilihan pengujian sedapat
mungkin disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Umumnya
tujuan dari pengujian kekuatan geser tanah adalah untuk menentukan
keamanan lereng (analisis stabilitas) dan peningkatan keamanan lereng
(penstabilan lereng). Letak titik pengujian juga harus cukup mewaliki
mekanisme yang terjadi pada lereng yang ditinjau.
Gambar 5.2 a dan b mengilustrasikan titik pengujian dan mekanisme
yang terjadi sehingga dapat dipilih metoda pengujian yang sesuai. Pada
pengujian kuat geser tanah di laboratorium, terdapat tiga jenis pengujian
yang sering dilakukan yaitu: uji tekan bebas, uji geser langsung dan uji
triaksial. Berdasarkan mekanisme pergeseran lereng maka pengujian
yang cocok untuk titik a adalah uji tekan bebas, uji triaksial untuk titik b
dan uji geser langsung untuk titik c.
Walaupun secara teori ketiga jenis pengujian dilaboratorium dapat
menghasilkan parameter tanah yang bernilai sama. Namun
kenyataannya sering ketiganya memberikan nilai yang berbeda. Hal ini

44

disebabkan tidak samanya (walau sejenis) sampel tanah yang diuji dan
perbedaan mekanisme keruntuhan yang terjadi pada sampel tanah.

a. jangkauan pengujian

b
c
a
b. Mekanisme pergeseran

b
c
Gambar 5.2. Pengujian kekuatan tanah pada sebuah lereng

5.4. Pengujian kuat geser tanah di laboratorium


Pengujian kuat geser tanah di laboratorium merupakan bagian yang
sangat penting dipahami dalam rekayasa geoteknik secara umum.
Ketelitian dalam mendapatkan parameter tanah akan mempunyai

45

pengaruh langsung dalam analisis geoteknik. Untuk itu maka


pembahasan mengenai pengujian di laboratorium untuk mendapatkan
parameter kuat geser tanah secara khusus dibahas tersendiri dalam
bagian-bagian berikut.
a. Uji tekan bebas (Unconfined Compression Test)
Uji tekan bebas (unconfined compression shear test = UCST)
hanya dapat dilakukan untuk tanah berkohesi. Sebab tanah tanpa
kohesi tidak dapat dibentuk sebagai sampel untuk ditest tanpa
tegangan (unconfined) disekelilingnya.
Nilai (parameter tanah) yang didapat dari pengujian ini adalah
tegangan batasnya, yaitu tegangan maksimum selama pengujian.
Nilai ini dilambangkan dengan q u (untuk kemudahan, q inisial
dari quantity = nilai terukur, dan u berarti un-confined = tak
terkekang / bebas. Pengujian UCST dilakukan dengan sangat
cepat dan sederhana sehingga sering dilaksanakan dan
mempunyai aplikasi yang cukup luas.
Banyak parameter-parameter tanah lainnya yang dikaitkan
dengan pengujian ini untuk berbagai aplikasi dan prediksi
perilaku tanah. Selain itu karena kemudahannya dalam
melakukan pengujian ini, untuk menggolongkan kepadatan tanah
lempung, digunakan batasan nilai q u dari UCST (Terzaghi dan
Peck, 1946).
Untuk lempung normal (Normally Consolidated Clay) dalam
keadaan jenuh, parameter kekuatan geser dari pengujian UCST
ini dapat ditentukan berupa nilai kohesi un-drained (c u ) yaitu:

cu = qu

5.2

46

qu

memendek
= L/L

bidang
runtuh

Awal

Akhir

Gambar 5.3. Sampel pada pengujian UCST

qu

cu

L
L

qu

a. Regangan-Tekanan

b. Lingkaran Mohr

Gambar 5.4. Grafik hasil pengujian UCST

47

Pengujian UCST sebaiknya diikuti dengan pengujian kadar air,


sebab kekuatan tanah lempung sangat dipengaruhi oleh kadar
airnya. Pada tanah yang sama di lapangan terutama yang berada
di atas muka air tanah minimum, kekuatannya akan berubah dari
waktu ke waktu tergantung dari kadar air yang dikandungnya.
Hal serupa sering terjadi pada kasus stabilitas lereng dimana saat
awal dibentuknya lereng, kemiringan yang dibuat dalam keadaan
cukup aman. Akan tetapi dengan turunnya hujan yang
meningkatkan kadar air dari tanah pembentuk lereng, stabilitas
lereng menjadi berkurang. Kasus kelongsoran lereng pada musim
hujan telah menjadi hal biasa dan jarang diperhatikan
penanganannya.
Padahal
stabilitas
lereng
harusnya
diperhitungkan dalam berbagai kondisi yang dapat
mengakibatkan kelongsoran.

b. Uji geser langsung (Direct Shear Test)


Sketsa dari pengujian geser langsung dapat dilihat seperti pada
Gambar 5.5 berikut. Pengujian ini adalah pengujian yang paling
disukai mengingat kemudahannya dan dapat dilakukan pada
hampir senua jenis tanah.

pergeseran
( )

Awal

Akhir
Gambar 5.5. Uji Geser Langsung

48

gaya geser
(T)

Pengujian geser langsung dilakukan sebanyak tiga kali pada


tanah yang sama. Masing-masing benda uji, diberi beban normal
yang berbeda. Kemudian digeser dengan memberikan gaya dari
arah tegak lurus terhadap gaya normal sebelumnya. Selama
pemberian beban normal tersebut (), perpindahan ( ) dan
besarnya gaya geser (T) dicatat hingga terjadi keruntuhan. Datadata pencatatan tersebut kemudian diolah dan diplotkan dalam
bentuk kurva tegangan-regangan dan tegangan normal-geser
untuk menentukan parameter c dan (Gambar 5.6).

Gambar 5.6. Hasil olah data uji geser langsung

49

Contoh Kasus 5.1


Dari hasil uji geser langsung di laboratorium terhadap sampel tanah
diperoleh nilai-nilai tegangan normal dan geser (dengan satuan
kg/cm2)pada saat runtuh: test ke-1: = 0.5 =0.5, test ke-2 = 1.0
=0.75 dan test ke-3: = 1.5 =1.0. Gambarkan garis batas keruntuhan
untuk sampel tanah tersebut dan tentukan nilai-nilai parameter kekuatan
geser berdasarkan teori Mohr-Coulomb. Pastikan apakah tanah yang
dibebani dengan tekanan overburdent effektif di lapangan sebesar 1.2
kg/cm2, lalu diberi beban sehingga mengalami tegangan geser sebesar
1.1 kg/cm2, masih berada pada kondisi stabil atau akan mengalami
keruntuhan.
Solusi:
Data-data hasil pengujian diplotkan dalam bidang tegangan normalgeser seperti ditampilkan dalam Gambar K5.1 berikut:
(kg/cm2)
1.5
Geser = 1.1 kg/cm2

telah runtuh

= 26.57o

1.0

0.5

c = 0.25 (kg/cm2)
(kg/cm2)
0.5

1.0

1.5

Overburdent = 1.2 kg/cm2

Gambar K5.1 Plot tegangan normal-geser

50

Berdasarkan gambar tersebut diatas, maka dapat diperoleh


parameter kekuatan geser tanah yaitu tahanan kohesi tanah
adalah c = 0.25 (kg/cm2) dan sudut geser dalam adalah =
26.57o. Selanjutnya dengan memplotkan nilai tegangan
overburdent kedalam tegangan normal pada gambar dan
tegangan geser yang sesuai, maka dapat dilihat bahwa kondisi
tanah yang sama telah berada diatas garis batas runtuh atau
dengan kata lain tanah tersebut telah mengalami keruntuhan
terlebih dahulu.

c.

Uji triaksial (Triaxial Test)


Uji triaksial adalah pengujian kuat geser tanah yang lebih baik
dari pengujian sebelumnya. Dengan pengujian ini dapat
diberikan tegangan yang serupa dengan yang mungkin terjadi di
lapangan.

1
3

= L/L

1=3+1

45 + /2

membran

Awal

Akhir
ke pori/volume
Gambar 5.7. Skematik uji triaxial

51

u atau V

Terdapat beberapa jenis pengujian dengan menggunakan alat


triaxial. Perbedaan dari jenis-jenis pengujian (dengan
menggunakan alat yang sama) tersebut adalah pada:
1. Kemampatan awal (mampat/consolidated=C atau takmampat/unconsolidated=U)
- Kemampatan awal ditentukan saat kondisi awal (seperti
Gambar 5.7 diatas), dengan tergantung keadaan keran ke
pori atau volume yang terbuka. Bila saluran ke pori yang
terbuka, akibat tekanan 3 yang diberikan, pori dalam
tanah akan ikut tertekan dan nilai tekanan air pori dalam
tanah (u) terbaca pada dial penunjuk tekanan air pori.
Bila hal ini yang dilakukan berarti tidak terjadi
pemampatan tanah atau tidak terjadi aliran dalam tanah
dan disebut dengan unconsolidated. Selanjutnya pada
jenis pengujian ini dilambangkan dengan U (inisial dari
unconsolidated).
- Bila pada kondisi awal pemberian beban cell (tekanan 3 )
air dalam pori dibiarkan mengalir ke pembacaan volume,
maka akan terbaca perubahan volume sampel akibat
tekanan tersebut (V). Perubahan volume tersebut
menunjukkan berkurangnya volume (sampel) tanah
akibat tekanan awal tersebut yang berarti terjadi
pemampatan dengan keluarnya air pori dari dalam tanah
(terkonsolidasi). Jenis pengujian dengan kondisi awal ini
dilambangkan dengan C (inisial dari consolidated).
2. Kondisi air pori saat pembebanan (mengalir/drained=D atau
tidak/undrained=U)
- Setelah pemberian beban cell awal (tekanan 3 ),
selanjutnya pada bagian atas dari sampel diberi dengan
beban tambahan (deviatorik = 1 ). Pada pembebanan
ini, kembali aliran air dari dalam pori tanah menentukan
jenis dari pengujian triaxial. Bila keran ke pori yang

52

terbuka berarti yang dibaca adalah nilai tekanan dan tidak


ada aliran air dari dalam pori tanah. Akibat tambahan
tekanan 1 yang diberikan, pori dalam tanah akan ikut
tertekan dan nilai tekanan air pori dalam tanah (u)
terbaca pada dial penunjuk tekanan air pori. Bila hal ini
yang dilakukan berarti tidak terjadi pemampatan tanah
atau tidak terjadi aliran dalam tanah dan disebut dengan
undrained (tak terdaenase). Jenis pengujian ini
dilambangkan dengan U (inisial dari undrained).
Namun bila pada saat pemberian beban tambahan ini ( 1 )
air dalam pori diperbolehkan mengalir ke pembacaan
volume, maka akan terbaca perubahan volume sampel
akibat tambahan tekanan tersebut (V). Perubahan
volume tersebut menunjukkan berkurangnya volume
(sampel) tanah akibat tekanan deviatorik tersebut yang
berarti terjadi pemampatan tanah dengan keluarnya air
pori dari dalam tanah (air teralirkan / terdaenase). Jenis
pengujian dengan kondisi awal ini dilambangkan dengan
D (inisial dari drained).

3. Cara pemberian beban ( ditekan/compression atau


ditarik/extension)
- Setelah pemberian beban cell awal (tekanan 3 ),
selanjutnya pada bagian atas dari sampel diberi dengan
beban tambahan (deviatorik = 1 ). Pemberian beban
deviatorik ini biasanya dilakukan beberapa saat setelah
tidak terjadi lagi perubahan tekanan air pori atau volume
setelah pemberian tekanan cell. Pemberian beban
deviatorik ini dapat dilakukan dengan cara menekan
(compression dilambangkan C) atau tarikan (extension
dilambangkan E).
- Pemberian beban juga membedakan nama dari pengujian
sampel dengan alat triaksial. Bila beban yang diberikan
pada sampel tanah hanya mempunyai dua beban yang
berbeda yaitu beban cell atau minor ( 3 ) yang arahnya

53

horizontal dan beban axial atau major ( 1 ) yang arahnya


vertikal, maka jenis pengujian ini disebut dengan
pengujian triaxial konvensional (Convensional Triaxial
test = CT). Jenis pengujian ini yang umum dilakukan dan
lebih mudah dan cukup untuk memodelkan perilaku
tanah. Sedangkan pengujian yang tidak konvensional
menggunakan sampel yang berbentuk kotak (tidak
silinder) dengan pemberian beban pada tiga arah yaitu
minor/ 3 , middle/ 2 dan major/ 1 . Pengujian ini jarang
dilakukan kecuali untuk pengujian yang bersifat
pengembangan teori.
Dari jenis pengujian sampel dengan alat triaxial ini maka
terdapat beberapa pengujian yaitu CTC=Convensional
Triaksial Compression yang berarti pengujian triaksial biasa
dengan cara ditekan dan CTE= Convensional Triaksial
Extension yang berarti pengujian triaksial biasa dengan
pemberian beban deviatorik secara ditarik. Selanjutnya untuk
pengujian tersebut terdapat beberapa test yaitu:
-

Unconsolidated Undrained = UU-test berarti test CTC takterkonsolidasi dan tak-terdrainase. Pengujian ini biasa disebut
dengan quick test (test cepat), yaitu pengujian untuk kondisi
tekanan yang dibaca adalah tekanan total ().
Consolidated Undrained = CU-test, berarti test CTC yang
saat kondisi awalnya melakukan konsolidasi pada sampel dan
dilanjutkan dengan beban deviatorik tanpa aliran air dari pori
(tak-terdrainase) untuk melakukan pembacaan perubahan
tekanan air pori (u).
Consolidated Drained = CD-test yang berarti test CTC yang
pada kondisi awal melakukan konsolidasi pada sampel dan
dilanjutkan dengan pemberian beban deviatorik dengan aliran
air dari pori (terdrainase) untuk melakukan pembacaan
perubahan volume (V). Pada pengujian ini, jenis tekanan
yang terbaca adalah tekanan effektif tanah (').

54

Sebagaimana pengujian geser langsung, pengujian tanah dengan


triaksial umumnya dilakukan sebanyak tiga kali juga. Masingmasing benda uji, diberi beban confining (beban sell) yang
berbeda. Kemudian digeser dengan cara memberikan gaya aksial
pada bidang tegak lurus sumbu sampel. Selama pemberian beban
tersebut, perpindahan dan besarnya gaya yang diberikan dicatat
hingga terjadi keruntuhan. Hasilnya kemudian diplotkan dalam
bentuk kurva tegangan aksial-regangan dan setengah lingkaran
pada bidang tegangan normal-geser untuk menentukan parameter
c dan (Gambar 5.8). Batas keruntuhan tanah dinyatakan dengan
garis lurus yang menyentuh (mewakili) seluruh lingkaran yang
dibuat.
Uji triaksial dapat dilakukan baik pada tanah kohesif maupun
non-kohesif. Akan tetapi pengujian pada tanah kohesif jauh lebih
mudah dibandingkan tanah non-kohesif. Beberapa teknik
pembuatan sampel tanah non-kohesif termasuk dengan cara
pembekuan sampel telah diselidiki. Akan tetapi pembuatan
sampel tanah non-kohesif yang sama dengan keadaan tanah di
lapangan masih tetap hal sulit terlebih untuk tanah lepas (loose)
adalah hal yang tidak mungkin.
Sekilas pengujian ini hampir sama dengan pengujian UCST.
Namun perbedaannya adalah penggunaan tegangan sell ( 3 )
dalam pengujian triaksial sedang dalam UCST tidak ( 3 =0).
Selain itu, pada pengujian ini, sampel diselubungi dengan
membran sehingga tegangan-tegangan dan perubahan volume
yang terjadi di dalam pori dapat diukur dan dicatat selama
pengujian. Pemberian tegangan cell pada triaksial sebaiknya
berada pada rentang dimana tegangan-tegangan yang terjadi di
lapangan dapat terwakili di laboratorium. Akan tetapi pemberian
tegangan yang terlampau kecil sangat tidak dianjurkan sebab
berdasarkan pengalaman akan memberikan hasil pengujian yang
tidak memuaskan. Pemberian tegangan sampel yang diambil pada
kedalaman D s dengan berat isi dapat diperkirakan sekitar:

55

c = 3 = n Ds

5.3

Dimana n adalah faktor pengali berkisar antara 0.3 hingga 1.0.

1test3

3test3

1test2

3test2

1test1

3test1

Gambar 5.8. Lingkaran tegangan hasil uji triaxial

56

axial

5.5. Pengujian kuat geser tanah di Lapangan


a. Sondir Cone Penetration Test (CPT)
Sondir adalah alat uji tahanan tanah yang telah lama sangat
popular dan digemari untuk digunakan di Indonesia. Sondir
berasal dari kata sounding yang berarti pendugaan. Sebutan lain
dari alat yang sama adalah Cone Penetration Test (CPT), Duch
Cone Penetration Test (DCPT) dan Static Penetration Test.
Dibandingkan dengan alat uji tahanan tanah yang lain seperti
SPT, alat ini lebih mudah dibawa, dioperasikan dan relatif cepat
dan murah dalam menduga daya dukung tanah.
Dalam pengoperasiannya bagian ujung sondir yang berbentuk
kerucut (cone) disebut konus ditekan kedalam tanah dengan
kecepatan 1 cm hingga 2 cm per detik (penetrasi) sejauh 5 cm dan
nilai tahanan ujung (q c ) dibaca melalui indikator tekanan yang
disebut manometer dalam satuan kg/cm2. Kemudian ujung sondir
ditekan secalam 5 cm lebih jauh sehingga sisi kerucut ikut
bergerak sehingga tahanan total (q t ) dari ujung dan selimut konus
(sleeve=skin) dapat dibaca pada penunjuk tekanan (manometer).
Selanjutnya tahanan sisi dari selimut konus (q s ) dapat dihitung
dari selisih pembacaan tekanan total dengan tahanan ujung (q c ):
q s = (q t q c ).f k

5.4

dengan f k adalah faktor korelasi dari pembacaan penunjuk


tahanan ujung menjadi tahanan sisi yang merupakan
perbandingan dari luas penampang kerucut dibandingkan dengan
luas selimut konus:

57

fk =

luas penampang ujung konus


luas sisi selimut konus

5.5

Luas penampang ujung konus umumnya sama yaitu sebesar 10


cm2, sedangkan luas sisi selimut bervariasi dari 110 hingga 150
cm2. Dengan memasukkan harga tersebut kedalam persamaan 5.6,
nilai faktor koreksi f k adalah antara 0.067 hingga 0.091.
Selanjutnya perbandingan antara nilai tahanan sisi (q s ) dengan
tahanan ujung (q c )dapat dihitung sebagai rasio friksi (R f ). Nilai
R f mempunyai arti yang sangat penting dalam memperkirakan
jenis lapisan tanah (stratigrafi) secara impiris. Berdasarkan
pengalaman telah diketahui bahwa jenis tanah berbutir kasar
(pasir) mempunyai nilai R f yang lebih kecil dibandingkan tanah
berbutir halus (lempung dan lanau).
Penetrasi konus dan pembacaannya diulang-ulang tiap selang 20
cm hingga mencapai kedalaman tertentu tergantung keperluan
(biasanya kurang dari 30 meter). Pengujian dapat dihentikan
setelah tahanan ujung konus menunjukan angka 150 kg/cm2 atau
250 kg/cm2.
Pada mulanya, sondir hanya digunakan untuk menduga tahanan
dari tanah terhadap beban. Namun pada perkembangannya, hasil
pencatatan tahanan konus dapat diinterpretasikan secara empiris
untuk keperluan lainnya seperti dalam pendugaan jenis tanah,
menentukan besarnya tekanan lateral tanah dan menentukan
beberapa parameter tanah lainnya (Meyerhof (1965), Begemann
(1965), Schmertmann (1975), dll).
Hasil pengujian sondir memberikan data yang cukup dapat
diandalkan untuk keperluan analisis lereng. Data dari hasil
pengujian sondir harus dikonversikan dahulu kebentuk lain
sehingga sesuai dengan keperluan analisis lereng.

58

Hubungan antara parameter kohesi tak terdrainase (C u ) tanah lempung


dengan tahanan ujung adalah:
C u = q c .N k

5.6

N k adalah nilai konversi yang dapat diambil 5 11 % , untuk nilai ratarata dianjurkan digunakan nilai N k = 7 %.
Sedangkan hubungan tahanan ujung dengan parameter sudut geser
dalam tanah () dapat digunakan gambar 5.9.
Tahanan ujung konus, qc (kg/cm2 )
0

100

200

300

400

500

= 480

Tekanan vertikal effektif, vo (t/m2)

5
10

460

15
20

440

25
30
35
300

320340 360

380

400

420

40

Gambar 5.9. Korelasi pengujian sondir dengan parameter geser tanah


(Robertson and Campanella, 1983)

59

Proyek
: F Kedokteran
Lokasi
: Limau Manis
Nomor Titik :S2

Tanggal Uji : 1 Maret 2009


Diuji Oleh : Andrio P
Diperiksa : A H

Cone Penetration Test


ASTM D 3441 - 86
Rf %

qc kg/cm2
0

50

100

150

0.0

0.0

1.0

1.0

2.0

2.0
D
e
p
t
h

3.0

4.0

3.0
4.0

m
)

5.0

5.0

6.0

6.0

7.0

7.0

8.0

8.0

9.0

9.0

100
200
300
Cumulative qs kg/cm

400

Gambar 5.10. Interpretasi jenis lapisan berdasarkan rasio tahanan tanah


(Perkiraan R f : Pasir: 0-2 %, Lanau: 2-3%, Lempung: 3-6 %, Gambut: > 6%)

60

b. Standard Penetration Test (Nspt)


Uji penetrasi standard (SPT), dikembangkan pada tahun 1927 dan
langsung mendapat sambutan digunakan secara meluas
dikarenakan keunggulan dan kehematannya dalam menyediakan
informasi dalam tanah. Diperkirakan lebih dari setengah pondasi
bangunan-bangunan yang besar dan berat memiliki pondasi
dengan perencanaan didasarkan dari hasil uji penetrasi standar ini.
Metoda pengujian SPT telah distandardkan oleh ASTM D 1586
sejak 1958 dan selanjutnya telah pula dilakukan revisi sesuai
dengan perkembangan teknologi.
Peralatan dan prosedur pengujian SPT terdiri dari beberapa
bagian utama, yaitu:
1. Alat pengambil sampel standard (Standard split-barrel
sampler / split-spoon SPT) dengan panjang 18 inchi (46
cm) yang dimasukkan kedalam lobang bor, lalu ditumbuk
hingga masuk kedalam tanah. Jumlah tumbukan inilah yang
selanjutnya dicatat sebagai nilai tumbukan dari SPT dalam
satuan blows/pukulan.
2. Hammer pemukul dengan berat 140 lb (64.5 kg) yang
dijatuhkan secara bebas untuk menumbuk sampler diatas
hingga masuk ke dalam tanah. Tinggi jatuh dari hammer
adalah 30 inchi (76 cm).
3. Jumlah tumbukan dicatat tiap-tiap penurunan 6 inci (15
cm), sehingga terdapat 3 buah nilai tumbukan yang
diperlukan untuk memasukkan seluruh panjang sampler
kedalam tanah yang dicatat sebagai N 1 , N 2 dan N 3 .
4. Nilai tumbukan yang digunakan untuk keperluan disain,
atau disebut dengan N spt adalah jumlah 2 tumbukan
terakhir, atau:
N spt = N 2 + N 3

5.7

61

Uji pemukulan SPT dinyatakan tidak layak ('refusal') apabila


terdapat beberapa hal berikut ini:
1. Pemukulan/penumbukkan untuk memasukkan sapler sedalam
15 cm telah melampaui 50 kali penjatuhan hammer.
2. Jumlah 2 pemukulan/penumbukkan telah mencapai 100 kali.
3. Setelah pemukulan sebanyak 10 kali, tidak terjadi penurunan
yang berarti.
Penghentian uji pukulan ini dilakukan adalah untuk menghindari
kerusakan dari alat uji. Dalam beberapa kasus, pemukulan
diinginkan penghentian setelah 100 pukulan untuk memasukkan
15 cm sampler. Untuk keperluan ini harus dilakukan negosiasi
yang berkaitan dengan harga dari kerusakan alat dan penggunaan
mata bor khusus untuk menembus lapisan tanah.
Secara tradisional, uji tumbukan SPT ini dilakukan tiap-tiap 1
sampai 2 meter. Tiap-tiap tumbukan, tanah yang dihasilkan dan
tersimpan dalam sampler selanjutnya diidentifikasi dan dapat
diteliti guna mendapatkan propertis dari tanah. Hasil pengujian ini
selanjutnya dilaporkan bersamaan dengan hasir boring (bor-log).
Sebagai contoh dari pelaporan adalah seperti pada Gambar 5.11
berikut.

Selain mendapatkan sampel yang relatif sangat terganggu,


pengujian SPT memberikan banyak korelasi terhadap jenis tanah
dan banyak rumusan empiris untuk digunakan dalam praktek
perencanaan struktur geoteknik. Beberapa korelasi hasil uji
tumbukan SPT dapat disadur dari beberapa referensi dapat dilihat
pada Tabel 5.3 berikut.

62

7/6/2005

6/6/2005

Date
N2+N3 M2+M3

63

5
5.45
6
6.45
7
7.45
8
8.45

5.5
6
6.5
7
7.5
8
8.5
9

0.45 spt
0.55 Border berpasir abu-abu
0.45 spt
0.55 Border berpasir abu2-kuning
0.45 spt
0.55 Border berkerikil kuning-kehitaman
0.45 spt
0.55 Border berkerikil

abu-abu

20 15 39 15 50 6
33 15 36 15 50 15
25 15 34 15 50 10
28 15 36 15 50 15

B
B
B

12 15 19 15 35 15

19 15 50 5

15

15 0

15 0

27 15 20 15 17 15

Gambar 5.11. Hasil pengujian SPT


86

84

86

89

54

69

37

30

25

30

21

30

30

20

dari sampai N1 M1 N2 M2 N3 M3

0.45 spt
0.55 Border berpasir abu-abu

Air

Kering Tanah (m) (m) (bls) (cm) (bls) (cm) (bls) (cm)

Basah

4 4.5
4.45 5

Sifat

30

Warna

0.45 spt
0.55 Pasir kasar

Jenis

5.0
5.5
6.0
6.5
7.0
7.5
8.0
8.5
9.0

4.0
4.5

3.0
3.5

(m)
0.0
1.0
1.5
2.0
2.5

depth

Nspt

SPT

Kedalaman
cassing

Muka

3 3.5
3.45 4

inti

Deskripsi Tanah

Elevasi MAT
Pagi (m)
Sore (m)

Tgl. Uji : 6/6/2005


Diuji Oleh : Nippon Koei Ltd & Assn
Diperiksa : PP-WIKA-SACNA JO

(m) (m) (m)


tanah
0 1
1 Pasir berkerikil hitam
1 1.5 0.45 spt
1.45 2 0.55 Pasir berkerikil kuning
2 2.5 0.45 spt
2.45 3 0.55 pasir berkerikil kuning-abu2

From Till

Depth Panjang

Proyek : Panti Rao & Swamp Project


Lokasi : BT. 9e (Aqueduct)
No. Titik : BT.12b
:
:

9.0

8.0

7.0

6.0

5.0

4.0

3.0

2.0

1.0

0.0

Log

N (blows)

0 25 50 75 100

Boring

Grafik

Batu berkerikil

Batu berpasir

Pasir berkerikil

Keterangan

Tabel 5.1. Korelasi nilai N SPT terhadap parameter tanah


(Das, 1990, lihat juga Terzaghi and Peck, 1948 )
Tanah Lempung
Nilai N SPT

10 20
20 30

Unconfined
strength q u
kg/cm2
Sangat lunak
0 0.25
Lunak (soft)
0.25 0.5
Sedang
0.5 1.0
(Medium)
Kaku (stiff)
1.0 2.0
Sangat kaku
2.0 4.0

30 50

Keras (hard)

Kepadatan

0 2
2 5
5 10

> 4.0

Tanah Pasir
Kerapatan
[ Dr (%) ]

Sudut geser
[ ( o) ]

Sangat Lepas
[05]

25 30

Lepas (loose)
[ 5 30 ]
Sedang
[ 30 60 ]
Padat (dense)
[ 60 95 ]

28 35
35 42
38 46

Korelasi antara Nspt dengan sondir untuk berbagai jenis tanah telah
dibuatkan oleh Bowles 1988 dalam bentuk grafik hubungan butiran.
Berdasarkan grafik tersebut maka diperoleh hubungan tersebut
adalah:
Tabel 5.2. Korelasi nilai N SPT terhadap nilai konus sondir, q c
nilai q c (kg/cm2)

Jenis Tanah
Lempung dan lanau
Lanau berpasir
Pasir berlanau
Pasir

64

12
23
34
46

N spt
N spt
N spt
N spt

5.6. Konsolidasi
Parameter konsolidasi sangat penting untuk analisis stabilitas lereng
yang berada diatas tanah lempung jenuh. Banyak pekerjaan-pekerjaan
penimbunan yang secara teknis membuat lereng buatan diatas tanah
yang dapat mampat (terkonsolidasi). Untuk itu pembahasan singkat
mengenai konsolidasi dilakukan pada bagian ini.
Proses konsolidasi berlangsung selama keluarnya air pori dalam tanah
disebabkan meningkatnya tegangan air pori dari dalam tanah akibat
adanya beban tambahan tetap yang cukup lama, seperti beban timbunan
dan beban pondasi bangunan. Beban tambahan , pada saat seketika
(saat pertama diberikan, t=0) ditahan oleh air pori dalam tanah, u.
Sebagaimana sifat fluida tertekan, secara berangsur-angsur, air pori
akan mengalir menuju tekanan yang lebih rendah ke atas, bawah atau
sisi-sisinya. Dengan mengalirnya air ini, tekanan yang ditahan air
dialihkan kepada tekanan antar butiran tanah. Proses konsolidasi
berhenti setelah tegangan air pori kembali seperti semula, seperti
sebelum terjadi peningkatan beban (u = 0) dan seluruh beban
tambahan ditahan oleh butiran tanah (tegangan effektif, ).
Konsolidasi pada massa tanah memberikan beberapa kerugian dan
keuntungan. Kerugian yang dapat dialami akibat perilaku ini adalah
turunnya bangunan secara perlahan dan terjadinya perbedaan
penurunan. Keuntungan perilaku konsolidasi antara lain adalah
meningkatnya daya dukung tanah akibat berkurangnya kadar air tanah.
Beberapa jenis tanah mempunyai sifat mengalami peningkatan kuat
gesernya dengan berkurangnya kadar air.
a. Waktu Konsolidasi
Waktu berlangsungnya konsolidasi (lama konsolidasi) sangat
tergantung kepada kecepatan pengaliran air keluar dari pori-pori
tanah. Untuk tanah pasir yang sangat poros, waktu (lamanya)
konsolidasi berlangsung sangat singkat. Tetapi untuk tanah lempung

65

pada umumnya, mempunyai waktu konsolidasi yang cukup lama


hingga dalam hitungan tahunan. Kecepatan aliran ini selanjutnya
dalam ilmu mekanika tanah ditentukan dengan derajat kecepatan
konsolidasi (c v ). Perlu diperhatikan bahwa dalam teori konsolidasi,
kecepatan konsolidasi ini dibedakan dengan kecepatan pengaliran air
seperti pada kasus permeabilitas tanah (k).
Lamanya waktu yang diperlukan untuk terjadinya konsolidasi
biasanya ditentukan pada derajat konsolidasi 90%, sebab secara teori
proses konsolidasi mencapai 100% terjadi pada waktu yang sangat
lama (tak terhingga). Pada penurunan mencapai 90% dari total
penurunan tersebut waktu yang diperlukan adalah:

t 90%

0.848 H dr
=
Cv

5.8

dimana: H dr adalah panjang aliran air pada tanah yang


terkonsolidasi yang tergantung pada jenis lapisan
tanah di atas/bawahnya.
C v adalah koefisien kecepatan konsolidasi yang nilainya
didapat dari hasil uji konsolidasi di laboratorium
b. Besarnya Penurunan Konsolidasi
Besarnya penurunan yang terjadi akibat konsolidasi tergantung
pada beberapa hal berikut:
1. Jenis tanah yang mengalami konsolidasi
2. Tebalnya lapisan tanah yang terkonsolidasi
3. Jumlah lapisan tanah yang mengalami konsolidasi
4. Besarnya kemampatan tanah
5. Besarnya beban yang diberikan
6. Lamanya proses konsolidasi telah berlangsung

66

Penurunan maksimum
yang ditentukan saat akhir proses
konsolidasi (derajat konsolidasi 100%) dapat dihitung dengan
persamaan berikut:
n
+ i
C H
S100% = c i log 0,i
0,i
i =1
1 + e0

5.9

dimana: S 100% adalah penurunan pada saat konsolidasi 100%


selesai
i
=1,..,n adalah jumlah lapisan tanah
H i = tebal lapisan tanah ke-i (yang terkonsolidasi)
0,i = tegangan normal tanah effektif awal
i = tambahan tegangan normal tanah (akibat beban
luar)
e 0 = angka pori awal dari tanah
C c = koefisien pemampatan tanah (hasil uji
konsolidasi di laboratorium).
Koefisien pemampatan tanah (C c ) ditentukan dari kurva
penurunan yang diplotkan pada bidang tekanan () versus angka
pori (e). Kurva tersebut adalah hasil pengolahan data pengujian
konsolidasi di laboratorium terhadap sampel tanah. Untuk
perkiraan praktis, Terzaghi dan Peck (1967) mengusulkan
persamaan empiris untuk menduga nilai C c sebagai berikut:

C c = 0.009 (w LL - 10)

5.10

untuk tanah lempung asli (tidak terganggu/undisturbed sample)

67

C c = 0.007 (w LL - 10)

5.11

untuk tanah lempung terganggu (remolded/disturbed sample)


Penelitian tentang nilai empiris untuk koefisien pemampatan
tersebut telah banyak dilakukan di masa yang lalu. Namun untuk
keperluan analisis yang baik, maka sangat dianjurkan untuk
melakukan pengujian konsolidasi di laboratorium terhadap
sampel tanah pada lokasi rencana. Dibandingkan dengan
kerugian yang timbul akibat kemungkinan salah estimasi nilai
penurunan dengan metoda empiris, biaya pengujian di
laboratorium tidak mempunyai arti yang besar.

c. Pengujian Konsolidasi di Laboratorium


Pengujian konsolidasi di laboratorium dilakukan dengan alat
yang dinamakan Oedometer (atau Consolidometer). Gambar
skematik dari pengujian tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.8.
air batu pori

+ i

+ i

awal, t=0

akhir

Gambar 5.12. Pengujian Konsolidasi

68

Pengujian konsolidasi bertujuan untuk mendapatkan parameter


(koefisien) tanah yang digunakan untuk analisis konsolidasi yaitu
C c , C v dan C s . Pada masing-masing tahap pembebanan,
penurunan yang terjadi dicatat untuk waktu-waktu tertentu
(biasanya hingga 24 jam). Selanjutnya hasil pencatatan tersebut
diplotkan dalam kurva penurunan versus waktu (Gambar 1.9).
Gambar ini digunakan untuk mendapatkan nilai C v dari sampel
tanah. Nilai C v yang digunakan untuk analisis diambil rata-rata
dari keseluruhan tahapan pembebanan.
Dari tiap tahap pembebanan, perubahan nilai angka pori e (pada
penurunan maksimum) dihitung dan diplotkan terhadap beban
yang diberikan dalam skala semi logaritmik. Kurva ini digunakan
untuk menentukan nilai koefisien pemampatan C c yaitu nilai
kemiringan kurva penurunan tersebut. Pada tahap akhir, beban
dikurangi secara bertahap dan pengembangan tanah kembali
dicatat. Selanjutnya nilai angka pori tiap tahap dihitung dan
kembali diplotkan ke kurva yang sama seperti saat pengujian
pembebanan. Kemiringan garis dari kurva beban berkurang ini
adalah nilai koefisien pengembangan C s (swelling) dari tanah
tersebut (Gambar 1.10). Perubahan nilai angka pori dapat
dihitung dengan persamaan berikut:

e i =

H i
Hs

Hs =

Ws
AG s w

5.12

5.13

H v = H - Hs

5.14

69

t 90%
HHi
t1/2 atau ( log t)
Gambar 5.13. Pengujian Konsolidasi
Angka pori awal dan saat akhir pembebanan ke-i dihitung
dengan:

e0 =

Vv
H
= v
Vs
Hs

e i = e 0 - e i
dimana

5.15

5.16

H s adalah tinggi butiran tanah kering


H v = tinggi pori tanah (void)
H dan A adalah tinggi dan luas penampang sampel saat
awal
H i = besarnya penurunan maksimum (akhir) pada saat
pembebanan ke-i
G s dan W s adalah spesific gravity dan berat tanah
kering
w adalah berat satuan air (1 t/m3, 1 gr/cm3 atau 9.81
kN/m3)

70

e0
e1
Cc
e2=e1e
e1 '
e2 '

loading
Cs
swelling
log 1

log 2

log

(log )

Gambar 5.14. Kurva Pemampatan Konsolidasi

Parameter-parameter konsolidasi dapat dihitung sebagai berikut:


Koefisien konsolidasi:

0.848 H dr
Cv =
t 90%

71

5.17

Nilai H dr untuk pengujian oedometer adalah H i (tinggi awal


sampel pada pembebanan ke-i ), sedangkan nilai t 90% diambil
seperti pada Gambar 1.9. Satuan untuk C v yang biasa digunakan
adalah cm2/dt, namun harus diperhatikan juga satuan dari H dr dan
t 90% yang digunakan.
Dengan memperhatikan kurva pemampatan pada Gambar 1.10
dengan seksama, maka nilai C c dan C s dapat ditentukan sebagai
berikut:
Koefisien/indeks pemampatan:

Cc =

e1 e 2
log 2 log 1

5.18

Sedangkan indeks swelling adalah:

Cs =

e1 'e 2 '
log 2 log 1

5.19

Walaupun keduanya tidak biasa dituliskan dengan satuan, tapi


dalam penggunaannya (dalam analisis konsolidasi), satuan yang
digunakan hendaknya tetap konsisten.
Untuk kasus yang umum, nilai C s akan selalu lebih kecil dari
nilai C c dengan kisaran antara 10% hingga 20%.
5.7. Konsep tegangan efektif
Tegangan effektif dapat didefinisikan sebagai tegangan (yang
terjadi pada massa tanah) yang dialami oleh butiran tanah itu
sendiri. Tegangan yang terjadi massa tanah dapat dialami oleh

72

butiran tanah dan cairan pada pori-pori antar butiran tanah. Dalam
hal ini, tegangan yang dialami oleh gas (udara) dalam butiran
tanah dan diantara butiran tanah diabaikan. Selain itu dianggap
pula bahwa tidak ada cairan ataupun rembesan yang terjadi di
dalam butiran tanah. Persamaan tegangan effektif dapat dituliskan
sebagai berikut:
= u

dengan

5.20

adalah tegangan effektif pada massa tanah


merupakan tegangan total dan
u adalah tegangan pada pori-pori tanah

Secara skematis dapat dijelaskan mengenai tegangan total,


effektif dan tegangan pori seperti pada Gambar 5.15.

permukaan tanah

beban luar

butiran tanah
air dalam pori

muka air tanah

Gambar 5.15. Tegangan effektif pada massa tanah

73

Konsep tegangan effektif sangat berguna di dalam ilmu mekanika


tanah mengingat pada dasarnya, tegangan yang didistribusikan
dalam tanah nantinya harus dapat ditahan oleh butiran tanah saja.
Apabila tegangan effektif yang terjadi sangat kecil dibandingkan
dengan tegangan pada pori tanah, maka dapat mengakibatkan
butiran tanah kehilangan kontak. Kehilangan kontak ini
mengakibatkan hilangnya kekuatan geser tanah, sehingga tanah
tidak berperilaku seperti material padat lagi melainkan dapat
berperilaku seperti material cair dan mudah bergerak. Kondisi ini
sangat tidak menguntungkan untuk mendapatkan tahanan yang
diperlukan pada sebuah deposit tanah.
Pada kasus lereng, sering terjadi kelongsoran akibat adanya
peningkatan kandungan air yang significant pada massa tanah.
Pada kondisi tersebut, tahanan efektif tanah dapat berkurang dan
berat tanah meningkat. Kondisi ini dapat mengakibatkan
bergeraknya tanah (longsor). Pada tanah yang mudah bercampur
dengan air, longsoran ini seolah mengaduk tanah dengan air,
sehingga terjadilah mud-flow atau banjir bandang.
Untuk dapat mengerti mengenai konsep tegangan effektif tanah,
dapat diperhatikan penjelasan berikut. Pada Gambar 1.19, dapat
dilihat sebuah deposit tanah yang mempunyai dua lapisan dengan
lapisan pertama setebal 2m terletak diatas muka air tanah
sedangkan lapisan kedua berada di bawah muka air tanah.
Lapisan tanah yang berada diatas muka air tanah dianggap kering
dan mempunyai berat satuan (=berat volume) sebesar 1,60 t/m3
sedangkan lapisan tanah yang berada dibawah muka air tanah
dianggap jenuh dan mempunyai berat volume = 1.80 t/m3. Maka
dapat dihitung besarnya tegangan effektif tanah pada kedalaman
tertentu dan grafik tegangan dapat digambar seperti terlihat dalam
gambar tersebut.

74

0
1 = 1,6 t/m3

Tegangan total
() t/m2

1,6

1,6

2
2 = 1,8 t/m3

tegangan pori tegangan effektif


(u) t/m2
() t/m2

3
4

Titik-titik

ti j

kedalaman (m)
(juga nomor titik tinjauan)

Gambar 5.16. Tegangan effektif akibat berat sendiri

Kasus 5.2
Sebagai contoh, dengan data yang sama seperti pada Gambar
1.19, bila diinginkan tegangan effektif pada kedalaman 1m, 2m,
3m dan 4m yang diakibatkan oleh berat sendiri tanah dapat
dihitung sebagai berikut:
Untuk kedalaman 1 m:
Tegangan total
= 1. 1 m

= 1,60 t/m3. 1 m

Tegangan air pori

75

= 1,60 t/m2

= 0,0 t/m2 (tidak ada air)

Tegangan effektif
=-u

= (1,60 0,0)t/m2 = 1,60 t/m2

Untuk kedalaman 2 m:
Tegangan total
= 1. 2 m

= 1,60 t/m3. 2 m

= 3,20 t/m2

Tegangan air pori


u = w . 0,0 m (kedalaman muka air tanah sama dengan nol)
= 0,0 t/m2
Tegangan effektif
=-u
= (3,20 0,0)t/m2

= 3,20 t/m2

Untuk kedalaman 3 m:
Tegangan total
= 1. 2 m + 2. 1 m
= 1,60 t/m3. 2 m + 1,80 t/m3. 1 m
= 3,20 t/m2 +1,80 t/m2
= 5,00 t/m2
Tegangan air pori
u = w . 1,0 m (kedalaman muka air tanah sama dengan 1,0 m )
= 1,0 t/m3. 1,0 m
= 1,0 t/m2
Tegangan effektif
=-u
= (5,00 1,0)t/m2
= 4,00 t/m2

76

Untuk kedalaman 4 m:
Tegangan total
= 1. 2 m + 2. 2 m
= (1,60 t/m3. 2 m) + (1,80 t/m3. 2 m)
= 3,20 t/m2 + 3,60 t/m2
= 6,80 t/m2
Tegangan air pori
u = w . 2,0 m (kedalaman muka air tanah sama dengan 2,0 m )
= 1,0 t/m3. 2,0 m
= 2,0 t/m2
Tegangan effektif
=-u
= (6,80 2,0)t/m2
= 4,80 t/m2

77

BAB VI

METODA ANALISIS
STABILITAS LERENG

6.1. Teori dasar kestabilan lereng


Teori yang dipergunakan untuk analisis kestabilan lereng adalah teori
kesetimbangan gaya-gaya pada sebuah bidang datar dan telah dibahas
dalam berbagai buku referensi (Hakam, 2004.a dan Huang, 1983 dan).
Pada bidang datar yang terletak horizontal, maka aksi berat benda (W)
diimbangi dengan gaya normal (N) sebesar berat benda. Sedangkan
dalam keadaan miring, aksi dan reaksi yang bekerja pada bidang datar
tergantung dari besarnya sudut kemiringan bidang (). Kesetimbangan
gaya-gaya pada bidang datar yang miring akan tetap terjadi sesuai
dengan arah gaya terhadap bidang datar tersebut (Perhatikan gambar
6.1).
N =W cos

N =W

WT = W sin

=0
W

WN = W cos

Gambar 6.1. Gaya normal dan tangensial pada bidang geser

78

Selanjutnya bidang kontak antara benda dengan bidang datar disebut


dengan bidang geser. Bila orientasi gaya adalah terhadap bidang datar,
maka hanya ada dua kelompok gaya yang bekerja yaitu sejajar bidang
(tangensial) dan tegak lurus bidang (normal).
Kesetimbangan gaya-gaya yang bekerja adalah:
arah tegak lurus bidang (normal):
N = WN

N = W cos

atau

dan arah sejajar bidang (tangensial):


T = WT

T = W sin

atau

Berdasarkan teori mekanika, gaya geser tangensial yang bekerja pada


bidang geser mempunyai nilai maksimum sebesar koefisien geser, f
dikalikan dengan gaya normalnya, N :
T max = N f

6.1

Dalam ilmu mekanika tanah, koefisien geser antara partikel tanah


dituliskan dalam bentuk tangen dari sudut geser dalamnya atau:
f= tg

6.2

Selain sudut geser dalam, tanah juga mempunyai tahanan geser yang
ditimbulkan oleh gaya tarik kimiawi antar partikel tanah yang disebut
dengan kohesi, c. Tanah yang demikian disebut dengan tanah kohesif.
Sehingga gaya geser maksimum (disebut dengan tahanan geser) pada
bidang geser menjadi:
T max = N tg + c A

6.3

dimana A adalah area atau luas dari bidang geser. Bila persamaan diatas
dibagi dengan luas bidang geser tersebut, maka menjadi:
max = tg + c

6.4

dimana max = T max / A dan = N / A.

79

Formula diatas adalah sama dengan persamaan batas keruntuhan pada


bidang tegangan geser tegangan normal seperti gambar berikut:
Tegangan geser,

tg

Tegangan normal,

Gambar 6.2. Bidang tegangan normal dan geser

6.2. Bidang Keruntuhan pada Lereng


Pada lereng yang stabil dianggap tidak terjadi pergerakan baik kearah
bawah maupun kesisi lereng. Sebaliknya untuk lereng yang bergerak
meskipun secara perlahan, dikatakan sebagai lereng yang tidak stabil.
Terdapat berbagai jenis pergerakan yang terjadi pada lereng-lereng yang
tidak stabil. Umumnya pergerakan-pergerakan ini diakibatkan oleh
keruntuhan baik yang secara tiba-tiba maupun perlahan. Pergerakan
lereng yang diakibatkan oleh keruntuhan dari sistem lereng dapat dibagi
menjadi enam (6) bentuk/tipe sebagaimana dijabarkan pada bagian
terdahulu.
Massa tanah atau batuan yang bergerak pada lereng, akan mempunyai
bidang kontak dengan bagian massa yang relatif diam. Bidang kontak
ini disebut dengan bidang runtuh (atau bidang longsor). Berdasarkan
bentuk dari bidang runtuh/failure pada kasus-kasus keruntuhan lereng,
beberapa metoda perhitungan untuk analisis keruntuhan lereng telah

80

diturunkan. Diantara yang sering digunakan dalam rekayasa sipil adalah


keruntuhan bidang (datar) dan keruntuhan rotasi (lingkaran). Namun
ilmu mekanika dasar yang digunakan untuk menganalisis kestabilan
lereng adalah serupa dengan prinsip kesetimbangan gaya-gaya yang
bekerja pada sebuah bidang runtuh.
Hal paling utama dalam analisis stabilitas lereng adalah menentukan
bidang longsor (=bidang runtuh). Bidang longsor ditetapkan/
diasumsikan berdasarkan penelitian keadaan pada lereng sebenarnya.
Selanjutnya adalah kemungkinan gaya-gaya (beban-beban) yang
bekerja pada lereng. Dalam keadaan pembebanan statis, umumnya gaya
gravitasi lebih dominan menyebabkan keruntuhan lereng. Keruntuhan
statis adalah diakibatkan oleh tidak cukupnya (atau berkurangnya)
tahanan geser tanah pada bidang longsor. Namun dalam kasus beban
dinamik, perlu dipertimbangkan keruntuhan yang diakibatkan oleh
meningkatnya beban getaran sehingga diperlukan pertimbangan gaya
akibat getaran. Sebagai contoh kasus dinamik adalah keruntuhan akibat
beban gempa, gaya horizontal (dinamik) yang mendorong tanah
meningkat dengan adanya percepatan gempa pada
Bidang
Runtuh
Rotasi
Massa
yang
Runtuh

Bidang
Runtuh
Datar

Bidang
Runtuh
Gabungan
Gambar 6.3. Bidang runtuh pada lereng

81

6.3. Data-data tanah untuk analisis stabilitas Lereng


Setelah mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mengganggu
sebuah lereng, selanjutnya diperlukan data-data untuk analisis
kestabilan lereng. Data-data yang diperlukan untuk stabilitas lereng
adalah sebagai berikut:
a. Data topografi dan lapisan tanah.
Data-data ini diperlukan untuk menggambarkan potongan
melintang dari lereng sehingga dapat dilihat secara visual
dimensi dari lereng luar (tinggi dan kemiringan lereng) maupun
bagian lapisan dalam sebuah lereng. Data lapisan dalam lereng
dikenal dengan stratifikasi (atau stratigrafi) lereng yang
menggambarkan tebal lapisan dan kemiringan tiap lapisan.
Data topografi diperoleh dengan melakukan pengukuran
permukaan di lapangan dengan menggunakan alat ukur
(theodolite dan yang sejenis dan pita ukur). Sedangkan data
lapisan tanah dapat diketahui dengan melakukan pemboran
minimal pada kaki, badan dan puncak lereng. Dengan
berdasarkan data-data tersebut maka potongan melintang lereng
dapat digambarkan dengan baik.
b. Data air tanah.
Air tanah diperlukan dalam analisis dalam menentukan tekanan
air pori tanah. Seperti telah dijelaskan dalam bagian
sebelumnya bahwa dalam menganalisis kesetimbangan gayagaya dalam, tegangan tanah diperhitungkan sebagai tegangan
effektif yang terjadi pada butiran tanah. Dengan diketahuinya
air tanah, maka analisis stabilitas dengan tegangan effektif
dapat dilakukan. Bila tidak dapat dilakukan pengukuran
tegangan air tanah, maka dapat dilakukan pendugaan muka air
tanah di dalam lereng.
Kedalaman muka air tanah dapat diketahui melalui lubanglubang bore setelah beberapa waktu ( sekitar 24 jam) lubang

82

tersebut dibiarkan. Kedalaman muka air tanah ini selanjutnya


diplotkan pada gambar potongan lereng (stratifikasi lereng)
yang dibuat berdasarkan data-data sebelumnya.
c. Parameter kekuatan tanah.
Parameter utama kekuatan geser tanah yang diperlukan untuk
analisis stabilitas lereng adalah kohesi, sudut geser dalam dan
berat isi tanah. Data-data ini dapat diperoleh dengan melalui
pengujian laboratorium terhadap sampel yang diambil dari
explorasi pada lereng. Sampel tersebut diambil dengan
menggunakan tabung sampel pada kedalaman tertentu di dalam
lobang pengeboran. Sebaiknya tiap lapisan tanah yang berbeda
diambil sampelnya untuk dilakukan pengujian laboratorium.
Data-data tersebut selanjutnya diplotkan pada masing-masing
lapisan tanah pada sketsa potongan lereng.
Data parameter kekuatan tanah juga dapat diperoleh dengan
cara mengkorelasikan nilai pengujian kekuatan tanah di
lapangan secara langsung dengan uji sondir atau uji penetrasi
standart.

Y (m)
Lapisan II,
2, c2 dan 2

Lapisan I,
1, c1 dan 1
m.a.t

Lapisan III,
3, c3 dan 3
Lapisan IV,
4, c4 dan 4
X (m)
Gambar 6.4. Data pada sebuah lereng

83

6.4. Analisis Keruntuhan Bidang Datar


Pada lereng yang diasumsikan mempunyai bidang runtuh datar
(perhatikan Gambar 6.5), maka analisis stabilitasnya dapat dilakukan
dengan menghitung gaya-gaya yang bekerja per satuan lebar lereng
sebagai berikut:
W=.

6.4

dimana adalah luas bidang yang longsor (luas abc pada Gambar 6.5)
lalu hitung gaya-gaya sejajar dan tegak lurus bidang keruntuhan:
N = W cos

6.5

T = W sin

6.6

dan

Lalu tentukan gaya tahanan pada bidang keruntuhan:


T max = N tg + c L

6.7

Selanjutnya tentukan Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) dengan


membandingkan nilai T max dengan T sebagai berikut:
SF=

Tmax

/T

6.8
c

Tmax

W
L
a
Gambar 6.5. Gaya-gaya pada longsor bidang datar

84

Contoh Kasus 6.1:


Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dari sebuah lereng
dengan data-data seperti pada Gambar K6.1.
3m

5m
c

b
= 1.4 t/m3
c = 0.2 kg/cm2
= 250

H=6m

Gambar K6.1. Data lereng dengan bidang longsor datar


Solusi:
Menentukan berat bagian longsoran:
W=.

6.4

= luas bidang yang longsor


= luas abc
= (5m x 6 m )
= 15 m2
W = 1.4 t/m3 . 15 m2
= 21 t/m

85

Gaya normal bidang keruntuhan:


N = W cos

6.5

dengan cos = 0.8


N = 12 t/m . 0.8
= 16.8 t/m
dan
T = W sin

6.6

dengan sin = 0.6


T = 21 t/m . 0.6
= 12.6 t/m
Gaya tahanan pada bidang runtuh:
T max = N tg + c L

6.7

dengan tan = 0.466


c = 2 t/m2
L = [62 + 82]1/2 = 10 m
T max = (16.8 t/m). 0.466 + (2 t/m2). 10 m
= 7.834 t/m + 20 t/m
= 27.834 t/m
Selanjutnya Faktor Keamanan adalah:
SF =
SF =

Tmax

/T

(27.834 t/m)

6.8

/ ( 12.6 t/m)

= 2.2

86

6.5. Analisis Keruntuhan Bidang Datar - Panjang


Pada lereng yang sangat panjang, keruntuhan dapat terjadi pada
permukaan lereng dengan kedalaman yang hampir seragam. Keruntuhan
ini dikenal dengan keruntuhan permukaan. Bidang runtuh yang terjadi
diasumsikan sejajar dengan permukaan lereng dengan kedalaman yang
tetap ( yaitu sama dengan D pada Gambar 6.6).
Pada lereng yang diasumsikan mempunyai bidang runtuh yang panjang
dan datar ini, analisis stabilitasnya hampir menyerupai cara sebelumnya.
Namun dapat lebih disederhanakan dengan mengambil panjang massa
yang longsor sebesar satu satuan panjung (unit). Perhitungan gaya-gaya
yang bekerja per satuan lebar lereng selanjutnya dapat dilakukan
sebagai berikut:
1 unit

D
T

N
W
Tmax

L=~

Gambar 6.6. Gaya-gaya pada longsor bidang datar - panjang

87

W=.D.1

6.9

dimana D adalah kedalaman bidang yang longsor (lihat Gambar 6.6)


Perhitungan selanjutnya adalah sama seperti pada bidang longsor datar
biasa, gaya-gaya sejajar dan tegak lurus bidang keruntuhan adalah:
N = W cos

6.5

T = W sin

6.6

dan

Perlu diingat bahwa sudut bidang longsor, adalah sama dengan sudut
kemiringan lereng, .
Selanjutnya gaya tahanan pada bidang keruntuhan sama seperti
sebelumnya :
T max = N tg + c .L

6.7

Panjang bidang longsor L = 1 / (cos )


Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) adalah:
SF=

Tmax

/T

6.8

88

Contoh Kasus 6.2:


Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dengan kedalaman
1.0 m dari sebuah lereng dengan data-data seperti pada Gambar K6.2.
3m
b

c
= 1.4 t/m3
c = 0.2 kg/cm2
= 250

6m

= tan-1 (6/3) = 63.40

Gambar K6.2. Data pada longsor bidang datar - panjang


Solusi:
Menentukan berat massa longsoran:
W=.D.1

6.9

D = kedalaman bidang yang longsor


= 1.0 m
W = 1.4 t/m3 . 1.0 m . 1 m
= 1.4 t/m
Gaya normal bidang keruntuhan:
N = W cos

6.5

dengan cos = 0.447

89

N = 1.4 t/m . 0.447


= 0.626 t/m
T = W sin

6.6

dengan sin = 0.894


T = 1.4 t/m . 0.894
= 1.252 t/m
Gaya tahanan pada bidang runtuh:
T max = N tg + c / cos

6.7

dengan tan = 0.466


c = 2 t/m2
1/cos = 1 / 0.447 = 2.236
T max = (0.626 t/m). 0.466 + (2 t/m2) . (2.236 m)
= 0.292 t/m + 4.472 t/m
= 4.764 t/m
Selanjutnya Faktor Keamanan adalah:
SF =
SF =

Tmax

/T

(4.764 t/m)

6.8

/ ( 1.252 t/m)

= 3.80

Bila kedalaman longsor menjadi D =1.5 m, maka turunlah SF = 2.61.


Dan, jika kedalaman menjadi D =2.0 m, maka jadilah SF = 2.02.

90

6.6. Kasus Khusus Keruntuhan Bidang Datar - Panjang


a. Untuk lereng non-kohesif (pasir, c = 0)
Khusus untuk lereng yang sangat panjang yang terbuat dari tanah nonkohesif, keruntuhan sangat mungkin terjadi bila sudut kemiringan
lereng, lebih besar dari sudut geser dalam tanah, . Hal ini dapat
dijelaskan dengan menjabarkan formula analisis keruntuhan lereng
runtuh sebagai berikut:

c=0

Gambar 6.7. Lereng dari tanah non-kohesif


Berat elemen: W = . D . 1
dimana D adalah kedalaman bidang yang longsor, lalu:
N = . D cos

T = . D sin

dan

Karena nilai c = 0, maka gaya tahanan pada bidang keruntuhan menjadi:


T max = N tg
Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) adalah:
SF=

Tmax

/T

Dengan memasukkan nilai N dan T kedalam persamaan diatas, maka:

91

SF=

( . D . cos . tg )

( . D sin )

atau dapat disederhanakan menjadi:


SF=

tg

/tg

6.10

Persamaan diatas akan bernilai besar dari 1 (SF > 1) bila sudut
kemiringan lereng lebih kecil dari sudut geser dalam tanah ( < ).
Dengan kata lain, untuk memperoleh lereng dari tanah pasir yang aman
terhadap longsor, maka sudut kemiringan lereng, harus dibuat lebih
kecil dari sudut geser dalam tanah, .
Contoh Kasus 6.3:
Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor panjang dari
sebuah lereng timbunan terbuat dari pasir dengan data-data seperti pada
Gambar K6.3.
6m

Timbunan Pasir
= 350

4m

= tan-1 (4/6) = 33.70

Gambar K6.3. Data lereng panjang dari tanah pasir

92

Solusi:
Faktor keamanan dapat ditentukan dengan:
SF=

tg

/tg

6.10

Berdasarkan data diatas maka:


tg = tg (350) = 0.70
tg = ( 4m / 6m ) = 0.67
SF =

0.70

/0.67

= 1.05

b. Untuk lereng lempung ( = 0O)


Pada lereng yang terbuat dari tanah lempung (normal, undrained), untuk
memperoleh nilai yang aman pada saat pembuatan dapat ditentukan
sebagai berikut :

=0

Gambar 6.8. Lereng dari tanah kohesif


Berat elemen longsor:
W=.D.1

93

Gaya-gaya pada bidang longsor:


N = . D cos

T = . D sin

dan

Karena nilai = 0, maka gaya tahanan di bidang keruntuhan menjadi:


T max = c / cos
Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) adalah:
SF=

Tmax

/T

Dengan memasukkan nilai N dan T kedalam persamaan diatas, maka:

SF=

(c /cos )

( . D sin )

Pada kondisi yang kritis, nilai faktor keamanan SF=1, selanjutnya


persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi:
D cr =

/ ( sin . cos )

6.11

Persamaan diatas mempunyai arti sebagai kedalaman kritis dari lereng


dari lempung dengan sudut kemiringan . Artinya bila nilai kedalaman
bidang longsor lebih besar, maka lereng menjadi tidak stabil. Hal ini
menjelaskan tentang fenomena keruntuhan lereng dari lempung yang
terjadi akibat pengaruh cuaca seperti dijelaskan pada bagian terdahulu
yaitu semakin dalam erosi air pada sisi miring lereng, semakin kurang
faktor keamanan lereng tersebut.
L
H
Selanjutnya dengan mengambil nilai cos =
R dan sin =
R
serta kwadrat panjang lereng R2 = H2 + L2 , persamaan kedalaman
kritis (SF=1) diatas dapat disederhanakan menjadi:

c
D cr =

H 2 + L2
HL

6.11

94

Persamaan diatas dapat ditulis ulang menjadi:

H 2 + L2

<
D cr
HL
c
Keruntuhan lereng permukaan biasanya terjadi hingga kedalaman 2m
saja. Sehingga untuk membuat lereng dari tanah lempung yang stabil
dalam jangka waktu yang lama, maka perlu diperhatikan kombinasi
antara tinggi lereng H dan panjang L sedemikian rupa nilainya berada
dibawah batasan berikut:

H 2 + L2
<
( 2m )
HL
c

6.12

Contoh Kasus 6.4:


Suatu lereng dari tanah lempung dibuat dengan sudut 45 derajat.
Dengan menganggap penjalaran retak susut pada tanah akibat alam
mempunyai kecepatan rata-rata tetap sedalam 60 cm per tahun.
Perkirakan kapan lereng tersebut mulai mengalami masalah kestabilan
dengan akibat kelongsoran datar memanjang. Data-data lereng tersebut
ditampilkan pada Gambar K6.4.
5m

5m

Lempung: = 1.5 t/m3


c = 0.12 kg/cm2

= tan-1 (5/5) = 450 ok ?

Gambar K6.4. Data lereng lempung

95

Solusi:
Kedalaman kritis longsor memanjang dapat dihitung dengan:
D cr =

H 2 + L2
HL

6.11

Data dari kasus diatas adalah:


H=L=5m
H2 = L2 = 25 m2
c = 0.12 kg/cm2 = 1.2 t/m2
= 1.5 t/m3
Masukkan data dalam persamaan diatas:
D cr =

1.2
1.5

25 + 25
55

= 0.8 m 2
= 1.6 m
Waktu yang diperlukan untuk mencapai kedalaman kritis longsor
memanjang adalah :
Waktu =

1.6 m

/ (0.6 m/tahun)

= 2.67 tahun
Hal ini mempunyai arti bahwa bila pada awalnya lereng tersebut tidak
mengalami longsor, maka menjelang tahun ke-3 mulai terjadi masalah
stabilitas pada lereng (kelongsoran). Buktikan bahwa lereng tersebut
memang tidak mempunyai masalah kestabilan pada awalnya dengan
menghitung faktor keamanan lereng menggunakan data-data diatas.

96

6.7. Metoda Potongan (Slices)


Analisis stabilitas lereng dengan menggunakan metoda potongan
berlaku untuk bentuk bidang runtuh yang datar, lingkaran maupun
perpaduan dari keduanya. Metoda ini berlaku umum dan sangat populer
digunakan. Dengan perkembangan aplikasi numerik pada komputer,
perhitungan stabilitas dengan metoda ini semakin mudah dilakukan.
Untuk menggunakan metoda potongan, blok tanah yang mengalami
kelongsoran dibagi menjadi beberapa bagian (potongan). Pembagian
potongan dilakukan secara vertikal. Untuk setiap potongan gaya-gaya
yang bekerja dianalisis dan diperhitungkan secara komulatif.
Selanjutnya faktor keamanan dari bidang runtuh yang diasumsikan
dapat dihitung dengan membandingkan gaya-gaya yang yang menahan
dan meruntuhkan.
L

T
N
W

i=n
n-1

Tmax

n-2

3
i=1

Gambar 6.9. Metoda potongan

97

Untuk setiap potongan (lihat Gambar 6.9) berat dari elemen tanah yang
diakibatkan oleh berat sendiri tanah adalah:
W= L H

6.12

Selanjutnya gaya normal (N) dan gaya tangensial (T) yang bekerja
untuk masing-masing potongan dihitung seperti cara sebelumnya yaitu:

dan

N = W cos

6.5

T = W sin

6.6

Perlu diingat bahwa adalah sudut kemiringan tiap-tiap potongan. Pada


setiap potongan diasumsikan mempunyai bidang runtuh datar, maka
analisis stabilitasnya dapat dilakukan dengan menghitung gaya-gaya
yang bekerja per satuan lebar lereng.
Luas bidang kontak pada dasar potongan adalah:
A = L/cos

6.13

Lalu tentukan gaya tahanan pada bidang keruntuhan:


T max = c A + N tg

6.7

Selanjutnya tentukan Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) dengan


membandingkan nilai keseluruhan T max dengan jumlah nilai T sebagai
berikut:
SF=

Tmax

/ T

6.14

Dengan memasukkan nilai gaya geser dan gaya normal kedalam


persamaan faktor keamanan, selanjutnya dapat dituliskan menjadi:

98

(c
i =1

SF =

A i + Wi cos i tan i )
6.15

W sin
i =1

i ditentukan dari gambar atau dihitung secara numerik.

Contoh Kasus 6.5:


Untuk data tanah yang sama dengan kasus 6.1 sebelumnya, tentukan
faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dari sebuah lereng dengan
seperti pada Gambar K6.5.
3m

5m

= 1.4 t/m3
c = 0.2 kg/cm2
H=6m

= 250

Gambar K6.5. Data lereng dengan bidang longsor

99

Solusi:
Untuk melakukan analisis dengan metoda potongan, maka harus dibuat
data geometrik dengan skala yang baik dari masing-masing potongan
pada bidang longsor seperti pada Gambar K.6.5.a.

1.5 m

1.5 m

1.5 m

1.5 m

2.0 m

5
4

590

3
6.0 m
2

390
260

1
0

180

Skala : 1 m =

Gambar K6.5.a. Data gometrik tiap potongan

Perhitungan selanjutnya dicantumkan dalam tabel dengan menggunakan


persamaan-persamaan berikut:
W= L H
N = W cos
T = W sin
A = L/cos

6.12
6.5
6.6
6.13

100

Data tanah:
= 1.4 t/m3, c = 2 t/m2 dan = 250.
Faktor Keamanan (Safety Factor = SF)
n

(c
SF =

i =1

A i + N i tan i )
6.15

T
i =1

Selanjutnya perhitungan ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai


berikut:

i
1
2
3
4
n=5

L
(m)
1.5
1.5
1.5
1.5
2

7
18
26
39
59

H
(m)
1.4
4.1
4.9
3.9
1.7

W
(ton)
2.96
8.55
10.31
8.27
4.66

N
(ton)
2.93
8.13
9.27
6.42
2.40
T =

Selanjutnya nilai faktor keamanan adalah:

SF =

34.74

/16.72

= 2.08

101

T
(ton)
0.36
2.64
4.52
5.20
3.99
16.72

A
(m)
1.51
1.58
1.67
1.93
3.88
T max =

T max
(ton)
4.39
6.95
7.66
6.86
8.89
34.74

6.8. Prosedur umum untuk Analisis Stabilitas Lereng


Prosedur yang dapat diikuti untuk menganalisis stabilitas lereng adalah
sebagai berikut:
a. Tentukan dimensi lereng termasuk lapisan tanah yang
membentuknya.
b. Gambarkan dalam sketsa atau dengan skala yang baik.
c. Tentukan data-data yang diperlukan untuk analisis, meliputi
parameter geser tanah, berat isi, permukaan air tanah dan beban
luar yang bekerja.
d. Tentukan (asumsikan) bidang runtuh yang mungkin terjadi
dengan menggunakan metoda yang ada.
e. Hitung gaya-gaya yang diakibatkan oleh berat sendiri dari tanah
dan gaya luar.
f. Tentukan gaya yang meruntuhkan dan gaya yang menahan
sesuai dengan metoda yang dipilih.
g. Faktor keamanan ditentukan dengan perbandingan gaya yang
menahan dan gaya yang mengakibatkan keruntuhan.
h. Gambarkan bidang-bidang keruntuhan yang mempunyai faktor
keamanan terkecil pada sketsa.

102

BAB VII

ESTIMASI
KEAMANAN LERENG
DENGAN GRAFIK
7.1. Pendahuluan
Pada jaman dahulu telah banyak dibuat grafik-grafik untuk
memperkirakan stabilitas dari sebuah lereng homogen. Hal ini
disebabkan pada saat itu perhitungan dengan menggunakan angkaangka yang banyak dan berulang terasa sangat menyulitkan. Walaupun
pada kenyataannya penentuan stabilitas lereng dengan menggunakan
cara grafik masih memerlukan beberapa perhitungan namun tidak
berulang-ulang.
Saat ini perhitungan dengan menggunakan peralatan komputer sudah
dapat mengatasi kesulitan akibat perhitungan berulang untuk
menentukan stabilitas lereng. Akan tetapi cara grafik terkadang masih
diperlukan untuk mempercepat pengambilan keputusan bagi praktisi
dilapangan.
Dalam bagian ini akan diberikan grafik-grafik untuk analisis stabilitas
lereng yang homogen. Grafik ini dibuat dari hasil perhitungan dengan
parameter-parameter tanah yang diambil untuk rentang tertentu. Selain
itu juga akan diberikan beberapa grafik yang pernah ada jaman dahulu
serta contoh-contoh penentuan stabilitas lereng dengan cara tersebut.
Untuk grafik yang lama, penurunan formula untuk mendapat grafikgrafik tersebut tidak dibahas dalam buku ini. Pemformulasian grafik
tersebut, dapat dilihat pada referensi dari masing-masing grafik tersebut.

103

7.2. Bidang keruntuhan datar


Untuk lereng yang diasumsikan mempunyai bidang runtuh datar
(perhatikan Gambar 7.1), maka analisis stabilitasnya dilakukan dengan
menghitung gaya-gaya yang bekerja sebagai berikut:
W = . (h . b 2 )

7.1

dan

T=W

7.2

h + ( b1 + b 2 ) 2
2

serta
T max = W

b1 + b 2
h + (b1 + b 2 )
2

tg + c h 2 + (b 1 + b 2 ) 2

7.3

Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) dihitung sebagai berikut:


SF =

Tmax

/T

7.4

b2

b1

Parameter tanah:
c, dan

H
tinggi lereng

B
lebar lereng

Gambar 7.1. Data lereng untuk analisis

104

a. Tanah pasir (c=0)


Untuk lereng terbuat dari tanah pasir yang dengan bidang runtuh datar,
maka faktor keamanan lereng dapat disederhanakan dengan
memasukkan persamaan 7.2 dan 7.3 kedalam persamaan 7.4. Perlu
diingat bahwa nilai kohesi untuk pasir dapat diambil sama dengan nol.
Sehingga faktor keamanan dapat dituliskan menjadi:

SF=

b1 + b 2
tg
h

7.5

b2

b1

Parameter tanah:
dan

H
tinggi lereng

B
lebar lereng

Gambar 7.2. Data lereng tanah pasir


Berdasarkan formulasi faktor keamanan diatas, lalu dibuatkan grafik
hasil perhitungan yang menunjukkan nilai-nilai faktor keamanan dari
lereng untuk bidang-bidang keruntuhan tertentu. Gambar dari grafik ini
ditampilkan pada gambar 7.3. Perlu diingat bahwa lereng dari tanah
pasir, tidak boleh memiliki sudut kemiringan lereng, yang lebih besar
dari sudut geser dalam tanah, .

105

20
SF=1
1.2
1.5
2.0

15
b1+b2
h
10

atau
B/H
5

( B / H )minimum untuk pasir


0
0

10

20

30

40

50

Gambar 7.3. Faktor keamanan untuk lereng tanah pasir


Contoh Kasus 7.1:
Tentukan lebar kaki minimum dari timbunan tanah pasir setinggi 8 m,
dengan sudut geser dalam, = 280.
Solusi:
Dari gambar 7.3. untuk =280, diperoleh (B/H)

minimum

= 1.9.

Sehingga panjang kaki minimum agar timbunan pasir tidak longsor


adalah:
B minimum = 1.9 x 8m
= 15.2m

106

b. Tanah lempung ( =0)


Untuk lereng yang terbuat dari tanah lempung (normal, tidak
terdraenase) dengan bidang runtuh datar, maka faktor keamanan lereng
dapat disederhanakan dengan memasukkan persamaan 7.2 dan 7.3
kedalam persamaan 7.4 untuk sudut geser dalam sama dengan nol.
Sehingga faktor keamanan dapat dituliskan menjadi:
2
2 c b1 + b 2
SF =

1 +
.b 2 h

7.6

Selanjutnya perhitungan faktor keamanan ditampilkan pada Gambar 7.4


dengan prasyarat bahwa nilai b 1 dan b 2 lebih besar dari nol.
5
SF=1
1.2
1.5
2.0

3
b1+b2
h
2

0
0

0.5

2c

c/
bb2

1.5

Gambar 7.4. Faktor keamanan untuk lereng lempung

107

Contoh Kasus 7.2:


Tentukan lebar kaki minimum dari sebuah timbunan tanah lempung
setinggi 5m pada sebuah bidang datar seperti pada Gambar K7.2.
Lempung tersebut memiliki nilai kohesi, c = 0.2 kg/cm2 dan berat
satuan, = 1.5 t/m3.
b2 = 7m

b1 = ?

h = 8m

Solusi:
Data tanah: c = 2 t/m2 dan = 1.5 t/m3
Nilai (2c / .b 2 ) = ([2 x 2 t/m2] / [1.5 t/m3 . 7 m ] )
= 0.38
Dari Gambar 7.4 bahwa dengan ( 2c / .b 2 ) = 0.38 untuk nilai faktor
keamanan, SF=1 didapat (b 1 +b 2 )/h = 1.3
Selanjutnya untuk b 2 = 7m dan h = 8m dapat dihitung:
b1

= 1.3 h b 2
= 1.3 (8m) 7.m
= 3.4 m

108

c. Tanah secara umum (c dan )


Untuk lereng terbuat dari tanah secara umum dengan nilai c dan ,
maka faktor keamanan lereng adalah penjumlahan dari kedua faktor
keamanan terhadap c dan terhadap . Sehingga faktor keamanan dapat
dituliskan menjadi:
2
b1 + b 2
2 c b1 + b 2
SF=
tg +

1 +
h
.b 2 h

7.7

Berdasarkan formulasi faktor keamanan diatas, lalu dibuatkan grafik


hasil perhitungan yang menunjukkan nilai-nilai faktor keamanan dari
lereng untuk bidang-bidang keruntuhan tertentu terhadap parameter
tanah c, dan . Gambar dari grafik ini ditampilkan pada gambar 7.5
dalam skala semi logaritmik. Perlu diingat bahwa lereng secara umum
tidak harus memiliki sudut kemiringan, yang lebih besar dari sudut
geser dalam tanah, . Hal ini dikarenakan adanya kohesi,c dalam tanah
yang turut mencegah pergeseran akibat beban sendiri massa tanah.
Contoh Kasus 7.3:
Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dari sebuah lereng
dengan data-data seperti pada Gambar K6.1.
3m

5m
c

b
= 1.4 t/m

c = 0.2 kg/cm2
= 250

H=6m

L
a

Gambar K7.3.a Data kasus lereng

109

0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.5
2.0

(derajat) 10

10

10

5
4

b1+b2 5
h
4

0
100

0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.5
2.0

0
0.01

2c/ b2 0.1
b1

Gambar 7.5. Gambar faktor keamanan lereng


dengan bidang keruntuhan datar

b2

Parameter tanah:
c, dan

H
tinggi lereng

B
lebar lereng

110

Solusi Kasus 7.3 :


Data tanah: = 250, c = 2 t/m2 dan = 1.4 t/m3
2

Data lereng: h = 6 m, b 1 = 3m dan b 2 = 5m

Nilai (b 1 +b 2 )/h = ( 3m + 5m) / 6m

Nilai 2c/(b 2 ) = ( [2 x 2 t/m ] / [1.4 t/m . 5 m ] )


= 4/7

= 8m / 6m

= 0.57

= 1.33

Selanjutnya adalah dengan memplot nilai-nilai tersebut dalam gambar dan diperoleh:
SF = 0.7 dan SF c = 1.5 , Sehingga SF = 0.7 + 1.5 = 2.2
10

10

6
5

0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.5
2.0

(de rajat) 10

6
b1 +b2
h

1.33 2

0
100

0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.5
2.0

0
0.01

25

2c/ b2 0.1

Gambar K7.3.b Penentuan faktor keamanan dengan grafik

111

0.57

3. Bidang keruntuhan lingkaran


Untuk lereng yang dibuat dengan kemiringan tertentu, Singh (1970)
telah membuatkan grafik faktor keamanannya. Metoda yang digunakan
adalah metoda keruntuhan lingkaran yang yang diajukan oleh Taylor
(1937). Faktor keamanan dihitung dengan cara coba-coba sedemikian
rupa sehingga bidang runtuh lingkaran yang dianggap kritis adalah
lingkaran dengan faktor keamanan terhadap kohesi bernilai sama
dengan faktor keamanan terhadap sudut geser dalam tanah, yaitu:
SF = SF + SF c

7.8

dimana:
SF adalah faktor keamanan sumbangan dari sudut geser dalam
SF c adalah faktor keamanan sumbangan kohesi tanah
Perhitungan dengan coba-coba dihentikan bila diperoleh SF = SF c .
Selanjutnya faktor-faktor keamanan yang dihitung tersebut diplotkan
dalam bentuk grafik versus c/H untuk kemiringan lereng tertentu
seperti pada Gambar 77.a s/d e.

r
H
tinggi lereng

Parameter tanah:
c, dan

Gambar 7.6. Lereng dengan keruntuhan lingkaran

112

1.4
1.2
H

tinggi lereng

2c
H

Data tanah:
c, dan

0.8
SF = 2.5
0.6
2.0
0.4

1.6
1.4

0.2

0.6

0
0

10

20

30

0.8

1.2

40

(derajat)
Gambar 7.7.a Faktor keamanan untuk v : h = 1 :

113

50

2c
H

1.4

1.4

1.2

1.2

2c
H

0.8
SF = 2.5

0.6

0.8
SF = 2.5

0.6

2.0

0.4

0.4
1.6

0.2

0.2
0.8

0.6

1.2 1.4

0.6

0.8 1

0
0

10

20

30

40

50

(derajat)

10

20

30

2.0
1.6
1.4
1.2
40

(derajat)

Gambar 7.7.b Faktor keamanan untuk v : h = 1 :

Gambar 7.7.c Faktor keamanan untuk v : h = 1 : 1

114

50

2c
H

1.4

1.4

1.2

1.2

2c
H

0.8
0.6

0.8
0.6

SF = 2.5

v:h = 1:1.5
0.4

0.4

0.2
0.6
0
0

0.2

2.0
1.6
1.4
1 1.2

0.8
10

20

30

1:1.5
1:2

1:2
1:3
SF=2

1:3

SF=1

0
40

50

(derajat)

10

20

30

(derajat)

Gambar 7.7.d. Faktor keamanan untuk v : h = 1 : 1.5

Gambar 7.7.e SF=1 dan SF=2


untuk v : h = 1: 1.5, 1:2 dan 1:3

115

40

50

Contoh Kasus 7.4:


Tentukan keamanan sebuah lereng dengan data-data seperti pada
Gambar K7.4, dengan anggapan terjadi kelongsoran lingkaran pada
lereng tersebut.
3m
= 1.4 t/m3
c = 0.2 kg/cm2
H=6m

= 250

Gambar K7.1. Lereng dengan kasus longsor lingkaran

Solusi:
Data lereng:
Nilai v : h

H=6m

dan B = 3m

= H : B = 6m : 4m
= 1:

Maka, untuk mengestimasi faktor keamanan dapat digunakan


Gambar 7.7.a.
Berdasarkan data tanah: c = 2 t/m2 dan = 1.4 t/m3
Nilai 2c/(H) = ( [2 x 2 t/m2] / [1.4 t/m3 . 6 m ] )

116

= 4/8.4
= 0.48
Selanjutnya adalah dengan memplot nilai 2c/(H) = 0.48 dengan
= 250 kedalam Gambar 7.7.a diperoleh:
~

SF 2.2
Dengan demikian lereng tersebut relatif aman terhadap
kelongsoran lingkaran karena memiliki nilai faktor keamanan
lebih dari 2.0
1.4
1.2
1

2c
H

0.8
SF = 2.5

0.6

0.48

2.0

0.4

1.6
0.2
0.8

0.6

0
0

10

20

25o

30

(derajat)

117

1.2 1.4
40

50

BAB VIII

ANALISIS STABILITAS LERENG


DENGAN PENGARUH AIR

8.1. Teori dasar


Teori yang dipergunakan untuk analisis kestabilan lereng
dengan pengaruh tekanan air melibatkan teori gaya apung yang
diberikan air. Tekanan air dalam tanah akan memberikan daya apung
pada massa tanah sebesar tekanan air pada kedalaman yang ditinjau.
Dalam mekanika tanah, teori ini dikenal dengan teori tekanan effektif
tanah. Besarnya tekanan effektif tanah adalah tekanan tanah
keseluruhan (total) dikurangi dengan tekanan air:
= - u
Tekanan air dalam kondisi diam (dianggap tidak mengalir) dikenal
dengan tekanan hidrostatis. Tekanan hidrostatis bekerja dalam ke segala
arah dengan besar yang sama. Air adalah material yang tidak
mempunyai tahanan geser sehingga tekanan air hanya berupa tekanan
normal. Nilai tekanan hidrostatis dibawah muka air tanah adalah
berbanding lurus dengan kedalaman muka air (h w ) tanah dan berat
satuan air ( w ).
u = w . hw

8.1

Dengan mengacu pada teori tekanan effektif, maka tekanan effektif


tanah dalam keadaan terendam air secara keseluruhan atau sebagian

118

adalah sama dengan tekanan pada bidang dikalikan dengan luas bidang
kontak dikurangi dengan tekanan air pada bidang tersebut.
Selanjutnya dengan mengacu pada teori kesetimbangan gaya-gaya, aksi
dan reaksi yang bekerja pada bidang datar tergantung dari besarnya
sudut kemiringan bidang (). Kesetimbangan gaya-gaya pada bidang
datar yang miring akan tetap terjadi sesuai dengan arah gaya terhadap
bidang datar tersebut (perhatikan gambar 8.1).
=0
N =Wtot u. L

hw

u = hw.w
L
Wtot
Gambar 8.1. Gaya normal pada bidang geser

Selanjutnya gaya-gaya yang bekerja pada bidang kontak antara benda


dengan bidang datar (bidang geser) yaitu sejajar bidang (tangensial) dan
tegak lurus bidang (normal) dapat ditentukan seperti cara sebelumnya.
Kesetimbangan gaya-gaya yang bekerja adalah:
arah tegak lurus bidang (normal):
N = WN

N = W tot cos u.L

atau

dan arah sejajar bidang (tangensial):


T = WT

T = W tot sin

atau

119

Seperti sebelumnya, tahanan geser pada bidang geser adalah sebesar


T max = N tg + c A
Selanjutnya faktor keamanan lereng adalah berbanding lurus dengan
tahanan geser dan berbanding terbalik dengan gaya yang menggeser:
SF=

Tmax

/T

8.2

8.2. Analisis Keruntuhan Bidang Datar Panjang Yang Jenuh


Pada lereng yang sangat panjang yang jenuh, keruntuhan dapat
terjadi pada permukaan lereng dengan kedalaman yang hampir seragam.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bidang runtuh yang terjadi
diasumsikan sejajar dengan permukaan lereng dengan kedalaman yang
tetap ( yaitu sama dengan D pada Gambar 8.2). Perhitungan gaya-gaya
yang bekerja per satuan lebar lereng selanjutnya dapat dilakukan
sebagai berikut:
1

D
T
W

N
Tmax

u.L
L=~

Gambar 8.2. Gaya-gaya pada longsor bidang datar - panjang

120

W tot = sat . D . 1

8.3

dimana D adalah kedalaman bidang yang longsor (lihat Gambar 6.6)


Besarnya tekanan air pori akibat tinggi muka air yang sejajar lereng
adalah:
u = w . hw

8.1

Dengan:
h w = D cos
Nilai gaya angkat akibat tekanan air pori adalah sebesar:
U apung = u.L
Dengan:
L =

/ cos

Perhitungan selanjutnya adalah sama seperti pada bidang longsor datar


sebelumnya, gaya-gaya tegak lurus dan sejajar bidang keruntuhan
adalah:
N = W tot cos

/cos

8.4

dan
T = W tot sin

8.5

Dalam persamaan diatas digunakan sudut lereng dikarenakan sudut


bidang longsor, adalah sama dengan sudut kemiringan lereng, .
Selanjutnya gaya tahanan pada bidang keruntuhan adalah:
T max = N tg + c .L

8.6

Dengan panjang bidang longsor L = 1 / (cos )

121

Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) adalah:


SF=

Tmax

/T

8.7

Contoh Kasus 8.1:


Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dengan kedalaman
D=1 m dari sebuah lereng dengan data-data seperti pada Gambar K8.1.
8m
b

c
sat = 1.6 t/m3
c = 0.2 kg/cm2
= 250

6m

= tg-1 (6/8) = 36.90

Gambar K8.1. Data pada longsor bidang datar - panjang


Solusi:
Menentukan berat massa longsoran:
W = sat . D . 1

8.3

D = kedalaman bidang yang longsor


= 1.0 m
W = 1.6 t/m3 . 1.0 m . 1 m
= 1.6 t/m

122

Gaya normal bidang keruntuhan:


N = W cos u/cos

8.4

dengan cos = 0.80


u = w . hw

dimana: h w = D = 1.0m

= 1 t/m . 1.0 m
= 1.0 t/m2
Sehingga:
1
N = 1.6 t/m . 0.80 1.0 t/m2 ( / 0.80 ) m

= 0.03 t/m
T = W sin

8.5

dengan sin = 0.60


T = 1.6 t/m . 0.60
= 0.96 t/m
Gaya tahanan pada bidang runtuh:
T max = N tg + c / cos
dengan tg = 0.466
c = 2 t/m2
1m/cos = 1 / 0.80 = 1.25 m
T max = (0.03 t/m). 0.466 + (2 t/m2) . (1.25 m)
= 0.014 t/m + 2.5 t/m
= 2.51 t/m

123

8.6

Selanjutnya Faktor Keamanan adalah:


SF =
SF =

Tmax

/T

(2.51 t/m)

8.7

/ ( 0.96 t/m)

= 2.62

Bila kedalaman longsor menjadi D =1.5 m, maka turunlah SF = 1.75.


Dan, jika kedalaman menjadi D =2.0 m, maka jadilah SF = 1.31.

124

8.3. Kasus Khusus Keruntuhan Bidang Datar - Panjang


a. Untuk lereng pasir (non-kohesif, c = 0)
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa untuk
lereng yang sangat panjang yang terbuat dari tanah non-kohesif,
keruntuhan sangat mungkin terjadi bila sudut kemiringan lereng, lebih
besar dari sudut geser dalam tanah, . Pada tanah berbutir yang sangat
halus dimana kecepatan mengalirnya air dari dalam tanah sangat lambat
(permeabilitas kecil), kelongsoran akan mudah terjadi. Kelongsoran
yang terjadi bahkan akan menyerupai aliran lumpur (mud flow). Hal ini
dapat dijelaskan dengan analisis keruntuhan lereng runtuh sebagai
berikut:

D
hw
c=0

Gambar 8.3. Lereng dari tanah non-kohesif


Berat elemen: W tot = sat . D . 1
dan :

u = w . hw

dimana: h w = D adalah kedalaman muka air dan bidang yang longsor


Lalu:
dan

N = sat . D cos u/cos


T = sat . D sin

Karena nilai c = 0, maka gaya tahanan pada bidang keruntuhan menjadi:

125

T max = N tg
= ( sat . D cos u/cos ) tg
Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) adalah:
SF=

Tmax

/T

Dengan memasukkan nilai N dan T kedalam persamaan diatas, maka:

w.hw
sat D cos
cos

SF=
sat D sin

tg

8.8a

atau dapat disederhanakan menjadi:


SF=

tg
1
tg

w.hw

sat D

cos -2

8.8b

Persamaan diatas memberikan pelajaran sebagai berikut:


1. Faktor keamanan lereng akan bernilai besar dari 1 (SF > 1) bila
sudut kemiringan lereng lebih kecil dari sudut geser dalam
tanah ( < ). Dengan kata lain, untuk memperoleh lereng dari
tanah pasir yang aman terhadap longsor baik dalam keadaan
kering maupun basah dan jenuh, maka sudut kemiringan lereng,
harus dibuat lebih kecil dari sudut geser dalam tanah, .
2. Untuk lereng dengan aliran air didalamnya (h w <D), maka perlu
diperhatikan bahwa nilai cos-2 akan selalu lebih besar dari 1.
Nilai cos-2 hanya akan bernilai 1 apabila lereng mempunyai
sudut kemiringan =0 atau datar. Dengan demikian tekanan air
akan selalu mengurangi faktor keamanan lereng. Hal ini sangat

126

membahayakan terutama untuk lereng-lereng yang terbuat dari


tanah pasir yang halus (permeabilitas rendah).
3. Apabila lereng dalam keadaan jenuh keseluruhannya, maka
nilai h w =D, dan persamaan diatas dapat disederhanakan
menjadi:
SF=

tg
1
tg

cos -2
sat

8.9

4. Apabila pada lereng jenuh sebagian dengan nilai:

w hw
cos -2 1.0

dry (D - h w ) + sat h w

8.10a

atau pada lereng jenuh seluruhnya dengan nilai:

cos -2 1.0

sat

8.10b

maka faktor keamanan akan bernilai kurang dari 0.0 yang


berarti bernilai negatif. Hal ini mempunyai arti bahwa tekanan
air lebih dominan dalam perilaku dari lereng. Dengan sifat air
yang mudah mengalir ke tempat yang bertekanan rendah, maka
lereng dengan faktor keamanan negatif akan dapat mengalir.
Peristiwa ini dikenal sebagai aliran lumpur (mud flow, debris
flow, galodo atau lahar dingin).
5. Pencegahan dari terjadinya peristiwa aliran lumpur/pasir adalah
dengan membuat drainase yang dilengkapi penyaring pada sisisisi lereng dengan kedalaman lebih besar dari kedalaman kritis
akibat kelongsoran.

127

filter/penyaring
dan pipa drain
Gambar 8.4. Drain dan filter pada lereng

Contoh Kasus 8.2:


Sebuah lereng timbunan terbuat dari pasir halus dengan data-data
seperti pada Gambar K8.2. Tentukan faktor keamanan lereng pada saat
kering dan selidiki apakah lereng akan runtuh dan mengalir dalam
keadaan jenuh air?
40 m

10 m

hw ?
= 1.3 t/m3, sat = 1.7 t/m3
= 250
= tan-1 (10/40) = 140

Gambar K8.2. Data lereng panjang dari tanah pasir


Solusi:

128

1. Faktor keamanan pada keadaan kering dapat ditentukan dengan:


SF=

tg

/tg

6.10

Berdasarkan data diatas maka:


tg = tg (250) = 0.466
tg = (10m / 40m ) = 0.25
SF =

0.466

/0.25

= 1.87
2. Pada keadaan jenuh keseluruhan maka perlu ditentukan nilai berikut:

cos -2 1.0 ?

sat
1.0 t / m 3

cos -2 14 1.0 ?

3
1.7 t / m

( 0.588) (0.97) -2 1.0 ?


keadaan jenuh: 0.625 > 1.0 tidak terpenuhi
Faktor keamanan pada saat jenuh dapat dihitung sebagai berikut:
SF=

tg
1
tg

cos -2
sat

8.9

= 1.87 (1- 0.65)


= 0.70
Nilai diatas menunjukkan bahwa timbunan tidak mengalir pada saat
jenuh keseluruhan, namun pada kondisi tidak stabil.

129

b. Untuk lereng lempung jenuh ( = 0O)


Pada lereng yang terbuat dari tanah lempung jenuh (normal, undrained),
untuk memperoleh nilai yang aman pada saat pembuatan lereng dapat
ditentukan sebagai berikut :

=0

Gambar 8.5. Lereng dari tanah kohesif jenuh


Berat elemen longsor:
W tot = sat . D . 1
Gaya pendorong pada bidang longsor:
T = W tot sin
Karena nilai = 0, maka gaya tahanan di bidang keruntuhan menjadi:
T max = c u / cos
Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) adalah:
SF=

Tmax

/T

Dengan memasukkan nilai N dan T kedalam persamaan diatas, maka:


SF=

(cu /cos )

(sat . D sin )

130

Pada kondisi yang kritis, nilai faktor keamanan SF=1, selanjutnya


persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi:
D cr =

cu

/ (

sat

sin . cos )

8.11

Persamaan diatas serupa dengan persamaan 6.11 terdahulu. Hal ini


mempunyai arti bahwa keamanan lereng dari lempung sangat
tergantung pada kondisi air. Bila dalam keadaan basah, makan nilai c
akan berkurang sedangkan nilai sat akan meningkat. Keadaan ini akan
memperkecil faktor keamanan lereng dan juga memperkecil kedalaman
kritis lereng. Hal ini membuktikan bahwa seringnya terjadi kelongsoran
pada saat hujan. Hal ini juga mempertegas tentang fenomena
keruntuhan lereng dari lempung yang terjadi akibat pengaruh cuaca
seperti dijelaskan pada bagian terdahulu.
L
H
Selanjutnya dengan mengambil nilai cos =
R dan sin =
R
serta kwadrat panjang lereng R2 = H2 + L2 , persamaan kedalaman
kritis (SF=1) diatas dapat disederhanakan menjadi:

D cr =

cu
sat

H 2 + L2
HL

8.11

atau:

H 2 + L2

<
D cr
HL
c
Keruntuhan lereng permukaan biasanya terjadi hingga kedalaman 2m
saja. Sehingga untuk membuat lereng dari tanah lempung yang stabil
dalam dalam keadaan basah (hujan), maka perlu diperhatikan kombinasi
antara tinggi lereng H dan panjang L sedemikian rupa nilainya berada
dibawah batasan berikut:

H 2 + L2
< sat ( 2m )
HL
cu

8.12

131

Contoh Kasus 8.3:


Suatu lereng dari tanah lempung dibuat dengan sudut 45 derajat (serupa
dengan kasus 6.4). Dengan menganggap penjalaran retak susut pada
tanah akibat alam mempunyai kecepatan rata-rata tetap sedalam 60 cm
per tahun. Perkirakan kapan lereng tesebut mulai mengalami masalah
saat terjadi hujan ( tinjau kestabilan dengan akibat kelongsoran datar
memanjang). Data-data lereng tersebut ditampilkan pada Gambar K8.3.
5m

5m

Lempung: = 1.7 t/m3


cu = 0.12 kg/cm2

= tan-1 (5/5) = 450 ok ?

Gambar K8.3. Data lereng lempung


Solusi:
Kedalaman kritis longsor memanjang dapat dihitung dengan:
D cr =

cu
sat

H 2 + L2
HL

8.11

Data dari kasus diatas adalah:


H=L=5m
H2 = L2 = 25 m2
c = 0.12 kg/cm2 = 1.2 t/m2
= 1.7 t/m3
Masukkan data dalam persamaan diatas:

132

D cr =

1.2
1.7

25 + 25
5 5

= 0.7 m 2
= 1.4 m
Waktu yang diperlukan untuk mencapai kedalaman kritis longsor
memanjang adalah :
Waktu =

1.4 m

/ (0.6 m/tahun)

= 2.33 tahun
Hal ini mempunyai arti bahwa bila pada awalnya lereng tersebut tidak
mengalami longsor, maka setelah tahun ke-2 mulai terjadi masalah
stabilitas pada lereng (kelongsoran) terutama pada saat terjadi hujan.
Buktikan bahwa lereng tersebut memang tidak mempunyai masalah
kestabilan pada awalnya dengan menghitung faktor keamanan lereng
menggunakan data-data diatas.

133

8.4. Analisis Keruntuhan Dengan Muka Air Tanah


Analisi stabilitas lereng dengan menggunakan metoda potongan
berlaku untuk bentuk semua bidang runtuh secara umum. Metoda ini
berlaku umum dalam berbagai keadaan dan sangat populer digunakan.
Penggunaan metoda ini lebih dianjurkan dilakukan dengan aplikasi pada
komputer. Hal ini untuk mempercepat perhitungan berulang pada
bidang-bidang runtuh yang diasumsikan, sehingga diperoleh bidang
runtuh dengan faktor keamanan terkecil.
Pembagian potongan harus dilakukan secara vertikal. Pada setiap
potongan gaya-gaya yang bekerja dianalisis dan diperhitungkan secara
komulatif, baik diakibatkan oleh berat tanah maupun oleh tekanan air.
Selanjutnya faktor keamanan dari bidang runtuh yang diasumsikan
dapat dihitung dengan membandingkan gaya-gaya yang menahan dan
meruntuhkan.
L

sat
H

T
hw

i=n

Tmax

n-1

n-2

3
i=1

Gambar 8.6. Metoda potongan umum

134

Untuk setiap potongan (lihat Gambar 6.9) berat dari elemen tanah yang
diakibatkan oleh berat sendiri tanah adalah:
W tot = L (H h w ) + sat L h w
Gaya tekan air pada bidang geser:
U = w h w A

8.13

8.14

Selanjutnya gaya normal (N) dan gaya tangensial (T) yang bekerja
untuk masing-masing potongan dihitung seperti cara sebelumnya yaitu:
N = W cos U
T = W sin

8.15
8.16

dimana: h w = adalah kedalaman muka air dan bidang yang longsor


adalah sudut kemiringan tiap-tiap potongan.
Pada setiap potongan diasumsikan mempunyai bidang runtuh datar,
maka analisis stabilitasnya dapat dilakukan dengan menghitung gayagaya yang bekerja per satuan lebar lereng. Luas bidang kontak pada
dasar potongan adalah:
A = L / cos

8.17

Gaya tahanan pada bidang runtuh adalah:


T max = c A + N tg

8.18

Selanjutnya tentukan Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) dengan


membandingkan nilai keseluruhan T max dengan jumlah nilai T berikut:
SF=

Tmax

/ T

8.19

135

Dengan memasukkan nilai gaya geser dan gaya normal kedalam


persamaan faktor keamanan, selanjutnya dapat dituliskan menjadi:
n

(c
SF =

i =1

A i + [Wi cos i - U i ] tan i )


8.20

W sin
i =1

i ditentukan dari gambar atau dihitung secara numerik.


Analisis keamanan lereng diatas merupakan metoda umum yang dapat
digunakan untuk berbagai bentuk bidang longsor. Metoda tersebut juga
dapat digunakan untuk kasus lereng dengan keberadaan aliran air tanah
didalamnya maupun yang tidak.
Sebagai gambaran untuk lereng dengan keruntuhan datar, maka perlu
dilakukan pembagian lereng untuk keperluan analisis seperti
ditampilkan pada Gambar 8.7. berikut:

b
3

2
1

L1

Gambar 8.7. Lereng dengan aliran air: keruntuhan datar

136

Contoh Kasus 8.4:


Sebuah lereng dengan ketinggian 6m dan dengan aliran air didalamnya
pada ketinggian dari tinggi lereng. Tentukan faktor keamanan (SF)
pada bidang longsor dari sebuah lereng dengan seperti pada Gambar
K8.4. Data-data lereng tercantum dalam gambar tersebut.
3m

5m

= 1.4 t/m3
c = 0.2 kg/cm2
H=6m

= 250
sat = 1.7 t/m3

Gambar K8.4. Data lereng dengan bidang longsor

137

Solusi:
Untuk melakukan analisis dengan metoda potongan, maka harus dibuat
data geometrik dengan skala yang baik dari masing-masing potongan
pada bidang longsor seperti pada Gambar K.8.4.a. Data kekuatan tanah
diambil sama untuk keadaan jenuh dan tidak jenuh.

1.5 m

1.5 m

1.5 m

1.5 m

2.0 m

5
4

590

3
6.0 m
2

390
260

1
0

180

Skala : 1 m =

Gambar K8.4.a. Data gometrik tiap potongan


Perhitungan selanjutnya dicantumkan dalam tabel dengan menggunakan
persamaan-persamaan berikut:
W tot = L (H h w ) + sat L h w
U = w h w A
A = L / cos

138

8.13
8.14
8.17

Data tanah:
= 1.4 t/m3, sat = 1.7 t/m3, c = 2 t/m2 dan = 250.
Faktor Keamanan (Safety Factor = SF)
n

(c
SF =

i =1

A i + [Wi cos i - U i ] tan i )


8.20

W sin
i =1

atau
SF=

Tmax

/ T

8.19

Selanjutnya perhitungan ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai


berikut:
i
1
2
3
4
n=5

(o)
7
18
26
39
59

L
(m)
1.5
1.5
1.5
1.5
2.0

H
(m)
1.4
4.1
4.9
3.9
1.7

h w
(m)
1.4
2.6
1.9
0.9
0.0

W
(ton)
3.59
9.71
11.18
8.69
4.66

U
(ton)
1.4
2.6
1.9
0.9
0.0

N
(ton)
2.16
6.66
8.11
5.81
2.40
T=

T
(ton)
0.44
3.00
4.90
5.47
3.99
17.80

A
(m)
1.51
1.58
1.67
1.93
3.88
T max =

T max
(ton)
4.03
6.26
7.12
6.57
8.89
32.87

Selanjutnya nilai faktor keamanan adalah:


SF =

32.87

/17.80

= 1.85
Bila diperhatikan soal sebelumnya (Bab 6, Kasus 6.5), maka dapat
dilihat bahwa faktor keamanan lereng yang sama akan turun
dikarenakan adanya aliran air dalam lereng tersebut.

139

Contoh Kasus 8.5:


Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dari lereng dengan
seperti pada Gambar K8.5.
3m

5m
c

b
= 1.4 t/m3
c = 0.2 kg/cm2
= 250

H=6m

sat = 1.7 t/m3

L = 10m

h = 3.0 m

Gambar K8.5. Data lereng dengan bidang longsor datar


Solusi:
Kasus ini serupa dengan kasus sebelumnya, namun dengan bidang
longsor datar. Perhitungan selanjutnya dicantumkan dalam tabel dengan
menggunakan persamaan-persamaan berikut:
W tot = L (H h w ) + sat L h w
U = w h w A
A = L / cos
Data tanah:
= 1.4 t/m3, sat = 1.7 t/m3, c = 2 t/m2 dan = 250.

140

8.13
8.14
8.17

Faktor Keamanan (Safety Factor = SF)


SF=

Tmax

/ T

8.19

Kemiringan bidang longsor lereng adalah sama yaitu sebesar:


= tg-1 (6m/10m)
= 370
Selanjutnya perhitungan ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai
berikut:
i
1
2
3
4
n=5

L
(m)
1.5
1.5
1.0
2.0
2

H
(m)
0.9
2.8
3.4
2.3
0.8

h w
(m)
0.9
1.3
0.4
0.0
0.0

W
(ton)
2.39
6.50
4.84
6.30
2.10

U
(ton)
0.9
1.3
0.4
0.0
0.0

N
(ton)
0.98
3.89
3.50
5.04
1.68
T=

T
(ton)
1.43
3.90
2.90
3.78
1.26
13.28

A
(m)
1.88
1.88
1.25
2.50
2.50
T max =

T max
(ton)
4.20
5.56
4.13
7.35
5.78
27.03

Selanjutnya nilai faktor keamanan adalah:


SF =

27.03

/13.28

= 2.04
Bila diperhatikan soal sebelumnya (Bab 6, Kasus 6.1), maka dapat
dilihat bahwa faktor keamanan lereng yang sama juga akan turun
dikarenakan adanya aliran air dalam lereng tersebut.
Perhatikan dari Kasus 8.4 dan 8.5, bahwa keduanya memiliki data yang
sama tetapi untuk mempernudah perhitungan, pengambilan potongan
vertikal dilakukan sedikit berbeda.

141

BAB IX

PERKUATAN LERENG

9.1. Prinsip Dasar Penanggulangan Longsor


Pada suatu lereng bekerja gaya-gaya yang terdiri dari gaya
pendorong dan gaya penahan. Gaya pendorong adalah gaya tangensial
dari berat massa tanah, sedangkan gaya penahan adalah tahanan geser
tanah. Suatu lereng akan longsor bila keseimbangan gaya-gaya yang
bekerja padanya terganggu. Kelongsoran terjadi bila gaya pendorong
melampaui gaya penahan. Oleh karena itu prinsip penanggulangan
longsoran adalah mengurangi gaya pendorong dan/atau menambah gaya
penahan.
Penanggulangan terjadinya longsoran sangat tergantung pada tipe dan
sifat longsoran, kondisi geometri dan geologi serta keadaan lapangan
secara keseluruhan. Jenis longsoran yang tidak sederhana/kompleks,
memerlukan penanggulangan yang melibatkan analisis yang lebih teliti
berdasarkan data yang lebih lengkap.
Cara penanggulangan longsoran dengan mengurangi gaya pendorong
dapat dilakukan antara lain dengan melakukan pemotongan dan
pengendalian air permukaan. Sedangkan penanggulangan dengan cara
menambah gaya penahan antara lain dilakukan dengan pengendalian air
rembesan, penambatan penimbunan pada kaki lereng atau pemasangan
perkuatan pada badan lereng.
Dari sejumlah metoda perkuatan lereng yang ada, terdapat beberapa
diantaranya lebih mudah dilakukan dan lebih murah dibanding yang
lain. Sebagai contoh penambatan lereng dengan dinding beton dapat

142

lebih mahal dibandingkan dengan perubahan geometri lereng. Namun


metoda perkuatan lereng yang paling cocok tetap harus kaji dan
disesuaikan dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Selain kemudahan dan biaya, harus pula diperhatikan segi keindahan
dalam pencegahan kelongsoran. Sebagai contoh, pencegahan
kelongsoran dengan mengendalikan air permukaan dengan cara
penanaman rumput pada lereng (cara vegetasi), akan lebih memberikan
pemandangan yang relatif lebih baik dibanding dengan penutupan
menggunakan bahan pabrikan (geosintetik).
Secara garis besar, metoda perkuatan lereng dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian. Pertama adalah perkuatan lereng dengan tidak
membangun sesuatu pada lereng (tanpa penambatan). Kelompok
pertama adalah tindakan perkuatan lereng dengan cara mengendalikan
faktor-faktor yang dapat melemahkan lereng. Kelompok yang kedua
adalah perkuatan lereng dengan membuat suatu penambat pada lereng.
Pada kelompok ini, kekuatan lereng ditingkatkan dengan menambahkan
bangunan geoteknik pada lereng tersebut.
9.2. Pengendalian kekuatan lereng
a. Pengaturan Geometri Lereng
Umumnya lereng alam menunjukkan kemantapan dalam jangka
panjang bila tidak diganggu. Tetapi akibat adanya gangguan manusia,
maka kemantapan lereng akan terganggu lebih cepat. Untuk itu perlu
dilakukan perubahan geometri lereng sesuai dengan keperluan
peradaban manusia. Namun harus diperhatikan parameter geoteknik
dari lereng yang akan diganggu sehingga perubahan geometri lereng
tetap mempunyai nilai keamanan sama atau lebih besar dari keadaan
sebelumnya.
Mengubah geometri lereng dapat dilakukan dengan cara pemotongan
dan penimbunan pada ujung kaki lereng. Metoda penanggulangan
kelongsoran ini mempunyai prinsip mengurangi gaya dorong dari massa
tanah yang longsor dan menambah gaya penahan dengan cara

143

penimbunan pada ujung kaki lereng, sehingga faktor keamanan lereng


dapat bertambah.
Metoda ini umumnya dilakukan untuk tipe longsoran rotasi (lingkaran).
Keuntungan utama dari metoda ini dapat merupakan penanggulangan
permanen sesuai dengan besarnya nilai faktor keamanan yang diperoleh
dari hasil perubahan geometri. Namun demikian tindakan ini sebaiknya
dikombinasikan dengan tindakan lainnya untuk tetap menjaga
kestabilan lereng.

Gambar 9.1. Perubahan geometri lereng

b. Mengendalikan Air Permukaan


Air permukaan merupakan salah satu faktor yang mengurangi
kemantapan lereng. Pengaruh air yang mengurangi keamanan pada
lereng antara lain adalah peningkatan gaya dorong dan peningkatan
tekanan air pori. Genangan air permukaan juga akan menimbulkan
kejenuhan, sehingga massa tanah akan menjadi lembek. Kondisi ini
pada tanah lempung umumnya dapat menurunkan nilai kohesi tanah.
Selain itu, penjenuhan tanah akan menambah berat/massa dari
longsoran.

144

Disamping mempengaruhi faktor dalam dari lereng, aliran air


permukaan dapat juga menimbulkan erosi sehingga akan mengganggu
kemantapan lereng yang ada. Perhatikan kembali mekanisme terjadinya
kelongsoran permukaan pada lereng dari tanah lempung pada bagian
terdahulu. Oleh karena itu air permukaan perlu dikendalikan untuk
mencegah masuknya atau mengurangi rembesan air permukaan ke
dalam lereng.
Mengendalikan air permukaan dapat dilakukan dengan cara menanam
tumbuhan, menata saluran pada permukaan lereng dan memperbaiki
permukaan lereng. Dengan cara diatas maka dapat dilakukan
pengendalian air permukaan sehingga air tidak tergenang dan mengalir
dengan kecepatan yang tidak menimbulkan terjadinya erosi.
Untuk mengendalikan air dan juga melindungi permukaan lereng dapat
digunakan beton tembak (shotcrete). Namun dalam penggunaanya perlu
diperhatikan pula aliran air yang harus keluar dari dalam lapisan tanah
pada lereng. Untuk itu perlu dibuatkan saluran-saluran (lubang-lubang)
pada permukaan shotcrete (filter dan drain) untuk mengendalikan air
rembesan.

Gambar 9.2. Pengendalian air permukaan

145

c. Mengendalikan Air Rembesan


Maksud dari mengendalikan air rembesan (drainase bawah
permukaan) adalah untuk menurunkan muka air tanah di daerah
longsoran. Dalam memilih cara yang tepat perlu dipertimbangkan jenis
dan letak muka air tanah. Usaha mengeringkan dan atau menurunkan
muka air tanah dalam lereng dengan mengendalikan air rembesan
umumnya cukup sulit dan memerlukan penyelidikan yang cermat.
Metoda pengendalian air rembesan yang sering digunakan adalah sumur
dalam serta drainase tegak atau mendatar.

pipa drain

Gambar 9.3. Pengendalian air rembesan

Untuk jenis tanah yang sangat reaktif terhadap air (kembang susut,
lempung lunak, pasir sangat halus dan lanau) maka kondisi kadar air
dan muka air tanah dibelakang dinding sebaiknya dijaga konstan. Aliran
air keluar-masuk tanah pada tanah lanau dan pasir halus, dapat
membawa butiran-butiran tanah sehingga dapat menimbulkan ronggarongga dan saluran-saluran kecil (buluh). Keadaan ini akan menjadi titik
awal timbulnya ketidak-stabilan pada tanah dibelakang dinding. Bila hal
ini terjadi, maka dukungan tanah dibelakang dinding akan berkurang.
Hilangnya dukungan dinding ini akan menurunkan tahanan pasif tanah
sehingga dinding akan runtuh kearah timbunan itu sendiri.

146

Pada kasus-kasus tanah yang mudah tererosi oleh aliran air, maka
penggunaan filter pada draenase di sistem dinding penahan tanah sangat
dianjurkan. Tindakan penggunaan filter ini harus juga dilakukan dengan
pertimbangan teknis dan biaya. Pada gambar 9.4 diberikan beberapa
contoh pemasangan drain dan filter dibelakang dinding.

a. Dinding kedap air

b. Dinding tidak kedap air

Gambar 9.4. Pemasangan filter pada drainase

9.3. Penambatan dan Tindakan Lain


Penambatan merupakan cara penanggulangan yang bersifat
mengikat atau menahan massa tanah yang bergerak. Penambatan
dilakukan dengan menambahkan (membuat) suatu konstruksi tertentu
yang sifatnya tetap. Jenis konstruksi yang dibuat harus disesuaikan
dengan tujuan dari penambatan. Sedangkan tindakan lain dilakukan bila
penanggulangan dengan cara mengubah geometri lereng,
mengendalikan air dan penambatan tidak dapat diterapkan. Contoh
tindakan lain adalah grouting, nailling dan coverring menggunakan
bahan geosintetik.

147

Cara penambatan untuk penanggulangan kelongsoran dapat dibagi


menjadi 2 (dua) jenis berdasarkan material yang bergerak, yaitu
penambatan untuk tanah dan untuk batuan.
a. Penambatan tanah
Penambatan tanah umumnya dilakukan dengan membuat
bangunan penahan. Fungsi dari bangunan penahan adalah untuk
mencegah massa tanah yang terindikasi longsor agar tidak bergerak.
Secara mekanika, penambatan ini bekerja sebagai gaya penahan dan
juga dapat meningkatkan tahanan geser.
Bangunan penahan tanah yang sering dibuat sebagai penambat terdiri
dari beberapa macam antara lain bronjong, tembok penahan (gaya berat,
semi gravitasi atau beton), sumuran, tiang (pancang, bor, turap baja),
tanah bertulang dan dinding penopang isian batu. Bangunan penahan
tersebut umumnya hanya digunakan untuk penggulangan kelongsoran
tanah dan jarang digunakan untuk menahan aliran (mud flow).
Jenis konstruksi yang digunakan untuk menahan aliran tanah biasanya
direncanakan dalam dua fungsi yaitu untuk menahan material padat dan
meloloskan material cair. Ukuran material yang ditahan berbeda-beda
tergantung pada sumber asal dari aliran tanah. Tambatan jenis aliran ini
dipelajari khusus dengan sebutan teknologi sabo.

Gambar 9.5. Bangunan penahan tanah

148

b. Penambatan batuan
Penambatan batuan berfungsi sebagai penahan atau pengikat
massa batuan yang akan bergerak terhadap massa batuan mantap. Tipe
gerakan pada batuan terdiri dari tipe runtuhan dan penjungkiran yang
bergerak melalui bidang lemahnya seperti kekar dan bidang pelapisan.
Tipe gerakan jenis ini dapat ditanggulangi dengan tumpuan beton, baut
batuan, pengikat beton, jangkar kabel (pengangkeran batu), jala kawat,
tembok penahan, beton semprot dan dinding tipis.

a. Gorden/jala kawat

c. Jangkar lereng batuan

b. Dinding penahan batu

d. Penutupan dengan beton semprot

Gambar 9.6. Beberapa contoh penambatan batu

149

9.4. Teori Tekanan tanah lateral


Dalam menganalisis stabilitas penahan tanah, sangat diperlukan
perhitungan gaya-gaya yang diakibatkan oleh tekanan tanah. Tekanan
tanah yang bekerja ditentukan berdasarkan teori tekanan tanah lateral.
Teori ini telah berkembang melalui berbagai pengujian sejak mula-mula
para insinyur mengembangkan teori mekanika tanah (Misal: Terzaghi,
1934). Perkembangan penelitian tekanan tanah lateral juga dilakukan
beberapa puluh tahun kemudian (Misal: Janbu, 1957 dan Rosenfarb and
Chen, 1972) Namun teori tekanan tanah lateral yang didasarkan pada
lingkaran Morh dikembangkan lebih awal (Coulomb, 1776 dan Rankine
1857) tetap menjadi patokan.
Tekanan tanah lateral yang disebabkan oleh berat sendiri tanah dapat
dibagi dalam beberapa jenis sesuai dengan keadaan pergerakan material
tanah relatif terhadap dinding disebelahnya. Untuk memperkirakan
stabilitas dinding penahan tanah, gaya utama yang bekerja adalah
tekanan tanah lateral yang bekerja dibelakang dinding (terutama
kantilever, dinding grafitasi dan bronjong), karena fungsi utama dari
struktur penahan tanah adalah menahan gaya ini. Teori tentang
perhitungan tekanan lateral tanah akibat berat sendiri mulanya
dikembangkan oleh Coulomb. Selanjutnya Rankine mengusulkan
prosedur perhitungan yang lebih sederhana berdasarkan pengamatannya
di laboratorium. Metoda Rankine telah luas digunakan dan terdapat
hampir di semua buku referensi mekanika tanah yang membahas
tentang tekanan tanah lateral. Metoda Rankine yang sederhana dan
mudah dipahami ini digunakan dalam analisis stabilitas dinding
penahan tanah pada bagian berikut.

a. Tekanan tanah diam /at rest ( o )


Tekanan tanah diam adalah tekanan tanah lateral pada kondisi
tanah tidak bergerak. Tekanan tanah ini mempunyai banyak peran
dalam aplikasinya diantaranya adalah:
- Perhitungan kekuatan dinding penahan tanah dan sheet-pile.
Karena tekanan dalam keadaan diam lebih besar dari tekanan

150

aktif, maka lebih aman apabila kekuatan struktur penahan tanah


dihitung berdasarkan tekanan tanah dalam kondisi diam.
- Analisis daya dukung sisi (skin friction) pada pondasi tiang.
- Penentuan tekanan cell pada pengujian triaksial. Untuk
menggambarkan tekanan sesuai dengan yang ada dilapangan,
sebaiknya pemberian tekanan cell triaksial berada di sekitar (dan
lebih besar) tekanan diam sesuai dengan kedalaman sampel
tersebut diambil.
Suatu elemen tanah yang terletak pada kedalaman z akan mengalami
tekanan arah vertikal v dan tekanan arah horizontal diam o ,
(sementara tegangan geser pada bidang vertikal dan bidang horizontal
diabaikan). Dalam keadaan diam, yaitu tidak ada pergerakan butiran
tanah dari posisi awalnya, maka masa tanah akan berada dalam keadaan
keseimbangan elastis (elastic equilibrium). Perbandingan tekanan tanah
horizontal dan tekanan tanah vertikal dinamakan koefisien tekanan
tanah diam (coefficient of earth pressure at rest), K o yaitu :
K o = o / v

9.1

Dengan memasukkan nilai tekanan akibat berat sendiri tanah (dengan


berat satuan, ) pada kedalaman z sebesar v = z , maka tekanan
tanah lateral pada kondisi diam adalah :
o = z K o

9.2

Berdasarkan teori elastis, koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam


dapat dituliskan sebagai fungsi dari Poissons ratio ():

Ko =

9.3

151

Untuk tanah berbutir dan tanah lempung dalam keadaan terkonsolidasi


normal (NC Clay), koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam dapat
diwakili oleh hubungan empiris yaitu:

9.4

Ko = 1 - sin

Gambar 9.7. Tekanan tanah diam

b. Tekanan tanah pasif ( p )


Tekanan tanah pasif adalah tekanan tanah lateral pada kondisi
tanah bergerak akibat terdorong oleh gaya luar. Hal ini terjadi pada
tanah di bawah dan di sisi pondasi telapak atau di belakang dinding
penahan tanah yang rebah kearah timbunan dibelakangnya.
Dengan memperhatikan Gambar 9.8, maka pada elemen tanah di
kedalaman z, tekanan vertikal pada elemen tanah sama dengan v = z
dan tekanan tanah horizontal pada tanah di kedalaman tersebut adalah
sebesar:

p = ( z ) tan2 (45 + / 2 ) + 2c tan (45 + / 2 )

152

9.5

dengan mengambil nilai koefisien tekanan tanah pasif, Kp sebagai:

K p = tan2 ( 45 +

/2 )

9.6

maka tekanan tanah lateral pasif adalah:

p = v K p + 2c

Kp

9.7

Untuk menentukan resultan gaya akibat tekanan tanah pasif, dapat


dijelaskan sebagai berikut. Pada permukaan timbunan dibelakang
dinding dari tanah yang kohesif, kedalaman z = 0, dengan tekanan
akibat berat sendiri tanah v = 0, nilai tersebut memberikan harga
tekanan pasif sebesar:
p = 2c

Kp .

Sementara pada kedalaman z = H, tekanan tanah akibat berat sendiri


adalah v = H. Nilai tersebut memberikan harga tekanan tanah pasif
sebesar:
p = H K p + 2c K p
Gaya resultan akibat tekanan pasif (gaya tekan pasif) adalah luas dari
diagram tegangan seperti terplot pada Gambar 9.8, sebesar:
P p = P p, + P p,c
dengan
P p, = H2 K p
P p,c = 2c H K p

9.8
9.8a
9.8b

153

Gaya tekan P p, bekerja pada kedalaman z p , = 2/ 3 H dari muka


timbunan, dan gaya P p,c bekerja pada kedalaman z p,c = H dari muka
timbunan.
Untuk tanah non-kohesif (c = 0), tekanan tanah lateral pasif dapat
ditulis sebagai:
p = v K p
sehingga, resultan gaya tekan pasif yang bekerja pada dinding hingga
kedalaman z=H hanya disumbangkan oleh berat tanah sendiri yaitu:
P p = 1 H2 K p

9.8a

parameter tanah:
, c,

/3 H

H
Pp,

H Kp

2c K p

Gambar 9.8. Tekanan tanah pasif

154

c. Tekanan tanah aktif ( a )


Jika dinding terdorong keluar akibat tekanan tanah
dibelakangnya, maka akan terjadi kondisi tekanan tanah aktif. Besarnya
tekanan tanah tersebut menurut Rankine dapat ditentukan sebagai
berikut:
a = ( z ) tan2 (45 - /2) - 2c tan (45 - /2)

9.9

dengan mengambil nilai koefisien tekanan tanah aktif, Ka sebagai:

K a = tan2 ( 45 -

/2 )

9.10

maka tekanan tanah lateral aktif adalah:

a = v K a - 2c K a

9.11

Seperti pada tekanan tanah pasif, untuk menentukan resultan gaya


akibat tekanan tanah aktif, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada
permukaan timbunan dibelakang dinding dari tanah yang berkohesif,
kedalaman z = 0, dengan tekanan akibat berat sendiri tanah v = 0, nilai
tersebut memberikan harga tekanan aktif sebesar:

a = - 2c K a
Sementara pada kedalaman z = H, tekanan berat sendiri tanah
memberikan harga tekanan tanah aktif:

a = H K a - 2c K a
Gaya resultan akibat tekanan aktif (gaya tekan aktif) adalah luas dari
diagram tegangan aktif seperti dapat dilihat pada Gambar 9.9, sebesar:
P a = P a, + P a,c
dengan
P a, = H2 K a

9.12
9.12a

P a,c = - 2c H K a

9.12b

155

Gaya tekan P a, bekerja pada kedalaman z p , = 2/ 3 H dari muka


timbunan, sedangkan garis kerja gaya P a,c berada pada kedalaman z a,c =
H dari muka timbunan dengan arah berlawanan dengan gaya P a, .
Arah kerja yang berlawanan ini mempunyai arti bahwa tekanan tanah
aktif pada tanah yang berkohesi akan berkurang akibat tarik-menarik
antar partikel tanah itu sendiri.
Untuk tanah non-kohesif (c = 0), resultan gaya tekan aktif yang bekerja
dibelakang dinding hingga kedalaman z =H hanya disumbangkan oleh
berat tanah sendiri yaitu:
P a, = H2 K a

9.12a

H
2

/3 H

parameter tanah:
, c,

Pa,c

Pa,

H Kp

2c K a

Gambar 9.9. Tekanan tanah pasif

156

Arah kerja yang berlawanan dari tekanan tanah aktif akibat berat sendiri
P a, dan P a,c menunjukkan bahwa tekanan tanah aktif pada tanah yang
berkohesi pada kedalaman tertentu terdapat nilai resultan gaya akibat
tegangan yang sama dengan nol. Kedalaman tersebut disebut dengan
kedalaman kritis, H c . Kedalaman kritis mempunyai arti bahwa pada
tanah berkohesi, akan mempunyai keamanan kritis (=1) bila dilakukan
penggalian hingga kedalaman tersebut. Nilai H c dapat ditentukan pada
kedalaman dimana P a, dan P a,c mempunyai nilai yang sama (perhatikan
Gambar 9.10) sehingga memberikan nilai:

Hc =

4c

9.13

Ka

Ht
Ht Ka = 2c Ka

Hc
Pa,

Pa,c

parameter tanah: , c,
Gambar 9.10. Kedalaman retakan dan penggalian kritis

157

Selain itu, akibat dari tarik-menarik material kohesif tersebut, dapat


memungkinkan terjadi retakan pada tanah hingga kedalaman H t . Nilai
tersebut dapat ditentukan pada nilai tekanan a, dan a,c yang sama,
sehingga menghasilkan besaran setengah dari kedalaman retakan
tersebut (Ht = Hc).

Ht = Hc =

2c
Ka

9.14

/3 H

Pa

H Ka - 2c Ka
Penyederhanaan

H Ka - 2c Ka

H Ka

2c

Tekanan aktif

Gambar 9.11. Penyederhanaan tekanan tanah aktif tanah kohesif

158

Kombinasi tekanan aktif akibat berat sendiri dan kohesi tanah


memberikan diagram tegangan yang negatif. Untuk keperluan
perhitungan praktis perhitungan gaya aktif dapat ditentukan dengan
mengabaikan tekanan negatif dari tanah. Sehingga gaya tekan aktif pada
timbunan yang homogen akan bekerja pada kedalaman z = 2/ 3 H dengan
resultan gaya sebesar (perhatikan Gambar 9.11 ):

P a, =

1
H ( H K a - 2c
2

Ka )

9.15

9.5. Analisis Stabilitas Dinding Penahan tanah


Dinding-dinding penahan tanah yang dibuat untuk mencegah
terjadinya kelongsoran harus dibuat dalam keadaan stabil. Kestabilan
sistem dinding penahan tanah ditentukan dengan nilai faktor keamanan.
Faktor keamanan merupakan perbandingan dari gaya-gaya penahan
dengan gaya-gaya mendorong:

SF =

Gaya gaya..penahan....
Gaya gaya..pendorong

9.16

Dalam mekanika tanah, keamanan dinding penahan tanah ditinjau


terhadap hal-hal utama yaitu:
Stabilitas eksternal, meliputi:
- Keamanan terhadap guling
- Keamanan terhadap geser
- Daya dukung pondasi
- Keruntuhan keseluruhan
Stabilitas internal, yaitu peninjauan terhadap kekuatan dari struktur
dinding penahan tanah. Stabilitas internal ini akan dibahas dalam
perencanaan dinding penahan tanah pada bab berikut.

159

Nilai faktor keamanan lebih satu secara teori dapat dinyatakan aman
(melebihi kritis) namun dalam prakteknya angka keamanan minimum
yang digunakan dalam perencanaan dinding penahan tanah adalah 1,2
hingga 1,5 untuk keamanan terhadap geser, guling dan keruntuhan
keseluruhan. Sedangkan angka keamanan 2 sampai 5 digunakan untuk
daya dukung.
Penetapan nilai angka keamanan yang dicapai sangat tergantung pada
keyakinan penganalisis. Hal ini juga sangat terkait dengan data-data
yang dipergunakan dalam analisis stabilitas. Apabila data-data yang
dipergunakan lengkap sesuai dengan prosedur mulai dari
pengidentifikasian masalah, pengukuran, penyelidikan tanah dan
lainnya sesuai dengan acuan perencanaan (code) lengkap, maka dapat
diambil angka terendah (1,2 untuk kondisi statis). Sebaliknya apabila
data-data yang diperoleh terbatas, maka angka keamanan yang tinggi
menjadi pilihan yang menenangkan perencana.
Hal lain yang juga terkait dengan factor keamanan adalah pengalaman
dan metoda analisis yang digunakan. Dalam hal pengalaman, terkait
baik dengan pengalaman perencana maupun pengalaman dari kondisi
alam yang berhubungan dengan lereng yang sedang dianalisis.
Sedangkan apabila metoda analisis yang digunakan sesuai dan telah
mempertimbangkan sejumlah aspek stabilitas, maka keyakinan akan
hasil analisis menjadi meningkat dan menurunkan angka keamanan
minimum yang akan diambil.
Gaya-gaya penahan dan pendorong yang bekerja dalam sistem penahan
tanah meliputi gaya lateral aktif dan pasif, gaya berat dan gaya geser.
Secara umum analisis stabilitas dinding penahan tanah adalah sama,
namun dengan perbedaan bentuk dari masing-masing dinding, maka
gaya-gaya yang ditimbulkan dan bekerja pada masing-masing dinding
sedikit berbeda. Pembahasan tentang gaya-gaya yang bekerja serta
analisis stabilitas masing-masing dinding panahan tanah akan
dijabarkan bagian berikut.

160

a. Dinding graviti (Gravity walls)


Dinding graviti adalah kelompok dinding penahan tanah yang
sangat sering digunakan untuk menahan tanah agar tidak longsor.
Dinding penahan tanah ini sangat populer di Indonesia ini disebabkan
oleh kemudahan dalam pengerjaan dinding tersebut. Beberapa jenis
penahan tanah yang dapat digolongkan dalam tipe gravity wall antara
lain adalah:
- Dinding pasangan batu
- Dinding beton pejal
- Dinding beton bertulang
- Pasangan batu kawat (bronjong/gabion)

Gambar 9.12. Beberapa jenis gravity wall


Gravity wall bekerja dalam menahan tanah dibelakangnya dengan
memanfaatkan beratnya. Dengan demikian, semakin berat struktur
dinding panahan yang digunakan, semakin besar pula tahanannya.

161

Namun demikian dimensi/geometri/bentuk dinding harus juga


diperhatikan sehingga memberikan bentuk geometri yang terbaik dalam
menahan tanah dibelakangnya.

Pa

W
MT
MT

T
qmin

..
MR

Pp
MO

qmax
Gambar 9.13. Gaya-gaya pada gravity wall
Dengan memperhatikan gaya-gaya yang bekerja pada sebuah dinding
penahan tanah seperti pada Gambar 9.13, nilai faktor keamanan gravity
wall dapat ditentukan sebagai berikut:
Keamanan terhadap guling:

SF =

MR
MO

9.16a

Keamanan terhadap geser:

SF =

T + Pp

9.16b

Pa

162

Keamanan terhadap daya dukung:

SF =

q ult
dan q min > 0.0
q max

9.16c

Gaya-gaya yang berkerja diperoleh dengan metoda mekanika biasa


(seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya). Sebagai contoh
tahanan geser dapat dihitung dengan persamaan:
T max = W tot tg + c B

9.17

Tegangan maksimum dan minimum tanah dapat dihitung menggunakan


persamaan berikut (pelajari lebih lanjut dalam Hakam, 2009):

q max =

Wtot
M
+ 1 T2
B
/6 B

9.18a

q min =

Wtot
M
1 T2
B
/6 B

9.18b

dan

Dimana B =lebar dasar dinding.


W tot =gaya normal pada dasar pondasi dinding. Gaya normal
W tot ini merupakan berat total dinding ditambah dengan
berat tanah diatas tapak dinding (untuk dinding cantilever).
M T = momen yang bekerja ditengah dasar dinding
M R = momen penahan guling diujung (tumit) dinding
M O = momen pengguling diujung (tumit) dinding
c dan merupakan parameter geser tanah (kohesi dan sudut
geser tanah) yang berada dibawah pondasi dasar dinding.

163

Sedangkan daya dukung tanah dapat dihitung dengan persamaan


q u = cN c (s c d c i c ) + q N q (s q d q i q ) + B N (
s d i )

dengan

9.19

N c , N q , N adalah faktor kapasitas daya dukung Meyerhof


(1965) tanpa satuan (non-dimensional) yang didapatkan
hanya dari nilai sudut geser dalam tanah,
s c , d c , i c , s q , d q , i q , s , d , i adalah faktor-faktor bentuk,
kedalaman dan kemiringan beban seperti Tabel 9.1.

Tabel 9.1 . Faktor bentuk (s=shape), kedalaman (d=depth) dan sudut


beban (i=inclination) untuk rumus daya dukung Meyerhof
Faktor
sc
sq = s
dc
dq = d
ic = iq

Nilai
semua nilai
>10
=0
semua nilai
>10
=0

Rumus
s c = 1 + 0.2 K p (B/L)
s q = s = 1 + 0.1 K p (B/L)
sq = s = 1
d c = 1 + 0.2 (K p )0.5 (D/B)
d q = d = 1 + 0.1 (K p )0.5 (D/B)
dq = d = 1

semua nilai

o
i c = i q = 1 o
90

>0

o
i = 1 o

=0

i = 0

Nilai K p yang digunakan Meyerhof adalah nilai dari Rankine:

164


K p = tan 2 +
4 2
Nilai faktor kapasitas daya dukung N c , N q , N dari Meyerhof
selanjutnya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan-persamaan
berikut:
N c = [ N q 1 ] cot

Nq = e

tan

9.20a

Kp

9.20b

N = [ N q 1 ] tan(1.4 )

9.20c

D
L

Gambar 9.14. Parameter tanah


untuk perhitungan daya dukung pondasi

Prosedur perhitungan gaya-gaya yang bekerja pada dinding penahan


tipe gravity wall, akan dijelaskan secara langsung dengan
mempergunakan contoh perhitungan.

165

Kasus 9.1
Sebuah dinding dari pasangan batu kali dibuat dengan tujuan untuk
menahan tanah timbunan seperti terlihat pada Gambar K9.1. Tentukan
nilai stabilitas dinding tersebut terhadap guling dan geser.

0.5m 1.5m

Tanah timbunan pasir:


= 30o, = 1.5 t/m3
3m

Tanah dasar/asli:
c= 0.1 kg/cm2, = 25o, = 1.5 t/m3
Gambar K9.1. Dinding graviti batu kali
Solusi
Data:
-

timbunan : = 1.5 t/m3


= 30o
tanah asli : = 1.5 t/m3
c = 1 t/m2
= 25o
dinding : = 2.2 t/m3 (berat satuan pasangan batu)
Tinggi , H = 3.0m
Tebal atas, B 1 = 0.5m
Tebal dasar, B 2 = 1.5m
Lebar, B = 0.5m+1.5m = 2.0m

166

Untuk melakukan perhitungan stabilitas, maka gaya-gaya yang bekerja


pada dinding harus ditentukan terlebih dahulu. Gaya-gaya yang bekerja
dan garis kerjanya (jarak-jarak) dapat digambarkan seperti terlihat pada
Gambar K9.1.a.

x1
x2
Pa
ya

W1

titik
guling

W2
T

Gambar K9.1.a. Gaya-gaya kerja pada dinding


Gaya-gaya yang bekerja pada dinding dihitung sebagai berikut:
1. Gaya tekanan aktif tanah timbunan, P a :
Untuk tanah pasir (non-kohesif, c = 0), resultan gaya tekan aktif
hingga kedalaman z =H akibat berat tanah sendiri adalah:
P a, = H2 K a

9.12a

dengan K a = tan2 ( 45 Pa

/2 )

= (1.5 t.m2) (3.0m)2 [(tan2 ( 45 = (1.5 t.m2) (3.0m)2 (tan2 30)

167

9.10
30

/ 2 )]

= (1.5 t.m2) (9.0m2) (0.333)


= 2.25 t (/m')
Garis kerja P a dari dasar dinding terletak pada:
y a = 1/ 3 H
= 1/ 3 (3.0m)
= 1.0m
2. Gaya berat sendiri dinding, W 1 dan W 2 :
W 1 = B 1 H (bentuk persegi)
= (2.2 t.m2) (0.5m) (3.0m)
= 3.30 t (/m')
Garis kerja terhadap titik guling dinding:
x 1 = (B tot ) - B 1
= (2.0m) - (0.5m)
= 1.75m
W 2 = B 2 H (bentuk segitiga)
= (2.2 t.m2) (1.5m) (3.0m)
= 4.95 t (/m')
Garis kerja terhadap titik guling dinding:
x 2 = (B tot ) B 1 1/ 3 B 2
= (2.0m) 0.5m 1/ 3 1.5m
= 1.0m
atau
x 2 = 2/ 3 B 2
= 2/ 3 1.5m
= 1.0m (hasilnya sama)

168

3. Tahanan geser dasar pondasi, T:


Tahanan pada dasar pondasi dihitung dengan cara seperti pada
bidang geser lainnya, yaitu:
T = W tot tg + c B

9.17

= (W 1 +W 2 ) tg + c B
= (3.30t + 4.95t) tg 250 + (1t/m2 ) (2.0m)
= (8.25t /m') (0.466) + (2.0t/m' )
= 5.85 t (/m')
4. Momen diujung /tumit dari dinding, M R dan M O :
MR = W1 x1 + W2
x2
= (3.30t /m') (1.75m) + (4.95t /m') (1.0m)
= (5.775) + (4.950) t.m (/m' )
= 10.725 t.m (/m' )
M O = Pa ya
= 2.25 t (/m') (1.0m) + (4.95t /m') (1.0m)
= 2.25 t.m (/m' )
Selanjutnya dapat dihitung :
Faktor Keamanan terhadap guling:

SF =

M R 10.725
= 4.77
=
MO
2.25

9.16a

Faktor Keamanan terhadap geser:

SF =

T + Pp
Pa

5.85t + 0
=2.60
2.25t

169

9.16b

b. Dinding kantilever (Cantilever walls)


Dinding kantilever adalah jenis dinding penahan tanah
digunakan untuk menahan tanah dengan ketinggian yang relatif besar.
Dinding ini biasa menjadi alternatif kedua apabila dinding graviti tidak
dapat digunakan. Dinding penahan tanah ini juga cukup populer di
Indonesia ini disebabkan oleh bahan yang digunakan merupakan beton
bertulang sehingga relatif mudah dalam pengerjaan. Beberapa jenis
penahan tanah yang dapat digolongkan dalam tipe cantilever wall antara
lain adalah:
- Dinding cantilever dengan penahan dinding
- Dinding beton bertulang tanpa penahan
- Beton bertulang dengan penambat tambahan di dasar

Gambar 9.15. Beberapa jenis cantilever wall

170

Penahan dinding berfungsi untuk menyalurkan beban dorongan tanah


timbunan langsung kedasar dinding, sehingga momen yang terjadi pada
badan tegak dinding menjadi berkurang. Hal ini dapat menghemat
bahan dinding dengan kebutuhan dimensi yang lebih kecil. Sedangkan
penambat dasar berfungsi untuk meningkatkan gaya perlawanan pasif
pada dasar dinding sehingga tahanan geser dinding dan tahanan
terhadap guling menjadi meningkat.
Cantilever wall bekerja dalam menahan tanah dibelakangnya dengan
memanfaatkan berat sendiri dan berat tanah timbunan diatas tapak.
Dengan demikian, semakin berat struktur dinding panahan dan dimensi
tapak dibelakang dinding, semakin besar pula tahanannya. Selain itu,
semakin lebar tapaknya, maka semakin stabil dinding itu berdiri.
Dimensi/geometri/bentuk dinding harus dibuat dengan memperhatikan
kemungkinan dimensi terbaik sehingga memberikan bentuk efisiensi
bahan dan kemudahan pekerjaan.

WF

WC

Pa

. .

MT
qmin

MR

Pp
MO

qmax

Gambar 9.16. Gaya-gaya pada cantilever wall

171

Seperti penjelasan sebelumnya, maka dengan memperhatikan gaya-gaya


yang bekerja pada sebuah dinding penahan tanah seperti pada Gambar
9.16, nilai faktor keamanan cantilever wall dapat ditentukan serupa
sebagai berikut:
Keamanan terhadap guling:

SF =

MR
MO

9.16a

Keamanan terhadap geser:

SF =

T + Pp

9.16b

Pa

Keamanan terhadap daya dukung:

SF =

q ult
dan q min > 0.0
q max

9.16c

Perbedaan dalam pengerjaan antara dinding graviti dengan dinding


cantilever adalah pada dinding graviti, tanah dibelakang dinding tidak
perlu disingkirkan untuk keperluan pekerjaan. Sedangkan pada dinding
cantilever, untuk mengerjakan tapak dinding, tanah dibelakang harus
disingkirkan. Tanah dibelakang dinding selanjutnya ditimbunkan
kembali setelah tapak dan badan dinding selesai dikerjakan.
Prosedur perhitungan gaya-gaya yang bekerja pada dinding penahan
tipe cantilever wall adalah serupa dengan dinding graviti. Namun
terdapat sedikit perbedaan dalam perhitungan dikarenakan bentuk
geometri dan gaya-gaya yang bekerja. Prosedur perhitungan ini akan
dijelaskan secara langsung dengan mempergunakan contoh kasus
sederhana berikut.

172

Kasus 9.2
Sebuah dinding cantilever dari beton bertulang dibuat dengan tujuan
untuk menahan tanah timbunan seperti terlihat pada Gambar K9.2.
Tentukan nilai stabilitas dinding tersebut terhadap guling dan geser.

1.0m 0.3m 1.2m

Tanah timbunan pasir:


1 = 30o, 1 = 1.5 t/m3
H = 3.0m
T1 = 0.3m

Tanah dasar/asli:
c2= 0.1 kg/cm2, 2 = 25o, 2 = 1.5 t/m3

T2 = 0.5m

Gambar K9.2. Dinding cantilever beton bertulang


Solusi
Data: - timbunan: 1 = 1.5 t/m3
1 = 30o
- tanah asli : 2 = 1.5 t/m3
c 2 = 1 t/m2
2 = 25o
- dinding : C = 2.4 t/m3 (berat satuan beton bertulang)
Tinggi , H = 3.0m
Tebal atas, T 1 = 0.3m
Tebal bawah, T 2 = 0.5m
Lebar, B = 1.0+0.3m+1.2m = 2.5m

173

Gaya-gaya yang bekerja dan garis kerjanya (jarak-jarak) dapat


digambarkan seperti terlihat pada Gambar K9.2.a.

W1
x1

W3

x3

titik
guling

Pa
ya

x2

W2
T

Gambar K9.2.a. Gaya-gaya kerja pada dinding


Gaya-gaya yang bekerja pada dinding dihitung sebagai berikut:
1. Gaya tekanan aktif tanah timbunan, P a :
Untuk tanah pasir (non-kohesif, c = 0), resultan gaya tekan aktif
hingga kedalaman z =H akibat berat tanah sendiri adalah:
P a, = H2 K a

9.12a
2

dengan K a = tan ( 45 Pa

/2 )

= (1.5 t.m2) (3.0m)2 [(tan2 ( 45 = (1.5 t.m2) (9.0m2) (0.333)


= 2.25 t (/m')

174

9.10
30

/ 2 )]

Garis kerja P a dari dasar dinding terletak pada:


y a = 1/ 3 H
= 1/ 3 (3.0m)
= 1.0m
2. Gaya berat sendiri dinding, W 1 dan W 2 :
W 1 = C T 1 (H T 2 ) (berat badan dinding, bentuk persegi)
= (2.4 t.m2) (0.3m) (3.0m 0.5m)
= 1.80 t (/m')
Garis kerja terhadap titik guling dinding:
x 1 = (1.2m) - T 1
= (1.2m) - (0.3m)
= 1.35m
W 2 = C B T 2 (berat tapak, bentuk persegi)
= (2.4 t.m2) (2.5m) (0.5m)
= 3.0 t (/m')
Garis kerja terhadap titik guling dinding:
x2 = B
= (2.5m)
= 1.25m
W 3 = 1 B 1 (H T 2 ) (berat tanah diatas tapak, persegi)
= (1.5 t.m2) (1.0m) (3.0m 0.5m)
= 3.75 t (/m')
Garis kerja terhadap titik guling dinding:
x3 = B1 + T1 + B2
= (1.0m) + 0.3m + 1.2m
= 2.0m

175

3. Tahanan geser dasar pondasi, T:


T = W tot tg + c B
9.17
= (W 1 +W 2 +W 3 ) tg + c B
= (1.80t + 3.0t + 3.75t) tg 250 + (1t/m2 ) (2.5m)
= (8.55t /m') (0.466) + (2.5t/m' )
= 6.49 t (/m')
4. Momen diujung /tumit dari dinding, M R dan M O :
MR = W1 x1 + W2 x2 + W2 x2
= (1.8t /m')(1.35m)+(3.0t /m')(1.25m) +(3.75t /m')(2.0m)
= (2.43) + (3.75) + (7.50) t.m (/m' )
= 13.68 t.m (/m' )
M O = Pa ya
= 2.25 t (/m') (1.0m) + (4.95t /m') (1.0m)
= 2.25 t.m (/m' )
Selanjutnya dapat dihitung :
Faktor Keamanan terhadap guling:

SF =

M R 13.68
= 6.08
=
2.25
MO

9.16a

Faktor Keamanan terhadap geser:

SF =

T + Pp
Pa

6.49 t + 0
=2.88
2.25t

9.16b

Dengan membandingkan kasus 9.1 dan kasus 9.2 terlihat bahwa berat
dinding graviti W tot = 5.85 t(/m') lebih berat dibanding dinding
cantilever (Wtot=4.8 t(/m'). Namun demikian, meski berat dinding
berkurang, tetapi dinding cantilever memberikan faktor keamanan lebih
tinggi. Hal ini menunjukkan keuntungan lebih dari dinding cantilever.

176

c. Dinding sandar (Lay dam)


Dinding sandar merupakan jenis dinding penahan tanah
dipasang miring kearah timbunan. Dikatakan dinding sandar karena
dinding ini seolah bersandar pada tanah dibelakangnya. Dinding sandar
ini sering digunakan untuk menahan tanah bukan timbunan. Hal ini
disebabkan tanah untuk dinding bersandar harus dalam keadaan stabil
terlebih dahulu sehingga dinding sandar mudah dibuat diatasnya.
Dinding ini biasa menjadi alternatif apabila topografi yang miring dapat
dilakukan. Dinding ini juga sangat populer di Indonesia. Dibandingkan
dinding kantilever dan dinding graviti, bahan yang diperlukan untuk
membuat dinding sandar ini relatif lebih sedikit. Dinding sandar ini
dapat terbuat dari pasangan batu, blok beton, cor beton dengan
diperkuat rangka beton bertulang. Gambar 9.17 menunjukkan sebuah
ilustrasi dinding sandar.
Dinding ini juga sering dibuat dapat menyalurkan air sehingga air tanah
dapat mengalir keluar-masuk bagian timbunan. Selain itu kombinasi
dengan penanaman vegetasi dapat dilakukan pada dinding ini. Namun
harus dianalisis perilaku tanah dibelakang dinding terhadap air, keadaan
dinding yang permeable atau impermeable tetap memberikan stabilitas
pada sistem lereng dan penahan tanah.

Gambar 9.17. Lay dam sebagai berkuatan lereng

177

Perhitungan kestabilan dinding lay dam hampir serupa dengan dinding


lainnya. Tetapi untuk kesetimbangan internal dan global, harus
dilakukan dengan baik. Mengingat kekuatan dinding ini biasanya jauh
lebih rendah dibandingkan dengan tipe dinding-dinding penahan tanah
lainnya. Mengingat dinding ini berdiri dengan cara bersandar pada tanah
dibelakangnya, maka tekanan pasif pada tanah akan termobilisasi.
Sehingga untuk menjaga kestabilannya, tekanan akibat berat dinding
harus pada nilai yang aman dibandingkan dengan tekanan pasif
maksimum tanah.

Pp

WN

WT

Pa

Wbf

W
M

Tbf

Gambar 9.18. Gaya-gaya aktif dan pasif pada dinding


Dengan memperhatikan gaya-gaya yang bekerja pada sistem penahan
tanah seperti pada Gambar 9.18, maka kestabilan statis sistem penahan
tanah lay dam harus memenuhi ketentuan berikut:
(T+Tbf)

/P a
/ (W . x )
(Pp . sin )
/W N
(Pa . y )

> 1.2

9.21.a

> 1.5

9.21.b

> 3.0

9.21.c

178

Nilai-nilai dalam persamaan 9.21 harus dihitung sesuai dengan jenis


lapisan tanah dengan parameter-parameter tanah yang ada, dimana
defenisi dari variabel-variabel tersebut yaitu:
P a dan P p adalah resultan gaya aktif dan pasif.
y = tinggi garis kerja gaya resultan P a atau P p
W = resultan gaya berat dinding
x = jarak garis kerja resultan berat ke titik guling
T = resultan gaya tahanan geser
T bf = resultan gaya geser didasar timbunan
T bf = W bf tan + c bf B bf
= kemiringan dinding
W bf = resultan gaya berat tanah timbunan
Kasus 9.3
Sebuah dinding sandar dari pasangan baru kali dibuat dengan tujuan
untuk menahan tanah seperti terlihat pada Gambar K9.3a. Tentukan
nilai stabilitas dinding tersebut.

2.0m

1.0m

Tanah timbunan pasir:


1 = 30o, 1 = 1.5 t/m3
H = 3.0m
T1 = 0.3m

Tanah dasar/asli:
c2= 0.1 kg/cm2, 2 = 25o, 2 = 1.5 t/m3

T2 = 0.5m

Gambar K9.3a. Dinding sandar pasangan batu kali

179

Solusi
Data: - timbunan: 1 = 1.5 t/m3
1 = 30o
- tanah asli : 2 = 1.5 t/m3
c 2 = 1 t/m2
2 = 25o
- dinding : C = 2.2 t/m3 (berat satuan pasangan batu)
Tinggi , H = 3.0m
Tebal atas, T 1 = 0.3m
Tebal bawah, T 2 = 0.5m
Lebar, B = 1.0m
Kemiringan, = tan-1 (3m/2m) = 56.30
Gaya-gaya yang bekerja dan garis kerjanya (jarak-jarak) serta
penyederhanaan bentuk dinding dapat dilihat pada Gambar K9.3b.

Penyederhanaan
bentuk dinding:
x=
(2m)

Pp
y =1m

Pa

WN

WT
W

Wbf
Tbf

Gambar K9.3b. Gaya-gaya kerja pada dinding

180

Gaya-gaya yang bekerja pada dinding dihitung sebagai berikut:


1.a. Gaya tekanan aktif tanah timbunan, P a :
Untuk tanah pasir (non-kohesif, c = 0), resultan gaya tekan aktif
hingga kedalaman z =H akibat berat tanah sendiri adalah:
P a, = H2 K a

9.12a

dengan K a = tan2 ( 45 Pa

/2 )

= (1.5 t.m2) (3.0m)2 [(tan2 ( 45 = (1.5 t.m2) (9.0m2) (0.333)


= 2.25 t (/m')

9.10
30

/ 2 )]

Garis kerja P a dari dasar dinding terletak pada:


y a = 1/ 3 H
= 1/ 3 (3.0m)
= 1.0m
1.b. Gaya tekanan pasif tanah timbunan, P p :
Untuk tanah pasir (non-kohesif, c = 0), resultan gaya tekan aktif
hingga kedalaman z =H akibat berat tanah sendiri adalah:
P p, = H2 K p

9.8a
2

dengan K p = tan ( 45 + / 2 )
Pp

= (1.5 t.m2) (3.0m)2 [(tan2 ( 45 + 30/ 2 )]


= (1.5 t.m2) (9.0m2) (3.0)
= 20.25 t (/m')

Garis kerja P p = P a dari dasar dinding terletak pada:


y a = 1/ 3 H
= 1.0m

181

9.6

2. Gaya berat sendiri dinding, W :


W

= C T 1 (H /sin ) (berat badan dinding, bentuk persegi)


= (2.2 t.m2) (0.3m) (3.0m / sin 56.30)
= 2.38 t (/m')

Garis kerja terhadap titik guling dinding:


x 1 = (1.0m) - B bf
= (1.0m) - (2.0m)
= 2.0m
W N = W cos
= (2.38 t /m') (cos 56.30)
= 1.32 t (/m')
3.a. Tahanan geser dasar pondasi, T:
T = W tot tg + c B
= (2.38t/m') tg 250 + (1t/m2 ) (2.5m)
= (1.11 t /m') + (2.5t/m' )
= 3.61 t (/m')

9.17

3.b. Tahanan geser dasar timbunan, T bf : dipilih nilai terkecil dari:


T bf
=
W bf tg 1 + c bf B bf
= ( B bf . H . 1 ) tg 1 + c bf B bf
= ( . 2.0m . 3.0m . 1.5t/m3) tg 300 + (0 ) (2m)
= 2.60 t (/m')
atau
T bf
=
W bf tg 2 + c 2 B bf
= (2.0m)(3.0m)(1.5t/m3) tg 250 + (1.0t/m2 ) (2m)

182

= 4.10 t (/m')

Selanjutnya dapat dihitung :


Faktor Keamanan terhadap geser:

T + Tbf 3.61t + 2.6 t


=2.76
=
Pa
2.25t
dengan mengabaikan tahanan geser pada tanah timbunan, maka:
T
3.61t
=1.60
(masih > 1.2)
=
SF =
Pa 2.25t
SF =

Faktor Keamanan terhadap guling:

SF =

W.x (2.38t)(2.0m)
= 2.11
=
Pa .y
(2.25t).(1m)

(masih >1.5)

Faktor Keamanan terhadap tekanan pasif:

SF =

Pp sin
WN

(20.25t)(sin 56.30 )
= 12.76
(1.32t)

(masih >3)

Dari hasil perhitungan diatas, menunjukkan bahwa dinding lay dam


masih dalam keadaan stabil statis. Bila dibandingkan dengan dinding
kantilever seperti pada contoh sebelumnya, maka kestabilan dinding lay
dam tersebut masih memberikan performan yang baik. Akan tetapi
dalam aplikasinya, stabilitas internal struktur dinding harus pula
diperhitungkan. Hal ini akan dilihat pada bab berikut.

183

d. Dinding pancang (Sheet pile)


Sheet pile merupakan jenis dinding penahan tanah dipasang
dengan cara memancang bagian bawah dengan kedalaman seperlunya.
Sheet pile menahan tanah timbunan dibelakangnya dengan
memanfaatkan tekanan aktif dan pasif tanah dasar dimana struktur ini
dipancang. Dikatakan sebagai sheet (lembaran) pile (tiang pancang),
dikarenakan konstruksi ini secara keseluruhan mirip dengan lembaran
panjang yang dipancang seperti ilustrasi pada Gambar 9.19.

gaya
pendorong

gaya
penahan

a. Sheet pile di lapangan

b. Anggapan satu lembar

Gambar 9.19. Idealisasi sheet pile


Sheet pile dapat terbuat dari baja dan beton bertulang. Sedangkan untuk
konstruksi yang kecil, sheet pile dapat terbuat dari papan kayu.

184

Perbedaan dari masing-masingnya adalah kemudahan untuk


mendapatkannya, ketahanan dan keawetan material serta metoda
pemancangannya.
Salah satu keuntungan dari penggunaan sheet pile adalah daerah yang
diperlukan untuk konstruksi ini relatif kecil, karena dimensi sheet pile
hanya pada arah vertikal. Sedang dimensi horizontalnya secara teori
dapat diabaikan. Artinya dalam perhitungan stabilitasnya, sheetpile
tidak mempunyai dimensi horizontal, sehingga gaya-gaya yang bekerja
hanya pada satu arah saja.
Selain itu, sheet pile mudah digunakan untuk konstruksi penahan tanah
sementara yang bersifat kedap air. Sheet pile yang terbuat dari baja
dapat dibuat sedemikian rupa sehingga antara satu sheet pile dengan
yang lain saling mengikat dan dapat dibuat kedap air. Oleh sebab itu
sheet pile sering digunakan dalam menahan tekanan tanah dan air pada
pelaksanaan pekerjaan bendung elak di badan sungai.

daerah kerja
bawah air

Gambar 9.20. Penggunaan sheet pile sebagai bendung elak

185

Salah satu kesulitan menggunakan sheet pile adalah pada saat


pelaksanaan konstruksi, dimana untuk struktur yang besar, diperlukan
energi yang besar pula untuk memancangkan sheet pile tersebut.
Sehingga pelaksanaan pekerjaan sheet pile memerlukan alat berat untuk
pemancangannya.
Dalam perencanaannya, untuk membuat sheet pile stabil diperlukan
perhitungan kedalaman penanaman dari sheet pile. Untuk itu dibedakan
sheet pile yang tertanam pada tanah lempung dan sheet pile yang
tertanam pada tanah kepasiran. Namun keduanya masih
mempergunakan teori tekanan tanah aktif dan pasif dalam perhitungan.
Selain itu, teorinya dibedakan tergantung jenis keruntuhan yang
mungkin terjadi pada sistem sheet pile yang direncanakan.
Dalamnya penanaman tergantung dari jenis tanah yang mendorong
sheet pile dan jenis tanah yang menahan. Secara teori apabila kedua
jenis tanah mempunyai properties yang sama, maka kedalaman
penanaman sheet pile yang diperlukan adalah lebih kecil atau sama
dengan tinggi sheet pile. Dalam buku ini tidak dibahas mengenai
perhitungan sheet pile karena konstruksi ini jarang digunakan sebagai
penambat stabilitas lereng.

Gambar 9.21. Bentuk keruntuhan sheet pile

186

BAB X

DINDING PENAHAN TANAH


BETON BERTULANG

10.1. Pendahuluan
Bagian dinding penahan tanah beton bertulang ini merupakan
pembahasan akhir dari buku ini. Pembahasan mengenai tatacara
perhitungan kebutuhan tulangan untuk memperkuat konstruksi beton
bertulang pada dinding penahan tanah beton akan dibicarakan secara
singkat. Teori mengenai beton bertulang juga ditinjau seringkas
mungkin. Namun aplikasi praktis dari teori-teori tersebut untuk
keperluan perencanaan dinding penahan tanah beton bertulang
(terutama dinding kantilever) akan diuraikan secara jelas.
a. Kegagalan dinding penahan tanah
Secara garis besar kegagalan yang terjadi dalam sistem penahan
tanah dengan menggunakan dinding penahan tanah dapat dibagi
menjadi tiga buah:
1. Kegagalan sistem dinding-tanah, terdiri dari:
- Gagal akibat guling
- Kegagalan geser
- Gagal pondasi
2. Kegagalan menyeluruh
3. Kegagalan struktur dinding
- Gagal akibat momen
- Gagal akibat geser

187

Kegagalan-kegagalan itulah yang harus diperhatikan dalam perencanaan


sebuah dinding penahan tanah. Seluruh penyebab terjadinya kegagalan
harus ditinjau sehingga dinding penahan tanah yang direncanakan
cukup kuat dan stabil. Secara skematik kegagalan-kegagalan tersebut
diilustrasikan pada Gambar 10.1 hingga 10.3.

a. Guling

b. Geser

c. Pondasi
Gambar 10.1. Kegagalan sistem dinding-tanah

188

189

Gambar 10.2. Kegagalan menyeluruh (global)

a. Momen

b. Gaya geser

Gambar 10.3. Kegagalan struktur dinding penahan

190

Pembahasan mengenai keruntuhan akibat sistem tanah-dinding dan


keruntuhan global telah dilakukan pada bagian-bagian terdahulu.
Sedangkan kegagalan akibat struktural dari dinding akan dibahas pada
bagian ini. Sebelumnya akan diberikan mengenai dimensi dinding
penahan tanah yang dapat dipergunakan sebagai acuan awal untuk
perhitungan stabilitas. Namun dimensi akhir akan ditentukan dari
kekuatan struktur dinding untuk menahan gaya-gaya yang bekerja
padanya.

b. Dimensi dinding penahan tanah


Dalam merencanakan suatu struktur tertentu, umumnya dimulai dengan
mengambil dimensi awal untuk melakukan perhitungan gaya-gaya
dalam maupun stabilitas. Selanjutnya dengan melakukan analisis
tersebut dapat diketahui bahwa dimensi tersebut kurang, cukup ataupun
berlebih. Apabila dimensi yang diambil pada saat awal terlalu besar,
maka diperlukan pengurangan dan sebaliknya bila dimensi yang diambil
saat awal terlalu kecil, maka perlu penambahan dimensi.
Dalam perencanaan sebuah dinding penahan tanah, perlu diambil
dimensi tertentu sehingga dinding yang direncanakan mungkin
dikerjakan, cukup stabil dan kuat. Pengambilan dimensi awal dinding
penahan tanah juga sangat ditentukan dengan bentuk lereng dan tanah
yang akan ditahannya. Selain itu pengambilan dimensi dari segi
keterbatasan ruang pekerjaan, kepatutan bentuk dan keindahan juga
harus diperhatikan dalam perencanaan dinding penahan tanah. Sebagai
pedoman awal dalam pengambilan dimensi dinding penahan tanah,
pada Gambar 10.4 dan 10.5 ditampilkan potongan penampang dinding
penahan tanah tipe graviti dan tipe kantilever. Pada bagian berikutnya
akan dijelaskan bagaimana menentukan dimensi minimum dari dinding
penahan tanah yang ditentukan berdasarkan analisis kekuatan dan
perhitungan stabilitas.

191

0.1 H
(Min 20 cm)

2%
1

0.15 H
(Min 50 cm)
0.5 s/d 0.7 H
Gambar 10.4. Dimensi penampang dinding graviti

Ketinggian dinding graviti harus dibatasi, yaitu 6 meter untuk dinding


graviti pasangan batu kali dan 8 meter untuk dinding beton. Untuk
ketinggian yang lebih besar, maka dinding graviti harus diperkuat
dengan tulangan besi (beton bertulang). Sedangkan untuk dinding
penahan tanah kantilever dari beton bertulang, ketinggiannya dapat
mencapai lebih dari 12 meter. Permukaan dinding harus dibuat miring
sedikit agar air yang turun dari atas tidak menetes melainkan mengalir
pada permukaan. Hal ini akan menjaga kerusakan/gerusan akibat
tetesan air pada bagian bawah.

192

0.1 H
(Min 20 cm)

min
2%

0.1 H

0.15 H
(Min 50 cm)

0.1 H
(Min 30 cm)

0.1 H
(Min 30 cm)

0.5 s/d 0.7 H

Gambar 10.5. Dimensi penampang dinding kantilever

Dinding kantilever mempunyai dimensi penampang beton yang relatif


lebih kecil dibandingkan dinding graviti. Namun dengan mekanismenya
dalam menahan tanah dibelakangnya, membuat gaya-gaya dalam yang
bekerja pada dinding kantilever cenderung lebih besar sehingga
memerlukan perkuatan baja tulangan yang lebih banyak. Hal ini akan
dapat dilihat nantinya dalam disain tulangan pada bab ini.

193

10.2. Beton dan baja tulangan


Beton bertulang merupakan material komposit antara beton
dengan baja tulangan. Secara teori, kombinasi dari keduanya dianggap
menyatu dengan sempurna sehingga dalam menahan beban keduanya
dianggap sebagai satu kesatuan. Untuk itu maka harus dipenuhi syaratsyarat pembuatan beton bertulang agar anggapan dari teori tersebut
dapat dipenuhi di lapangan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
pekerjaan beton bertulang dapat dilihat pada standar-standar yang
berlaku. Untuk di Indonesia, syarat tersebut dapat dilihat pada Standar
Nasional Indonesia yang bersesuaian.
Beton sendiri pada dasarnya adalah campuran antara semen portland,
agregat halus, agregat kasar dan air yang telah mengeras. Terkadang
pada saat pencampuran, untuk keperluan tertentu, pada adukan beton
ditambahkan bahan tambahan (additive). Pada campuran beton, semen
dan air membentuk pasta yang akan mengisi rongga-rongga diantara
agregat kasar (kerikil) dan agregat halus (pasir) serta mengikat agregat
tersebut pada saat mengeras. Reaksi kimia antara semen dengan air
akan menghasilkan kalor dan sifat keras (proses hidrasi) hingga
membentuk suatu batuan keras dan tidak larut kembali dalam air.
Sebagaimana elemen-elemen yang membentuknya, maka secara
mekanik beton hanya menahan gaya-gaya tekan dan geser yang bekerja.
Sedangkan tahanan terhadap gaya tarik beton sangat kecil, sehingga
dalam perhitungan mekanika tahanan tarik tersebut diabaikan.
Tahanan terhadap tekan dari beton dinyatakan sebagai fc yaitu nilai
yang ditentukan berdasarkan uji silinder beton diameter 15cm dan
tinggi 30cm. Pada masa yang lalu, kuat tekan beton dinyatakan sebagai
nilai tekan karakteristik K yang didasarkan pada uji tekan dari sampel
beton berbuntuk kubus dengan panjang rusuk 20cm. Nilai kuat tekan
beton, fc untuk konstruksi bangunan sipil biasa berada pada rentang
20MPa sampai dengan 30MPa (hampir setara dengan K-200 s/d K-300).
Sedangkan untuk kuat tekan beton yang lebih tinggi dikenal sebagai
beton mutu tinggi.

194

Baja tulangan pada beton bertulang mempunyai peran untuk menahan


gaya tarik yang tidak mampu ditahan oleh beton. Selain itu, baja
tulangan juga mempunyai fungsi dalam menahan gaya tekan dan gaya
geser bersama-sama dengan beton. Tahanan terhadap tarikan dan tekan
baja sering diasumsikan bernilai sama. Tahanan terhadap tarik material
baja tulangan disebut dengan kuat leleh, fy yaitu nilai tegangan baja
pada saat leleh karena tegangan tarik. Baja yang disarankan untuk
konstruksi sipil adalah baja yang mempunyai nilai tegangan leleh 0.35%
dan tegangan leleh fy = 240 MPa hingga fy = 400 MPa. Sedangkan
untuk nilai-nilai lainnya harus dipertimbangkan nilai regangan baja dan
beton dalam penurunan rumusan-rumusan analisis penampang betonbertulang. Saat ini, untuk konstruksi sipil sangat disyaratkan untuk
menggunakan baja tulangan ulir.
Penyambungan tulangan harus dilakukan dengan cara membengkokan
ujungnya dengan panjang sambungan 48 kali diameter baja tulangan
atau minimal 30 cm. Sambungan tersebut harus dilakukuan pada
tulangan pembagi pada bagian masing-masing baja tulangan yang
disambung. Untuk jelasnya dapat diperhatikan Gambar 10.6.

12 D

48 D

D
Gambar 10.6. Detail sambungan baja tulangan

195

10.3. Perhitungan gaya-gaya dalam


Gaya-gaya dalam yang bekerja pada struktur dinding penahan
tanah dapat dihitung dengan menggunakan teori mekanika rekayasa
sederhana. Dalam perhitungan gaya-gaya dalam perlu diperhatikan
kombinasi beban luar yang bekerja sedemikian rupa merupakan
kombinasi yang memberikan nilai paling besar dari beberapa
kemungkinan yang terjadi.
Gaya-gaya dalam utama yang bekerja pada dinding penahan tanah
diakibatkan oleh beban luar yang bekerja, yaitu:
1. Beban statik akibat berat sendiri tanah dan dinding, W
2. Beben akibat tekanan tanah aktif lateral, P a
3. Gaya akibat daya dukung tanah, Q b
4. Gaya yang timbul akibat tekanan pasif tanah, P p
5. Beban luar tambahan yang bekerja tetap ataupun sementara, Q e
6. Beban akibat aktivitas seismik, P g
external load

Pg
W
Qe
Pa
Pp

Qb
Gambar 10.7. Beban kerja pada dinding penahan tanah

196

Akibat beban-beban yang bekerja, maka pada struktur dinding penahan


tanah akan timbul gaya-gaya dalam yang berupa:
1. Momen tekuk
2. Gaya lintang/geser
3. Gaya normal
Mengingat beban yang bekerja pada dinding umumnya tegak lurus
terhadap penampang dinding, maka untuk gaya normal yang bekerja
pada dinding kantilever nilainya relatif kecil dan dapat diabaikan.
Namun untuk dinding graviti, gaya normal akibat berat sendiri harus
diperhatikan sehingga nilainya harus jauh lebih kecil (maksimum
sepertiga) dibandingkan nilai kuat tekan beton yang digunakan.
Pada Gambar 10.8 ditampilkan gaya-gaya dalam (momen dan lintang)
yang penting dalam perencanaan perkuatan dinding penahan tanah.
Yaitu pada sudut-sudut pertemuan elemen dinding dan ditengah badan
dinding. Selanjutnya gaya-gaya tersebut dipergunakan dalam
perencanaan penulangan struktur dinding penahan tanah.

Lf

Mf

Mb

Mh

Lb

Lh

Mt

Lt

Gambar 10.8. Momen dan lintang pada dinding penahan tanah

197

Kasus 10.1
Sebuah dinding kantilever dari beton bertulang dibuat dengan tujuan
untuk manahan tanah timbunan seperti terlihat pada Gambar K10.1.
Tentukan nilai-nilai gaya dalam momen dan geser pada titik-titik
penting di struktur dinding penahan tanah tersebut.

1.0m 0.3m 1.2m

Tanah timbunan pasir:


1 = 30o, 1 = 1.5 t/m3
H = 3.0m
T1 = 0.3m

Tanah dasar/asli:
c2= 0.1 kg/cm2, 2 = 25o, 2 = 1.5 t/m3

T2 = 0.5m

Gambar K10.1. Dinding kantilever beton bertulang


Solusi
Data: - timbunan: 1 = 1.5 t/m3
1 = 30o
- tanah asli : 2 = 1.5 t/m3
c 2 = 1 t/m2
2 = 25o
- dinding : C = 2.4 t/m3 (berat satuan beton bertulang)
Tinggi , H = 3.0m
Tebal atas, T 1 = 0.3m
Tebal bawah, T 2 = 0.5m
Lebar, B = 1.0+0.3m+1.2m = 2.5m

198

Gaya-gaya yang bekerja dan garis kerjanya (jarak-jarak) dapat


digambarkan seperti terlihat pada Gambar K10.1.a.

P1
h = 2.5m

x1
x2
Pa

W
Q
Gambar K10.1.a. Gaya-gaya kerja pada dinding
Gaya-gaya yang bekerja pada dinding dihitung sebagai berikut:
1. Gaya tekanan aktif tanah timbunan, P:
Untuk tanah pasir (non-kohesif, c = 0), resultan gaya tekan aktif
hingga kedalaman z =H akibat berat tanah sendiri adalah:
P a, = H2 K a

9.12a

dengan K a = tan2 ( 45 P1

/2 )

= (1.5 t.m2) [ (2.5m)] 2 [(tan2 ( 45 -

199

9.10
30

/ 2 )]

= (1.5 t.m2) (1.25m)2 (0.333)


= 0.39 t (/m')
Garis kerja P 1 dari dasar dinding terletak pada:
y 1 = 1/ 3 h 1
= 1/ 3 (1.25 m)
= 0.42 m
Pa

= (1.5 t.m2) (2.5m)2 [(tan2 ( 45 = (1.5 t.m2) (6.25m2) (0.333)


= 1.5625 t (/m')

30

/ 2 )]

Garis kerja P a dari dasar dinding terletak pada:


y a = 1/ 3 H
= 1/ 3 (2.5 m)
= 0.83 m
2. Gaya berat sendiri dinding dan tanah:
Wc

= C (B 1 ) T 2 (berat tapak belakang, bentuk persegi)


= (2.4 t.m2) (1.0m) (0.5m)
= 1.2 t (/m')

W s = 1 B 1 (H T 2 ) (berat tanah diatas tapak, persegi)


= (1.5 t.m2) (1.0m) (3.0m 0.5m)
= 3.75 t (/m')
Berat total:
W

= W c +W s = 1.2 t + 3.75 t
= 4.95 t (/m')

200

Garis kerja titik tapak belakang:


x1 = B1
= (1.0m)
= 0.5m
Garis kerja titik tapak depan:
x2 = B1 + T1
= (1.0m) + 0.3m
= 0.8m
Untuk badan dinding tegak:
W t = C T 1 (H T 2 ) (berat badan dinding tegak)
= (2.4 t.m2) (0.3m) (3.0m 0.5m)
= 1.80 t (/m')
Garis kerja terhadap titik kaki depan
xt = T1
= (0.3m)
= 0.15m
3. Daya dukung pondasi, Q:
Digunakan Terzaghi dengan anggapan q' = 0 :
untuk = 250, Nc =25.1 dan N = 9.7
q = c2 Nc + 2 B N
= 10(t/m2) 25.1 + (1.5 t/m3 ) (2.5m) 9.7
= (251 t /m2) + (18.1875 t/m2 )
= 269.1875 t (/m2)
q izin = 89.73t (/m2)
Selanjutnya:
Q = q izin (1.2 m)

201

9.17

= 107.7 t (/m')
4. Momen pada dinding:
M f = P (y 1 )
= 0.39 t (/m') . (0.42 m)
= 0.1638 t.m (/m' )
M b = Pa y a
= 1.5625 t (/m') (0.83m)
= 1.3 t.m (/m' )
Mh = W x1
= 4.95 t (/m') (0.5m)
= 2.47 t.m (/m' )
atau M t = Q B 2
Mt = W x2 + Wt xt
= 4.95(0.8)+1.8(0.15) atau
= 107.7t/m( 1.2m)
'
atau
= 64.62 t.m (/m' )
= 4.23 t.m (/m )
5. Gaya geser pada dinding:
Tf = P1
= 0.39 t (/m')
T b = Pa
= 1.5625 t (/m')
Th = W
= 4.95 t (/m')
Tt

= W + Wt
= 6.65 t (/m')

atau
atau

202

= Q
= 107.7t/m

10.4. Disain penulangan dinding


Dimuka telah dijelaskan bahwa beton bertulang merupakan
material gabungan antara beton dengan baja tulangan yang
dianggap menyatu dengan sempurna sehingga dalam menahan beban
keduanya dianggap sebagai satu material. Untuk anggapan tersebut
maka harus dipenuhi syarat-syarat pembuatan beton bertulang agar
anggapan dari teori tersebut dapat dipenuhi di lapangan. Syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam pekerjaan beton bertulang dapat dilihat pada
standar-standar yang berlaku. Untuk di Indonesia, syarat tersebut dapat
dilihat pada Standar Nasional Indonesia yang bersesuaian.
Secara garis besar, dinding penahan tanah dari beton harus diberi
perkuatan tulangan baja pada bagian-bagian yang mengalami tegangan
tarik. Sedangkan pada bagian lainnya harus diberi tulangan tekan yang
juga berguna untuk menahan retakan beton akibat penyusutan. Sedang
untuk gaya geser yang bekerja, sebaiknya ditahan oleh kekuatan geser
beton.

Tulangan
lentur utama
Tulangan pembagi

Tulangan
lentur utama

Tulangan tekan

Gambar 10.9. Tulangan penahan momen pada dinding penahan tanah

203

10.5. Grafik dan tabel penulangan beton


Teori yang dipakai untuk perhitungan penulangan beton saat ini
adalah menggunakan toeri kekuatan batas (ultimit). Berdasarkan teori
ini, beton dianggap menahan beban hingga batas kekuatannya. Pada
saat yang bersamaan, baja tulangan sebaiknya telah mengalami
kelelehan sebelum beton mencapai tegangan batasnya. Hal ini penting
untuk menghindari hancurnya beton akibat beban yang bekerja. Secara
teori beban momen yang terjadi pada sebuah penampang balok dengan
lebar, b akan ditahan sama oleh gaya-gaya yang terjadi pada
penampang (momen dalam penampang, perhatikan Gambar 10.10)
sebesar:
M = (C c d 1 + C s d 2 )

10.1

Momen lentur, M
Tulangan tekan
Penampang tertekan

Garis
netral

Penampang tertarik
Tulangan tarik

c
s

Regangan

a
d1

Cs
Cc

d2
Ts

Gaya-gaya

Gambar 10.10. Momen pada penampang beton bertulang

204

dimana: M
Cc
Cs
d1
d2
Ts

= momen dalam penampang


= gaya tekan beton pada penampang tertekan
= gaya tekan baja pada penampang tertekan
= jarak gaya tekan beton ke tulangan tarik
= jarak gaya tekan baja ke tulangan tarik
= gaya tarik baja pada penampang tertarik

Selanjutnya, berdasarkan regangan yang terjadi pada penampang, dapat


dihitung besarnya gaya-gaya pada penampang sebagai berikut:
Cc = fc b a

10.2a

Cs = As s E

10.2b

Ts = As s E

10.2c

dimana: A s
As
s
s
E

= luas penampang tulangan tekan


= luas penampang tulangan tarik
= regangan pada tulangan tekan
= regangan pada tulangan tarik
= modulus elastisitas baja (2 x 105 MPa)

Sedangkan untuk menahan tulangan geser, maka kekuatan geser beton


V c dapat dihitung dengan menggunakan rumusan:
Vc =

/6 fc '

bd

(MPa)

10.2a

dimana: f c = kuat tekan beton (MPa)


b = lebar penampang beton
d = tinggi penampang beton dikurangi selimut beton
Bila gaya geser yang terjadi melebihi kekuatan beton yang ada, maka
dimensi yang ada (ketebalan dinding) harus ditingkatkan. Apabila pada

205

ketebalan yang besar masih belum mencukupi untuk menahan gaya


geser yang terjadi, maka perlu ditambahkan tulangan geser. Jumlah
tulangan geser tambahan dapat dihitung dengan menggunakan formula
berikut:

Vs = Av fy
dimana: f y
Av
ds
S

ds
S

(MPa)

10.2a

= tegangan leleh baja (MPa)


= luas penampang tulangan geser
= diameter tulangan geser
= jarak tulangan geser (sengkang)

Gaya geser, V

ds

S
Tulangan geser

Gambar 10.11. Tulangan geser pada penampang


Berdasarkan rumusan-rumusan diatas dapat dibuatkan Grafik
penulangan untuk momen lentur dan kekuatan geser beton seperti
ditampilkan pada Gambar 10. 12 dan 10.13. Sedangkan Tabel 10.1
menampilkan jumlah tungan untuk diameter tertentu berdasarkan nilai
luas penampang tulangan.

206

Luas tulangan tarik per m' (mm 2 )

10000
20 cm
25 cm
30 cm
40 cm
50 cm
1000
60 cm
70 cm
80 cm
90 cm
100 cm
100
1

10

100
Momen pada dinding (t.m)

Gambar 10.12. Kebutuhan tulangan tarik terhadap momen lentur per meter
untuk mutu beton K-225 s/d K-300 (tebal dinding 20100 cm)

207

1000

60

Tahanan geser (ton/m)

50
40
30
20
K-225
10

K-250
K-300

0
0

20

40

60

80

100

120

Tebal dinding (cm)

Gambar 10.13. Tahanan penampang dinding terhadap gaya geser


untuk mutu beton K-225 s/d K-300

208

Tabel 10.1. Luas penampang vs jumlah tulangan lentur


Jumlah tulangan lentur
Luas As
(mm2)
D-12 D-16 D-19 D-22 D-25
600
6
3
3
2
2
650
6
4
3
2
2
700
7
4
3
2
2
800
8
4
3
3
2
900
8
5
4
3
2
1000
9
5
4
3
3
1200
11
6
5
4
3
1400
13
7
5
4
3
1600
15
8
6
5
4
1800
16
9
7
5
4
2000
18
10
8
6
5
2500
23
13
9
7
6
3000
27
15
11
8
7
3500
31
18
13
10
8
4000
36
20
15
11
9
5000
45
25
18
14
11
6000
54
30
22
16
13
7000
62
35
25
19
15
8000
71
40
29
22
17
9000
80
45
32
24
19
10000
89
50
36
27
21
15000
133
75
53
40
31
20000
177 100
71
53
41
25000
222 125
89
66
51
30000
266 150 106
79
62
Pada kasus berikut, akan diberikan contoh perhitungan dari sebuah
dinding penahan tanah kantilever dengan beton bertulang dengan
menggunakan gambar-gambar dan tabel yang diberikan sebelumnya.

209

Kasus 10.2
Sebuah dinding kantilever dari beton dengan mutu beton K-225, seperti
pada kasus 10.1 seperti terlihat pada Gambar K10.2a. Berdasarkan hasil
perhitungan nilai-nilai gaya dalam momen dan geser pada titik-titik
penting di struktur dinding penahan tanah tersebut (solusi kasus 10.1),
rencanakan perkuatan/penulangan dari dinding penahan tanah tersebut.

1.0m 0.3m 1.2m

Tanah timbunan pasir:


1 = 30o, 1 = 1.5 t/m3
H = 3.0m
T1 = 0.3m

Tanah dasar/asli:
c2= 0.1 kg/cm2, 2 = 25o, 2 = 1.5 t/m3

T2 = 0.5m

Gambar K10.2a. Dinding kantilever beton bertulang


Solusi dari Kasus 10.1
Momen (per meter dinding):
M f = 0.16 t.m
M b = 1.3 t.m
M h = 2.47 t.m
M t = 4.23 t.m
Gaya Lintang (per meter dinding):
T f = 0.39 t
T b = 1.56 t
T h = 4.95 t
T t = 6.65 t

210

Mf

Lf

Mb

Lb

Mt Mh

Lt

Lh

Menentukan ketebalan perlu dinding akibat gaya geser:


Dilakukan dengan menggunakan Gambar 10.2, sebagai berikut:
60

Tahanan geser (ton/m)

50

Th
Tb

Tt

40
30
20
K-225
10

K-250
K-300

0
0

20

40

60

80

100

Tebal dinding (cm)

Gambar K10.2b. Mengecek kekuatan geser


Untuk geser (per meter dinding):
T f ketebalan diperlukan sudah OK.
T b ketebalan diperlukan sudah OK.
T h ketebalan diperlukan 15 cm, sudah OK.
T t ketebalan diperlukan 18 cm, sudah OK.

211

120

Luas tulangan tarik per m' (mm 2 )

Menentukan perkuatan/tulangan akibat momen:


Dilakukan dengan menggunakan Gambar 10.1, sebagai berikut:

10000
20 cm
25 cm
30 cm
40 cm
50 cm
1000
60 cm
70 cm
80 cm
90 cm
100 cm
100
1

10

100

1000

Momen pada dinding (t.m)

Mb Mh Mt
Gambar K10.2c. Menentukan jumlah tulangan lentur
Dengan memasukkan nilai-nilai momen kedalam Gambar 10.1 untuk
ketebalan dinding yang bersesuaian, diperoleh jumlah luas tulangan per
meter lebar dinding adalah:
Untuk momen (per meter dinding):
M f diperlukan luas tulangan 1100 (mm2) -->tulangan minimum.
M b diperlukan luas tulangan 1100 (mm2) -->tulangan minimum.
M h diperlukan luas tulangan 2000 (mm2) -->tulangan minimum.
M t diperlukan luas tulangan 2000 (mm2) -->tulangan minimum.

212

Selanjutnya dengan memasukkan nilai-nilai tersebut kedalam Tabel


10.1, diperoleh jumlah tulangan yaitu: 4-D22 (D22 250) untuk
dinding tegak dan 6-D22 (D22 150) untuk dasar dinding (pondasi).
Tulangan tekan dan pembagi digunakan 50% dari tulangan utama.
Menggambarkan perkuatan/tulangan:

D22 300
D22 250
D22 150

Gambar K10.2d. Gambar tulangan dinding

213

BAB XI

ANALISIS DINAMIS
STABILITAS LERENG

Untuk daerah-daerah yang mempunyai potensi besar akan


terjadinya gempa bumi, sangat dianjurkan untuk melakukan analisis
stabilitas lereng terhadap beban gempa. Secara umum cara analisis
kegempaan terhadap lereng dapat dilakukan menjadi tiga kelompok
besar, yaitu:
- Analisis dalam riwayat waktu.
- Analisis dalam domain frekwensi
- Analisis statis ekivalen
Analisis dalam riwayat waktu merupakan analisis kegempaan yang
mirip dengan keadaan sebenarnya. Dalam analisis riwayat waktu,
beban gempa yang terjadi dalam rentang waktu tertentu dibagi-bagi
menjadi beberapa tahap untuk selang waktu yang cukup kecil. Tiap saat
beban gempa diberikan sesuai dengan beban pada saat tersebut yang
kondisi awalnya adalah keadaan dari waktu sebelumnya. Analisis ini
terus dilakukan dan saling menyambung hingga rentang waktu gempa
(input motion) selesai keseluruhannya.
Metoda perhitungan yang paling cocok untuk digunakan untuk analisis
riwayat waktu adalah metoda numerik seperti metoda elemen hingga
dan metoda beda hingga (atau gabungan keduanya). Untuk melakukan
analisis dengan metoda ini, maka pengetahuan tentang numerik dan
dasar metoda yang digunakan harus cukup dikuasai. Perkembangan
teknologi untuk perhitungan numerik saat ini sangat memungkinkan dan

214

memudahkan ahli rekayasa untuk melakukan perhitungan riwayat


waktu dengan cepat. Namun bagaimanapun, data-data yang diperlukan
untuk perhitungan numerik tersebut harus diuji secara hati-hati sehingga
kesalahan dalam perhitungan numerik dapat diminimalkan.
Analisis dengan dalam domain frekwensi jarang dilakukan dalam
analisis lereng. Analisis dalam domain frekwensi diadopsi dalam
perhitungan response pondasi dinamis (pondasi mesin). Analisis ini
juga sangat populer diadopsi dalam perhitungan rekayasa struktur
gedung. Perhitungan dengan domain frekwensi relatif sangat mudah
dilakukan untuk mendapatkan hasil respons dari struktur yang
sederhana.
Analisis statis ekivalen untuk stabilitas merupakan analisis pengaruh
beban dinamis pada lereng dengan memberikan gaya yang besarnya
searah dengan beban dinamis maksimum pada lereng. Analisis ini
mengasumsikan bahwa beban dimanis yang bekerja dalam domain
waktu hanya memberi pengaruh pada nilai maksimumnya saja.
Pembahasan mengenai metoda ini akan dijabarkan dalam bagian
berikut.
11.1. Analisis statis ekivalen
Analisis stabilitas lereng dengan beban statis, mempunyai
tujuan untuk membandingkan nilai tahanan lereng dengan nilai gaya
yang melongsorkan akibat adanya gravitasi. Gaya-gaya tersebut bekerja
relatif terhadap bidang longsor yang ditinjau.
Dalam analisis statis ekivalen untuk beban dinamis, gaya-gaya yang
bekerja akibat beban statis adalah sama dengan analisis atabilitas lereng
dan ditambah dengan beban inersia akibat percepatan gempa.
Percepatan gempa yang diambil adalah nilai maksimum dari catatan
gempa atau sesuai dengan standar yang berlaku.
Metoda statis ekivalen yang dipergunakan untuk analisis dinamis
kestabilan lereng adalah serupa teori kesetimbangan gaya-gaya pada

215

sebuah bidang datar dengan mengaplikasikan gaya dinamik ekivalen


tambahan. Kesetimbangan gaya yang bekerja menyangkut adanya
kesetimbangan antara gaya aksi dan reaksi (penahan).
Pada bidang keruntuhan bekerja gaya berat sendiri (W) akibat gravitasi.
Akibat beban dinamis, timbul gaya inersia yang bekerja di pusat masa
dengan arah vertikal dan horizontal (Perhatikan gambar 11.1).
Nilai gaya dinamis horizontal dan vertikal yang bekerja pada pusat
masa itu adalah sebesar:
F h =W
F v =W

(a / g )
(a / g )
h

11.1a

11.1b

Dimana F h = gaya akibat gempa pada arah horizontal


F v = gaya akibat gempa pada arah vertikal
ah
= akselerasi gempa pada arah horizontal (m/dt2)
av
= akselerasi gempa pada arah vertikal (m/dt2)
g = percepatan gravitasi (dapat diambil = 9.81 m/dt2)
W = berat benda
ah
Fv =W
g

( /)

Fh =W

(a /g)

W
Gambar 11.1. Gaya aksi pada bidang kemiringan

216

Dalam analisis stabilitas lereng akibat gempa, umumnya gaya inersia


gempa yang bekerja paling dominan adalah pada arah horizontal.
Dengan demikian maka dapat digambarkan gaya inersia tambahan pada
arah horizontal, F h . Untuk memudahkan dalam menguraikan gaya-gaya
tersebut, maka secara ilustrasi gaya-gaya yang bekerja dapat dipisahkan
menjadi menjadi dua bagian, yaitu gaya-gaya statis dan dinamis, seperti
pada Gambar 11.2. Akibat adanya sudut kemiringan (), maka gayagaya yang bekerja harus diuraikankan menurut arahnya terhadap bidang
kelongsoran (yaitu tegak/normal dan sejajar/tangensial terhadap bidang
kelongsoran).

T
a. Gaya statis
WN = W cos

WT = W sin

W
FN =Fh sin

Fh

b. Gaya dinamis
FT = Fh cos

Gambar 11.2. Gaya normal dan tangensial pada bidang geser

217

Selanjutnya gaya-gaya yang bekerja adalah:


Gaya statis:
- Arah tangensial:
W T = W sin ( )

11.2a

- Arah normal
W N = W cos ( )

11.2b

Gaya dinamis:
- Arah tangensial:
F T = F h cos ( )

11.3a

- Arah normal
F N = F h sin ( )

11.3b

Selanjutnya gaya-gaya dalam arah yang sama dapat dijumlahkan secara


langsung dan sebaliknya untuk gaya yang mempunyai arah berlawanan
akan saling mengurangi. Dengan meninjau kembali Gambar 11.2 dan
memasukkan 11.1 kedalam persamaan 11.3, maka dapat dituliskan
gaya-gaya yang bekerja adalah:
- Arah tangensial
T = W sin + W

(a / g ) cos

11.4a

(a / g ) sin

11.4b

dan
- Arah normal
N = W cos W

218

11.2. Analisis stabilitas lereng akibat gempa


Gaya-gaya yang bekerja dalam kasus stabilitas lereng akibat
gempa, adalah gaya-gaya yang diakibatkan oleh berat sendiri (gravitasi)
dan gaya inersia yang diakibatkan percepatan gempa. Dengan
menggunakan kriteria yang sama dalam menilai stabilitas lereng untuk
beban statis dalam aplikasi akibat gempa, maka estimasi kestabilan
lereng dinamis dapat ditentukan. Hal yang sama berlaku untuk gaya
yang menahan dalam kasus dinamis, yaitu ditentukan oleh parameter
sudut geser dalam dan kohesi dari tanah lereng. Sehingga nilai stabilitas
lereng ditentukan oleh perbandingan gaya yang menahan dengan gaya
yang mendorong (perhatikan gambar 11.3) yaitu faktor Keamanan
(Safety Factor = SF) sebagai berikut:
SF =

Tmax

/T

11.5

dimana:

c
A
T
N

T max = N tg + c A
11.6
T
= sudut geser dalam tanah
= kohesi
= area atau luas dari bidang geser
= (panjang bidang longsor x 1 satuan)
= gaya tangensial yang meruntuhkan (persamaan 11.4a)
= gaya normal yang bekerja (persamaan 11.4b)

T
Tmax

Gambar 11.3. Gaya dalam analisis lereng

219

11.3. Analisis Stabilitas Dinamis Bidang Datar


Pada sebuah lereng yang diasumsikan mempunyai bidang
runtuh datar (perhatikan Gambar 11.4) dengan kemiringan , analisis
dinamis stabilitasnya akibat berat sendiri (akibat percepatan gravitasi, g)
dan beban dinamis dengan percepatan maksimum horizontal, a h dapat
dilakukan dengan menghitung gaya-gaya yang bekerja per satuan lebar
lereng sebagai berikut:
W=.

11.7a

dimana adalah luas bidang yang longsor (luas abc pada Gambar 11.4)
lalu hitung gaya-gaya sejajar dan tegak lurus bidang keruntuhan:
F h =W

(a / g )
h

11.7b

Sehingga gaya yang meruntuhkan dihitung menjadi:


T = W sin + W

(a / g ) cos
h

11.4a

Lalu tentukan gaya tahanan pada bidang keruntuhan:


T max = [W cos W

(a / g) sin ]
h

tg + c L
c

b
Fh
T

Tmax

W
L

ah

a
Gambar 11.4. Stabilitas bidang datar

220

11.8

Selanjutnya tentukan Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) dengan


membandingkan nilai T max dengan T seperti persamaan 11.5.

SF =

Tmax

/T

11.5

Contoh Kasus 11.1:


Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dari sebuah lereng
dengan data-data seperti pada Gambar K11.1. Bila lereng tersebut harus
menahan beban gempa dengan percepatan maksimum horizontal
sebesar 0.25g, tentukan nilai stabilitasnya.
3m

5m
c

b
= 1.4 t/m3
c = 0.2 kg/cm2
= 250

H=6m

L
a

ah = 0.25g

Gambar K11.1. Data lereng dengan bidang longsor datar

221

Solusi:
Menentukan berat bagian longsoran:
W=.

11.5a

= luas bidang yang longsor


= luas abc
= (5m x 6 m )
= 15 m2
W = 1.4 t/m3 . 15 m2
= 21 t/m
Gaya horizontal akibat gempa adalah sebesar:
F h =W

(a / g )
h

= 21 t/m

11.7b

(0.25g/ g)

= (21 t/m) . (0.25)


= 5.25 t/m
Gaya normal pada bidang, N adalah:
N = W cos W
N = W cos W

(a / g ) sin
h

(a / g) sin
h

= (21 t/m) (0.8) (5.25 t/m) (0.6)


= 16.8 t/m 3.15 t/m
= 13.65 t/m

222

11.4b

Selanjutnya Gaya yang meruntuhkan adalah:


T = W sin + W

(a / g ) cos
h

11.4a

dengan cos = 0.8 dan sin = 0.6


T = W sin + W

(a / g) cos
h

= (21 t/m) (0.6) + (5.25 t/m) (0.8)


= 12.6 t/m + 4.2 t/m
= 16.8 t/m
Gaya tahanan pada bidang runtuh:
T max = [W cos W

(a / g) sin ]
h

tg + c L

11.8

atau
T max = N tg + c A

11.6

dengan tan = 0.466


c = 2 t/m2
L = [62 + 82]1/2 = 10 m
T max = (13.65 t/m) (0.466) + (2 t/m2) (10 m)
= (6.3609) t/m + 20 t/m
= 26.3609 t/m
Selanjutnya Faktor Keamanan adalah:
SF =
SF =

Tmax

/T

(26.3609t/m)

11.5

/ ( 16.8 t/m)

= 1.57

223

11.4. Analisis Dinamis Bidang Datar - Panjang


Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, pada lereng
yang sangat panjang, keruntuhan dapat terjadi pada permukaan lereng
dengan kedalaman yang hampir seragam, D (perhatikan Gambar 11.5).
Keruntuhan tipe seperti ini ini disebut dengan keruntuhan permukaan.
Analisis pada bidang runtuh yang terjadi akibat beban dinamis dapat
dilakukan sama dengan cara sebelumnya.
Langkah pertama adalah dengan mengambil panjang massa tanah yang
longsor sebesar satu satuan panjung (unit). Perhitungan gaya-gaya yang
bekerja per satuan lebar lereng selanjutnya dapat dilakukan sebagai
berikut:
1 unit

Fh
T

W
Tmax

L=~

ah

Gambar 11.5. Gaya-gaya pada bidang datar - panjang

224

W=.D.1

11.9

dimana D adalah kedalaman bidang yang longsor (lihat Gambar 11.5)


Lalu hitung gaya dinamis horizontal yaitu:
F h =W

(a / g )
h

11.7b

Perhitungan selanjutnya adalah sama seperti pada bidang longsor datar


biasa, gaya-gaya sejajar dan tegak lurus bidang keruntuhan, sehingga
gaya yang meruntuhkan dihitung menjadi:
T = W sin + F h cos

11.4a

dan gaya tahanan pada bidang:


T max = N tg + c L

11.8

N = W cos F h sin

11.4b

dengan

Perlu diingat bahwa untuk lereng dengan kelongsoran tipe ini, sudut
bidang longsor, adalah sama dengan sudut kemiringan lereng, .
Panjang bidang longsor L = 1 / (cos )
Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) adalah:
SF=

Tmax

/T

11.5

225

Contoh Kasus 11.2:


Tentukan faktor keamanan (SF) pada bidang longsor dari sebuah lereng
dengan kedalaman longsor 1.0 m yang diakibatkan adanya beban gempa
dengan akselerasi (percepatan) sebesar 0.2g. Lereng mempunyai data
seperti pada Gambar K11.2.
3m
b

c
= 1.4 t/m3
c = 0.2 kg/cm2
= 250

6m

ah = 0.25g

= tan-1 (6/3) = 63.40

Gambar K11.2. Data pada longsor bidang datar - panjang


Solusi:
Menentukan berat massa longsoran:
W=.D.1

11.9

D = kedalaman bidang yang longsor


= 1.0 m
W = 1.4 t/m3 . 1.0 m . 1 m
= 1.4 t/m
Perlu diingat: Untuk tipe kelongsoran ini sudut bidang longsor adalah
sama dengan sudut kemiringan lereng ( = )

226

Gaya horizontal akibat gempa adalah sebesar:


F h =W

(a / g )
h

= 1.4 t/m

11.7b

(0.25g/ g)

= (1.4 t/m) . (0.25)


= 0.26 t/m
Gaya normal pada bidang, N adalah:
N = W cos F h sin

11.4b

dengan cos = 0.447 dan sin = 0.894


N = (1.4 t/m) (0. 447) (0.26 t/m) (0. 894)
= 0.6258 t/m 0.23244 t/m
= 0.39336 t/m
Selanjutnya Gaya yang meruntuhkan adalah:
T = W sin + F h cos

11.4a

= (1.4 t/m) (0. 894) + (0.26 t/m) (0. 447)


= 1.2516 t/m + 0.11622 t/m
= 1.36782 t/m
Gaya tahanan pada bidang runtuh:
T max = [W cos W

(a / g) sin ]
h

tg + c L

11.8

atau
T max = N tg + c / cos

227

11.8

dengan tan = 0.466


c = 0.2 kg/cm2 = 2 t/m2
1/cos = 1 / 0.447 = 2.236 m
T max = (0.39336 t/m) (0.466) + (2 t/m2) (2.24 m)
= 0.183 t/m + 4.480 t/m
= 4.663 t/m
Selanjutnya Faktor Keamanan adalah:
SF =
SF =

Tmax

/T

(4.663 t/m)

11.5

/ ( 1.36782 t/m)

= 3.41

Bila kedalaman longsor D diubah menjadi lebih dalam, maka faktor


keamanan akan berkurang.

228

11.5. Analisis Dinamis Metoda Potongan (Slices)


Dalam analisis dinamis menggunakan metoda potongan, blok tanah
yang mengalami kelongsoran dibagi menjadi beberapa bagian
(potongan) seperti pada bagian sebelumnya. Pembagian potongan
dilakukan secara vertikal. Untuk setiap potongan gaya-gaya yang
bekerja baik statis maupun dinamis diperhitungkan secara komulatif.
Selanjutnya faktor keamanan dari bidang runtuh dapat dihitung dengan
membandingkan gaya-gaya yang menahan dan meruntuhkan.
L

Fh
H

i=n
n-1

Tmax

n-2

3
i=1

ah

Gambar 11.6. Metoda potongan analisis dinamis


Untuk setiap potongan (lihat Gambar 11. 6) gaya berat akibat gravitasi
dari elemen tanah yang diakibatkan oleh berat sendiri tanah sebesar:
W= L H

11.10

229

Lalu hitung gaya dinamis horizontal serupa dengan bagian sebelumnya,


yaitu:
F h =W

(a / g )
h

11.7b

Perhitungan selanjutnya adalah gaya-gaya sejajar dan tegak lurus


bidang keruntuhan, gaya yang meruntuhkan untuk satu elemen tanah
yang longsor dihitung menjadi:
T = W sin + F h cos

11.4a

dan gaya tahanan pada bidang:


T max = c A + N tg

11.8

N = W cos F h sin

11.4b

dengan

Luas bidang kontak pada dasar potongan adalah:


A = L/cos

11.8

Selanjutnya tentukan Faktor Keamanan (Safety Factor = SF) dengan


membandingkan nilai keseluruhan T max dengan jumlah nilai T sebagai
berikut:

SF=

Tmax

/ T

11.11

230

Bila jumlah potongan ditentukan sebagai i= 1,...,n selanjutnya dengan


memasukkan nilai gaya-gaya kedalam persamaan faktor keamanan.
Maka dapat ditulis:
n

(c
SF=

i =1

a
Ai + Wi cos i W h sin i tan i )
g

n
a
Wi sin i + W h cos i

i =1
g

11.12

dimana i ditentukan dari gambar atau dihitung secara numerik.


Atau dapat ditulis ringkas
n

(c
SF =

i =1

A i + N i tan i )
11.13

T
i =1

231

Contoh Kasus 11.3:


Untuk data tanah seperti pada Gambar K11.3, tentukan faktor keamanan
(SF) pada bidang longsor akibat adanya beban dinamis.
3m

5m
= 1.4 t/m3
c = 0.2 kg/cm2
= 250

H=6m

ah = 0.25g
Gambar K11.3. Data lereng metoda potongan

Solusi:
Untuk melakukan analisis dengan metoda potongan, maka harus dibuat
data geometrik dengan skala yang baik dari masing-masing potongan
pada bidang longsor seperti pada Gambar K.11.3.a. Perhitungan
selanjutnya dicantumkan dalam tabel dengan menggunakan persamaanpersamaan berikut:
W= L H
ah
F h =W
g
A = L/cos
N = W cos F h sin
T = W sin + F h cos

( /)

232

1.5 m

1.5 m

1.5 m

1.5 m

2.0 m

5
4

590

3
6.0 m
2

390
260

1
180

Skala : 1 m =

Gambar K11.3.a. Data gometrik tiap potongan

Data tanah:
= 1.4 t/m3, c = 2 t/m2 dan = 250.
Faktor Keamanan (Safety Factor = SF)
n

(c
SF =

i =1

A i + N i tan i )
6.15

T
i =1

233

Selanjutnya perhitungan ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai


berikut:

i
1
2
3
4
n=5

L i
(m)
1.5
1.5
1.5
1.5
2

7
18
26
39
59

H i
(m)
1.4
4.1
4.9
3.9
1.7

Wi
(ton)
2.96
8.55
10.31
8.27
4.66

Ni
(ton)
2.84
7.47
8.14
5.12
1.40
T i =

Nilai faktor keamanan adalah:

SF =

32.79

/24.01

= 1.37

234

Ti
(ton)
1.09
4.68
6.84
6.81
4.59
24.01

A i
(m)
1.51
1.58
1.67
1.93
3.88
T max =

T max
(ton)
4.39
6.95
7.66
6.86
8.89
32.79

BAB XII

ANALISIS DINAMIS
DINDING PENAHAN TANAH

Pada suatu wilayah yang rawan terhadap ancaman gempa bumi,


telah banyak terjadi keruntuhan dinding penahan tanah pada saat terjadi
gempa. Untuk itu sangat dianjurkan melakukan analisis stabilitas
dinding penahan tanah yang aman terhadap beban gempa. Penelitian
mendalam mengenai analisis dinamis stabilitas dinding penahan longsor
menggunakan model laboratorium telah dilakukan (Hakam, 2008.b).
Hasilnya menunjukkan bahwa dengan menerapkan bidang kelongsoran
yang sesuai untuk keadaan dinamis, maka stabilitas dinding akibat
beban dinamis dapat diestimasi dengan baik. Pengembangan ide
estimasi stabilitas dinamis dinding penahan tanah juga telah diusulkan
Hakam (2009).
Analisis statis ekivalen untuk stabilitas dinding penahan tanah
merupakan analisis pengaruh beban dinamis yang dapat diterapkan pada
dinding penahan tanah. Metoda ini dilakukan dengan memberikan gaya
yang besar dan arahnya sesuai dengan beban yang diakibatkan
percepatan gempa. Analisis ini mengasumsikan bahwa beban dimanis
yang bekerja hanya memberi pengaruh pada nilai maksimumnya saja
sepanjang riwayat waktu gempa. Dalam buku ini hanya metoda ini yang
akan dijabarkan.
Analisis stabilitas dinamis dinding penahan tanah dengan metoda statis
ekivalen, bertujuan untuk membandingkan nilai gaya-gaya penahan
dengan nilai gaya yang meruntuhkan dinding baik akibat adanya

235

gravitasi sekaligus akibat gempa. Gaya-gaya tersebut bekerja pada titik


pusat massa dari elemen-elemen dinding penahan tanah.
Gaya-gaya akibat gravitasi ditimbulkan oleh massa elemen dinding dan
tanah pada arah vertikal. Sedangkan gaya-gaya akibat gempa
ditimbulkan massa dari elemen dinding dan tanah akibat adanya
percepatan gempa. Selanjutnya kesetimbangan gaya-gaya pada titiktitik yang ditinjau dapat dihitung dengan mengaplikasikan gaya statik
(gravitasi) dan dimanik ekivalen tambahan (gempa). Kesetimbangan
gaya yang bekerja melibatkan semua gaya aksi dan reaksi (penahan)
yang bekerja.
Untuk mengaplikasikan gaya dinamis dibelakang dinding, maka
diperlukan bentuk bidang keruntuhan tanah timbunan. Bentuk
keruntuhan tanah dibelakang dinding dibedakan menurut bentuk dari
dinding penahan tanah yaitu tipe graviti dan tipe kantilever.
12. 1. Analisis dinamis dinding graviti
Dalam pengujian model laboratorium (Hakam, 2008.b)
terhadap dinding penahan tanah dengan beban dinamis, penentuan
massa tanah dibelakang dinding yang bergerak mendorong dinding
dapat diperhatikan. Selama pembebanan berlangsung, respon dinamis
dari dinding berupa percepatan dan perpindahan dicatat menggunakan
alat monitor (lihar Gambar 12.1). Pergerakan setiap butiran selanjutnya
diplotkan pada gambar untuk mengetahui pola pergerakan dari interaksi
tanah-struktur. Bidang longsor dibelakang dinding penahan tanah
selanjutnya dapat digambarkan (Gambar 12.2).
Dari hasil pengujian dinamis menunjukkan bahwa bidang longsor
dibelakang dinding akibat beban dinamis lebih besar dari pada

pembebanan statis ( > 45+ /2) . Sudut keruntuhan bergerak secara


perlahan dari keadaan statis akibat tekanan aktif (mengikuti bidang
longsor Rankine) hingga membentuk sudut sama dengan sudut

keruntuhan pasifnya = 90-(45+ /2). Dalam keadaan ini (sudut

236

keruntuhan sama dengan sudut keruntuhan Rankin kondisi tekanan


pasif) kelongsoran dinding akibat beban dinamis mulai terjadi.

Gambar 12.1. Pergerakan butiran dibelakang dinding penahan tanah

Gambar 12.2. Bidang keruntuhan statis dan dinamis

237

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka analisis stabilitas dinamis


dinding penahan tanah dapat dilakukan dengan memperhitungkan
bidang kelongsoran sama dengan sudut geser dalam tanah effektif.
Selanjutnya gaya-gaya yang bekerja pada sistem dinding penahan tanah
termasuk massa tanah yang bergerak dapat ditentukan (Perhatikan
Gambar 12.3).

Fe2
Tv,2
T2

T1

Fe1

Th,2

W2

W1

Gambar 12.3. Gaya-gaya akibat beban dinamis

Dengan memperhatikan gaya-gaya yang bekerja pada sebuah dinding


penahan tanah seperti pada Gambar 12.3, nilai faktor keamanan
terhadap guling dan geser pada sistem dinding penahan tanah dapat
ditentukan sebagai berikut:

SF =

MR
dan SF =
MO

T
H

R
s

238

dimana: W =gaya akibat berat (gravitasi)


F = gaya-gaya akibat percepatan gempa
T = gaya-gaya akibat pergeseran dua bidang
T R = gaya-gaya penahan geser
H s = gaya-gaya penyebab pergerakan geser
M R = momen penahan guling diujung (tumit) dinding
M O = momen pengguling diujung (tumit) dinding
Besarnya gaya-gaya yang bekerja dapat dihitung sebagai berikut
(perhatikan Gambar 12.3).
W 1 = (Luas penampang dinding) dinding
W 2 = (Luas penampang/bidang tanah longsor) tanah
F e1 = (Luas penampang dinding) dinding (a max /g)
= W 1 (a max /g)
F e2 = (Luas penampang bidang tanah longsor) tanah (a max /g)
= W 2 (a max /g)
T 1 = F e2 tan (2/ 3 )
-- gaya ini dapat diabaikan -T 2 = W 2 cos (tan )
= W 2 sin
T v,2 = T 2 sin
= W 2 sin2
T h,2 = T 2 cos
= W 2 cos sin
T = c B + W 1 (tan dasar )
dengan c adalah nilai kohesi tanah dasar dan
dasar dalah sudut geser dalam tanah dasar

239

12. 2. Analisis dinamis dinding kantilever


Analisis stabilitas dinamis dinding kantilever dapat dilakukan
dengan mengaplikasikan gaya-gaya akibat beban statis dan gempa yang
sama seperti pada dinding graviti. Massa tanah yang runtuh dibelakang
dinding penahan tanah diambil sama dengan sudut geser dalam tanah.
Selanjutnya gaya-gaya yang bekerja pada sistem dinding penahan tanah
termasuk massa tanah yang bergerak dapat ditentukan (Perhatikan
Gambar 12.4).

Fe3
Fe2

Tv,1
W2

Fe1

W1

W3

T1

Th,1

Gambar 12.4. Gaya-gaya akibat beban dinamis

Dengan memperhatikan gaya-gaya yang bekerja pada sebuah dinding


penahan tanah seperti pada Gambar 12.4, nilai faktor keamanan
terhadap guling dan geser pada sistem dinding penahan tanah dapat
ditentukan sebagai berikut:

240

SF =

MR
MO

dan SF =

T
H

R
s

dimana: W =gaya akibat berat (gravitasi)


F = gaya-gaya akibat percepatan gempa
T = gaya-gaya akibat pergeseran dua bidang
T R = gaya-gaya penahan geser
H s = gaya-gaya penyebab pergerakan geser
M R = momen penahan guling diujung (tumit) dinding
M O = momen pengguling diujung (tumit) dinding
Besarnya gaya-gaya yang bekerja dapat dihitung sebagai berikut
(perhatikan Gambar 12.4).
W 1 = (Luas penampang dinding) dinding
W 2 = (Luas bidang tanah diatas tapak) tanah
W 3 = (Luas penampang/bidang tanah longsor) tanah
F e1 = (Luas penampang dinding) dinding (a max /g)
= W 1 (a max /g)
F e2 = (Luas penampang bidang tanah diatas tapak) tanah (a max /g)
= W 2 (a max /g)
F e3 = (Luas penampang bidang tanah longsor) tanah (a max /g)
= W 3 (a max /g)
T 1 = W 3 cos (tan )
= W 3 sin
T v,1 = T 1 sin
= W 3 sin2
T h,1 = T 1 cos
= W 3 cos sin
T = c B + W 1 (tan dasar )
dengan c adalah nilai kohesi tanah dasar dan
dasar dalah sudut geser dalam tanah dasar

241

12. 3. Contoh Kasus: Beban gempa dinding penahan graviti


Sebuah dinding penahan tanah yang terbuat dari pasangan batu kali
direncanakan menahan tanah lempung dibelakangnya. Dimensi dinding
dan parameter tanah lempung ditampilkan seperti terlihat pada Gambar
K12.1. Parameter tanah dibelakang dan dibawah dinding mempunyai
nilai yang sama seperti ditampilkan pada gambar. Perkirakan faktor
keamanan statis dan dinamis (terhadap gempa dengan akselerasi
maksimum a g =0.4g) dari dinding penahan tanah tersebut.

B1 = 0.3 m

= 1.7 t/m3
cu = 1.75 t/m2
=0o

2.5 m

0.5 m

1.3 m

= 1.7 t/m3
cu = 3.5 t/m2
=0o

0.4g

Gambar K12.1. Dinding penahan tanah dengan beban gempa

242

Solusi
Data:
- timbunan : 1 = 1.7 t/m3
c 2 = 1.75 t/m2
1 = 0o

tanah asli : 2 = 1.7 t/m3


c 2 = 3.5 t/m2
2 = 0o

- dinding : c = 2.2 t/m3 (berat satuan pasangan batu)


Tinggi , H = 3.0m
Tebal atas, B 1 = 0.3m
Tebal bawah, B 2 = 1.0m
Lebar, B = 1.0 + 0.3m = 1.3m
a. Untuk beban statis
Gaya-gaya yang bekerja dan garis kerjanya (jarak-jarak) selanjutnya
dihitung dengan memperhatikan Gambar K12.1.a dan b berikut:

B1 = 0.3 m

H=3.0 m

= 1.7 t/m3
cu = 1.75 t/m2
=0o

x1
x2

Pa
Wa

ya

Wb

B2=1.0 m
Gambar K12.1.a. Gaya bekerja dan jaraknya

243

Untuk menghitung gaya tekanan aktif P a , dilakukan penyedehanaan


hitungan dengan memperhatikan gambar berikut:

1 H

1 H -2c1Ka0.5

-2cKa0.5

Pa = luas segitiga
Pa = H (1 H - 2c1Ka0.5)
Gambar K12.1.b. Penyederhanaan gaya aktif

Tekanan Aktif :

P a, = H ( H K a - 2c Ka0.5)
Garis kerja

Ka =

Pa =

2.40

ya =

ya =

1.00

t/m

/3 H

244

1.00

Berat sendiri dinding:


Persegi

Wa =
=
x1 =

Segitiga

( B1 H ) c
2.31
1.15

y1 =

1.50

=
x2 =
=
y1 =

B2 + B1

Wb =

t/m
m
m

( B2 H ) c
3.85

t/m

/3 B2

0.67

/3 H

1.00

T=

4.55

t/m

Tahanan Geser:

T = W tot tg + c B
1

Momen guling di tumit:

MR = W1 x1 + W2 x2

(gaya
MR =

M 0 = Pa ya

4.48

(gaya
M0 =

2.40

penahan)
t/m

pengguling)
t/m

Daya dukung pondasi (Meyerhof, 1965):

qu = cNc (sc dc ic) + q Nq (sq dq iq) + B N ( s d i )

245

W tot =

5.28 t/(m)

Q = 5.80 t/(m)
inclinasi 24.444 derajat
1.30 m

B=
Kp
1.00

Nc
5.70

Qu =

Nq
1.00

148.96

Panjang=
N
0.00

50 m

sc sq=s
1.01 1.00

t/m

dc
1.08

D=

0.50 m

dq=d
1.04

ic=iq
i
0.53 0.00

Faktor Keamanan Statis:


1

Terhadap geser =

Terhadap guling =

=
=
3

Dukung pondasi =
=

T / Pa
1.90
M R /M o
1.87
Qu / Q
25.68

OK
OK
OK

b. Untuk beban dinamis


(Untuk menghitung gaya-gaya yang bekerja, perhatikan kembali
Gambar 12.3)
Gaya dinamis:
W1 =

Wa + Wb

5.28

x w1 =
=
W2 =
=
x w2 =
=

t/m

(x 1 .W a + x 2 .W b )/(W a + W b )
0.85

(H * H) untuk lempung
7.65

t/m
1

(B 1 + B 2 ) + / 3 H
2.30

246

F e1 = W 1 (a max /g)
1
=
2.11
t/m
y e1 = (y 1 .W a + y 2 .W b )/(W a + W b )
=
1.19
m
F e2 = W 2 (a max /g)

=
3.06
2
y e2 = / 3 H
=
2.00
T 1 diabaikan

t/m

T 2 dabaikan

Tahanan Geser:

T R = W tot tg + c B
TR =

4.55

t/m

5.17

t/m

T o = F e1 + F e2
To =

Dengan Tahanan pasif

T R = W tot tg + c B
TR =

11.76

t/m

Momen guling di tumit:

MR = W1 x1 + W2 x2

penahan
MR =

22.07

M 0 = F 1e y 1e + F 2e y 2e

t/m

pengguling
M0 =

247

8.63

t/m

Daya dukung pondasi:

B=
Nc
Kp
1.00 5.70

1.30 m
Nq
1.00
Qu =

Meyerhof (1965)
W tot =

5.28

t/(m)

Q=

7.39

t/(m)

inclinasi

44.41

Panjang=
N
0.00

derajat

50 m

D=

sc sq=s
dc dq=d
1.01 1.00 1.08 1.04

1
73.0 t/m

Faktor Keamanan Dinamis:


1

Terhadap geser =
(tanpa pasif) =
(dengan pasif) =

Terhadap guling =

Dukung pondasi =

T/
Pa
0.88
2.27

NotOK
OK

M R /M o
=
=

2.56
Qu / Q
9.75

248

OK
OK

0.50 m
ic=iq
0.26

i
0.00

12. 4. Contoh Kasus: Beban gempa dinding penahan kantilever


Sebuah dinding penahan tanah jenis kantilever yang terbuat dari beton
bertulang direncanakan menahan tanah lempung dibelakangnya.
Dimensi dinding dan parameter tanah dibelakang ditampilkan seperti
terlihat pada Gambar K12.2. Nilai parameter tanah dibawah dasar
dinding juga ditampilkan pada gambar tersebut. Perkirakan faktor
keamanan statis dan dinamis (terhadap gempa dengan akselerasi
maksimum a g =0.4g) dari dinding penahan tanah tersebut.

0.3 m

1 = 1.7 t/m3
c1 = 0 t/m2
1 = 30o

3m
1m

0.5 m

0.4g

0.4 m
2 = 1.7 t/m3
c2 = 1 t/m2
2 = 20o

2.4 m

Gambar K12.2. Dinding penahan tanah dengan beban gempa

249

Data:

Timbunan:

Tanah Asli:

Dinding:

Konstanta:

1=

1.70

t/m

c1 =

0.00

t/m

1=

30.00

2=

1.70

t/m

c2 =

2.00

t/m

2=

20.00

c=

2.40

t/m

H=

3.00

Ta=

0.30

Tb=

0.40

D=

0.50

B=

2.50

Bt=

1.00

Ka =

0.33

(backfill)

Kp =

2.04

(depan)

a. Statis (perhatikan gambar K12.2.a)


Tekanan Aktif :

P a, = H2 K a - 2c Ka0.5
Garis kerja

Berat diatas dasar:

Pa =

3.47

t/m

ya =

1.17

W2 =

5.10

t/m

x2 =

1.90

y2 =

2.00

250

Wa

Pa

W2

Wb

Gambar K12.2.a. Gaya-gaya statis pada dinding kantilever


Berat sendiri dinding:
Atas

Bawah

Wa =

2.94

t/m

x1 =

1.35

y1 =

2.00

Wb =

2.88

t/m

x2 =

1.20

y1 =

0.25

(diambil rata-rata)

Tahanan Geser:

T = W tot tg + c B
T=

6.37

t/m

Momen guling di tumit:

M R = Wa xa + W b xb + W2 x2
MR =

251

17.12

penahan
t/m

M 0 = Pa ya

---> pengguling
M0 =

B=

2.40 m

Nc
Kp
2.04 14.83

Nq
6.40

Panjan

N
2.87

4.05

t/m

50 m

D=

dc dq=d
1.06 1.03

sc sq=s
1.02 1.01

1
Qu = 256.3 t/m

Faktor Keamanan Statis:


1 Terhadap geser =
2 Terhadap guling =
3 Dukung pondasi =

1.84
4.23
22.37

OK
OK
OK

b. Dinamis
Data:

percepatan dinamis maksimum, a g = 0.4 g


asumsi sudut keruntuhan, = 30

Gaya dinamis:
1

W1 =

5.82

t/m

x1 =

1.28

W2 =

5.10

t/m

x2 =

1.90

W3 =

10.41

t/m

x3 =

3.57

F e1 =
y e1 =

2.33 t/m1
1.13

252

0.50 m
ic=iq
0.65

i
0.01

2.04 t/m1

F e2 =
y e2 =

2.00

4.17 t/m1

F e3 =
y e3 =

2.33

T 1 diabaikan
T 2 dabaikan
Untuk melihat letak gaya-gaya dinamis yang bekerja, perhatikan
kembali Gambar 12.4
Tahanan Geser:
Tanpa Tahanan pasif

T R = W tot tg + c B
TR =

6.37

t/m

Dengan Tahanan pasif

T R = W tot tg + c B
TR =

9.66

t/m

T o = F e1 + F e2 + F e2
To =

8.53

t/m

Momen guling di tumit:

M R = W a xa + Wb x b + W 2 x 2
MR =

penahan
54.25

t/m

t/m

M 0 = F 1e y 1e + F 2e y 2e + F 3e y 3e
M0 =

16.44

253

pengguling

Daya dukung pondasi:

B=
Nc
Kp
2.04 14.83

Meyerhof (1965)
W tot =
Q=

10.92
13.86

t/(m)
t/(m)

inclinasi

38.00

derajat

2.40 m
Nq
6.40

N
2.87

Panjan

50 m

sc sq=s
1.02 1.01

D=

dc dq=d
1.06 1.03

1
Qu = 144.0 t/m

Faktor Keamanan Dinamis:


1 Terhadap geser =
dengan pasif:
2 Terhadap guling =
3

Dukung pondasi =

0.75
1.13
3.30

NotOK
OK
OK

10.39

OK

254

0.50 m
ic=iq
0.33

i
0.81

12. 5. Diskusi
Dari hasil analisis dinamis terhadap kasus dinding penahan
tanah graviti maupun kantilever, manunjukkan bahwa dinding penahan
mempunyai faktor keamanan dinamis yang lebih kecil dibanding
kondisis statis. Perbedaan besarnya nilai faktor keamanan antara kondisi
statis dan dinamis tersebut sangat ditentukan oleh hal-hal pokok berikut:
1. Akselerasi yang diberikan.
2. Asumsi keruntuhan tanah.
3. Geometrik dari dinding.
4. Data tanah.
Sebagai contoh untuk kasus pada dinding graviti, bila akselerasi
maksimum yang diberikan sebesar 0.2g, maka faktor keamanan dinamis
adalah:
Terhadap geser = 2.35
Terhadap guling = 6.82
Dukung pondasi = 30.05
Nilai tersebut menjadi lebih besar dibanding faktor keamanan kondisi
statis yaitu:
Terhadap geser = 1.90
Terhadap guling = 1.87
Dukung pondasi = 25.68
Selanjutnya untuk kasus dinding penahan kantilever, apabila bidang
keruntuhan diasumsikan sama dengan bidang keruntuhan statis (kondisi
aktif) yakni sebesar 60o terhadap sumbu hirizontal, maka faktor
keamanan menjadi:
Terhadap geser = 0.94 (dengan pasif = 1.43)
Terhadap guling = 2.89
Dukung pondasi = 13.28

255

Nilai tersebut lebih besar dibandingkan sebelumnya (untuk asumsi


bidang runtuh =45o) yaitu:
Terhadap geser = 0.75 (dengan pasif = 1.13)
Terhadap guling = 3.30
Dukung pondasi = 10.39
Sebaliknya bila diasumsikan bidang keruntuhan dibelakang dinding
sama dengan bidang keruntuhan keadaan pasifnya (yaitu =30o
terhadap horizontal ), maka faktor keamanan akan berubah menjadi:
Terhadap geser = 0.55 (dengan pasif = 0.83)
Terhadap guling = 4.11
Dukung pondasi = 7.40
Hal-hal tersebut diatas menunjukkan pentingnya pengambilan
keputusan oleh perencana dalam menentukan nilai-nilai yang diambil
pada saat melakukan analisis keamanan dinding. Untuk menentukan
besarya akselerasi maksimum yang diberikan, harus diperhatikan
kondisi seismik pada lokasi dimana dinding tersebut akan ditempatkan.
Sedangkan pengambilan sudut keruntuhan sangat tergantung dengan
performan yang diinginkan dari dinding penahan yang direncanakan.
Pengetahuan yang luas dan pengalaman yang cukup merupakan
kemampuan yang harus dimiliki untuk pengambilan keputusan dalam
sebuah perencanaan. Termasuk keputusan dalam menentukan
kedalaman pondasi dinding, tipe dinding yang digunakan, dimensi
dinding dan juga jenis tanah yang digunakan untuk timbunan
dibelakang dinding.

256

DAFTAR REFERENSI
1. Bowles, J (1988), Foundation Analysis and Design,
MsGraww-Hill, Singapore
2. Hakam, A (2004)a, Penstabilan Lereng,

Diktat

Pendidikan dan Pelatiah PT. PLN Persero, 2004


3. Hakam, A (2004)b, Metoda Analisis Stabilitas Lereng,
Diktat Pendidikan dan Pelatiah PT. PLN Persero, 2004
4. Hakam, A (2008)a, Rekayasa Pondasi: untuk mahasiswa
dan praktisi, Bintang Grafika, Padang
5. Hakam, A (2008)b, Earthquake Resistant of Retaining
Walls, International Seminar on Earthquake and
Tsunami (ISET), Padang, 26 August 2008
6. Hakam, A (2009), Dynamic Equilibrium Analysis
of Earthquake Resistant Retaining Walls, PIT-HATTI,
Denpasar 2009.
7. Huang, Yang H (1983), Stability Analysis of Earth
Slopes, Van Nostrand Reinhold Comp. Inc., NY.
8. Janbu, N (1957), Earth Pressures and Bearing Capacity
Calculations by Generalized Procedure of Slice, 4th
ICSMFE, vol. 2, pp. 207-212

257

9. Robertson , P.K. and Camapanella, R.G., (1983),


Guidelines for Use and Interpretation of The Electronic
Cone Penetration Test, Soil Mechanics Series No. 69,
Depat. of Civil Engineering, Univ. of British Colombia
10. Rosenfarb, J.L and Chen, W.F. (1972), Limit Analysis
Solutions of Earth Pressure Problems, Fritz Engineering
Lab. Report, Lehigh University, 53 pp (in Bowles, 1988)
11. Singh, A (1970), Shear strength and stabililty of manmade slopes, Journal of the soil mechanics and
foundation division, ASCE, Vol 96, No. SM6, 18791892
12. Taylor, D.W (1937), Stability of eatrh Slopes, Journal of
the Boston Society of Civil Engineers, Vol. 24, 197-246
13. Terzaghi, K (1934), Large Retaining Wall Tests,
Engineering-News Record, Feb.1, pp. 136 140

258

GLOSARIUM

Bedrock (lapisan batuan), 21, 27


Boulder (batu besar), 27
Cantilever walls (dinding penahan tanah kantilever), 168
Clay (lempung), 28
Cobble (batu), 27
Cone penetration test (sondir / uji penetrasi kerucut), 55
Dipole (dua kutub), 29
Drained (kondisi teralirkan), 50, 51, 52
Failure line (garis keruntuhan), 40
Gravel (kerikil), 26, 27, 34
Gravity walls (dinding penahan tanah gravity), 159, 160, 163
Land slide (Gelincir), 9
Lay dam (dinding sandar), 175, 176, 181
Liquid limit (batas cair), 35
Modulus elastisitas, 202
Montmorillonite (lempung gunung), 29, 30
Mud flow (aliran lumpur), 10, 123, 125, 146
NC Clay (lempung terkonsolidasi normal), 150
Overburdent (berat sendiri tanah diatas), 48, 49
Pebble (kerikil), 27
Poor-graded (bergradasi seragam), 31

259

Sand (pasir), 26, 28, 34


Silt (lanau), 26, 28, 34
Solid (kompak), 25
Sondir ( alat uji penetrasi kerucut), 55
Spesific gravity (berat spesifik), 33, 34, 68
Standard Penetration Test (SPT / uji penetrasi standar), 59
Undrained (kondisi tidak teralirkan), 50, 51, 52
Well-graded (bergradasi baik/lengkap), 31

260

Anda mungkin juga menyukai