Anda di halaman 1dari 67

DEPARTEMEN PERHUBUNGAN R I

USAHA KEPELABUHANAN
DISAMPAIKAN OLEH : Drs. BAMBANG ISTIDJAB, MM Drs. SUGIYANTO HOTMAN SIAGIAN, S.SiT, SE, MM PADA TARUNA/I SEKOLAH TINGGI ILMU PELAYARANTINGKAT I SEMESTER II

JAKARTA, 23 FEBRUARI s/d 12 JUNI 2009


1

PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS


Nasional UU NO. 22 / 99 TTG OTODA (telah diubah menjadi UU NO. 32 Tahun 2004) - Desentralisasi - Dekonsentrasi - Tugas Pembantuan/Medebewind Internasional - WTO / GATS - IMO / ILO - Perkembangan Teknologi - Kecenderungan Pola Bisnis Pelayaran Regional - APEC - ESCAP - AFTA / AFAS

UU NO. 21 THN 1992 TTG PELAYARAN

ANALISA PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS DAN PARADIGMA BARU

PP No. 70/ 1996 ttg Kepelabuhanan (diubah dengan PP No. 69/ 2001 ttg Kepelabuhanan) PP No. 1 /1998 ttg Pemeriksaan Kecelakaan Kapal PP No. 82/1999 ttg Angkutan di Perairan PP No. 7/ 2000 ttg Kepelautan PP No. 81/2000 ttg Kenavigasian

UU NO 17 THN 2008 TTG PELAYARAN


PARADIGMA BARU
- Good Governance - Anti Monopoli - Peningkatan investasi swasta di pelabuhan - Pemisahan yang jelas antara fungsi regulator dan operator di pelabuahn - Demokratisasi - Perlindungan Konsumen - HAM - Orientasi Maritim

PP No. 51/2002 ttg Perkapalan


RPP ttg Tertib Pelayaran

Ditjen Hubla

PROSES PEMBAHASAN UU PELAYARAN


Latar Belakang Perubahan UU No. 21 Thn 1992 menjadi UU No. 17 Thn 2008
1) memberikan kesempatan yg lebih luas kepada swasta untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pelabuhan mengakomodasi otonomi daerah secara proporsional menghapus monopoli penyelenggaraan di pelabuhan menciptakan kompetisi yang sehat dlm penyelenggaraan pelabuhan shg tjd peningkatan efisiensi nasional & kualitas pelayanan menampung perkembangan angkutan multimoda transparansi pelaksanaan tugas oleh aparatur Pemerintahan menampung perkembangan teknologi & perkembangan ketentuan Internasional

Masukan Dari Stakeholder Dan Masyarakat

2) 3)

4)

5) 6)

Ampres Nomor R.95/Pres/11/2005 tanggal 10 Nopember 2005 Tentang RUU Pelayaran terdiri dari 17 Bab dan 164 Pasal

UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

DPR RI
22 Bab dan 355 Pasal

7)

Ditjen Hubla

PENGERTIAN PENGERTIAN SESUAI DENGAN UU NO. 17 TAHUN 2008


TEMPAT YANG TERDIRI ATAS DARATAN DAN/ATAU PERAIRAN DENGAN BATAS BATAS TERTENTU SEBAGAI TEMPAT KEGIATAN PEMERINTAHAN DAN KEGIATAN PENGUSAHAAN YANG DIPERGUNAKAN SEBAGAI TEMPAT KAPAL BERSANDAR, NAIK TURUN PENUMPANG, DAN/ ATAU BONGKAR MUAT BARANG, BERUPA TERMINAL DAN TEMPAT BERLABUH KAPAL YANG DILENGKAPI DENGAN FASILITAS KESELAMATAN DAN KEAMANAN PELAYARAN DAN KEGIATAN PENUNJANG PELABUHAN SERTA SEBAGAI TEMPAT PERPINDAHAN INTRA & ANTARMODA TRANSPORTASI SEGALA SESUATU YANG BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN FUNGSI PELABUHAN UNTUK MENUNJANG KELANCARAN, KEAMANAN, DAN KETERTIBAN ARUS LALU LINTAS KAPAL, PENUMPANG DAN ATAU BARANG, KESELAMATAN DAN KEAMANAN BERLAYAR, TEMPAT PERPINDAHAN INTRA DAN/ ATAU ANTAR MODA SERTA MENDORONG PEREKONOMIAN NASIONAL DAN DAERAH DENGAN TETAP MEMPERHATIKAN TATA RUANG WILAYAH
Ditjen Hubla 4

PELABUHAN

KEPELABUHANAN

PENGERTIAN PENGERTIAN

TATANAN KEPELABUHANAN NASIONAL

SUATU SISTEM KEPELABUHANAN YANG MEMUAT PERAN, FUNGSI, JENIS, HIRARKI PELABUHAN, RENCANA INDUK PELABUHAN NASIONAL, DAN LOKASI PELABUHAN SERTA KETERPADUAN INTRA-DAN ANTARMODA SERTA KETERPADUAN DENGAN SEKTOR LAINNYA

PELABUHAN UTAMA

PELABUHAN YANG FUNGSI POKOKNYA MELAYANI KEGIATAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI DAN INTERNASIONAL, ALIH MUAT ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI DAN INTERNASIONAL DALAM JUMLAH BESAR, DAN SEBAGAI TEMPAT ASAL TUJUAN PENUMPANG DAN/ATAU BARANG,SERTA ANGKUTAN PENYEBERANGAN DENGAN JANGKAUAN PELAYANAN ANTARPROVINSI

Ditjen Hubla

PENGERTIAN PENGERTIAN

PELABUHAN PENGUMPUL

PELABUHAN YANG FUNGSI POKOKNYA MELAYANI KEGIATAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI, ALIH MUAT ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI DALAM JUMLAH MENENGAH,DAN SEBAGAI TEMPAT ASAL TUJUAN PENUMPANG DAN/ATAU BARANG, SERTA ANGKUTAN PENYEBERANGAN DENGAN JANGKAUAN PELAYANAN ANTARPROVINSI

PELABUHAN PENGUMPAN

PELABUHAN YANG FUNGSI POKOKNYA MELAYANI KEGIATAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI, ALIH MUAT ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI DALAM JUMLAH TERBATAS,MERUPAKAN PENGUMPAN BAGI PELABUHAN UTAMA DAN PELABUHAN PENGUMPUL, DAN SEBAGAI TEMPAT ASAL TUJUAN PENUMPANG DAN/ATAU BARANG, SERTA ANGKUTAN PENYEBERANGAN DENGAN JANGKAUAN PELAYANAN DALAM PROVINSI

Ditjen Hubla

PENGERTIAN PENGERTIAN
KEADAAN KAPAL YANG MEMENUHI PERSYARATAN KESELAMATAN KAPAL, PENCEGAHAN PENCEMARAN DARI KAPAL, PENGAWAKAN, PEMUATAN, KESEHATAN DAN KESEJAHTERAAN AWAK KAPAL SERTA PENUMPANG DAN STATUS HUKUM KAPAL UNTUK BERLAYAR DI PERAIRAN TERTENTU

KELAIKLAUTAN KAPAL

KESELAMATAN KAPAL

KESELAMATAN KAPAL YANG MEMENUHI PERSYARATAN MATERIAL, KONSTRUKSI, BANGUNAN, PERMESINAN DAN PERLISTRIKAN, STABILITAS, TATA SUSUNAN SERTA PERLENGKAPAN TERMASUK RADIO DAN ELEKTRONIKA KAPAL, YANG DIBUKTIKAN DENGAN SERTIFIKAT SETELAH DILAKUKAN PEMERIKSAAN DAN PENGUJIAN

Ditjen Hubla

PERAN DAN FUNGSI PELABUHAN


PELABUHAN MEMILIKI PERAN SEBAGAI :
a. SIMPUL DALAM JARINGAN TRANSPORTASI SESUAI DENGAN HIERARKINYA b. PINTU GERBANG KEGIATAN PEREKONOMIAN c. TEMPAT KEGIATAN ALIH MODA TRANSPORTASI d. PENUNJANG KEGIATAN INDUSTRI DAN/ATAU PERDAGANGAN e. TEMPAT DISTRIBUSI, PRODUKSI, DAN KONSOLIDASI MUATAN ATAU BARANG f. MEWUJUDKAN WAWASAN NUSANTARA DAN KEDAULATAN NEGARA

PELABUHAN BERFUNGSI SEBAGAI TEMPAT KEGIATAN :


a. PEMERINTAHAN b. PENGUSAHAAN

PELAKSANAAN PENGAWASAN SECARA TERUS MENERUS SEJAK KAPAL DIBANGUN, DIOPERASIKAN SAMPAI DENGAN DI TUTUH (SCRAP)
PENGOPERASIAN KAPAL

PERSETUJUAN/ PENGESAHAN GAMBAR DESAIN

PEMBANGUNAN KAPAL DI GALANGAN

SERTIFIKASI KAPAL

KAPAL DITUTUH (TIDAK DIGUNAKAN LAGI) KAPAL LAIKLAUT : -KELENGKAPAN DOKUMEN -STATUS HUKUM -KESELAMATAN KAPAL -KEPELAUTAN/ PENGAWAKAN -PERALATAN PENCEGAHAN PENCEMARAN - PEMUATAN

DIPERIKSA : -DJPL ASPEK STATUONARY/ KESELAMATAN - BKI ASPEK KLASIFIKASI

DIAWASI : - M I ASPEK KESELAMATAN - BKI ASPEK KEKUATAN

PEMERIKSAAN DAN PENERBITAN SERTIFIKAT : -PERMESINAN -PERLISTRIKAN -RADIO -PERLENGKAPAN -LAMBUNG TIMBUL -PENGUKUTRAN -MARPOL

PROSES PENGHAPUSAN STATUS HUKUM/ KEPEMILIKAN

Ditjen Hubla

PELABUHAN MENURUT JENIS DAN KEGIATAN


1.MENURUT JENIS :
- Pelabuhan umum - Pelabuhan khusus

2.MENURUT KEGIATAN :
- Pelabuhan laut - Pelabuhan sungai dan danau - Pelabuhan penyebrangan

10

11

HIRAKI PELABUHAN
o Pelabuhan Internasional hub atau

pelabuhan utama Premier o Pelabuhan Internasional atau Pelabuhan utama Sekunder o Pelabuhan Nasional atau pelabuhan utama Tersier o Pelabuhan Regional atau pelabuhan Pengumpan Regional o Pelabuhan Lokal atau Pelabuhan Pengumpan Lokal
12

PENYELENGGARA PELABUHAN LAUT


1) Unit pelaksana teknis pada pelabuhan laut

yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota. 2) Unit pelaksana dari badan usaha pelabuhan di pelabhan laut yang di selenggarakan oleh badan usaha pelabuhan. 3) Badan hukum Indonesia yang melaksanakan kegiatan di pelabuhan laut.
13

PERKEMBANGAN PELABUHAN DI INDONESIA


1. ZAMAN PENJAJAHAN S/D 1954
Pada zaman penjajahan BELANDA, pelabuhan di bawah Kekuasaan pemerintah daerah atau dewan kota (GEMEENTE atau Satands BESTUUR). Sejak sebelum perang dunia II, pelabuhan di kelola jawatan Pelabuhan yang berada di bawah departemen pelayaran (DEPARTEMENT VAN SCHEEPVAART) Pada zaman penjajahan jepang,pelabuhan di bawah pengawasan jepang.Setelah merdeka, pelabuhan di bawah penguasaan pemerintah RI. Tahun 1954 di keluarkan peraturan pemerintah PP no 61 tahun 1954 yang menetapkan kegiatan bongkar muat di pelabuhan di lakukan oleh perusahaan muatan kapal laut (VEEM).
14

PERKEMBANGAN PELABUHAN DI INDONESIA


2. PERIODE 1954 S/D 1960
Pelabuhan besar berstatus INDICHE BEDRIJVEMENT (IBW) di kelola sebagai perusahaan umum, perusahaan kecil berstatus INDICHE COMPATIBILITETWET yang mana pendapatannya di setor ke kas negara. Fungsi operasional kebandaran dan penegak hukum di bidang keselamatan pelayaran di lakukan oleh syahbandar.
15

PERKEMBANGAN PELABUHAN DI INDONESIA


3. PERIODE 1960 S/D 1969
Periode ini pelabuhan di bagi menjadi 9 perusahaan negara (PN) berdasarkan UU no 19 tahun 1960, yaitu : A. PN PELABUHAN DAERAH I DI MEDAN (BELAWAN) B. PN PELABUHAN DAERAH II DI DUMAI C. PN PELABUHAN DAERAH III DI JAKARTA (TJ.PRIOK) D. PN PELABUHAN DAERAH IV DI SURABAYA (TJ.PERAK) E. PN PELABUHAN DAERAH V DI BANJARMASIN F. PN PELABUHAN DAERAH VI DI PELABUHAN MAKASAR G. PN PELABUHAN DAERAH VII DI MANADO (BITUNG) H. PN PELABUHAN DAERAH VIII DI SEMARANG I. PN PELABUHAN DAERAH IX DI IRIAN JAYA Tiap-tiap PN dipimpin oleh direksi PN PELABUHAN dan Berada di bawah departemen maritim.

16

PERKEMBANGAN PELABUHAN DI INDONESIA


4. PERIODE 1969 S/D 1983
Berdasarkan PP nomor 18 tahun 1969 ke 9 perusahaan negara (PN). Pengelola pelabuhan dilikuidasi dan dikelola oleh suatu badan lembaga yang di sebut badan penguasaan pelabuhan (BPP). Adanya penyatuan fungsi pemerintah dan fungsi perusahaan yang dimaksudkan untuk menyatukan komando melalui BPP Melalui PP no 18 tahun 1969 BPP di pimpin oleh ADMINISTRATOR PELABUHAN (ADPEL) untuk pelabuhan yang bersifat komersial, sedangkan untuk yang non komersial oleh kepala pelabuhan.
17

PERKEMBANGAN PELABUHAN DI INDONESIA


5. PERIODE 1983 S/D 1990
Pada periode ini bentuk organisasi dan pengelola pelabuhan di bedakan menjadi pelabuhan yang di usahakan dan pelabuhan yang tidak di usahakan. Pelabuhan yang di usahakan di bagi menjadi 4 perusahaan umum, yaitu : A. PERUM PELABUHAN I BERPUSAT DI MEDAN SESUAI DENGAN PP NO 14 TAHUN 1983 B. PERUM PELABUHAN II BERPUSAT DI JAKARTA SESUAI DENGAN PP NO 15 TAHUN 1983 C. PERUM PELABUHAN III BERPUSAT DI SURABAYA SESUAI DENGAN PP NO 16 TAHUN 1983 D. PERUM PELABUHAN IV BERPUSAT DI MAKASAR SESUAI DENGAN PP NO 17 TAHUN 1983
18

PERKEMBANGAN PELABUHAN DI INDONESIA


6. PERIODE 1990 S/D SEKARANG Pada periode ini pelabuhan berstatus perum di ubah menjadi PT.(PERSERO) sehingga menjadi : A. PT. (PERSERO) PELABUHAN DI INDONESIA I BERPUSAT DI MEDAN SESUAI DENGAN PP NO 56 TAHUN 1991 B. PT. (PERSERO) PELABUHAN DI INDONESIA II BERPUSAT DI JAKARTA SESUAI DENGAN PP NO 57 TAHUN 1991 C. PT. (PERSERO) PELABUHAN DI INDONESIA III BERPUSAT DI SURABAYA SESUAI DENGAN PP NO 58 TAHUN 1991 D. PT. (PERSERO) PELABUHAN DI INDONESIA IV BERPUSAT DI MAKASAR SESUAI DENGAN PP NO 59 TAHUN 1991

19

PENETAPAN LOKASI
Lokasi untuk penyelenggaraan pelabuhan laut di tetapkan oleh MENHUB berdasarkan pada tatanan

kepelabuhan NASIONAL, setelah mendapatkan rekomendasi GUBERNUR dan BUPATI/WALIKOTA sesuai kewenangannya terhadap keterpaduan dengan perencanaan tata ruang wilayah provinsi dan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota. Lokasi pelabuhan laut terdiri wilayah daratan dan periran dengan batas-batas yang di tentukan secara jelas berdasarkan koordinat geografis.
20

HAL-HAL YANG PERLU DIERHATIKAN DALAM PENETAPAN LOKASI PELABUHAN


1. TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL 2. RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN/KOTA DAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI 3. KELAYAKAN TEKNIS 4. KELAYAKAN EKONOMIS 5. PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERKEMBANGAN SOSIAL 6. KELAYAKAN LINGKUNGAN 7. KETERPADUAN INTRA DAN ANTAR MODA TRANSPORTASI 8. ADANYA AKSEPBILITAS TERHADAP HINTERLAND UNTUK KELANCARAN DISTRIBUSI DAN INDUSTRI 9. KEAMANAN DAN KESELAMATAN PELAYARAN 10. PERTAHANAN KEAMANAN NEGARA
21

USULAN PENETAPAN LOKASI


o Usulan penetapan lokasi disampaikan oleh

penyelenggara pelabuhan laut kepada MENHUB melalui DIRJENLA dengan melampirkan : 1. Rekomendasi dari pemerintah provinsi, Pemerintah kabupaten/kota setempat 2. Studi kelayakan 3. Hasil survey o DIRJENLA menyampaikan hasil penilaian kepada MENHUB dalam waktu selambatlambatnya 14 hari kerja setelah permohonan di terima secara lengkap

22

USULAN PENETAPAN LOKASI


o MENHUB menetapkan keputusan

penetapan lokasi atau penolakan berdasarkan evaluasi yang dilakukan DIJENLA dalam waktu selambatlambatnya 21 hari setelah permohonan di terima secara lengkap. o Penolakan permohonan di sampaikan secara tertulis dengan di sertai alasan penolakan.
23

RENCANA INDUK PELABUHAN


PENYUSUNAN RENCANA INDUK PELABUHAN DILAKUKAN DENGAN MEMPERHATIKAN : 1. TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL 2. RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN/KOTA DAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI 3. KEAMANAN DAN KESELAMATAN PELAYARAN 4. KESERASIAN DAN KESEIMBANGAN DENGAN KEGIATAN LAIN TERKAIT DI LOKASI PELABUHAN 5. KELAYAKAN TEKNIS, EKONOMIS DAN LINGKUNGAN 6. PERIZINAN DARI INSTANSI TERKAIT

24

PERBANDINGAN MATERI MUATAN UU NO 21 TAHUN 1992 DENGAN UU NO 17 TAHUN 2008


NO 1. KETERANGAN JUMLAH BAB UU No. 21 Tahun 1992 15 (LIMA BELAS) BAB UU AMPRES 17 (TUJUH BELAS) BAB UU No. 17 Tahun 2008 22 (DUA PULUH DUA) BAB

2.

JUMLAH PASAL

132 (SERATUS TIGA PULUH DUA) PASAL

164 (SERATUS ENAM PULUH EMPAT) PASAL

355 (TIGA RATUS LIMA PULUH LIMA) PASAL

Ditjen Hubla

25

BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V BAB VI BAB VII BAB VIII BAB IX BAB X BAB XI BAB XII BAB XIII BAB XIV BAB XV BAB XVI BAB XVII

: KETENTUAN UMUM : ASAS DAN TUJUAN : RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG : PEMBINAAN : ANGKUTAN DI PERAIRAN : HIPOTEK DAN PIUTANG PELAYARAN YANG DIDAHULUKAN : KEPELABUHANAN : KESELAMATAN DAN KEAMANAN PELAYARAN : KELAIKLAUTAN KAPAL : KENAVIGASIAN : SYAHBANDAR : PERLINDUNGAN LINGKUNGAN MARITIM : KECELAKAAN KAPAL SERTA PENCARIAN DAN PERTOLONGAN : SUMBER DAYA MANUSIA : SISTEM INFORMASI PELAYARAN : PERAN SERTA MASYARAKAT : PENJAGAAN LAUT DAN PANTAI (SEA AND COAST GUARD) Sedangkan sanksi administratif dalam UU ini juga merupakan materi baru yang diletakkan pada akhir bab atau akhir substansi pada bab masing-masing

BAB BARU

BAB XVIII : PENYIDIKAN BAB XIX : KETENTUAN PIDANA BAB XX : KETENTUAN LAIN-LAIN BAB XXI BAB XXII : KETENTUAN PERALIHAN : KETENTUAN PENUTUP

Ditjen Hubla

26

SISTEM PELAYARAN
PELAYARAN ADALAH SATU KESATUAN SISTEM YANG TERDIRI ATAS :
ANGKUTAN DI PERAIRAN KEPELABUHANAN

KESELAMATAN DAN KEAMANAN


PERLINDUNGAN LINGKUNGAN MARITIM

Ditjen Hubla

27

ANGKUTAN DI PERAIRAN

Ditjen Hubla

28

JENIS ANGKUTAN DI PERAIRAN


Angkutan di perairan adalah kegiatan mengangkut dan/ atau memindahkan penumpang dan/ atau barang dengan menggunakan kapal
Angkutan Laut Dalam Negeri Angkutan Laut Luar Negeri Angkutan Laut Khusus Angkutan Laut Pelayaran Rakyat

ANGKUTAN LAUT

ANGKUTAN DI PERAIRAN

ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU

ANGKUTAN PENYEBERANGAN
Ditjen Hubla
29

SUBSTANSI BARU DALAM UU NO. 17/ 2008 TERKAIT DENGAN ANGKUTAN DI PERAIRAN
MENEGASKAN ASAS CABOTAGE Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia. Perusahaan angkutan laut asing wajib menunjuk perusahaan nasional sebagai agen umum

KEAGENAN KAPAL ASING

ANGKUTAN PERAIRAN UNTUK DAERAH MASIH TERTINGGAL DAN/ ATAU WILAYAH TERPENCIL USAHA JASA TERKAIT DENGAN ANGKUTAN DI PERAIRAN

Wajib dilaksanakan oleh pemerintah dan/ atau pemerintah daerah dan dilaksanakan dengan pelayaran pelayaran-perintis dan penugasan

Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan, Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus untuk itu dan wajib memiliki izin usaha. Ditjen Hubla 30

SUBSTANSI BARU DALAM UU NO. 17/ 2008 TERKAIT DENGAN ANGKUTAN DI PERAIRAN (lanjutan)
ANGKUTAN MULTIMODA
Angkutan di perairan dapat merupakan bagian dari angkutan multimoda yang dilaksanakan oleh Badan Usaha multimoda yang bertanggung jawab (liability) terhadap barang sejak diterimanya barang sampai diserahkan kepada penerima barang.

PEMBERDAYAAN INDUSTRI ANGKUTAN PERAIRAN NASIONAL

Wajib dilaksanakan oleh pemerintah dengan memberi fasilitas pembiayaan dan perpajakan, memfasilitasi kontrak jangka panjang atara pemilik barang dan pemilik kapal, memberikan jaminan ketersediaan BBM. Kapal Indonesia dapat dijadikan sebagai agunan utang dilakukan berdasarkan peraturan perundangan, sehingga diharapkan perusahaan angkutan laut nasional akan mudah memperoleh dana untuk pengembangan usahanya. MARITIME LIENS AND MORTGAGES CONVENTION 1993
Perintah penahanan kapal oleh pengadilan dalam perkara perdata berupa klaim-pelayaran dilakukan tanpa melalui proses gugatan. ARREST OF SHIP CONVENTION, 1999
Ditjen Hubla

HIPOTEK DAN PIUTANG PELAYARAN YANG DIDAHULUKAN

PENAHANAN KAPAL DALAM PERKARA PERDATA BERUPA KLAIM-PELAYARAN

31

MENEGASKAN AZAS CABOTAGE UNTUK ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI

(1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh :


perusahaan angkutan laut nasional; menggunakan kapal berbendera Indonesia; diawaki oleh awak kapal

Dalam rangka pelaksanaan asas Cabotage (2) Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/ atau barang antar pulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia Ketentuan Peralihan : Kapal asing yang saat ini masih melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri tetap dapat melakukan kegiatannya paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku (7 Mei 2008)
Ditjen Hubla

32

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK IDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG PEMBERDAYAAN INDUSTRI PELAYARAN NASIONAL
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka mengoptimalkan menginstruksikan : Kepada :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

pelaksanaan

kebijakan

pemberdayaan

industri

pelayaran

nasional,

dengan

ini

Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian; Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Pembangunan Nasional; Menteri Perhubungan; Menteri Keuangan; Menteri Dalam Negeri; Menteri Perindustrian; Menteri Perdagangan; Menteri Kehutanan; Menteri Pendidikan Nasional; Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; Menteri Kelautan dan Perikanan; Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara; Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah; Para Gubernur/Bupati/Walikota di seluruh Indonesia.

Badan

Perencanaan

Untuk PERTAMA

: :

Menerapkan asas cabotage secara konsekuen dan merumuskan kebijakan serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing guna memberdayakan industri pelayaran nasional sebagai berikut :
1. Perdagangan
Ditjen Hubla
33

INSTRUKSI PRESIDEN NO. 5 TAHUN 2005 Menerapkan asas Cabotage secara konsekuen dan merumuskan kebijakan serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan kewenangan masing-masing guna memberdayakan industri pelayaran Nasional

Bidang Perdagangan

Bidang Keuangan

Bidang Perhubungan

Bidang Perindustrian

Bidang ESDM

Bidang Pendidikan & Latihan

Muatan dalam negeri (Cabotage) Muatan impor Kemitraan dengan kontrak angkutan jangka panjang.

Perpajakan Lembaga Keuangan Asuransi

Angkutan Laut - Angkutan Laut Dalam Negeri (Cabotage) Pelabuhan

Industri perkapalan Pembangunan kapal

Jaminan penyediaan BBM bagi kapal berbendera Indonesia untuk angkutan laut dalam negeri

Mendorong Pemda dan swasta mengembangkan diklat berstandar IMO Kerjasama dengan pengguna jasa pelaut
Ditjen Hubla
34

APA YANG DIMAKSUD DENGAN ASURANSI ?


Pengertian Hukum : Perjanjian dimana penanggung dengan menerima sejumlah uang (premi) dari tertanggung mengikat diri untuk kerugian karena kehilangan, kerusakan atau tidak diperolehnya keuntungan yang diharapkan, yang dapat diderita akibat suatu kejadian yang tidak dapat diketahui terlebih dahulu Pengertian Ekonomi : Pemindahan/penyeberangan risiko kerugian dengan membayar sejumlah uang (premi)

Ditjen Hubla

35

Pengertian Fungsi : Wahana kerjasama untuk menyebarkan risiko kerugian kepada sejumlah orang/perusahaan yang mereka juga menghadapi hal serupa serta bersedia mendapatkan perlindungan dari risiko tersebut. Jadi meliputi : - Wahana kerjasama penyebaran risiko - Sistem penyebaran - Prinsip membagi risiko kerugian - Cara pengamanan terhadap risiko kerugian tersebut

Ditjen Hubla

36

KEPENTINGAN YANG DIPERTANGGUNGKAN DI DALAM ASURANSI LAUT :


1. Barang : Harga beli Freight Ongkos bongkar dan forwarding Premi asuransi Keuntungan yang diharap Komisi Tanggung Jawab Defesiable & contingent interest

Ditjen Hubla

37

2.

Kapal : - Harga kapal dan peralatannya (hul & machinery) - Uang tambang (freihgt) - Disbursement ( TLO 20 s/d 25 % dari nilai pertanggungan ) - Tanggung jawab pada collision jika kapal kita sebagai pihak bersalah dengan kondisi 4/4 shif atau 3/4 ITC - Premi asuransi

Ditjen Hubla

38

3.

P&I:

Loss of life etc (INJURY, ILLNESS) Cargo Claim Tabrakan terhadap dok. Harbour, jetty, etc Removal of wreck Oil pollution for tankers Collision (kondisi ) pada ITC Charter freight

Ditjen Hubla

39

AMANAT INPRES NO. 5/ 2005 MENGENAI ASURANSI


1. Setiap kapal yang dimiliki dan / atau dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional, dan / atau kapal bekas / kapal baru yang akan dibeli atau dibangun di dalam atau di luar negeri untuk jenis, ukuran dan batas usia tertentu wajib diasuransikan, sekurangkurangnya Hull & Machineries; 2. Muatan/barang dan penumpang yang diangkut oleh perusahaan pelayaran nasional yang beroperasi baik di dalam negeri maupun di luar negeri, wajib diasuransikan; 3. Menetapkan kebijakan yang mendorong perusahaan asuransi nasional yang bergerak di bidang asuransi perkapalan untuk menyesuaikan dengan standar kemampuan retensi asuransi perkapalan internasional.

Ditjen Hubla

40

PASAL PASAL YANG TERKAIT BIDANG ASURANSI

Ditjen Hubla

41

Pasal 40 dan 41 (Tanggung Jawab Pengangkut)


Pasal 41 ayat (1) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut. Musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut. Keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut. Kerugian pihak ketiga.

a.

b.

c.

Pasal 41 ayat (3) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

d.

Ditjen Hubla

42

Pasal 50, 51, 52, 53, 54, dan 55 (Angkutan Multimoda)


Pasal 51 ayat (2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab (liability) terhadap barang sejak diterimanya barang sampai diserahkan kepada penerima barang. Pasal 53 ayat (1) Tanggung jawab penyedia jasa angkutan multimoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat 2 meliputi kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang serta keterlambatan penyerahan barang.
Pasal 54 Penyedia jasa angkutan multimoda wajib mengasuransikan tanggungjawabnya.

Ditjen Hubla

43

Pasal 100 dan 101 (Tanggung Jawab Ganti Kerugian)


Pasal 100 ayat (1) Orang perseorangan WNI dan/atau badan usaha yang melaksanakan kegiatan di pelabuhan bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas pelabuhan yang diakibatkan oleh kegiatannya.

Pasal 100 ayat (2) Pemilik dan/atau operator kapal bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas pelabuhan yang diakibatkan oleh kapal.
Pasal 100 ayat (3) Untuk menjamin pelaksanaan tanggung jawab atas ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilik dan/atau operator kapal yang melaksanakan kegiatan di pelabuhan wajib memberikan jaminan. Pasal 101 ayat (1) Badan Usaha Pelabuhan bertanggung jawab terhadap kerugian pengguna jasa atau pihak ketiga lainnya karena kesalahan dalam pengoperasian pelabuhan. Pasal 101 ayat (2) Pengguna jasa pelabuhan atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak mengajukan tuntutan ganti kerugian.

Ditjen Hubla

44

Pasal 151 (Kesejahteraan Awak Kapal dan Kesehatan Penumpang)

Pasal 151 ayat (1) Setiap Awak Kapal berhak mendapatkan kesejahteraan yang meliputi: g)pemeliharaan dan perawatan kesehatan serta pemberian asuransi kecelakaan kerja.

Ditjen Hubla

45

Pasal 203 (Kerangka Kapal)


Pasal 203 ayat (1) Pemilik kapal wajib menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan keamanan pelayaran paling lama 180 hari kalender sejak kapal tenggelam.
Pasal 203 ayat (2) Pemerintah wajib mengangkat, menyingkirkan, atau menghancurkan seluruh atau sebagian dari kerangka kapal dan/atau muatannya atas biaya pemilik apabila dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah, pemilik tidak melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 203 ayat (5) Untuk menjamin kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pemilik kapal wajib mengasuransikan kapalnya.
Ditjen Hubla
46

Pasal 231 (Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran dari Pengoperasian Kapal)

Pasal 231 ayat (1) Pemilik atau operator kapal bertanggung jawab terhadap pencemaran yang bersumber dari kapalnya.
Pasal 231 ayat (2) Untuk memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilik atau operator kapal wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.

Ditjen Hubla

47

Pasal 245 (Kecelakaan Kapal)


Pasal 245 Kecelakaan kapal merupakan kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat mengancam keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia berupa:a) kapal tenggelam; b) kapal terbakar; c) kapal tubrukan; d) kapal kandas

Ditjen Hubla

48

ROADMAP PELAKSANAAN ASAS CABOTAGE BERDASARKAN KOMODITI Peraturan Menteri Perhubungan No. 71 Tahun 2005 tanggal 18 Nopember 2005 tentang Pengangkutan Barang/ Muatan Antarpelabuhan di Dalam Negeri;
Peraturan ini menetapkan Roadmap Pelaksanaan Asas Cabotage Angkutan Laut Dalam Negeri Berdasarkan Komoditi, dimana sesuai dengan kapasitas armada nasional yang tersedia diharapkan seluruh barang/ muatan antar pelabuhan di dalam negeri akan telah dapat diangkut oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia selambat-lambatnya 1 Januari 2011. Barang/ muatan antarpelabuhan di dalam negeri meliputi : 1. Minyak dan gas bumi (Oil/ Petroleum); 2. Barang umum (General Cargo); 3. Batubara (Coal) 4. Kayu dan olahan primer (Wood) 5. Beras (Rice) 6. Minyak kelapa sawit (CPO) 7. Pupuk (Fertilizer) 8. Semen (Cement) 9. Bahan galian tambang/ bahan galian logam, bahan galian non logam dan bahan galian golongan C (Mine and Quarry); 10. Biji-bijian lainnya (Other Grains); 11. Muatan cair dan bahan kimia lainnya (Other Liquid); 12. Bijian hasil pertanian (Agri Grain) 13. Sayur, buah-buahan dan ikan segar (Fresh Product); Ditjen Hubla 14. Penunjang kegiatan usaha hulu dan hilir minyak dan gas bumi (Offshore).

49

ROADMAP PELAKSANAAN ASAS CABOTAGE BERDASARKAN KOMODITI


Jenis dan Jumlah Komoditi

14 12 10 8 6 4 2 0
General Cargo

13 11 9

14

5
Wood

5
Fresh Product
CPO Other Grains Mine and Quarry Agri Grain Other Liquid Coal
Oil/ Petroleum

Fertilizer Cement Rice

Offshore

Ja

Ja

Ja

Ja

Ja

Ja

Ja

Batas Akhir Pemberlakuan Asas Cabotage

05

06

07

08

09

10

20

20

20

20

20

20

20

11

Ditjen Hubla

50

ROADMAP PELAKSANAAN ASAS CABOTAGE ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN KOMODITI (2005-2010)
Pangsa Muatan (%) 1 Jan 2006 No Komoditi
Kapal Indonesia

Pangsa Muatan (%) 1 Jan 2007


Kapal Indonesia

Pangsa Muatan (%) 1 Jan 2008 Kapal Indonesia 100 Kapal Asing 0

Pangsa Muatan (%) 1 Jan 2009 Kapal Indonesia 100 Kapal Asing 0

Pangsa Muatan (%) 1 Jan 2010


Kapal Indonesia Kapal Asing

Pangsa Muatan (%) 1 Jan 2011


Kapal Indonesia

Kapal Asing 0

Kapal Asing 0

Kapal Asing 0

General Cargo

100

100

100

100

2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Wood Fertilizer
Cement Rice Fresh product CPO Other grains Mine and Quarry Agri grain Other liquid Coal Oil/ Petroleum Komoditi

100 100
100 100 95 80 70 40 70 40 60 40 5

0 0
0 0 5 20 30 60 30 60 40 60

100 100
100 100 95 80 70 40 70 40 60 40 5

0 0
0 0 5 20 30 60 30 60 40 60

100 100
100 100 100 100 100 100 80 65 75 60 9

0 0
0 0 0 0 0 0 20 35 25 40

100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 95 90 11

0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 5 10

100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 13

0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

100 100
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 13

0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Penunjang Kegiatan usaha hulu dan hilir minyak dan gas bumi (offshore) dilaksanakan selambat-lambatnya 1 Januari 2011
Ditjen Hubla
51

PENINGKATAN JUMLAH ARMADA NIAGA NASIONAL BERBENDERA INDONESIA (POSISI 31 MARET 2005 VS 31 MARET 2008)
Unit Kapal 8000

7846 6041
1.805 Unit ( 29,9 %)

7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0

s.d 31 Maret 2005 s.d 31 Maret 2008 Posisi 31 Maret 2008 total armada sebanyak 7.846 unit kapal, bila dibandingkan dengan bulan Maret 2005 yang total armadanya sebanyak 6.041 unit kapal maka terjadi peningkatan jumlah armada sebanyak 1.805 unit kapal atau sebesar 29,9 %, dimana sebagian besar merupakan pengalihan bendera kapal milik perusahaan pelayaran nasional dari bendera asing ke bendera Indonesia serta pembangunan kapal baru dan pengadaan kapal bekas dari luar negeri.
Ditjen Hubla

52

PERKEMBANGAN PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT NASIONAL


1600

1.485
1400

1.381 1.272

1200

Jumlah Perusahaan

1.139 1.030

1000 800 600 400

888

238
200 0

267

300

317

330

346

00

00

00

00

00

SIUPAL

SIOPSUS

NO.

JENIS PERUSAHAAN

2002 888 238 1.126

JUMLAH PERUSAHAAN 2003 2004 2005 2006 1.030 267 1.297 1.150 300 1.450 1.272 317 1.589 1.381 330 1.711

00

Tahun

2007 1.485 346 1.831


Ditjen Hubla
53

1 2

ANGKUTAN LAUT (SIUPAL) ANGKUTAN LAUT KHUSUS (SIOPSUS) TOTAL

SIUPAL : SIOPSUS :

Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut Surat Izin Operasi Perusahaan Angkutan Laut Khusus

PROFIL KEPEMILIKAN KAPAL PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT NASIONAL


Berdasarkan Unit Armada Yang Dimiliki (Tahun 2007)

20,95

5,8

70,81

2,44

1 s/d 3

4 s/d 10

11 s/d 20

> 20

Ditjen Hubla

54

PROFIL KEPEMILIKAN KAPAL PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT NASIONAL


Berdasarkan GT Kumulatif Armada Yang Dimiliki (Tahun 2007)

5,58
3,62

16,52

8,33
20,65

16,74 28,55

GT 175 s.d GT 500 GT 3001 s.d GT 4000

GT 501 s.d GT1000 GT 4001 s.d GT 5000

GT 1001 s.d GT 2000 GT > 5000

GT 2001 s.d GT 3000


Ditjen Hubla
55

PENINGKATAN PANGSA MUATAN PELAYARAN NASIONAL UNTUK ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI
%
100,0

80,0

61,3
60,0

65,3

54,0 46,0

55,5 44,5 38,7 34,7

40,0

20,0

0,0 2004 2005 Kapal Nas ional 2006 Kapal As ing 2007

Juta Ton

No 1 2

Muatan Nasional Asing

2004 101,3 (54,0%) 86,3 (46,0%)

2005 114,5 (55,5%) 91,8 (44,5%)

2006 135,3 (61,3%) 85,4 (38,7%)

2007 148,7 (65,3%) 79,2 (34,7%)

Jumlah

187,6

206,3

220,7

227,9
Ditjen Hubla
56

PERKEMBANGAN ARMADA NIAGA BERBENDERA NEGARA ASEAN (RIBUAN DWT)


No
1 2 3 4 5 6

Negara
Brunei Cambodia Indonesia Malaysia Myanmar Philippines

Posisi 1 Jan 2005


422 5038 8709 656 7008

Posisi 1 Jan 2006


421 5308 7755 645 7129

Posisi 1 Jan 2007


421 2700 6392 8571 574 6704

% Change 2005-2006 0 5 -11 -2 2

% Change 2006-2007
0 20 11 -11 -6

7
8

Singapore
Thailand

40943
4383

48562
4591

51043
4320

19
5

5
-6

Vietnam

2127

2479

3144

17

27
Ditjen Hubla
57

Sumber : Review of Maritime Transport 2007, UNCTAD

KEBUTUHAN PENAMBAHAN KAPAL NASIONAL SAMPAI TAHUN 2010 DAN KEBUTUHAN PENDANAANNYA
Penambahan Kapal Nasional Yg Diperlukan Tahun 2010 Dana Yg Dibutuhkan (Juta US $)

Jenis Kapal

Jumlah Kapal

Ukuran Kapal (DWT)

Harga Pasar Kapal (Juta US$)


46.541)

Dana Total Yg Dibutuhkan

Dana Bersih Yg Dibutuhkan (Di luar modal sendiri*)


372.32

Coal Carrier

10

60,000

465.40

13
367

45,000
8,000 30,000 20,000 11,500 6,000 2,500 1,500 3,000 6,000 3,000 6,000 15,000

34.001)
6.00 2) 21.005) 15.005) 12.002) 7.002) 3.502) 1.504) 2.203) 3.304) 4.253) 5.004) 10.004)

442.00
2,202.00 168.00 180.00 264.00 280.00 500.50 15.00 20.00 16.50 21.25 25.00 40.00 4,635.65

353.60
1,761.60 134.40 144.00 211.20 224.00 400.40 12.00 17.60 13.20 17.00 20.00 32.00 3,713.32
Ditjen Hubla
58

Tanker

8 12 22 40 143

General Cargo

10 10 5

Container

5 5 4

Total

654

*) Asumsi modal sendiri sebesar 20% 1) Used Vessel (19 years old); 2) New Vessel 3) Used Vessel (17 years old); 4)Used Vessel (20 years old)

KEAGENAN KAPAL ASING UNTUK ANGKUTAN LAUT LUAR NEGERI

(1) Kegiatan angkutan laut luar negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan/ atau perusahaan angkutan laut asing dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan/ atau kapal asing.

(2) Perusahaan angkutan laut asing hanya dapat melakukan


kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan wajib menunjuk perusahaan nasional sebagai agen umum.
Yang dimaksud dengan perusahaan nasional adalah perusahaan angkutan laut nasional dan badan usaha yang khusus didirikan untuk kegiatan keagenan yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
Ditjen Hubla
59

PENINGKATAN PANGSA MUATAN PELAYARAN NASIONAL UNTUK ANGKUTAN LAUT LUAR NEGERI
100,0

96,5

95,0

94,3

94,1

80,0

60,0

40,0

20,0

3,5
0,0 2004

5,0
2005 Kapal Nas ional

5,7
2006 Kapal As ing

5,9
2007

Juta Ton

No 1 2

Muatan Nasional Asing Jumlah

2004 16,3 (3,5%) 448,8 (96,5%) 465,1

2005 24,6 (5,0%) 468,4 (95,0%) 493,0

2006 29,4 (5,7%) 485,8 (94,3%) 515,2

2007 31,4 (5,9%) 500,5 (94,1%) 531,9


Ditjen Hubla
60

ANGKUTAN DI PERAIRAN UNTUK DAERAH MASIH TERTINGGAL DAN/ ATAU WILAYAH TERPENCIL
Wajib dilaksanakan oleh pemerintah dan/ atau pemerintah daerah; Dilaksanakan dengan :

Pelayaran Perintis
Dengan biaya yang disediakan oleh pemerintah dan/ atau pemerintah daerah Secara terpadu dengan sektor lain Dapat dilakukan dengan kontrak jangka panjang

Penugasan
Diberikan kepada perusahaan angkutan laut nasional dengan mendapatkan kompensasi dari pemerintah dan/ atau Pemda sebesar selisih antara biaya produksi dan tarif yang ditetapkan pemerintah dan/ atau Pemda sebagai kewajiban pelayan publik.
Ditjen Hubla
61

USAHA JASA TERKAIT DENGAN ANGKUTAN DI PERAIRAN


Untuk Kelancaran kegiatan angkutan di perairan dapat diselenggarakan Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan, berupa :
bongkar muat barang;
jasa pengurusan transportasi; angkutan perairan pelabuhan; penyewaan peralatan angkutan laut/peralatan jasa terkait dengan angkutan laut; tally mandiri; depo peti kemas; pengelolaan kapal (ship management); perantara jual beli dan/atau sewa kapal (ship broker); keagenan Awak Kapal (ship manning agency); keagenan kapal; dan perawatan dan perbaikan kapal (ship repairing and maintenance).

Usaha jasa terkait dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus untuk itu dan wajib memiliki izin usaha. Kegiatan bongkar muat dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan nasional (untuk barang tertentu pada kapal yang dioperasikannya). Ditjen Hubla

62

ANGKUTAN MULTIMODA
Perjanjian antara penyedia jasa angkutan di perairan & Badan Usaha Multimoda & penyedia jasa moda lainnya

Angkutan Multimoda
Angkutan Perairan
Tanggung jawab

Dilaksanakan oleh Badan Usaha Angkutan Multimoda yang mendapat izin khusus untuk itu

Angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan 1 dokumen yang diterbitkan oleh penyedia jasa angkutan multimoda

Bertanggung jawab (liability) terhadap barang sejak diterimanya barang sampai diserahkan kepada penerima barang. Tanggung jawabnya meliputi kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang serta keterlambatan penyerahan barang. Dapat dikecualikan jika penyedia jasa angkutan multimoda dapat membuktikan bahwa dirinya atau agennya secara layak telah melaksanakan segala tindakan untuk mencegah terjadinya kehilangan, kerusakan barang, serta keterlambatan penyerahan barang. Catatan : Peraturan Pelaksana tentang Angkutan Multimoda masih menunggu Revisi UU Moda Transportasi Darat dan Udara.

Ditjen Hubla

63

PEMBERDAYAAN INDUSTRI ANGKUTAN PERAIRAN NASIONAL


Pemberdayaan Industri Angkutan Perairan Nasional dan Perkuatan Industri Perkapalan Nasional Wajib Dilakukan Oleh Pemerintah Pemberdayaan Industri Angkutan Perairan Nasional a. memberikan fasilitas pembiayaan dan perpajakan; memfasilitasi kemitraan kontrak jangka panjang antara pemilik barang dan pemilik kapal; dan memberikan jaminan ketersediaan bahan bakar minyak untuk angkutan di perairan. Perkuatan Industri Perkapalan Nasional
a. c. e. menetapkan kawasan industri perkapalan terpadu; mengembangkan standardisasi dan komponen kapal memberikan insentif kepada perusahaan angkutan perairan nasional yang membangun dan/atau mereparasi kapal di dalam negeri dan/atau yang melakukan pengadaan kapal dari LN; membangun kapal pada industri galangan kapal nasional apabila biaya pengadaannya dibebankan kepada APBN/ APBD; b. mengembangkan pusat desain, litbang industri kapal nasional;

d. mengembangkan industri bahan baku & komponen kapal;

b.

f.

c.

g. membangun kapal yang pendanaannya berasal dari luar negeri dengan menggunakan sebanyak-banyaknya muatan lokal; dan h. memelihara dan mereparasi kapal pada industri perkapalan nasional yang biayanya dibebankan kepada APBN/ APBD.

Ditjen Hubla

64

HIPOTEK DAN PIUTANG-PELAYARAN YANG DIDAHULUKAN


Kapal yang telah didaftarkan dalam daftar kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan hipotek atas kapal. Kapal dapat dibebani lebih dari 1 (satu) hipotek. Setiap akta hipotek diterbitkan satu Grosse Akta Hipotek yang diberikan kepada penerima hipotek. Grosse Akta Hipotek mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.

HIPOTEK

PIUTANGPELAYARAN YANG DIDAHULUKAN

Apabila terdapat gugatan terhadap piutang yang dijaminkan dengan kapal, pemilik, pencharter, atau operator kapal harus mendahulukan pembayaran piutang-pelayaran yang didahulukan.

Merupakan pelaksanaan dari Perpres No. 44 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tentang Piutang Maritim dan Mortgage, 1993
Ditjen Hubla
65

PENAHANAN KAPAL DALAM PERKARA PERDATA BERUPA KLAIM-PELAYARAN

Syahbandar hanya dapat menahan kapal di pelabuhan atas perintah tertulis pengadilan; Perintah penahanan kapal oleh pengadilan dalam perkara perdata berupa klaim-pelayaran dilakukan tanpa melalui proses gugatan Yang dimaksud dengan klaim-pelayaran (maritime claim) sesuai dengan ketentuan mengenai penahanan kapal (arrest of ships)
Merupakan pelaksanaan dari Konvensi Internasional Tentang Penahanan Kapal (Arrest of Ships) 1999
Ditjen Hubla
66

Terima Kasih
Ditjen Hubla
67

Anda mungkin juga menyukai